OLEH :
NAMA : Fadillah Mutia
NIM :19031073
PROGRAM STUDI : Pendidikan Biologi
Konseling adalah proses pemberian layanan bantuan yang pelaksanaannya dilandasi oleh
pengetahuan profesional. Sehingga dapat dipahami bahwa penyuluhan tidak dapat
dilakukan dengan sembarangan, tetapi konselor harus memiliki keahlian khusus.
Keterampilan tersebut tidak hanya terbatas pada kompetensi profesional, yaitu bagaimana
konselor mampu memahami dan mengaplikasikan teori layanan konseling, tetapi secara
lebih luas konselor harus memenuhi dirinya dengan kompetensi personal, sosial, dan
pedagogik. Berdasarkan ciri-ciri yang telah diuraikan di atas, maka setiap konselor karier
harus dibarengi dengan pelaksanaan tugasnya dengan etika khusus. Etika dalam proses
konseling telah diatur dalam bentuk kode etik profesi sehingga konselor dapat dengan
mudah memahami, menghayati, dan melaksanakannya.
Menurut Sunaryo Kartadinata (1998), kode etik adalah regulasi dan norma perilaku
profesional yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi dalam menjalankan tugas
profesi dalam kehidupannyadi dalam masyarakat.
Menurut Abkin (2006: 94) kode etik merupakan suatu aturan yang melindungi profesi dari
campur tangan pemerintah, mencegah ketidaksepakatan internal dalam suatu profesi, dan
melindungi atau mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malapraktik. Selanjutnya
Abkin juga mengemukakan bahwa kekuatan dan eksistensi suatu profesi muncul dari
kepercayaan publik. Etika konseling harus melibatkan kesadaran dan komitmen untuk
memelihara pentingnya tanggung jawab melindungi kepercayaan klien.
Abkin mengemukakan bahwa penegasan identitas profesi bimbingan dan konseling harus
diwujudkan dalam implementasi kode etik dan supervisinya. Sunaryo Kartadinata (1998)
menjelaskan bahwa penegakan dan penerapan kode etik bertujuan untuk (1) menjunjung
tinggi martabat profesi; (2) melindungi masyarakat dari perbuatan malapraktik; (3)
meningkatkan mutu profesi; (5) menjaga standar mutu dan status profesi, dan (6)
penegakan ikatan antara tenaga profesi dan profesi yang disandangnya.
Kode etik bimbingan dan konseling yang ada di Indonesia sebagaimana disusun oleh
ABKIN (2006: 69), memuat hal-hal berikut:
Menjadi guru bimbingan dan konseling tidak cukup hanya mengandalkan syarat-syarat
yang telah ditentukan, akan tetapi untuk menjadi guru bimbingan dan konseling diperlukan
pemahaman yang mendalam tentang etika memberikan layanan terhadap peserta didik.
Etika sendiri adalah sebuah prinsip moral, etika suatu budaya yang dianut dan
aturan-aturan tentang tindakan yang berkenaan dengan perilaku suatu kelompok atau
organisasi.
Seperti yang kita ketahui sebelumnya, kode etik bimbingan dan konseling adalah
seperangkat standar, peraturan, pedoman, dan nilai yang mengatur mengarahkan perbuatan
atau tindakan dalam suatu perusahaan, profesi, atau organisasi bagi para pekerja atau
anggotanya, dan interaksi antara para pekerja atau anggota dengan masyarakat.
Adapun ruang lingkup kode etik sebagai guru bimbingan dan konseling meliputi hal-hal
yang berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki, kewenangan, dan kewajiban profesi
bimbingan dan konseling, serta cara-cara pelaksanaan layanan yang dilakukan dalam
kegiatan profesi. Berdasarkan ruang lingkup tersebut, hal-hal pokok yang harus
diperhatikan oleh seorang konselor antara lain:
Kode etik ini menjadi panduan dan landasan kerja setiap guru bimbingan dan konseling
dalam memberikan pelayanan kepada setiap peserta didik. Sehingga, setiap perilaku dan
kegiatan layanan yang diberikan guru bimbingan dan konseling bersumber pada kode etik
profesi bimbingan dan konseling (Rahardjo, 2018).
Perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling dituntut
untuk mencetak konselor atau guru bimbingan dan konseling yang profesional. Hal ini
sesuai dengan apa yang disampaikan oleh salah satu mahasiswa bimbingan dan konseling
yang memiliki persepsi awal, bahwa bimbingan dan konseling sangat penting bagi dunia
pendidikan, karena bimbingan dan konseling sebagai tempat konsultasi bagi peserta didik,
serta tempat peserta didik mendapatkan penjelasan yang detail tentang kepribadian,
kehidupan sosial, cara belajar yang baik, karier studi lanjut dan pekerjaan. Sehingga, ia
berharap agar penyelenggara program studi bimbingan dan konseling di pendidikan tinggi
dikelola lebih baik dari waktu ke waktu.
Kode etik bimbingan dan konseling di Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman
tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan, dan diamankan oleh setiap
anggota Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.[ Ibid., 8] Pertanyaannya, apakah
orang yang bertugas memberi layanan bimbingan dan konseling belum atau tidak menjadi
anggota ABKIN berarti tidak perlu mengamalkan kode etik? Apakah kode etik hanya
wajib dipatuhi oleh anggota dan pengurus organisasi profesi bimbingan dan konseling
(ABKIN) saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dimulai dari penjelasan kata
”anggota” ABKIN.
Dalam Anggaran Rumah Tangga ABKIN Bab III diatur tentang keanggotaan. Ada tiga
keanggotaan ABKIN, yaitu anggota biasa (bab III Pasal 4); anggota luar biasa (Bab III
pasal 5); dan anggota kehormatan (Bab III pasal 5). Jika dicermati penjelasan ketiga
keanggotaan ABKIN tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap individu yang mempunyai
ijazah di bidang bimbingan dan konseling dan atau sedang mengikuti pendidikan bidang
bimbingan dan konseling, serta menjalankan tugas atau jabatan yang berhubungan dengan
bimbingan dan konseling, baik dalam latar pendidikan maupun latar masyarakat wajib
mematuhi kode etik profesi bimbingan dan konseling.
Pertanyaan selanjutnya, apa sanksi bagi mereka yang tidak mematuhi kode etik profesi
bimbingan dan konseling tersebut? dan siapa yang berwenang memberi sanksi terhadap
konselor yang melanggar kode etik? Dalam kode etik BK dinyatakan bahwa “Pelanggaran
terhadap kode etik akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia”. Bentuk-bentuk sanksi sebagaimana yang
disebutkan di atas dalam pelaksanaannya tidak selalu berjalan mulus. Hal itu disebabkan
oleh adanya rasa solidaritas yang tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi.
Seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan
pelanggaran. Secara umum sanksi pelanggar kode etik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
sanksi moral dan sanksi dikeluarkan dari organisasi. Sanksi moral misalnya merasa
bersalah, krisis atau hilang rasa percaya diri, dsb. Sedangkan sanksi organisasi yang lebih
efektif dan mudah dikontrol. Sekurang-kurangnya ada lima bentuk sanksi bagi pelanggar
kode etik profesi konselor, yaitu:
Daftar Referensi