Anda di halaman 1dari 14

RENUNGAN HARIAN

TGL 23 AGUSTUS 2022

Matius dalam injilnya (23:23-26) mewartakan Yesus bersabda kepada orang banyak: "Celakalah kamu,
hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari
selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan,
yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan
diabaikan.

Hai kamu para pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di
dalamnya kamu telan. Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang
munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh
rampasan dan kerakusan.

Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga
akan bersih.

Hikmah yang dapat kita petik:

1. Yesus menegur para ahli taurat dan umatNya: "Celakalah kamu, hai ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab
persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang
terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas
kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan
diabaikan.
2. Kita beri Judul permenungan kita mala mini “Jangan Munafik”. Apa
kepanjangan dari kata MUNAFIK? “Mulia Namun Fiktif” Artinya
Mulia/terlihat bagus/kudus, namun omong kosong/bohong.
3. Kata2 Yesus tajam, tandas dan tertuju pada persoalan yg dihadapi mereka.
Dia tidak mereka-reka (= tidak mengada-ada / tidak mencari-cari kesalahan)
supaya dipandang hebat dan populer.
4. Bapa/ibu dan saudara-saudariku yang terkasih, tegoran/kecaman yg dulu di
sampaikan kepada para orang Farisi dan ahli2 taurat pada zaman dulu,
sekarang hal itu di tujukan kepada kita yang berkumpul di tempat ini.
Adakah kita juga dalam perkataan dan perbuatan kita munafik? Ketika mau
saat mau PILPRES dan PILKADA, sering kita dengar istilah Pencitraan. Jadi
munafik, kakak adik/bersaudara dengan pencitraan. Orang melakukan
sesuatu kepada orang lain, hanya supaya dianggap orang baik, dianggap
yang pro dengan orang miskin dan terlantar, dianggap pemerhati
masyarakat, dan lain sebagainya.
5. .Ingkar janji
2.Berbohong
3.Berkhianat
4.memuji dan menyanjung orang lain ketika ia berhadapan dengannya,
tetapi mencela dan mengumpatnya bila ia tidak ada.
5.mengatakan sesuatu, tetapi tidak sesuai dengan kebenaran dan
kenyataan. memfitnah
2 ingkar janji
3 berbohong
4 mencela orang
5 sealu mendukung yangBersalah
6. Yesus memberi teladan kepada kita utk fokus pada persoalan, dan
persoalan itu betul2 riil dan mendasar shg org dpt menemukan nilai2 utk
hidup baru.
TOPIK PILIHAN

K-REWARDS

BEAUTY NEW

EVENT

LAGI RAME!

5 Keunggulan Kampanye Virtual

40 Tanggungjawab Istri terhadap Suami

10 Teknik Dasar Bermain Bulu Tangkis

Upacara Bendera Berbeda di Tidore

Ketidakadilan Gender dalam KBBI


CERPEN

Munafik

19 Februari 2012   10:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:28 372 0 0

Lihat foto

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari kecil, aku sudah banyak mendengarkan cerita tentang Tuhan. Dan saat aku
kecil, aku sangat tertarik pada Tuhan. Tuhan yang mereka bilang bisa
menyelamatkanku dari segala dosa, Tuhan yang mereka bilang bisa
menyembuhkan sakit-penyakitku, Tuhan yang mereka bilang bisa mengobati luka
hatiku.
Namun, seiring bertambahnya usiaku, ketertarikanku pada Tuhan mulai
berkurang. Entah kenapa, namun aku selalu merasakan itu. Aku selalu merasa,
percaya pada Tuhan adalah baik, namun tidak akan bisa membuatku berhasil
masuk ke dalam kelompok pertemanan yang selalu aku idam-idamkan.
Di usiaku yang masih remaja ini, aku selalu mengidam-idamkan kelompok
pertemanan yang ada di kelasku. Mereka terdiri dari beberapa orang, kurang
lebih lima belas, yang selalu berkumpul di sudut kelas dan melakukan hal-hal yang
menyenangkan. Aku selalu ingin bergabung dengan mereka. Karena itu, satu kali,
aku mencoba bergabung. Dan ternyata, rasanya jauh lebih menyenangkan dari
yang aku bayangkan.
Aku punya seorang sahabat. Aku mengajak sahabatku itu untuk ikut bergabung
bersamaku, bergaul dengan kelompok itu. Mereka semua menerimaku dan
sahabatku itu, pada awalnya. Lama-kelamaan, aku mulai merasakan sesuatu yang
tidak aku sukai. Mereka selalu menyalin PR-ku, memintaku mengerjakan tugas
mereka, meminta jawabanku saat ulangan, menjauhkanku dari sahabatku, dan
membawa pengaruh buruk bagi kehidupan rohaniku.
Aku tau aku salah, tapi aku merasa aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak
pernah suka dengan sikap mereka yang selalu menyalin jawaban ulanganku dan
memintaku membuatkan tugas mereka, namun aku tidak bisa menolak. Aku
hanya menyimpan kekesalanku terhadap mereka dalam hati karena aku tidak rela
kehilangan mereka. Aku takut, kalau aku tidak mengikuti apa yang mereka minta,
aku akan kehilangan mereka. Karena itu, aku terus berusaha berada di tengah-
tengah mereka meski aku harus bersikap munafik, pura-pura tidak masalah
padahal aku kesal pada mereka, dan tanpa sadar melupakan sahabatku.
Sejak aku mengenal mereka, aku menyadari bahwa salah satu sikap buruk yang
paling aku benci ada pada diriku. Aku selalu berteriak pada orang-orang, “Gue
benci sama orang munafik! Dia! Dia munafik! Gue benci sama yang kayak gitu!”
tapi kenyataannya, sekarang, orang yang aku benci ada dalam diriku. Aku menjadi
munafik, sangat munafik, dan aku sangat menyesali perkataanku tentang betapa
bencinya aku pada orang yang munafik.
Dulu, aku pernah mengalami penghianatan. Beberapa sahabatku ternyata tidak
menyukaiku. Mereka berteman denganku karena takut padaku. Selama dua tahun
mereka memasang topeng orang baik di hadapanku. Karena itulah aku benci pada
orang yang munafik.
Aku tidak pernah suka dimintai jawaban pada saat ulangan. Aku yang belajar,
mereka tidak. Namun nilai kami sama bagusnya. Aku tidak suka itu. Seharusnya
aku yang bagus, seharusnya aku yang pintar! Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa
memendam perasaan tak sukaku dalam hati, demi mempertahankan mereka ada
di sisiku.
Aku tidak pernah suka mereka mengajakku memainkan permainan yang tidak bisa
melibatkan sahabatku. Tapi aku bisa apa? Aku terpaksa melupakan sahabatku dan
berusaha menyamankan diri berada di tengah-tengah kelompok itu. Dan lama-
kelamaan, aku mulai kehilangan sahabatku itu.
Saat aku lebih memilih untuk bergaul dengan kelompok yang selalu aku idamkan
itu, sahabatku tampak tak suka. Ia sering mengatakan padaku, bahwa sejak aku
bergabung bersama kelompok itu, sikapku berubah. Aku menjadi lebih berandal
di kelas, dan aku mulai berani melawan perkataan guru. Aku mulai sering
berbohong pada guru dan membolos. Aku memang menyadari hal itu, tapi aku
bisa apa? Demi mempertahankan teman-teman menyenangkan yang saat ini ada
di sisiku, aku terpaksa melakukan itu. Aku terpaksa terlihat melakukan hal-hal
buruk itu dengan senang hati, padahal aku benci dengan hal-hal buruk itu.
Kehidupanku mulai buruk. Aku merasa aku semakin jauh dari Tuhan. Aku tau aku
salah, tapi, lagi-lagi, aku bisa apa? Aku terpaksa. Aku harus menjadi orang yang
munafik, baru mereka bisa menerimaku. Aku terpaksa melenceng dari jalan
kebenaran, kalau tidak, pertemanan yang aku impikan setiap saat itu akan lepas
dari genggamanku. Jadi, aku bisa apa?
Entah mengapa aku begitu bodoh. Sudah berkali-kali teman-temanku
menghianatiku, tapi aku tetap menerima mereka. Mereka sering
menuduhkumenyontek kalau kebetulan guru yang menjaga kelasku saat ulangan
memergoki teman-temanku menyalin jawaban dariku. Mereka juga sudah berkali-
kali tidak peduli saat aku dihukum karena tidak mengumpulkan tugasku karena
tugas milikku sudah kuberikan pada salah satu teman-temanku. Aku marah. Aku
selalu marah dan kesal, bahkan benci, diperlakukan seperti itu. Tapi aku tidak bisa
menunjukkan perasaanku yang sebenarnya pada mereka.
Aku terus hidup dengan kemunafikan di depan teman-temanku, sampai saat itu
datang.
Kelas kami mendapat tugas untuk membuat berita. Deadline tugas itu hari ini, dan
teman-temanku tidak ada yang membawa tugas berita. Mereka terlihat panik,
dan meminta tugasku. Aku jelas bingung. Lima belas orang meminta tugasku yang
hanya ada satu. Pada siapa akan kuberikan tugas ini?
“Kalian beli koran di seberang sekolah aja…” Ujarku. “Abis itu buru-buru buat
berita dari koran itu. Masih ada waktu satu jam pelajaran sebelum waktunya
pelajaran BI..”
“Kalau gitu, lo aja yang beliin!” Kata Renna, teman sebangkuku. Aku tersentak.
“Gue? Tapi kan lagi sekolah.”

“Terus?”
“Ya, masa gue mau bolos? Kalau bolosnya ke kantin masih mending, ini kan
bolosnya keluar sekolah. Kita kan nggak boleh keluar sekolah selama jam belajar,
kecuali istirahat.”
“Nggak pa-pa, Nin…” Kata Yoga yang duduk di belakangku. “Bantuin kita, dong…
Kita butuh banget. Lo kan pinter ngibul, lo bisa ngibul kalau kepergok guru. Udah
gitu, berita lo kan udah jadi, lo tinggal santai-santai. Kita kan masihmau siapin
yang lainnya. Bantuin kita beli koran, dong…”
Aku menggigit bibirku. Apa-apaan? Mereka menyuruhku untuk bolos? Aku
memang sudah berkali-kali membolos, tapi tidak pernah sampai keluar sekolah.
Mereka kira mereka siapa? Bisa menyuruhku seperti itu? Kenapa mereka selalu
mengorbankanku?
Tapi, lagi-lagi aku bersikap munafik. Aku pun tersenyum dengan senyum palsu
dan menjawab dengan bersemangat. “Oke! Buat kalian, gue bantuin, deh!”
“Wooowww!!! Nih, Nin, duitnya.” Robert memberiku uang dua puluh ribuan.
“Beliin kita koran masing-masing satu. Kalau bisa, jangan sama semua korannya.
Biar nggak ketawan.”
Aku mengangguk. “Okeh.” Kemudian, karena guru mata pelajaran yang
seharusnya saat ini mengajar di kelasku belum datang, aku berjalan keluar kelas
tanpa ijin pada ketua kelas. Aku berharap tidak ada yang melihatku dan
menanyaiku.
“Nina!”
Aku menoleh dan mendapati sahabatku, Viona, sedang berjalan cepat ke arahku.
“Lo mau kemana, Nin?”
“Ke seberang, beli koran.” Ujarku tak acuh.
Viona membelalakkan matanya. “Kan ini masih pelajaran! Itu sama aja namanya
lo kabur dari sekolah!”
“Itu mereka yang minta, Vi…” Kataku sambil menunjuk teman-temanku yang
duduk di pojok kelas. “Sebagai temen gue bantuin mereka.”
“Temen? Kalau mereka temen lo, mereka nggak akan berkali-kali celakain lo.”
Aku memutar bola mataku dengan jengkel. “Aduh, terserah lo deh. Gue buru-
buru. Tolong jangan kasih tau siapa-siapa, ya, Vi!” Lalu aku berlari menuju tangga
dan turun.
Andaikan Viona tau, aku juga berpikiran sama dengannya. Kalau mereka benar-
benar temen sejatiku, mereka tidak akan terus memfitnahku. Mereka tidak akan
menjerumuskan aku. Tapi aku begitu menginginkan pertemanan ini. Jadi, mau
tidak mau, aku harus melakukan ini.
Termasuk, menjauh dari sahabatku sendiri, Viona.
Maafin gue, Vi… Bagi gue, bertemen sama mereka jauh lebih berharga dari pada
bertemen sama lo…
“Ngapain kamu?!” Bentak seseorang. Ya ampun. Itu suara yang sangat tidak
kuharapkan. Aku menoleh dengan takut, dan ternyata dugaanku benar. Bu Rina,
wakil kepala sekolah, berdiri sambil bersedekap dan mendelik padaku.
Kakiku bergetar. Matilah aku.
“Kamu habis dari mana?”
Aku memberanikan diri menjawab, “Dari seberang.”
Tatapan mata Bu Rina semakin padaku semakin tajam. “Ngapain?!”
Aku mengangkat setumpuk koran di tanganku. “Beli koran.”
Bu Rina menggeram. “Kamu tau kan, ini masih jam pelajaran?! Kamu membolos!”

“Nggak, Bu!” Balasku dengan berani. “Saya cuma beli koran sebentar buat temen-
temen saya! Temen-temen saya yang nitip ke saya beliin koran!”

Bu Rina menyipitkan matanya. “Kamu kelas berapa?”

“8B.”
“Sekarang, kita ke kelas kamu.”
“Jadi,” Ujar Bu Rina. “Siapa yang menyuruh kamu beli koran ini di luar sekolah?”
Aku menelan ludah, kemudian menunjuk teman-temanku yang duduk di barisan
belakang.
Beberapa temanku, Renna, Yoga, Robert, Thomas, dan Shierra, tampak salah
tingkah. Mereka duduk dengan tidak nyaman di kursi mereka. Namun, beberapa
yang lainnya tampak santai-santai saja. Mereka tampak tidak peduli.
“Mereka yang menyuruh kamu keluar sekolah beli koran?” Tanya Bu Rina. Belum
sempat aku menjawab, tiba-tiba Renna menyela, “Apaan, sih?!”
Semua orang menoleh padanya. Renna bangkit berdiri dari kursinya. Ia
menatapku tajam. “Apaan, sih?! Nuduh-nuduh! Kalau lo emang mau bolos dari
sekolah ngaku aja! Jangan bawa-bawa kita!”
What?!
“Iya!” Yoga menimpali. Ia ikut bangkit dari kursinya. “Apaan coba lo, nuduh-
nuduh kita! Kalau emang lo yang salah, tunjuk diri lo! Jangan tunjuk orang lain
seenak jidat lo!”
WHAT???!!!!!
“Iya, tuh! Lo nggak bisa gitu dong, Nin!” Seru Robert, disusul dengan seruan-
seruan lainnya dari teman-teman kelompokku. Hanya Thomas yang tetap diam
meski wajahnya tampak tidak tenang. Aku terbelalak. Apa-apaan mereka? Mereka
yang memfitnahku! Aku benar-benar ingin menampar mereka semua!
“Stop!!!!” Bu Rina menghentikkan seruan dari teman-temanku itu. “Sekarang,
ngaku! Apa memang benar diantara kalian ada yang benar-benar menyuruh
Nina?”
Semua terdiam, bahkan teman-temanku. Kutatap mereka dengan tatapan putus
asa. Aku tau hukuman untuk orang yang membolos, apalagi kabur dari sekolah,
sangat berat.

“Jadi? Tidak ada?”


Dasar teman-teman menyebalkan!
Bu Rina menoleh padaku. “Ikut ke ruangan saya sekarang.”
“Kamu diskors.”
“Apa?” Aku terbelalak tidak percaya.
“Saya bilang, kamu diskors. Satu hari. Kamu masih harus datang ke sekolah. Kamu
datang ke sekolah, tapi besok seharian kamu hanya boleh duduk di depan ruang
guru, tidak boleh mengikuti pelajaran, dan kalau ada ulangan, kamu tidak boleh
mengikuti ulangan. Orang tua kamu juga harus datang besok. Dua-duanya. Papa
dan Mama kamu.”
Aku ternganga. Aku.. aku… aku diskors? DISKORS?! Aku, yang dulunya adalah
murid teladan dan tak pernah mendapat hukuman?!
Mataku mulai berkaca-kaca. Apa kata kedua orang tuaku, nanti?
“Sekarang kamu balik ke kelas kamu. Nanti surat untuk orang tua kamu bakal saya
kasih waktu pulang sekolah. Sekarang kembali ke kelas, dan lanjutkan belajar
kamu.”
Aku bergeming.
“Nina,” Panggil Bu Rina. Aku tidak berani menatap mata Bu Rina. Aku menunduk.
“Kembali ke kelas kamu.” Ujar Bu Rina dengan tegas. Setelah mendesah beberapa
kali, aku bangkit dari kursi di ruang wakil kepala sekolah kemudian keluar dari
sana.
Aku melangkah perlahan menuju tempat dudukku kemudian menghempaskan diri
dengan ke kasar di atasnya. Begitu bel istirahat, teman-temanku menghampiriku
dengan cepat.
“Ninaaaa…. Makasih banget ya, lo udah nolongin kita semua….” Ujar Shierra
sambil memelukku. “Kan memang mendingan satu orang yang dihukum dari pada
enam belas orang…”
Aku mendengus. Aku melepaskan tangan Shierra dari leherku dengan kasar.
Semua temanku terkejut. Selama ini mereka tidak pernah melihatku bersikap
seperti itu. Mereka mengenal aku yang baik, sabar, dan murah senyum. Mereka
tidak tau bahwa itu palsu.
Aku sudah tidak bisa pura-pura senang lagi sekarang. Aku sudah tidak bisa
menunjukkan topengku sekarang. Aku sudah tidak tahan.
Aku berdiri dan menghampiri Renna. Begitu sampai di hadapan Renna, dalam
sekali gerakan, aku menamparnya dengan keras.
Beberapa teman cewekku menjerit karena terkejut, termasuk Shierra. Renna
tersentak. Ia mengangkat wajahnya sambil memegang pipi kirinya yang merah
karena tamparanku.
Aku menatap teman-temanku dengan tajam. “Gue benci lo semua!” Bentakku.
“Lo semua penghianat! Pengecut! Harusnya, kita diskors bareng-bareng! Bukan
gue doang! Gue benci sama kalian!” Aku memukul meja di dekatku dengan keras
dan menendang kursiku sampai terjatuh. Lalu, aku melangkah dengan cepat
keluar kelas.
Aku berlari menuju sudut terpencil sekolah, kemudian meringkuk dan menangis di
situ. Aku menangis sejadi-jadinya. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Aku
menangis semakin keras dan semakin keras. Aku tidak khawatir orang-orang
mendatangiku karena mereka pasti tidak menyadari keberadaanku di sini. Tempat
ini sangat terpencil.
Aku memukul kepalaku sendiri dengan kepalan tanganku. Betapa bodohnya aku.
Selalu mengharapkan pertemanan palsu dari kelompok itu, sampai-sampai aku
terpaksa menjadi orang yang munafik. Aku terlalu merasa sendiri, sampai-sampai
aku tidak menyadari keinginanku untuk bergabung dengan kelompok yang
menyenangkan membuat ketertarikanku pada Tuhan berkurang. Membuat
kehidupan rohaniku memburuk. Membuatku semakin banyak melakukan dosa.
Membuatku semakin jauh dari Tuhan yang saat kecil sangat aku cintai.

Aku bahkan kehilangan sahabatku.


Betapa menyedihkannya hidupku!!!

“Nina,” Sebuah suara yang teduh menghentikkan tangisku. Aku menengadah,


menatap sosok seseorang yang sedang tersenyum padaku. Pandanganku kabur
karena air mata, namun, meski samar-samar, aku masih bisa melihat Viona
sedang menatapku dengan tatapan menenangkannya. Viona berjongkok di
sebelahku. “Jangan nangis lagi…”
Kalimat pendek yang Viona lontarkan membuat tangisku kembali pecah. Aku
kembali menangis, menangis semakin kencang. Badanku berguncang tak karuan,
membuat dadaku sesak. Saat aku mengangkat tanganku untuk menutup kedua
wajahku, aku merasakan pelukan hangat dari tubuh Viona. Viona sedang
memelukku, sambil mengelus punggungku dan berkata, “Nggak pa-pa.. Tenang…”
Aku menyesali pikiran egoisku dulu. Aku berpikir, percaya pada Tuhan tidak bisa
membantuku bergabung dengan teman-temanku yang, menurutku, bisa
membahagiakan aku. Kenyataannya, Tuhan sangat baik. Ia masih menyediakan
Viona. Ia masih menghadirkan Viona dalam hidupku. Temanku yang
sesungguhnya. Temanku yang penuh dengan kasih.
Ya Tuhan… Maafkan aku…
aku duduk sambil membaca majalah sekolah di sofa di depan ruang guru. Mataku
sembab karena habis menangis. Kemarin semalaman aku dimarahi habis-habisan
oleh orang tuaku, dan aku tidak bisa tidur karena menangis. Sekarang, kedua
orang tuaku sudah memaafkanku, dan hatiku juga sudah agak tenang.
Tiba-tiba, seseorang duduk di sebelahku. Aku menoleh dan mengerutkan
keningku. Thomas, sambil tersenyum kecil, duduk di sebelahku.
Aku melirik arlojiku. Masih pagi. Seharusnya sekarang ini Thomas berada di kelas
dan mengikuti jam pelajaran kedua.

“Ngapain lo di sini?”
“Di hukum.”

“Hukum?”
Thomas tertawa singkat. “Gue diskors. Sama kayak lo. Karna gue ngaku sama Bu
Rina gue yang nyuruh lo beli koran kemarin.”
Aku menatap Thomas sesaat, kemudian membuang muka. “Gue males ngomong
sama lo. Deket-deket sama lo dan temen-temen lo cuma bikin gue jadi orang yang
munafik.”
Thomas menatapku. “Lo nyalahin gue?”
“Iya.”
“Lo nggak bisa dong, melihat kesalahan dalam diri orang lain. Mata lo nggak boleh
tertuju sama kesalah orang terus, lo juga harus liat diri lo. Kenapa lo begitu
bodoh, mau diperalat sama gue dan temen-temen gue?”
Aku menoleh dan membalas tatapan Thomas. “Karna, gue begitu mengidam-
idamkan berteman sama kalian. Gue pengen banget jadi bagian dari kalian. Itu
yang udah bikin gue buta.”
Thomas mendesah pendek. “Jadi, sekarang lo udah nggak mau jadi bagian dari
gue dan temen-temen gue?”
Aku mengangguk mantap. Aku memang tidak mau lagi bergaul dengan Thomas
dan teman-teman yang lain. Mereka bukan teman yang sesungguhnya. Aku
heran, mengapa aku begitu ingin menjadi bagian dari mereka sampai melupakan
sahabat sejati yang sudah disediakan Tuhan padaku.
“Gue minta maaf.” Ujar Thomas mengejutkanku. “Gue terlalu nggak gentle buat
ngaku kemarin. Gue udah menyesal, dan hari ini gue minta maaf sama lo. Karna
itu juga, gue mau temenin lo di hukum di sini hari ini.”
Aku bergeming. Benarkah?
Perlahan, senyumku mengembang. “Gue maafin lo.”
Betapa baiknya Tuhan. Bahkan, setelah aku sempat jauh dan tidak mempercayai-
Nya lagi, Tuhan masih menyediakan hal yang menyenangkan hatiku. Selain Viona,
kini ada Thomas. Tuhan masih menyediakan seorang teman lagi untukku.
Terkadang, seseorang memang membutuhkan sesuatu untuk menyadarkan
dirinya bahwa ia tidak bisa sendiri di dunia ini. Ia membutuhkan orang-orang di
sekitarnya, dan.. Tuhan. Buktinya, Tuhan sudah menyediakan sesuatu yang baik
padaku.
Aku memang butuh Tuhan untuk bergaul, agar aku bisa membedakan mana yang
benar dan mana yang salah.
Tuhan memang baik
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Munafik", Klik untuk
baca:
Kreator: Hilel Hodawya
Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
=================================================================
Melanjutkan kecaman kemarin.
Ada dua kecaman yang dialamatkan kepada
Celaka lah
Karena hanya mmerlukan peraturan
Lupa ttg keadilan, belaskasih.
Yang bersifat batiniah itu sangat penting.
Bermulut manis. Mereka lupa kalau semua berasal dari Tuhan.
Kita juga terkadang bermulut manis sekedar menuntut perhatian orang. Kita
menuntut untuk bebagi, lupa.
Manusia memiliki jati diri.
Bermulut manis, semakin memuliakan Tuhan.
Menghindarkan kita
Intropeksi: Tidak peduli bagaimana kita di dapat
Dihadapan nya Tuhan mengenal dengan sungguh.
Inti beragama adalah iman. Yang melihat isi dan gerak hati kita.
Yesus mengharapkan kita murid-muridnya jujur dan tulus. Allah mengenal dengan
benar yang ada dalam hati kita, dan itulah yang paling utama.

Anda mungkin juga menyukai