Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENDEKATAN KONSELING CINEMA THERAPY


(Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Pendekatan
Mutakhir dalam Konseling)

Dosen Pengampu:
Dr. Wirda Hanim, M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 4
Aisyah Fitria Nadin 1106620042
Annisya Cornellya P. R. 1106620036
Arif Rahmad Setiawan 1106620071

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, Tuhan
pemilik alam semesta karena hanya dengan rahmat-Nya, salah satu tugas dalam
mata kuliah ini yang dirangkum dalam sebuah makalah berjudul “Pendekatan
Mutakhir Dalam Konseling: Cinema therapy” bisa terselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Tidak lupa kami mengucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Dr. Wirda Hanim, M.Psi., selaku dosen pengampu yang telah
memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam proses
penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak diucapkan kepada rekan-
rekan mahasiswa/i prodi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Jakarta yang telah memberikan kontribusinya baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat selesai pada waktu
yang telah ditentukan.
Kami berharap makalah yang telah kami susun ini dapat membantu kita
dalam menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami menyadari bahwa di
dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami berharap kritik, saran serta usulan demi perbaikan masalah yang
kami buat, mohon maaf apabila para pembaca menemukan banyak kesalahan serta
kekurangan dalam karya tulis ilmiah ini. Akhir kata, terima kasih dan semoga
makalah ini dapat menambah informasi para pembaca mengenai pendekatan
mutakhir dalam konseling terkhusus mengenai Cinema therapy.

Jakarta, 24 Februari 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................4
2.1 Definisi Cinema therapy...........................................................................4
2.2 Sejarah Cinema therapy............................................................................5
2.3 Tujuan Umum dari Cinema therapy..........................................................6
2.4 Manfaat dari Cinema therapy....................................................................7
2.5 Jenis-jenis Film/Cinema yang dapat Digunakan dalam Praktik Cinema
therapy..................................................................................................................8
2.6 Pemilihan Film dalam Cinema therapy.....................................................8
2.7 Tahapan Dalam Pelaksanaan Praktik Cinema therapy............................10
2.8 Kelebihan dan Kekurangan menggunakan media Cinema......................14
2.9 Masalah yang dapat ditangani oleh Cinema Therapy.............................15
2.10 Perbedaan Cinema therapy dengan Terapi yang Lain.............................15
BAB III PENUTUP...............................................................................................17
3.1 Kesimpulan..............................................................................................17
3.2 Saran........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia merupakan individu yang senantiasa memiliki perubahan
kepribadian yang dinamis. Di samping itu, terdapat pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam prosesnya, kepribadian manusia
menghadapi tekanan pada kesehatan mentalnya. Perkembangan ilmu
pengetahuan menghasilkan satu produk berupa layanan yang dapat diberikan
kepada individu yang bermasalah dalam mentalnya. Layanan ini merupakan
salah satu bentuk layanan responsif yang ada di bidang bimbingan dan
konseling, layanan ini yaitu konseling.
Konseling merupakan layanan yang diberikan kepada konseli baik secara
individu maupun kelompok dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang
dilakukan oleh profesional yaitu seorang konselor, dengan tujuan untuk
menyelesaikan permasalahan konseli. Hal ini sesuai dengan pendapat Prayitno
(2004), bahwa konseling adalah kegiatan memberikan arahan kepada klien
termasuk membantu klien dalam menyelesaikan permaslahannya dan
merumuskan konseling sebagai proses seseorang membantu orang lain
meningkatkan pemahaman dan kemampuannya mengatasi masalah.
Berbagai pendekatan konseling mulai muncul dan berkembang.
Pendekatan konseling yang sering digunakan sejak lama yaitu REBT, CBT,
reality, behavioral, gestalt, dan lainnya. Pendekatan tersebut memiliki
kelemahan salah satunya yaitu mengharuskan individu untuk hadir dan
berbicara dalam setting wawancara. Tidak semua individu memiliki
keterampilan berbicara, mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada
orang lain, bahkan tidak ingin mudah terbuka dan percaya kepada orang lain.
Sehingga lahir suatu pendekatan untuk menjawab masalah tersebut, yaitu
pendekatan mutakhir dalam konseling.
Pendekatan mutakhir dalam konseling muncul karena perkembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang konseling, yang bertujuan untuk menangani

1
konseli melalui pendekatan yang lebih beragam dan mutakhir. Pendekatan
yang muncul juga bertujuan untuk melengkapi kekurangan beberapa
pendekatan kontemporer yang ada. Dengan adanya pendekatan mutakhir,
memungkinkan untuk konselor memakai banyak kacamatan dalam pendekatan
tertentu yang disesuaikan dengan pengentasan masalah seorang konselinya.
Salah satu pendekatan mutakhir dalam konseling yaitu cinema therapy.
Cinema therapy adalah salah satu bentuk terapi tambahan untuk masalah
kesehatan medis dan mental dan manajemen kehidupan. Hal ini juga
digunakan sebagai bentuk self-help. Intervensi cinema therapy dapat
digunakan untuk menangani beberapa kompleksitas perilaku remaja. Dengan
menonton film atau video dapat melibatkan kesadaran remaja, dapat
mengidentifikasi hubungan dengan situasi dan karakter dalam film yang
mengarah ke eksplorasi dan wawasan pribadi sambil menjaga jarak emosional
dari pengalaman stres.
Cinema therapy dapat menjadi intervensi yang kuat untuk penyembuhan
dan pengembangan bagi siapa saja yang terbuka untuk belajar bagaimana film
mempengaruhi individu (Wolz, 2005). Cinema therapy adalah intervensi
terapeutik yang memungkinkan klien menilai secara visual karakter-karakter
yang ada dalam film berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya, dan
masalah-masalah pribadi. Pendekatan konseling ini memiliki berbagai
keunggulan, diantaranya murah dalam segi pelaksanaan, pilihan film yang
beragam sehingga konselor maupun konseli memiliki banyak alternatif pilihan
film yang sesuai, dan berbagai kelebihan lainnya.
Meskipun pendekatan ini sudah ada cukup lama, namun masih banyak
orang yang belum mengenal dan menggunakannya sebagai pilihan utama.
Oleh karenanya, makalah ini dibuat untuk mengenalkan serta memahami
pendekatan cinema therapy mulai dari definisi, sejarah berserta tokohnya,
tujuan, manfaat, jenis-jenis film yang ada, pemilihan film dalam cinema
therapy, tahapan pelaksanaan, dan perbedaan pendekatan cinema therapy
dengan pendekatan lainnya.

2
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diperoleh beberapa rumusan masalah,
diantaranya yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Cinema therapy?
2. Bagaimana tahapan-tahapan dalam Pendekatan Cinema therapy?
3. Apa saja perbedaan antara Pendekatan Cinema therapy dengan
pendekatan terapi yang lainnya?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan pemahaman mengenai definisi dari pendekatan
Cinema therapy.
2. Untuk Mengentahui lebih dalam mengenai pendekatan Cinema therapy.
3. Untuk mengetahui perbedaan pendekatan Cinema therapy dengan
pendekatan terapi lainnya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Cinema therapy


Cinema therapy adalah salah satu bentuk terapi tambahan untuk masalah
kesehatan medis dan mental dan manajemen kehidupan. Hal ini juga
digunakan sebagai bentuk self-help. Intervensi cinema therapy dapat
digunakan untuk menangani beberapa kompleksitas perilaku remaja. Dengan
menonton film atau video dapat melibatkan kesadaran remaja, dapat
mengidentifikasi hubungan dengan situasi dan karakter dalam film yang
mengarah ke eksplorasi dan wawasan pribadi sambil menjaga jarak emosional
dari pengalaman stres.
Cinema therapy dapat menjadi intervensi yang kuat untuk penyembuhan
dan pengembangan bagi siapa saja yang terbuka untuk belajar bagaimana film
mempengaruhi individu (Wolz, 2005). Cinema therapy adalah intervensi
terapeutik yang memungkinkan klien menilai secara visual karakter-karakter
yang ada dalam film berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya, dan
masalah-masalah pribadi. Dengan Film dapat membantu memperkuat aliansi
terapeutik dengan komunikasi dan pengalaman antara klien dan terapis
(Gregerson, 2010, p. 92). Bahkan, penggunaan film dalam terapi
memungkinkan kita untuk menarik dari beberapa orientasi psikologis.
Pendapat beberapa tokoh terkait cinema therapy:
1. Film adalah media representasional
 Film adalah media representasional yang baik melaluio gaya maupun
isinya, mampu melambangkan berbagai pola perilaku (melalui aksi
karakter, plot tema, latar, dan lain-lain) yang dapat dianalisis dari
berbagai teori psikologi dan modalitas pengajaran (Gilbert P.
Mansergh).
2. Film sebagai penyembuhan
 Film adalah contoh nyata tentang bagaimana seni meniru kehidupan,
untuk memulai perjalanan yang perlu dilakukan adalah

4
mengidentifikasi film-film yang sesuai dengan masalah kehidupan
pribadi atau yang akan membantu mengasuh diri dan tumbuh. Film
akan membantu mengalami penyembuhan diri sendiri atau mendukung
anggota keluarga dan teman sepanjang jalan penyembuhan. (Gary
Solomon).
3. Film sebagai alat bantu diri untuk perubahan hidup
 Menonton film melihat bagaimana orang lain menangani suatu
siatuasi, merefleksi diri dari karakter yang digambarkan, film adalah
bantuan diri yang kuat dan terapi film yang menginspirasi dapat
membantu membangkitkan keberanian. (Cathie Glenn).
4. Film digunakan dalam proses terapi
 Film adalah metafora yang dapat digunakan dalam terapi dengan cara
yang mirip dengan cerita yang dibangun secara terapeutik. Karena film
membangkitkan perasaan mereka meningkatkan kemungkinan klien
akan melakukan perilaku baru dan yang diinginkan, memberi tahu
klien apa yang harus mereka lakukan dan wawasan afektif mereka
memberi motivasi untuk menindaklanjuti (Stephen S. Pearce).
 Video work adalah proses terapeutik dimana klien dan terapis
mendiskusikan tema dan karakter dalam film popular yang
berhubungan dengan isu inti terapi yang sedang berlangsung dalam
video work menggunakan film untuk memfasilitasi pemahaman diri
untuk memperkenalkan pilihan rencana tindakan dan benih intervensi
terapeutik di masa depan (John W Hesley & John Herley).

2.2 Sejarah Cinema therapy


Penggunaan sinema terapi pertama kali dilakukan oleh Linda Berg-Cross,
Pamela Jennings dan Rhoda Baruch pada tahun 1990 (Hass, 1995). Pada tahun
1947, Dr. Gary Solomon telah menemukan manfaat sinema dalam proses
terapeutik dan menggunakan film sebagai cara untuk menjangkau alam bawah
sadar orang. Cinema therapy diciptakan dan dipopulerkan oleh Dr. Gary
Solomon, yang pertama untuk menulis menggunakan film sebagai terapi.

5
Cinema therapy adalah sebuah proses dimana menggunakan film untuk tujuan
terapeutik (Solomon, 2001). Intervensi cinema therapy muncul sebagai hasil
metafora dari bibliotherapy yaitu menggunakan film atau video (audio-visual)
sebagai intervensi terapeutik dalam proses konseling.
Pada tahun 1998 ketika Hesley dan Hesley mulai menggunakan istilah-
istilah seperti video-work atau cineterapia (sinematerapi dalam bahasa Inggris)
dan mempopulerkannya dengan buku mereka Rent a couple of movie and see
you Tomorrow. Mereka mengusulkan kepada pasien menonton film atau
adegan yang mereka anggap sesuai untuk setiap kasus agar orang tersebut
dapat merasa diidentifikasi atau mengenali beberapa aspek dari diri mereka
sendiri dan yang mengarah pada refleksi lebih lanjut. Terapis lain seperti Ulus
(2003) memasukkan film secara teratur sebagai sumber daya untuk terapi
kelompok.

2.3 Tujuan Umum dari Cinema therapy


Tujuan utama dari Cinema therapy adalah untuk menyediakan secara
langsung pengalaman emosional terapeutik dengan klien. Film atau video
sudah akrab bagi kebanyakan orang, sehingga klien dan terapis dapat saling
berbagi pengalaman dimana membantu membangun hubungan terapeutik.
Dengan menonton film, konselor dapat memberikan pembelajaran yang
observasional kepada individu dengan sarana yang kuat dengan kesempatan
untuk memilih di antara sikap dan perilaku yang berbeda. Dengan demikian,
makna dalam film dapat menjadi bibit untuk pertumbuhan, membingkai ulang
masalah, dan memodelkan pemecahan masalah sehat yang dapat diterapkan
dalam kehidupan mereka sendiri (Newton dalam Gregerson, 2010, p. 92). Alur
cerita dari film mungkin tidak persis mewakili kehidupan setiap individu,
tetapi dapat berfungsi sebagai metafora yang merupakan aspek penting.
Metafora penting ini dapat menjadi komunikasi langsung yang mengarah pada
aspek kepribadian dan memungkinkan diskusi yang lebih terbuka.
Cinema therapy merupakan metode penggunaan film untuk memberi efek
positif pada klien. Masalah yang bisa diatasi dengan menggunakan cinema

6
therapy yaitu motivasi, hubungan, depresi, kepercayaan diri, dan sebagainya.
Namun tidak termasuk gangguan jiwa akut. Ketika menonton film, individu
merasa mengalami sendiri apa yang dirasakan tokoh-tokoh dalam cerita.
Melalui simbol-simbol yang biasanya ada dalam film, alam bawah sadar lalu
mencoba berkomunikasi dengan alam sadar.
Meskipun film digunakan untuk media terapi sebenarnya tidak
memecahkan masalah yang sebelumnya, tapi di sisi lain film membantu
individu untuk memahami masalah yang sebelumnya belum terpecahkan yang
mungkin selama ini mempengaruhi cara pandang dalam hidup. Alfred
Hitchock (dalam Wolz) mendefinisikan bahwa film adalah ilusi kehidupan
yang dilakukan dengan kadang menghilangkan bagian tertentu dalam
kehidupan tersebut.11 Hesley (dalam Byrd,) mengidentifikasi tujuan cinema
therapy atau "videowork" sebagai potensi sarana untuk membuka diskusi
dalam terapi.

2.4 Manfaat dari Cinema therapy


Terdapat beberapa manfaat penting dalam menggunakan Cinema therapy
sebagai alat terapi, yaitu:
1. Film dapat memberikan cara alternatif untuk menciptakan perubahan
dalam cara yang tidak mengancam.
2. Film memberikan kesempatan kepada klien untuk merasa aman dalam
menilai ide-ide dan perilaku alternatif.
Sedangkan menurut Hesley dan Hesley (1998) mengidentifikasi beberapa
manfaat terkait dengan penggunaan Cinema therapy, yaitu:
1. Murah dalam biaya pelaksanaan.
2. Film yang mudah diakses dan terdapat pilihan-pilihan yang tak terhitung
jumlahnya.
3. Terapis dapat menggunakan klien yang beragam, serta banyak masalah
yang dapat dieksplorasi. Pada akhirnya, klien sangat mungkin untuk
mematuhi jenis terapi, dan dengan mudah dapat meningkatkan hubungan
antara klien dan terapis.

7
2.5 Jenis-jenis Film/Cinema yang dapat Digunakan dalam Praktik Cinema
therapy
Menurut Effendy yang merupakan salah satu ahli dalam buku ilmu, teori
dan filsafat komunikasi membagi jenis-jenis film, diantaranya:
1. Film Cerita
Film Cerita (story film), yaitu jenis film yang menceritakan kepada
publik sebuah cerita. Sebuah cerita harus mengandung unsur-unsur yang
dapat menyentuh rasa manusia. Film yang bersifat audi visual, yang dapat
disajikan kepada publik dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dengan
suara yang dapat didengar.
2. Film Berita
Film Berita, film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi.
Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus
mengandung nilai berita (news value).
3. Film Dokumenter
Film dokumenter merupakan film yang mendokumentasikan suatu
kejaidan atau kenyataan dan fakta. Di dalam cerita film documenter, tidak
ada unsur fiktif yang sengaja dibuat, guna mendramatisir alur ceritanya.
4. Film kartun
Film kartun atau film animasi adalah film yang merupakan hasil dari
pengolahan ganmbar tangan, sehingga menjadi gambar yang bergerak,
kemudian disusun sesuai dengan storyboard sehingga menghasilkan satu
film animasi yang utuh.

2.6 Pemilihan Film dalam Cinema therapy


Film dapat digunakan untuk membantu atau merusak seseorang. Film yang
memiliki efek yang kuat pada jiwa seseorang, Solomon (dalam Wolz)
mengatakan bahwa ide dalam pemilihan film adalah memilih film yang
mencerminkan masalah konseli saat ini, Film yang akan dipilih untuk self-
help harus sesuai dengan konteks self-help seperti kecanduan, kematian,

8
ditinggalkan atau penyalahgunaan, dan masalah lainnya yang sesuai dengan
permasalahan konseli.
Menurut Wolz, sebuah film dapat dipilih dengan alasan yang berbeda-
beda, tiga diantaranya yaitu:
1. Menonton film bertujuan untuk memperoleh sebuah pertukaran pendapat
yang berfokus pada isu-isu khusus seperti kecanduan, mengatasi tantangan
hidup, mengejar passion, menemukan kekuatan dalam
kerentanan/kerapuhan, dan menemukan makna hidup.
2. Pesan alegoris (kiasan) dalam film yang dapat mendukung penyembuhan
dan perkembangan konseli. Oleh karena itu film dapat dipilih jika karakter
dalam film sesuai dengan kondisi konseli. Sesuai yang dimaksud misalnya
bisa dillihat dalam segi kegagalan karakternya, keinginan atau mimpi
karakternya, kehidupan karakternya, dan permasalahan lainnya. Semua ini
dimaksudkan sebagai cerminan diri dari konseli. Konseli biasanya akan
menyadari bahwa karakter film sangat mencerminkan dirinya.
Berdasarkan hal ini konseli mampu membandingkan dan membuat
penyesuaian yang sama atau mirip dengan karakter dalam film yang
dipilih.
3. Pilihlah film yang memiliki bagian yang dapat menyentuh secara
mendalam perasaan yang menontonnya. Dengan adanya bagian ini dapat
mempermudah proses sharing yang dilakukan para anggota kelompok
dalam group therapy. Seperti ketika mereka merasakan hal yang sama
pada bagian yang sama, atau mungkin memiliki perasaan yang berbeda
pada hal yang sama.
Menurut Wolz (2004), film yang dapat digunakan sebagai terapi memiliki:
a. Alur cerita
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun secara kronologis
dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah.
b. Naskah dialog

9
Naskah adalah karangan seseorang yang masih ditulis dengan tangan.
Sedangkan dialog adalah karya tulis yang disajikan dalam bentuk
percakapan antara dua tokoh atau lebih.
c. Gambar, warna, dan simbol
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani sim-ballein atau symbolos.
Simbol memiliki arti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu pada
seseorang. Sementara itu, dalam KBBI simbol atau lambang adalah
semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang
menyatakan sesuatu atau mengandung maksud tertentu.
d. Suara dan musik
Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia contoh saat
berbicara, bunyi binatang, dan juga alat perkakas. Suara juga merupakan
sistem tanda dalam film yang sangat penting.
e. Pergerakan/Gerakan
Kesan hidup dalam film terjadi karena pergerakan frame yang
ditampilkan dalam kecepatan tertentu.
f. Self-reflection
Merupakan arahan sebagai demonstrasi terutama pada film-film
inspirasional.

2.7 Tahapan Dalam Pelaksanaan Praktik Cinema therapy


Dalam cinema therapy terdapat beberapa tahapan atau langkah-langkah
seperti berikut (Gregerson, 2010):
1. Pengarahan
Mempersiapkan atau menyusun petunjuk membantu individu untuk
mempersiapkan diri. Hal ini juga dapat membantu individu untuk
menangkap kesan mereka, dan mampu mengingat mereka proses dalam
sesi menonton film. Dalam petunjuk ini dapat direkomendasi seperti; agar
tetap nyaman dalam menonton, memperhatikan posisi tubuh, mengatur
pernapasan guna untuk melepaskan ketegangan, dan hal terakit reaksi
pribadi yang terbentuk.

10
2. Pemilihan Film
Film dapat dipilih sendiri oleh individu atau kelompok atau oleh
praktisi. Film/video yang dipilih hendaknya memberikan yang pemahaman
diri, wawasan lebih besar atau yang bermanfaat. Terapis harus memilih
film yang dapat disesuaikan situasi individu, masalah, kebutuhan, dan
tujuan. Selanjutnya, yang menjadi pertimbangan lainnya adalah isu-isu
keragaman seperti latar belakang dan budaya. Misalnya, seperti
penyalahgunaan obat atau kekerasan dalam rumah tangga atau
memberikan model peran positif, menunjukkan pemecahan masalah, atau
menawarkan harapan dan semangat. Tidak semua film-film yang
digunakan dalam cinema therapy. Pemilihan film harus terhindar dari
konten yang tidak pantas, seperti pelecehan, kekerasan, atau konten
lainnya yang berpotensi menyinggung atau bertentangan dengan tujuan
terapi.
3. Penugasan “Pekerjaan Rumah”
Penggunaan pekerjaan rumah telah terbukti menjadi teknik yang
berguna dalam terapi. Menetapkan film utama sebagai pekerjaan rumah
dapat diterima dengan baik karena menonton film dianggap sebagai
aktivitas yang menyenangkan, dan melihat bisa dilakukan sendiri atau
bersama-sama atau dalam kelompok. Terapis harus mengajak bersama
mendiskusikan bagaimana reaksi terhadap film. Individu dapat menulis
reaksi mereka berupa catatan untuk digunakan dalam diskusi bersama.

Secara lebih terperinci, tahapan pelaksanaan cinema therapy


dikembangkan oleh Michael Lee Powell (2008) yang merupakan hasil
adaptasi dari Dermer, S. B., & Hutchings, J. B., yaitu:
1. Tahap Satu: Asesmen
a. Mengidentifikasi permasalahan dan menentukan tujuan dalam terapi.
b. Menilai dan mengetahui konseli dari segi kemampuan, keingintahuan,
kematangan, ketertarikan, kepentingan, kegiatan, aktivitas.

11
c. Menelaah kapasitas mental dan perkembangan emosi konseli dalam
memahami isi film, menangkap makna, serta mengenali persamaan
dan perbedaan antara konseli dan karakter.
d. Dalam pemilihan film, pertimbangkan isu-isu yang berkaitan dengan
budaya, ras, etnis, status sosial, ekonomi dan gender.
e. Setelah mendapatkan data asesmen, konselor dapat menggunakan film
yang sesuai, tepat dan cocok berdasarkan asesmen yang telah
dilakukan.
2. Tahap Dua: Persiapan
a. Tontonlah terlebih dahulu film yang akan digunakan dalam terapi,
agar konselor mengetahui dimana bagian-bagian penting dalam film
yang dapat ditelaah nantinya. Selain itu, kebanyakan film memiliki
adegan-adegan yang kurang pantas atau kurang penting seperti konten
seksual. Pada saat inilah konselor dapat mempersiapkan untuk
melakukan penanganan berupa mempercepat film agar adegan tidak
terlihat, atau langsung melompati ke bagian selanjutnya.
b. Dapatkan persetujuan atau izin dari wali (sebaiknya tertulis) untuk
menggunakan film pada konseli khususnya konseli yang masih anak-
anak dan remaja, karena terkadang setiap wali (orang tua) memiliki
pandangan yang berbeda terhadap apa yang cocok untuk anak mereka.
c. Rencanakan penampilan dengan mempertimbangkan waktu, lokasi,
siapa saja yang boleh ikut menonton, apakah semua bagian film akan
ditampilkan atau hanya memerlukan beberapa scene saja, apakah
membutuhkan persepsi dari konseli yang lain sehingga dalam bentuk
kelompok akan lebih baik.
d. Meyakinkan konseli untuk siap mengikuti terapi dengan cara
memberitahukan cinema therapy, menjelaskan mengenai cara kerja
dan keuntungannya bagi konseli sehingga konseli nantinya dapat
berpartisipasi hingga akhir.
3. Tahap Tiga: Implementasi
a. Tetapkan film.

12
b. Jadwalkan sesi di kemudian hari untuk proses menonton dalam terapi.
4. Tahap Empat: Mengelola Pengalaman
a. Setelah menonton film, konselor harus memproses reaksi konseli,
yaitu dengan mendiskusikan kesan keseluruhan dari konseli terhadap
film. Pada umumnya banyak orang yang menyenangi pembicaraan
mengenai film, khususnya film yang memang menarik untuk
dibicarakan, karena mereka dapat berbicara mengenai perasaan dan
persepsi dari karakter dalam film. Melalui diskusi ini diharapkan dapat
membantu menjembatani pertanyaan konselor mengenai perasaan dan
persepsi mereka sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan
oleh konselor seperti:
1) Apakah film dapat mempengaruhi kalian? Secara negatif atau
positif?
2) Apakah film memiliki pesan yang unik bagi kalian?
3) Apakah kalian mengalami sesuatu yang meneghubungkan diri
kalian dengan film yang ditonton?
4) Apakah ada karakter yang menarik atau tidak menarik menurut
kalian? Mengapa karakter tersebut menarik atau tidak menarik?
5) Apakah film ini mengingatkan kalian terhadap sesuatu?
6) Ceritakan mengenai karakter dalam film.
7) Bagaimana perasaan karakter dalam film?
8) Apakah masalah utama yang dialami oleh karakter dalam film?
9) Bagaimana cara karakter menyelesaikan permasalahannya?
10) Apakah ada solusi lain yang mungkin dapat digunakan oleh
karakter?
11) Bagaimana hubungan karakter utama dengan karakter lainnya?
Pendapat Hebert, bagian ini merupakan tahap identifikasi yang
terjadi ketika konseli mengenali kesamaan antara dirinya dan karakter
film. Kemudian mengalami katarsis dengan mengekspresikan emosi
yang mereka pikirkan pada kesamaan karakter film dengan yang
mereka rasakan.

13
b. Eksplorasi persepsi dan pemikiran konseli mengenai bagaimana film
berhubungan atau tidak dengan kehidupan konseli sendiri. Pada
kelompok cinema therapy, lembar kerja dengan pertanyaan terbuka
akan berguna selama fase ini, terutama ketika mereka dipasangkan
dengan satu sama lain. Menghasilkan ide-ide dengan konseli tentang
bagaimana informasi yang diperoleh dari film dapat membantu
mereka berpikir, merasa atau berperilaku berbeda. Sedangkan menurut
Hebert, bagian ini merupakan wawasan dimana kemajuan konseli
melalui identifikasi dengan karakter cerita dan situasi mereka pada
tahap sebelumnya. Pemahaman ini dapat berkembang sambil
menonton film atau dalam dialog yang dipandu dengan teman sebaya.
Selanjutnya tahapan akhir yaitu aplikasi dimana konseli menerapkan
wawasan yang diperoleh dari refleksi dan diskusi untuk tantangan
serupa dalam kehidupan mereka sendiri.

2.8 Kelebihan dan Kekurangan menggunakan media Cinema


1. Kelebihan
Kelebihan menggunakan media cinema berbentuk audio visual
menurut Sulaeman (1981), yaitu:
a. Selain bergerak dan bersuara, film dapat menggambarkan suatu
proses.
b. Dapat menimbulkan kesan tentang ruang dan waktu.
c. Tiga dimensional dalam penggambarannya.
d. Suara yang dihasilkan dapat menimbulkan realita pada gambar dalam
bentuk impresi yang murni.
e. Jika film itu suatu pelajaran, dapat menyampaikan suara seorang ahli
dan sekaligus memperlihatkan penampilannya.
f. Kalau film itu berwarna, jika autentik dapat menambahkan realitas
kepada medium yang sudah realistis itu.
g. Dapat menggambarkan teori sains dengan teknik animasi

14
2. Kekurangan
Selain kelebihan, tentunya media audio visual berbentuk film juga
memiliki kekurangan. Menurut Arsyad (2002), yaitu:
a. Film bersuara tidak dapat diselingi dengan keterangan-keterangan
yang diucapkan selagi film diputar.
b. Jalan film terlalu cepat, tidak semua orang dapat mengikuitinya
dengan baik.
c. Apa yang sudah lewat tidak dapat diulang kalau ada bagian film yang
harus mendapat perhatian kembali.

2.9 Masalah yang dapat ditangani oleh Cinema Therapy


Khoiriyati & Amalia (2019), mengungkapkan bahwa cinema therapy tidak
dapat menangani gangguan jiwa yang akut, namun dapat menangani beberapa
contoh masalah sebagai berikut.
1. Motivasi Belajar
2. Hubungan
3. Depresi
4. Kepercayaan diri
5. Harga diri

2.10 Perbedaan Cinema therapy dengan Terapi yang Lain


1. Art Therapy dengan Cinema therapy
Di dalam art therapy terdapat sosiotherapy (terapi drama) yang
tentunya berbeda dengan cinema therapy. Sosiotherapy lebih menekankan
peran aktif konseli sebagai pemeran drama, sedangkan cinema therapy,
konseli hanya sebagai penonton.
2. Bibliotherapy dengan Cinema therapy
Perbedaan kedua pendekatan ini berkaitan juga dengan sejarahnya.
Cinema therapy adalah hasil dari bibliotherapy. Bibliotherapy yang
menggunakan bahan bacaan seperti novel, drama, cerita pendek, dan buku
untuk membantu klien memecahkan masalah mereka. Sedangkan cinema

15
therapy menggunakan media film sebagai alat terapi. Peran terapis dalam
bibliotherapy adalah membantu klien dengan mengidentifikasi karakter
dalam bahan bacaan dan cerminan diri ke cerita, sama halnya dengan
cinema therapy yang mengidentifikasi karakter dalam sebuah film sebagai
“cermin” penonton terhadap masalah yang klien hadapi. Proses ini sering
mengakibatkan reaksi emosional dan mengubah pola pikir (Sharp, et. al,
2002).

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tujuan utama dari cinema therapy adalah untuk menyediakan secara
langsung pengalaman emosional terapeutik dengan klien. Dengan menonton
film, konselor dapat memberikan pembelajaran yang observasional kepada
individu dengan sarana yang kuat dengan kesempatan untuk memilih di antara
sikap dan perilaku yang berbeda.
Terdapat beberapa manfaat penting dalam menggunakan cinema therapy
sebagai alat terapi, yaitu: (a). Film dapat memberikan cara alternatif untuk
menciptakan perubahan dalam cara yang tidak mengancam, (b). Film
memberikan kesempatan kepada klien untuk merasa aman dalam menilai ide-
ide dan perilaku alternatif. Terdapat jenis-jenis film/cinema yang dapat
digunakan dalam praktik cinema therapy, yaitu: film cerita, film berita, film
dokumenter, dan film kartun.
Menurut Wolz, sebuah film dapat dipilih dengan alasan yang berbeda-
beda, tiga diantaranya yaitu: (1) Menonton film bertujuan untuk memperoleh
sebuah pertukaran pendapat, (2) Pesan alegoris (kiasan) dalam film yang dapat
mendukung penyembuhan dan perkembangan konseli, (3) Pilihlah film yang
memiliki bagian yang dapat menyentuh secara mendalam perasaan yang
menontonnya.

3.2 Saran
Sebaiknya, cinema therapy lebih dapat dikenalkan kepada khalayak ramai
terutama kepada mahasiswa ataupun calon konselor yang akan terjun ke dunia
kerja. Hal ini tentunya memperkaya pemahaman juga keterampilan seorang
konselor untuk menggunakan pendekatan konseling, salah satunya cinema
therapy. Selain itu, sebelum menggunakan teknik perlu adanya pehamanan
yang lebih expert dalam pendekatan tertentu agar pada pelaksanaannya

17
memperhatikan urgensi ataupun prosedur yang sesuai sehingga dapat
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Gregerson, Mary Banks (ed.). (2010). The Cinematic Mirror for Psychology and
Life Coaching. Springer Science+Business Media.
Khoiriyati, S., & Amalia, E. R. (2019). Efektifitas cinema therapy untuk
meningkatkan kepercayaan diri anak korban perceraian orang tua. Aulada:
Jurnal Pendidikan dan Perkembangan Anak, 1(2), 36-48.
Latifah, U. (2018). Efektivitas Teknik Cinema therapy untuk Meningkatkan
Penerimaan Diri Rendah Siswa Kelas VIII-A SMP Muhammadiyah 2 Kota
Kediri Tahun Pelajaran 2017/2018. Simki-Pedagogia, 2(4), 2-9.
Ningsih, A. M. (2016). Pengaruh penggunaan cinema therapy terhadap
peningkatan motivasi belajar siswa (studi kuasi eksperimen terhadap
siswa kelas XI di SMA Negeri 59 Jakarta) (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA).
Powell, M. (2008). Cinema therapy as a Clinical Intervention: Theoretical
Rationale and Empirical Credibility. Graduate Theses and Dissertations
Retrieved from https://scholarworks.uark.edu/etd/2984.
Prayitno, et.al. (2004). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pettry, D. (2014). Cinema therapy: An Idea for Recreational Therapists.
http://www.dannypettry.com/CTbook.pdf.
Sharp, C., Smith, J. V., & Cole, A. (2002). Cinema therapy: Metaphorically
promoting therapeutic change. Counselling psychology quarterly, 15(3),
269-276.
Sulaiman, A. H. (1981). Media Audiovisual Untuk Pengajaran, Penerangan dan
Penyuluhan. Jakarta: PT. Gramedia.
Suwanto, I., & Nisa, A. T. (2017). Cinema therapy sebagai intervensi dalam
konseling kelompok. Proceedings| Jambore Konselor, 3, 147-152.
Wolz, B. (2005). E-Motion Picture Magic: A Movie Lover's Guide to Healing and
Transformation. Centennial, Colorado: Glenbridge Publishing.Ltd.

19

Anda mungkin juga menyukai