Anda di halaman 1dari 10

KREDENSIALISASI PROFESI KONSELOR

Rizki Ananda Lubis

UNIVERSITAS SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY

Email : rizkiananda5815@gmail.com

Abstrak : This study aims to describe the importance of need assessment needs in
improving counselor performance and to describe counselor skills in credentialing
There are four important issues in standardizing the guidance and counseling
profession, namely: (1) epistemology, (2) professional ethics, (3) certification and
accreditation, and (4) credentialing. Epistemology concerns the scientific identity of
guidance and counseling. The professional ethics contained in the code of ethics are a
set of behavioral regulations for every person carrying out the guidance and counseling
profession. Certification is related to the process of counselor education and training
carried out by counselor education institutions. Counselor education programs and
implementation are based on competency standards set by the professional association
(ABKIN). Accreditation is carried out for individuals with respect to the competencies
mastered, and for institutions with respect to eligibility as counselor education
providers based on established criteria. Credentialing relates to the process of
conferring trust on professional counselors to provide independent services in the
community. The conferment of this trust is expressed in the form of a license.

Kata Kunci: sertifikasi, akreditasi, kredensialisasi, etik

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pentingnya kebutuhan


need asesment dalam meningkatkan kinerja konselor dan menggambarkan keterampilan
konselor dalam melakukan kredensialisasi Ada empat isu penting dalam standarisasi
profesi bimbingan konseling yaitu:(1) epistemologi, (2) etik profesi, (3) sertifikasi dan
akreditasi, dan (4) kredensilisasi. Epistemologi menyangkut identitas keilmuan
bimbingan dan konseling. Etik profesi yang teruang dalam kode etik adalah perangakat
regulasi perilaku bagi setiap orang pengemban profesi bimbingan dan konseling.
Sertifikasi terkait dengan proses pendidikan dan pelatihan konselor yang dilaksanakan
oleh lembaga pendidikan konselor. Program dan pelaksanaan pendidikan konselor
didasarkan atas standar kompetensi yang ditetapkan asoisasi profesi (ABKIN).
Akreditasi dilakukan terhadap individu berkenaan dengan kompetensi yang dikuasai,
dan terhadap lembaga berkenaan dengan kelayakan sebagai penyelenggaran pendidikan
konselor berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Kredensialisasi berkenaan dengan proses
penganugerahan kepercayaan kepada konselor profesional untuk menyelenggaraan
layanan mandiri di masyarakat. Penganugerahan kepercayaan ini dinyatakan dalam
bentuk lisensi.
Pendahuluan

Keberadaan pelayanan konseling di dalam sistem pendidikan di Indonesi di


jalani melalui peroses yang panjang kurang lebih 40 tahun yang lalu. Pada pada saat
ini keberadaan pelayanan konseling dalam setting pendidikan, khusunya
persekolahan, telah memiliki legalitas yang kuat yang menjadi bagian terpadu dari
sistem pendidikan nasional, Pelayanan konseling telah mendapatkan tempat di
semua jenjang pendidikan, Dalam pendidikan, bimbingan dan komseling mewakili
hasrat masyarakat untuk membantu individu dalam mencapi perkembangan
yang optimal.
Menurut Wibowo mengemukakan bahwa pengakuan semacam ini terus
mendorong perlunya tenaga profesional konseling yang secara khusus perlu di
persiapkan dalam upaya penyelenggaraan pelayanan konseling.
Seiring dengan perkembangan profesionalisme konseling, profesi konselor,
menuntun akuntabilitas, tuntutan dunia kerja yang sadar mutu, dan perkembangan
wacana serta praktis penjaminan mutu tenaga bimbingan dan konseling di berbagai
negara. Pengembangan kredensialisasi konselor meliputi standar kompetensi
konselor, standar pendidikan konselor, setifikasi, akreditas dan lisensi konselor,serta
kode etik profesi konselor dan implenetasinya merupakan langkah strategis dalam
rangka profesionalisasi dan proteksi profesi konselor di indonesia.
Pembahasan

A. Etik Profesi

Kekuatan dan eksistensi suatu profesi muncul dari kepercayaan publik (public
turst). Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya itu hanya dapat
diperoleh dari orang yang dipersepsikannya sebagai seorang yang berkompeten untuk
memberikan layanan itu. Public trust akan menentukan definisi profesi dan
memungkinkan anggota profesi berfungsi dalam cara-cara profesional. Public trust
akan melanggengkan profesi, karena dalam public trust terkandung keyakinan publik
bahwa profesi dan para anggotanya itu:

(a) memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan
khusus dalam standar kecakapan yang tinggi. Kompetensi ini diuji melalui pendidikan
formal atau ujian khusus sebelum memasuki dunia praktek profesional. Para
profesional dipersyaratkan untuk menunjukkan kelanggengan kompetensinya yang
dibuktikan melalui ujian periodik;

(b) ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional dan melindungi
kesejahteraan publik. Aspek penting dalam hal ini adalah kepercayaan :
(1) adanya kodifikasi perilaku profesional sebagai aturan yang mengandung nilai
keadilan dan kaidah-kaidah perilaku profesional yang tidak semata- mata melindungi
anggota profesi tetapi juga melindungi kesejahteraan publik.
(2) bahwa anggota profesi akan mengorganisasikan dan bekerja dengan berpegang
kepada standar professional conduct. Diyaknini bahwa seorang profesional akan
menerima tanggung jawab mengawasi dirinya sendiri; mampu melakukan self
regulation. Dua aspek penting dari self regulation adalah: (i) melahirkan sendiri kode
etik, dan (ii) standar praktek

(c) anggota profesi dimotivasi untuk melayani orang-orang dengan siapa mereka
bekerja. Keyakinan ini barangkali paling rawan; menyangkut komitmen seorang
profesional terhadap nilai yang melintasi nilai-nilai kepentingan pribadi dan
motivasi finansial.

Pertanyaan etik tentang profesi berakar pada public turst yang mendefiniskan
profesi itu dan menjadi kepedulian utama seluruh anggota kelompok profesional.
Setiap saat perspesi publik terhadap profesi dapat berubah karena perilaku tidak etis,
tak profesional atau tak bertanggungjawab dari para anggotanya. Seorang konselor
profesional mesti menaruh kepedulian khusus terhadap klien, karena klien amat
rawan untuk dimanipulasi dan dieksploitasi. Etika konseling harus melibatkan
kesadaran dan komitmen untuk memelihara pentingnya tanggung jawab melindungi
kepercayaan klien (client trust). Seorang konselor harus menyadari akan
kemungkinan pengaruh tindakannya terhadap status klien pada saat ini dan yang akan
datang, dan harus mampu membuat judgmenmoral/etik.

Kode etik suatu profesi muncul sebagai wujud self-regulation dari profesi itu.
Suatu organisasi profesi harus mengembangkan kode etik secara fair. Kode etik
merupakan aturan yang melindungi profesi dari campur tangan pemerintah,
mencegah ketidaksepakatan internal di dalam suatu profesi, dan melindungi/
mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malpraktek. Kode etik propfesional
merupakan variabel kognitif yang penting yang akan mempengaruhi pertimbangan
etis dari seorang (konselor) profesional. Kode etik menyiapkan panduan berkenaan
dengan parameter etik profesi.
Kode Etik Konselor Indonesia yang telah dirumuskan dan disepakati, yang
perlu terus disempurnakan, memerlukan penegasan dalam implementasi dan
supervisi. Penegasan identitas profesi bimbingan dn konseling harus diwujudkan
dalam implementasi kode etik dan supervisinya. ABKIN harus dan perlu segera
menetapkan penerapan kode etik bagi para konselor di dalam menjalankan fungsi,
tanggung jawab, dan layanan profesional kepada masyarakat, disertai supervisi
berdasarkan standar yang disepakati. Saya berharap kongres ini dapat menetapkan
dan menyepakati implementasi Kode Etik Konselor Indonesia beserta mekanisme
supervisinya. Dewan Pertimbangan Kode Etik yang telah ada selama ini sebagai
kelengkapan organisasi ABKIN perlu segera diefektifkan untuk mengendalikan
regulasi perlikau profesional para konselor.

B. Pola Kredensialisasi

Kredensialisasi adalah penganugerahan kepercayaan kepada konselor


profesional yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan
memperoleh lisensi untuk menyelenggarakan layanan profesional secara indipenden
kepada masyarakat maupun di dalam lembaga tertentu. Lisensi diberikan oleh
ABKIN atas dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku untuk masa waktu
tertentu dan dilakukan evaluasi secara periodik untuk menentukan apakah lisensi
masih bisa diberikan. Pemberian lisensi diberikan atas hasil asesmen nasional yang
dilakukan ABKIN melalui Badan Akreditasi dan Kredsialisasi Konselor
Nasional. Seorang konselor tidak secara otomatis memperoleh kredensial, kecuali
atas dasar permohonan dan melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat
atau sekolah.
Untuk kepentingan kredensialisasi pada masa transisi ini ABKIN merancang
pola kredensialisasi seperti berikut:
1. Para Guru Besar dan Doktor Bimbingan dan Konseling yang memiliki latar
belakang Sarjana/S1 dan S2 Bimbingan dan Konseling diberi kesempatan untuk
mengajukan permohonan kredensial, dengan melalui asesmen sesuai dengan ketentuan
dan standar yang ditetapkan ABKIN. Kelompok ini dapat menyelenggarakan layanan
indipenden di masyarakat. Terhadap kelompok ini ABKIN bisa saja memberikan
penganugerahan khusus berdasarkan kriteria yang ditetapkan ABKIN.
2. Para konselor profesional lulusan Program Pendidikan Profesi Konselor diberikan
kredensial atas dasar permohonan melalui asesmen yang ditetapkan ABKIN.
Kelompok ini dapat menyelenggarakan layanan indipenden di masyarakat.
3. Para lulusan Magister Pendidikan (S2) dalam bidang bimbingan dan konseling
dengan latar belakang S1 bimbingan dan konseling, dapat memperoleh lisensi setelah
melakukan layanan kemasyarakatan dalam periode waktu tertentu dan melaui
asesmen khusus.
4. Para lulusan progam S1 Bimbingan dan Konseling diberi kewenangan khusus untuk
layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
5. Para lulusan S2 Bimbingan dan Konseling yang berlatar belakang S1 bukan
bimbingan dan konseling tidak diberikan lisensi sebagai konselor tapi bisa diberi
kewenangan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
6. Para lulusan S3 (Doktor) Bimbingan dan Konseling dengan latar
belakang S2 Bimbingan dan Konseling tapi bukan berasal dari S1 bimbingan dan
konseling bisa dipertimbangkan memperoleh lisensi setelah melaksanakan layanan
profesional tersupervisi dan melalui asesmen khusus.
Pola tersebut perlu dikaji dan dituangkan dalam sistem kredensialisasi dan
menjadi standar nasional. Ada beberapa hal yang perlu ditetapkan sebagai ketentuan
kredesialisasi,diantaranya:
1. Prosedur aplikasi yang diajukan pemohon kepadaABKIN
2. Standar asesmen yang dilakukan ABKIN untuk mengukur kelayakan memperoleh
lisensi
3. Penganugerahan predikat konselor berdasarkan asesmen
4. Rentang waktu keberlakuan lisensi
C. Jenis - Jenis kredensialisasi

Pengujian dan pemberian tanda bukti yang dimaksudkan itu dilakukan


berdasarkan aturan kredensial yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berwenang.
Aturan kredensial itu meliputi pemberian sertifikasi, akreditasi, dan lisensi.

1. Sertifikasi memberikan pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi


untuk melaksanakan pelayanan konseling pada jenjang dan jenis setting tertentu, setelah
lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga profesi
konseling yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

2. Akreditasi memberikan derajat penilaian terhadap kondisi yang telah dimiliki


oleh satuan pengembang dan/atau pelaksana konseling, seperti Program Studi
Bimbingan dan Konseling di LPTK, yang menyatakan kelayakan program satuan
pendidikan atau lembaga yang dimaksud.

3. Lisensimemberikan ijin kepada tenaga profesi bimbingan dan konseling untuk


melaksanakan praktik pelayanan bimbingan dan konseling pada jenjang
dan setting tertentu, khususnya untuk praktik mandiri (privat).

D. Ijin Praktek Kredensialisasi

Izin praktek atau lisensi licensure adalah pemberian izin praktek untuk
menyeleng- garakan layanan ahli yag dkeluarkan oleh pejabat publik dalam bidang yang
relevan kepada pengampu layanan ahli yang telah dinilai kompeten contoh: Izin Praktek
dokter dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan dh Kanwil Depkes atas rekomendasi IDI
setempat, sehinga sosoknya tidak semata-mata administratif-birokratif meskipun, di
tanah air, juga tersembunyi sisi “perlin- dungan warung”. Sebelum diberlakukannya
kebijakan Sertifikasi Guru ini, di negara kita izin praktek secara de facto diberikan
berupa pengangkatan sebagai guru oleh pemerintah bagi calon guru yang telah memiliki
akta mengajar sebagai jaminan penguasaan kompetensi sertifikasi. Meskipun tentu saja
kurang konsisten secara konseptual, akan tetapi dalam praktek, kadang- kadang istilah
sertifikasi dan izin praktek itu dipertukarpakaikan; misalnya, kalau orang berbica- ra
tentang guru atau insinyur yang memiliki izin praktek licensed teacher atau licensed
engi- neer, maka dalam pemaknaannya juga harus terkandung pernyataan tentang guru
atau insinyur yang bersertifikat a certified teacher atau a certified engineer. Selain itu,
juga ditemukan praktek dimana makna kedua istilah digabungkan dalam arti sertifikat
sekaligus mengan-dung makna sebagai izin praktek atau license sebagaimana yang
diberlakukan di negara bagian Georgia di Amerika Serikat sejak dekade 1980-an dan
kemudian diikuti oleh sejumlah negara bagian lainnya. Untuk memperoleh izin praktek,
lulusan LPTK yang telah lulus ujian kompetensi akademik disana diwajibkan mengikuti
proses pemagangan dengan disupervisi oleh guru mentor selam satu tahun. Dalam
periode pemagangan tersebut selain diamati dan dibimbing oleh guru mentor, secara
formal guru magang yang bersangkutan diuji unjuk kerjanya dengan menggu- nakan the
teacher performance assesment instruments, suatu high-inference iinstrument yang 23
telah diadaptasi oleh Proyek Pengembangan Pendidikan Guru P3G dan dikenal luas
dikalangan LPTK. Apabila tidak berhasil lulus setelah dua kali asesmen formal, seorang
guru magang diberikan kesempatan kedua berupa perpanjangan masa magang selama
satu tahun. Kegagalan meraih lisensi dalam masa permagangan kedua ini, akan
menyebabkan guru magang yang bersangkutan itu akan di-blacklist untuk selama-
lamanya dibagian negara Georgia. Dari kajian singkat tentang tiga gagasan tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa pelun- curan berbagai kegiatan oleh instansi terkait
dalam rangka implementas ikebijakan serti-fikasi guru, memerlukan lebih dari sekedar
kemauan politik berupa penerapan ketentuan perundang- undangan serta penmyediaan
dana yang memadai untuk mewujudkan keadaan yang diharapkan itu. Sebaiknya dalam
rangka implementasi kebijakan sertifikasi guru itu dengan sebaik-baiknya oleh berbagai
instansi terkait sehingga membuahkan hasil sebagaimana diharapkan dalam arti
berpeluang membuahkan peningkatan mutu pendidikan melalui sistem persekolahan,
disamping diperlukan regulasi yang cerdas dan kapasitas pendukung yang handal, yang
sangat perlu ditum- buhkan budaya hirau mutu dan kesediaan bekerja keras untuk
meraih sertifikat yang diidam- idamkan itu.
E. Arah dan Sasaran Kredensialisasi

Sertifikasi, akreditasi, dan lisendi diberikan kepada perorangan, kelompok, atau


lembaga pengembang dan/atau pelaksana konseling, yaitu: 1. Sertifikasi kepada Sarjana
(S-1) Konseling untuk bekerja pada setting pendidikan. 2. Lisensi kepada Konselor
(umum dan spesialis) untuk membuka praktik mandiri (privat). 3. Sertifikasi kepada
Magister (S-2) dan Doktor (S-3) Konseling untuk menyelenggarakan kegiatan akademik
(seperti mengajar, melatih, dan meneliti) dalam bidang konseling. 4. Sertifikasi kepada
alumni pelatihan konseling tertentu untuk kegiatan-kegiatan khusus dalam bidang
konseling. 5. Akreditasi kepada lembaga pendidikan konseling untuk menyelenggarakan
pendidikan tenaga profesi konseling, baik yang bersifat prajabatan maupun dalam-
jabatan. 6. Akreditasi kepada lembaga pelayanan konseling di masyarakat, untuk
melakukan praktik pelayanan kepada warga masyarakat luas, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun pihak lain.

Penutup

A. KESIMPULAN

Kredensialisasi adalah penganugerahan kepercayaan kepada konselor profesional


yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan memperoleh
lisensi untuk menyelenggarakan layanan profesional secara indipenden kepada
masyarakat maupun di dalam lembaga tertentu. Lisensi diberikan oleh ABKIN atas
dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku untuk masa waktu tertentu dan dilakukan
evaluasi secara periodik untuk menentukan apakah lisensi masih bisa diberikan.
Pemberian lisensi diberikan atas hasil asesmen nasional yang dilakukan ABKIN
melalui Badan Akreditasi dan Kredsialisasi Konselor Nasional. Seorang konselor
tidak secara otomatis memperoleh kredensial, kecuali atas dasar permohonan dan
melakukan secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.
Referensi

Wibowo, M. E, 2015. “ Standarisasi Profesi Konseling ” Materi Seminar Konvensi Nasional


XXIV dan Kongres Nasional XX ABKIN, Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Bloom, John W. 1999. Credentialing Professional Counselor for the 21’ st sentury . NBCC &
ERIC/CASS

Arbuckle, Dugald S. (1958). “Five Philosophical Issues in Counseling”. dalam Beck. Carlton E.
(1971). Philosophical Guidanlines for Counseling. WM.C. Brown Co. Pub. Iowa. 13-17

Gladding. S. T. 2012, Konseling Profesi yang menyeluruh, Jakarta : Indeks.

Hidayah, Nur . 2010 “Process-Audit dalam Penyelenggaraan Pendidikan Akademik Jenjang

S-1 Bimbingan dan Konseling” Jurnal Pendidikan dan pembelajaran, Vol. 17, No.

Biggs, Dolad A & Blocher, Donald H. (1986). The Cognitive Approach to Ethical Counseling. SUNY

At albany

Bloom, John W. (1996). Credentialing Professional Counselor for the 21st Century,

NBCC&ERIC/CASS.

Daubner, Edith Schell & Daubner, Edward (1969). “Epistemology and School Counseling”. dalam

Beck. Carlton E. (1971). Philosophical Guidanlines for Counseling. WM.C. Brown Co. Pub.

Iowa. 192-202

Anda mungkin juga menyukai