Email : rizkiananda5815@gmail.com
Abstrak : This study aims to describe the importance of need assessment needs in
improving counselor performance and to describe counselor skills in credentialing
There are four important issues in standardizing the guidance and counseling
profession, namely: (1) epistemology, (2) professional ethics, (3) certification and
accreditation, and (4) credentialing. Epistemology concerns the scientific identity of
guidance and counseling. The professional ethics contained in the code of ethics are a
set of behavioral regulations for every person carrying out the guidance and counseling
profession. Certification is related to the process of counselor education and training
carried out by counselor education institutions. Counselor education programs and
implementation are based on competency standards set by the professional association
(ABKIN). Accreditation is carried out for individuals with respect to the competencies
mastered, and for institutions with respect to eligibility as counselor education
providers based on established criteria. Credentialing relates to the process of
conferring trust on professional counselors to provide independent services in the
community. The conferment of this trust is expressed in the form of a license.
A. Etik Profesi
Kekuatan dan eksistensi suatu profesi muncul dari kepercayaan publik (public
turst). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya dapat
diperoleh dari orang yang dipersepsikannya sebagai seorang yang berkompeten untuk
memberikan layanan itu. Public trust akan menentukan definisi profesi dan
memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Public trust
akan melanggengkan profesi, karena dalam public trust terkandung keyakinan publik
bahwa profesi dan para anggotanya itu:
(a) memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan
khusus dalam standar kecakapan yang tinggi. Kompetensi ini diuji melalui pendidikan
formal atau ujian khusus sebelum memasuki dunia praktek profesional. Para
profesional dipersyaratkan untuk menunjukkan kelanggengan kompetensinya yang
dibuktikan melalui ujian periodik;
(b) ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional dan melindungi
kesejahteraan publik. Aspek penting dalam hal ini adalah kepercayaan :
(1) adanya kodifikasi perilaku profesional sebagai aturan yang mengandung nilai
keadilan dan kaidah-kaidah perilaku profesional yang tidak semata- mata melindungi
anggota profesi tetapi juga melindungi kesejahteraan publik.
(2) bahwa anggota profesi akan mengorganisasikan dan bekerja dengan berpegang
kepada standar professional conduct. Diyaknini bahwa seorang profesional akan
menerima tanggung jawab mengawasi dirinya sendiri; mampu melakukan self
regulation. Dua aspek penting dari self regulation adalah: (i) melahirkan sendiri kode
etik, dan (ii) standar praktek
(c) anggota profesi dimotivasi untuk melayani orang-orang dengan siapa mereka
bekerja. Keyakinan ini barangkali paling rawan; menyangkut komitmen seorang
profesional terhadap nilai yang melintasi nilai-nilai kepentingan pribadi dan
motivasi finansial.
Pertanyaan etik tentang profesi berakar pada public turst yang mendefiniskan
profesi itu dan menjadi kepedulian utama seluruh anggota kelompok profesional.
Setiap saat perspesi publik terhadap profesi dapat berubah karena perilaku tidak etis,
tak profesional atau tak bertanggungjawab dari para anggotanya. Seorang konselor
profesional mesti menaruh kepedulian khusus terhadap klien, karena klien amat
rawan untuk dimanipulasi dan dieksploitasi. Etika konseling harus melibatkan
kesadaran dan komitmen untuk memelihara pentingnya tanggung jawab melindungi
kepercayaan klien (client trust). Seorang konselor harus menyadari akan
kemungkinan pengaruh tindakannya terhadap status klien pada saat ini dan yang akan
datang, dan harus mampu membuat judgmenmoral/etik.
Kode etik suatu profesi muncul sebagai wujud self-regulation dari profesi itu.
Suatu organisasi profesi harus mengembangkan kode etik secara fair. Kode etik
merupakan aturan yang melindungi profesi dari campur tangan pemerintah,
mencegah ketidaksepakatan internal di dalam suatu profesi, dan melindungi/
mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malpraktek. Kode etik propfesional
merupakan variabel kognitif yang penting yang akan mempengaruhi pertimbangan
etis dari seorang (konselor) profesional. Kode etik menyiapkan panduan berkenaan
dengan parameter etik profesi.
Kode Etik Konselor Indonesia yang telah dirumuskan dan disepakati, yang
perlu terus disempurnakan, memerlukan penegasan dalam implementasi dan
supervisi. Penegasan identitas profesi bimbingan dn konseling harus diwujudkan
dalam implementasi kode etik dan supervisinya. ABKIN harus dan perlu segera
menetapkan penerapan kode etik bagi para konselor di dalam menjalankan fungsi,
tanggung jawab, dan layanan profesional kepada masyarakat, disertai supervisi
berdasarkan standar yang disepakati. Saya berharap kongres ini dapat menetapkan
dan menyepakati implementasi Kode Etik Konselor Indonesia beserta mekanisme
supervisinya. Dewan Pertimbangan Kode Etik yang telah ada selama ini sebagai
kelengkapan organisasi ABKIN perlu segera diefektifkan untuk mengendalikan
regulasi perlikau profesional para konselor.
B. Pola Kredensialisasi
Izin praktek atau lisensi licensure adalah pemberian izin praktek untuk
menyeleng- garakan layanan ahli yag dkeluarkan oleh pejabat publik dalam bidang yang
relevan kepada pengampu layanan ahli yang telah dinilai kompeten contoh: Izin Praktek
dokter dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan dh Kanwil Depkes atas rekomendasi IDI
setempat, sehinga sosoknya tidak semata-mata administratif-birokratif meskipun, di
tanah air, juga tersembunyi sisi “perlin- dungan warung”. Sebelum diberlakukannya
kebijakan Sertifikasi Guru ini, di negara kita izin praktek secara de facto diberikan
berupa pengangkatan sebagai guru oleh pemerintah bagi calon guru yang telah memiliki
akta mengajar sebagai jaminan penguasaan kompetensi sertifikasi. Meskipun tentu saja
kurang konsisten secara konseptual, akan tetapi dalam praktek, kadang- kadang istilah
sertifikasi dan izin praktek itu dipertukarpakaikan; misalnya, kalau orang berbica- ra
tentang guru atau insinyur yang memiliki izin praktek licensed teacher atau licensed
engi- neer, maka dalam pemaknaannya juga harus terkandung pernyataan tentang guru
atau insinyur yang bersertifikat a certified teacher atau a certified engineer. Selain itu,
juga ditemukan praktek dimana makna kedua istilah digabungkan dalam arti sertifikat
sekaligus mengan-dung makna sebagai izin praktek atau license sebagaimana yang
diberlakukan di negara bagian Georgia di Amerika Serikat sejak dekade 1980-an dan
kemudian diikuti oleh sejumlah negara bagian lainnya. Untuk memperoleh izin praktek,
lulusan LPTK yang telah lulus ujian kompetensi akademik disana diwajibkan mengikuti
proses pemagangan dengan disupervisi oleh guru mentor selam satu tahun. Dalam
periode pemagangan tersebut selain diamati dan dibimbing oleh guru mentor, secara
formal guru magang yang bersangkutan diuji unjuk kerjanya dengan menggu- nakan the
teacher performance assesment instruments, suatu high-inference iinstrument yang 23
telah diadaptasi oleh Proyek Pengembangan Pendidikan Guru P3G dan dikenal luas
dikalangan LPTK. Apabila tidak berhasil lulus setelah dua kali asesmen formal, seorang
guru magang diberikan kesempatan kedua berupa perpanjangan masa magang selama
satu tahun. Kegagalan meraih lisensi dalam masa permagangan kedua ini, akan
menyebabkan guru magang yang bersangkutan itu akan di-blacklist untuk selama-
lamanya dibagian negara Georgia. Dari kajian singkat tentang tiga gagasan tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa pelun- curan berbagai kegiatan oleh instansi terkait
dalam rangka implementas ikebijakan serti-fikasi guru, memerlukan lebih dari sekedar
kemauan politik berupa penerapan ketentuan perundang- undangan serta penmyediaan
dana yang memadai untuk mewujudkan keadaan yang diharapkan itu. Sebaiknya dalam
rangka implementasi kebijakan sertifikasi guru itu dengan sebaik-baiknya oleh berbagai
instansi terkait sehingga membuahkan hasil sebagaimana diharapkan dalam arti
berpeluang membuahkan peningkatan mutu pendidikan melalui sistem persekolahan,
disamping diperlukan regulasi yang cerdas dan kapasitas pendukung yang handal, yang
sangat perlu ditum- buhkan budaya hirau mutu dan kesediaan bekerja keras untuk
meraih sertifikat yang diidam- idamkan itu.
E. Arah dan Sasaran Kredensialisasi
Penutup
A. KESIMPULAN
Bloom, John W. 1999. Credentialing Professional Counselor for the 21’ st sentury . NBCC &
ERIC/CASS
Arbuckle, Dugald S. (1958). “Five Philosophical Issues in Counseling”. dalam Beck. Carlton E.
(1971). Philosophical Guidanlines for Counseling. WM.C. Brown Co. Pub. Iowa. 13-17
S-1 Bimbingan dan Konseling” Jurnal Pendidikan dan pembelajaran, Vol. 17, No.
Biggs, Dolad A & Blocher, Donald H. (1986). The Cognitive Approach to Ethical Counseling. SUNY
At albany
Bloom, John W. (1996). Credentialing Professional Counselor for the 21st Century,
NBCC&ERIC/CASS.
Daubner, Edith Schell & Daubner, Edward (1969). “Epistemology and School Counseling”. dalam
Beck. Carlton E. (1971). Philosophical Guidanlines for Counseling. WM.C. Brown Co. Pub.
Iowa. 192-202