Anda di halaman 1dari 3

Resensi Buku Soe Hok Gie oleh Arief Budiman

Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, Soe
Hok Gie. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti
akan merasa kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini. Kedua,
karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya
secara obyektif. Saya terlalu terlibat di dalam hidupnya. Karena itu, untuk pengantar
buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri
almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain
juga yang membaca buku ini.
Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah
dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa
gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak
orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak
musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak
mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat
kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya?
Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguhsungguh kesepian.
Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di korankoran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat
kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya
pulang ke negerimu saja. Ibu saya sering gelisah dan berkata: Gie, untuk apa semuanya
ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang. Terhadap ibu dia cuma
tersenyum dan berkata Ah, mama tidak mengerti.
Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju mereka selalu dihalangi untuk bertemu. Orangtua gadis itu adalah seorang pedagang yang
cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia. Kepada saya, Hok Gie
berkata: Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si., saya
merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya tanpa
tulisan-tulisan saya. Tetapi kalau anaknya diminta, dia pasti akan menolak. Terlalu besar
risikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri
saya.
Karena itu, ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya: Gie seorang
intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, Selalu. Mula-mula, kau
membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan
lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan
terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terusmenerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang
intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan. Surat ini dia tunjukkan
kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: Ya, saya siap.

Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak
gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang dia kerjakan adalah mengirim bedak dan pupur
untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka
bisa berdandan dan dengan begitu akan tambah cantik di muka penguasa. Suatu tindakan
yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman
mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.
Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat
yang terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang
sahabatnya yang sangat karib. Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya
berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa
di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya
diikat dengan tali, digantungkan pada sebatang kayu yang panjang, Kulitnya tampak
kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berpikir: Tentunya sepi
dan dingin terbungkus dalam plastik itu. Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit
Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya alah apakah hidupnya sia-sia saja?
Jawabannya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta.
Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya,
apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab Tidak. Mengapa? Dia cerita,
tukang peti mati, ketika dia ke sana bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya
menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. Soe Hok Gie
yang suka menulis di koran? Dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang
peti mati menangis. Sekarang giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya,
mengapa si tukang peti mati menangis, tapi yang ditanya terus menangis dan hanya
menjawab Dia orang berani. Sayang dia meninggal.
Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian
ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk-duduk di lapangan
rumput. Pilot yang mengemudikan pesawat tersebut duduk bersama kami. Kami
bercakap-cakap. Kemudian bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah
Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: Saya kenal namanya. Saya
senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa
berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus. Saya memandang ke arah cakrawala yang
membatasi lapangan terbang ini dan hayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang
ada di balik awan sana. Apakah suara yang perlahan dari penerbang AURI ini bergema
juga di ruang hampa tersebut?
Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan
Kebon jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram,
karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika
orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar
belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang
mengetik membuat karangannya. Pernahkan dia membayangkan bahwa karangan
tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di
Malang?

Tiba-tiba, saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di
dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan
berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari
banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan
membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu
sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan
untuk berkata Ya atau Tidak, meskipun Cuma di dalam hatinya.
Saya terbangun dari lamunan saya ketika saya dipanggil naik pesawat terbang. Kami
segera akan berangkat lagi. Saya berdiri kembali di samping peti matinya. Di dalam hati
saya berbisik Gie, kamu tidak sendirian. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau
tidak apa yang saya katakan itu. Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras.

Anda mungkin juga menyukai