Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS KASUS STAN DAN TAHAPAN PENERAPAN

PENDEKATAN TERAPI GESTALT

Disusun oleh :

Alya Pratiwi 1801617124

Annisa Alya Astri 1801617021

Ari Yudistira 1801617141

Cladita Azahra Yuliansyah 1801617050

Lina Dwi Eriska 1801617163

Rania Fadhila 1801617248

Sima Prakriti K 1801617217

Dosen Pengampu :

Dra. Gantina Komalasari, M. Psi

Santi Yudhistira, M. Psi.

Kelas : Rabu, 08.00

FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2019
ANALISIS KASUS STAN DAN TAHAPAN PENERAPAN

PENDEKATAN TERAPI GESTALT

1.1 Deskripsi Kasus

Stan datang ke sebuah komunitas mental health di mana tempat untuk konseling individual
dan kelompok. Stan datang untuk konseling mengenai masalah minum-minuman. Stan
pernah dihukum karena mengemudi dibawah pengaruh alkohol, dan hakim menentukan
bahwa Stan membutuhkan bantuan professional. Stan menyadari bahwa ia memiliki masalah,
namun ia tidak yakin bahwa ia kecanduan dengan alkohol. Stan tiba dan wawancara dengan
konselor untuk memberi beberapa informasi mengenai dirinya:

Pada saat ini saya bekerja di sebuah konstruksi. Saya suka tentang membangun
rumah, namun tidak ingin menetap selamanya dalam pekerjaan ini. Dalam kehidupan
pribadi, saya selalu kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. Saya bisa dipanggil
seperti penyendiri. Saya suka dengan orang lain, tapi tidak tahu bagaimana harus
memulai untuk dekat dengan orang. Hal itu mungkin ada hubungannya dengan
mengapa saya minum. Saya sangat tidak baik dalam memulai berhubungan dengan
orang lain. Alasan saya terkadang banyak minum karena saya takut untuk
bersosialisasi. Saya takut orang akan berpikiran bahwa saya tidak menarik. Saya ingin
merubah hidup saya, namun tidak tahu harus mulai darimana. Saya pun mulai
bersekolah lagi. Saya mahasiswa paruh waktu pada jurusan psikologi. Saya ingin
memperbaiki diri saya. Pada suatu kelas dalam mata kuliah psychology of personal
adjustment, kami berbicara tentang diri sendiri dan bagaimana seseorang berubah.
Kami juga membuat sebuah autobiografi.

Konselor berkata bahwa ia ingin membaca autobigrafinya. Stan berharap hal itu bisa lebih
memberi pemahaman pada konselor mengenai permasalahannya. Stan membawa
autobiografinya untuk dibaca oleh konselor.

Di mana saya saat ini dalam hidup ini? Pada umur 35 tahun saya merasa telah
membuang waktu di hidup saya. Saya harusnya sudah lulus kuliah dan sedang
berkarir, namun nyatanya saya masih junior. Saya tidak mampu untuk benar-benar
mendorong diri untuk kuliah full time karena saya harus bekerja untuk menghidupi
diri. Walaupun pekerjaan di konstruksi sulit, saya puas dengan apa yang telah saya
kerjakan.

Saya ingin terlibat pada pekerjaan yang bekerja dengan orang lain. Suatu hari saya
harap dapat mendapat gelar master dalam konseling atau sosial dan nantinya menjadi
konselor bagi anak yang bermasalah. Saya tahu saya juga ditolong orang lain untuk
permasalahan saya, namun saya juga ingin membantu orang lain.

Saya punya beberapa teman dan merasa takut kalau disekeliling banyak orang. Saya
merasa baik dengan anak-anak. Tapi saya juga tidak yakin apakah saya cukup pintar
untuk mengikuti semua kelas sehingga bisa menjadi konselor. Salah satu
permasalahan saya adalah saya sering mabuk. Ini terjadi ketika saya merasa sendirian
dan ketika saya takut dengan perasaan saya. Awalnya minum akan membantu, namun
kelamaan saya merasa buruk. Saya juga pernah menyalahgunakan obat-obatan.

Saya merasa terintimidasi ketika berhadapan dengan wanita yang menarik. Saya
merasa berkeringat dingin dan gugup. Saya berpikir mungkin mereka akan menilai
saya tidak sebagai pria. Saya takut saya dianggap tidak sebagai pria sejati. Ketika saya
berhubungan dengan seorang wanita, saya cemas dengan apa yang akan mereka
pikirkan tentang saya.

Saya merasa cemas sepanjang waktu. Saya merasa seolah-olah saya sekarat. Saya
berpikir untuk melakukan bunuh diri, dan melihat tidak ada yang peduli. Saya bisa
melihat keluarga saya datang ke pemakaman saya dengan perasaan bersalah. Saya
merasa bersalah bahwa saya tidak bisa bekerja menggunakan potensi, saya merasakan
kegagalan, dan menghabiskan banyak waktu hidup saya. Saya benar-benar
menyalahkan diri saya dan sangat depresi. Pada saat itu saya benar-benar putus asa
dan lebih baik untuk mati. Dalam semua alasa, saya merasa sangat sulit untuk
berhubungan dengan orang lain.

Ada beberapa titik terang. Saya menaruh masa lalu dibelakang, dan memulai kuliah.
Saya suka tekad dalam diri saya, saya ingin berubah. Saya lelah dengan apa yang saya
lakukan. Saya tahu tidak aka nada orang yang akan mengubah hidup saya. Hal itu
merupakan keputusan saya untuk berubah. Walaupun saya takut sepanjang waktu,
saya suka bahwa saya berani mengambil resiko.
Bagaimana masa lalu saya? Titik balik saya yaitu sebuah kepercayaan dari supervisor
saya di youth camp di mana saya bekerja pada saat musim panas. Dia yang membantu
saya mendapatkan pekerjaan dan mendorong saya untuk berkuliah. Dia berkata bahwa
saya memiliki potensi untuk bisa bekerja dengan baik bersama orang-orang muda.
Awalnya sulit bagi saya untuk percaya, namun keyakinan nya membuat saya
terinspirasi untuk mulai percaya pada diri saya. Titik balik lain hidup saya ketika saya
menikah kemudian bercerai. Pernikahan ini tidak berjalan lama, hal ini juga membuat
saya berpikir saya ini pria macam apa. Jocye merupakan wanita kuat dan dominan, ia
terus berkata bahwa saya tidak berguna dan tidak ingin ada didekat saya. Kami hanya
berhubungan seksual beberapa kali, dan kebanyakan saya tidak baik dalam
melakukannya. Hal itu sangat sulit diterima. Saya menjadi takut saat berhubungan
dengan wanita. Orang tua saya harusnya bercerai. Mereka bertengkar sepanjang
waktu. Ibu saya (Angie) sering mengkritis ayah saya (Frank Sr). Saya melihat ayah
saya sangat lemah dan pasif. Mereka memiliki empat anak. Orang tua saya sering
membandingkan saya dengan kakak perempuan saya (Judy) dan kakak laki laki
(Frank Jr). Mereka anak yang “sempurna”, selalu menjadi siswa yang sukses. Saya
sering bertengkar dengan adik (Karl). Mereka memanjakannya. Hal ini benar-benar
sulit bagi saya.

Saat SMA saya mulai menggunakan narkoba. Saya dibawa ke rehabilitasi remaja
karena mencuri. Setelahnya saya dikeluarkan dari sekolah, kemudian melanjutkan
sekolah lagi. Di mana pagi sekolah dan sorenya melakukan pekerjaan latihan. Saya
mulai menjadi mekanik, dan cukup sukses. Saya bekerja sebagai mekanik selama 3
tahun.

Saya masih ingat ketika ayah saya bertanya “Kenapa kamu tidak seperti saudara
perempuan dan laki-laki mu yang lain? Kenapa semua hal yang kamu lakukan tidak
pernah benar?” dan ibu saya memperlakukan saya seperti ia memperlakukan ayah
saya. Dia akan berkata: “kenapa kamu melakukan banyak hal yang menyakiti saya?
Kenapa kamu tidak bisa tumbuh dan menjadi seorang pria? Akan menjadi lebih baik
ketika kamu tidak ada di sini”. Saya ingat saya menangis sampai beberapa malam
sendirian. Tidak pernah ada obrolan tentang agama maupun sex dalam keluarga kami.

Di mana saya ingin jadi apa dalam 5 tahun dari sekarang? Ingin menjadi orang seperti
apa saya? Dari semuanya, saya ingin menjadi orang yang lebih baik bagi diri saya.
Saya ingin berhenti minum dan tetap merasa baik. Saya ingin lebih menyukai diri
saya daripada yang sekarang. Saya harap saya bisa mencintai beberapa orang, terlebih
lagi seorang wanita. Saya ingin menghilangkan ketakutan saya terhadap wanita. Saya
ingin merasa setara dengan orang lain sehingga saya tidak merasa bersalah atas
keberdaan saya. Saya ingin melepaskan kecemasan dan rasa bersalah. Saya ingin
menjadi konselor anak yang baik. Saya tidak yakin bagaimana akan berubah ataupun
perubahan apa yang saya harapkan. Saya tahu bahwa saya ingin bebas dari merusak
diri dan lebih memercayai orang lain. Mungkin ketika saya mulai menyukai diri saya,
saya mampu percaya bahwa orang lain akan menemukan sesuatu pada diri saya untuk
disukai.

1.2 Tinjauan Pustaka

Joyce dan Sill (dalam Komalasari & Wahyuni, 2018) mengungkapkan tahapan – tahapan
konseling dalam pendekatan gestalt, tahapan tersebut ialah :

1) Tahap Pertama (the beginning phase)


Tahap ini adalah proses untuk meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan
dialogis mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi konseli untuk
mengembangkan dukungan pribadi dan lingkungannya. Proses yang dilakukan dalam
tahap ini adalah menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk proses konseling,
mengumpulkan data, pengalaman, dan gambaran kepribadian konseli, mengidentifikasi
dan mengklarifikasi kebutuhan konseli, bekerjasama dengan konseli untuk membuat
rencana konseling.
2) Tahap kedua (clearing the ground)
Pada tahap ini konseli mengeksplorasi berbagai introyeksi, modifikasi kontak yang
dilakukan dan unfinished business. Proses pada tahapan ini adalah mengeksplorasi
introyeksi dan modifikasi kontak, mengatasi unfinished business, mendukung proses
katarsis konseli, dan terlibat secara terus menerus dalam hubunngan yang dialogis.
3) Tahap ketiga (the existential ecounter)
Pada tahap ini konseli mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat
perubahan – perubahan yang cukup signifikan. Pada tahap ini konseli menghadapi
perasaan terancam dengan perasaan kehilangan harapan untuk hidup. Pada tahap ini
tugas konselor adalah memberi dukungan dan motivasi.
4) Tahap keempat (integration)
Pada tahap ini konseli sudah mulai dapat mengatasi krisi – krisi yang dieksplorasi
sebelumnya dan mulai mengintegrasikan diri, pengalaman, dan emosinya dalam
perspektif baru. Konseli telah mampu menerima ketidakpastian, kecemasan, dan
ketakutan serta menerima tanggung jawab atas kehidupan dirinya.
5) Tahap kelima (ending)
Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa supervisi
konselor.

Teknik-teknik Konseling Gestalt

Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat digunakan untuk
mempertahankan orientasi pada masa sekarang dalam wawancara konseling, antara lain :

1. Kursi kosong

Teknik kursi kosong bertujuan untuk membantu konseli mengatasi konflik interpersonal
dan intrapersonal. Teknik ini membantu konseli untuk keluar dari proses proyeksi. Pada
teknik ini konselor menggunakan dua kursi. Konselor meminta konseli untuk duduk di
satu kursi dan berperan sebagai topdog. Kemudia berpindah ke kursi lainnya dan menjadi
underdog. Dialog ini dilakukan secara berkesinambungan pada dua peran tersebut.
Dengan teknik ini, introyeksi akan terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia
rasakan secara lebih real. Teknik ini membantu konseli untuk merasakan perasaannya
tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh (Corey, 1986) dalam
(Gantina,2018).

Greenberg dan Malcolm (2002) menjelaskan enam langkah dalam menggunakan teknik
kursi kosong, yaitu :

 Konseli mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished business.


 Konseli merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon.
 Konseli melakukan dialog sampai pada poin tercapainya resolusi untuk
menyelesaikan unfinished business.
 Konseli memahami unfinished business dari figure to ground dalam kesadaran
konseli.
2. Membuat serial (Making The Rounds)
Membuat serial adalah latihan gestalt yang melibatkan individu untuk berbicara atau
melakukan sesuatu kepada orang lain dalam kelompok, tujuannya adalah untuk
melakukan konfrontasi, mengambil resiko, untuk membuka diri, melatih tingkah laku,
dan untuk melakukan perubahan (Corey,1986) dalam (Gantina,2018).

Contoh : individu yang memiliki ketakutan untuk mempercayai orang lain. Konseli
diminta mengatakan kepada anggota lain dengan datang kepada mereka sambil berkata :
“saya tidak mempercayai kamu karena…” (Corey 1986) dalam (Gantina, 2018).

3. “Saya bertanggung jawab atas…” ( “ I take responsibility for…”)

Teknik ini bertujuan membantu konseli untuk menyadari dan mempersonalisasi perasaan
dan tingkah laku serta mengambilnya tanggung jawab atas perasaan dan tingkah lakunya.
Konseli diminta untuk mengisi bagian kosong sebagai cara mengevaluasi tanggung jawab
personal dan bagaimana konseli mengatur hidupnya. (Corey 1986) dalam (Gantina,
2018).

Contohnya : konseli diminta untuk berkata : “saya merasa kesepian dan saya bertanggung
jawab atas perasaan saya”. Latihan ini dapat membuka mata konseli yang biasanya
cenderung melihat orang lain sebagai sumber perasaan baik dan buruk (Corey 1986)
dalam (Gantina, 2018).

4. Bermain Proyeksi (Playing Projection)

Dimana proyeksi adalah individu melihat secara jelas kepada orang lain apa yang tidak
ingin dilihat dan menerima dalam dirinya. Individu tersebut berusaha keras untuk
menolak perasaannya dan menyalahkan orang lain atas kejadian yang terjadi pada dirinya.
Teknik ini biasa digunakan dalam setting kelompok, namun bisa juga diberikan pada
setting individual. Konselor meminta konseli yang sering berkata bahwa ia tidak dapat
mempercayai orang lain untuk bermain peran sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.
Dengan bermain peran, konseli tersebut diharapkan dapat menemukan tingkat
ketidakpercayaan kepada orang lain. Dengan kata lain, konselor meminta konseli untuk
berusaha mengukur berdasarkan kalimat yang dilontarkan tentang seberapa besar dan
berat tingkat kepercayaan (Corey 1986) dalam (Gantina, 2018).
5. Pembalikan ( Reversal Technique)

Teknik ini adalah bahwa gejala dan tingkah laku tertentu sering kali merepresentasikan
implus-implus yang ditekan dan laten pada dalam diri individu. Teknik ini bertujuan
unutk mengajak konseli untuk mengambil resiko terhadap ketakutan , kecemasan, dan
melakukan kontak dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak dan ditekan. Konselor
meminta konseli untuk melakukan tingkah laku yang kebalikan dari apa yang ia katakan.

Contohnya : konseli mengatakan bahwa ia tersiksa karena ia terlalu pemalu dan tidak
memiliki kepercayaan diri. Konselor meminta konseli untuk bertingkah laku seperti orang
yang penuh percaya diri (Corey 1986) dalam (Gantina, 2018).

6. Latihan Gladiresik ( The Reherseal Experiment )

Teknik ini diterapkan melalui permainan sharing. Individu diminta mengatakan pada
orang lain tentang fantasi-fantasi yang sering ia katakana dan ulang-ulang secara internal
dalam dirinya. Dengan mengatakan secara verbal kepada orang lain, konseli dapat
membedakan fantasi dan kenyataan serta dapat menguji coba tingkat ekspetasi orang lain.
Hal ini membuat konseli dapat mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan disukai
orang lain, serta seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk mencapainya (Corey
1986) dalam (Gantina, 2018).

7. Latihan Melebih-lebihkan (The Exaggeration Experiment)

Teknik ini membantu konseli untuk menajdi lebih sadar pada tanda-tanda bahasa tubuh.
Gerakan postur tubuh, ekspresi wajah dan gerakan tubuh menjadi sarana komunikasi yang
memiliki makna yang signifikan. Pada teknik ini, konseli diminta untuk mengulang
kembali secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring dengan
tingkah laku tertentu.

Contohnya : konseli yang selalu tersenyum menghadapi masalah, kecemasan dan


kesedihan. Konselor meminta konseli untuk berdiri dan tersenyum setiap konseli bertanya
atau berkata tentang hal-hal yang menyedihkan bagi konseli (Corey 1986) dalam
(Gantina, 2018).

8. Tetap pada Perasaan (Stay with the Feeling)


Pada teknik ini konselor meminta konseli untuk tetap pada perasaan ketakutan dan
kesakitan dan merasakannya pada proses konseling. Konselor mendorong konseli untuk
merasakan dan melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dalam menghadapi,
mengkofrontasi, dan mengalami perasaan tidak saja dapat membuat konseli menjadi lebih
berani tetapi juga membangkitkan keinginan untuk mengatasi kesakitan (Corey 1986)
dalam (Gantina, 2018).

9. Bahasa “Saya” (“I” Language)

Konselor mendorong konseli untuk menggunakan kata “saya” ketika konseli


mengeneralisasikan kata “ kamu” dalam berbicara. Contohnya ketika konseli berkata :
“kamu tau kan susah sekali untuk mengerti matematika”. Konseli diminta mengganti kata
kamu dengan saya, “ saya tau bahwa saya tidak mengerti matematika. Teknik ini
bertujuan untuk membantu konseli bertanggung jawab atas perasaan, pikiran, dan tingkah
lakunya (Thompson, 2004) dalam (Gantina, 2018).

1.3 Analisis Kasus STAN dengan Pendekatan Konseling

Terapis Gestalt berorientasi berfokus pada urusan yang belum selesai, STAN dengan
orang tua, saudara, dan mantan istrinya. Tampaknya urusan ini belum selesai terutama terdiri
dari perasaan kebencian, dan STAN ternyata benci pada dirinya sendiri. Situasi hidupnya
sekarang ini disorot, tapi ia juga mengalami kembali perasaan masa lalu yang mungkin
mengganggu dengan kegiatanya saat ini untuk mengembangkan keakraban dengan orang
lain. Walaupun fokusnya pada perilaku STAN ini, terapis membimbing dia menuju kesadaran
bagaimana membawa bagasi tua di sekitar yang mengganggu hidupnya saat ini. Tugasnya
membantunya dalam menciptakan kembali konteks dimana ia membuat keputusan yang tidak
baik sebelumnya. Pada dasarnya, STAN perlu belajar bahwa keputusannya tentang cara yang
selama bertahun-tahun di masa kecilnya mungkin tidak lagi sesuai. Salah satu keputusan
adalah: “Aku bodoh, dan akan lebih baik jika aku tidak ada. ” STAN telah dipengaruhi oleh
pesan budaya bahwa ia telah menerima. Penasihatnya tertarik dalam mengeksplorasi latar
belakang budayanya, termasuk nilai-nilai dan nilai-nilai karakteristik budayanya. Dengan
fokus, konselor dapat membantu Stan mengidentifikasi beberapa perintah-perintah budaya
berikut: “Jangan bicara tentang keluarga Anda dengan orang asing, dan tidak menggantung
pakaian kotor Anda di depan umum.” “Jangan menentang orang tua Anda karena mereka
layak hormati.” “Jangan terlalu khawatir tentang diri sendiri” “Jangan tampilkan kelemahan
Anda, menyembunyikan perasaan dan kelemahan anda.

Tantangan konselor STAN untuk memeriksa perintah yang tidak lagi fungsional.
Meskipun ia dapat memutuskan pertahanan aspek-aspek budayanya pemberian, dia juga
memodifikasi posisi harapan budaya tertentu. Tentu saja, ini akan dilakukan ketika masalah
muncul di latar depan karyanya. Terapis STAN mendorong dia untuk menghadiri kesadaran
di sesi awal. Dia bertanya, “Apa yang Anda alami saat kita memulai hari ini? “Saat ia
mendorong STAN untuk menyetel ke pengalamannya hadir dan selektif membuat
pengamatan, sejumlah angka-angka akan muncul. Tujuannya adalah untuk fokus pada figur
yang menarik, salah satu yang tampaknya terus energi yang paling atau relevansi untuk
STAN. Ketika angka diidentifikasi, tugas untuk memperdalam kesadaran STAN berpikir,
merasakan, sensasi tubuh, atau wawasan melalui terkait eksperimen. Terapis desain
eksperimen menciptakan kesadaran atau menciptakan kemungkinan hubungan antara STAN
dan dirinya sendiri. Tempat terapisnya nilai berlatih terapi gestalt dialogis, dan dia bertujuan
untuk sepenuhnya hadir dan tertarik untuk memahami dunianya. Dia memutuskan berapa
banyak pengungkapan diri untuk membuat keuntungan STAN dan untuk memperkuat
hubungan terapeutik.

Dalam gaya khusus gestalt, STAN berkaitan dengan pemberian perjuangannya dalam
konteks hubungannya dengan terapis, tidak hanya dengan berbicara tentang masa lalunya
atau dengan menganalisis wawasan, tapi dengan menjadi beberapa orang-orang yang
mengatakan kepadanya bagaimana berpikir, merasa, dan berperilaku sebagai seorang anak.
Dia kemudian bisa menjadi anak yang menanggap mereka dari mana, ia merasa kebingungan
atau sakit. Dia mengalami perasaan baru yang menyertai kepercayaan tentang dirinya, dan
datang ke apresiasi yang lebih dalam bagaimana perasaan dan pikirannya mempengaruhi apa
dilakukannya hari ini. STAN telah belajar untuk menyembunyikan emosinya daripada untuk
mengungkapkannya. Memahami tentang dia, konselornya mengeksplorasi keraguan dan
kekhawatiran tentang “Masuk ke perasaannya.” Dia mengakui bahwa ia ragu-ragu dalam
mengekspresikan emosinya dan membantu menilainya apakah ia ingin mengalaminya lebih
dalam dan mengungkapkannya lebih bebas. Ketika Stan memutuskan bahwa ia ingin
mengalami emosinya daripada menolak mereka, terapis bertanya: “Apa anda menyadarinya
sekarang yang mengatakan apa yang Anda lakukan?” Stan mengatakan bahwa ia tidak bisa
menghilangkan mantan istrinya keluar dari pikiran. Dia mengatakan kepada terapis tentang
rasa sakit yang ia rasakan atas hubungannya dan ia takut terlibat lagi supaya dia terluka.
Terapis terus memintanya untuk fokus ke dalam dan mendapatkan rasa menonjol baginya
pada saat ini. Stan menjawab: “Aku sakit hati dan marah atas semua rasa sakit yang saya
sudah timbulkan.” Dia meminta untuk membayangkan dirinya dalam adegan sebelumnya
dengan mantan istrinya, seolah-olah situasi yang menyakitkan yang terjadi disini dan
sekarang. Secara simbolis menghidupkan kembali dan kembali mengalami situasi dengan
berbicara “langsung” kepada istrinya. Dia mengatakan padanya kebencian dan rasa sakitnya
dan akhir bergerak ke arah penyelesaian urusan yang belum selesai dengannya. Dengan
berpartisipasi dalam penelitian ini, Stan yang mencapai lebih kesadaran apa yang di lakukan
sekarang dan bagaimana ia terus mengunci dirinya ke masa lalu. Follow up: Anda
melanjutkan sebagai terapis gestalt STAN gunakan pertanyaan-pertanyaan ini untuk
membantu Anda berpikir tentang bagaimana kerja Stan dengan menggunakan pendekatan
gestalt:

1. Bagaimana Anda memulai sesi dengan STAN ? Akan Anda menyarankan arah ia harus
mendahului ? Akankah Anda menunggu dia untuk memulai pekerjaan ? Apakah Anda
menanyai dia terus dari mana ia tinggalkan di sesi sebelumnya ? Maukah anda
menghadirkan tema apapun atau isu menjadi figural kepadanya ?
2. Urusan apa yang belum selesai dapat di identifikasi pada kasus STAN ? Apakah semua
pengalamannya terjebak mengingatkan tentang diri Anda? Bagaimana mungkin Anda
bekerja dengan StTAN jika dia membawa Anda sendiri ke urusan yang belum selesai ?
3. Terapis gestalt STAN menciptakan percobaan untuk membantu STAN dalam berurusan
dengan rasa sakit, kebencian, dan terluka atas situasi dengan mantan istrinya.
Bagaimana mungkin Anda bekerja dengan bahan STAN dibesarkan ? Apa percobaan
mungkin Anda desain ? Bagaimana Anda akan memutuskan jenis eksperimen untuk
membuat ?
4. Bagaimana Anda bisa bekerja dengan budaya pesan STAN ? Apakah Anda bisa
menghormati nilai-nilai budaya dan masih mendorongnya untuk membuat penilaian dari
beberapa cara budaya yang mempengaruhinya hari ini ?

1.4 Tahapan Penerapan Pendekatan Konseling pada Kasus STAN


Tahapan penerapan pendekatan konseling pada kasus STAN jika disesuaikan dengan
teori gestalt. Ada setidaknya 4 fase yang harus dilakukan oleh seorang konselor dan konseli
dalam proses konseling dengan menggunakan pendekatan Gesalt, yaitu:
1. Mengembangkan pertemuan konseling agar tercapai situasi yang memungkinkan
perubahan-perubahan yang diharapkan pada konseli Pada kasus STAN corey sebagai
terapis mengembangkan pertemuaannya dengan STAN untuk membangun sebuah
pola hubungan. Dan pola hubungan mereka dibangun lewat eksperimen
2. Konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan konseli untuk mengikuti
prosedur yang telah di tetapkan sesuai dengan kondisi konseli. Pada kasus STAN
corey berusahan unuk membuat STAN mengikuti prosedur yang ada.
Konselor juga menekankan kepada konseli bahwa konseli boleh menolak saran-saran
konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara bertanggung jawab.
3. Konselor mendorong konseli untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat ini,
konseli diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuata
pada masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Pada tahapan ini juga dilakukan
pada kasus STAN. STAN diminta untuk mengatakan apa yang ia rasakan dan ia ingin
katakan corey sebagai terapis mencoba
4. Setelah konseli memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran, perasaan,
dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan konseli memasuki fase akhir konseling
Pada fase ini konseli menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas
kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.
Sumber

Komalasari, G., & Wahyuni, E. (2018). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT Indeks.

Komaruddin. (2015). Terapi Gestalt dan Terapi Realiti. Diakses pada 12 November 2019,
dari https://kamaruddinbk.wordpress.com/2015/05/29/terapi-gestalt-dan-terapi-realiti/.
.

Anda mungkin juga menyukai