Anda di halaman 1dari 207

1.

The Unforgiven

Ketika jenazah anakku—Loka—diturunkan, aku hampir tak dapat melepaskan diri dari berbagai
delusi mengenai kehidupan dalam dunia alternatif lain. Aku berandai-andai, bagaimana Loka
hanya mempermainkanku, mengagetkanku dari belakang ketika memanggil-manggil namanya,
membuatku melompat tinggi.

Loka menertawaiku, sedangkan aku, dengan jantung yang berdegup kencang, merasa malu karena
telah dipermainkan oleh seorang anak yang bahkan umurnya belum genap berusia dua puluh tahun.

Aku marah, meneriakinya, kemudian mengetuk pelan kepalanya dengan sebelah tanganku,
memberikan kalimat-kalimat brengsek yang tak disukainya. Mungkin, di dunia alternatif itu, aku
benar-benar marah, tetapi hal yang berbeda terjadi di tempat ini. Aku malah menginginkan
kejadian seperti itu. Aku akan lebih senang untuk jatuh tersungkur akibat terkejut, mendengar
teriakan Loka yang memang sengaja dilakukannya untuk mengagetkanku. Aku benar-benar
berharap kejadian itulah yang menimpaku pada malam kemarin, tetapi tentu waktu tak dapat
diputar kembali. Jadi, aku hanya merekam ulang kejadian-kejadian yang tak pernah terjadi itu di
dalam otakku.

Ketika butiran-butiran pasir kembali menutupi lubang yang telah digali, saat itu pula orang-orang
memberikan salam terakhirnya untuk Loka. Kemudian, beberapa di antara mereka pulang,
meninggalkan gundukan tanah yang penuh dengan taburan bunga. Aku sendiri memilih untuk
tinggal lebih lama, begitu pula dengan beberapa orang yang ikut mengantar Loka ke dalam
peristirahatan terakhirnya.

Hampir semua rekan kerjaku datang, Wijaya pun termasuk ke dalamnya. Lilia—istri Wijaya—tak
absen untuk menampakkan wajahnya, sekadar untuk menghormatiku. Riska—adik tiri Wijaya—
tak dapat hadir karena sedang sekolah.

Selain itu, beberapa teman Loka—masih dengan menggunakan seragamnya—menjadi perwakilan


atas utusan sekolah dalam menghormati salah satu kepergian anak didik mereka. Dua orang
perempuan dan dua orang laki-laki, tetapi aku tidak kenal betul dengan mereka. Yang jelas, aku
pernah melihat si anak laki-laki menjadi teman nongkrong Loka ketika ia masih duduk di kelas
sepuluh dan sebelas. Namun, aku tak ambil pusing.

Tetangga-tetanggaku datang melayat. Aku merasa cukup bersyukur karena setidaknya mereka
memiliki rasa kepedulian atas kepergian Loka, walaupun tetap harus ditemani dengan desas-desus
tak mengenakkan khas omongan-omongan tetangga. Mulai dari sekadar merasa sedih atas
kepergian Loka, hingga membuat hipotesis bahwa seorang penjahat keluar dari penjara, kemudian
membunuh Loka untuk membalaskan dendamnya padaku.

Sungguh, aku tak mengerti dengan cara berpikir mereka. Tak bisakah mereka mengunci mulutnya
untuk sementara? Walaupun harus kuakui, mungkin ada benarnya juga, sih.

Ketika pemakaman sudah semakin sepi, menyisakan aku, Wijaya, dan istrinya, hampir
kukeluarkan air mata yang telah kutahan selama ini. Aku tak ingin terlihat cengeng, aku tak dapat
membiarkan orang-orang melihatku sebagai orang yang hiperbolik. Jadi, selalu kutegaskan dalam
diriku bahwa semua orang pada akhirnya akan mati, meninggalkan orang-orang yang dicintainya,
walaupun tentu aku tetap tak dapat menerimanya karena kematian Loka bukanlah kematian yang
wajar.

Mengenai profesi yang kujalani, jelas aku pernah melihat berbagai macam orang yang kehilangan
anggota keluarganya secara tak wajar, bagaimana mereka menangis, menginginkan keadilan, dan
kini aku berada dalam posisi mereka. Namun, jika mereka bisa mengadu kepada kami, meminta
kami untuk menyelesaikan kasusnya, kemudian memaksa kami untuk membuat keadilan sesuai
dengan keinginan mereka, bagaimana denganku? Apa aku harus mengadu pada diri sendiri? Lalu
jika aku ingin orang itu mati, bukankah orang-orang hanya akan melihatku sebagai polisi payah
yang bertindak sesuka hati? Aku harus tetap bertindak profesional, berperilaku sesuai prosedur,
dan tentu akan sangat menyebalkan. Bagaimana jika si pembunuh hanya dijatuhi hukuman lima
belas tahun penjara? Dia bisa melenggang bebas setelahnya ketika Loka akan tetap terkubur untuk
selamanya.

Wijaya menghampiriku, menepuk bahuku dua kali tanpa berbicara apapun. Ia hanya tersenyum
kecil, membuatku membalas senyumannya. Dan seperti biasa, tanpa perlu bercakap pun aku tahu
jelas bahwa dia mengingatkanku untuk tidak terlalu larut dalam suasana. Aku sendiri tak akan
menyangkal keinginannya itu. Mungkin memang seharusnya seperti itu, kan?

Kematian yang menimpa Loka sendiri pada akhirnya dikategorikan ke dalam kasus pembunuhan,
bukan bunuh diri. Lehernya yang patah jelas menunjukkan bahwa dia tidak mati tenggelam,
kehabisan napas akibat air yang terus menerus masuk ke dalam paru-parunya. Namun, kasus itu
tak menjadi penangananku. Seorang rekan kerjaku—AKP Rama—dipilih untuk memimpin
pengusutan kasus ini, sesuai dengan keputusan Komisaris Yudha. Ah, ya, biarpun sebenarnya aku
telah berada dalam posisi yang sama dengan Komisaris Yudha, aku masih belum terbiasa untuk
menganggapnya setara denganku. Padahal, beberapa tahun lalu kami pun pernah bekerja sebagai
rekan, tetapi rasanya sudah lama sekali, sehingga sampai saat ini aku masih menganggapnya
sebagai atasanku—padahal kami sepantar.

Berbeda dengan suaminya, Lilia melontarkan banyak komentar, mulai dari memberikan simpati
dan empatinya hingga pandangan-pandangan positifnya mengenai Loka yang ia dapatkan dari
Riska. Lilia menceritakan bagaimana ia terkejut ketika mendengar berita kematian Loka. Tentu,
aku berterima kasih akan kepeduliannya itu. Namun, tetap tak kukeluarkan komentar apa-apa. Aku
tak ingin salah kata, membuatnya sakit hati karena merasa ucapan-ucapannya tak berharga, juga
aku tak ingin membuatku mengingat kematian Loka lebih jauh lagi, bagaimana ketika tubuh
pucatnya itu berada di pangkuanku.

Ketika Wijaya pamit untuk kembali ke pekerjaannya, aku beralasan untuk tetap tinggal di tempat
ini beberapa lama lagi. Kini semua orang telah benar-benar pergi, menyisakan diriku sendirian,
meratapi nisan yang baru ditanamkan. Bunga-bunga yang bermekaran menunjukkan betapa
barunya makam ini dibuat di antara ribuan makam lainnya. Namun, bukan hanya itu tujuanku
untuk diam sendirian di tempat ini.

Ketika kupastikan semua orang telah pergi, aku bergerak menuju jalan setapak di antara padatnya
makam. Sebuah pohon besar di samping makam mewah berpagar menjadi salah satu objek yang
menarik di antara tumpukan-tumpukan mayat yang tertimbun di bawah tanah.

Ketika angin berembus pelan, aku dapat melihat seorang lelaki bertopi yang tengah bersandar,
melipat kedua tangannya untuk memangku dada. Pakaiannya serba hitam, dan jelas dia menahan
diri untuk tak merokok, sekadar menghargai orang-orang yang telah meninggal dunia. Sebelah
kakinya dijinjitkan ketika senderan bahunya hampir membuat pagar itu roboh.

Lelaki itu—Luthfi—segera berdiri ketika tahu aku datang menemuinya.

Apakah pertemuan ini merupakan sebuah kebetulan? Tentu saja tidak. Kalau memang kebetulan,
kenapa aku harus mengunjungi makam yang tak kukenal, berlawanan arah dengan jalan pulang?
Aku dan Luthfi telah bertemu sebelumnya, di malam yang sama ketika berita kematian Loka
menyebar luas.

Setelah kutemukan mayat Loka di kamar mandi, menangisi kepergiannya, aku melakukan
panggilan pada nomor darurat, menelepon rumah sakit melalui ponsel yang telah kusakukan
sebelumnya karena imajinasiku, mengharapkan Loka masih bisa diselamatkan—tindakan yang
sangat tolol.

Kala itu, pikiranku benar-benar kacau. Sebenarnya, bisa saja kupangku tubuh anak itu,
memasukannya ke dalam mobil dan segera berkendara menuju rumah sakit. Namun, aku benar-
benar tak dapat berpikir dengan jernih. Saat itu tak ingin kulepaskan Loka dari jangkauan. Aku tak
memiliki pilihan lain selain menunggu bantuan untuk segera datang. Namun, munculnya mobil
ambulans dalam perumahan di malam hari malah membuat banyak perhatian tetangga-tetanggaku.
Ketika mereka mengangkut mayat Loka, tetangga-tetanggaku telah berkerumun, bertanya-tanya
mengenai hal yang sedang terjadi.

Aku tak tahu bagaimana secara tiba-tiba mereka tahu bahwa Loka telah meninggal, padahal aku
tak pernah memberitahu mereka selain mengatakan bahwa ada sesuatu yang tak beres pada Loka.
Kematian Loka hanya kuberitahukan pada Wijaya, selebihnya, seharusnya tak ada seorangpun
yang tahu akan kematian Loka. Namun, aku pun tak dapat berbuat apa-apa ketika mereka—
tetangga-tetanggaku itu—mengetahui apa yang terjadi.

Mereka semua memberikan reaksi yang sama. Penasaran, takut, tetapi yang paling tak kusukai:
beberapa orang merasa gembira karena merasa mendapatkan fenomena langka terjadi di
sekitarnya.
Pikiranku yang kusut. Aku memaksa para petugas untuk membawa Loka ke rumah sakit, padahal
aku tahu benar dia sudah tak bernyawa. Ketika para petugas itu menolak keinginanku untuk
membawa Loka ke rumah sakit, hampir kutampar mereka satu persatu, kemudian melarikan Loka
dengan segera, menuju mobil ambulans, membuat para petugas itu tak memiliki pilihan lain selain
mengikuti keinginanku. Aku duduk di dalam guncangan-guncangan kecil karena aspal jalanan
yang tidak begitu mulus, ditemani seorang petugas yang memang ditugaskan untuk menjaga
korban pada bagian belakang mobil.

Tentu, Loka tak mungkin diselamatkan. Ketika aku sampai di rumah sakit pun, betapa bodohnya
aku masih berharap Loka hidup.

Ketika para perawat menanyakan bagaimana Loka menjemput ajalnya, aku tak memberikan
pernyataan apapun selain pengakuanku yang mendapati Loka telah tewas ketika aku baru pulang
bekerja. Walaupun sebenarnya aku memiliki beberapa dugaan terkait sang pembunuh yang
mungkin melakukan tindakan kejinya pada Loka, aku tak ingin membagikannya terlebih dahulu
dengan mereka. Lagipula pemikiran itu baru muncul ketika kutumpangi mobil ambulans rumah
sakit, ketika aku mulai dapat berpikir dengan otak yang dingin.

Bagai angin malam yang tiba-tiba datang, ketika aku berjalan keluar rumah sakit, Luthfi
menghubungiku melalui ponsel pemberiannya, memberikan pesan sekilas yang akan hilang dalam
beberapa detik.

Temui aku di tempat biasa, katanya.

Mungkin, jika emosiku masih terkuras hebat, sudah kubanting ponsel itu, membiarkannya hancur
menabrak tanah dengan kecepatan yang luar biasa, membuat satpam-satpam rumah sakit
memasangkan picingan matanya padaku. Demi apapun, aku ingin meludah di wajah Luthfi tanpa
perlu bertemu dengannya, tapi hal itu tidak mungkin terjadi.

Ketika mayat Loka dikembalikan ke rumahku, diam-diam Wijaya mengunjungi rumahku karena
berita yang kusebutkan sebelumnya. Aku dapat melihat raut cemas dari wajahnya, begitu pula
dengan Lilia dan Riska yang ikut dengan Wijaya. Sialannya, jika aku ingin meludah di wajah
Luthfi, aku harus pergi menemuinya. Jadi, kutitipkan Loka padanya—Wijaya adalah salah satu
dari sedikit orang yang bisa kupercaya.

Mungkin, seharusnya aku tak berkendara. Injakan pada pedal gas tidak berirama seperti biasanya.
Kadang terlalu kuat, tetapi untuk beberapa saat melemah karena kurasakan mobil yang melaju
terlalu kencang, membuat kecepatan mobilku berubah tak beraturan, seperti orang yang baru
belajar berkendara dan melaju dengan tersendat-sendat.

Ketika aku sampai, Luthfi ada di tempat biasa. Bedanya, dia tak merokok. Namun, aku yang kesal
segera membanting pintu, membuat hentakan yang cukup keras hingga menarik perhatian banyak
orang. Luthfi yang sadar akan kemarahanku segera bergerak pergi, jelas dia menghindari
banyaknya tatapan mata yang mengarah padanya, tetapi hal itu tak dapat dihindarkan lagi.

Aku mencegatnya.

Sumpah, demi apapun, jika izin untuk menggunakan senjata apiku tak dicabut, aku pasti sudah
menodongnya, berteriak memanggil namanya dan menahannya.

Luthfi bergerak ke arah yang lebih gelap, di mana pohon rimbun dapat menutupi bayangannya
ketika orang-orang mulai tak memedulikan keberadaanku. Aku yang berjalan dengan kencang
segera menyambar jaketnya. Menariknya, memutarnya, membuat kerutan yang pasti membuat
jaket itu segera kusut.

"Kau yang melakukannya?" Aku tak ambil pusing, segera bertanya tanpa perlu menjelaskan
konteks yang tengah kupikirkan.

"Bukan," balasnya dengan sangat tenang, tetapi hal itu malah membuatku semakin liar. Apakah
dia tahu apa yang sedang kubicarakan? Jika iya, kenapa dia bisa tahu?

"Kau yang mengambil nyawanya, kan?"

"Bukan." Sekali lagi, ia berbicara. Dan sekali lagi pula, ia tak mengubah nada datarnya. Pelan dan
standar seperti biasanya, tak menarik perhatian banyak orang.
"Apa buktinya?"

"Aku tak pernah berbohong. Jika aku akan mengambil nyawa anakmu, aku akan memberitahumu
sebelumnya."

Dia tak pernah berbohong. Pernyataan itu seperti kemelut dalam otakku. Benar, aku tak
menyangkalnya, kurasa Luthfi tak pernah berbohong. Tapi tak ada alasan untuk tak memulai kali
pertama, kan?

"Dari mana kau tahu aku sedang membicarakan anakku?"

"Aku tahu beritanya."

"Dari mana?"

"Itu tidak relevan."

"Karena kau yang melakukannya, kan?" Aku mencoba menyulutnya, membuatnya mengaku
secara langsung maupun tak langsung.

Alasan utama kenapa aku menuduh Luthfi yang melakukannya adalah karena pertemuan kami
tidak berakhir dengan baik. Di saat yang sama ketika kutemui mayat Loka, aku beradu mulut
dengannya. Kuingkari perjanjian yang telah kubuat dengannya, tetapi tentu dengan cerdas—tetap
tak mengingkari perjanjian secara langsung. Ketika itu pula Luthfi pergi tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Jadi, kenapa aku tak bisa menuduhnya?

"Apa kaupikir Loka akan menyambutku dengan baik jika aku benar-benar pergi ke rumahmu?"
Luthfi bertanya, dan membuatku berpikir untuk sejenak.

Ia pernah menembak Loka, membuatnya luka di beberapa bagian dengan sengaja. Walaupun
begitu, keadaan cukup membaik. Di saat yang sama, dia pun pernah ingin menyelamatkan Loka,
membuat batas abu-abu di antara hitam dan putih. Namun, kejadian traumatis itu akan menjadi
lebih logis seandainya ... Loka tetap takut dengan Luthfi.
Biarpun mereka pernah bertemu, tetapi semuanya karena aku yang menengahi. Loka mungkin
masih ketakutan. Dan, ya, artinya dia tak akan mau menerima Luthfi sebagai tamu seandainya
Luthfi datang berkunjung. Akan lebih logis jika Loka segera menutup dan mengunci pintu begitu
tahu Luthfi datang, kecuali tangan Luthfi terlalu cepat sehingga Loka tak dapat melakukannya.
Mungkin, kan?

Aku tak ingin menarik kesimpulan terlebih dahulu. Semua kemungkinan memiliki peluang yang
sama. Namun, berhentinya diriku untuk membalas ucapannya membuat lelaki itu menimpali,
"Kalau kaupikir aku menghabisi nyawa anakmu hanya karena kau yang menghindari perjanjian
kita, itu sangat konyol, Roy."

Aku masih diam.

"Aku tak membunuh orang yang bersalah," lelaki itu melanjutkan, menambahkan kerut pada
keningku akibat rasa penasaran.

"Tak membunuh orang yang bersalah?"

"Kau ingat pertemuan pertama kita?"

Aku ingat betul, ketika itu dia menembak kakiku—bagaimana mungkin bisa kulupakan? Ketika
aku tengah mengejar seorang lelaki yang membunuh anaknya sendiri, Luthfi muncul begitu saja
seperti setan yang kerasukan setan lain untuk ... membunuh sang lelaki itu, orang yang telah
menghabisi nyawanya sendiri.

Kasus yang lainnya, kematian Pak Goto, seorang polisi dari wilayah yang sama di mana aku
bekerja. Tetapi dia adalah seorang polisi korup.

Yang terakhir, Guntur, Fandi, dan Bagas. Mereka bertiga memberikan kesaksian palsu dalam
kasus pembunuhan yang menimpa seorang polisi lain, pun mereka bertiga adalah polisi korup.

Aku berpikir, mencoba untuk menyangkal pendapatnya, tetapi aku tak mendapatkan alasan yang
tepat. Mereka semua bersalah, itulah jawabannya. Aku ingin bilang bahwa mereka tak sepenuhnya
bersalah karena manusia tetaplah manusia, tetapi tak bisa. Sebagai gantinya, geraman aneh muncul
dari balik kerongkonganku.

Kulepaskan genggamanku secara perlahan, membuat jaketnya kembali normal.

"Mungkin kau lupa, tapi aku pernah bilang jika aku memiliki prinsipku sendiri," lanjutnya. "Salah
satunya adalah itu."

"Kenapa?" tukasku, "Maksudku, apa pedulimu?"

"Di pertemuan pertama kita, mungkin kau ingat apa yang kulakukan pada lelaki itu, si ayah
korban."

Tentu aku sangat ingat.

Luthfi melanjutkan, "Aku mengikuti perkembangan kasus. Kukira saat itu kasus benar-benar
ditutup ketika kalian memutuskan bahwa pelaku pembunuhan adalah saudara korban. Jadi, sebagai
bentuk keadilan, kuberikan eksekusiku sendiri pada si ayah korban. Aku tak pernah menyangka
jika seorang polisi brengsek ternyata masih menyelidiki kasus itu dan malah menangkap basah
diriku."

Aku tak berkomentar, dan Luthfi masih melanjutkan omongannya.

"Di saat itu aku mulai tertarik denganmu, Roy. Jadi aku berusaha menarik perhatianmu dan kau
merespon dengan baik. Jadi aku memintamu untuk mencari berkas kasus Lima saat itu."

"Untuk apa?"

"Tidak ada maksud apa-apa, hanya saja memiliki berkas itu membuatku merasa lebih baik."

Aku menarik napas, suaranya beradu dengan semilir angin yang menyibakkan daun-daun
pepohonan.

"Anggap aku percaya. Lalu, apa?" Aku menekannya, tetapi lelaki itu tetap bergeming. Dia tak
terlihat ketakutan, kesal, bahkan sekadar tak nyaman.
"Januar yang melakukannya."

Aku terkesiap. Mataku melotot—jelas. Jantungku berdegup dengan kencang seperti genderang
perang.

"Tidak mungkin."

Namun, bahkan tanpa perlu memaksaku untuk memercayainya, entah kenapa aku merasa harus
memercayainya. Selama ini, dia tak pernah melakukan kesalahan untuk menangkap orang-orang
jahat seperti yang diakuinya. Maksudku ... gila, dia tahu bahwa di saat pertemuan pertama kami,
si ayah lah yang membunuh anaknya sendiri bukan sudaranya, bahkan sebelum kami sampai pada
kesimpulan itu. Tentu jika dia tak berbohong, tapi kenapa dia harus berbohong?

Aku ingin menghalau pemberitahuannya, tetapi tidak bisa. Aku tak memiliki alasan untuk tak
memercayainya.

"Aku menghubungimu karena ingin menawarkan sesuatu padamu, Roy," katanya padaku, yang
masih tercengang atas pernyataannya.

"Aku bisa menangkap Januar, apa yang terjadi padanya kuserahkan padamu. Tapi aku yakin dia
bukan tipe orang yang mudah dibujuk untuk menyerahkan diri atas kejahatannya. Jadi ... kau
mengerti, kan?"

"Maksudmu membiarkannya tetap hidup atau mati?"

Luthfi mengangguk, dan kebimbangan kembali muncul dalam benakku.

Balas dendam bukanlah hal yang baik, tetapi begitu pula dengan menghilangkan nyawa seseorang
yang tak bersalah. Aku tahu, seharusnya semua penjahat pun diperlakukan dengan sama, melalui
prosedur penangkapan dan bukannya dianiaya dengan semena-mena. Jika aku membiarkannya
hidup, kasus bisa dilanjutkan hingga akhirnya menuju suatu kesimpulan: Januar yang membunuh
anakku. Tetapi, biarpun pilihan itu sebenarnya pilihan paling ideal, aku tetap tak dapat
menerimanya karena pilihan itu tak akan mengembalikan Loka. Sebaliknya, jika aku memilih
nyawa yang dibayar dengan nyawa, apa bedanya aku dengan dirinya? Januar akan meninggalkan
seorang istri dan anak.

Aku memerlukan waktu untuk berpikir, hingga akhirnya, tepat ketika Loka telah dimakamkan, aku
telah memutuskan.

Luthfi bertanya padaku setelah menarik tubuhnya dari senderan pagar yang hampir roboh itu.

"Kau sudah memutuskan?" tanyanya. Sontak, aku menjawab.

"Keparat-keparat metropolitan itu akan terus menyerangku jika aku tak melakukan perlawanan."

Satu kebodohan yang kulakukan sebelumnya, aku terlalu takut untuk menyerang. Tentu bukan
tanpa alasan.

Jika aku menyerang, Loka bisa berada dalam situasiberbahaya. Bodohnya, aku tak menyadari jika
aku tak menyerang, mereka lah yang akan membuat Loka dalam situasi berbahaya. Aku tak bisa
mengembalikan waktu, mereka telah melakukannya.

"Aku ingin dia mati," kataku, sejelas-jelasnya.

Jika kau membayangkan Luthfi akan tersenyum, seperti para pembunuh berdarah dingin sialan
yang tak punya hati dan merasa senang ketika seseorang mengerti jalan pikirannya, maka kau
salah. Dia tak memberikan respon lain selain memberikan anggukan dengan wajah datar. Aku tak
mengerti apakah itu merupakan bentuk rasa simpatinya atau bukan. Yang pasti, dia segera berjalan
melewatiku, melaksanakan rencananya yang entah apa itu.

Namun, aku berusaha mencegahnya.

"Aku akan ikut denganmu," potongku, dan Luthfi menyetujuinya.

Aku tak tahu apakah ini akan menjadi akhir dari Roy si baik yang selalu memperlakukan terduga
pembunuhan sebagaimana semestinya. Yang pasti, rasa keinginan untuk membalaskan dendam
mencuat lebih luas dibandingkan dengan rasa untuk memaafkan.
2. Pathfinder

Namanya memang jalan bebas hambatan. Namun, begitu kami memasuki kawasan industri,
kendaraan-kendaraan yang menyemarakkan jalanan ini malah membuat kami terhambat, sangat
kontras dengan namanya, seolah-olah jalanan ini tak memiliki lajur cepat maupun lambat—
semuanya sama.

Di bagian belakang kami, sebuah Nissan Elgrand hitam hendak menyusul, membuat barisan baru
di antara Agya yang tengah Luthfi kendarai dengan truk besar pengangkut pasir. Kurasa,
pengemudinya terlalu tolol sampai tak sadar bahwa bodi mobil itu besarnya tidak sembarangan,
sehingga malah makin menimbulkan kekacauan di lalu lintas yang padat.

Bukan hanya itu, ia membunyikan klaksonnya berkali-kali, mencoba kembali masuk ke dalam
barisan yang sedari tadi tak Luthfi beri. Lelaki itu selalu menginjak pedal gas di saat yang tepat
ketika sang pengemudi Nissan baru memutar setirnya ke arah kiri yang kembali dibantingnya ke
kanan karena tak ada ruang yang cukup baginya. Jadi, lajur di jalan tol ini malah bertambah satu
karena kebodohan si pengemudi Nissan.

Aku tak akan berbohong, aku menyukai tindakan Luthfi. Setidaknya, dia tahu bagaimana harus
memperlakukan orang yang berkendara seenaknya.

Kalau aku tidak memikirkan kelakuannya yang aneh dan tak jelas, Luthfi sebenarnya mirip orang
pada umumnya. Dia tidak pernah terlihat nyentrik selain topi yang selalu dikenakannya. Bahkan,
ketika mengemudi pun dia sengaja mencari radio yang menyetel lagu rock klasik yang
mendominasi dunia permusikan di tahun 80-an. Ah, ya, sebenarnya ini mobilku, sih, tapi aku tidak
keberatan. Selain karena dia tak memberitahu rencana yang telah ia buat untuk menangkap AKP
Januar sehingga aku tak dapat memaksanya duduk di belakang dan memberi navigasi, aku masih
belum bisa percaya sepenuhnya atas pernyataan yang ia berikan.

Seperti yang telah kubilang berkali-kali: aku tak memiliki alasan untuk tidak memercayainya,
tetapi aku juga tak memiliki bukti untuk memercayainya. Namun, jika apa yang ia katakan itu
benar, aku tak berbohong jika ... aku benar-benar ingin AKP Januar kehilangan nyawanya.
Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara dingin akibat pengatur suhu yang dinyalakan,
fasilitas paling penting untuk seluruh pemilik mobil.

Tiga jam dalam perjalanan, tetapi sepatah katapun belum keluar dari mulut kami berdua. Sialnya,
aku mulai tak tahan. Kemacetan ini bukan wahana yang menyenangkan, ditambah si pengemudi
Nissan menyebalkan itu masih membunyikan klaksonnya—bahkan lebih keras. Beberapa
pertanyaan terkait Luthfi terlintas dalam benakku, beberapa di antaranya merupakan pertanyaan
konyol, jadi aku tak dapat membendungnya lebih lama lagi.

"Jadi, apa pekerjaanmu sebenarnya?"

Fokus Luthfi pada jalanan sedikit goyah. Matanya menilik tajam, melihat ke arahku. Kurasa ia
berpikir jika aku telah mengganggunya, melakukan tindakan yang seharusnya tak kulakukan. Nah,
dari sinilah kau akan melihat bagian yang berbeda antara Luthfi dengan orang-orang pada
umumnya. Ia kelihatan seperti setan yang bersemayam dalam tubuh manusia.

Namun, biarpun begitu, aku tak ingin terintimidasi olehnya. Jadi, kulemparkan pandanganku ke
arah jendela luar. Sungguh, ban besar truk bukanlah pemandangan yang menarik, tapi itu lebih
baik daripada tatapan Luthfi yang mengerikan sekaligus menyebalkan.

"Kau sudah tahu," katanya, sambil terus melajukan kendaraan dengan kecepatan tak lebih dari
sepuluh kilometer perjam.

Tentu, aku tidak setuju dengan Luthfi.

"Maksudku pekerjaanmu yang sebenarnya, benar-benar sebenarnya, sebelum ... anggap saja kau
menjadi seorang penuntut keadilan."

Luthfi kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan, atau mungkin lebih tepatnya ke arah mobil
yang berada di depan kami, karena untuk melihat jalanan dalam kemacetan seperti ini tidaklah
mudah.

"Anggap saja aku terlahir seperti ini."


Sudah kuduga, Luthfi tak akan membocorkan hal-hal apapun terkait kehidupannya. Aku pikir,
dengan terisolasinya kami dari dunia luar, menghindari sengatan sinar matahari, setidaknya aku
bisa mengetahui asal-usul laki-laki brengsek itu—sama seperti Wijaya ketika pertama kali kita
bekerja sama. Tapi, semuanya nihil, membuatku berpikir ulang dan kembali menyaring
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan dijawabnya dengan serius.

"Kalau begitu, bagaimana perasaanmu ketika pertama kali ... kau tahu maksudku, kan?" Aku
menimbang-nimbang, agak ragu untuk menyelesaikan kalimatku, membuat jeda beberapa detik
hingga akhirnya kuputuskan untuk melanjutkannya. "Membunuh seseorang."

Namun, kicauanku tak dihiraukannya. Aku yakin, dia pasti mendengar pertanyaanku, tak mungkin
lagu Deep Purple yang bahkan hampir tak terdengar oleh telingaku itu menyumbat
pendengarannya. Luthfi terus bergeming, mulutnya tak bergerak sedikitpun, tetapi sebagai
gantinya ia sandarkan bahu ke bantalan kursi, kemudian memutar-mutar lehernya agar tidak pegal.

Aku pikir dia akan menjawab pertanyaanku, tetapi pemikiranku itu tak sesuai dengan realita yang
ada. Sebaliknya, Luthfi malah bertanya, "Memangnya kenapa?"

Aku yang dilanda rasa penasaran, juga rasa bosan akibat kemacetan ini menjawab, "Pengalaman
pertama pasti lebih berkesan, bukan? Aku ingat ketika pertama kali menyelidiki kasus
pembunuhan, melihat mayat dalam keadaan mengerikan membuatku sedikit mual, walaupun kini
aku mulai terbiasa. Aku tak akan menanyakan hal yang sama pada orang-orang yang membunuh
manusia hanya atas dasar egonya, tapi jelas kau tidak digerakkan dengan emosimu, kan? Aku tidak
akan menanyakan motifmu dalam melakukannya. Aku tahu, kau orang aneh, dan lagipula kau tak
akan menjawab pertanyaan semacam itu. Jadi, aku hanya ingin mencari tahu hal yang lain.
Bagaimana perasaanmu kali pertama melakukannya?"

Aku tak pernah membayangkan situasi ini, duduk berdua dengan seorang pembunuh berantai
dengan pemikiran idealisnya tanpa baku hantam. Aku sudah sering menonton film, di mana
seorang aparat kepolisian berteman baik dengan pelaku kejahatan, membuat ikatan persaudaraan
hingga mendapati akhir yang tragis, di mana seorang penjahat tetaplah seorang penjahat. Namun,
duduk berdua dengan Luthfi menimbulkan kesan yang berbeda dibandingkan hanya sekadar
menonton film. Rasa tegang mencuat lebih tajam, lebih mengerikan, dan yang pasti lebih nyata.
Akhirnya, Luthfi menjawab, "Aku tidak menyukainya."

Pernyataan itu sungguh membuatku terkejut, berbeda dengan konsep gila yang sudah ditanamkan
dalam kepala banyak orang bahwa seorang pembunuh berantai sangat menikmati aksi-aksinya,
bahkan menantang pihak kepolisian untuk menangkapnya karena tak ada hal lain yang dapat
menahan dirinya untuk melakukan tindakan brengsek itu—paksaan dari luar harus dilakukan.

Tentu, aku kembali bertanya dengan nada yang sedikit melonjak.

"Kalau kau tidak menyukainya kenapa kau teruskan?"

"Kau menyukai penemuan mayat pertamamu?"

"Hah?"

Aku dan Luthfi beradu tatapan, membuatku sedikit canggung.

"Tentu saja tidak. Mana mungkin aku menyukainya?" tukasku dengan cepat, membuat Luthfi
mendenguskan napasnya.

"Kalau begitu kenapa kau teruskan?"

"Karena itu pekerjaanku."

Ya, tentu saja, brengsek. Aku dituntut untuk kembali melihat mayat dan mayat lagi, tanpa henti.
Mungkin aku bisa pindah divisi, meninggalkan bagian pembunuhan untuk selama-lamanya,
mengisi kekosongan di berbagai tempat lain yang jelas bukan bagian pembunuhan. Namun,
dedikasi yang kubangun selama ini—terikat dengan bagian pembunuhan untuk kepolisian wilayah
Bandung—membuatku enggan melakukannya. Aku tidak bilang aku suka melihat mayat dalam
tiap kasus, tetapi aku tetap merasa nyaman untuk berada di bagian ini, utamanya karena rekan-
rekan kerjaku. Bayangkan saja jika aku bergabung dengan bagian perampokan, mungkin aku
sudah ikut ke dalam kelompok polisi-polisi korup itu, kan?

Namun, seolah tak puas mempermainkanku, Luthfi membalas, "Sama."


Tak ada ekspresi apapun, tak ada tambahan yang dapat melengkapi argumennya, laki-laki itu
hanya kembali fokus menatap jalanan ... oh, sialan, maksudku mobil yang melaju lambat di depan
kami. Selain itu, lontaran kata yang ia keluarkan merupakan tanda berhentinya percakapan kami.

Aku menghela napas, menyertai kesunyian yang menemani perjalanan kami selama beberapa jam
ke depan.

===

Ketika Luthfi masuk ke dalam pekarangan rumah AKP Januar, menginjak-injak rumputnya,
kemudian mengetuk pintu hingga sang istri dari AKP Januar membukakan pintu, waktu baru
menunjukkan pukul delapan malam. Sekarang, dua jam telah berlalu dan Luthfi belum kembali
keluar, membuatku menunggu di tengah kegerahan ini.

Keringatku bercucuran dan aku benar-benar tak menikmatinya. Biasanya, selama aku tinggal di
Bandung, pasti malam akan terasa dingin.

Rumah AKP Januar terletak di dalam kompleks yang tidak begitu mewah, tanpa penjagaan ketat
dengan orang-orang yang hampir tak pernah berinteraksi antar tetangga. Hampir sama seperti
perumahan tempatku tinggal, hanya saja interaksi sosial di tempat ini jauh lebih sedikit dibanding
tempat tinggalku—atau mungkin karena sudah malam?

Mobilku sengaja diparkirkan di tempat yang agak jauh, mungkin terpaut dua ratus atau tiga ratus
meter. Yang pasti, aku masih bisa mengawasi pergerakan-pergerakan di sekitar tempat ini tanpa
harus keluar dan berjinjit. Beberapa pedagang kaki lima sempat melewatiku. Penjual nasi goreng
keliling, sate keliling, hingga tukang bajigur dengan lantunan-lantunan melodi identik seperti para
penjual yang juga berkeliling di sekitar perumahanku. Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa
melakukannya, apa mungkin ada sekolah khusus bagi para pedagang kaki lima untuk menjajakan
dagangannya?

Luthfi menyuruhku untuk tak bergerak, keluar dari mobil dan berpura-pura menjadi pahlawan
sampai ia menghubungiku. Jadi, aku mengikuti rencananya, tak ingin menghancurkan apapun.
Selain itu, ia memberitahuku bahwa AKP Januar belum pulang, meninggalkan anak dan istrinya
di rumah, persis seperti apa yang terjadi padaku dan Loka dulu, di mana Luthfi menjadikan Loka
sebagai sandera—hanya sandera. Namun, tentu Luthfi tak akan memberitahukan rahasianya,
bagaimana ia bisa mendapatkan informasi itu.

Sekarang, aku mengerti kenapa dia bisa masuk ke dalam rumah orang secara sembarangan.
Walaupun aku tak tahu akan apa yang ia katakan—aku hanya menatapnya dari kejauhan—yang
jelas istri dari AKP Januar mempersilakan Luthfi masuk tanpa rasa ragu sedikitpun. Tak ada
kekerasan, tak ada kegaduhan, semuanya dilakukan dengan sangat mulus tanpa menimbulkan rasa
penasaran orang lain. Jadi, apa itu maksudnya mengatakan Loka tak mungkin menerimanya
sebagai tamu? Maksudku ... Loka tak mungkin jatuh ke dalam perangkap yang sama dua kali, kan?

Kuhirup oksigen yang tengah berputar-putar di sekitarku. Tarikan panjang membuat suara kecil
aneh keluar dari hidungku. Batinku bertanya-tanya tanpa suara. Benar, kan, Loka?

Hampir lima belas menit berlalu, akhirnya kudapati seseorang, walaupun hanya kudapati sosok
gelap kecil, berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah AKP Januar. Asumsiku mengatakan
bahwa memang dia lah Januar. Jika bukan sang pemilik rumah, siapa lagi orang yang memarkirkan
mobilnya di halaman rumah?

Kedua kakiku secara refleks ingin bergerak, tetapi peringatan yang diberikan oleh Luthfi
membuatku sadar jika aku dapat merusak rencananya yang entah apa itu.

Aku bergumam kecil, mendesah, merasa kesal karena tahu tak dapat ikut campur dalam pesta yang
sedang dilakukan oleh Luthfi. Ah, iya, walaupun aku bilang bahwa aku ingin nyawa manusia yang
mengambil nyawa anakku itu menghilang, tetapi aku meminta Luthfi untuk tak melakukannya
terlebih dahulu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan, dan aku berharap Luthfi dapat
mengingatnya dengan baik.

Jadi ... bagaimana rasanya, ya, untuk mengambil nyawa seseorang untuk pertama kalinya?
Apakah benar seperti yang dikatakan si lelaki bertopi itu? Apakah benar tidak menyenangkan?

Ketika otakku berkelut dalam banjirnya pertanyaan, notifikasi muncul pada ponsel keduaku—
pesan dari Luthfi. Ia memberitahu bahwa aku sudah bisa memasuki rumah itu, membuatku sigap,
keluar dari mobil dan merasakan udara panas malam Jakarta. Aku tak berbohong dengan kata
panas, karena memang kenyataannya seperti itu.

Dengan berlari kecil, aku sampai hanya dalam beberapa detik, membuka pintu tanpa mengetuknya
terlebih dahulu dan mendapati seorang lelaki, wanita, serta anak kecil yang mungkin baru berumur
sepuluh tahun dengan masing-masing tangan mereka terikat oleh cable tie dengan mulut yang
disumpal oleh kain.

Sang istri terlihat ketakutan. Ketika ia melihatku datang, matanya menaruh banyak harapan.
Mungkin, ia berpikir aku datang untuk menyelamatkannya, sayangnya tidak. Rambut hitamnya
terurai panjang, tetapi tidak acak-acakan. Di samping itu, sang anak yang tengah membelakangiku
berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Pasti, dia mendengar suara pintu yang
terbuka. Ketika kepalanya diputar, dengan susah payah ia melihatku, juga tampak menaruh
harapan yang sama.

Berbeda dengan yang lain, Januar lebih seperti terkejut karena tak menduga aku akan datang
dibandingkan terkejut karena berpikir seorang pahlawan datang. Alisnya mengerucut, gigitan
kainnya dikencangkan. Apa mungkin ia sedang mengutukku?

Aku menutup pintu, berjaga-jaga seandainya seorang pedagang mengintip melalui pintu yang
terbuka, kemudian berteriak histeris sambil memanggil-manggil tetangga sekitar untuk keluar.
Untungnya, sebelum kejadian itu terjadi, aku sukses melakukannya—menutup pintu rapat-rapat.

Ketika aku berjalan mendekati mereka bertiga dan Luthfi yang tengah berdiri mematung
memperhatikanku, sang istri telihat sangat kecewa. Akhirnya ia tahu bahwa aku tidak datang
sebagai pahlawan. Lebih buruk, aku membantu Luthfi.

Aku memperhatikan sekeliling. Rumah ini tidak terlalu besar, tetapi berlantai dua. Bagian dapur
tersambung langsung setelah melewati ruang tamu dan ruang keluarga.

"Aku akan membawa mereka berdua ke lantai atas," kataku, sembari menunjuk sang istri dan sang
anak yang tentu saja kecewa.
Ketika aku berusaha membawa mereka, tentu mereka memberontak. Bahkan, sang istri lebih
parah. Berkali-kali ia mainkan bahunya, berusaha menghindari cengkeramanku. Tak hanya itu, ia
sengaja membenturkan kepalanya ke lenganku, berharap agar aku menjauhkan tangan-tanganku
kotor dari bajunya.

Melihat hal itu, Luthfi tidak main-main. Ia mengeluarkan pistol yang disembunyikan di
pinggulnya, menodongkan senjata api itu ke arah kepala Januar. Dan bodohnya, perempuan itu
malah semakin meronta. Aku dapat mendengar teriakannya yang tertahan karena balutan kain
memenuhi mulutnya. Sedangkan sang anak terkejut melihat pemandangan yang pasti baru pertama
kali dilihatnya. Namun, berbeda dengan ibunya, dia tak melakukan gerakan apapun.

Aku mengejek dalam hati. Bodoh, dia tak sadar itu hanya gertakan, ya? Mana mungkin Luthfi
menembakkan peluru tanpa peredam dan menarik perhatian orang-orang?

Akhirnya, aku yang tak sabar terpaksa harus mengangkut perempuan ini, membuat rencanaku
menuntun masing-masing istri dan anaknya berantakan. Kini aku harus berjalan dua kali bolak-
balik untuk menuntun mereka berdua diam di lantai atas, lebih tepatnya ruangan yang ada di lantai
atas, dengan harapan tak dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan yang akan kuajukan pada
Januar.

Ketika aku berjalan menyusuri tangga, perempuan ini masih memiliki stamina yang luar biasa.
Walaupun kugantungkan perutnya pada bahuku, kedua tangannya—yang menyatu karena diikat—
terus menepuk-nepuk bagian belakang tubuhku. Untungnya tubuh perempuan ini kecil, jadi aku
masih dapat menahan keseimbangan ketika melewati lima belas anak tangga dengan kemiringan
yang cukup tajam.

Aku membuka salah satu dari dua ruangan yang ada. Sebuah kamar, dan kuterka kamar ini adalah
milik sang anak. Sebuah kasur dengan seprai polos terlihat sedikit berantakan dengan lampu yang
menyala—Si anak pasti sebelumnya telah tidur. Di bagian kiri, aku dapat melihat meja belajar
dengan lemari yang dipenuhi dengan buku pelajaran anak kelas lima SD. Sebuah jendela yang
ditutup tirai terpampang pada bagian kanan kamar. Ruangan yang biasa saja sebenarnya, tetapi
cukup nyaman untuk membuat mata terpejam.
Begitu masuk ke dalam, tubuh wanita itu kuturunkan secara perlahan. Ia duduk, masih setengah
menangis. Namun, begitu aku akan keluar, mengambil anaknya untuk kuarahkan dia ke tempat
yang sama, perempuan itu tiba-tiba berdiri dan hendak menerjangku. Sontak, aku kaget. Aku
menghindar, mengayunkan tubuhku ke samping seraya menangkap tubuh wanita itu.

Sumpah, ini tidak semudah yang kupikirkan. Selama ini aku selalu berpikir orang-orang yang
berada di pihak korban hanya akan bertahan dalam posisinya, tak menyerang pelaku. Perempuan
ini membuat pemikiranku berantakan. Ia berusaha menyerangku berkali-kali, bahkan dengan
tangan yang terikat, membuatku mendorong tubuhnya, kemudian segera menarik kunci yang
menggantung di atas pintu, lalu mengunci perempuan itu yang bahkan belum mengakhiri
keinginannya untuk menghajarku.

Aku dapat mendengar pintu didobrak berkali-kali.

Ketika aku turun, aku berteriak pada Luthfi, "Sepertinya kita butuh tali!"

Mendengar hal itu, Luthfi mengeluarkan untaian rapia dari dalam saku jaketnya. Cukup panjang,
tetapi agak kusut karena untaiannya melingkar tak beraturan, persis seperti sebuah earphone yang
terikat dengan sendirinya. Ia sodorkan benda itu padaku yang masih berjalan pelan mendekatinya,
tentu tanpa melepaskan mata elangnya dari Januar.

"Kau membawanya?"

"Kau pikir benda ini muncul begitu saja?"

Sarkastik, itu kebiasaannya. Aku sudah terbiasa, sehingga tak perlu menangis seperti seorang
penggemar fanatik yang menangis dan berteriak sangat keras mengetahui idolanya dihina oleh
orang lain.

Aku menerima penawaran Luthfi sembari menuntun si anak untuk berjalan ke lantai atas.

Anak ini lebih kooperatif dibanding ibunya. Aku tak harus menggendongnya, ia berjalan sendiri
atas kemauannya ... maksudku, tetap atas perintahku tapi ia menurut dengan senang hati. Di saat
yang bersamaan, perempuan itu tampaknya sudah menyerah. Gedoran pintu yang sebelumnya
terdengar keras telah berhenti. Namun, aku tak ingin mengambil resiko, melihatnya berlari keluar
dan malah jatuh saat menuruni anak tangga, sehingga kupilih kamar lain untuk menyembunyikan
anak ini—di kamar orang tuanya.

Ketika sampai, anak itu hanya berdiri melihatku, tanpa perlawanan sedikitpun. Namun, aku dapat
melihat dengan jelas dari balik matanya bahwa ia tak menginginkan hal ini. Tentu saja, kan?

Jadi, kubuka sumpalan kain dari mulut anak itu, kemudian bertanya, "Kau anak baik, kan?"

Anak kecil itu bergeming. Tidak, dia tak menjawab, entah karena tak tahu jawabannya apa atau
tak dapat menjawab karena ketakutan.

"Kami berdua tak akan menyakitimu selama kau jadi anak baik, oke?"

Anak itu masih diam.

Aku mengerti, pasti terdengar percuma. Lagipula, anak kecil macam apa yang bisa dengan tenang
mendengarkan seseorang—dalam hal ini orang jahat—yang baru saja menyerang keluarganya?

Kembali kumasukkan kain itu ke dalam mulutnya. Namun, pilihanku untuk menggunakan tali
rapia kuurungkan. Bagaimanapun, anak ini tak melakukan apa-apa. Aku tak bisa mengikatnya
seperti orang brengsek yang baru saja menghabiskan tujuh potong martabak dari sepuluh potong
untuk sepuluh orang. Jadi, aku kembali dengan mengunci pintu kamar orang tuanya, kemudian
mengantonginya sambil membawa tali rapia yang utuh.

Begitu aku kembali, kuungkapkan kekesalanku pada Luthfi.

"Jangan pernah menodongkan pistol di depan anak kecil, brengsek."

Namun, sesuai dengan kebiasaannya, Luthfi tak menggubris hardikanku. Padahal, aku benar-benar
serius.

Kini, Januar berada di hadapanku, berlutut dengan tangan yang terikat dan mulut yang terkunci.
Padahal, sebelumnya aku sudah menguatkan tekadku. Namun, hanya dalam beberapa detik
semuanya terasa goyah. Keraguan muncul dalam pikiranku.

Inikah saatnya?
3. Orion
Luthfi melemparkan tubuh Januar secara kasar, membuat bahu kiri Januar menabrak keramik putih dingin.
Refleks, lelaki itu meringis kesakitan, hanya saja suaranya tetap tertahan kain yang menyumpal mulutnya.
Selain itu, dia berusaha meraih bagian tubuhnya yang terbentur. Namun, tentu tidak semudah itu karena
kedua tanganya tengah teringat.

Mungkin, kini dapur rumah Januar akan lebih terlihat seperti ruang penyiksaan daripada dapur.

Ketika Januar bangkit, duduk dengan bersandar pada lemari besar yang terbuat dari kayu, aku
memberi pesan pada Luthfi untuk tak ikut campur terlebih dahulu. Biarpun mungkin memang
benar Januar pelakunya, aku ingin memastikannya terlebih dahulu, memberikan beberapa
pertanyaan yang tentu saja tak boleh dipotong oleh Luthfi.

Lelaki bertopi itu, masih dengan pembawaannya yang tenang, tak mengatakan apapun. Namun,
dari gelagatnya, aku yakin dia tak merasakan adanya masalah dengan keputusanku.

Kugeledah tubuh Januar, mendapati ponsel dalam keadaan terkunci dari saku celananya.
Untungnya, ponsel canggih itu dapat dibuka dengan sidik jari Januar. Lelaki itu meronta, ia
berusaha mengepalkan kedua tangannya ketika tahu maksud dari tujuanku. Sayangnya, gerakanku
yang lebih bebas darinya memberikan keuntungan. Dalam sekian detik, aku berhasil membuka
kunci ponsel Januar tanpa perlu bersusah payah.

Begitu wallpaper hitam dengan gambar titik di tengahnya muncul, jempolku langsung
kunavigasikan untuk mencari daftar kontak.

"Katakan berapa orang lagi dari kalian yang belum ditangkap," kataku. Kemudian, baru kusadari
kebodohanku yang luar biasa.

Januar tak mungkin bisa menjawab, mulutnya masih dipenuhi dengan kain yang basah akibat air
liurnya. Jadi, kukeluarkan benda itu dari mulutnya. Untuk sesaat, Januar terengah-engah. Matanya
mengerjap beberapa kali sambil merapikan ritme napasnya.
Sambil menunggunya berbicara, kembali kutarik jempolku, menggeserkan layar untuk
menampilkan nama demi nama. Ada 106 kontak, tapi aku tak mendapati nama-nama aneh yang
membuatku curiga. Jadi, aku melihat-lihat riwayat obrolannya. Namun, sekali lagi, nihil.

Aku kembali menggeledah Januar, mencoba mencari ponsel kedua dan membiarkan lelaki itu
mengatur napasnya di dekatku, tetapi aku tak mendapati benda yang kuinginkan. Ia tak memiliki
ponsel kedua.

"Gila! Apa yang kaulakukan, Roy!?" Januar berteriak begitu ia siap, hampir membuatku tulis.

Segera kutarik diriku, berdiri di samping Luthfi yang tak melakukan apa-apa, tepat seperti yang
kuminta.

"Kau ikut bergabung dengan polisi-polisi korup itu?"

"Hah?" Januar membelalakkan matanya. Ia melihatku dan Luthfi secara bergantian.

"Kau yang membunuh Loka, kan?"

Januar tidak segera membalas. Ia masih terlihat terkejut. Alisnya mengerucut hingga lebih tajam
dari pensil yang baru saja diraut. Mulutnya bergumam kecil, tapi tak keluar suara.

"Kau bercanda, Roy? Mana mungkin!"

Namun, tepat di saat percakapan dua arah kami, Luthfi memotong, "Sudah kukatakan tak akan
semudah itu, kan?"

Tentu, Januar tak setuju.

"Siapa dia? Kau menuduhku karenanya? Kau gila, Roy? Memangnya untuk apa aku
menghilangkan nyawa anakmu itu?" bentak Januar, lebih keras dari seharusnya, seolah-olah
sengaja ia lakukan karena sebelumnya seluruh kalimat yang ada di dasar mulutnya tertahan oleh
sumpalan kain
Luthfi berdecih, ia hampir meludah, hanya saja tertahan karena ia tahu sedang berada di dalam
tempat tertutup yang seharusnya tak dikotori. Sebagai gantinya, ia berlalu, meninggalkan aku dan
Januar dalam kondisi yang tak baik, seolah-olah sengaja membiarkan dua ekor kucing untuk saling
berkelahi.

Kembali kutatap Januar. Matanya masih memicing dengan alis yang tajam, seolah-olah tak
percaya akan gelagatku yang tak pernah dipikirkannya. Kini, Januar sudah dapat mengatur
napasnya dengan baik, tidak terdengar aneh lagi, mulutnya yang gelagapan pun telah berhenti, ia
mulai berbicara sebagaimana layaknya manusia berbicara.

"Roy, apa yang sebenarnya kaulakukan?" Januar bertanya, kembali melepaskan kalimat lain yang
sedari tadi tertahan di dalam mulutnya. Namun, sialnya aku tak memiliki jawaban yang tepat. Masa
aku harus bilang Luthfi menuduhnya membunuh Loka tanpa memberikan bukti yang valid?
Maksudku, siapapun tahu kau tak dapat menuduh orang tanpa bukti. Aku pun—sebagai orang yang
berwenang dalam memimpin jalannya penyelidikan—harusnya paham benar akan hal itu, tetapi
aku terlanjur gelap mata.

"Beritahu aku nomor yang mana—di antara 106 kontak ini—yang merupakan nomor saudaramu."

"Untuk apa?"

"Memastikan sesuatu," kujawab secepat mungkin, bagai kilat yang menyambar tanpa aba-aba.
Sedangkan Januar, dengan tubuhnya yang masih menggeliat karena tak nyaman, hanya dapat
memastikan bahwa aku benar-benar tak bercanda. Mungkin, dalam pikirannya—jika dia tak
bersalah—aku terlihat seperti orang tolol yang tak tahu arah, menjadikannya sebagai korban salah
tangkap.

"Kau benar-benar menuduhku membunuh anakmu itu?" Sekali lagi, Januar membuatku berpikir
dua kali. Dalam satu sisi, aku tak dapat menolak deduksi yang diberikan Luthfi. Dia tak pernah
salah, setidaknya selama kukenal saat ini. Beberapa kali aku beradu pendapat dengannya, memilih
jalanku sendiri dan mengacuhkan pikirannya, tetapi di saat yang bersamaan—entah kenapa—
dengan brengseknya sesuatu yang buruk terjadi padaku. Di sisi yang lain, Luthfi tak memberikan
bukti padaku yang menguatkan deduksinya, membuatku menimbang, apa yang sebenarnya terjadi?
"Beritahu aku nomor saudaramu." Kutekankan sekali lagi, membuat Januar tak dapat berkata
banyak. Ia hanya mendesah, mengembuskan napasnya dengan pelan, kemudian memberitahu
nomor saudara, yang menurut pengakuannya ia kunjungi tepat di malam aku, Wijaya, dan dirinya
berkumpul bersama sekadar bersenang-senang, di malam yang sama saat nyawa Loka diambil
seseorang.

Aku memindai sekali lagi, menyaksikan bagaimana nama yang Januar sebutkan hampir terlewat
dan luput dari penglihatanku. Kemudian, kubuka sejarah percakapan whatsapp yang Januar
lakukan dengannya yang terakhir dilakukan sekitar tiga minggu lalu. Terlalu lama, tidak
menunjukkan tanda-tanda Januar mengunjungi rumah saudaranya. Sebaliknya, aku hanya melihat
emoticon jempol yang mengangkat ke atas.

"Malam itu kau tidak mengunjungi saudaramu, kan?" Aku mencoba memastikan setelah kuperiksa
seluruh percakapan itu secara teliti. Mataku tidak salah, tanggalnya benar-benar berakhir tiga
minggu yang lalu. Padahal, Loka meninggal kemarin, bukan tiga minggu lalu.

"Aku mengunjunginya. Aku berani bersumpah, Roy."

"Buktinya?"

"Kau bisa bertanya pada saudaraku itu," sarannya.

Harus kuakui, cara Januar berinteraksi denganku membuatku sedikit ragu. Ia benar-benar
memperlihatkan seolah-olah dirinya tak bersalah. Atau mungkin karena benar dia tak bersalah?
Tapi, aku sendiri tahu Januar bukan orang tolol yang akan dengan mudahnya mengakui
kesalahan—seperti yang Luthfi bilang. Setidaknya, dia pasti sudah berinteraksi dengan banyak
orang, bagaimana di antara mereka terdapat orang-orang yang mengakui perbuatannya begitu
merasa terpojokkan, atau berkilah ke sana ke mari dengan alasan-alasan yang tak masuk akal.
Januar mungkin termasuk salah seorang dari sedikit jenis manusia yang bisa ditemui, licik dan
cerdas, menutupi kebohongannya dengan sangat baik. Tapi, jika dia sendiri bisa membuktikan
bahwa dirinya tak bersalah, apakah artinya Luthfi melakukan kesalahan untuk pertama kalinya?
Pada akhirnya, aku menyetujui rekomendasi Januar. Aku berusaha menelepon saudaranya melalui
ponsel Januar. Sialannya, kutunggu beberapa lama pun panggilan tak diangkat. Tersambung,
memang, tapi selalu berakhir dengan kekosongan. Mungkin dia sudah tidur?

Aku menarik napas panjang. Brengsek, memang.

"Roy, tadi kau bilang aku bergabung dengan kelompok polisi korup itu. Kenapa?"

Tatapan tajamku tampaknya tak membuat Januar melihatku sebagai monster. Sebaliknya, dia
malah mempertanyakan hal itu.

"Polisi-polisi korup itu pasti ingin membalaskan dendamnya. Hanya mereka yang akan
melakukannya."

Aku ingat ketika pertama kali berhadapan langsung dengan mereka, di mana nyawaku dan Loka
diancam—di tempat terpisah. Luthfi membantuku keluar dari jeratan brengsek itu. Ketika pada
akhirnya aku berhasil mengungkapkan tindakan-tindakan sialan mereka, membuka tabir gelap dan
membuat masyarakat mengetahui bahwa di balik seragam dan sumpah kami, di antara mereka ada
orang-orang sialan yang memanfaatkan situasi. Jelas, para polisi korup itu tak menyukai
tindakanku, sehingga mereka mengambil nyawa Loka dengan cara yang sama, bagaimana
beberapa di antara teman mereka—tiga, tepatnya—mati dengan leher yang patah dan sengaja
ditenggelamkan, tepat sama seperti apa yang terjadi pada Loka.

Perlahan, bayangan bagaimana Loka mengapung di dalam bak mandi kembali menyeruak, keluar
dari pikiranku. Di saat yang bersamaan, aku ingat bagaimana tak adanya pilihan yang dapat
kuambil saat Fandi, Bagas, dan Guntur sengaja menjemput ajalnya, mempermainkan Luthfi ketika
mereka tahu bahwa dia bukanlah orang yang sembarangan.

Kejadian-kejadian itu tak mungkin dihindari. Waktu terus berjalan. Namun, kini timbul
pertanyaan: bagaimana dengan Januar? Apa memang benar dia yang membunuh Loka? Apa benar
dia tergabung ke dalam kelompok polisi korup itu? Jika tidak, bagaimana?

Aku kembali merasa tolol. Ini kesekian kalinya aku bertindak tanpa berpikir matang-matang
lantaran terbawa emosi. Jika penyelidikan ini kulakukan secara resmi, sudah pasti gajiku akan
dipotong. Bahkan, mungkin lebih buruk, mungkin aku tak akan pernah dipercaya lagi untuk
menyelidiki suatu kasus, membuatku dideportasi keluar dari bagian tim penyelidik kasus
pembunuhan.

Sudah bertindak sejauh ini, mana mungkin aku hanya meminta maaf pada Januar dan kembali lagi
menemuinya setelah mendapatkan bukti apakah dia bersalah atau tidak?

Jadi, kuusahakan untuk menjaga citra diri.

"Bukan. Maksudku, kenapa kau menuduhku bergabung dengan mereka?"

Aku gelagapan. Pertanyaan itu mana mungkin bisa kujawab? Jadi, aku balik bertanya.

"Kenapa aku tak bisa menuduhmu bergabung dengan mereka?"

"Roy, kau sudah gila, ya? Kau menuduhku tanpa bukti? Kau polisi penyidik, kan?"

"Ya, dan tak pernah salah untuk membuat dugaan terlebih dahulu sebelum mendapatkan bukti,
kan?"

Tepat di saat kalimatku berhenti, ponsel Januar berbunyi. Sebuah panggilan masuk, menampilkan
gambar seorang lelaki bertubuh tegap dengan jaket hitam berdiri membelakangi kawah tangkuban
perahu. Senyumnya lebar, kacamata hitamnya dikenakan hanya untuk bergaya tanpa ada funsi
lainnya. Aku ingat foto ini dimiliki oleh saudara Januar. Tentu, mana mungkin aku lupa, kan? Baru
beberapa menit yang lalu kulihat, juga. Jadi, langsung kuangkat, namun, tidak kujawab dengan
segera.

Begitu suara seorang lelaki menyapa dari seberang sana, kuaktifkan mode speaker, kemudian
mendekatkan ponsel itu ke mulut Januar. Tentu tak begitu dekat hingga ludah-ludah yang keluar
dari mulutnya nanti akan muncrat memenuhi layar ponsel.

Januar yang bingung memerlukan waktu beberapa detik sebelum menjawab panggilan itu. Namun,
tetap saja pada akhirnya dia berbicara—walaupun kurasa karena sedikit terpaksa. Kutarik
lengangku, mengatupkan jari telunjuk, tengah, dan manis kemudian menempelkannya di telinga,
secara tak langsung memerintahkan Januar untuk berbicara.

"Gus." Januar membalas.

"Ngapain telepon malem-malem, Jan?"

Sekali lagi, Januar bingung. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia meminta panduan padaku—
melalui tatapannya—bagaimana cara bertanya pada saudaranya mengenai eksistensi dirinya pada
malam yang sama dengan kematian Loka datang. Namun, gelagatnya malah membuatku ragu.
Benarkah dia bingung? Atau karena dia tak ingin kebohongannya—jika benar bohong—diketahui?

"Ini, istriku marah-marah Gus, katanya kenapa semalem aku nggak pulang. Ngomong-ngomong,
aku dari rumahmu emang langsung ke kantor, jadi nggak sempet pulang. Tolong bantulah, Gus,
jelasin ke istriku."

Orang di seberang sana malah tertawa, terdengar tanpa dosa dan rasa bersalah.

"Kirain apa!" katanya, "Mbak Wanda ada di sana?"

"Ada."

Lelaki itu membalas, "Tenang lah Mbak, wong Janu emang sama saya kok semalem. Dia nggak
keluyuran ke mana-mana, kok. Kita cuma main PS."

Kuketuk pergelangan tanganku, memberikan pertanyaan tambahan yang bahkan tak perlu
kuucapkan. Lantas, Januar meneruskan pertanyaanku.

"Inget jamnya nggak, Gus? Jam berapa?"

"Lah, mana inget, situ datengnya tiba-tiba sih," balasnya, dilanjut dengan suara tawa yang
mencengangkan. "Tapi jam setengah sebelasan kayaknya. Kemarin lagi event game, selesai jam
sepuluhan. Baru habis itu, selesai event, makan malem, terus pas mau tidur tiba-tiba situ dateng.
Ya udah deh lanjut main PS. Tapi emang beneran cuma main kok, mbak. Tenang aja."
Kuberikan pesan selanjutnya, menganggukkan kepalaku sebanyak dua kali sambil sedikit menarik
ponsel yang kusodorkan sebelumnya.

"Cuma itu aja kok, Gus. Udah ya."

"Siap, Pak polisi."

Sebenarnya, aku kembali mendengar lanjutan tawa lelaki di seberang sana. Namun, segera
kuputuskan panggilan itu, kemudian menyakukan ponselnya. Kini, aku memiliki tiga ponsel.
Ponsel utama di saku baju polo, dua ponsel lainnya ada di saku kiri dan kanan celana. Seandainya
semua milikku dan beberapa di antaranya dapat kujual, mungkin sudah kulakukan.

"Dengar sendiri, kan?" Januar mendongakkan kepalanya, dagunya menendang ke depan,


menekankan kalimat-kalimat yang baru saja saudaranya lakukan.

"Kau pergi sekitar pukul delapan kemarin malam. Kalaupun saudaramu itu mengatakan hal yang
jujur, dua setengah jam adalah waktu yang cukup lama."

"Rumahnya di Cihampelas, Roy. Kau tahu betapa macetnya tempat itu, kan?"

"Aku tahu. Dan wilayahku dapat ditempuh kurang dari setengah jam dengan menggunakan mobil
di malam hari. Kau punya waktu yang cukup untuk pergi ke rumahku, melancarkan aksimu,
kemudian pergi ke rumah saudaramu. Itu tak membuktikan apa-apa."

"Ya ampun, Roy! Apa yang harus kulakukan agar kau percaya padaku?"

Jemariku menopang dagu, menutupi sebagian besar mulut yang tak berucap.

Kalau aku bisa percaya Luthfi, kenapa aku tak bisa percaya Januar? Maksudku ... memang logis,
sih, jika Januar pergi ke rumahku, membunuh Loka, kemudian mengunjungi rumah saudaranya.
Tapi kenapa jika aku bisa percaya pada Luthfi tanpa perlu meminta bukti yang konkret, aku tak
dapat melakukan hal itu pada Januar?
Apa hanya karena Luthfi telah membantuku berkali-kali? Tapi, sialan, dia itu cerdik. Bagaimana
jika selama ini dia membantuku karena dia menginginkan sesuatu? Sesuatu yang ... benar-benar
sesuatu?

Bagaimana jika Luthfi mempermainkanku selama ini, membangun kepercayaan dalam diriku dan
kemudian melancarkan aksinya tanpa membuatku curiga sama sekali? Semua itu bisa terjadi, tanpa
terkecuali.

Saat otakku berkelut, dipenuhi asap tebal akibat berpikir terlalu keras. Luthfi tiba-tiba datang,
membanting pintu dan membuat kegaduhan.

Aku tersentak, hampir melompat karena kaget. Namun, imajinasiku terlalu mengambil alih pikiran
sehat. Ketika aku berpikir Luthfi akan menarik pistol yang sengaja ia selipkan di antara bagian
tubuh dan pinggang celananya, ia malah menekanku.

"Brengsek kau, Roy. Kaubilang kau ingin membunuh laki-laki itu, kan? Kenapa lama sekali? Aku
sudah sengaja membawanya ke dapur agar kau bisa mengambil pisau dengan mudah tanpa perlu
pindah-pindah ruangan."

Aku bimbang. Sisi mana yang harus kupilih?


4. Desole

Januar melumat kedua bibirnya, kemudian menarik dirinya menjauh dari todongan pistol yang
Luthfi berikan. Kaki Januar melesat, menendang-nendang ke arah yang tak tentu, sedangkan
pundaknya sudah sampai di ujung dinding putih yang tak mungkin dilewatinya. Selain itu,
sekarang Luthfi tidak main-main. Berbeda dengan sebelumnya, lelaki bertopi itu telah memasang
peredam di pucuk pistol, kedua kakinya bergerak mendekati Januar yang sedang ketakutan.
Kurasa, dia ingin menembak Januar dari jarak yang sangat dekat. Bahkan, mungkin hingga tepat
mengenai pelipisnya sekadar untuk menyembunyikan lebih banyak suara yang masih bisa
terdengar biarpun peredam itu telah dipasang.

Aku bisa membiarkan Luthfi melakukannya. Namun, di tengah tipisnya waktu untuk berpikir—
mungkin kurang dari dua detik, sebelah tanganku segera menggapai pergelangan tangan Luthfi.
Awalnya, aku hanya ingin membuat bidikan Luthfi meleset seandainya ia merasa jarak di
antaranya dengan Januar sudah cukup dekat. Namun, tindakanku itu malah membuat langkahnya
terhenti, kemudian melemparkan pandangannya ke arahku.

"Aku memang bilang ingin dia mati, tapi hanya jika dia benar-benar membunuh Loka."

Ketika aku berselisih dengan Luthfi, Januar meringkuk ketakutan. Alisnya mengangkat,
membuatnya terlihat naik tergantung dengan napas yang kembali terengah-engah. Dia berteriak,
"Kalian berdua gila!"

Namun, Luthfi tak menghiraukannya sedikitpun.

"Dia memang membunuh anakmu," katanya. Namun, sekarang aku sudah mulai bisa
mengendalikan pikiranku. Emosiku mulai pudar, aku berusaha berpikir dengan jernih.

"Buktinya?" Aku bertanya, tepat seperti guru yang mempertanyakan persoalan-persoalan yang ada
dalam buku.
Genggaman yang kuberikan pada pergelangan tangan Luthfi belum kulepaskan, tetapi tampaknya
lelaki itu tak peduli. Wajah datarnya melihat ke arahku dan Januar yang tengah ketakutan secara
bergantian.

"Kau ingin memberitahu laki-laki ini sendirian atau membiarkanku untuk berbicara?" Luthfi
bertanya, lebih ke dalam bentuk ancaman. Namun, tentu saja pertanyaannya itu tidak ditujukan
padaku, melainkan Januar dengan mimik wajah yang belum berubah.

Sontak, Januar malah balik bertanya. "Apa? Bicara apa?"

"Komputer di kamarmu menyimpan semua rahasiamu."

Januar, masih dengan tatapan tak percayanya, mencegah Luthfi untuk berbicara lebih jauh.
Nadanya meninggi, tetapi tetap penuh dengan rasa penasaran.

"Roy, orang itu berbohong. Komputerku dikunci, mana mungkin dia membukanya."

"Sayang sekali, tapi anakmu mengetahui password-nya."

Januar meneguk ludahnya. Argumennya terhenti tanpa ada perlawanan apapun, membuatku
menggantikan posisinya dan bertanya, "Rahasia apa?"

"Kau bisa mendapatkan tambahan daftar orang-orang polisi korup itu, Roy. Pembagian uang
hingga cara pencucian uang yang mereka lakukan semuanya disimpan. Aku tidak mengerti sih,
kenapa dia menyimpannya. Kalau aku menjadi dirinya," Januar melayangkan lengannya,
menunjuk Januar dengan tangannya yang satu lagi—tidak terkunci oleh genggamanku, "Sudah
pasti aku akan menghapusnya. Mungkin dia terlalu percaya diri untuk menyimpan rahasia itu."

"Kau yakin?"

"Roy, kau harus melihat dengan mata kepalamu sendiri agar bisa yakin dengan omonganku, ya?"

Sialannya, masalahnya bukan itu. Semua prasangka ini berkaitan dengan hidup yang mati.
Brengsek! Kenapa sebelumnya emosiku menelungkup dan bergumul menyelimuti ragaku, sih?
Kenapa aku tak berpikir kritis terlebih dahulu, kenapa aku tak pernah memikirkan kemungkinan
bahwa Luthfi, si lelaki bertopi itu, bisa saja memanfaatkanku dan membantunya untuk
menyingkap orang-orang yang tergabung ke dalam kelompok polisi-polisi korup itu untuk alasan
pribadi?

Ketika aku bimbang, kulepaskan genggaman tanganku, membiarkan pistol Luthfi bergerak secara
leluasa, mengikuti gerakan motorik tubuhnya. Namun, tak begitu lama.

"Aku akan melihatnya," kataku, seraya berjalan. Namun, tidak segera keluar dari dapur, melainkan
mengangkat tubuh Januar yang cukup berat. Kakinya bergetar hebat, hampir tak dapat berdiri jika
tak kubantu. Tetapi, melihat kelakuanku itu, Luthfi menjadi gusar. Napasnya menderu hebat
dengan suara geraman bagaikan anjing liar yang terdistraksi oleh manusia.

Luthfi tak mencegahku pergi meninggalkan ruangan. Mulutnya bagaikan terkunci, tak
memberikan komentar apapun ketika aku dan Januar berjalan melewatinya. Selain itu, dia pun tak
mengikuti kami berdia yang berjalan menjauhinya. Lelaki itu tetap diam, mematung, menjaga rasa
gusarnya agar tak kelewatan dan malah membunuh dua orang laki-laki di malam ini.

Di tengah perjalanan yang singkat, aku baru sadar bahwa seharusnya kunci-kunci kamar itu—
kamar sang anak dan kamar Januar—berada dalam kantong celana. Refleks, kedua tanganku
mencari-cari benda kecil tanpa ornamen tambahan itu. Sialannya, aku tak dapat menemukannya.
Aku baru ingat betapa lihai Luthfi untuk mengambil barang yang bukan merupakan
kepemilikannya. Namun, kejadian itu membuatku sedikit berpikir: kenapa Luthfi repot-repot
mencari tahu bahwa Januar termasuk ke dalam anggota polisi-polisi korup itu?

Sesuai dugaanku, Kamar Januar tidak terkunci. Bahkan, kuncinya masih menggantung pada pintu
bagian luar yang menghadap ke arah lorong.

Pintu itu kubuka secara perlahan, memastikan bahwa di ujung sana tak ada monster yang akan
melahapku. Namun, sebaliknya, dapat kulihat bocah berumur sepuluh tahun itu—dengan tangan
yang tak terikat dan sumpalan mulut yang telah menghilang—meringkuk di ujung ruangan.
Kepalanya segera mendongak begitu tahu seseorang memasuki ruangan ini. Namun, wajahnya tak
menunjukkan sama sekali rasa takut, kesal, ataupun semacamnya. Mata bulatnya yang jernih
dilemparkan ke arahku.

Apakah Luthfi melepaskan ikatannya?

Komputer yang tampaknya Luthfi maksud tersimpan di ujung kiri ruangan, berseberangan dengan
tempat anak itu memojokkan dirinya. Komputer itu menyala dalam keadaan stand by. Warna hitam
memenuhi layar, tanpa cahaya, membuatku menggerakan mouse dan membuatnya menampilkan
jendela utama dengan jendela-jendela aplikasi yang memenuhi layar.

Sesekali kutengok arah belakang, memastikan Januar tak kabur. Dan, ya, dia masih ada di sana.
Di saat yang bersamaan, kembali kugeledah saku-sakuku. Kedua kunci itu hilang, hanya tersisa
dua ponsel.

"De, kamu tahu password komputer ini?" Aku bertanya, sekadar memastikan, dan anak kecil itu
mengangguk tanpa rasa berdosa.

Sekarang, kembali kuperhatikan layar komputer yang ada di hadapanku, membuatku sadar bahwa
komputer ini tengah menampilkan dua buah sistem operasi yang berbeda. Januar memanfaatkan
mesin virtual, mungkin agar aplikasi yang sebelumnya disebutkan Luthfi tidak dapat dibuka
dengan sistem operasi yang sebenarnya terpasang di komputer ini, membuat orang-orang yang
sekiranya menggunakan komputer ini tak akan curiga karena tak dapat membuka aplikasinya.

Loka pernah memberitahuku, mesin virtual sebenarnya tak jauh dari komputer biasa. Hanya saja,
jika komputer biasa memiliki wujud dalam bentuk fisik, maka mesin virtual hanya tampil ke dalam
bentuk maya dengan memanfaatkan perangkat-perangkat keras komputer lain di mana ia disimpan.
Jika Januar memiliki aplikasi dengan ekstensi sendiri yang hanya bisa dieksekusi pada sistem
operasi pertama, sedangkan komputernya memiliki sistem operasi kedua, maka hal tersebut akan
menjadi kamuflase yang unik dan cukup sulit untuk dibongkar. Siapa yang mengira jika aplikasi
itu hanya dapat dijalankan pada sistem operasi pertama?

Pikiranku terus meracau ke mana-mana ketika kursor bergerak-gerak pada layar karena mouse
yang kugeserkan. Persis seperti apa yang Luthi katakan, aplikasi ini memuat data orang-orang
yang juga tergabung dalam kelompok polisi-polisi korup itu. Sialannya, khusus tertutup di daerah
Jakarta Selatan. Selain itu, beberapa animasi menampilkan beragam rencana yang pernah mereka
buat. Sistem pertemuan, cara mereka merekrut orang baru, hingga satu buah rencana yang berbeda
dari yang lainnya—mungkin satu-satunya. Kulihat tanggal yang tertera, mungkin sekitar tujuh
tahun lalu.

Mereka pernah merencanakan sebuah pembunuhan seorang anak sekolah. Animasinya


memberikan gambaran bagaimana si anak menjadi korban kecelakaan tabrak lari di sebuah
persimpangan yang tak jauh dari tempat tinggalku. Namun, aku tak begitu ingat adanya kecelakaan
sekitar tujuh tahun lalu yang menyebabkan seorang anak sekolah tewas. Atau mungkin aku hanya
lupa?

Anak itu bernama Yusup. Ya, benar-benar Yusup, menggunakan huruf p di akhir namanya,
bukannya huruf f, secara tak langsung diriku mengonfirmasi bahwa orang tuanya merupakan orang
Sunda dengan budaya yang kental. Bukannya menghina, sih, tapi memang benar adanya, kan?

Sang calon pelaku tabrak lari tak disebutkan namanya, tetapi jelas rencana mereka menunjukkan
bahwa si pelaku akan dibebaskan. Bukan tanpa sebab, tetapi mereka memang sudah mengaturnya
sedemikian sehingga si anak terlihat lalai saat menyebrang jalan, sehingga si pelaku tak dapat
dijatuhi hukuman karena kecelakaan itu tak dapat dihindari, bukan atas dasar kesalahan si
pengemudi. Tidak mabuk, tidak mengantuk, benar-benar murni kesalahan si anak—cerdas juga
mereka.

Aku kembali menengok ke belakang. Januar masih ada di sana, mematung tanpa mengatakan
apapun, sedangkan sang anak maish duduk di pojok ruangan.

Kumpulan data ini dimulai sekitar sepuluh tahun lalu. Gila, sudah lama sekali mereka beroperasi.
Namun, sialannya, satu-satunya bukti yang kucari-cari malah tak dapat kutemukan. Berulang kali
kupindai daftar rencana-rencana yang mereka buat, tetapi memang tak ada rencana pembunuhan
lain selain kasus tujuh tahun lalu itu. Loka tak ada dalam daftar.

Aku menarik napas panjang, memejamkan mataku secara perlahan, membiarkan keringat
membanjiri tubuhku akibat suasana Jakarta yang panas.
"Seperti yang kubilang Jan, aku hanya akan mencurigai orang-orang yang tergabung ke dalam
kelompok polisi korup itu. Kau termasuk ke dalam salah satunya."

Januar berdalih. "Roy, sungguh, bukan aku. Mungkin temanmu itu menjebakku dan membuatmu
berpikir bahwa aku ikut ke dalam kelompok mereka."

"Kenapa aplikasi ini ada dalam komputermu?"

"Temanmu itu pasti menyimpannya di dalam komputerku."

"Kenapa kaupikir temanku itu akan melakukannya? Kenapa dia ingin aku menuduhmu?"

"Aku tidak tahu. Kenapa tak kau tanya saja?"

"Di sini disebutkan kau seharusnya membuat Loka terlihat sebagai korban kecelakaan, bukan
pembunuhan."

Januar tampak bingung. Alisnya naik setinggi-tingginya. Napasnya terhenti disertai otaknya yang
tampak terus berpikir. Walaupun begitu, ia tak memberikan pendapatnya. Sedangkan sang anak,
yang masih diam di pojok ruangan berusaha menutupi kepala dengan kedua tangannya, reaksi
spontan ketika ia tak ingin mendengarkan pembicaraan yang ada di sekitarnya.

Namun, kebingungan Januar membuatku sampai pada satu kesimpulan.

"Kau tahu isi dari aplikasi ini, ya?"

Reaksi spontan Januar itu bukanlah reaksi yang dibuat-buat. Dia kebingungan, bukan terkejut,
karena dia tahu seharusnya pernyataanku itu tak muncul di dalam aplikasi itu.

"Kalau kau tak tahu menahu tentang aplikasi ini, seharusnya kau juga tak tahu isi dari aplikasi ini,
kan?" tanyaku, segera setelah pertanyaan sebelumnya kulontarkan.

"Aku memang tidak tahu, Roy."

"Kau tahu."
"Kenapa kau menuduh jika aku tahu, Roy?"

"Namamu jelas ditulis di sana, kau membunuh Loka."

"Mustahil! Temanmu itu hanya ingin kau menuduhku, Roy!"

"Kau ingin membuat kematian anakku terlihat seperti kematian Guntur dan teman-temannya,
kan?"

"Aku tak mungkin mematahkan leher anakmu, Roy. Maksudku, mana mungkin aku berani
melakukan hal semacam itu?"

"Jan, aku tahu berita kematian anakku, bagaimana lehernya patah dan mayatnya sengaja
ditenggelamkan di dalam bak mandi meluas dengan cepat," tukasku, kemudian membuat jeda
sejenak dengan mengambil napas. "Tapi kenapa kau bisa tahu leher Guntur patah? Padahal berita
itu tak pernah disebutkan. Kau tahu kasus Guntur ditutup sebagai kasus pembunuhan dan bunuh
diri, kan? Dia membunuh dua temannya kemudian menenggelamkan dirinya, tak pernah ada yang
tahu lehernya patah. Tentu saja selain ... aku, yang kebetulan berada di lokasi, temanku itu, serta
orang-orang yang menyelidiki kasusnya. Ah, aku lupa jika Pak Dadang—pemimpin penyelidikan
kasus itu—juga tersangkut ke dalam kasus polisi korup, ya?"

Tebakanku sebenarnya hanya tebakan murahan yang bisa dituduhkan pada siapa saja. Aku tak
akan berbohong bahwa beberapa kali aku salah mengira akan reaksi seseorang, membuat
seseorang yang tak bersalah masuk ke dalam tahanan sementara ketika aku berusaha mencari bukti
lain untuk menguatkan dugaanku. Namun, bukan berarti tebakanku selalu salah.

Akan lebih masuk akal jika Januar membicarakan hal-hal mengenai tenggelamnya Guntur, serta
bagaimana mayat Loka mengapung di atas air daripada membicarakan patahnya leher Loka. Ia
sendiri pasti tahu akan apa yang kumaksudkan.

Kemudian, suasana ruangan ini berubah menjadi kacau. Transisi jiwa Januar yang sebelumnya
tampak polos tak bersalah berubah menjadi jiwa yang kesetanan.
Januar mengerjapkan matanya beberapa kali, napasnya yang tersendat-sendat kini terlepas bebas,
seolah-olah seluruh beban hidupnya keluar begitu saja tanpa adanya proses yang mematikan. Dia
menunduk, kemudian kembali mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arahku. Wajahnya
berubah total. Yang sebelumnya ketakutan, kini laki-laki itu berubah menjadi orang brengsek yang
tak tahu malu.

Dia tersenyum, tertawa kecil, matanya menilik tajam merasuki tubuhku. Percayalah, ketika aku
melihat Januar yang ada sekarang ini, rasanya aku benar-benar seperti melihat dua orang yang
berbeda.

"Kau menang. Aku lelah berpura-pura." Januar mengucapkan hal itu seolah-olah arwah lain
merasuki tubuhnya.

Di samping itu, bukan hanya aku saja yang merasakan aura lain keluar dari tubuh Januar. Si anak
kini tak hanya menutupi wajahnya, melainkan meringkuk, melipat lututnya seraya membenamkan
kepala di antara kedua kakinya. Sambil berusaha menutupi kedua telinganya.

Aku sendiri sebenarnya sudah curiga, anak itu terlalu tenang untuk melihat segala perlakuan keji
yang aku dan Luthfi lakukan. Dia tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi, dan jelas dia tahu
bahwa hal semacam ini—cepat atau lambat—akan segera mendatanginya. Umurnya yang masih
kecil bertindak sedikit aneh, setidaknya bagiku, membuatku kembali mengingat kenangan ketika
kulihat pembunuhan ibu kandungku dengan mata kepalaku sendiri. Masa-masa yang tak pernah
ingin kukenang, tapi tak dapat kulepaskan dari memori otakku.

Aku sendiri tak mengerti bagaimana otakku bekerja. Di satu sisi, aku merasa bimbang untuk
menentukan pelaku kasus pembunuhan anakku itu. Apakah Januar? Apakah Luthfi? Atau orang
lain? Kurasa instingku terlalu kuat sehingga aku berusaha terus menerus memojokkan Januar,
padahal aku bisa memaksa Luthfi untuk mengaku. Tapi, kenapa?

Untungnya, tidak berakhir terlalu buruk. Setidaknya, Januar kini mengaku atas keinginannya
sendiri, membuatku yakin bahwa memang dia lah sang pelaku yang kucari selama ini.
5. Lumina

Aku menarik kursi, kemudian menyimpannya tepat di tengah ruangan ketika sang anak dari
Januar—Ganira—keluar dari kamar brengsek yang menyimpan sebuah rahasia besar. Anak itu
tidak keluar atas inisiatifnya sendiri, melainkan pergi menarik raganya atas dasar perintahku.
Ketika aku membuka pintu, ia layangkan tatapannya untuk melihatku, mencoba meyakinkan
dirinya bahwa Luhtfi—setidaknya mungkin—bukanlah manusia munafik brengsek yang
menyimpan rahasia atas kekejiannya, seperti ayahnya—tentu tak kuucapkan hal itu secara
gamblang.

Aku sendiri tidak tahu apakah pada akhirnya anak itu akan benar-benar menemui Luthfi atau kabur
keluar rumah dan memanggil tetangga-tetangganya untuk meminta bantuan. Namun, aku punya
alasan yang tepat untuk melakukan hal-hal ini, seandainya orang-orang yang tak mengenalku—
para tetangganya—berusaha meludahi wajahku karena berpikir aku bertindak semena-mena.

Kini, kursi kedua kutarik sebagai kursi tambahan untuk Januar duduki—kursi terakhir di ruangan
ini. Seretan kaki-kakinya terdengar nyaring di telingaku, terutama di tengah kesunyian malam dan
tidak memberontaknya sang istri Januar—pada akhirnya. Kuayunkan salah satu lenganku,
mempersilakan Januar, masih dengan senyum menyebalkannya, untuk duduk. Dia tak banyak
bicara, hampir seperti seekor hewan peliharaan yang mengikuti seluruh perintah majikannya.
Bedanya, jika hewan peliharaan akan menampilkan senyuman lucu dengan mulut lebar yang patut
untuk difoto, Januar menampilkan wajah termengerikan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku duduk di seberangnya, memangku sebelah kaki sambil bersandar pada sandaran kayu yang
keras. Kemudian, kutarik napas sedalam mungkin setelah memainkan ponselku dalam beberapa
saat.

Satu jam telah berlalu.

Detak jantungku semakin terpacu, aku tak akan menyangkal bahwa di dalam pikiranku, Januar
telah babak belur akibat layangan tinju yang berkali-kali kudaratkan pada wajahnya, darah segar
keluar dari mulut maupun luka akibat kulitnya yang sobek. Rasanya aku benar-benar ingin
merealisasikan hal itu, mewujudkan mimpiku menjadi nyata, tetapi pada akhirnya kutekankan
pada diriku bahwa masih banyak hal yang ingin kudapatkan dirinya, membuatku terpaksa menahan
emosi dan berita-berita yang akan disampaikan saraf motorik pada anggota tubuhku. Menahan hal
itu tidaklah mudah.

Januar tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun. Bukannya menghindari kontak mata denganku,
Januar malah memicingkan matanya. Alisnya mengerut, mempertajam pandangannya, tetapi
tubuhnya tak bergerak sama sekali, seperti seorang predator yang sedang mengintai mangsa dari
kejauhan. Walaupun begitu, aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah mendapatkan banyak
pengalaman, di mana orang-orang menjadi korban kejahatan sanak saudaranya, bagaimana si
saudara tak merasa bersalah karena beranggapan sang korban patut mendapatkan pelajaran. Hanya
saja, aku tak pernah berpikir hal yang sama akan menimpaku. Selama aku bekerja, kupikir
pekerjaan terberat adalah berinteraksi dengan para pelaku yang selalu menyangkal perbuatannya.
Namun, kini aku mendapatkan pekerjaan yang lebih berat: berinteraksi dengan pelaku yang
menyangkal perbuatannya, tetapi hal itu menyangkut kehidupan pribadimu.

Kuberikan nada terendah dari pita suaraku, tetapi tetap kuusahakan agar dapat Januar dengar.

"Pada akhirnya kau mengakui perbuatanmu," kataku. "Kenapa?"

"Sudah kukatakan jika aku lelah berpura-pura, kan?"

Kuteguk ludahku, merasakan sensasi cairan mengalir melalui kerongkongan.

"Maksudku, kenapa kau melakukannya, Brengsek!"

"Hei, hei, Roy, jangan berubah menjadi kasar begitu."

Kepalan tanganku melayang, kemudian mendarat tepat di dagu Januar, membuatnya meringis
kesakitan. Untungnya, aku bukan seorang petinju profesional yang dapat membuat lawan jatuh
pingsan dalam satu pukulan.

Walaupun kepalanya sempat terpental, Januar masih bisa mempertahankan posisinya. Kedua kaki
depan kursinya terangkat sejenak, tetapi akhirnya kembali ke posisi semula karena beban tubuh
lelaki itu, membuat dentuman keras yang tak menyenangkan. Januar mengeluh, mulutnya
bergumam, ia terlihat berusaha mengusap-usap dagu dengan tangannya, tetapi tentu saja tak
berhasil karena anggota tubuhnya itu masih terikat dengan kuat di belakang tubuhnya.

Di saat yang bersamaan, seluruh ruas jariku terasa remuk. Jika biasanya aku melihat berbagai aksi
heroik yang melibatkan perkelahian, bagaimana sang tokoh utama menghajar lawannya dengan
tangan kosong dan terlihat keren, maka aku berada dalam keadaan yang berbeda seratus delapan
puluh derajat.

Ruas-ruas jariku berdenyut, secara tak sadar kuusap permukaan kulit yang semakin terlihat
memerah. Kemudian, kugoyangkan beberapa kali untuk menghilangkan rasa sakitnya. Tidak, tidak
keren sama sekali, juga tidak terlihat efektif seperti yang digambarkan dalam kebanyakan film.
Namun, aku tak dapat menghentikan reaksi spontanku itu. Brengsek memang, dia, bisa-bisanya
menyuruhku untuk tak berubah menjadi kasar ketika ia tahu jelas apa penyebabnya.

Merasa cukup dengan kibasan tanganku, akhirnya aku berhenti. Namun, di saat yang bersamaan,
Januar masih menggoyang-goyangkan gusi bagian bawahnya, merelokasi kerangka seandainya
benda itu keluar dari tempat seharusnya.

Darah keluar dari bibirnya, mungkin karena tinjuku yang terlalu keras, membuat gigi-gigi bagian
atasnya merobek permukaan bibir bawah lelaki itu. Namun, apapun yang terjadi, aku berusaha
untuk tidak peduli. Dia sendiri yang memintanya, kan?

"Aku sedang tak ingin bercanda, Jan."

Januar masih memainkan gusi bawahnya, membuat dagu tak berambutnya itu bergerak ke kiri dan
ke kanan. Namun, ia tampak tak mendengarkanku. Bahkan, kedua bola matanya sibuk menatap
langit-langit kamar yang tak memberikan pemandangan apa-apa.

Begitu beberapa menit berlalu—tanpa suara—akhirnya Januar menyerah juga. Ia menarik


napasnya, mengeluarkan karbondioksida secara perlahan melalui kedua lubang hidungnya,
kemudian berkata, "Temanmu bilang kau ingin membunuhku."

Benar, batinku, tetapi mulutku tak terbuka sedikitpun. Sebagai gantinya, kupasang tatapan tajam
karena aku yakin Januar masih akan melanjutkan pembicaraannya.
"Tapi aku tidak yakin kau berani melakukannya." Januar tersenyum, kemudian tertawa, meledak
bagaikan kembang api tahun baru, meledekku dengan sepenuh hati. Sekali lagi, kepalan tanganku
mendarat di dagunya, seolah-olah rasa sakit sebelumnya telah pudar—padahal belum.

Si brengsek ini benar-benar mempermainkanku.

Air mataku hampir keluar, tapi kukendalikan seutuhnya hingga tak terlihat bendungan air
memenuhi penglihatan.

Aku benar-benar tak mengerti bagaimana di kehidupan ini ada setan yang mengubah wujudnya ke
dalam bentuk manusia dan berjalan-jalan di kehidupanku. Sangat dekat, bahkan hingga merebut
jiwa yang tak bersalah. Kurasa hatiku benar-benar hancur ketika proyeksi tak nyata dalam otakku
menampilkan sosok Januar, bagaimana ia, dengan mudahnya, memelintir leher Loka dan
menenggelamkannya ke dalam bak mandi. Aku berteriak—tentu dalam hati.

Sekali lagi kuhajar Januar, dan ia kembali meringis kesakitan. Bedanya, kali ini disertai dengan
tawa.

"Kau bukan aku, Roy, kau tak akan berani melakukannya seperti apa yang kulakukan pada anakmu
itu."

Pukulan keempat kulayangkan, Januar mengganti air liurnya dengan darah kental, menetes keluar
dari mulutnya. Sedangkan tanganku—entah karena sudah terbiasa atau benar-benar remuk—tak
merasakan sakit, bahkan sedikitpun.

"Benar, kan?"

Si sialan itu menggodaku, dan aku benar-benar tak tahan.

Aku menerjangnya, menindih tubuhnya yang tak dapat berkutik. Ponselku terperosok keluar dari
saku baju, tapi aku tidak peduli. Kini, kedua lenganku menggenggam kepala Januar, sedangkan
kakinya meronta-ronta, berusaha keluar dari kunci yang mengekang dirinya.

Aku berteriak, "Bedebah!"


Ruangan ini bergemuruh. Bahkan, mungkin sanggup untuk membangunkan tetangga-tetangga
yang sedang tidur. Namun, aku benar-benar tak tahan. Sama seperti Januar, aku tak dapat berpura-
pura lagi. Aku sudah berusaha menahan emosi begitu tahu bahwa Januar benar-benar mengambil
nyawa anakku, bagaimana aku dengan kepala dingin meminta sang anak dari Januar keluar
ruangan karena aku yakin—pasti—sesuatu yang tak menyenangkan akan terjadi—dan memang
benar terjadi, kan?

Emosiku yang membludak membuat kedua lenganku menjerat leher Januar, memaksa
kerongkongan dan tenggorokannya berhenti berfungsi setelah beberapa kali menghajar wajahnya.
Seluruh tenaga kualihkan pada kedua lenganku, membuat wajah lelaki itu memutih dan pucat.
Pembuluh-pembuluh darah di matanya mulai bermunculan, lengannya berusaha melepaskan
cengkeraman tanganku, tapi jelas percuma karena dia tak dapat menggerakannya. Kedua kakinya
menendangku, berusaha menyingkirkan tubuhku darinya, tapi lelaki ini sudah semakin kehilangan
tenaga.

Bau amis tercium begitu tekanan yang kuberikan semakin hebat. Napas Januar terdengar
sesenggukan, berusaha mencari oksigen, tetapi cengkeraman tanganku semakin kukuatkan.

Lelaki ini bisa pingsan kapan saja. Namun, kata-kata terakhirnya membuat hatiku bergejolak. Alih-
alih menahan leher Januar agar saluran pernapasannya tak berfungsi dengan baik, kutarik lehernya
kuat-kuat, kemudian membenamkan kepalanya ke dasar lantai, membuat dentuman keras yang
memekakkan telinga. Seketika, Januar tak bergerak lagi, tubuhnya lemas lunglai, matanya tertutup
begitu kulepaskan cengkeramanku.

Aku berdiri, melihat lelaki dengan darah yang menempel di area mulutnya terkulai lemas. Aku
pikir dengan berakhirnya perkelahianku dengan Januar akan mengakhiri segalanya. Namun, tidak
semudah itu.

Beberapa menit berlalu, aku masih gelap mata, berdiri mematung tanpa melakukan apapun.
Namun, semakin lama kulihat keadaan, kepanikan mulai muncul dalam benakku. Beragam
pertanyaan terlintas di dalam otakku.
Apa Januar sudah mati? Apa aku benar-benar membunuhnya dengan tanganku sendiri? Apa yang
harus kulakukan sekarang? Gila!

Aku segera berlutut, mencari-cari pergelangan tangan yang tertimbun oleh tubuh Januar sendiri.
Segera setelah mendapati pergelangan tangan Januar yang masih diikat dengan cable tie, kucoba
untuk memeriksa denyut nadinya, menempelkan beberapa ruas jariku pada pergelangan tangan
dan berharap untuk merasakan apa yang seharusnya dapat kurasakan seandainya lelaki ini masih
hidup.

Denyutan-denyutan kecil dapat kurasakan, tetapi belum cukup untuk meyakinkanku.

Akhirnya, pilihanku jatuh untuk memeriksa leher Januar, mencari-cari denyut nadi yang kuharap
masih bisa kurasakan. Wajahnya yang lemas pucat dengan mata tertutup seolah-olah berusaha
menghantuiku seumur hidup. Namun, dengan napas yang tersengal-sengal, kucoba untuk kembali
membuat pikiranku fokus pada tujuan utama.

Kurasakan beberapa kali denyut kecil, sensasinya tak jauh beda dengan denyut yang dapat
kurasakan pada orang hidup. Artinya, ya, Januar masih hidup, tetapi jelas kelakuanku yang kasar
itu benar-benar membuat keadaan fisiknya terganggu. Bahkan, mungkin dia gegar otak.

Kulemparkan tubuhku, berbaring sambil mengatur napas secara perlahan. Rasa lelah benar-benar
menghantui ragaku, rasa panik yang tadi sempat muncul kini terangkat dari tubuhku setelah
kuketahui bahwa Januar masih hidup, tidak mati seperti rencana awal yang kuharapkan. Walaupun
begitu, entah kenapa perasaan lega memenuhi pemikiranku.

Si brengsek Januar sendiri yang bilang seperti itu. Tapi ... mungkin aku memang tak dapat
melakukannya? Aku tak berbohong bahwa aku benar-benar ingin lelaki itu mati, tapi bukan dengan
cara yang seperti ini. Maksudku ... aku tidak memiliki hak untuk mengambil nyawa seseorang,
kan? Sebrengsek apapun orang itu.

Mungkin orang-orang akan menyebutku sebagai seorang pecundang.

Kutarik ponsel yang sebelumnya berseluncur keluar dari sakuku, tetapi tetap dalam keadaan
telentang. Ketika kuacungkang ponsel itu, membuat sudut empat puluh lima derajat dari arah
mataku, baru kusadari bahwa beberapa bagian dari kedua lenganku ini bersimbah darah, utamanya
pada punggung-punggung tanganku. Selain itu, kurasakan tremor menjalar hingga kedua siku.
Rasa sakit itu kembali memenuhi kedua lenganku, tulang-tulangku benar-benar terasa remuk.
Namun, keadaan yang tak menyenangkan itu berusaha kuhalau dengan memperhatikan detik-detik
waktu yang terus berjalan di layar ponsel.

Entah karena insting atau kebiasaan, aku tak pernah lupa memasang rekaman sebelum memulai
suatu interogasi, walaupun untuk yang satu ini tampaknya tak berakhir dengan cukup baik. Namun,
jika kuingat kembali, kurasa aku berhasil membuat Januar secara tak sadar mengakui
perbuatannya—mengambil nyawa Loka. Dan aku cukup bersyukur akan hal itu. Maksudku, tak
ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa Januar membunuh Loka. Semua data yang ada di
komputernya tak pernah menyinggung hal itu, dan aku yakin Luthfi pun menyimpulkan bahwa
Januar membunuh anakku karena Januar terbukti bergabung dengan polisi-polisi korup itu—satu-
satunya kelompok yang mungkin melakukan pembunuhan terhadap anakku.

Kuakhiri rekaman, masih dengan kedua tangan yang terasa nyeri, bahkan sempat membuatku
beberapa kali melenguh pelan. Kemudian, aku bertumpu pada kedua siku untuk membantu
menegakkan tubuhku, berdiri dengan tegap tanpa goyah.

Aku bisa saja memanggil kepolisian daerah sini untuk meminta bantuan, mengangkut Januar yang
sedang tak sadarkan diri serta menyerahkan bukti rekaman sehingga kasus pembunuhan yang
terjadi pada anakku bisa ditutup dengan mudah. Namun, aku masih belum bisa memercayai
siapapun terlebih dahulu, membuatku berjalan keluar kamar, mendapati lorong sempit nan pendek
yang tampak sepi.

Luthfi sedang tiduran sofa empuk di ruang tamu—aku dapat melihat kakinya menggantung di
lengan sofa, sedangkan sang anak dari Januar duduk di kursi lainnya, berseberangan dengan sofa
Luthfi.

Gila, bagaimana mungkin lelaki bertopi itu bisa setenang ini?


Kurasa, langkah kakiku terlalu berat hingga Luthfi menyadari kehadiranku yang tengah menyusuri
tangga untuk turun. Bahunya diangkat tinggi-tinggi, membuat kepala lelaki itu menyembul dari
balik sandaran.

"Kau sudah melakukannya?" tanyanya dengan segera, bahkan tanpa basa-basi maupun
menungguku hingga selesai turun.

"Ya," balasku, sambil terus berjalan. "Kau punya flashdrive atau kabel data?"

Luthfi, tanpa mengernyitkan wajahnya, bertanya, "Untuk apa?"

"Aku membutuhkan data di komputer itu sebagai barang bukti."

"Roy, kurasa kau harus menggunakan hard disk untuk mengambil datanya," tukas Luthfi.

"Apapun itu."

Begitu aku sampai di bawah, akhirnya Luthfi mengangkat pinggulnya, ia menarik kakinya untuk
bersila, menghilangkan pemandangan kaki yang menggantung pada ujung sofa.

"Aku tidak punya."

Aku menarik napas, mengungkapkan kekecewaan, dan Luthfi kembali bertanya.

"Kau bisa memanggil bantuan, kan? Maksudku, kau polisi, kenapa mereka tak menerima
panggilanmu?"

"Ide bagus, terutama jika para polisi yang datang ke sini bukanlah para polisi korup," sahutku.
"Aku memercayai Januar, dan kau tahu apa yang terjadi, kan?"

Luthfi memutarkan kedua bola matanya secara beriringan. Ia tampak ragu, tapi akhirnya
menyetujui keinginanku.

"Dengan syarat, Roy. Kau harus diam di sini, aku akan pergi ke kamar atas. Jangan mengintip,
jangan mencoba mencari tahu apa yang kulakukan. Kalau tidak, aku tak yakin bisa membantumu."
"Apapun itu selama bisa kudapatkan datanya," balasku, membuat Luthfi akhirnya mengerakkan
raganya menjauhi ruangan ini, menuju ke kamar atas, tempat di mana perkelahian antara aku dan
Januar terjadi. Namun, sebelum Luthfi benar-benar sampai, aku berteriak, "Ah, berkaitan dengan
sebelumnya, sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Januar hanya ... pingsan. Jangan apa-apakan
dia."

Namun, Luthfi tak menjawab. Dia hanya berhenti sesaat untuk mendengarkan omonganku. Segera
setelahnya, dia kembali melesat menghilang dari penglihatan, membuka pintu kamar di mana
seorang lelaki—tepatnya sang tuan rumah—hampir menjadi korban pembunuhan.

Ya, aku tidak dapat melakukannya. Tapi bukan berarti tidak mungkin keinginanku agar Januar
mati tak terwujud, kan?

Ah, kurasa aku harus lebih memperhalus bahasa yang kugunakan. Mungkin sebaiknya tak kusebut
aku ingin Januar mati, melainkan aku ingin Januar diadili.

Lelaki itu masih bisa dijatuhi hukuman, kan? Mungkin tidak instan dan tak semudah
melakukannya langsung di tempat ini—bahkan itu tidak lebih mudah. Namun, setidaknya melalui
prosedur yang benar, aku dapat membuktikan kepada para polisi korup itu bahwa di dunia ini,
masih terdapat orang-orang baik yang membiarkan sang pelaku diadili dengan adil, bukan main
hakim sendiri. Aku yakin, Loka pun tak menginginkan aku berubah menjadi orang gila yang
mengambil nyawa orang lain, apalagi untuk membalaskan dendamnya.

Benar, kan?

Di saat yang bersamaan, aku lupa bahwa sang anak dari Januar masih ada di ruangan ini. Ia
melihatku. Namun, di balik matanya, aku yakin pikirannya sedang kosong.

Apa Luthfi membicarakan sesuatu dengan anak itu sebelum aku turun?
6. Model and Simulation

AKP Rama mendengarkan rekaman yang kuberikan. Pipi tirus dengan rahang kotak berjanggut
tipisnya tak bergerak sedikitpun. Walaupun bola matanya mengadu ke mana-mana, bergerak ke
segala arah dan melihat ke seluruh penjuru ruangan, tetapi aku yakin otaknya tengah memproses
informasi yang telinganya berikan. Sebelah tangannya disimpan di atas meja, menunggu saat yang
tepat untuk mengetuk—mungkin itu rencananya saat audio dari rekaman berhenti berputar.

Namun, AKP Rama menghentikan audio secara paksa. Begitu selesai, ia mengembalikan ponsel
itu padaku, menyebrangkannya melewati sebelah lengannya yang masih belum bergerak.

"Saya turut berduka cita, Pak Komisaris," komentarnya, segera setelah aku menerima kembali
ponselku dan mengantunginya.

"Terima kasih."

Dalam beberapa detik, pikiranku kosong. Namun, segera kucegah dengan memberikan salinan
rekaman itu. Hard Drive hitam yang sedari tadi kutinggalkan di atas meja kini berpindah tangan.
AKP Rama menerimanya dengan senang hati.

Hard Drive itu bukan milikku, melainkan milik Luthfi. Lelaki bertopi itu baru memberikannya
pagi hari ini, tepat ketika aku akan berangkat kerja. Seperti kebiasaannya—sok misterius,
menunggu agar aku menghampirinya terlebih dahulu. Dia bersandar pada pintu pengemudi mobil,
mengambil bagian yang tertutup dan tak dapat dilihat orang-orang. Sebelah tangannya dimasukkan
ke dalam saku jaket, sedangkan tangan satunya lagi terlalu sibuk mengotak-atik ponsel.

Ketika aku melihatnya pertama kali, aku tak akan berbohong untuk mengakui bahwa aku benar-
benar kaget. Tubuhku tersentak, refleks melompat ke belakang, tetapi tidak terlalu terlihat seperti
seekor kelinci yang kabur menghindari predatornya. Sedangkan Luthfi, tanpa melibatkan terlalu
banyak emosi, menghampiriku, seolah-olah dia tahu persis kapan aku keluar rumah. Dia tak
mengatakan apapun selain data yang kuinginkan malam kemarin—ketika aku mengunjungi rumah
Januar tanpa undangan—ada di dalam Hard Drive yang ia keluarkan dari saku jaketnya.
Lelaki bertopi itu berjalan, pergi meninggalkan kawasan tempat tinggalku tanpa kendaraan,
membuatku baru sadar bahwa selama ini tak pernah kudapati Luthfi mengendarai kendaraan
pribadi—atau mungkin aku lupa?

Terbatasnya waktu perjalanan—tak ingin terjebak macet—serta karena kurangnya fasilitas yang
memadai, membuatku terpaksa mengecek isi dari Hard Drive di kantor. Ketika kabel USB
kupasangkan, membuat sambungan antara komputer jadulku dengan Hard Drive itu, di saat itulah
kudapati mesin virtual, persis seperti apa yang kulihat di komputer Januar, yang memuat
informasi-informasi rahasia Januar. Ukurannya yang terlalu besar membuatku tak dapat menyalin
informasi-informasi yang ada terlebih dahulu ke dalam komputerku. Terlalu lama. Lagipula, aku
sudah memanggil AKP Rama perihal kasus yang sedang ditanganinya.

Jadi, kini AKP Rama memegang semuanya: barang bukti yang menguatkan kesalahan pelaku
pembunuhan serta beberapa data tambahan yang dapat mengungkapkan lebih banyak anggota-
anggota polisi korup. Walaupun mungkin agak berbahaya untuk memberikan bukti-bukti kuat
yang tak mungkin bisa didapatkan oleh sembarang orang, hal itu terpaksa kulakukan. Lagipula,
seharusnya Luthfi menyimpan salinan datanya, kan? Entah di mana.

AKP Rama melumat kedua bibirnya. Lelaki itu ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan, entah
karena ragu dalam bentuk penyampaiannya atau merasa apa yang akan diucapkannya itu hanya
sekadar omong kosong. Namun, akhirnya aku mendorongnya untuk berbicara.

"Ada yang ingin kaubicarakan?"

Sekali lagi, AKP Rama terlihat ragu, tetapi pada akhirnya ia memberanikan diri.

"Sebenarnya ada, Pak Komisaris."

Kuangkat sebelah alisku, mempersilakannya berbicara. Namun, AKP Rama malah menyodorkan
sebuah berkas padaku. Memang, sebelumnya kulihat ia membawa-bawa map kuning yang tak
begitu kuperhatikan. Sebab, akulah yang memintanya untuk datang ke sini, untuk menyerahkan
barang bukti yang bisa ia gunakan untuk membantu penyelidikannya, bukan karena ia yang ingin
bertemu denganku. Aku pikir dia membawa-bawa berkas itu karena terburu-buru datang ke
kantorku—aku memang memintanya datang pagi, sih. Namun, ternyata benda itu memang
ditujukan untukku.

Namun, begitu aku membukanya, tak perlu menunggu waktu lama, otakku langsung mengolah
informasi mulai dari halaman depan. Kasus yang melibatkan tiga rekan kerjaku dulu—Guntur,
Fandi, dan Bagas. Ketiga mayat yang sengaja ditenggelamkan dengan leher yang patah—persis
seperti apa yang terjadi pada Loka. Saat-saat brengsek di mana aku baru mengetahui betapa
sialannya para polisi korup itu bergerak dalam bayang-bayang.

"Ada apa dengan kasus ini?" Aku bertanya pada AKP Rama sambil berpura-pura membaca.
Halaman demi halaman kubuka, tetapi otakku sama sekali tak mengolah kalimat-kalimat yang ada
di dalamnya.

"Saya rasa kasus ini ada hubungannya dengan kematian ... maaf, Pak Komisaris, bukannya
bermaksud menyinggung, tetapi ...."

"Kalau begitu kau harus memperbaiki kalimat-kalimat yang kau ucapkan agar terdengar lebih
baik," balasku dengan cepat, tanpa memalingkan pandanganku sedikitpun dari kertas-kertas yang
menumpuk ini. "Ubah menjadi 'ada hubungannya dengan kasus yang sedang saya tangani' atau
semacamnya."

"Maaf, Pak."

"Santai saja, aku bukan orang yang mudah tersinggung."

AKP Rama merupakan orang baru di bagian pembunuhan. Walaupun aku yakin bahwa kasus ini
bukanlah pengalaman pertamanya dalam menyelidiki suatu kasus, tetapi kurasa perasaan
canggung akibat berinteraksi dengan orang yang belum pernah dikenalnya membuatnya sedikit
salah tingkah.

"Lalu, apa yang kauinginkan dari kasus yang sudah ditutup ini?" Kulayangkan map itu setelah
sebelumnya kututup dengan rapat, membuat hentakan di atas meja, walaupun hampir tak
terdengar.
"Ah, seperti yang saya bilang, Pak Komisaris. Saya rasa kasus itu ada hubungannya dengan kasus
yang sedang saya tangani."

"Lalu? Kenapa kau harus memberikan berkas ini padaku?"

AKP Rama kembali melumat kedua bibirnya. Bedanya, kini ia berdeham pelan. Alisnya
mengangkat, tampak ragu dan menimbang kembali seluruh perbuatannya. Namun, sayangnya
sudah terlambat—secara tak langsung aku telah memaksanya untuk berbicara, dan dia harus
melakukannya.

"Saya rasa kasus ini ditutup secara tak wajar."

"Aku tahu. Lalu?"

"Saya ingin kasus ini dibuka kembali, dilakukan penyelidikan ulang."

"Siapa yang akan menyelidikinya?"

"Ah, anu, Pak ...." Rama memutar kedua bola matanya. Jelas, Rama tak tahu siapa yang akan
menyelidiki kasus itu nantinya. Jika dia mengajukan diri untuk menyelidiki kasus yang telah
ditutup itu, dia pasti tahu jika aku akan memarahinya, toh kasusnya saja belum diselesaikan, kan?

"Kau sudah membaca laporan kasus ini, kan?" Aku bertanya, dan AKP Rama mengangguk dua
kali tanpa ragu.

"Seharusnya kau sudah tahu jika Pak Dadang—polisi yang menyelidiki kasus ini—terlibat dalam
kasus kelompok polisi korup itu. Dan berdasarkan daftar nama yang dulu kuungkapkan, ketiga
korban di kasus ini pun ikut terlibat." Aku membuat jeda, memastikan Rama mengikuti ceritaku.
"Jadi, mungkin saja Pak Dadang menutupi kasus ini agar kelompok mereka tak diketahui oleh
orang-orang."

AKP Rama terlihat ciut. Oh, sialan, sekarang aku malah merasa menjadi pemutus harapan
seseorang. Jadi, sebagai bentuk permintaan maaf, aku bertanya padanya.

"Kenapa kau bisa berpikir jika kasus ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang kau tangani?"
Wajah anak itu kembali sumringah akibat rasa ketertarikanku akan motif yang ia punya. Dengan
sigap, Rama melantunkan argumennya.

"Saya hanya berpikir jika seseorang menaruh dendam pada Anda, Pak Komisaris. Salah satu hal
besar yang berhubungan Anda adalah mengenai pengungkapan besar-besaran para polisi korup
yang Anda ungkap. Kemudian saya berpikir, kenapa mereka harus menenggelamkan anak An ...
maksud saya, korban, Pak."

Aku tidak berkomentar. Sebaliknya, indera pendengaran kupasang sebaik mungkin, membuat
Rama kembali berceloteh.

"Padahal, mereka seharusnya cukup mengambil nyawa korban, tak perlu repot-repot
menenggelamkan korban yang sudah meninggal. Dari sana saya mencari-cari kasus yang
berhubungan dengan para polisi korup itu dan kasus pembunuhan yang berkaitan dengan cara yang
sama terhadap pembunuhan korban. Jadi, saya menemukan berkas kasus ini."

"Apa lagi yang kau dapatkan?"

"Dokter yang memeriksa ketiga mayat korban mengatakan leher mereka patah, Pak. Tapi hal itu
tak pernah diungkapkan di dalam laporan."

"Leher mereka patah?" Aku berpura-pura bodoh, memasang wajah terkejut, kemudian penasaran,
mengernyitkan kedua alisku. Sungguh, pribadiku benar-benar merasa bersalah—membohongi
bawahanku yang terlihat antusias dalam menangani kasus. Namun, aku tak memiliki pilihan lain.
Apa jadinya jika dia sadar bahwa sebenarnya aku telah mengetahui kenyataan itu? Salah-salah,
orang-orang malah menganggapku ikut bergabung dengan kelompok polisi korup itu dan
mengkhianati mereka.

Dengan polos, AKP Rama menyetujui pertanyaan sekaligus pernyataanku. Aku harap dia tak sadar
atas kebohonganku.

"Aku mengerti akan kesimpulanmu," kataku, "Tetapi kasus ini kurasa sebaiknya tetap tak dibuka."

AKP Rama terlihat kecewa.


"Citra kita sudah sangat buruk, Rama. Pengungkapan polisi-polisi korup itu sudah cukup membuat
orang-orang melihat instansi kita sebagai kelompok bobrok, berita mengenai pembunuhan yang
dilakukan seorang polisi terhadap anak seorang polisi pun akan menjadi sorotan media masa,
mungkin sebentar lagi. Jika kasus ini dibuka, hanya akan menambah citra yang sama. Aku
mengerti keinginanmu dalam menyelidiki kasus ini sangatlah besar, tetapi kau hidup
bermasyarakat. Mungkin aku akan setuju jika seandainya korban pembunuhan di kasus itu—
Guntur, Fandi, dan Bagas—tidak masuk ke dalam anggota polisi korup. Namun, kenyataannya
tidak seperti itu. Kasus itu adalah urusan mereka, kita tidak perlu ikut campur. Kau mengerti, kan?"

AKP Rama menghela napas, aku pikir kekecewaan serta rasa kesal bercampur menjadi satu dalam
dirinya. Namun, jelas anak itu tak memiliki pilihan. Alih-alih memaksakan kehendaknya, pada
akhirnya anak itu menyerah. Ia menjawab, "Baik, Pak Komisaris."

"Aku sudah membantumu dalam penyelidikan kasus yang sedang kautangani. Kau hanya perlu
meneruskannya. Jadi, silakan keluar dari ruangan ini dan melanjutkan penyelidikan, oke?"

"Saya mengerti, Pak."

Akhirnya, AKP Rama kembali mengambil berkas yang sebelumnya ia bawa. Selain itu, kini ia
menenteng Hard Drive hitam pemberianku. Ketika kedua kakinya mengetuk permukaan lantai
hingga hampir sampai di depan pintu, kuberikan kata-kata terakhir untuknya.

"Dan Rama, jangan pernah menunjukkan rasa kesal atau kecewa di hadapanku hanya karena aku
tak memenuhi keinginanmu, itu tidak sopan. Kau mengerti, kan?"

Rama berbalik sesaat, dia mengangguk setelah sebelumnya berhenti karena rasa canggung.
Namun, pada akhirnya ia berkata, "Baik. Maaf, Pak Komisaris." Kemudian, lelaki itu melengang
pergi, membuka pintu dengan lebar dan memperlihatkan sosok Wijaya: mengetuk pintu ketika
pintu itu masih terbuka. Walaupun begitu, pandangannya teralihkan pada raga Rama yang tengah
berjalan menunduk. Hanya beberapa detik, sih.

Wijaya masuk tanpa kupersilakan. Mungkin, seharusnya aku marah, menganggap sikapnya itu
sebagai bentuk pelanggaran sopan santun, tetapi aku tak ambil pusing. Aku tahu, sikap istimewa
seharusnya tak kuberikan pada siapapun, tetapi kenapa aku harus marah padanya ketika memang
tak ada tamu lain dalam ruanganku? Selain itu, salah-salah Wijaya malah menganggapku sombong
karena posisiku kini aku sudah berada satu tingkat di atasnya.

Memang belum lama ini aku baru menjadi Komisaris. Ketika masih menjabat sebagai Ajun
Komisaris Polisi, biasanya aku akan menyelidiki kasus yang sama dengan Wijaya. Satu tahun
bekerja bersamanya membuat batas hubungan antara atasan-bawahan semakin tipis, berbeda
dengan Rama.

"Pak Komisaris," Sapa Wijaya, segera setelah menutup pintu, membuatku sedikit merasa geli.

"Wijaya! Ya ampun! Sudah kubilang panggil saja namaku ketika tak ada siapapun."

"Tapi di luar sana banyak orang, Pak." Wijaya mengayunkan lengannya, melepaskan jempol dari
genggamannya dan menunjuk arah belakang, tepat ke arah pintu yang sebelumnya ia lewati. Ia
melakukannya tanpa wajah dosa, benar-benar seperti anak kecil polos yang baru mengenal dunia.

Bisa saja aku membalas ucapannya, tetapi aku tahu benar Wijaya tak akan mengubah ideologinya
semudah itu, membuatku terpaksa membiarkan keinginannya hidup di dunia ini.

"Ada apa dengan Rama, Pak?"

"Dia hanya ingin membuka kasus lain, padahal kasus yang ia tangani sendiri belum selesai. Aku
menolaknya."

Wijaya mangut-mangut, masih dalam posisi berdiri tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan
duduk.

"Dia mengingatkanku padamu, Wijaya." Aku tertawa kecil, tetapi hal yang berbeda timbul dari
wajah Wijaya, lelaki itu malah terlihat kebingungan.

"Bagaimana mungkin, Pak?"


"Daya analisisnya tajam, sangat antusias, persis seperti dirimu," kataku. Sekali lagi, aku tertawa,
sedangkan Wijaya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, masih dengan alis yang mengerut
tanda tak setuju. Kemudian, segera setelah tawaku habis, kembali kulanjutkan dengan pertanyaan.

"Jadi, kenapa kau datang ke sini?"

Bahkan, tampaknya tak hanya dari daya analisis dan keantusiasannya, cara Wijaya dan Rama
menyampaikan pemikirannya—dengan catatan dalam bentuk keragu-raguan—hampir sama.
Wijaya menekan tenggorokannya, membuat suara menelan ludah yang aneh, kemudian bertanya.

"Maaf, Pak. Sebenarnya saya tak ingin membahas hal ini, tetapi saya penasaran. Saya melihat Pak
Januar digiring ke ruang interogasi, dan saya dengar dia menjadi pelaku pembunuhan. Apa itu
benar, Pak?"

Aku menghela napas.

"Ya."

"Apakah pembunuhan itu ...."

Wijaya belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi aku tahu jelas ke mana arah pembicaraannya. Jadi,
tanpa perlu menunggu pertanyaannya selesai, aku langsung menjawab, "Loka, benar."

Kuacungkan tangan kananku, menampilkan lebam-lebam pada ruas jari di punggung tanganku.
Rasa nyerinya sudah pudar, tetapi warna kulit yang membiru belum berubah, membuat siapapun
yang melihatnya tahu bahwa sesuatu yang buruk terjadi pada kepalan tanganku.

Wijaya terkejut, punggung tanganku yang membiru pasti tepat memberikan informasi bahwa
wajah Januar yang babak belur merupakan ulahku.

"Aku punya bukti kuat yang menunjukkan bahwa Januar melakukannya. Tenang saja, aku tak
salah menghajar orang."

Aku tahu, Wijaya bukan penggemar kekerasan, tapi dia pasti menyadari motivasiku untuk
menghajar Januar, membuatnya tak mengomentari perbuatan burukku.
Ah, iya, sebelum menempati tempat duduk ini pun—yang berada di kantorku, aku terpaksa diam
beberapa menit di dalam ruang interogasi. Kekerasan yang kulakukan bukanlah tindakan terpuji,
dan aku tak akan berkilah bahwa semua itu kulakukan demi kebaikan. Aku tetap mengikuti
prosedur, memberikan cerita mengenai perjalananku walaupun tak sepenuhnya benar.

Cerita dalam versiku menggambarkan Luthfi sebagai sosok preman bayaran yang sengaja kusewa
untuk menghajar Januar. Aku yakin, Luthfi bukanlah orang terbuka yang bisa merasa aman
mengetahui identitasnya terbongkar dan diketahui banyak orang. Jadi, sengaja kubuat cerita agak
bohong untuk menghormati keinginannya itu. Bisa saja aku membuat cerita lain, berpura-pura
pergi sendirian dan menghajar Januar karena alasan pribadi. Namun, tidak mungkin Ganira—anak
dari Januar, istrinya, serta Januar sendiri mengonfirmasi ceritaku. Jika hal itu terjadi, perbedaan
informasi dari kedua belah pihak, mungkin aku masih belum keluar dari ruang interogasi.

Rekaman yang kuberikan cukup untuk membuat orang-orang terlalu fokus pada kasus
pembunuhan Loka, bukannya mencari tahu siapa pria yang kubayar itu, membuatku lepas dari
tanggung jawab untuk menceritakannya.

"Saya tak percaya Pak Januar melakukannya." Wijaya memberikan simpatinya, kini dnegan
gelengan kepala dan suara decakan dari mulutnya.

"Ya, aku tahu."

"Tapi, bagaimana Anda tahu, Pak Komisaris? Maksud saya, di antara banyaknya orang, kenapa
Anda langsung tahu bahwa pelakunya Pak Januar?"

"Tebakan yang beruntung," kataku. "Sudahlah, yang jelas kasus itu sudah selesai, lebih baik kita
membicarakan hal yang lain."

Aku tak akan berbohong. Perasaanku masih geram, menginginkan keadilan yang seadil-adilnya
untuk dijatuhi pada Januar. Dan semakin banyak orang-orang yang membicarakan kasus itu,
perasaan brengsek kembali mencuat, timbul dalam diriku: aku ingin Januar mati.

Aku terlihat biasa saja, aku tahu. Namun, perasaan itu tidak pernah menghilang dari dalam hatiku.
Pikiranku yang rasional membendung semuanya, tetapi bukan berarti aku dapat menahan perasaan
itu selamanya. Ketika aku menghajar Januar, bisa saja kuhabisi nyawanya. Namun, seperti
prinsipku sebelumnya—yang tiba-tiba mencuat: aku harus melakukannya dengan cara yang tepat.

Apa bedanya diriku dengan mereka jika pada akhirnya aku—laki-laki tua brengsek yang
kehilangan anaknya—membunuh orang-orang secara langsung? Aku selalu merasa bahwa
mereka—para polisi korup itu—tidaklah pantas menjadi polisi. Lantas, jika aku membunuh
seseorang hanya karena alasan pribadi, apakah aku pun pantas mendapatkan seragam yang sama?

Aku harap pemikiran itu tidak pudar dengan cepat.

Di saat yang bersamaan, pemikiran semalamku kembali mencuat.

Aku bertanya pada Wijaya, "Apa kau pernah mendengar kasus tabrak lari tujuh tahun lalu?"

Wijaya merengut.

"Kenapa Anda tiba-tiba bertanya seperti itu, Pak?"

"Para polisi korup itu pernah merencanakan kasus pembunuhan pada anak sekolah, seumuran
dengan Loka pada kala itu, mereka membuatnya seolah-olah kasus itu merupakan kasus murni
kecelakaan." Aku meneguk ludah, mempersiapkan pertanyaan pamungkas yang mengerikan.

"Menurutmu, kenapa mereka ingin mengambil nyawa anak itu?"

Wijaya berdeham pelan. Ruas-ruas jarinya menekan dagu, membuatnya terlihat berpikir serius.

"Karena ingin membalaskan dendam akibat ayahnya yang ... mengungkapkan kelompok rahasia
mereka?"

"Sungguh tidak lucu, Wijaya," kataku. "Tetapi jika mereka memiliki motif yang sama, kenapa
pembunuhan terhadap anak itu dilakukan secara terstruktur dan terencana? Mereka tak membuat
rencana dalam pembunuhan Loka."

Wijaya menyerah, dia tak tahu menahu, sedangkan aku, masih dengan rasa penasaran, kembali
menyalakan komputer untuk mencari file kasus yang kuharap telah tersimpan secara digital, tak
perlu mencari-cari di dalam tumpukan berkas yang ada di ruang penyimpanan. Dan untungnya,
tampaknya permintaanku terkabulkan.

Kasus itu terekam secara digital, tidak terlalu sulit dalam melacaknya. Aku ingat rencana mereka,
bagaiman Yusup—si calon korban—keluar dari gerbang sekolah, membuatku tak dapat
melupakan nama sekolah yang berada di sekitar kawasanku. Selain itu, Yusup, tanpa f, bukanlah
nama yang mudah dilupakan, apalagi jika kau sering menertawakan orang-orang yang memiliki
nama dengan huruf p sebagai pengganti huruf f. Bukannya menghina, tapi memang benar, kan?

Dua informasi itu mengarahkanku pada sau file kasus. Anehnya, kasus itu bukanlah kasus tabrak
lari, melainkan orang hilang.

Apa para polisi korup itu mengubah rencananya? Atau ... anak itu secara ajaib berhasil kabur dari
percobaan pembunuhan mereka dan tidak pernah menampakkan wujudnya lagi di kota Bandung
untuk selama-lamanya?
7. Fake Empire

Aku ingat bagaimana sulitnya akses menuju sekolah ketika aku duduk di bangku sekolah
menengah atas. Sedikitnya kendaraan umum dan belum maraknya kendaraan-kendaraan pribadi
membuatku terpaksa berjalan kaki beberapa kilometer, walaupun tak dapat kubilang jauh juga, sih.
Untungnya, ketika itu, aku—yang berstatus sebagai seorang yatim piatu—memiliki teman yang
selalu berada di sampingku ketika berjalan kaki. Seiring perjalanan kami, rasanya mulut tak pernah
absen untuk membicarakan hal-hal konyol tak berguna, seperti sekadar membicarakan orang atau
menertawakan kebodohan kita seperti sepakat untuk tak mengerjakan tugas sekolah dan melihat
bagaimana guru tergalak—paling terkenal di satu sekolahan kami—menyikapinya.

Ah, mungkin perlu kalian ketahui, tetapi Yusup—si korban yang menghilang entah ke mana—
satu almamater denganku. Mungkin kalian juga tidak tahu bahwa Riska pun satu almamater
denganku. Hanya sebuah kebetulan—kurasa—yang tak pernah kuungkapkan dan selalu kutahan
agar tak perlu membicarakan hal itu.

Kini aku tengah berdiri di depan gedung tua dengan ornamen-ornamen khas Belanda yang hanya
tersisa di beberapa titik, yang tampaknya tak pernah berubah setiap aku melewati tempat ini untuk
bekerja. Namun, biarpun tampak luar sekolah ini sama, kutemui bagian dalam sekolah yang sangat
berbeda, hampir tak dapat kukenali. Kini, tiga tingkat lantai terpapar memanjang pada bagian utara
dan timur, sekadar menunjang kapasitas siswa yang semakin lama semakin bertambah. Sebuah
masjid berlantai dua melengkapi sekolah ini pada bagian barat, bersebarangan dengan aula yang
dulu tidak pernah ada. Segala macam ruangan laboratorium dan ruangan-ruangan penunjang
fasilitas sekolah--ruang osis, UKS, sekretariat ekstrakulikuler sekolah, kantin, atau semacamnya—
sengaja diposisikan pada bagian belakang yang dulu masih menjadi lapangan luas tempat kami
biasa berolahraga, sedangkan ruang guru dan kepala sekolah berada pada bagian barat,
berseberangan dengan ruangan-ruangan belajar.

Padahal baru dua puluh tahun, tapi tampaknya aku berada di sekolah yang benar-benar berbeda.

Sedang berjalanannya aktivitas sekolah membuat sekolah ini tampak sepi tak berpenghuni, hanya
saja telinga kami—aku dan Wijaya—dipenuhi oleh lemparan-lemparan kata yang mericuhi
masing-masing kelas—suaranya teredam. Permukaan lorong yang kami lalui telah dilapisi
keramik putih, padahal seingatku dulu, di lorong yang sama, keramik-keramik hitam kecil khas
Belanda digunakan sebagai penunjang kenyamanan berjalan.

Beberapa siswa terlihat keluar masuk ruangan. Tidak banyak, hanya satu atau dua, dan aku masih
berpikiran positif, menganggap mereka izin untuk pergi ke toilet, bukannya pergi ke kantin.
Lagipula, siapa yang tahu, kan?

Seorang satpam sengaja mengantarkan kami ke ruang kepala sekolah, membuatku—yang tengah
menenteng sebuah map berisi berkas kasus orang hilang—dan Wijaya mengekor di belakangnya
dengan hentakan sepatu Wijaya yang lebih keras terdengar daripada hentakanku. Wijaya
mengikutiku atas keinginannya sendiri. Selain karena memang dia sedang tak terikat dengan suatu
kasus, laki-laki itu langsung tertarik ketika kuberitahukan bahwa sekolah Yusup—si anak yang
hilang—adalah sekolah yang sama di mana Riska menimba ilmunya.

Kami memasuki ruangan luas yang dipenuhi dengan meja kayu dengan empat kaki, disusun rapi
sedemikian sehingga terlihat seperti barisan anak-anak pramuka yang tengah beristirahat di
tempat. Beberapa di antaranya terlihat bersih, rapi, tak terlihat tumpukan buku sama sekali,
sedangkan hal yang berbeda muncul pada meja-meja tertentu. Tempat ini masih belum berubah
selain suasananya yang terlihat lebih bersih dan terang.

Secara tak sadar, aku tersenyum, membayangkan betapa takutnya dulu aku memasuki ruangan ini,
dibayang-bayangi belasan tatap mata guru-guru yang sebagian besar mungkin tak mengenalku.
Sekarang, aku malah seperti seorang anak kecil yang akhirnya menemukan kembali rumahnya
yang hilang.

Memang, ruang kepala sekolah di sekolah ini terhubung terlebih dahulu dengan ruang guru. Pintu
berukuran kecil dengan dinding yang menempel di antaranya seolah sengaja dijadikan pembatas
sebagai ruangan pribadi. Tak ada tulisan apapun yang menyebutkan bahwa ruangan itu merupakan
ruang kepala sekolah, tapi semua orang pasti tahu.
Belum mendekatinya jam pergantian pelajaran membuat ruang guru ini kosong, tak ada siapapun
selain kami bertiga, membuat ketukan pintu si satpam terdengar menggema, memantulkan
suaranya ke seluruh sudut ruangan.

Tak berselang lama, pintu itu terbuka, menampilkan sosok lelaki gemuk dengan kumis yang
melebar, menutupi hampir seluruh bibirnya. Tak berjanggut, memiliki mata melotot yang besar,
serta botak tengah, persis seperti seorang ilmuwan yang sering digambarkan di film-film—orang-
orang cerdas. Laki-laki itu mengenakan kemeja putih dengan kerah yang sedikit menguning.
Sebuah pulpen menggantung pada saku kemejanya. Kemudian, perutnya yang buncit malah
membuat ikat pinggang yang dikenakannya terlihat melar dan melebar.

Sang satpam memberitahu bahwa ada tamu yang datang. Namun, sebelum si kepala sekolah
komplain karena aku dan Wijaya tak membuat janji terlebih dahulu, lelaki gendut itu memindai
tubuhku dan juga Wijaya. Seragam kepolisian yang kami kenakan dengan lengkap pasti mengubah
cara berpikirnya. Walaupun dia terlihat kebingungan, tapi dia tak terlihat ketakutan, membuatku
menyimpulkan satu hal: setidaknya, mungkin, kepala sekolah ini bukan salah satu orang yang biasa
memanfaatkan dana sekolah untuk kepentingan pribadinya.

Lelaki gendut itu berterima kasih, kemudian mempersilakan sang satpam untuk kembali berjaga,
memastikan gerbang sekolah masih berfungsi dan tak dihancurkan oleh siswa-siswa yang ingin
membolos. Sedangkan untuk kami, ia mempersilakan kami untuk duduk di atas dua kursi empuk
yang telah tersedia. Kemudian, ia memperkenalkan diri pada kami.

"Wasta Abdi Cucu, Pak," ucapnya, sembari mengulurkan lengan kanannya padaku terlebih dahulu,
membuatku membalas jabatan tangannya. Lalu, segera setelahnya, ia dan Wijaya melakukan hal
yang sama—saling berjabat tangan.

Laki-laki itu melanjutkan, "Aya Peryogi naon, Pak?"

"Punten bilih Abdi badé nganganggu. Wios, Pak?"

"Wios atuh, Pak."

"Abdi Roy, ieu réréncangan abdi, Wijaya."


Wijaya terlihat linglung. Alisnya mengerucut, matanya menajam, seolah memaksaku untuk
mengubah aturan bahasa yang tak ia mengerti. Mungkin, karena aku menyebut namanya. Padahal,
aku hanya memperkenalkan Wijaya pada lelaki yang sedang berada di hadapan kami.

Ya ampun, padahal dia sudah tinggal di kota ini cukup lama.

Aku menertawainya sebentar, membuat Wijaya terlihat kesal dan hampir menggeram, sebelum
akhirnya benar-benar kuubah pengaturan bahasa yang keluar dari mulutku.

"Sebenarnya alasan kami datang ke sini adalah ini, Pak." Kusodorkan map berwarna kuning
menyala itu, membuatnya melewati batas ujung meja di dekatku, membuat laki-laki gendut—yang
memperkenalkan dirinya sebagai Pak Cucu sebelumnya—meraihnya. Dengan sigap, Pak Cucu
membuka map, membaca lembaran pertama yang merekam profil korban, termasuk lokasi
sekolahnya.

Hanya perlu beberapa menit sebelum lelaki itu kembali menutup map, mengernyitkan dahinya,
kemudian bertanya-tanya.

"Saya tidak kenal anak ini, dulu saya belum menjabat di sekolah ini," komentarnya, kemudian
meletakkan berkas-berkas kasus itu di atas meja, tak disentuh lagi.

"Saya mengerti. Tapi, apa saya bisa melihat basis data sekolah ini? Ada beberapa hal yang ingin
saya tanyakan mengenai korban pada beberapa guru yang mengajar anak ini."

Pak Cucu terlihat kebingungan. Aku pikir dia bertanya-tanya mengenai motivasiku, mengapa
harus kembali kucari kebenaran kasus yang sudah berlalu selama tujuh tahun ini, atau mungkin
bertanya-tanya karena kalimat yang kulontarkan terlalu berbelit-belit, membuatnya sulit mencerna
informasi yang harus ditangkap. Namun, ternyata kebingungannya berputar pada topik yang tak
kupikirkan.

"Basis data téh apa?"

"Maksud saya database-nya, Pak."


Aku lupa, tidak semua orang terbiasa mendengar istilah-istilah asing yang kini sudah terdapat
padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Aku sendiri, sebenarnya, masih merasa aneh dalam
melafalkan kata-kata yang sudah umum jika diucapkan dengan bahasa asing. Tapi, apa salahnya
membiasakan diri, kan?

Pak Cucu akhirnya mengerti. Segera setelah ber-o ria, ia berkata, "Yang punya datanya paling Tata
Usaha, Pak."

"Jadi, saya boleh melihatnya, Pak?"

"Silakan."

"Terima kasih." Aku kembali menarik berkas yang sebelumnya ditelantarkan. "Puntennya, Pak,
bilih Abdi ngaganggu."

Pak Cucu sebenarnya membalas permintaan maafku itu, tetapi telingaku tak begitu menangkap
lontaran kalimatnya yang tertahan oleh kumis. Daripada terdengar berbicara, lelaki itu lebih
terdengar seperti bermonolog, tertawa kecil, kemudian mengantarkan kami hingga ke depan pintu
yang padahal jaraknya tak terpaut lebih dari tiga meter. Sedangkan aku dan Wijaya hanya
tersenyum, mengakhiri pertemuan kami yang sangat singkat dengan baik.

Ruang tata usaha terletak tak terlalu jauh. Bahkan, hanya bersebelahan. Sebuah papan nama kecil
menggantung, mengarah ke luar jendela untuk memberitahu orang-orang bahwa di sana, civitas-
civitas akademik yang sering terlupakan bekerja. Aku masuk tanpa ragu, Wijaya pun mengikuti
gelagatku. Kemudian, di saat yang bersamaan, dua orang lelaki, sama-sama berperawakan kurus,
hanya saja salah satunya lebih tinggi, serta seorang wanita pendek tertegun melihat kami yang
masuk tanpa komando. Aku yakin benar, sebelumnya, mereka tengah melaksanakan aktivitasnya
masing-masing. Namun, perhatian mereka segera beralih pada kami.

Aku mendekati si lelaki tinggi. Tempat duduknya terletak paling dekat dengan pintu masuk.
Sebuah komputer terletak di hadapannya, tetapi masih dalam posisi yang sama, lelaki itu tak
mengomandokan bola matanya untuk fokus melihat layar. Ia masih memperhatikanku, seperti
orang-orang kebanyakan yang melihat polisi di tempat tak seharusnya.
"Punten," kataku sembari membungkukkan badan, berusaha terlihat sesopan mungkin. Tentu, niat
baikku dibalas dengan baik pula. Lelaki tinggi itu menjawab salamku.

Tentu, tanpa banyak basa-basi, segera kuceritakan alasan mengapa aku dan Wijaya berkunjung,
membuat tatapan-tatapan mata tertuju pada kami—walaupun sekarang telah menghilang. Ketika
kuberikan berkas kasus, sama seperti yang sebelumnya kuberikan pada Pak Cucu, si lelaki tinggi
itu segera mengerti apa yang kuingingkan, ia langsung mencari data seorang anak, bernama Yusup,
duduk di bangku kelas dua belas tujuh tahun lalu. Padahal sebelumnya tak pernah kuberitahu apa
yang kuminta.

Datanya lengkap, membuatku bersyukur. Alamat rumah yang muncul pada basis data sekolahnya
sama persis dengan apa yang tercantum pada berkas kasus. Selain itu, nama orang tua, tempat
tanggal lahir, dan beberapa identitas unik lain membuatku yakin benar bahwa Yusup yang terdaftar
sebagai siswa SMA di sini merupakan orang yang sama dengan orang yang dilaporkan hilang.
Selain itu, tak tercatatnya absensi Yusup si siswa SMA dalam mengikuti ujian akhir semester
sekolahnya sangat cocok dengan runut waktu menghilangnya korban yang ada pada berkas kasus.

Aku meminta nama-nama guru yang pernah menjadi guru walinya, membuatku mendapatkan tiga
nama yang dua di antaranya merupakan nama yang asing bagiku. Guru baru, atau ... ah, dua puluh
tahun merupakan tenggang waktu yang cukup lama, mungkin dua nama itu baru mulai bekerja di
sini setelah setahun aku lulus. Aku bisa saja melihat nomor pokok kedua nama guru itu, tetapi aku
lebih memilih mendapatkan alamat rumah serta nomor pribadi mereka yang dapat kuhubungi.

Jumlah siswa sekolah menengah atas di kota Bandung tidaklah sedikit. Maksudku, gila saja kalau
para polisi korup itu sengaja menggunakan target acak dalam operasinya, apalagi operasi
pembunuhan. Aku yakin, bocah ini pasti memiliki daya tarik sendiri sehingga menarik perhatian
kelompok brengsek itu. Lalu, kenapa aku ingin membuka kembali kasus ini? Maksudku ... aku
bisa saja membiarkannya, kan? Sudah berlalu tujuh tahun, tanpa jejak, mungkin tak akan pernah
ditemukan lagi, mungkin rencana para polisi korup itu berubah dari sebuah kecelakaan menjadi
penculikan yang diakhiri dengan pembunuhan. Aku tak memiliki alasan yang sangat logis untuk
menyelidiki kembali kasus ini. Jadi, kenapa?
Otakku terasa semrawut, lebih buruk dari nasi goreng mawut yang disajikan dengan buruk. Begitu
kusimpan seluruh nomor guru yang pernah menjadi guru wali Yusup, aku meminta jadwal
kegiatan belajar mengajar yang ada di sekolah ini. Setelahnya, kupijat keningku sambil berjalan
keluar. Tentu saja setelah berterima kasih kepada mereka, para pegawai Tata Usaha yang
umumnya jarang diperhatikan oleh siswa. Rasa menghargai tetap tak boleh menghilang, kan?

Wijaya yang sedari tadi tak berkata apapun—mengikutiku seperti seorang bocah yang takut
tersesat, kini bertanya, "Pak Komisaris, dulu Anda sekolah di sini, ya?"

Kini, pertanyaan Wijaya benar-benar mengejutkanku. Anak itu tak akan pernah berasumsi jika
merasa belum mendapatkan bukti yang cukup, atau minimal tak memiliki pilihan lain yang lebih
baik. Pikiranku mendadak berhenti. Dari mana Wijaya tahu?

"Bagaimana kau tahu?"

Wijaya cekikikan. Dia terlihat senang melihatku kebingungan. Oh, sialan.

"Anda tahu di mana ruang tata usaha berada, padahal tidak pernah ada yang memberitahu. Saya
saja yang beberapa kali mengampil rapor Riska tidak tahu ruangannya ada di mana."

"Aku hanya melihat papan nama ruangannya."

"Anda tidak melihat papan namanya, Pak. Lagipula dari langkah Anda saja sudah terlihat Anda
tahuletak-letak ruangan di sekolah ini. Maksud saya, Anda sama sekali tak memperhatikan ketika
satpam tadi, yang mengantarkan kita, berjalan ke arah mana. Anda sudah tahu harus berjalan ke
mana, kan?"

Aku berusaha menggertak, kemudian menepuk pelipis dengan telapak tanganku, sedikit
mendesah. Baiklah, percuma saja berkilah.

"Kau benar, aku alumni sekolah ini."

"Benarkah? Angkatan berapa, Pak?"


Angkatan berapa? Ya ampun, untuk apa Wijaya menanyakan hal itu? Lagipula aku tak ingat tahun
berapa aku lulus. Sekitar dua puluh tahun lalu, tapi pastinya aku tidak tahu.

"Angkatan perang," balasku, tentu saja disertai senyum canda.

Tentu, tidak puas dengan candaanku, akhirnya Wijaya bertanya. "Kenapa Anda tak pernah
menceritakannya, Pak?"

"Masa SMA bukan masa yang baik untukku," tukasku. "Bahkan aku tak pernah ikut reuni satu kali
pun."

Wijaya meneguk ludahnya. "Oh, maaf, Pak."

"Santai saja. Lagipula aku merasa lumayan senang bisa kembali ke tempat ini. Suasananya
berubah, tapi aku bisa merasakan momen-momen dalam hidupku kembali."

Aku berbohong. Aku tak pernah merasakan momen-momen itu. Aku bukan seorang anak
berandalan brengsek yang memiliki banyak teman bergaul. Merokok, meminum-minuman keras,
berambut panjang yang memiliki motto: dicukur hanya setelah terkena razia. Namun, aku juga
bukan seorang anak pendiam yang benar-benar tak bergaul, tak memiliki teman, berkutat dengan
buku-buku untuk menghindari interaksi sosial. Aku benar-benar anak biasa tanpa adanya hal
spesial. Mungkin lebih terkesan tidak menarik dan membosankan. Orang-orang yang pernah
berinteraksi denganku mungkin melihatku sebagai orang luar biasa yang memiliki banyak
pengalaman menarik: Menangkap penjahat, mengungkap kasus pembunuhan unik dan langka,
bahkan, mungkin jika mereka tahu, mereka akan menganggap kisahku yang bekerja sama dengan
seorang perampok gila yang selalu menggunakan topi adalah hal luar biasa—tak bisa didapatkan
oleh siapapun. Namun, sebelumnya, aku hampir mati kebosanan.

Wijaya yang tak tahu apa-apa hanya berkata, "Saya harap nanti saya bisa mendapatkan
pengalaman yang sama di umur yang sama dengan Anda, Pak."

"Maksudmu, kau ingin menyebutku tua, begitu?"


Wijaya cekikikan, membuatku mendorong bahunya pelan. Ya, setidaknya hidupku sekarang jauh
lebih menarik bukan? Aku merasa bersyukur karena setidaknya aku dapat hidup lebih lama untuk
mendapatkan hal yang kuinginkan dalam hidup ini.

Di dunia ini, tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama. Beberapa di antaranya
meninggalkan dunia ini terlebih dahulu.

Kupejamkan mataku selama beberapa saat, pemikiran sederhana terlintas di dalam benakku.

Mungkin, itulah alasannya kenapa aku ingin menyelidiki kembali kasus ini. Tidak semua orang
mendapatkan kesempatan yang sama. Terkadang, ada orang iri brengsek yang merenggut
kebebasan hidupmu. Bahkan, hingga menghilangkan nyawa. Kurasa, aku hanya ingin mencari
keadilan, mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada Yusup. Yang jelas, bocah itu pasti
tidak menghilang begitu saja.
8. In the Air Tonight

Dua orang guru yang pernah menjadi guru wali Yusup—keduanya tak kukenal—telah berdiskusi
dengan denganku juga Wijaya. Walaupun kami mewawancarai mereka dalam waktu yang berbeda,
garis besar kepribadian Yusup digambarkan dalam sebuah cerita yang hampir sama.

Anak baik, tetapi pemalas. Tidak pernah berbuat onar, hanya saja hampir tak pernah mengerjakan
tugas sekolah. Tidak terlalu menonjol di kelas, malah terkesan di bawah rata-rata. Selalu mendapat
nilai lima puluh dalam ujian, itulah komentar mereka.

Sekarang, aku dan Wijaya tengah menunggu guru terakhir—Ibu Ai—yang pernah menjadi guru
wali Yusup di kelas dua belas.

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku mengenal guru itu, dan tak kusangka hingga kini ia
masih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Memang, ketika aku menimba ilmu di sini, Ibu Ai
termasuk salah satu guru muda yang baru memulai pekerjaannya sebagai guru, tetapi dua puluh
tahun bukan waktu yang singkat, kan? Aku tak tahu apakah ia masih mengingatku atau tidak.
Namun, melihat gelagat sebelumnya—ketika aku dan Wijaya mempersilakan perempuan itu untuk
mendahulukan pekerjaannya dibanding memenuhi panggilan kami—aku rasa dia lupa, dan aku tak
menyalahkan hal itu.

Kebijakan full day school benar-benar memaksa kami menunggu hingga matahari hampir
menyentuh garis cakrawala. Dua cangkir kopi sengaja dibuatkan atas perintah kepala sekolah
untuk menemani kami, sekaligus menerima kami sebagai tamu. Namun, Wijaya tak pernah
menyentuh gagangnya, tentu saja karena ia tak begitu suka kopi, apalagi kopi pahit.

Di ruang tunggu ini, aku dapat melihat aktivitas-aktivitas yang terjadi di bagian depan sekolah
secara leluasa. Mobil-mobil berlalu-lalang, memulai kemacetan karena waktu mulai menyentuh
jam pulang kantor. Beberapa angkutan kota sengaja menghentikan laju kendaraannya untuk
menunggu siswa-siswa yang akan berhambur keluar dari sekolah sekitar sepuluh menit lagi. Selain
itu, satpam yang sebelumnya mengantar kami ke ruang kepala sekolah, membuat percakapan
dengan Wijaya yang meninggalkan cangkir kopinya. Aku tak dapat mendengar percakapannya,
tetapi aku yakin ada banyak topik yang mereka bicarakan hingga mereka sanggup mengobrol
selama dua jam. Sedangkan aku, di sini, berusaha menghibur diri dengan membaca berita-berita
daring yang dipenuhi komentar warganet—sebagian besar bersifat cemoohan—sambil sesekali
memperhatikan keadaan sekitar.

Walaupun pada akhirnya kebanyakan murid berjalan keluar sekolah setelah lantunan lagu tanda
kegiatan belajar mengajar berakhir, beberapa di antara mereka mengambil kesempatan, pergi
meninggalkan gerbang sekolah lebih cepat lima menit dari waktu yang seharusnya. Namun, seolah
biasa dengan pemandangan itu, si satpam tidak mencegahnya, membuatku menggelengkan kepala
beberapa kali. Kebanyakan dari mereka anak laki-laki. Ah, maksudku semuanya.

Di balik kerumunan anak-anak berseragam SMA, Wijaya melambaikan tangan. Tentu, bukan
ditujukan untukku, melainkan seorang perempuan yang tengah menggendong tas berwarna biru
muda dan mengenakan rok sekolah seperti anak-anak yang lainnya. Aku tak dapat melihat
wajahnya. Namun, aku yakin perempuan itu merupakan Riska. Wajah Wijaya berseri-seri ketika
perempuan itu memberikan salam. Kemudian, tepat ketika kusesap kopi yang sudah semakin
menghangat, Wijaya mengayunkan lengannya, kemudian menggantungnya tepat ketika bidikan
jempolnya mengarah padaku, membuat Riska—yang mungkin sebelumnya tidak tahu akan
keberadaanku di sini—berbalik dan tersenyum ke arahku.

Dengan mulut penuh cairan, segera kuletakkan cangkir itu ke atas meja, sekadar membalas senyum
Riska dan memastikan bahwa ia dapat melihatnya.

Aku pikir, perempuan itu akan segera menghampiri ruang tamu, menemani Wijaya berjalan dan
kembali pada kesehariannya yang membosankan. Namun, segera seteah ia melempar senyum
padaku dan melanjutkan sedikit percakapan yang sebelumnya putus dengan Wijaya, perempuan
itu pergi, melangkah ke arah gerbang sekolah bersama dengan beberapa temannya. Sedangkan
Wijaya, masih dengan wajahnya yang sumringah, berjalan sendirian kembali ke ruang tamu.

Jadi, dia sengaja berdiam diri berjam-jam, panas-panasan, sengaja meninggalkan cangkir kopinya
yang seolah dihadiahkan untukku, hanya untuk menunggu Riska, ya? Ya ampun.

Wijaya membuka pintu, membuat embusan angin bersemilir memasuki ruangan dan menyentuh
kulit-kulitku.
"Riska nggak akan pulang bareng?" tanyaku, segera setelah Wijaya menutup pintu.

"Ada kerja kelompok, katanya, Pak."

"Padahal udah kamu tunggu sampai dua jam, ya?"

Wijaya tersenyum simpul, kemudian menggaruk kepala dan menyibakkan rambutnya.

"Memang, sih, Pak. Tapi saya tidak mungkin melarangnya kan, Pak?"

Aku mengangguk, menandakan pemahamanku yang begitu mendalam. Lagipula, mana mungkin
Wijaya akan mencegah anak itu untuk kerja kelompok? Kecuali, tentu bagi orang-orang yang
merasa bahwa pendidikan bukanlah salah satu bagian penting dalam hidup manusia.

Kemudian, di saat yang bersamaan ketika Wijaya akan duduk, seorang wanita berpakaian serba
merah masuk dari sisi yang lain—bagian dalam sekolah. Aku tidak mengerti cara berpakaian
wanita, bagaimana aku menyebut model-model yang tengah mereka gunakan, tetapi perempuan
itu berpakaian layaknya seorang wanita muda berumur tiga puluhan yang siap mengisi acara-acara
rohani sebagai narasumber. Baju bagian atas yang menempel sekaligus dengan bagian bawahnya
tampak sedikit kebesaran. Kacamata lebarnya membuat mata wanita itu terlihat lebih besar dari
seharusnya. Tangannya masih menenteng tas hitam yang mampu menampung beberapa buku
pelajaran.

Begitu pertama aku melihatnya, aku tahu benar bahwa perempuan itu merupakan Ibu Ai.
Senyumnya tak pernah berubah, gelagat dan cara berjalannya tak dapat menipu kenangan yang
tersimpan di dalam otakku. Tak banyak yang berubah selain gaya berpakaian dan wajahnya yang
semakin berkeriput biarpun riasan-riasan tebal menutupi wajahnya—umurnya berada di
pertengahan lima puluh tahun jika kulihat dari nomor induknya. Dulu, Ibu Ai termasuk salah satu
guru yang disukai banyak murid. Tidak hanya karena sifatnya yang baik, tetapi juga karena cara
mengajarnya yang membuat siswa-siswa merasa nyaman—penuh dengan canda dan tak pernah
memaksakan dirinya untuk mengajar jika memang dia sedang berada dalam kondisi yang tak baik
untuk mengajar.
Aku ingat ketika Ibu Ai meminta persetujuan di kelasku untuk tak mengajar. Namun, bukan berarti
jam yang ada menjadi jam kosong, melainkan ia ubah menjadi jam bertukar cerita, membuat
beberapa orang di antara kami memaparkan keluh kesah yang kami dapatkan selama bersekolah.
Lalu, kenapa kami bisa percaya jika Ibu Ai tak akan membeberkan cerita-cerita kami? Entahlah,
aku juga tidak tahu, mungkin karena semua siswa di kelasku merasa cukup dekat dengan Ibu Ai,
padahal aku yakin jika perempuan itu—dengan pembawaannya yang selalu terdengar ramah—
memberikan perlakuan yang sama ke setiap kelas. Tentu, mengganti jam pelajaran menjadi jam
bercerita bukanlah tanpa akibat. Sebagai gantinya, kami harus belajar dua kali lebih keras di
pertempuan selanjutnya. Namun, tidak masalah bagi kami. Lebih baik daripada seorang guru yang
memaksakan dirinya untuk mengajar tetapi pada akhirnya malah marah-marah, kan?

"Punten, Pak, ngantosan Abdi." ucapnya, sembari menyodorkan kedua lengannya setelah
sebelumnya meletakkan tas di atas meja, berusaha bersalaman denganku, kemudian Wijaya, yang
tentu kami balas dengan senang hati.

"Tidak apa-apa, Bu," tukasku dengan cepat.

Kemudian, perempuan itu duduk, berbarengan dengan Wijaya karena rencananya tadi—duduk di
kursi sebelum Ibu Ai datang—gagal.

Sejujurnya, aku merasa sedikit canggung. Bagaimana caraku memulai percakapan dengan Ibu Ai?
Untuk dua guru sebelumnya, tentu aku tak mendapatkan masalah karena memang sebelumnya aku
tak pernah berkenalan dengan mereka. Tapi, untuk Ibu Ai, apakah sebaiknya kuperkenalkan diriku
seperti biasa? Namun, sebelumnya kami memang sudah saling kenal, kan? Bagaimana jika tiba-
tiba ia mengingat diriku dan malah menganggapku sebagai orang sombong yang melupakan
pahlawan tanpa tanda jasa?

Jadi, bagaimana? Apakah lebih baik aku berkata "Perkanalkan, saya Roy" atau "Bu, saya Roy, apa
Ibu masih ingat"?

Pikiranku semakin gelisah, tanpa sadar ketakutan itu malah membuat mulutku kaku, membuatku
berdeham kecil dan mengeluarkan getaran kecil dari kerongkonganku, tepat seperti orang yang
mati kutu karena tak lancar berpidato di depan umum.
Namun, sesuatu yang tak kuduga malah terjadi. Ibu Ai bertanya terlebih dahulu sebelum aku
berhasil melontarkan satu kalimat pun.

"Bapak, alumni sekolah ini ya?"

Sontak, mataku terbelalak. Apa Ibu Ai ingat?

"Iya, Bu," balasku, sedikit terbata-bata. "Ibu masih ingat?"

"Wah, ternyata benar, ya?" Kulihat Ibu Ai yang tak kalah terkejutnya denganku. Ia menutupi mulut
dengan sebelah tangan, salah satu kebiasaannya yang tak pernah berubah. "Da asa wawuh.
Kayaknya dulu murid pas awal-awal saya ngajar, ya? Soalnya saya nggak pernah lupa sama
angkatan pertama yang saya ajar. Jadi waktu saya lihat Bapak, rasanya saya kenal."

"Saya jadi malu, Bu," kataku, "Padahal sudah lama sekali."

"Apalagi saya, atuh, asa jadi kolot pisan." Ibu Ai tertawa terbahak-bahak, entah karena ejekan
terhadap dirinya sendiri atau karena ia merasa geli atas dua bahasa yang tercampur menjadi satu
kalimat. Sedangkan aku, sekadar untuk menghormatinya, turut tertawa. Di sisi lain, Wijaya yang
tampaknya tak mengerti apapun menaikkan sebelah alisnya, membuatku terpaksa membuat
terjemahan untuknya.

"Ibu Ai bilang dia merasa tua," beritahuku, membuat Wijaya mengangguk, menandakan dirinya
mengerti. Namun, tentu tanpa disertai tawa yang sebelumnya aku dan Ibu Ai lakukan.

Kemudian, Ibu Ai menyela, "Eh punten, sugan Abdi téh ...." Perempuan itu menyadari
kesalahannya, "Eh, maaf, maaf, kelepasan lagi. Saya pikir Bapak ngerti."

Gaya berbicara Ibu Ai, yang benar-benar apa adanya itu, mengingatkanku bagaimana selama aku
menempuh bangku sekolah menengah atas, matematika tidak terlihat begitu mengerikan. Bukan
berarti secara ajaib aku jadi menyukainya, tetapi Ibu Ai mampu membalut kesan mengerikan
dengan baik, membuatnya terlihat menawan, seperti bom atom dalam kado ulang tahun. Ah, iya,
cara bicaranya itu sama persis dengan bagaimana ia mengajar. Ya, setidaknya sekitar dua puluh
tahun lalu, sih.
"Tidak apa-apa, Bu, lagipula salah saya juga yang tidak belajar," balas Wijaya. "Mungkin suatu
saat nanti saya akan belajar pada Pak Roy."

Ibu Ai segera menatapku.

"Oh, Roy, ya?" katanya. Nadanya meninggi, persis seperti seorang teman lama yang pada akhirnya
bertemu kembali dengan sahabatnya, membuatku sedikit ngeri. Ibu Ai benar-benar ingat
kepadaku?

"Kamu téh di kelas yang diem terus, kan? Ibu ajak heureuy juga diem waé."

Benar-benar Ibu Ai yang kukenal.

"Sudah ah, Bu, malu." Aku merajuk. Namun, itu malah membuat Ibu Ai semakin semangat
menggodaku. Aku berusaha mengirimkan sinyal pada Wijaya untuk membuka diskusi serta alasan
utama kami kembali mengunjungi sekolahku. Tetapi, memang sialan, tampaknya Wijaya
menikmati penganiayaan yang kualami. Anak itu pada akhirnya tertawa, padahal aku yakin dia
hanya mengerti setengah dari seluruh konteks yang Ibu Ai berikan, tentu saja karena bahasa yang
campur aduk.

"Jadi polisi euy sekarang mah? Terus gimana? Di kantor juga diem waé?"

"Jadi dulu Pak Roy pendiam ya, Bu? Padahal di kantor, Pak Roy orang yang aktif." Wijaya
menimpali, masih dengan suara cekikikan yang sedikit ditahannya.

Ya ampun. Bagaimana mungkin mereka berdua dapat mengikat tali pembicaraan dengan baik?
Maksudku ... ya ampun, aku seperti melihat dua orang ibu-ibu yang tengah bergosip.

"Jika Ibu Ai dan kau, Wijaya, ingin membicarakanku terlebih dahulu, aku tidak keberatan untuk
pergi sebentar dan berjalan-jalan." Kuangkat kedua tanganku, mengacungkan kesepuluh jari
sambil memainkannya perlahan. Tentu, tanpa maksud yang serius, hanya sekadar candaan ringan
dengan intonasi yang tak menyenangkan, lebih seperti seseorang yang merasa tertekan tetapi
merasa tak nyaman dengan lingkungan yang ada.
"Eh, jangan, Pak, maaf." Ibu Ai mengangkat tubuhnya, mencegahku yang terlihat benar-benar
akan pergi, membuat tawa di mulutnya menghilang.

Baiklah, sekarang aku malah terlihat seperti orang tua yang tidak memiliki selera humor. Aku lupa,
Ibu Ai mungkin menganggap tindakanku dengan serius, dan kini tegukan ludahnya terdengar
akibat perasaan bersalah.

Tak ingin terjadinya interpretasi yang salah, aku hanya tersenym, memberitahu Ibu Ai bahwa aku
tidak benar-benar akan melakukan apa yang kuucapkan sebelumnya. Kemudian, seolah
mengetahui situasi yang tengah terjadi, Wijaya segera menyela.

"Jadi, Bu, sebenarnya kedatangan saya dan Pak Roy ke sini berkaitan dengan salah satu anak wali
Ibu," kata Wijaya, membuat atmosfer berubah dengan cepat. Suasana tegang terasa memuncak,
Ibu Ai mendengarkan dengan serius. Mungkin, dia belum tahu alasan sebenarnya kami datang ke
sekolah ini dan malah berpikir macam-macam. Namun, semua pikiran yang ada di dalam otaknya
itu segera Wijaya timpali.

"Ibu masih ingat dengan Yusup?"

Tanpa perlu berpikir panjang, Ibu Ai segera tahu objek yang sedang kami bicarakan. Matanya
berkedip beberapa kali.

"Yusup yang hilang téa?"

Wijaya dan aku mengangguk secara bersamaan.

"Iya, saya ingat. Memangnya kenapa, ya?"

Ibu Ai mengingatku, padahal aku termasuk salah satu siswa yang gampang dilupakan. Jadi, aku
tak memiliki alasan untuk menuduh bahwa Ibu Ai tengah berbohong, kan?

Aku dan Wijaya saling beradu pandang, mencari tahu siapa di antara kami yang akan melontarkan
pertanyaan selanjutnya. Namun, dengan mengadahkan kepalaku beberapa detik, kubuat gestur
yang dapat Wijaya mengerti, memerintahkannya untuk melanjutkan pertanyaan.
"Kami mendapatkan beberapa informasi yang dapat mengarah ke pelaku penculikan Yusup, Bu."

Memang, aku dan Wijaya sepakat untuk menggunakan kata 'pelaku penculikan' dibandingkan
'pelaku percobaan pembunuhan'. Aku tidak ingin secara tiba-tiba, siapapun orang yang mendengar
pernyataan itu, terguncang dan tak sadarkan diri karena terkejut. Namun, biarpun niat baikku dan
Wijaya itu berhasil untuk kedua guru sebelumnya, tidak dengan Ibu Ai yang malah mengernyitkan
dahinya.

"Penculikan? Bukannya kabur dari rumah?"

Sekali lagi, aku dan Wijaya saling beradu pandang.

"Kabur dari rumah?" Aku bertanya, memastikan bahwa Ibu Ai tak salah bicara.

"Iya. Kalau nggak salah dulu polisi bilang Yusup kabur dari rumah."

Memang, berkas ini memberitahu kami bahwa Yusup adalah orang hilang, tapi aku yakin benar
berita yang dituliskan tidak menunjukkan bahwa Yusup kabur dari rumah atas keinginannya
sendiri, dan aku sendiri lupa jika kasus tujuh tahun lalu itu—pasti—ditangani oleh para polisi
korup. Maksudku, mereka sudah menyusun rencana itu, kan? Mereka pasti akan berusaha,
bagaimana pun caranya, untuk mendapatkan kasus itu. Dan pemikiran itu berlanjut pada akar-akar
serabut yang mengerikan: bahkan sekitar tujuh tahun lalu, kelompok polisi korup itu tak hanya
menyusup di antara perwira pertama, melainkan telah menyusup di antara perwira tengah atau
perwira tinggi yang memiliki wewenang lebih untuk menentukan jalannya suatu kasus?

Satu kata: gila.

Selain itu, di saat yang bersamaan, aku benar-benar kagum dengan Ibu Ai. Tidak seperti dua guru
sebelumnya, tampaknya Ibu Ai benar-benar mengikuti kasus yang menimpa salah satu siswa
didikannya. Aku tidak tahu apakah memang karena Ibu Ai peduli atau dia memang suka
mendengarkan berita. Yang jelas, setidaknya aku dan Wijaya tahu bahwa ada kesalahan informasi
yang diterima olehnya.
"Saya rasa ada kesalahan saat itu, Bu, oleh karena itu saya dan Wijaya ingin membuka kembali
kasus ini," kataku, menjelaskan. "Bisa ibu ceritakan tentang Yusup?"

Aku segera menyiapkan ponsel, menyalakan rekaman seperti biasanya, sedangkan Wijaya
mengambil kertas memo yang sebelumnya disakukan, sembari membuka tutup pulpen dan
membiarkan ujungnya telanjang, siap menyiratkan tinta hitam di atas kertas.

"Yusup mah kayak Roy, da. Sok diem waé mun dihereuyan."

Perhatianku tertuju pada Wijaya yang tak dapat menuliskan pernyataan Ibu Ai, membuatku
kembali menjadi seorang relawan yang menerjemahkan seluruh kalimat Ibu Ai, memberitahu
lelaki itu bahwa Yusup, yang Ibu Ai bilang mirip denganku, selalu diam ketika perempuan itu
mengajaknya bercanda.

"Tapi anaknya baik kalau menurut saya mah, diem-diem ogé."

"Bagaimana dengan nilai akademiknya, Bu?" Aku hanya ingin memastikan, apakah yang
dikatakan kedua guru sebelumnya itu benar atau tidak. Bukannya aku tidak percaya dengan
mereka. Hanya saja, mungkin karena aku merasa lebih mengenal Ibu Ai, aku bisa lebih
memercayainya.

"Oh, iya, Yusup sok masuk sidang pleno waé. Nilainya kecil terus. KKM rata-rata mata pelajaran
padahal di atas tujuh puluhan, tapi ujian aja, Yusup dapetnya pasti lima puluh terus."

"Pantas guru-guru ingat dengan Yusup ya, Bu?"

Ibu Ai mengangguk, membenarkan kalimatku.

Dari semua pertanyaan wawancara yang aku dan Wijaya berikan, hampir semuanya tak ada
perbedaan yang berarti. Semuanya mengarah pada satu simpulan yang jelas: Yusup anak yang
biasa saja, apalagi dengan pernyataan Ibu Ai bahwa anak itu agak mirip denganku, tentu saja ketika
masih duduk di bangku sekolah menengah atas, yang dapat kupastikan bukanlah siswa yang dapat
menarik perhatian para polisi korup sampai-sampai mereka membuat rencana pembunuhan
untuknya.
Kutarik napas dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan, merasakan sensasi nikmat atas
udara yang mengalir di antara saluran pernapasanku. Apakah aku menemukan jalan buntu?
Apakah secara tak langsung, semua keadaan ini memerintahkanku untuk meninggalkan kasus yang
telah berdebu, ditinggalkan selama tujuh tahun?

Tidak, sialan. Semua kemungkinan bisa terjadi. Aku masih bisa mencari jalan lain untuk mencari
tahu keberadaan Yusup, setidaknya di mana mayat anak itu ditinggalkan jika mereka benar-benar
membunuhnya. Aku mulai percaya pada keajaiban ketika Ibu Ai dapat mengingatku dengan baik.
Maksudku, bagaimana caranya dia ingat?

Kemudian, di sampingku, Wijaya tengah menyetir, fokus pada jalanan, mengantarkanku kembali
ke rumah yang sepi dan kosong.
9. Bury the Hatchet

Jemariku bergelayut di atas papan tombol. Namun, hanya jai tengah kananku yang bergerak,
berfungsi sebagai pemencet tombol arah yang menaik turunkan halaman pekerjaan. Mulutku
menguap ketika kantung mataku tak kuasa menahan beban. Aku hampir tertidur, ditandai dengan
kepala yang goyah, bergerak ke kanan dan ke kiri sebelum, otakku kembali dalam keadaan sadar.
Laporan yang AKP Rama kerjakan membuatku terpaksa berjaga. Namun, itu semua bukan
salahnya, karena memang akulah yang memintanya untuk mengirimkan laporan itu—sebagai
bentuk antisipasi seandainya ada hal yang seharusnya tak dituliskan di laporan ini.

Sejauh yang kubaca, tampaknya AKP Rama mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Tulisannya
rapi—secara struktur dan bukan bentuk tulisan, teliti, serta tak kutemui kalimat-kalimat janggal
yang biasanya tersimpan karena terlalu buru-buru mengetik. Bahkan, saking detail dan terlalu
mendalam, rasa kantuk yang kualami semakin menguat.

Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika dokumen yang kubuka berada pada
halaman terakhir. Membuatku segera mematikan komputer, menarik flash drive yang berisi
dokumen itu, serta bersiap-siap untuk pulang.

Laporan yang merekam kekejian terhadap Loka itu akan digunakan untuk memberatkan Januar
dalam persidangan. Jadi, hilangnya beberapa jam dalam hidupku tetap setimpal, tak kurasakan
kerugian apapun, setidaknya hingga saat ini. Kesempurnaan laporan merupakan salah satu aspek
penting yang harus dibuat oleh siapapun, termasuk untuk kasus ini. Tidak lucu, kan, kalau Januar
sampai keluar dari jeratan hukum hanya karena kesalahan tik yang membuyarkan seluruh
kronologi kejadian? Menulis tanggal dua puluh lima menjadi lima belas, misalnya.

Ketika aku keluar ruangan, suasana yang sepi langsung melanda, menemani langkah-langkahku di
sepanjang koridor. Suara mesin komputer yang sebelumnya memenuhi indera pendengaranku
menjadi hal yang paing kurindukan. Beberapa teman kantorku—yang tak begitu ramah—
melewatiku tanpa sapaan sama sekali. Mungkin mereka mengantuk, sama sepertiku. Jadi,
kuabaikan anggapan bahwa orang-orang di sekitarku adalah orang sombong.
Aku pikir, dengan selesainya membaca laporan yang AKP Rama berikan padaku, aku dapat
melenggang bebas, berjalan tanpa beban pikiran. Namun, kini kasus yang menimpa Yusup malah
merasuki otakku. Pikiranku kembali kacau, membuatku perlu beberapa detik dalam memutar kunci
mobil untuk menyalakan mesin.

Seminggu telah berlalu semenjak terakhir, aku dan Wijaya, berkunjung ke sekolah Yusup. Dan
dalam rentang waktu itu, tentu tak kami sia-siakan dengan berharap pada sebuah keajaiban,
menunggu informasi lanjutan yang membukakan jalan baru untuk kami, Yusup ditemukan di
negara lain, misalnya. Namun, dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, aku dan Wijaya
mengunjungi beberapa tempat serta kerabat yang kami duga kenal dengan Yusup, termasuk orang
tuanya.

Aku cukup terkejut ketika mengetahui bahwa sang ayah dari Yusup merupakan mantan polisi.
Laki-laki itu—yang memperkenalkan dirinya dengan nama Jajang—baru pensiun beberapa tahun
lalu. Tentu, keterkejutan yang sama timbul dari Pak Jajang, karena memikirkan bagaimana
mungkin aku—orang bodoh yang tidak pernah memiliki hubungan dengan kasus ini—secara tiba-
tiba tertarik dengan kasus hilangnya Yusup. Lalu, entah karena insting polisinya yang keluar secara
mendadak atau apa, Pak Jajang segera menginterogasiku, menanyakan seluruh motivasiku untuk
kembali membuka kasus ini, yang tentu saja kujawab dengan santai.

"Hanya ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya," kataku, dengan wajah serius bak seorang
aktor yang tengah memainkan peran penting.

Berkenaan dengan informasi yang Ibu Ai berikan, Pak Jajang mengonfirmasi pernyataan itu. Para
polisi yang menangani kasus Yusup akhirnya sepakat untuk menutup kasus itu dengan kaburnya
sang korban atas tekanan yang diberikan oleh teman-teman beserta gurunya, membuatku merasa
sedikit tolol karena menganggap semua orang yang mengetahui kasus itu—termasuk Ibu Ai—
menganggap Yusup sebagai korban penculikan. Sialan, kenapa aku tak tanya-tanya dulu, sih? Dan
memang benar-benar sialan, kenapa mereka tak menuliskan isi laporan sedetail-detailnya?

Ketika Pak Jajang terpaksa kembali memutar memori dalam otaknya, sang istri menjamuku
dengan secangkir teh. Kemudian, telinganya yang tajam menangkap pembicaraan kami—sebelum
perempuan itu menginterupsi kami dengan cangkir tehnya—dan memilih untuk bergabung ke
dalam percakapan. Mata sayunya memberikan kesan yang sama dengan Pak Jajang—membuka
luka lama atas memori yang ingin dihilangkan.

Raut wajah mereka—sang pasangan suami istri itu—tak dapat berbohong. Matanya mendayu,
mulutnya dilumat habis dengan intensitas air liur yang tinggi, keduanya memberikan pandangan
dengan kesan yang sama: masih tidak rela dengan kesimpulan yang diambil. Bagi mereka, Yusup
tak memiliki alasan untuk meninggalkan rumah, membuat mereka yakin bahwa ada hal yang tak
beres yang tengah terjadi.

Sedikit penggalan cerita menarik yang dapat kudapatkan adalah bagaimana berbedanya tanggapan
mereka—Pak Jajang dan istrinya—terhadap anaknya. Kesan pemalas yang sejauh ini kudapatkan
disangkal dengan mentah-mentah. Alis mereka menukik tajam begitu mendengar cerita yang
keluar dari mulutku.

"Yusup belajar terus, kok, di rumah." Pak Jajang memberikan tatapan terkejutnya. Kumis yang
menyeruak di antara hidung dan bibirnya bergerak ke atas dan ke bawah.

"Bukankah seharusnya Anda, Pak, atau Ibu, melihat rapor anak Anda?"

Pak Jajang tertegun. Ludah yang diteguknya menandakan rasa keraguan, membuatku berasumsi
bahwa ia—juga istrinya yang tak memberikan sedikitpun argumen—tak pernah memperhatikan
hasil belajar Yusup.

"Anda tak pernah mengambil rapor anak Anda?" Aku bertanya, mengeluarkan kalimat yang
membuat mereka terkejut untuk kedua kalinya.

"Yusup selalu bilang rapornya bisa diambil sendiri." Pak Jajang membalas.

"Bagaimana dengan setelahnya? Apakah Anda tak pernah mengeceknya, Pak?"

"Yusup selalu bilang nilainya aman. Kami percaya saja karena di rumah dia selalu belajar."
Di saat yang bersamaan, istri Pak Jajang melenguh pelan. Matanya mengerjap beberapa kali
setelah ia lemparkan kepalan tangan ke depan mulutnya. Aku pikir perempuan itu akan
memberitahuku sesuatu, tetapi tampaknya ia hanya membatu, tak mengucapkan apapun.

Aku sendiri sebenarnya menjadi sedikit ragu. Sebelumnya, aku tak pernah melihat data nilai Yusup
yang—wali-wali kelasnya katakan—amatlah buruk. Aku tak dapat mengonfirmasi pernyataan itu
biarpun memang secara logika pernyataan yang kuterima itu seharusnya kredibel dan dapat
dipercaya. Maksudku ... siapa lagi orang yang tahu secara pasti nilai-nilai hasil belajarmu selain
guru yang mengajar?

Satu individu dengan dua pribadi yang berbeda, dari masing-masing sudut pandang yang berbeda,
biasanya tidak akan berakhir dengan baik. Aku tidak dapat langsung mengatakan bahwa ada
keanehan pada Yusup, dapat berubah menjadi anak yang rajin dan malas di saat yang bersamaan.
Bisa saja Yusup hanya pura-pura belajar di rumahnya, kan?

Seluruh adegan itu—percakapan yang kulakukan dengan orang tua Yusup—membuatku secara
tak sadar malah terdiam mematung dengan mesin mobil yang masih menyala, tetapi rem tangan
belum kulepaskan. Gila, berapa menit aku diam gara-gara itu?

Hampir kulajukan mobilku, sampai akhirnya satu pemikiran terakhir terlintas di dalam benakku,
bagaimana besarnya dukungan mereka—Pak Jajang dan istrinya—untuk menyemangatiku
kembali membuka kasus ini, mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Ah, ya, tentu saja dengan
catatan, tak pernah kuungkapkan terlibatnya para polisi korup itu. Mampus saja, bisa-bisa mereka
mengamuk dan mengacak-acak kantor jika tahu orang dalam terlibat dalam hilangnya anak
mereka.

Namun, belum sempat kuinjak pedal gas, sebelah tanganku segera menjamah permukaan celana,
hingga akhirnya merogoh saku di mana kusimpan ponsel yang sedari tadi beum kusentuh.

Aku membuka percakapan, bertanya apakah Wijaya masih terjaga atau tidak. Status online-nya
memberitahuku bahwa ia masih berada dalam jaringan sekitar tujuh menit lalu, dan aku harap
dalam rentang waktu yang sempit itu, ia belum tidur, terlelap, meninggalkan seluruh kesibukan
dunia nyata untuk bersenang-senang di dalam bawah sadar.
Untungnya, tanpa menunggu waktu yang lama, Wijaya membalas.

"Ada apa, Pak?"

Aku yang tak ingin berbasa-basi segera meneleponnya. Toh dia masih terjaga, kan?

Wijaya segera mengangkat panggilanku, menyapa dengan suara yang sedikit tertahan. Mungkin,
istrinya tengah terlelap saat ini. Bahkan, secara samar dapat kudengar pintu yang terbuka dari
seberang suara.

"Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu," tukasku dengan cepat.

"Berkaitan dengan kasus Yusup?"

"Benar."

"Maaf, Pak, saya belum memikirkan kasus itu lagi."

Memang, beberapa saat setelah kami mulai menyelidiki kasus Yusup, Wijaya mendapatkan
perintah untuk memimpin jalannya kasus lain. Kasus pembunuhan biasa, bukan luar biasa hingga
memerlukan penyelidikan mengerikan yang melibatkan banyak pihak. Namun, bagian
terburuknya adalah aku tak dapat menginterupsi pekerjaannya. Alasannya? Jelas karena kasus
Yusup belum dibuka kembali secara resmi.

"Aku mengerti. Tenang saja, Wijaya. Lagipula aku meneleponmu malam-malam begini hanya
ingin meminta pendapatmu."

"Benarkah, Pak?"

Kuputar kembali kunci mobil, mematikan mesin, membuat suara Wijaya terdengar lebih jelas
tanpa adanya gangguan.

"Sebenarnya ide ini sudah cukup lama berada di otakku. Aku tidak menyukainya, tetapi kurasa
aku tidak memiliki pilihan lain."
Wijaya tak menjawab, tetapi aku yakin dia masih menyimak seluruh ucapanku.

"Apa kaupikir Januar akan membeberkan kasus Yusup kepada kita jika seandainya ... kita ...
memaksa?"

Aku bergumam pelan. Rasa gundah muncul begitu kuucapkan nama Januar. Dalam bayanganku,
siluet lelaki brengsek itu kembali menyembul. Wajahnya yang menyeringai tanpa dosa
membuatku bergidik. Transisi luar biasa yang dilakukan, berpura-pura sebagai orang yang
bersalah hingga menjadi bedebah sialan yang pantas mati, cukup membuatku geram. Mungkin,
perasaan-perasaan itu muncul karena alasan yang lebih pribadi, tetapi tak dapat kusangkal jika aku
benar-benar ingin meludahi namanya.

Di samping itu, Wijaya mendesis. Tampaknya, keraguan muncul dari benaknya.

"Sebenarnya saya sendiri sudah memikirkannya, Pak."

"Lalu?"

"Saya tidak yakin, Pak. Maksud saya, saya tak berada di lokasi ketika Anda ... menangkapnya."
Suaranya terputus, tetapi panggilan masih tersambung. Aku menunggu beberapa saat dalam jeda
itu, sebelum akhirnya kembali kudengar suara Wijaya. "Saya asumsikan jika Pak Januar bukan
orang yang suka berkoordinasi."

"Ya, dia benar-benar menyebalkan. Apa kau mendengar rekaman yang kubuat? Saat Januar
mengakui perbuatannya?"

"Belum, Pak."

"Apa aku boleh mengirimkannya padamu sekarang dan meminta pendapatmu?" Aku bertanya.
"Ah, lalu, maaf, Wijaya, aku mengganggumu malam-malam begini. Jika tidak bisa pun tidak apa-
apa."

"Tidak masalah, Pak. Lagipula saya sedang tidak bisa tidur."

"Jadi, aku boleh mengirimkannya?"


"Tentu."

"Oke. Tunggu sebentar."

Secara tak sengaja, panggilan itu kuputuskan. Padahal, aku hanya ingin menghilangkan jendelanya
untuk sementara waktu, ketika aku memilah-milah rekaman yang menyimpan bukti pengakuan
Januar atas pembunuhan Loka. Identitasnya yang unit—judul dokumen dengan tanggal dan jam
pembuatan rekaman—membuatku tak memerlukan waktu yang cukup lama untuk
mendapatkannya.

Kukirimkan dokumen itu pada Wijaya dengan waktu unggahan selama beberapa detik, sebelum
akhirnya kutelepon kembali anak itu.

"Rekamannya sudah kukirimkan."

"Akan saya cek, Pak."

"Terima kasih," tukasku.

"Ah, selain itu, Pak, berkaitan dengan cerita Anda mengenai pengakuan orang tua korban, saya
rasa besok bisa saya cek nilai-nilai Yusup, sekalian mengantar Riska ke sekolah. Bagaimana?"

"Kalau kau tidak keberatan."

"Tentu saja tidak, Pak. Apa ada lagi yang ingin Anda bicarakan, Pak?"

Aku bergumam pelan. Aku ingin membicarakan Luthfi, bagaimana orang gila itu mampu menebak
dengan tepat sang pembunuh Loka, membantuku mencari bukti keberadaan polisi korup hingga
membuat Januar bertekuk lutut. Mungkin, termasuk salah satu orang yang tepat jika kumintai
bantuan dalam penyelidikan kasus ini. Namun, pada akhirnya niat itu kuurungkan. Selain karena
Luthfi pasti akan mengamuk jika kuceritakan apa yang terjadi pada malam itu, ketika ia mengikat
kedua lengan Januar dengan cable tie, aku tak dapat menghubunginya lebih dulu. Dan yang pasti,
aku tidak bisa menunggunya menghubungiku terlebih dahulu.
Akhirnya, kuakhiri pembicaraan, membuatku memutuskan panggilan untuk kedua kalinya sambil
menunggu respon Wijaya yang—entah benar atau tidak—mendengarkan rekaman itu. Namun,
rasa tanggung akibat menunggu dan keinginan untuk pulang pada akhirnya malah membuatku
menarik kunci, membuka pintu, keluar, dan kembali menutupnya serta memastikan bahwa
mobilku aman untuk ditinggalkan.

Mataku masih terasa berat, aku tak menyangkal. Namun, itulah alasan utama aku kembali masuk
ke dalam ruanganku yang dingin dan sepi.

Aku duduk sembari membenamkan wajah, menyimpannya di atas meja yang sudah tak dipenuhi
berkas-berkas kasus. Tanpa sadar, aku tertidur sebelum mendapatkan balasan dari Wijaya.
10. Bury the Hatchet II

Istri Januar tampak gelisah. Mulutnya komat-kamit, tapi suaranya tertahan di dalam
kerongkongan, membuat suara berdeham yang aneh keluar dari mulutnya. Ketika kutajamkan
pandanganku, mengangkat sebelah alis, kemudian mengetukkan masing-masing jari di antara
kedua tangan, istri Januar segera menarik kepalanya, menghindari ketaknyamanan yang pasti
sedang melandanya.

"Saya tidak percaya," komentarnya, tepat setelah rekaman yang kusimpan sedari dulu itu berhenti
berputar.

"Saya juga," balasku, berbicara tak kalah cepatnya dengan perempuan itu. "Tetapi Januar sendiri
yang bilang."

"Kalian pasti memaksa suami saya untuk berbicara seperti itu, kan?" Perempuan itu melotot.
Ternyata, sikap yang sama belum pudar semenjak beberapa waktu lalu, ketika ia menyerangku
yang menyerang keluarganya. Namun, aku mengerti tindakannya yang defensif.

"Tentu," tukasku, masih dengan cara berbicara yang sama. "Kami memang memaksa, tetapi
memaksanya untuk membicarakan kejadian yang sesungguhnya, tak ada paksaan sama sekali
untuk berbohong. Jika tidak, Januar tak akan pernah mengaku."

Perempuan itu menatapku tak percaya.

"Anda bisa mendengar suara saya dan suara Januar di rekaman itu, Bu. Anda bisa menilai sendiri
bagaimana Januar dengan bangganya mengatakan bahwa ia membunuh korban, silakan dengarkan
sekali lagi jika Anda tak percaya."

Istri Januar melumat kedua bibirnya. Napasnya menderu, tanda pikirannya sedang berseteru.
Namun, ia tetap tak menerima tawaranku. Jadi, di dalam ruanganku ini, perempuan itu hanya diam
mematung, tak ada komentar tambahan apapun lagi, membuatku melanjutkan pembicaraan untuk
menghindari kekosongan.
"Saya hanya ingin meminta sedikit bantuan," Kuhentikan ketukan jari, membuatnya terdiam dan
mendingin karena pendingin ruangan yang menyala. "Suami Anda mungkin tak hanya akan
dijatuhi hukuman atas dasar pembunuhan, tapi juga penculikan dan pembunuhan untuk kasus yang
lain."

Tentu, perempuan itu tetap diam tak berkomentar.

"Hanya saja, kami belum bisa menemui korban dan melacak keberadaannya. Jadi, di sini saya
meminta Anda untuk membantu membujuk Januar memberitahu di mana lokasi anak itu berada,
sekaligus memberitahu siapa saja orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan itu."

Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Kini, matanya yang melotot berubah menjadi
sipit, mempertanyakan pernyataanku.

"Kenapa saya harus membantu Anda?" tanyanya.

"Saya akan berusaha meringankan hukuman suami Anda." Tentu, aku tidak benar-benar
bermaksud akan melakukan hal itu. Walaupun aku tak ingin berbohong, aku tak memiliki pilihan
lain selain memanipulasi keadaan, membuat perempuan itu menuruti keinginanku. Aku bukan
malaikat, sialan. Memangnya kaupikir aku bisa melepaskan Januar begitu saja setelah semua
tindakannya terungkap? Aku bukan tokoh utama sinetron religi yang bisa menerima semua
tindakan brengsek orang-orang di sekitarnya dengan sabar.

Perempuan itu menggeram, matanya menilik ke sana dan ke mari. Kemudian, ia bertanya,
"Mengapa Anda mau meringankan hukuman yang akan dijatuhi pada suami saya—jika memang
dia bersalah—seandainya saya membantu Anda?"

Sungguh, pemikiran yang kritis. Aku menyukainya, bagaimana perempuan itu tidak dengan mudah
percaya akan seluruh omonganku, membuatku harus berpikir ulang dan berusaha meyakinkannya
dengan susunan kalimat yang lain. Hanya, saja, sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk
memuji pertanyaannya itu.

"Bukti rencana penculikan ... pembunuhan, sebenarnya, itu pasti akan memberatkan Januar, tak
mungkin ia hindari. Januar tidak dapat lepas dari tuduhan. Bahkan, mungkin berlapis, salah
satunya pembunuhan, dan satunya lagi adalah pembunuhan berencana." Aku menarik napas,
sekadar memberi jeda agar tak kekurangan oksigen akibat terlalu banyak bicara. "Jika Januar mau
bekerja sama, saya bisa mengusulkan permintaan keringanan. Setidaknya, dia membantu
mengungkapkan kebenaran kasus yang telah terjadi tempo waktu."

Istri Januar tak langsung menjawab. Gerakannya kembali membeku, tetapi kini disertai wajah
kebingungan. Sebenarnya, aku yakin jika memberitahu perempuan ini—yang entah sedang
memikirkan apa—bahwa korban dari kelakuan keji Januar adalah anakku, kesempatan untuknya
membantuku akan terbuka lebih lebar. Namun, aku tetap ingin bertindak profesional, sekaligus
mengasah kemampuanku berkomunikasi, menghasut, menjerumuskan, meminta seseorang untuk
mengikuti perintahku, tentu saja pada seseorang yang tidak memiliki ikatan pekerjaan denganku.
Selain itu, kesalahan yang kubuat—melibatkan emosi pribadi dalam melaksanakan tugas—
membuatku kini, pada akhirnya, benar-benar mencoba menghindari hal itu.

Coba bayangkan, apa jadinya jika aku benar-benar membunuh Januar? Bisa-bisa aku yang berada
di dalam sel penjara sekarang ini. Selain itu ... sialan, padahal aku bisa bersikap masa bodoh dan
meninggalkan Luthfi ketika ia membuang tiga mayat polisi korup ke sungai, berpura-pura tak
melihat apapun dan tak peduli dengan kelompok brengsek yang sekarang menghantuiku. Seluruh
catatan itu, yang membuatku berhasil memenjarakan banyak anggota kepolisian brengsek tak tahu
malu, semuanya berawal dari malam aku membantu Luthfi mengasingkan mayat dan membuat
mereka menghilang, pergi dari dasar bumi.

Ketika napasku menderu, bergelut dengan segala pikiran yang malah memberikan kesimpulan
bahwa semua hal yang terjadi pada diriku adalah kesalahanku, istri Januar akhirnya menjawab.

"Saya akan mencoba," katanya, dengan suara lirih. Namun, tetap kutanggapi dengan antusias.

"Terima kasih." Aku menarik berkas kasus—salinan lebih tepatnya—yang sebelumnya kusimpan
di dalam laci meja, kemudian menyimpannya di atas meja. Tentu, tak kubeberkan seluruh salinan
itu padanya, hanya beberapa halaman yang kuanggap perlu perempuan itu ketahui.

"Namanya Yusup, terakhir sebelum menghilang dia masih duduk di bangku sekolah menengah
atas, kelas dua belas," jelasku, ketika perempuan itu menarik salinan berkas kasus yang
kutawarkan. "Korban menghilang di tanggal yang tertera pada berkas, diduga sekitar pukul dua
hingga empat siang."

Istri Januar menilik salinan itu dengan saksama. Bola matanya mengedar ke sana ke mari,
memindai seluruh kata yang tertera pada kertas itu. Namun, aku yakin dia masih mendengarkanku.

"Dugaan sebelumnya, korban kabur karena tekanan dari lingkungan. Namun, data yang ada pada
komputer suami Anda menunjukkan rencana pembunuhan korban."

"Rencana bagaimana?"

"Saya tak dapat memberitahu detailnya," tukasku. "Intinya seperti itu."

Dalam sekejap, istri Januar melemparkan tatapannya padaku, mengesampikan berita yang ada
pada salinan kasus. Kemudian, ia bertanya, "Lalu, apa yang harus saya tanyakan pada suami saya?"

"Anda bisa berimprovisasi, yang penting, Januar memberitahu di mana anak itu berada, siapa saja
yang terlibat, kalau bisa nama-namanya. Apa Anda dapat melakukannya?"

Sekali lagi, perempuan itu tak langsung menjawab. Matanya kembali jatuh pada untaian kalimat-
kalimat yang tertera pada salinan kasus. Perlu beberapa menit sampai akhirnya perempuan itu
setuju, mengiyakan pertanyaanku, kemudian segera berdiri menuju ruang interogasi yang tentu
saja akan membuatnya merasa tak nyaman selama beberapa waktu.

===

Januar memasuki ruang interogasi. Wajahnya lesu, rambutnya yang tak dikeramas selama
beberapa hari membuatnya berantakan. Baju tahanan sementaranya kusut, membuatnya tampak
seperti seorang gelandangan daripada polisi yang terjerat kasus hukum.

Aku berada pada ruangan lain, tepat di samping ruang interogasi, hanya dibatasi sebuah kaca dua
arah berukuran besar. Aku bisa melihat gerak-gerik mereka berdua dari sini, bagaimana Januar,
dengan entengnya, duduk di hadapan istrinya, menengok perempuan itu tanpa rasa bersalah.
Namun, tentu mereka berdua tak dapat melihatku yang sedang berdiri di ruangan ini.
Pengeras suara yang sengaja dihubungkan dengan mikrofon dalam ruang interogasi memberikan
decitan kursi yang tak menyenangkan, melengking, seperti siap menyerang gendang telingaku.
Ketika Januar menjatuhkan raganya di atas kursi, dia masih tak melepaskan pandangan
mengerikan dari istrinya.

Aku gelisah, berkeringat, padahal aku tidak sedang berada di ruang interogasi yang super sumpek
itu. Namun, entah mengapa kurasakan hal yang sama seperti biasanya, ketika aku berusaha
mencari kebenaran dari tersangka yang ahli berkelit.

"Jan," permpuan itu memulai percakapan, walaupun lebih tepat kusebut sebagai sapaan. Namun,
tak kulihat kemesraan mereka sebagai suami istri. Perempuan itu lebih memilih untuk
mengepalkan kedua tangannya, kemudian menyimpannya di atas meja, tak ada sentuhan fisik sama
sekali untuk Januar.

Kemudian, Januar tersenyum.

"Loh, Ma, sekarang jadi manggil pakai nama? Kenapa?"

Refleks, otakku kembali bergelayut dalam lautan memori. Januar memberikan kesan yang sama.
Menantang, brengsek, membuatku ingin kembali menghajar wajahnya.

"Ganira ikut ke sini?" Januar kembali melanjutkan, masih dengan senyumnya yang belum hilang.

"Nggak, Pak."

Aku tak mengerti mengapa perempuan itu mengganti panggilan untuk suaminya. Apa mungkin
karena pertanyaan Januar sebelumnya?

"Kamu tinggal dia sendiri di rumah?"

"Ganira dititipin ke Ibu Ratna."

"Kenapa nggak kamu ajak ke sini?"

Istri Januar tak berargumen, malah membuat Januar semakin leluasa untuk berbicara.
"Jangan-jangan kamu percaya kalau Bapak emang tukang ngebunuh, ya?"

Aku masih mendengarkan dengan fokus. Kulipat kedua lenganku, memangku dada, berdiri
sendirian sambil menyaksikan bagaimana mereka berkomunikasi.

Januar menarik kursinya, membuat jarak antara tubuh dan tebing meja semakin mengerucut.
Kepalanya ia dorongkan, membuat sang istri dapat melihat wajahnya dari jarak yang cukup dekat.
Namun, sang istri malah menarik kepalanya, menjauhi raga Januar. Memang, gestur Januar cukup
mengerikan, setidaknya itulah kesimpulan yang dapat kutarik, seperti seorang badut yang berusaha
menyenangkan anak-anak, sayangnya si anak tak menyukai badut.

Sejenak, aku berpikir semuanya akan berakhir dengan baik-baik saja. Aku pikir Januar akan
berusaha meyakinkan istrinya bahwa dia—dengan kebohongannya—tidaklah bersalah. Namun,
tebakanku sangat meleset.

Januar menarik kedua bibirnya, membuat terowongan untuk mengeluarkan kalimat—paling


brengsek—yang kupikir tak akan pernah keluar dari mulutnya di saat seperti ini, ketika sang istri
ada di hadapannya.

"Itu bener, kok, Ma."

Tak ada penyangkalan, tak ada pertahanan diri sama sekali, kalimat yang Januar ucapkan itu keluar
dengan lancar, tak ada hambatan, bagaikan kereta api yang keluar dari terowongan.

Istri Januar terkejut, tentu saja. Maksudku, bagaimana mungkin orang yang sangat dekat
denganmu, orang yang sangat kau percayai, kau perjuangkan mati-matian dan membelanya,
mencoba meyakinkan semua orang bahwa ia tak bersalah, malah terang-terangan mengakui hal itu
tanpa adanya beban, keluar begitu saja dengan ringannya? Istri Januar terguncang, itu pasti.
Tangannya merinding, aku dapat melihat hal itu. Aku yakin, jantungnya sedang berdegup dengan
sangat kencang.

Namun, tidak hanya sampai di sana. Tepat setelahnya, Januar memalingkan wajahnya, menengok
tepat ke arahku.
"Dan kau, Roy, seenaknya saja menggunakan istriku. Apa yang kauinginkan dariku?"

Tidak aneh jika Januar tahu bahwa aku sedang mengamatinya. Maksudku, dia juga polisi, kan?
Kami berada di bagian yang sama, melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus serupa, dan aku
yakin prosedur yang dilakukannya untuk memenjarakan pelaku pembunuhan pun tak jauh berbeda
dengan apa yang kulakukan. Dia tahu aku sedang mengawasinya, dan tentu saja tak aneh jika laki-
laki itu pada akhirnya menoleh ke ruangan ini, lebih tepatnya ke sebuah kaca, biarpun aku tahu dia
tak dapat melihat bayanganku.

Istri Januar segera berlari, keluar dari ruangan, meninggalkan Januar duduk sendirian di dalam
ruangan. Aku tak memiliki pilihan lain selain mengikutinya, turut keluar ruangan dan
mendapatinya tengah menuju ke arahku.

Perempuan itu ketakutan. Tubuhnya masih gemetar, matanya tak berani menatapku, tetap
menunduk dengan gelisah. Kutarik perempuan itu, kembali masuk ke dalam ruangan di mana
sebelumnya kuawasi mereka berdua.

Perempuan itu hampir menangis, salah satu kejadian yang hampir tak pernah kupikirkan,
mengingat bagaimana dengan kerasnya—biasanya—ia memberontak, mempertahaknkan
keidealisannya dan tidak mudah percaya dengan orang lain.

Aku menarik pergelangan tangannya, sengaja kuposisikan perempuan itu agar tak dapat melihat
Januar, dari balik kaca, yang tengah duduk sendirian, termenung, tak melakukan apa-apa.

Aku berusaha menenangkannya, menepuk pundaknya beberapa kali ketika ia hampir sesenggukan.
Kepalanya mendongak, menatap ke arahku. Air matanya berhasil membendungi bola mata, hanya
butuh beberapa detik sebelum akhirnya menetes.

Di sela-sela ketakutannya, perempuan itu bergumam pelan.

"Dia bukan suamiku."

Perempuan itu kembali menundukkan kepalanya, dan aku tak memiliki pilihan lain selain
membawanya kembali ke ruanganku, tentu saja setelah perempuan itu merasa lebih baik. Aku tak
ingin ia menjadi pusat perhatian, mendapatkan beragam pertanyaan akan apa yang terjadi padanya.
Jadi, setelah memastikan bahwa wajahnya terlihat baik-baik saja, tak terlihat ketakutan, kembali
kutuntun dia untuk kembali ke ruanganku, mendapati Wijaya tengah duduk di atas kursi yang
tersimpan di dalam ruanganku.

Aku terkejut. Wijaya tidak pernah memberitahuku akan datang. Jadi, segera setelah membawa
perempuan itu kembali, aku memintanya menunggu beberapa saat sambil mengajak Wijaya keluar
ruangan, membicarakan hal-hal yang menurutnya penting untuk dibicarakan. Kami berdiri di
depan ruanganku.

"Saya berusaha menghubungi Anda, Pak," akunya, membuatku sadar bahwa ponselku telah mati
sejak lama, mungkin satu atau dua jam setelah aku membaca pesan Wijaya yang menyarankan
rencana itu, mencoba membujuk istri Januar agar Januar mengungkapkan kejadian yang
sebenarnya terjadi Yusup.

"Ponselku mati. Aku menginap di kantor semalam, tidak membawa charger, maaf."

Wijaya melempar pandangannya ke ruanganku yang tengah ditutup. Namun, tanpa perlu
menunggu, aku tahu dengan jelas pertanyaan yang akan disampaikannya.

"Tidak berjalan begitu baik. Januar lebih gila dari yang kuduga."

"Oh," Wijaya mengangkat kedua alisnya, bergelayut pada keningnya yang luas. "Saya minta maaf,
Pak."

"Bukan salahmu," kataku, "Siapapun tak akan menyangka jika dia akan mengakui perbuatannya,
dengan tenang, tepat di depan istrinya yang benar-benar percaya padanya. Perempuan itu pasti
terguncang dan tak dapat kita cegah."

Kini, aku benar-benar melihat Januar sebagai psikopat gila yang luar biasa. Manipulatif, brengsek,
berhasil membuat banyak orang memercayainya. Bahkan, sialannya, dia sempat berusaha
melakukan hal yang sama padaku, berusaha berpura-pura tak tahu menahu ketika kutanyai
pembunuhan Loka.
"Jadi, apa yang ingin kaubicarakan?"

Wijaya tersadar, ia menarik ponsel dari saku celananya. Kemudian, memberikan benda itu padaku
ketika tampilan layarnya sedang memuat sebuah gambar.

"Anda ingat semalam saya mengatakan akan melihat daftar nilai Yusup, kan, Pak?"

Aku mengangguk.

"Saya rasa Anda harus melihatnya sendiri, ada hal aneh di dalam kumpulan nilai Yusup"

Alisku menukik tajam. Memang ada apa dengan nilai-nilai itu?

Kupindai layar ponsel Wijaya, sebuah foto menampilkan layar komputer yang tengah menyala,
terdistorsi akibat kamera ponsel yang tak dapat menangkap sinar radiasi secara sempurna, tetapi
tetap dapat terbaca. Ada dua nilai utama, ujian tengah semester dan ujian akhir semester.
Semuanya terisi, kecuali bagian ujian akhir semester yang pasti tak sempat Yusup lalui karena para
polisi korup itu terlanjur menganggu kehidupan Yusup.

Kucek masing-masing nilai, semuanya buruk, persis seperti apa yang guru walinya katakan. Jujur,
awalnya aku tak tertarik, tapi semakin lama kuperhatikan, ternyata persis seperti apa yang
dikatakan Wijaya, hal menarik yang aneh muncul dalam nilai Yusup.

Aku kira, ketika guru-guru yang pernah menjadi wali Yusup mengatakan bahwa nilainya selalu
jelek, selalu lima puluh, itu hanyalah konotasi yang menunjukkan bahwa nilai Yusup memang
selalu buruk. Namun, aku tak pernah menyangkan bahwa apa yang mereka katakan itu—
semuanya—ternyata seharusnya kutangkap secara bahasa.

Nilai Yusup, semuanya lima puluh.

Aku dan Wijaya saling beradu pandang.

Bagaimanapun, mendapatkan nilai lima puluh dalam semua mata pelajaran, di setiap tingkat,
adalah hal yang mustahil, kecuali kau benar-benar mengetahui jawaban yang benar dan jawaban
yang salah dari setiap pertanyaan.
Guru-guru wali Yusup mungkin mengatakan bahwa ia selalu mendapatkan nilai lima puluh bukan
berdasarkan seluruh nilai ujian tengah semester atau ujian akhir semesternya, melainkan nilai
ulangan, ujian tengah semester, dan ujian akhis semester dari mata pelajaran yang mereka ajar.
Jika selama kegiatan belajar mengajar sang wali kelas mengadakan dua kali ulangan harian, maka
Yusup mendapatkan empat buah nilai lima puluh, cukup untuk mereka ingat bahwa Yusup selalu
mendapatkan nilai lima puluh tanpa mengecek mata pelajaran yang lain, tak sadar bahwa Yusup
melakukan hal yang sama terhadap seluruh mata pelajaran.

Hal itu membuat kesimpulan yang lain: Yusup bukan anak biasa dengan nilai yang selalu berada
di bawah rata-rata. Sebaliknya, anak itu seorang jenius dan tahu apa yang sedang ia kerjakan.

Aku rasa polisi-polisi korup itu menyadari hal yang sama, walaupun aku tak tahu dari mana mereka
mendapatkan informasi itu.

Aku tak tahu alasan utama mereka, pada awalnya, ingin membunuh Yusup. Namun, kurasa aku
tahu kenapa pembunuhan itu tak jadi dilakukan: mereka mendapatkan aset yang berharga.
11. Fundamental Elements of Madness

Aku ingat ketika Luthfi menampakkan amarahnya, meninggalkanku sendirian di depan Bandung
Indah Plaza ketika kutolak tawarannya untuk terlibat dalam rencana pengungkapan petinggi polisi-
polisi korup itu. Sialannya, harga diriku terlalu mahal untuk menjilati lelaki itu, memohon agar
aku dapat terlibat di dalam rencananya, kemudian mencari tahu siapa orang brengsek yang
memerintahkan mereka semua, para polisi korup yang telah beroperasi cukup lama.

Bayanganku memberikan wajah Luthfi yang tersenyum senang, bangga, menginjak-injak harga
diriku dan menganggapku orang tak berguna, hanya mendekatinya karena merasa harus mencari
orang yang bertanggung jawab setelah kelompok itu menghilangkan nyawa anakku. Maksudku ...
apa bedanya aku dengan seorang teman yang hanya berteman karena ada maunya?

Aku tak tahu kelanjutan rencana itu. Apakah pada akhirnya kelompok polisi korup itu menemui
Luthfi dan kawanan rampoknya atau tidak? Yang jelas, hingga saat ini aku tak mendengar kabar
apapun dari sang lelaki bertopi.

Matahari senja bersinar cukup terik, tanpa sedikitpun awan menghalangi. Ketika aku berdiri di
depan pintu yang tak asing, bulir-bulir keringat mulai menjalar keluar dari tubuhku. Seragamku
basah, wajahku lengket, aku benar-benar merasa tak nyaman tapi juga tak memiliki pilihan lain.

Aku mengetuk pintu, membuat dentuman kecil dan berharap kayu besar yang menjadi batasan
antara dunia luar dan tempat tinggal ini terbuka. Ketika kudengar suara kunci yang berputar, aku
menarik napas sambil menggeleng-gelengkan kepala, menghilangkan berbagai pikiran buruk yang
hinggap di dalam benakku.

Apa yang kulakukan? Kenapa aku kembali ke rumah Januar?

Kemarin, ketika istri Januar pulang, aku masih dapat melihat sisa-sisa keterkejutannya. Wajahnya
melongo, hanya saja dengan tatapan yang kosong tanpa pikiran. Aku memerintahkan seorang
petugas untuk mengantar perempuan itu, tetapi semalaman aku tak dapat tidur, memikirkan
tindakan-tindakan apa yang mungkin dilakukan perempuan itu ketika mengetahui ... ya,
mengetahui kebrengsekan Januar.
Jadi, setelah menimbang-nimbang, aku kembali menemuinya. Namun, tentu bukan untuk
menariknya kembali ke kantor kepolisian, memintanya bekerja sama untuk membujuk Januar.
Tujuan kali ini agak beda, lebih ke masalah pribadiku. Aku hanya ingin memastikan bahwa
perempuan itu baik-baik saja.

Ketika wajah perempuan itu tampil di hadapanku, menyertai pintu yang terbuka, kusaksikan raut
wajahnya yang tak berubah sedikitpun. Walaupun pandangannya tertuju ke arahku, aku yakin
perempuan itu sedang melamun. Gila, kan? Padahal aku pikir perempuan itu akan menyambutku
dengan antusias—membentakku. Bahkan, saat ini kurasa aku lebih berharap ia membentakku
daripada melongo seperti itu.

Aku mengucapkan salam, kemudian melemparkan senyuman yang tak pantas kuberikan.
Akhirnya, semua kelakuanku itu membuatnya sadar. Perempuan itu mempersilakanku masuk,
duduk, bahkan menawariku secangkir kopi panas yang sebenarnya tak kubutuhkan, apalagi di
bawah hawa panas Jakarta.

Ketika aku duduk di sofa ruang tamu, Ganira tengah memainkan ponsel, duduk di atas sofa yang
berseberangan denganku. Anak itu tak merasa keberatan dengan kehadiranku. Bahkan, karena
matanya terlalu fokus pada layar ponsel sehingga tak menyadari kedatanganku. Jempol-jempolnya
cekatan meraih sisi-sisi ponsel, menaik-turunkan halaman, tenggelam dalam dunianya sendiri
ketika kusesap kopi yang tak kubutuhkan itu.

"Saya minta maaf atas kejadian kemarin," kataku, memperlihatkan rasa bersalahku yang sukses
membuat perempuan itu tercengang. "Tak pernah terpikirkan oleh saya jika ...."

Kalimat itu terputus, tepat ketika kembali kulirik Ganira yang masih serius memainkan ponselnya.
Otakku berkemelut, mana mungkin aku mengatakan jika Januar adalah orang paling brengsek yang
pernah kutemui di depan anaknya, kan?

Namun, seolah mengerti akan gelagatku, istri Januar meminta anaknya untuk mengurung diri,
menutup pintu, tak mendengarkan pembicaraan kami. Anehnya, jika kebanyakan anak cenderung
melawan dan bertanya-tanya mengenai sesuatu yang disembunyikan darinya, anak itu lebih
memilih diam, menuruti seluruh perkataan orang tuanya. Kakinya melompat, kemudian berjalan
menyusuri tangga hingga penampakannya tak tampak lagi di netraku.

Perempuan itu segera menyela, tak memberikan kesempatan untukku melanjutkan kalimat yang
terpotong.

"Apa Januar memang seperti itu, Pak?"

Tak kuasa menahan rasa kejut, mataku terbelalak. Padahal, sebelumnya aku tahu benar jika
perempuan ini masih memikirkan kejadian brengsek yang seharusnya tak dialami. Namun, tetap
saja pertanyaannya itu—yang langsung keluar dari mulutnya—bukanlah salah satu pertanyaan
dengan peluang muncul yang tinggi.

Aku mencoba berpura-pura bodoh.

"Seperti itu bagaimana, maksudnya, Bu?"

Selanjutnya, perempuan itu mematung, kembali memberikan tatapan kosong. Berbagai pikiran
pasti berkelut di dalam otaknya.

Akhirnya, aku menimpali, mengutarakan kecerdasanku karena tak dapat membiarkan perempuan
itu merenung lebih lama.

"Mungkin Januar memang sedang tak waras kala itu."

"Selama ini hubungan kami baik-baik saja," tukasnya, kembali dengan kesadaran yang sepenuhnya
mengisi raga, menarik cangkir dengan gemetaran. "Ketika polisi itu memberitahu saya, semuanya,
mengapa Januar ditangkap, saya merasa Januar adalah orang asing, benar-benar bukan orang yang
saya kenal."

Kata 'Polisi itu' pasti mengacu ke AKP Rama. Sebab, hanya dua polisi—aku dan AKP Rama—
yang benar-benar terlibat dalam kasus Januar. Karena aku tak pernah merasa memberitahu
perempuan ini apa yang sebenarnya tengah terjadi, maka hanya AKP Rama satu-satunya orang
yang dapat kutuduh.
Aku berusaha menenangkan perempuan ini, mengangguk beberapa kali tanpa melakukan kontak
fisik. Ketika matanya mengerjap beberapa kali, perempuan itu melanjutkan.

"Maaf karena saya menyerang Anda dan rekan Anda ketika menangkap Januar, Pak," katanya,
membuatku tersenyum kecil.

Sekali lagi aku terkejut. Aku benar-benar lupa akan buruknya citra awalku bagi istri Januar.
Bagaimana, dengan sialannya, Luthfi yang ditemani olehku menyusup ke dalam rumahnya secara
tak sopan.

"Tidak masalah," balasku. "Bagaimana dengan Ganira, apa dia baik-baik saja?"

"Ganira tidak berubah."

"Apa dia tahu tentang kasus Januar? Maksud saya, apa Anda menceritakan sesuatu mengenai
Januar pada Ganira?"

"Saya tidak menceritakannya."

"Tidak menceritakannya atau belum menceritakannya?"

Istri Januar menengok beberapa kali, memastikan bahwa Ganira tak keluar dari kamar secara tiba-
tiba hanya karena baterai ponselnya habis, menghadiri percakapan yang tak seharusnya anak itu
lalui.

"Mungkin belum. Saya tidak tahu, saya belum memikirkannya. Saya tidak tahu kapan saat yang
tepat untuk ...." Ucapan perempuan itu terhenti, sengguk pelan terlempar keluar dari mulut
perempuan itu. Sebelah tangannya ia tempelkan pada wajah, berfungsi sebagai masker sekaligus
menghilangkan jejak-jejak air mata dengan ruas-ruas jarinya. Perempuan itu menangis, tetapi
berpura-pura tegar.

Melihat pemandangan yang ada di hadapanku sungguh membuatku gelisah. Aku ingin menepuk
pundaknya beberapa kali, membiarkan perempuan itu menangis, menghilangkan rasa sesak yang
telah terpupuk di dalam dada. Namun, sialannya, hal semacam itu tabu di dalam lingkunganku.
Perempuan itu bukan kerabatku, belum kukenal lama, apalagi dengan pengenalan diriku yang tidak
sopan, apa kata orang-orang seandainya aku 'terlihat' mendekatinya, padahal tak ada sedikitpun
maksud seperti itu?

Akhirnya, aku berusaha mengalihkan pikiran, seperti lelaki brengsek yang tak ingin bertanggung
jawab. Kabut-kabut kenangan yang bersemayam dalam otakku kembali melemparkan pernyataan
istri Januar yang belum lama diucapkan, permintaan maaf yang tak diperlukan karena menyerang
seorang penyerang.

Potongan-potongan adegan di malam itu, ketika aku menangkap Januar, kembali terulang.
Kepingan-kepingan kecil itu tersusun menjadi satu kesatuan yang utuh, kembali menceritakan
malam dingin yang terasa sangat lama. Semuanya. Mulai dari mengintai, mengawasi, hingga
penyusupan.

Kini, alasan utamaku yang bersifat pribadi tampaknya akan bergeser ke arah yang lebih serius.
Aku menyadari sesuatu, keadaan yang buruk, tetapi malah menimbulkan pertanyaan besar dalam
benakku.

Istri Januar mengaku tak menceritakan kasus Januar pada Ganira, membuatnya berpikir bahwa
Ganira tak tahu sama sekali akan kasus yang menimpa ayahnya. Namun, ada satu hal yang tak
perempuan itu ketahui, apalagi di saat yang bersamaan, ia sedang dikurung di kamar, mungkin
tidur akibat kelelahan, sehingga tak mengetahui bagaimana malam itu berlanjut, termasuk malam
untuk Ganira.

Ganira tak hanya tahu tentang password dari komputer Januar, tetapi kurasa anak itu juga tahu
mengenai kematian Loka.

Kabut-kabut kenangan itu tak sepenuhnya terlihat dengan jelas, tetapi aku ingat Ganira berada di
kamar yang sama ketika Januar mengakui perbuatannya padaku, ketika aku sendiri tak sadar
bahwa anak kecil itu masih ada di dalam kamar karena terbawa suasana. Aku yakin benar, jika
anak itu bereaksi, minimal terkejut atau apalah, aku pasti akan mengingat ekspresi wajahnya,
karena menceritakan kejadian-kejadian keji yang brengsek di depan anak kecil bukanlah gayaku.
Sialannya, karena terbawa rasa egoku, kejadian malam itu tak dapat kuhindarkan. Dan ... tentu saja
aku tak ingat jika anak itu terkejut atau tidak. Semua kejadian yang terekam dalam otakku itu
langsung melompati waktu, bagaimana kuperintahkan Ganira untuk segera keluar dari ruangan
begitu kutarik kursi, berusaha menginterogasi Januar.

Sebenarnya, kemungkinannya ada dua. Ganira mungkin hanya tidak peduli, tapi bagaimana
mungkin? Maksudku, dia anak kecil, loh. Memangnya ada anak kecil yang dapat hidup dengan
tenang tanpa melemparkan sebutir pertanyaan pun ketika sang ayah mengaku bahwa ia baru saja
membunuh seseorang? Anak kecil macam apa itu?

Kemungkinan kedua, Ganira memang tahu akan apa yang tengah terjadi. Bahkan, dia sudah tahu
lebih dulu dibanding ibunya, mungkin hal yang sama juga berlaku jika dibandingkan denganku—
pun Luthfi. Membuat anak itu tak perlu merasa kaget lagi ketika sang ayah mengakui
perbuatannya. Namun, pertanyaan yang sama tetap timbul jika benar kemungkinan kedua itulah
yang terjadi. Bagaimana mungkin seorang anak kecil bisa menerima dengan tenang perbuatan
ayahnya itu?

Apakah selama ini Januar memberikan pengetahuan-pengetahuan brengsek yang tak sepantasnya
diberikan pada anak-anak dan Ganira menerimanya dengan senang hati? Hal itu mungkin saja
terjadi. Namun, artinya, perempuan ini, yang kini masih terisak di hadapanku, benar-benar tak
mengetahui situasi yang sebenarnya. Aku tak mengatakan jika Ganira akan tumbuh menjadi
manusia brengsek seperti ayahnya, tetapi kemungkinan itu tetap ada.

Gila.

Lalu, kenapa sekarang aku merasa harus mengurus Ganira? Apa karena aku merasa bersalah
karena secara tak langsung terlibat dengan kasus-kasus Januar?

Pertama, kasus anakku. Sudah rampung, tapi belum benar-benar selesai. Januar terlibat, dan secara
tak langsung melibatkanku sebagai orang tuanya.

Kedua, kasus Yusup, dan belum dibuka kembali secara resmi. Sejauh ini belum ada pencerahan
yang berarti, dan aku tidak tahu apakah benar-benar dapat kubuktikan bahwa kelompok polisi
korup itu membunuh Yusup atau tidak. Dan sekali lagi, Januar masih terlibat, membuatku yang
tak sengaja melihat arsip dokumennya pun terlibat.

Ketiga, bukan sebuah kasus, tetapi aku menjadi takut akan masa depan Ganira yang ... padahal
seharusnya tidak perlu kupikirkan. Aku bukan seorang ahli penanganan anak-anak, bahkan kurasa
Wijaya lebih pandai. Namun, aku masih belum dapat melepaskan kekhawatiranku akan istri
Januar, bagaimana perempuan itu akan tinggal bersama seorang anak yang ... apa sebutannya, ya?
Didoktrin oleh Januar brengsek sehingga anak itu tak merasakan keanehan lagi ketika kejadian-
kejadian keji terlihat secara langsung oleh matanya? Dan tentu, secara tak langsung, aku yang—
mungkin—mengetahui keadaan anak itu lebih baik dari ibunya, merasa perlu mengambil alih,
cemas karena memikirkan masa depan anak itu.

Kurasa pekerjaanku akan bertambah berat.


12. Believe in Me

Semakin kuperhatikan gerak-gerik Ganira, semakin kusadari bahwa tak ada tindakan aneh yang
muncul dari anak itu, dan tindakan-tindakan tak anehnya itu malah tampak semakin janggal bagi
diriku.

Kurasa Ganira tak pernah membicarakan masalah ayahnya pada siapapun, tapi bukan berarti anak
itu memendamnya seorang diri. Ia bermain layaknya seorang anak-anak, berbicara lantang,
terkadang berteriak, tapi tak menunjukkan rasa takut ataupun amarah, sekadar gurauan biasa yang
terkadang membuat orang kesal karena volume suara yang berlebihan. Dari kejauhan, yang
membuatku tampak seperti seorang penculik anak-anak tahun sembilan puluhan, aku hanya
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah keluar dari mulutku.

Seiring dengan berjalannya waktu, Wijaya mampu memberikan perkembangan kasus yang lebih
signifikan. Terang saja, karena ketika Wijaya sibuk mencari informasi ke sana dan ke mari, aku
malah sibuk mengurusi anak orang lain—tanpa sepengetahuan orang tuanya—yang bahkan tak
wajib kulakukan.

Wijaya tengah mengemudi, matanya menatap tajam jalanan yang dipenuhi dengan kendaraan.
Lengan kirinya beberapa kali menekan klakson hanya untuk memerintahkan para pengendara
motor menyingkir, mengambil lajur tengah agar tak menghambat lajur kiri. Sedangkan aku, masih
mengutak-atik ponsel Wijaya, memperhatikan bagaimana Yusup mendapatkan nilai-nilai tepat
lima puluh itu.

"Kasusmu sudah selesai?" Aku bertanya, sekadar basa-basi karena merasa injakan terhadap pedal
gas yang Wijaya lakukan tampak kasar. Mungkin, para pengendara motor itu membuat batas
kesabarannya menipis.

"Sudah, Pak, administrasinya pun sudah saya selesaikan."

"Aku minta maaf karena seolah-olah kubiarkan kau mengerjakan kasus Yusup ini sendirian."
Sungguh, pilihan kata yang tepat. Aku tidak membuat 'seolah-olah' kubiarkan Wijaya untuk
mengerjakan kasus Yusup sendirian, tetapi aku sadar bahwa aku membiarkannya bekerja
sendirian. Maksudku, Wijaya yang mendapatkan segala informasi tentang Yusup, termasuk salah
seorang saksi—katanya—yang sempat melihat Yusup sebelum dia menghilang.

"Tidak masalah, Pak Roy," katanya, dengan injakan pada pedal gas yang sudah lebih halus. "Saya
tahu beberapa hari terakhir ini Anda pulang-pergi Bandung Jakarta."

Kukunci ponsel Wijaya, menyimpannya di atas dashboard seraya menaikkan sebelah alis.

"Tahu dari mana?"

Wijaya cekikikan, membiarkanku menatapnya dengan penuh rasa penasaran.

Apakah pernah kuberitahukan kegiatan beberapa hari terakhirku ini pada seseorang? Aku rasa
tidak, atau mungkin aku lupa?

Namun, tepat setelah ia menyalakan lampu tanda ke arah kanan, kemudian berhenti di depan lampu
merah dan membiarkan kendaraan-kendaraan lain, dari arah jalanan yang lain, melaju, Wijaya
membalas rasa penasaranku.

"Saya hanya asal tebak, Pak," katanya. "Ternyata benar, ya?"

Aku menarik napas, membiarkan oksigen bersemayam di dalam tubuhku.

"Aku sudah mengenalmu, dan aku tahu benar kau tidak akan asal tebak. Jadi, kalau memang kau
menebak, kenapa tebakanmu harus itu?"

Wijaya melemparkan pandangannya sekilas. Tentu saja, tak mungkin dia membiarkan beberapa
bagian mobilnya digores oleh badan motor hanya karena kelalaiannya.

"Saya mendengar apa yang terjadi dengan kasus Pak Januar, Pak," balasnya. "Saya yakin Anda
tak akan membiarkan Ibu Yulda begitu saja."
Selama ini aku memanggil istri dari Januar sebagai istri dari Januar tanpa menyebutkan namanya.
Aku tahu namanya, terang saja, toh namanya ditulis dengan jelas pada laporan kasus yang
menyangkut kematian Loka.

Aku masih belum puas dengan jawaban Wijaya.

"Lalu, apa alasanmu berpikir jika tak akan kubiarkan istri Januar begitu saja?"

"Entahlah, Pak, mungkin tebakan yang benar-benar beruntung?"

Dahiku mengerut, Wijaya terkekeh, dan sekali lagi ia menoleh ke arahku. Ia tahu jawabannya itu
tak akan kuterima, bagaimanapun keadaannya. Akhirnya, ia mengerti dan berkata, "Saya tak ingin
memberitahu Anda, Pak."

"Kenapa?"

"Saya rasa terlalu menyangkut ke masalah pribadi Anda."

"Kalau kau mengetahui hal pribadiku yang tak kuketahui itu apa, aku malah tak bisa
memaafkanmu karena kau tak memberitahuku."

Lampu lalu lintas telah berganti warna, mempersilakan Wijaya untuk kembali memberikan
kecepatan pada mobil. Namun, selang beberapa lama, ia masih belum menjawab pertanyaanku.
Wajahnya kebingungan, dan ia tahu apa yang kukatakan itu ada benarnya, membuatku semakin
bertanya-tanya: hal pribadi apa?

"Saya mendengar cerita mengenai Anda dan istri Anda, Pak Roy."

Aku menepis bahunya, membuatnya melenguh pelan, tetapi tetap fokus pada jalanan.

"Pribadi dari mana? Kukira apa. Semua orang juga tahu tentang hal itu." Aku tertawa kecil,
membuat perutku kembang kempis seraya menarik tarik pengaman karena ukuran tubuhku. "Aku
pikir lebih ke hal pribadi semacam ritual apa yang biasa kulakukan sebelum mandi dan tidur."

Kami tertawa bersama. Sungguh suasana yang ... rasanya sudah lama tak kulalui.
Wijaya mulai mengarahkan mobil ini ke arah perumahan. Tidak terlalu besar, tapi harus kuakui
tertata dengan sangat rapi. Walaupun begitu, beberapa bungkusan sampah tergeletak di beberapa
titik jalanan, membuat angin sejuk yang berhembus terkontaminasi.

Begitu Wijaya memarkirkan mobilnya di lapangan hijau yang terbuka luas, beberapa anak tampak
antusias, terlihat hendak mengerubungi kami, tetapi masih sanggup menahan hawa nafsunya.
Wijaya keluar, disusul olehku, membuat seorang anak—mungkin sepuluh atau sebelas tahun—
yang tampak paling tua di antara anak-anak yang lain, segera berlari sambil membawa bola,
menuju kerumunan anak yang lain, mengarahkan jari telunjuknya ke arah mobil.

Aku memakluminya, karena toh tempat ini tak terlihat seperti kawasan elit yang dipenuhi banyak
mobil. Sebelum Wijaya mengunci pintu, aku mencoba meyakinkannya bahwa alamat yang
diberikan orang itu—yang mengaku menjadi saksi—tidaklah salah. Wijaya meraih ponsel yang
sebelumnya kuletakkan di atas dashboard, memastikannya, dan ia mengonfirmasi. Tempat ini
adalah tempat yang tepat.

Kemudian, aku merasa bodoh karena anak-anak itu bukanlah tertarik pada mobil yang Wijaya
kendarai, melainkan kami berdua, lebih tepatnya seragam kami. Mereka pasti mengira ada
kejadian luar biasa sehingga dua orang polisi berseragam lengkap harus datang ke kawasan
mereka.

Aku dan Wijaya segera menuju alamat yang sebelumnya telah diberikan, menyusuri jalanan
dengan got yang berada di bahu kiri dan kanan. Aktivitas orang-orang tampak berada di mana-
mana, berbeda dengan kawasanku, padahal hari sudah siang. Di beberapa titik, ibu-ibu terlihat
tengah bercengkerama, membuat aku dan Wijaya mengucapkan punten sebagai bentuk
penghormatan pada penghuni kawasan ini.

Tepat di ujung jalan, sebuah rumah dengan nomor enam puluh satu terpampang merasuki netra.
Halamannya kecil, apalagi dengan motor yang sengaja diparkirkan, menghabiskan hampir tiga
perempat bagian dan hanya menyisakan akses untuk berjalan ke depan pintu masuk. Pagarnya
amat rendah, dapat dilompati siapapun, termasuk seorang anak kecil. Pintunya terbuka dengan
sandal yang berserakan di mana-mana. Samar-samar, aku mendengar suara televisi yang menyala.
Sebagai orang yang mendapatkan informasi 'si saksi', Wijaya berjalan mendahuluiku, memastikan
bahwa rumah tak ditinggalkan kosong dengan pintu terbuka. Namun, tentu saja hal itu tidak terjadi.
Bahkan, Wijaya tak perlu bersusah payah untuk mengetuk pintu karena suara beratnya saja sudah
mampu menyadarkan orang-orang yang ada di dalam rumah bahwa kami telah sampai.

Wijaya mengajakku masuk tanpa melepaskan sepatu. Kemudian, dapat kulihat dengan jelas
seorang wanita muda, mungkin sekitar dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun, serta lelaki
kurus dengan umur yang lebih tua beberapa tahun tengah duduk di atas sofa. Selain itu, seorang
anak kecil, mungkin berusia enam atau tujuh tahun, duduk di antara mereka dan menonton televisi
dengan penuh keseriusan.

Mereka menyambut kami dengan senyuman, kecuali si anak kecil, kemudian mempersilakan kami
untuk duduk dengan kalimat-kalimat pengantar yang tiada habisnya. Bahkan, berulang kali mereka
menawariku dan Wijaya minuman, yang berulang kali juga kami tolak karena tak yakin akan
bertamu cukup lama untuk menghabiskan satu cangkir kopi—teh untuk Wijaya.

Lelaki itu—si saksi dengan nama Asep—merupakan pegawai proyek pembangunan yang
sebelumnya seorang kasir minmarket, sesuai dengan profil yang Wijaya dapatkan. Ketika kami
bertiga—aku, Wijaya, dan Asep—mulai memasuki atmosfer yang serius, membuat basa-basi yang
sebelumnya dipenuhi canda tawa menghilang, sang wanita—istri dari Asep—mengajak anaknya
untuk masuk ke bagian dalam rumah yang dibatasi tirai tebal, membuatku tak dapat melihat dengan
jelas apa yang ada di dalam sana.

Wijaya menyesap teh yang pada akhirnya muncul di atas meja—seolah tak peduli dengan seluruh
penolakan yang sebelumnya telah kami berikan—kemudian berkata, "Apa anak itu benar-benar
selalu mampir ke minimarket setiap hari?"

Asep, yang juga mengikuti langkah Wijaya, kemudian kembali menyimpan cangkir kopi—bukan
teh—memberikan balasan.

"Saya inget, soalnya kalau saya jaga pas siang, emang gitu, Pak."

Aku dan Wijaya beradu pandang, kemudian membuatku melempar sebuah pertanyaan.
"Bagaimana dengan Shift malam?"

"Seinget saya nggak sih, Pak. Biasanya anak itu dateng pakai seragam, mungkin baru pulang
sekolah. Tapi gara-gara setiap saya jaga siang, anak itu dateng dan cuma beli Ultramilk, saya jadi
inget, Pak."

Tidak aneh, sebenarnya. Aku ingat ada sebuah minimarket, terpaut beberapa ratus meter dari
sekolah Yusup, dan jika kuanggap Asep berkata jujur, maka jelas minimarket itulah tempatnya.
Namun, karena tak menutup kemungkinan Yusup mengunjungi minimarket yang lain, aku
mencoba mencari tahu.

"Tempat kerja Bapak dulu yang daerah Dago bawah kan, Pak? Dekat jembatan layang?"

Lelaki itu mengangguk seraya berkata, "Iya, Pak."

"Ketika rekan saya menghubungi Anda, kenapa Anda bisa yakin bahwa anak yang kami bicarakan
itu anak yang kami maksud, Pak?"

Mulut Asep bergumul, tak mampu memberikan jawaban secara ringkas seperti sebelumnya.
Wajahnya tak yakin, tapi ia tahu bahwa di pikirannya, ada hal mengganjal yang mungkin sudah
hinggap selama tujuh tahun ini.

"Terakhir saya ngeliat anak itu, pas keluar, dia nunggu seseorang. Biasanya anak itu langsung
pergi. Terus habis itu, saya nggak pernah ketemu dia lagi. Waktu saya dikontak, dikirim fotonya,
saya langsung inget sama dia."

Pikiranku langsung terpincut pada kalimat pertamanya.

"Menunggu seseorang?"

"Iya, terus ada Bapak-bapak ngedeketin dia, mereka pergi bareng-bareng, Pak. Saya pikir itu
bapaknya."
Sekali lagi, aku dan Wijaya saling beradu pandang. Jika Asep benar-benar tidak berbohong, artinya
orang yang ia maksudkan bisa saja si penculik Yusup. Namun, kenapa rencananya berbeda seperti
apa yang tertulis pada catatan Januar?

"Apa Anda ingat ciri-ciri orang itu?" Wijaya segera menimpali.

"Lupa saya, Pak, maaf." Lelaki itu menepukkan kedua telapak tangannya, tampak seperti orang
yang ingin bersalaman. Alisnya mengerut , matanya mengerjap beberapa kali, menunjukkan
permintaan maaf yang amat tulus. Padahal, sudah sewajarnya ia lupa. Malah, akan sangat
mencurigakan seandainya ia mengingat kejadian tujuh tahun lalu yang seharusnya tak perlu ia
ingat baik-baik.

Namun, Wijaya tampaknya tak setuju. Ia melanjutkan pertanyaannya.

"Pakaiannya?"

"Punten, Pak. hilap pisan."

"Tato atau sesuatu, apapun?"

Asep menggeleng. "Asli, Pak, bilih abdi lepat."

Aku yang tidak ingin berdiam diri mencoba membuka mulut.

"Apa alasan Anda menyimpulkan lelaki yang mendekati anak itu adalah orang tuanya, Pak?"

"Mereka naik mobil, biasanya anak itu naik angkot."

"Tanpa paksaan?"

"Tanpa paksaan."

Aku tidak ingat apakah Pak Jajang memiliki mobil atau tidak. Jadi, segera kukeluarkan ponsel dan
menuliskan hal itu, meyakinkan diriku tak lupa untuk mencaritahu kebenarannya. Jika memang
Pak Jajang tak memiliki kendaraan, maka dapat dipastikan bahwa Yusup memang diculik.
Mungkin berakhir dengan pembunuhan.

Aku dan Wijaya pamit, tentu dengan menghabiskan satu cangkir minuman yang sebelumnya telah
disediakan sebagai rasa hormat. Segera setelah menyeka bibir dan memastikan tak ada genangan
air yang bersemayam di antaranya, aku dan Wijaya benar-benar kembali ke mobil yang terparkir
pada lapangan luas, hanya saja anak-anak itu telah menghilang.

"Aku bangga padamu, Wijaya," kataku, segera setelah suara keras pintu yang tertutup terdengar.
Wijaya menyalakan mesin mobil dengan penuh keheranan. Tentu, bukan karena masalah
menyalakan mesin mobilnya.

"Bangga kenapa, Pak?"

"Kau sudah mulai mengerti bahasa Sunda, ya? Kau tidak menanyakan arti dari kalimat yang Pak
Asep sampaikan, dan kau bisa langsung tahu maksudnya" Aku tertawa pelan. Namun, Wijaya yang
tengah memundurkan mobil terlihat tak memberikan guratan emosi apapun. Mungkin ia tak peduli,
tapi akan lebih masuk akal jika dia terlalu fokus mengendarai kendaraannya sehingga tak dapat
menuangkan emosi pada pikirannya.

"Saya tak ingin dibicarakan oleh Anda tanpa pengetahuan saya, Pak."

"Tapi sungguh, kok, tadi aku hampir menjelaskan arti dari kalimatnya, tapi kau langsung
melanjutkan pertanyaan."

Sebenarnya, aku tidak terlalu berbohong. Aku bangga sekaligus kagum dengan Wijaya, entah
untuk keberapakalinya, atas kerja keras yang ia lakukan. Maksudku, siapa manusia sialan yang
susah-susah menyelidiki kasus lama hanya karena keinginan temannya, apalagi hingga mampu
mendapatkan kontak seorang pekerja yang bekerja di sekitar sekolah korban tujuh tahun lalu?
Apalagi, kasus ini adalah kasus yang sudah ditutup, dapat diabaikan karena alasan Yusup kabur
dari rumah cukup kuat—bermasalah di sekolah, tidak dekat dengan orang tuanya.

Namun, kerja keras Wijaya membuatku yakin bahwa aku harus membuka kembali kasus ini. Orang
lain mungkin tak setuju dengan keinginanku, toh bisa saja lelaki yang mendatangi Yusup itu,
seperti kesaksian Pak Asep, hanya membantu Yusup kabur. Namun, tak menutup kemungkinan
jika Yusup memang diculik, kan?

Kurasa, sudah saatnya kubeberkan catatan Januar, memperkuat dugaanku bahwa kelompok polisi
brengsek itu memang brengsek. Masalah ini sudah bukan masalah pribadi lagi.
13. Bedebah-bedebah Metropolitan

Desas-desus kembali dibukanya kasus Yusup membuat orang-orang gempar. Pasalnya, aku yang
berasal dari bagian pembunuhan dan sepatutnya tak ikut campur dengan kasus itu malah menjadi
orang pertama yang bersikeras untuk kembali membukanya.

Aku berdiri di depan, untuk pertama kalinya, memimpin jalannya pertemuan dadakan atas
gabungan dua departemen yang tak pernah kurencanakan. Biasanya, aku tak pernah segelisah ini.
Namun, keringat-keringat yang mengucur keluar memenuhi kedua telapak tanganku mengatakan
yang sebaliknya. Berulang kali kutenangkan diriku, menghirup napas panjang dan
mengeluarkannya secara perlahan, tetapi detak jantungku sama sekali tak menunjukkan
ketenangan akan datang.

Semua orang telah berkumpul, ruang pertemuan ini dipenuhi oleh wajah-wajah familier yang
membuatku hampir muntah karena sudah terlalu sering kulihat. Di ujung tempat biasa aku duduk,
kulihat AKP Rama tengah memainkan ponselnya dengan tergesa-gesa sebelum menyimpannya ke
dalam saku.

Aku menyampaikan salam, tentu sebagai bentuk pembukaan resmi pertemuan ini. Beberapa orang
menguap, tetapi aku memakluminya. Toh, suasana siang ini memang benar-benar melelahkan.
Satu batang spidol kutarik dari permukaan meja, membuatnya melayang, sesuai dengan
pergerakan capitan jemariku. Kutuliskan nama Yusup sebesar mungkin, bulan dan tahun dia
dinyatakan kabur dari rumah, serta tanggal tepat hari ini.

Kemudian, aku mulai bercerita, persis seperti kakek tua yang berusaha membuat cucu-cucunya
tertidur dengan dongeng lama.

"Tujuh tahun lalu, Yusup dinyatakan hilang dengan alasan kabur dari rumah," ucapku, tentu saja
setelah mengatur nada suara agar terdengar lebih berwibawa. "Dan beberapa minggu lalu, saya
menemukan alasan untuk tidak memercayai hal itu. Mungkin beberapa di antara kalian sudah tahu
alasan apa yang bisa menguatkan keyakinan saya bahwa Yusup tidak kabur dari rumah."
Beberapa orang mulai berbisik, mencari jawaban ke sana dan ke mari. Mungkin, berpikir bahwa
mereka seharusnya sudah tahu alasan yang kumaksudkan. Guritan-guritan di wajah mereka,
kebanyakan, menunjukkan rasa penasaran. AKP Rama pun tak lepas dari kegiatan yang sama.
Kepalanya condong ke arah yang lain, mengikuti posisi tubuh Wijaya yang berada di sampingnya
bagai bunga matahari yang konon selalu mendekatkan kelopaknya ke arah matahari. Wijaya
berpaling, namun hanya sesaat. Mulutnya komat-kamit, tetapi aku yakin dia hanya meminta AKP
Rama untuk mendengarkan penjelasanku lebih lanjut. Sedangkan yang lain, kebanyakan dari
mereka menggelengkan kepalanya.

"Kalian sudah tahu kasus AKP Januar, kan?"

Semua orang mengiyakan. Tentu saja. Jika ada seseorang di ruangan ini yang tak mengetahui kasus
itu, sudah pasti kulemparkan keluar jendela.

Aku beralih ke papan yang lain, papan hijau yang terbuat dari tripleks tipis, tetapi memiliki ukuran
yang cukup besar hingga dapat kuletakkan berpuluh-puluh pengumuman jika ingin kulakukan.
Kertas-kertas yang kuraih sebelumnya kini kutempelkan pada papan itu. Beberapa orang di bangku
belakang terpaksa berdiri dan menyipitkan kedua matanya, membatasi penglihatan agar dapat
fokus memahami cuplikan-cuplikan animasi yang kuambil langsung dari dokumen Januar.

"Ini rancangan pembunuhan, tersimpan dalam komputer AKP Januar, semi-tersembunyi. Korban
bernama Yusup, tujuh tahun lalu dia merupakan anak SMA, kelas dua belas."

Polisi di baris kedua mengacungkan lengannya, kupersilakan dia untuk berbicara.

"Kenapa orang-orang PK ingin mengambil nyawa anak itu, Pak Komisaris?"

PK adalah julukan yang tiba-tiba muncul begitu saja, merupakan kependekan dari Polisi Korup.
Aku sendiri tidak tahu siapa pencetus julukan itu. Bahkan, begitu aku kembali ke kantor,
tampaknya julukan untuk para polisi korup itu sudah menyeruak. Hampir semua orang
menggunakannya.

"Motifnya tidak tertulis."


Beberapa orang kembali berbisik satu sama lain. Aku tahu jelas apa yang mereka diskusikan,
karena pertanyaan yang sama timbul dalam benakku ketika pertama kali menyentuh kasus ini.

"Ada pertanyaan lagi sebelum kulanjutkan?"

Semua orang berhenti, menyisakan kesunyian dalam ruangan yang membuatku berinisiatif
melanjutkan cerita.

"Rencana yang kudapatkan dari dokumen AKP Januar adalah memperlihatkan kematian anak itu
sebagai kasus murni kecelakaan."

Kini, polisi yang duduk di samping si penanya sebelumnya yang meminta izin untuk bicara.

"Maaf, Pak, tetapi setahu saya kasus itu ditutup dan hanya menyatakan anak itu hilang tanpa
adanya kecelakaan atau pernyataan kematian."

"Bukan berarti tak mungkin mereka tak dapat menyembunyikan mayatnya."

"Bukankah Anda bilang kematian anak itu akan diperlihatkan sebagai kecelakaan?"

"Ah, berkaitan dengan itu, saya mendapatkan informasi bahwa sebelum anak itu menghilang, ia
bertemu dengan lelaki asing, mungkin di hari yang sama di mana anak itu menghilang. Aku
mencoba mengonfirmasi hal itu ke ayah dari anak itu, dan ia yakin jika itu bukan dia. Ayahnya
mengaku tak pernah menjemput Yusup. Rencana mereka—orang-orang PK—mungkin berubah,
menjadi menculiknya, kemudian membunuhnya. Bagaimana pendapatmu?"

Si penanya terbungkam. Alisnya menggantung dengan mulut yang terkatup rapat. Ia tak dapat
memberikan komentar.

"Mungkin banyak dari kalian yang bertanya-tanya mengapa kasus ini harus dibuka kembali.
Mungkin banyak dari kalian yang berpikir jika informasi yang kudapatkan benar adanya, kenapa
tak saya asumsikan jika Yusup kabur, meminta bantuan orang, dan hal itu kebetulan terjadi
sebelum rencana pembunuhan PK terlaksana. Tapi, melihat apa yang anggota PK dapat lakukan,
aku yakin mereka tak berpikir dua kali untuk melaksanakan rencana yang mereka buat. Dan jika
mereka mau melakukannya, pasti ada motif tertentu yang membuat mereka ingin melakukannya.
Mungkin anak itu bisa menjadi kunci untuk membongkat kejahatan-kejahatan PK, atau bahkan
menangkap orang-orang yang belum tertangkap. Terasa sangat kebetulan seandainya anak itu
kabur dan orang-orang PK merencanakan pembunuhan pada anak itu. Seandainya pun anak itu
benar-benar kabur, aku tak yakin ia kabur hanya karena alasan sepele, dan orang-orang PK menjadi
alasan utamanya."

"Bagaimana Anda bisa tahu eksistensi kelompok PK, Pak Komisaris?" AKP Rama memotong
pembicaraanku, walaupun sebenarnya tak dapat disebut sebagai pemotongan karena toh aku sudah
selesai bicara. Kepalanya dimi Jringkan, persis seperti apa yang ia lakukan sebelumnya, hanya saja
ke arah yang berbeda.

Bagaimana aku tahu? Tentu saja dari Luthfi. Aku tak pernah berurusan dengan para polisi brengsek
sebelumnya. Bahkan, biarpun aku tahu ada beberapa di antara kami yang merupakan polisi-polisi
brengsek, aku tak pernah berpikir akan ada organisasi yang terstruktur seperti itu. Aku pikir
semuanya dikerjakan secara individu. Jadi, ya, secara tak langsung Luthfi memberitahuku, melalui
kasus pembunuhan yang dia lakukan ... pada seorang polisi korup. Aku tak memiliki kewajiban
untuk menyembunyikan wujudnya, tetapi mulutku kaku.

"Ketololan orang-orang yang merusak citra instansi kita sudah tidak menjadi rahasia lagi,"
tukasku. "Sama saja seperti polisi-polisi lalu lintas yang mendapatkan uang damai dari
pengendara." Aku menarik napas panjang, berusaha memikirkan kalimat terbaik yang dapat
kulemparkan. "Kebetulan saja saya menemui anggota-anggota PK, yang lebih terorganisasi
dengan kejahatan yang lebih tak wajar. Jadi, jika kau bertanya mengapa saya bisa tahu eksistensi
PK, sebelumnya saya tidak tahu, tetapi akhirnya saya tahu secara tak sengaja."

Setengah berbohong, dan itu tidak terlalu buruk, kan?

"Lagipula, pertanyaan itu tak ada hubungannya dengan kasus ini. Ada pertanyaan lain?"

Sekali lagi, semua orang bungkam, menutup mulut rapat-rapat, seolah-olah sengaja membiarkanku
kehabisan energi hingga tak mampu berbicara lagi, mengakhiri pertemuan ini dengan penutupan
yang tak begitu pantas.
"AKP Wijaya dan saya sudah melakukan sedikit penyelidikan, dan tampaknya Yusup memang
bukan anak biasa. Dia cerdas, mungkin super jenius, dan ada satu hal dari dirinya yang menarik
perhatian orang-orang PK." Aku bergerak, kini dengan mengambil selebaran kertas yang sengaja
kusalin sejumlah banyak orang di ruangan ini—kecuali aku. Aku memerintahkan salah seorang
dari mereka untuk membagikannya, salinan foto nilai hasil belajar Yusup yang berhasil membuat
mereka terbelalak. Beberapa di antara mereka tertawa kecil, entah karena terkejut atau
menertawakan bulir nilai yang tertera. Namun, setelah beberapa saat, mereka semua tercengang,
persis seperti reaksi pertamaku.

Aku mulai bergumam sembari membusungkan dada dan menaruh kedua tangan pada masing-
masing saku celana.

"Kasus ini belum dibuka kembali, tetapi saya ingin meminta pendapat kalian semua. Informasi
yang saya dan AKP Wijaya dapatkan masih sangat sedikit, saya tahu itu. Tapi, menurut kalian,
kira-kira apa yang membuat orang-orang PK tertarik pada anak sejenius itu?"

"Maaf, Pak." Si penanya pertama kembali mengangkat tangan kanannya dengan kertas yang dijepit
oleh jemari yang bertengger pada bagian lengan lainnya. "Menurut saya, seharusnya
pertanyaannya adalah: Bagaimana orang-orang PK tahu tentang anak ini? Bukankah anak ini
hanya anak sekolah biasa?"

Aku mengangguk setuju. "Anak itu tak memiliki catatan apapun, tentu saja selain setelah berita
kehilangannya. Tak ada catatan kejahatan, keanggotaaan organisasi, atau apapun. Aku mencoba
mencari informasinya secara daring, tetapi anak itu tak memiliki media sosial, atau mungkin sudah
dihapus."

Polisi itu kembali bertanya. "Alamat surel?"

"Kenapa dengan alamat surel?"

"Yusup pasti punya alamat surel kan, Pak?"

Aku menimbang-nimbang. Tentu, dia memiliki alamat surel. Aku pernah melihat basis data
mengenai dirinya, dan alamat surel menjadi salah satu bagian yang terisi. Aku tak mencatatnya,
karena aku pikir tak banyak orang yang suka menggunakan surel, kecuali sebagai salah satu syarat
pendaftaran akun media sosial. Namun, anak itu bisa saja berbeda, kan?

"Saya akan meminta ahli IT untuk mencari tahu. Lalu, ada tanggapan lain?"

Kini, Wijaya mengangkat tangannya, membuatku mengayunkan lengan, memaksanya berbicara.

"Mungkin kita juga harus memeriksa perangkat-perangkat yang pernah digunakan Yusup. Saya
rasa akan ada lebih banyak informasi yang bisa didapatkan dari sana. Saya memandang jika Yusup
bukan orang yang senang bergaul, apalagi ketika di rumah, tampaknya aktivitas dia di dunia maya
cenderung lebih banyak."

"Tanggapan AKP Wijaya seolah mengisyaratkan tanda setuju untuk membuka kembali kasus ini.
Kalau begitu, mungkin saya hanya akan menanyakan satu pertanyaan terakhir. Jika saya kembali
membuka kasus ini, apakah ada di antara kalian yang keberatan?"

Mereka kembali bergumam satu sama lain, mengerahkan seluruh suara, membuat gema di ruangan
ini. Namun, tak ada satupun dari mereka yang berbicara lantang.

Satu menit berlalu, aku memutuskan.

"Kalau begitu saya anggap kalian semua setuju. Karena AKP Wijaya sudah melakukan
penyelidikan terhadap kasus ini, saya serahkan kasus ini untuk AKP Wijaya pimpin. Pertemuan
saya akhiri. Terima kasih."

Semua—ralat, hampir semua orang segera beranjak dari kursi, mengarah ke pintu keluar dan
menapakkan sol-sol sepatu mereka yang berisik. Namun, segera sebelum semua orang keluar, aku
memotong.

"Tolong ambil kembali kertas yang saya berikan sebelumnya. Terserah mau kalian gunakan untuk
apa."

Tentu, beberapa di antara mereka kembali, mengambil kertas-kertas yang tergeletak berantakan di
atas meja—masing-masing satu. Sedangkan orang brengsek yang tak kembali mengambil
kertasnya, seolah sengaja menambah beban pekerjaan teman, mengambil dua, bahkan tiga salinan
kertas yang sama.

Di sudut belakang, dapat kulihat Wijaya tengah mengobrol dengan AKP Rama, seolah melepaskan
seluruh untaian kata yang tertahan pada pertemuan tadi. Aku mendekati mereka, dan mereka
menyadarinya. AKP Rama hampir berdiri, tapi aku mencegahnya.

"Aku tak suka harus bersikap formal seperti itu," gerutuku, lantang, dan berhasil membuat AKP
Rama duduk kembali. "Kalian sedang membicarakan apa?"

AKP Rama dan Wijaya beradu pandang, seolah merahasiakan sesuatu, dan jelas aku tak boleh
mengetahuinya. Namun, mataku mendelik, sebelah alis kuangkat, aku menunggu salah satu di
antara mereka untuk berbicara, dan WIjaya akhirnya menanggapi.

"Tentang Pak Januar, Pak Roy."

"Ada apa dengan Januar?"

Sekali lagi, AKP Rama dan Wijaya beradu pandang. Namun, gestur Wijaya menunjukkan bahwa
AKP Rama lah yang harus berbicara. Wijaya mendorong kepalanya ke arahku ketika tatapan
wajahnya masih berfokus pada AKP Rama.

"Sebenarnya masih menyangkut dengan kasus Yusup, Pak."

Aku tak membuang-buang waktu.

"Coba jelaskan padaku."

AKP Rama menelan ludah, kemudian menjawab, "Apakah rencana pembunuhan di dokumen yang
Anda sebut itu hanya ada satu, Pak?"

"Setahuku, iya."

"Maaf, Pak, tapi apakah Anda benar-benar yakin jika ...." Belum sempat AKP Rama
menyelesaikan kalimatnya, aku memotong.
"Tidak ada, rencana pembunuhan Loka tak ada di dalam situ. Kalaupun ada, maka rencana yang
mereka buat—atau hanya Januar buat—adalah rencana pembunuhan terburuk yang pernah
kuketahui. Kau sudah melihat isi hard drive yang kuberikan, kan?"

AKP Rama mengangguk, dan aku langsung berbicara dengan tegas. "Kau seharusnya tahu."

Wijaya menggelengkan kepalanya, ia tersenyum simpul. "Cara berbicara Anda mulai mirip seperti
Komisaris Yudha, Pak Roy."

Ucapan WIjaya membuatku sadar bahwa aku masih belum bisa menerima sepenuhnya kepergian
Loka. Tak terlihat dengan jelas, tetapi aku yakin benar bahwa sebelumnya—setidaknya sebelum
kudengar kata-kata Januar—aku masih merasa rileks, nyaman, berdiri tanpa kebencian. Aku
mencoba menahan diri, tetapi sikapku yang kuharapkan tak hadir malah keluar begitu saja.

"Sebenarnya, tadi saya dan Pak Rama berdiskusi mengenai kemungkinan alasan orang-orang PK
mengincar Yusup, Pak."

Aku mendengarkan dengan saksama, hanya saja tidak dengan respon yang terlihat. Setidaknya,
mencegah bagian dari diriku yang menyebalkan agar tak keluar.

"Saya setuju dengan pendapat Anda, jika mereka mengincar Yusup, pasti alasannya harus kuat,
apalagi hingga menyusun perencanaan semacam itu. Mungkin Anda ingat dengan kasus
pembunuhan Pak Alex, atau ... maaf, Pak, Loka, yang dilakukan tanpa perencanaan sama sekali."

Kini, Wijaya membuat jeda sesaat untuk mengambil napas, namun, aku masih mendengarkan.

"Bagaimana jika sebenarnya Yusup tahu akan eksistensi PK? Kemudian dia berencana
membocorkan hal itu pada publik, tetapi orang-orang PK terlanjur menyadari lebih dulu?"

Aku mangut-mangut. "Tapi kenapa Yusup harus bersusah payah untuk mencari tahu informasi
tentang orang-orang PK?"

"Ayahnya polisi. Apa Anda terpikirkan bahwa beliau juga termasuk orang-orang PK?"
Aku melongo. Tidak, tentu saja tidak. Lelaki itu terlihat baik .... Tapi kesan pertama yang
kudapatkan dari Januar pun begitu, dan akhirnya aku tahu aku salah.

Mataku mengerjap, kemudian melemparkan pandangan ke arah AKP Rama yang tampaknya tak
mengerti isi pembicaraanku dan Wijaya.

"Maksudmu, Yusup tahu ayahnya seorang polisi korup, dan entah bagaimana, anak itu berusaha
membongkar kasus kejahatan teman-teman ayahnya, bahkan mungkin juga ayahnya?"

"Dia bisa berbohong dengan berkata bahwa ia tak menjemput Yusup, padahal orang yang
menjemput Yusup itu benar-benar dia. Yusup dipindahkan ke suatu tempat."

"Aku rasa tak mungkin, Wijaya. Ingat bagaimana saat pertama kita bertemu orang tua mereka?
Kurasa lelaki itu benar-benar tak terlibat."

"Cerita bohong tak akan terdengar seperti kenyataan jika Anda terlihat berusaha menutupi
kebohongan itu. Bukankah akan terasa aneh seandainya sang anak hilang, tetapi orang tua mereka
tak peduli? Jika itu terjadi, saya yakin ada yang salah dari orang tua mereka."

AKP Rama mengangkat kedua lengannya, bahunya yang menempel pada kedua lengannya pun
turut naik.

"Tapi saya tak setuju dengan pendapat Pak Wijaya. Jika memang si ayah termasuk orang-orang
PK, kenapa bisa bocor ke Yusup? Apakah dia sebodoh itu?"

"Pak Jajang bukan orang bodoh, hanya saja Yusup terlalu cerdas. Entah bagaimana caranya,
mungkin Yusup tahu akan hal itu dan ... itu satu-satunya koneksi yang tepat, menghubungkan
orang-orang PK dengan Yusup. Wijaya, kenapa tak kaukatakan itu saat pertemuan?"

"Masa' saya harus bilang Pak Jajang adalah orang-orang PK di depan semua orang, Pak?
Bagaimanapun saya tak ingin menyudutkan satu individu, apalagi tanpa bukti."

Tentu saja. Apa yang kuharapkan dari Wijaya? Mana mungkin dia keluar dari idealismenya itu?
14. Light it Up

Mulutku masih penuh dengan sayuran ketika ponselku berdering. Getarannya membuatku terkejut,
tapi tak semengejutkan itu hingga membuatku tersungkur. Secepat mungkin, kuseka beberapa
bagian mulutku, memastikan tak akan ada air yang tumpah ketika percakapan—yang
menampilkan nama Wijaya begitu kulihat layar ponsel—mulai dibuka.

"Pak Roy?" Di seberang sana, Wijaya segera memanggil namaku. Sialannya, makanan yang belum
turun ke kerongkongan membatasi cara bicaraku. Mau tidak mau, kupaksa hasil kunyahan itu
untuk turun terlebih dahulu.

Wijaya kembali mencaritahu keberadaanku.

"Pak?"

"Maaf," balasku, segera setelah memastikan mulutku bersih dari sisa makanan. "Ada apa?"

"Saya baru mendapatkan panggilan dari tim IT. Mungkin Anda ingin melihatnya juga."

"Kenapa?"

Kini, Wijaya yang menahan kalimatnya. Dari seberang sana, aku tak mendapatkan apapun, tetapi
dapat kumaklumi karena aku tahu, bagi beberapa orang, mengemas untaian kalimat sehingga
menjadi efektif dan efisien tidaklah mudah. Aku hampir melanjutkan suapanku, tetapi Wijaya
sempat memotongnya.

"Secara tidak langsung, kasus ini sebenarnya kasus Anda kan, Pak? Maksud saya, Anda yang
mulai menyelidiki, kemudian membukanya, saya rasa Anda tetap harus tahu perkembangan kasus
ini secara langsung."

"Di mana kau dan tim IT akan bertemu?"

"Laboratorium digital."

"Aku akan menyusul," jelasku, mengonfirmasi, dan Wijaya menyetujui.


Panggilan ditutup, kembali membuatku menyuapi mulut dengan leluasa. Namun, pikiranku yang
kacau masih tak dapat menghalau pemikiran mengenai berita apa yang akan kudapatkan nantinya.
Aku percaya pada tim IT, mereka akan melakukan pekerjaan sebaik mungkin, tetapi aku belum
mengetahui kapasitas Yusup. Jika dia bisa, dengan luar biasa, mengelabui orang-orang untuk tak
mengetahui kepintarannya, bagaimana mungkin aku yakin jika Yusup tak akan menutupi jejak-
jejak digitalnya hingga sulit dilacak? Hampir satu minggu telah dilalui sejak hari terakhir kuminta
para tim IT untuk menyelidiki jejak Yusup. Dan dari pengalamanku—setidaknya kasus-kasus yang
pernah kuselidiki—satu minggu bukanlah waktu yang cepat.

Suapan terakhir wortel yang bercampur dengan butiran-butiran nasi menjadi penanda akhir dari
makan siangku. Kusilangkan masing-masing sendok dan garpu, kemudian membawa piring yang
menempa kedua benda itu ke arah penyimpanan piring-piring kotor. Aku yang terbiasa
memberikan uang sebagai alat pembayaran makanan sebelum menyantapnya kini berjalan keluar,
menuju laboratorium digital seperti yang dikatakan Wijaya sebelumnya.

Ruangan itu, sama seperti laboratorium forensik, berada di bagian bawah tanah gedung khusus
laboratorium, hanya saja terletak di bagian timur, berseberangan dengan laboratorium forensik
yang biasa kukunjungi. Begitu anak tangga terakhir kupijak, suara-suara tawa langsung
menggema. Aku dapat membayangkan mereka—beberapa di antaranya berdiri—sedang
menyesap kopi hangat karena suhu ruang bawah tanah yang tidak bersahabat. Apalagi, akhir-akhir
ini kota Bandung selalu memiliki suhu di bawah biasanya.

Ketika aku membuka pintu laboratorium, kudapati pemandangan yang mirip seperti apa yang
kubayangkan. Tidak sama persis, tetapi cukup sesuai. Mereka terdiri atas tiga orang. Dua orang—
satu duduk di depan komputer, yang kurus, dan satunya lagi berdiri bersandar dengan meletakkan
sebagian pantatnya di atas meja, yang gemuk—merupakan tim IT. Aku tahu jelas karena ... ya,
tentu saja karena aku meminta mereka secara langsung. Sedangkan seorang yang lainnya, jelas itu
Wijaya. Namun, mereka terkejut bukan main. Kedua mata mereka terbelalak, hampir melonjak
seperti keterkejutanku atas panggilan yang Wijaya buat.

Wijaya, yang seolah bertanggung jawab atas kehadiranku, segera berkata, "Pak?"
Aku tidak menjawab secara langsung. Bahkan, sebaliknya, aku tak menjawab sama sekali, malah
menutup pintu dan berjalan mendekati mereka tanpa perasaan bersalah. Maksudku ... bukankah
Wijaya yang memanggilku ke sini?

"Cepat sekali Anda datang, Pak."

Kini, kuangkat sebelah alis.

"Memangnya kenapa?"

Dan entah karena sedang tolol atau apa, aku baru sadar bahwa tadi Wijaya meneleponku, yang
mengartikan bahwa ia tak tahu jika aku berada di lingkungan kantor. Maksudku, kenapa harus
bersusah payah menghubungiku jika ia bisa mengajakku secara langsung? Dan aku tahu jelas, jika
Wijaya merasa bisa menemuiku secara langsung, ia akan menemuiku secara langsung. Mungkin
dia berpikir aku sedang keluar, membuatnya terkejut karena tak menyangka jika aku akan datang
secepat ini.

Untungnya, Wijaya tak memiliki riwayat penyakit jantung. Jika ia mati karena kaget, siapa yang
akan kusalahkan? Kantin kantor karena jaraknya begitu dekat dengan laboratorium? Mana
mungkin bisa disalahkan, sialan, kantin itu tak akan disebut kantin kantor jika tak terletak di
lingkungan kantor.

Aku, yang baru menyadari ketololanku itu, segera menimpali.

"Kalian sudah membicarakan apa yang kalian dapatkan?"

Si kurus menggeleng. "Belum, Pak Komisaris."

"Panggil aku Komisaris dalam acara formal. Aku tidak suka dipanggil seperti itu," balasku, segera
membuat si kurus meminta maaf.

"Maaf, Pak Komisaris. Tapi ...."

Aku menyela. "Selama tidak ada orang lain yang kalian pikir akan mengadukan kalian karena
memanggilku dengan tidak hormat, silakan saja. Kalau kalian pikir aku hanya ingin menjebak
kalian karena ingin menyombongkan pangkatku, seharusnya Wijaya tak akan mau meneleponku
lagi."

Wijaya tertawa, kemudian ikut menimpali, "Saya bisa mengonfirmasinya."

Dua orang itu, si kurus dan si gendut, menatapi satu sama lain. Tak begitu lama, kemudian mereka
setuju akan keinginanku.

"Kami menunggu kedatangan Anda sebelum mulai mendiskusikan hasil temuan kami." Si gendut
berbicara, menarik tubuhnya agar tak kembali bersandar. Tentu, di sela-sela langkahnya, ia
menarik celana, kembali merapikan posisi pakaian agar rapi dan nyaman dipakai.

"Atas pemintaan saya, Pak Roy." Wijaya mengacungkan lengannya, kemudian menurunkannya
setelah aku mengangguk dua kali.

Aku bertanya. "Lalu?"

"Kami tak menemukan apa-apa pada surel yang Anda berikan. Isinya seperti orang biasa
kebanyakan. Registrasi media sosial, spam, tugas sekolah, tak ada yang menarik."

"Apa ada di antara akun media sosialnya yang aktif? Aku pernah mencarinya, tapi tak pernah
kutemukan."

"Akunnya dihapus. Kami yakin."

"Oleh Yusup sendiri atau ...."

Atau siapa? Pilihannya antara Yusup atau orang lain, tapi siapa orang—setidaknya di dalam daftar
nama yang ada di otakku—yang mau repot-repot menghapus akun Yusup? Kenapa harus
dilakukan? Aku hampir bilang PK, tapi kembali kuproses pemilihan orang yang tepat. Lagipula,
apa urusannya orang-orang PK dengan akun Yusup?

Namun, pemikiran berlebihanku itu dijawab dengan sederhana.


"Kami tidak tahu." Si gendut melanjutkan, membuatku menghela napas. Namun, Wijaya yang
melihatku kecewa seolah berusaha menghiburku.

"Tapi mereka menemukan akun lain yang diduga milik Yusup," katanya. Tak ayal, kutajamkan
kedua alisku, menukik hingga tengkuk hidung. Mataku dalam mode elang.

"Akun lain?"

Kini, si kurus yang berbicara.

"Alamat salah satu surel yang dikirimkan Yusup berbeda dari yang lain. Tepatnya negara lain.
Kami menyelidikinya, dan mendapatkan nama surel lain dari alamat yang sama. Kami rasa Yusup
lupa mematikan pengaturannya ketika mengirim tugas sekolah."

"Lalu ... apa bagian menarik dari surel itu?"

Si kurus memutar kursinya, meraih tetikus yang sedari tadi menganggur, membuat layar komputer
canggih, jelas lebih canggih dari komputer yang ada di dalam kantorku, memperlihatkan pesan-
pesan yang masuk, maupun keluar dari surel itu. Aktivitas terakhirnya sekitar sembilan atau
sepuluh tahun lalu. Namun, aku tetap kebingungan. Bagian menarik mana yang dimaksud?

Si kurus, yang puas melihat reaksiku, memperlihatkan isi surel terakhir. Ia memencetnya,
menampilkan surat orang lain yang—mungkin—ditujukan pada Yusup. Isinya tak lebih dari
sekadar mengajaknya berjalan-jalan dan berjanji akan memberikan pengalaman menarik.

Namun, aku menimbang-nimbang.

"Kalian yakin itu ditujukan untuk Yusup? Kurasa di tanggal diterimanya surat itu, dia masih
sekolah. Dia menghilang tujuh tahun lalu, kan?"

"Kalau arti dari bejalan-jalan dan memberikan pengalaman menarik itu dilakukan di dunia nyata.
Ya, itu aneh. Lain ceritanya jika berjalan-jalan yang dimaksud itu di dunia maya. Di tanggal yang
sama, semua akun dunia maya Yusup menghilang."
Aku menegguk ludah. Mereka lebih ahli untuk urusan ini, aku tak dapat menyangkal terkaan
mereka. Lagipula, masuk akal juga, kan?

"Kami harus memeriksa perangkat-perangkat yang Yusup gunakan. Kami tak mendapatkan jejak
apapun lagi dari alamat itu."

"Pak Jajang dan istrinya bilang jika Yusup selalu di rumah, belajar setelah pulang sekolah. Saya
rasa dia menggunakan salah satu perangkat yang ada di rumahnya, Pak. Mungkin komputer"
Wijaya angkat bicara, ia menjadi penarik perhatian. Kami bertiga—aku, si kurus, dan si gendut—
menatap Wijaya secara saksama.

"Kecuali Yusup bisa pergi tanpa ketahuan, tentu saja," lanjutnya.

Wijaya tidak salah. Jika memang benar apa yang dikatakan orang tua Yusup, maka sebagian besar
hidup anak itu berada di rumah, dan sebagian besar lainnya di sekolah. Artinya, anak itu hanya
bisa menggunakan ponsel yang ... sekitar tujuh tahun lalu masih belum secanggih sekarang.
Setidaknya, pada masa itu, orang-orang masih lebih memilih komputer daripada ponsel, apalagi
untuk urusan-urusan berat. Walaupun tak menutup kemungkinan bahwa Yusup menggunakan
ponsel—yang entah dimilikinya atau tidak saat itu—tetapi memang akan lebih masuk akal jika
Yusup menggunakan komputer untuk aktivitasnya di dunia maya.

"Saya akan pergi ke rumah Yusup dan meminta izin orang tua mereka untuk memeriksa
komputernya. Ya, jika ada dan masih ada."

Wijaya mulai bergerak, hampir meninggalkan kami bertiga, berdiri mematung di dalam
laboratorium dan melihat kepergiannya sebelum kutarik salah satu lengan Wijaya. Lelaki itu
berpaling, dan aku berkata, "Aku akan membantumu."

"Tidak usah pun tidak apa-apa, Pak. Saya akan berusaha hingga Pak Jajang mengizinkannya."

"Sejujurnya, bukan itu yang kutakutkan," balasku, segera. "Ada beberapa dari pengalamanku yang
belum pernah kaualami. Jika hipotesismu benar, bahwa Pak Jajang merupakan anggota PK. Apa
yang akan kaukatakan padanya seandainya situasi mendesak muncul? Kau akan bilang 'Anak Anda
hilang karena kesalahan Anda, Pak jajang' dengan nada suara rendahmu seperti biasanya? Kau
harus tahu bahwa aku—mungkin—terlibat cukup dalam dengan mereka. Aku tidak dapat menerka
mereka, hal-hal mengejutkan sialan apa yang akan mereka lakukan, dan kurasa kau, Wijaya, belum
mampu menghadapi situasi itu seorang diri."

Wijaya mengerjapkan kedua matanya.

"Tidak apa-apa, Pak."

"Kau tidak melihat perubahan brengsek Januar dari orang yang sangat dekat dan bersahabat dengan
kita berubah menjadi monster. Kau tidak akan tidak apa-apa."

"Saya akan baik-baik saja, Pak. Lagipula apa yang akan Pak Jajang lakukan? Saya rasa dia tak
akan langsung menggorok leher saya ketika saya memintanya."

"Aku tak akan mengunjungi istri Januar terus-terusan karena merasa bersalah telah
mempertemukannya dengan Januar. Jadi, ya, kau tidak tahu apa yang akan orang-orang PK
lakukan. Mereka bisa jadi gila secara tiba-tiba."

Wijaya diam.

"Lagipula, kau sendiri yang pernah bilang, kan? Aku dan kau adalah yang terbaik."

Sejujurnya, kalimat itu terasa menjijikkan di lidahku. Aku tidak tahu kenapa, perasaan, pikiran,
alasan apa yang membuatku secara spontan mengucapkannya. Rasanya, ingin kutarik lidahku,
menggesekannya ke kerah baju berulang kali hingga bersih. Namun, tentu saja tak kulakukan.
Wijaya, yang tampaknya berpikiran sama, tertawa kecil, terkesan merasa jijik karena ucapanku
itu.

Dan dari sisi sana, pertanyaan "Hah?" terlontar begitu saja. Aku berbalik, mendapati si kurus dan
si gendut yang tengah membeku, memperhatikan kami dengan kebingungan. Mereka menahan
tawa, aku yakin benar, apalagi setelah beberapa detik kemudian mereka membuat suara tawa
tertahan, menyemburkan ludah-ludah keluar dari mulut melalui sela-sela gigi.

Kuangkat kedua lenganku.


"Sudah kukatakan aku tak suka bersikap formal." Aku membela diri. Namun, malah membuat tawa
kedua anggota tim IT itu meledak. Dan sialannya, tampaknya mukaku akan berwarna merah ketika
Wijaya menemani tertawaan mereka berdua.

Aku hampir pergi ketika kaki kiriku hampir keluar dari ruangan, melewati pintu yang kubuka
sambil menahan malu.

"Hei, itu yang Wijaya ucapkan padaku, oke? Aku hanya mengulanginya."

Sekarang, aku benar-benar pergi. Namun, kurasa aku tak akan langsung pergi ke rumah Yusup
karena aku ingin menanggalkan kejadian itu di dalam ruanganku.
15. MNG

Kunjungan yang Wijaya dan aku lakukan tidak berakhir terlalu buruk. Aku, maupun Wijaya, tak
perlu mengarang cerita apalagi hingga menekan Pak Jajang dan istrinya untuk menyerahkan
komputer yang telah mereka miliki selama bertahun-tahun. Mereka menyerahkannya dengan
senang hati, tentu saja sambil memberitahuku bahwa komputer itu sudah tak dapat beroperasi.

Meskipun aku tak begitu sering berurusan dengan masalah komputer, aku tahu benar bahwa
komponen-komponen yang membuat komputer menyala tak hanya satu atau dua. Sama seperti
organ tubuh yang harus bekerja sama agar manusia dapat beraktivitas, komputer memiliki banyak
komponen, dan salah satunya adalah Hard disk yang akan Wijaya ambil karena aku sendiri—
selama hidup—tak pernah melihat bentuk fisik hard disk internal. Setidaknya secara langsung,
bukan dari internet.

Pak Jajang dan Ibu Ai memperhatikan kami—Wijaya lebih tepatnya. Ketika tubuh Wijaya hampir
terlempar, kami bertiga bersiaga, berusaha menahan tubuhnya agar tak terjatuh—padahal dia
sudah berjongkok. Namun, keseimbangan Wijaya lebih baik dari yang kita duga. Ia kembali
menyeimbangkan tubuh sembari mengangkat kotak hitam berisi piringan yang kuduga adalah hard
disk yang memang kami cari. Wijaya kembali menutup CPU dengan casing yang sebelumnya
sengaja dibukakan. Namun, ketika ia akan kembali merapikan kabel, Pak Jajang menolaknya. Toh
sudah rusak ini, katanya.

Kotak hitam itu tak Wijaya sakukan, hanya ditenteng ringan seperti dompet kecil dengan kabel
yang menjuntai. Aku mundur, membiarkan Wijaya berjalan lebih leluasa keluar dari sudut kamar.
Sedangkan Ibu Ai, atas kesadarannya sendiri, mengikuti gerakanku, keluar dari kamar Yusup
untuk membuka ruang yang lebih luas.

"Semoga mereka bisa melihat isinya." Wijaya menggoyang-goyangkan kotak hitam itu. Aku tak
mendengar apapun dari dalamnya, tetapi ketaktahuanku mengenai perangkat-perangkat komputer
tak dapat membuatku memastikan bahwa benda itu,yang sedang Wijaya genggam, apakah masih
berfungsi dengan baik atau tidak.

"Semoga."
Aku berbalik, mendapati Pak Jajang, yang menyakukan kedua lengannya, tengah bersandar pada
dinding. Tak begitu terlihat, karena kemiringannya yang tak tajam, tapi aku yakin benar. Lelaki
tua itu tak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi alisnya yang menggantung memberikan kesan
penuh harap. Matanya mengerjap beberapa kali, tetapi mulutnya terkunci dengan rapat.

Akhirnya, lelaki itu bangkit, mengembuskan napas agak kencang, berdiri, seraya mengucapkan,
"Tolong temukan Yusup" dengan penuh lirih, seolah menunjukkan bahwa Pak Jajang ... memang
benar-benar menginginkan anaknya kembali dan menaruh harap padaku, membantah penyelesaian
kasus tujuh tahun lalu dan mengungkapkan kesalahan yang pernah dibuat.

Aku hampir terbuai. Namun, sekali lagi kupikirkan matang-matang. Di dunia ini, tak ada banyak
orang yang dapat kupercaya. Setidaknya, hanya ada tiga untuk saat ini. Wijaya, Luthfi, walaupun
lelaki itu brengsek, dan tentu saja diriku. Aku pernah percaya pada orang lain, dan perasaanku itu
terbukti salah.

Selain itu, aku masih belum memastikan apakah Pak Jajang benar-benar terlibat dengan PK atau
tidak. Aku tak dapat menurunkan penahanan diriku, setidaknya sampai aku benar-benar yakin
bahwa aku dapat memercayai Pak Jajang atau tidak. Dan itu artinya aku benar-benar berharap jika
harddisk dari komputer tabung yang tersimpan di dalam kamar ini dapat memberikan sesuatu.

===

Aku mangkir dari pekerjaan semata-mata untuk mengawasi aktivitas Ganira. Anak itu, semakin
lama kuperhatikan, semakin memperlihatkan pola aktivitasnya yang sangat biasa, monoton, dan
hampir sama di setiap waktu.

Aku tidak tahu bagaimana aktivitasnya di pagi hari. Namun, setiap pulang sekolah, Ganira akan
menunjukkan perilaku yang sama—menghindari segala interaksi sosial, menyeberang jalan
dengan kaki kiri terlebih dahulu, naik angkutan kota, kemudian berhenti di depan komplek
perumahan—tempat yang sama untukku memarkirkan mobil agar anak itu tak menyadari
kehadiranku—dan akan berjalan menyusuri bagian kanan jalan. Bahkan, jika angkutan kota itu
berhenti di bagian kiri, Ganira akan menyeberang terlebih dahulu.
Aku mulai berpikir jika anak itu memang tak mendapatkan trauma yang biasanya—bahkan orang
dewasa pun—dapatkan. Beberapa anak yang belum mengerti perbedaan antara kebaikan dan
kejahatan, setidaknya dalam situasi yang kompleks, memang cenderung bingung saat melihat
keadaan. Tak hanya itu, aku pernah mendapati beberapa anak yang tak mengerti akan maksud dari
kematian, apa yang harus dirasakan ketika kehilangan orang tua, dan bagaimana cara hidup tanpa
orang tua. Namun, ketika aku hendak merasa yakin bahwa aku bisa melepaskan Ganira dari
pengawasanku, di saat itulah aku bertindak selayaknya orang dewasa.

Seekor anak kucing mengeong tepat di seberang jalan, dan Ganira meraihnya. Aku tersenyum
kecil, melihat bagaimana anak itu menggendong makhluk kecil yang terus meronta, minta
dikeluarkan. Namun, Ganira tak mengindahkannya. Anak itu melanjutkan perjalanan, masih
memeluk kucing kecil yang terus meronta-ronta.

Aku pikir Ganira memang menyayangi binatang. Tapi tampaknya aku salah.

Makhluk itu terus mengeluarkan suara, dan tindakan Ganira selanjutnya membuatku terkejut.
Anak itu menekan kepala si kucing seraya berteriak, "Diem! Berisik!"

Mataku terbelalak, mulutku menganga, dan anak itu tidak main-main. Kedua lengannya menekan
kuat kepala kucing. Aku terpaku untuk beberapa saat, tak percaya akan pemandangan yang
kudapatkan, hingga akhirnya aku keluar dari bayang-bayang.

"Ganira!"

Anak itu berbalik, melepaskan tekanannya, tetapi masih tetap menggendong si kucing yang
semakin meronta. Di saat yang bersamaan, aku sadar bahwa kegiatanku membuntuti anak itu—
setidaknya dari kacamata orang dewasa—akan terdengar brengsek dan menjijikkan. Apa jadinya
jika anak itu bercerita pada ibunya bahwa seorang polisi, yang ingin memenjarakan ayahnya,
membuntutinya entah dari kapan. Maksudku ... gila, kan?

"Ibumu ada di rumah?" Aku memutar otak. Cukup mudah, sebenarnya, karena aku pernah
mengunjungi rumah anak itu beberapa kali dengan tujuan yang sama—bertemu dengan ibunya.
Namun, santainya alunan suaraku tentu berbanding terbalik dengan pikiran yang meracau.
Jantungku masih berdetak dengan kencang karena terkejut.

Gila, apa yang Ganira lakukan?

"Ada om," balasnya, tanpa adanya perubahan nada suara, persis seperti Ganira biasanya. Emosinya
stabil, tak terkejut melihatku yang tiba-tiba mendatanginya. Anak itu benar-benar tenang. Atau
mungkin dia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya sama sepertiku? Tapi apa mungkin anak
sekecil ini masih bisa memanipulasi perasaan seperti seorang pembohong sejati? Atau ... anak itu
tetap menjadi dirinya?

Aku bersumpah, mengunjungi istri Januar bukanlah salah satu rencanaku, tetapi aku tak memiliki
pilihan lain.

"Kalau gitu ke rumahnya bareng, ya." Aku mulai bertanya-tanya, sejak kapan aku bisa
mengakrabkan diri dengan anak kecil? Selain aku yang tak pandai menempatkan diri sebagai
lawan bicara anak-anak, biasanya mereka akan takut dengan penampilanku yang berantakan.

Penerimaan Ganira berbeda. Anak itu tak peduli dan menyetujui keinginanku. Ia mengangguk,
kemudian melepaskan kucing yang digenggamnya, membuat makhluk itu berlari pergi, ketakutan,
dan kurasa tubuhnya menggigil. Arah mataku tak dapat berkilah dari makhluk kecil yang kini
menghilang di balik tempat sampah.

Sekali lagi, aku bersumpah jika pertanyaan mengenai motivasi anak itu—menekan kepala kucing
dengan kedua lengannya—terus membelenggu di dalam pikiran. Aku hampir meracau, tetapi pada
akhirnya dapat kukendalikan. Kurasa aku harus membicarakan hal itu dengan ibunya.

===

Kami sampai di depan pintu rumah Ganira yang tak terkunci. Anak itu, setelah melepas sepatunya,
segera masuk dan memberikan salam. Pintunya dibukakan selebar mungkin, memperlihatkan
pemandangan yang familier untukku. Ganira masuk, meninggalkanku di depan pintu, yang tentu
saja membuatku tak berani memasuki rumah ini secara tak sopan.
Aku menunggu beberapa saat, hingga akhirnya istri Januar muncul, menggantikan Ganira yang
sudah hilang entah ke mana. Perempuan itu mempersilakanku masuk, ramah, seperti biasanya—
kecuali pertemuan pertama kami. Aku masuk, duduk di tempat biasanya, tak pernah berpindah
barang satu sentimeter pun. Dan sebagai penghormatan atas tamu yang muncul secara mendadak,
perempuan itu membuatkan teh manis yang sudah kutolak sebelumnya.

Kenapa orang-orang menawari sesuatu yang sudah jelas akan ia berikan? Maksudku ... kenapa
perempuan itu menawarkanku minuman jika dia akan tetap membuatkan minuman meskipun
kutolak berulang kali?

Aku menyesap teh sebagai bentuk penghormatan, kemudian memulai pembicaraan.

"Ganira di mana?"

"Di kamar. Tadi dia bilang Anda datang."

Sekarang, aku yang jadi bimbang. Bagaimana caraku membahas kelakuan Ganira sebelumnya?
Masa dengan semena-mena kukatakan "anak Anda hampir membunuh anak kucing" di
hadapannya? Aku pikir memberikan berita kematian pada keluarga korban adalah tantangan
tersulit dalam hidup, sekarang aku mulai ragu.

"Apa Ganira suka bermain keluar bersama teman-temannya?" Pertanyaan tolol. Aku tahu benar
anak itu tak pernah keluar rumah setelah pulang sekolah—dari pengamatanku—dan aku yakin
benar jika anak itu selalu pulang sekolah segera setelah kelas dibubarkan.

Istri Januar menjilat bibirnya. "Dia selalu main ponsel," katanya. "Ada apa dengan Ganira?"

"Saya rasa Anda harus mulai mengawasi Ganira." Sekarang, aku merasa sedikit bangga.
Pertanyaan perempuan itu benar-benar membuat pernyataanku terdengar sangat berbobot.

"Ada apa dengan Ganira, Pak?"

Aku menyesap teh, kembali mempersiapkan diri sebelum benar-benar mengeluarkan kalimat
pamungkas.
"Saya melihatnya memungut anak kucing dan hampir membunuhnya." Aku berkata, sepelan
mungkin, meyakinkan diri bahwa Ganira tak akan dapat mendengarnya.

"HAH!?"

Aku sudah siap menerima teriakan itu. Dan sejujurnya, teriakan itu terdengar lebih pelan dari yang
kubayangkan.

"Bicara apa Anda!?"

Penerimaannya tidak begitu mulus, dan itu yang kutakutkan.

"Ganira ... maksud saya ... maaf jika terdengar kasar, tapi ...."

"Seenaknya saja! Dia masih kecil!"

"Anda pikir saya sendiri tak terkejut?" Kunaikkan nada bicaraku, sukses membuat perempuan itu
bergeming. "Jika Anda pikir saya berbohong, kenapa saya harus berbohong?"

Perempuan itu masih tak membalas. Matanya sayu, mulutnya hampir menganga. Sekarang, aku
merasa bersalah, berpikir bahwa aku terlalu keras padanya.

Namun, beberapa detik berlalu, kurasa penyebab utamanya bukanlah diriku. Aku dapat melihat ke
dalam matanya, rasa tak percaya atas kelakuan Januar masih terpancar jelas melalui bola matanya.

Perempuan itu masih tak dapat menerima berita brengsek yang tak dapat ia percayai, tapi aku tahu
benar bahwa ia—entah bagaimana—merasa harus memercayaiku. Kini, pikirannya berada dalam
kebimbangan.

Aku berdiri, berjalan menjauhinya, mencoba membiarkan perempuan itu berpikir dengan tenang.
Namun, pada akhirnya malah kudapati Ganira yang sedang menguping. Berbeda dengan
sebelumnya, anak itu terkejut. Ia lari menghindariku, menuju tangga, ke atas, menarik pintu
kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.
Aku memanggilnya, berteriak, ikut berlari mengejarnya, tetapi keterkejutanku sebelumnya, yang
sempat membuat jeda beberapa detik, membuatku kehilangan kesempatan untuk menangkapnya.
Anak itu sudah lebih dulu mengunci pintu kamar.

Aku mengetuk pintu, pelan, berusaha bernegosiasi, tetapi Ganira tetap teguh pada pendiriannya.
Pintu tak dibukakan.

Kuseka kening, mengambil napas panjang.

Apa yang sebenarnya dipikirkan anak itu? Kenapa semuanya seolah menjadi semakin rumit?

Ketika aku kembali, istri Januar tengah menangis tersedu-sedu.

Aku menutup pintu, berusaha tak memperlihatkan pemandangan memalukan itu pada banyak
orang. Di saat bersamaan, aku mencoba menenangkannya untuk kali kedua.
16. Juntos

Ganira masih mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Berulang kali aku mengetuk pintunya,
berulang kali juga keheningan kudapatkan. Aku memanggil-manggil namanya, tapi anak itu tak
pernah menyahut. Hari telah malam, istri Januar masih terisak, anak itu tak mau keluar, dan aku
berada di dalam kebimbangan dalam memutuskan tetap tinggal atau pergi saja karena toh
seharusnya anak itu tidak menjadi beban pikiranku. Namun, semakin larut, pilihan antara dua
keputusan itu tak kunjung datang. Aku duduk di sofa, termenung, sekaligus sebagai bentuk
istirahat karena telah memanggil Ganira berkali-kali hingga tak dapat kuhitung lagi dengan jari.

Anak itu akan keluar, hanya masalah waktu sampai anak itu merasa lapar, ingin mandi, maupun
merasa tak nyaman dan harus berinteraksi dengan manusia lain sebagai makhluk sosial. Namun,
aku tak memiliki waktu sebanyak itu, yang membuatku terpaksa bersabar menunggu Ganira keluar
dari kamar. Rumahku sekarang pasti sudah menjadi incaran pencuri karena lampu luar yang belum
kunyalakan.

Istri Januar masih termangu, tak melakukan apapun. Matanya terjun melihat keramik putih yang
disusun rapi, berfungsi sebagai lantai, tetapi pikirannya jelas melayang ke mana-mana.
Sesenggukan akibat tangisnya telah mereda, tetapi jelas pikirannya masih membuat beban yang
sama besar. Aku sendiri tak dapat melakukan apapun. Jadi, aku meminta izin pada perempuan itu
untuk ke dapur, membuat kopi yang aku harap dapat menenangkan pikiranku, sekaligus
membuatku berjaga untuk membantu memutuskan pilihan yang bagiku bagai buah simalakama.
Cangkir kecil, dua sendok kopi tanpa gula, bercampur menjadi satu dengan air panas. Adukanku
membuat kegaduhan di malam yang sepi karena sendok yang terus beradu dengan mulut gelas.
Selain itu, aku tak menyangkal jika pikiranku pun sedang meracau ke mana-mana.

Apakah aku harus mencoba menarik Ganira keluar sekali lagi?

Kini, kondisi dengan dua pilihan beda yang lain bersemayam pada otakku. Ketika aku mencuci
sendok yang kugunakan sebagai pengaduk kopi, aku menimbang-nimbang segala konsekuensi
yang mungkin terjadi—meminta atau tidak meminta Ganira untuk keluar. Namun, berbeda dengan
kondisi sebelumnya, pilihanku kali ini lebih mudah untuk kuputuskan. Tak ada konsekuensi berarti
seandainya aku meminta Ganira untuk keluar selain ... ya, Ganira tidak mau keluar. Jadi, aku tidak
segera menyesap kopi yang baru saja kubuat, melainkan kembali menuju lantai atas,
menampakkan diri di depan pintu yang tak kunjung terbuka.

Pikiranku melejit kembali. Jika sebelumnya aku terlalu sibuk berpikir untuk bersikap seandainya
Ganira tak ingin keluar, sekarang aku mulai berpikir, bagaimana jika seandainya Ganira
memutuskan untuk menyudahi persembunyiannya? Skenario itu tak pernah terlintas di dalam
otakku. Apakah aku harus memarahinya? Bagaimana jika kulakukan itu dan Ganira malah kembali
bersembunyi di dalam kamarnya? Apakah aku harus menunggu berjam-jam lagi untuknya keluar?

Akhirnya, cabang-cabang kemungkinan malah mendera dalam pikiranku, membuat jaringan yang
semrawut dan terpaksa kuhiraukan dengan mengetuk pintu kamar Ganira.

"Ganira, kamu mau laper nggak? Mau makan apa? Nanti om yang beliin."

Terdengar bodoh, bahkan untukku. Bujukan seperti itu biasanya berlaku untuk seorang ibu yang
berusaha meredakan rasa marah maupun takut anaknya. Namun, aku hanyalah orang asing yang
sedikit dikenal oleh Ganira, tak lebih, dan seharusnya bujukan itu tak mempan.

Namun, aku mendengar suara kunci yang berputar, dan seketika pintu terbuka perlahan. Aku
terkejut bukan main karena Ganira pada akhirnya mau keluar, dan sekarang aku terkejut kembali
karena skenario seandainya Ganira benar-benar keluar belum kususun secara rapi.

Pintu tak terbuka seluruhnya, Ganira hanya mengintipku dari baliknya. Tangan kanannya masih
memegang kenop pintu, sebelahnya lagi tengah memegangi perut. Dengan jelas, dapat kudengar
suara keroncongan dari balik bajunya. Aku berpura-pura tertawa, berusaha meyakinkan anak itu
bahwa aku bukanlah seorang monster pemakan segala.

Aku mendorong pintu perlahan dan Ganira tak menghindar. Namun, begitu ia dengar derap
langkah menuju lantai atas, Ganira hampir kembali menutup pintu seandainya tak kucegah hal itu
terjadi. Aku menahan dengan sebelah tanganku, sedangkan kepalaku mengubah navigasinya,
mendapati Istri Januar yang entah gembira, kagum, marah, atau lainnya, melihat Ganira akhirnya
membukakan pintu.
Ganira lari, kembali memasuki gua yang menurutnya nyaman, mungkin juga membuatnya merasa
aman. Namun, kini ia tak dapat kembali menutup pintu rapat-rapat.

Aku mulai menduga jika Ganira hanya ketakutan memikirkan reaksi ibunya. Jadi, aku berkata
"Biar saya yang menangani" pada perempuan yang masih mengatur napasnya karena berlari itu,
kemudian masuk ke dalam kamar Ganira, menutup pintunya, tetapi tidak menguncinya. Anak itu
berbaring ke arah samping, wajahnya menatap pintu kamar, yang otomatis juga melihatku berdiri
di depannya. Kedua lengannya menutup telinga, dan itulah pertama kali kulihat Ganira benar-
benar ketakutan.

Aku duduk di atas kasur, mengangkat salah satu lengan anak itu yang tak disanggahnya.

"Mama kamu nggak akan masuk, kok. Tenang aja," kataku. Dan sekarang, Ganira membuka
sebelah telinga yang lainnya sendiri tanpa bantuanku.

"Kamu mau makan, kan?"

Anak itu mengangguk.

"Makan apa?"

Anak itu diam, tak mengucapkan apa-apa.

"Nasi atau roti?"

Tak ada jawaban lagi.

"Jangan mie instan, kamu kan belum makan dari siang."

Masih belum ada jawaban.

"Kamu mau om minta mama ku buatin makanan?"

Akhirnya, Ganira mengangguk, dan aku merasa sedikit lega.


Aku tak mengambil banyak tindakan. Aku segera berdiri, membuka pintu, kemudian
menyembulkan kepalaku dari dalam, mendapati Istri Januar tengah berusaha menguping
pembicaraan antara aku dan Ganira, yang tentu saja kubilang bahwa tindakan seperti itu tak
sebaiknya dilakukan, setidaknya untuk saat ini.

Aku menyampaikan keinginan Ganira, sekaligus memberitahu bahwa semuanya akan baik-baik
saja. Istri Januar tak bereaksi, sehingga aku rangkum seluruh ucapanku sebelumnya,
mengungkapkan kesimpulan atas celotehan-celotehanku dan memastikan agar perempuan itu
mengerti. Akhirnya, Istri Januar setuju untuk tak menguping dan membiarkan masalah Ganira
untukk diambil alih olehku, sedangkan perempuan itu akan sibuk memasak, yang kuterka hanya
akan membuat masakan-masakan dari bahan setengah matang karena Ganira bisa mati kelaparan
lebih dulu seandainya ia membuat masakan rumahan.

Pintu kembali kututup, dan masih dapat kulihat Ganira yang duduk tak bergerak, menatapku penuh
harap. Aku berjalan santai, tersenyum sedikit sekadar untuk memperbaiki suasana seraya berkata,
"Mama kamu lagi masakin kamu sesuatu. Jadi, sekarang ngobrol dulu sama om, oke?"

Ganira kembali pada kebiasaannya. Diam.

Kembali kududuki tempat yang sebelumnya menyanggaku.

"Kamu takut mama kamu marah?"

Ganira mengangguk.

"Kenapa?"

Aku dapat melihat jika rasa takut anak itu kembali mencuat. Kedua rahangnya bergerak ragu, bola
matanya naik turun seolah-olah mencari susunan teks tak kasat mata yang terpampang di
hadapannya. Atau mungkin karena anak itu tak tahu bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya?

"Soalnya om bilang kalau Ganira ...." Kalimatnya terputus, tetapi bukan karena interupsi dari luar,
melainkan anak itu memang ingin menghentikannya yang jelas karena suatu sebab.
Sengaja kutahan lontaran kalimatku, berjaga-jaga seandainya masih ada kata yang hendak ia
keluarkan. Namun, beberapa detik berlalu, Ganira urung. Kalimatnya benar-benar terhenti, yang
jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin melanjutkannya.

"Kamu tahu kelakuan kamu tadi siang itu nggak baik, kan?"

Ganira mengangguk lagi.

"Terus, kenapa tetep kamu lakuin?"

Aku tak tahu setan apa yang tengah merasukiku. Aku tak pernah berbakat untuk mengobrol dengan
anak kecil. Biasanya, jika bukan aku yang menghindar, anak-anak itu lari ketakutan lebih dulu
karena melihat perawakanku. Namun, Ganira berbeda dari anak-anak seumurannya. Pikirannya
lebih dewasa, biarpun rasa takut khas anak kecil di dirinya masih ada. Setidaknya, dia tidak seperti
anak-anak seumurannya yang mudah menangis ketakutan, mengadu dan mencari perlindungan di
balik orang tuanya, atau sekadar melemparkan ancaman-ancaman kecil sekadar untuk membuat
dirinya terlihat berani. Jadi, anak ini memang cukup ... berbeda. Aku rasa hal itu juga lah yang
membuatku bisa berkomunikasi baik dengannya.

Selain itu, pertanyaanku yang sedikit membebankan kesalahan pada dirinya, biasanya ditolak
mentah-mentah, apalagi oleh anak kecil yang selalu merasa benar. Tapi, Ganira jelas tahu, dan
sekarang ia sedang mencari jawaban akan motivasinya melakukan kesalahan itu—yang disengaja.

"Papa juga pernah kayak gitu."

Aku seharusnya terkejut, tetapi mengingat Januar yang brengsek, aku tidak terlalu kaget. Jadi, aku
lebih memilih membiarkan Ganira melanjutkan ceritanya.

"Kayak gitu gimana?"

"Waktu itu ada kucing masuk ke rumah, papa cekik sampai mati gara-gara berisik."

Aku menghela napas. Sesungguhnya, batinku sedang berteriak. Namun, kuberikan ekspresi
terbaikku, berpura-pura bodoh, kemudian membuat anak itu merasa baik-baik saja.
"Mama kamu nggak lihat? Kenapa nggak dicegah?"

"Mama lagi tidur. Waktu itu lagi malem."

"Kalau gitu, kamu lagi ngapain sama papa kamu sampai ngeliat yang begituan?"

"Nonton televisi."

"Nonton televisi tapi pintunya dibuka?"

"Papa bilang mau ada tamu, jadi sekalian dibuka. Biar dingin, katanya."

"Kamu lihat tamunya?"

Ganira kembali menggelengkan kepala. "Ganira langsung tidur habis kejadian 'itu'"

Aku mengelus kepalanya, mengisak rambut dan membuatnya sedikit berantakan. Namun,
rambutnya yang lurus selau berhasil kembali ke posisi semula.

Ganira melanjutkan, "Om, Ganira takut ketemu mama."

Anak itu mendongakkan kepalanya, membuat kami bertemu empat mata. Matanya yang jernih
benar-benar tak menutupi perasaannya. Gerakan-gerakan kecil pada retina membuatnya terlihat
hampir mengeluarkan air mata. Sekali lagi, kusibakkan rambut-rambutnya yang halus.

"Nanti om minta mama kamu biar nggak marah. Tapi, sekarang kamu harus keluar kamar.
Gimana?"

Setidaknya, perlu beberapa detik hingga Ganira menyetujui keinginanku. Namun, dia terus berada
di belakangku, ketakutan, apalagi ketika aku membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar.
Lorong kecil yang terasa sedikit redup kini terasa sedikit gaduh akibat bunyi masakan yang tak
dapat kukenali aromanya. Ketika aku berjalan menyusuri tangga, berulang kali kuputar badan
hanya untuk memastikan bahwa Ganira tidak kembali ke kamarnya.
Anak itu memegang susuran tangga, berjalan dengan hati-hati tanpa mengeluarkan sedikitpun
suara. Pandangannya fokus pada langkah kaki, berusaha untuk tidak terjatuh. Ketika kami berdua
sampai di lantai bawah, aku memintanya untuk menunggu di ruangan depan, membiarkan dia
melakukan aktivitas dengan bebas, selama tidak kembali ke kamar maupun pergi dari rumah.
Sedangkan aku, dengan kedua tangan yang kuselipkan ke dalam saku, segera mendekati dapur dan
mendapati nasi goreng tengah diaduk di dalam katel besar.

Sebuah telur dadar telah tersaji di atas meja. Namun, dari ketebalannya aku yakin jika telur dadar
itu dibuat dari beberapa butir telur, mungkin tiga atau empat. Kini, aku dapat merasakan aroma
kecap yang terbakar—penciumanku memang amat buruk.

Aku mendekati istri Januar, tetapi tidak menepuk bahunya—tabu bagiku. Aku hanya
mengagetkannya dengan obrolan ringan.

"Ada yang bisa aku bantu?"

"Saya lupa membawa piring untuk nasi, kalau Anda tidak keberatan, Pak."

Perhatianku masih terpusat pada nasi yang dimasaknya. Terlalu banyak jika hanya untuk
disuguhkan pada anak kecil. Rasa penasaranku timbul.

"Ganira makan sebanyak ini?"

Istri Januar sadar akan pertanyaanku, ia melemparkan pandangannya ke arahku untuk beberapa
detik, sebelum kembali mengatur gerakan matanya dengan lengan yang naik ke atas dan ke bawah.

"Oh, ini untuk Anda juga, Pak."

"Untukku?"

"Saya lupa saya belum menyuguhi apapun pada Anda sampai saat ini."

Aku lupa bahwa aku belum makan, mungkin dari pagi, tapi rasa lapar hari ini belum menyerangku.
Mungkin karena aku terlalu memikirkan Ganira?
Selain itu, aku dapat memakluminya. Mungkin, terdengar sangat tidak sopan bagi siapapun untuk
tak menjamu tamu, baik dengan makanan maupun minuman. Namun, memasak semalam ini untuk
tamu saja sudah seharusnya aku apresiasi, sebab perempuan ini sedang dalam kondisi emosi yang
tak stabil. Jadi, kenapa aku harus mempersulit dirinya dengan protes karena tak mendapat
makanan? Lagipula, seharusnya aku tidak di sini, kan?

Aku mengambil piring setelah kutanyai di mana bisa kudapatkan benda itu. Namun, tanganku
memaksa untuk mengambil tiga buah keramik lingkaran itu walaupun istri Januar bilang dia
sedang tak nafsu makan—padahal aku juga tahu dia belum makan dari siang, hanya karena
memikirkan Ganira.

Aku memaksa, dan perempuan itu menyerah. Porsi makanan dibagi menjadi tiga bagian, dan aku
memilih untuk mendapatkan piring dengan jumlah porsi paling sedikit, padahal perempuan itu
bilang jika porsi yang diambil seharusnya untuk Ganira. Aku berkilah dan memberitahu bahwa
seharusnya Ganira lah yang mendapatkan porsi paling besar, karena dia pasti kelaparan, sedangkan
aku masih bisa menahan nafsu makan. Sehingga, perempuan itu kembali menyerah.

Kami bertiga makan bersama, sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Makan bersama kami hanya ditemani dengan obrolan-obrolan kecil. Rasa canggung antara Ganira
dan ibunya terpaksa membuatku harus mencairkan suasana, sekadar membuat lelucon tolol yang
tak layak disebut lelucon, maupun mencari tahu keseharian Ganira. Selain itu, aku sedikit
membicarakan diriku, bagaimana pekerjaanku, dan menceritakan berbagai pengalaman yang
bagiku menarik untuk diceritakan, termasuk menceritakan Wijaya. Seharusnya, Ganira sudah tahu
sebagian besar cerita itu, karena kurasa Januar memiliki pengalaman yang sama, bahkan lebih
banyak dengan asumsi dia menceritakan kehidupannya sebagai anggota PK. Namun, tampaknya
cerita dari orang yang berbeda berhasil membuat anak itu termangu, serius mendengar lontaran-
lontaran kalimat yang keluar dari mulutku. Sedangkan istri Januar, dia tak keberatan jika aku
menjadi pengisi acara utama, karena tampaknya dia masih canggung untuk berbicara dengan
Ganira.
Ketika makanan kami telah habis, aku meminta Ganira mencucikan piring sebagai bentuk bantuan
pada ibunya, yang akhirnya berterima kasih. Anak itu pergi tidur setelahnya, dan aku pamit untuk
pulang dengan waktu yang telah menunjukkan pukul sembilan malam.

Aku membuka pintu, ditemani oleh istri Januar yang berada di belakangku. Langkahku terhenti,
berbalik, aku memberikan titah. "Aku rasa Ganira hanya perlu ditemani. Pengaruh Januar pada
dirinya terlalu besar. Aku rasa Januar pernah melakukan banyak hal yang tak seharusnya Ganira
lihat, dan Ganira menirunya, tentu di luar pengawasan Anda, Bu Yulda."

Untuk pertama kalinya aku memanggil nama perempuan itu. Lidahku masih terasa kelut, tetapi
aku berusaha untuk tak memikirkannya.

"Terima kasih, Pak Roy. Dan ...." Istri Januar memotong kalimatnya. Pandangannya dilempar
beberapa kali. Keraguan mencuat dari dalam dirinya, tetapi aku sendiri tidak tahu apa itu.

Aku melayangkan pandangan keheranan, membuat perempuan itu melanjutkan.

"Saya sudah memikirkan semuanya, sepertinya saya akan pindah dari sini."

Aku tersenyum simpul, kemudian mengangguk. Angin panas berhembus menghantam tubuhku.

"Jika kau berpikir itu adalah tidakan terbaik, silakan saja."

"Apa saya boleh meminta nomor Anda?" Perempuan itu tiba-tiba berceloteh tanpa aba-aba.

Nomorku? Aku tidak ingat pernah memberikannya atau belum. Namun, jika memang belum, lalu
untuk apa?

"Untuk apa, Bu?"

Sekali lagi, perempuan itu terlihat ragu. Dia pasti tengah mengumpulkan banyak kekuatan agar
dapat mengungkapkan pikirannya. Aku harus bersabar sebelum akhirnya dia menjawab.

"Untuk Ganira. Saya takut ada hal aneh tak terduga lainnya yang tak dapat saya tanggulangi. Saya
harap saya bisa meminta bantuan dari Anda, Pak. Saya tak tahu bagaimana menceritakan kejadian
tadi siang pada orang lain, dan saya tak ingin orang lain mendengar cerita itu. Jadi, saya merasa
saya hanya bisa meminta bantuan pada Anda, pak."

"Aku ingat ketika pertama kali Anda menyerang saya."

Aku tertawa kecil. Ya ampun, waktu cepat berjalan, ya?

Wajah perempuan itu berubah menjadi merah padam. Ia menunduk, tetapi aku tak ingin
menyiksanya terlalu lama.

Akhirnya, aku memberikannya sebelum akhirnya benar-benar pergi, kembali mengendarai


mobilku untuk kembali ke kota Bandung yang dingin.

Aku tak tahan lagi dengan keringat yang membanjiri tubuhku.


17. Keparat-Keparat Metropolitan

Tak sampai satu minggu, Tim IT mengabarkanku bahwa mereka telah mendapatkan apa yang
mereka inginkan, berhasil membongkar Hardisk dan mempreteli bagian demi bagian informasi
yang ada di dalamnya. Tentu saja, berita itu disampaikan melalui Wijaya, bukan langsung
kepadaku, karena toh kasus ini secara resmi diberikan pada Wijaya.

Sekali lagi, aku tak dapat menolak penawaran Wijaya yang ingin memperlihatkan informasi-
informasi yang ada di dalam Hardisk itu kepadaku. Tancapan gas yang biasanya membawaku ke
parkiran mobil kembali mengantarkanku ke tempat yang sama. Bedanya, di pagi ini aku tak
langsung mengurung diri di ruanganku. Aku kembali menelusuri lorong laboratorium, dan
mendapati ketiga orang yang sama seperti dulu—Wijaya, si gendut, dan si kurus—kembali
bercengkerama di ruangan yang sama.

Sejujurnya, aku masih mengantuk. Jam tidur yang lebih sedikit dari biasanya membuatku terpaksa
memelototkan mata, berusaha untuk tak tertidur. Insomnia tanpa alasan yang menyerangku secara
tiba-tiba memaksaku menonton televisi sebagai bentuk hiburan satu-satunya. Aku sengaja
menghindari kopi pahit agar tak terjaga, tetapi tak ada bedanya. Yang jelas, sekarang adalah hari
yang berbeda, di mana aku harus beraktivitas seperti biasa dan menyembunyikan rasa kantukku.

Si kurus lah yang menyapaku pertama kali, disusul oleh anggukan Wijaya dan senyuman si gendut
sebagai bentuk sambutan. Si kurus segera mengambil tetikusnya, sadar alasanku berada di sini. Ia
langsung membuka pembicaraan.

"Kami berhasil mendapatkan data yang ada di dalam hardisk ini. Sebagian besar sudah dihapus,
tapi kami berhasil membangun kembali informasi-informasi yang ada di dalamnya berdasarkan
riwayat lokal hardisk."

Aku tak mengucapkan sepatah katapun. Mau bagaimanapun juga, aku tidak akan mengerti dengan
apa yang ia bicarakan. Selama ini aku hanya menjadi pengguna biasa barang elektronik, tapi
pernah berusaha lebih jauh, memikirkan segala kelebihan yang mungkin bisa aku dapatkan
darinya. Jadi, sebagai bentuk apresiasi, aku hanya bertanya, "Lalu?"
Si kurus memencet salah satu bagian tetikusnya, membuat layar hitam yang sebelumnya
terpampang pada layar komputer besar berubah menjadi berwarna. Si kurus membalikkan
kursinya, ia menjelaskan padaku.

"Dari data yang ...."

Aku memotong, "Tunggu, kalian tahu jika kasus ini sebenarnyadiselidiki oleh Wijaya, kan, bukan
saya?"

Si kurus dan si gendut saling beradu pandang. Entah percakapan di antara mereka terjadi atau
tidak, yang pasti si kurus mengonfirmasi bahwa mereka memang mengetahui hal itu.

Jadi, aku melanjutkan, "Kurasa akan lebih baik jika kalian menjelaskannya pada Wijaya, bukan
padaku."

Ucapanku itu membuat si kurus meminta maaf beberapa kali, yang hanya kubalas dengan
anggukan pelan. Aku bisa saja bilang "tidak apa-apa" atau semacamnya, tetapi rasa lelahku
berhasil mengurung niat. Lagipula, si kurus tampaknya langsung mengerti. Jika sebelumnya ia
melakukan kontak mata denganku, kini kontak mata terjadi antara dia dengan Wijaya, yang jelas
juga belum mendapatkan informasi yang mereka dapatkan, sama sepertiku. Aku tahu karena
pertemuan sebelumnya, hal yang sama pun terjadi.

Kemudian, si kurus melanjutkan ceritanya yang terpotong, atau mungkin lebih tepatnya
mengulangi cerita yang sebelumnya terpotong.

"Dari data yang kami dapatkan, kami yakin jika Pak Jajang tergabung ke dalam kelompok PK.
Ada beberapa catatan yang mengungkapkan hal itu, termasuk pembagian uang yang mereka
dapatkan selama bekerja."

Wijaya bertanya, "Pekerjaan apa?"

"Perampokan."
"Bagaimana dengan pembunuhan?" Aku menyela, membuat si kurus kembali melemparkan
pandangannya ke arahku.

Ia menjawab, "Tidak ada pembunuhan."

Aku mengangguk mengerti. Rencana pembunuhan Yusup adalah satu-satunya rencana


pembunuhan yang kudapatkan, dan tak pernah kutemukan lagi yang lainnya, sehingga itu cukup
masuk akal. Setidaknya, aku jadi semakin yakin bahwa mereka berdua memang bekerja pada jalan
yang benar.

"Ada informasi terkait Yusup?" Wijaya kembali menimpali. Ia serius memusatkan perhatiannya
pada layar komputer besar yang didominasi warna putih.

Tampilan jendela, yang sebenarnya tidak terlihat begitu aneh, tiba-tiba berubah menjadi catatan
surel yang pernah dikirim maupun didapat. Begitu kupindai seluruh bagian layar yang ditampilkan,
aku menganga. Hanya ada satu alamat tujuan.

"Mereka bertukar pesan melalui surel," kata si gendut. "Berhenti sampai di surat terakhir, di mana
lawan bicara Yusup mengatakan bahwa ia memiliki hadiah untuknya."

Wijaya yang tak sabar dengan kelanjutan cerita segera bertanya, "Hadiah apa yang ia maksudkan?"

Si gendut menggeleng. Ia tidak tahu. Si kurus kembali menekankan. "Kami tidak tahu."

Aku berasumsi. "Apa menurut kalian, kematian bisa disebut sebagai hadiah?"

Mereka jelas kebingungan, serentak bertanya, "Hah?"

"Menurut saksi, ada seseorang yang menjemputnya. Bisa jadi si orang yang Yusup kirimkan surel,
kan? Kalau ada aktivitas Yusup di komputer itu, bukan tak mungkin Yusup tahu tentang kegiatan
polisi-polisi korup itu, yang membuat si orang yang berkomunikasi dengan Yusup—ternyata
anggota polisi korup—menjemputnya dengan kematian."

Belum ada yang sempat menjawab pertanyaanku dan Wijaya terlanjur bertanya, "Apa Yusup
pernah menyinggung soal PK di surel-surelnya?"
Si kurus menggeleng.

"Kalau begitu, saya rasa itu tak mungkin, Pak Roy." Wijaya menyanggah. "Jika Yusup tak pernah
menyinggung segala hal yang berkaitan dengan PK, bagaimana mungkin orang itu tahu jika Yusup
tahu eksistensi para polisi korup itu?" Si kurus menyanggah. "Di komputer itu memang tersimpan
data-data mengenai PK, tapi jika Yusup tak membocorkannya, seharusnya tak ada yang tahu jika
anak itu tahu."

"Yusup bisa saja menceritakannya di sekolah, atau di internet secara diam-diam, kita tidak tahu,
kan?"

Wijaya mangut-mangut, sebelah tangannya ditempelkan pada dagu, membuatnya terlihat


berpikir—memang sedang berpikir, sih.

"Bisa saja, Pak Roy. Tapi mendengar cerita dari orang-orang, tampaknya Yusup bukanlah orang
seperti itu."

"Karena itu aku bilang bisa saja dia membicarakannya di internet secara diam-diam. Terkadang
orang paling pendiam—berdasarkan kesaksian orang-orang yang mengenal Yusup—di dunia
nyata pun bisa menjadi orang paling galak di dunia maya, kan? Bahkan beberapa di antara mereka
hanyalah pengecut yang langsung mengerut ketika didatangi di dunia nyata. Kau pasti ragu karena
orang-orang bilang Yusup itu pendiam, kan?"

Wijaya masih berpikir, mungkin mencari jalan lain yang bisa mendukung argumennya bahwa si
orang itu tak mungkin tahu bahwa Yusup tahu eksistensi PK. Namun, di sisi yang lain, aku yakin
benar Wijaya tak dapat menemukan argumen luar biasa yang bisa menyanggah pernyataanku. Aku
sudah bekerja sama terlalu lama dengannya hingga dapat kukeluarkan alasan-alasan rasional
terbaik seperti Wijaya, yang malah seolah menjadi bumerang baginya. Jika kami sedang lomba
debat, mungkin untuk pertama kalinya piala kemenangan akan kubawa pulang setelah beberapa
kali kalah darinya.

Namun, karena terlalu lama berpikir, akhirnya si kurus kembali melanjutkan obrolan.
"Siapapun orang yang berkomunikasi dengan Yusup, saya rasa ada sangkut pautnya dengan orang
berinisial L."

Wijaya mengadahkan kepalanya untuk sekali lagi melihat layar besar yang belum mengubah
kondisinya. Lantas, Wijaya bertanya, "Kenapa?"

Si kurus membalas tanpa ragu. "Orang itu menyebut dirinya Lima. Awalnya saya kira ia
membicarakan jumlah orang, tetapi melihat beberapa surel yang Yusup tulis, tampaknya orang itu
memang dipanggil Lima. Beberapa orang memang sering menggunakan nama alias di dunia maya,
kan? Mungkin inisial namanya adalah L, sehingga ia menggunakan kata Lima sebagai nama
aliasnya."

Aku hampir melongo, sebelum pada akhirnya otakku memastikan bahwa reaksiku yang tiba-tiba
seperti itu pastilah akan menarik perhatian mereka bertiga. Panggilan Lima itu mengingatkanku
pada seseorang—tentu saja Luthfi. Bahkan, hanya perlu beberapa detik hingga otakku memproses
kembali informasi-informasi yang telah kudapatkan.

Orang misterius yang tiba-tiba datang, mengetahui berbagai hal yang tampak janggal, tak
mengetahui dari mana asal-usulnya, semuanya mengarah pada lelaki bertopi itu. Ditambah, Luthfi
pernah menyinggung hal yang sama soal kasus Lima. Sekarang aku jadi sedikit ragu bahwa kasus
hilangnya Yusup adalah kasus sederhana antara dirinya dan para polisi korup itu. Jika Luthfi benar-
benar terlibat, aku yakin kasus Yusup adalah kasus rumit dengan penyelesaian yang pasti rumit.

===

Lanjutan pertemuanku dengan mereka tak kuperhatikan dengan baik. Pemikiranku terpusat pada
Luthfi, menimbang-nimbang apakah memang benar lelaki bertopi itu terlibat dalam hilangnya
Yusup. Jika memang tidak, bukankah terlalu kebetulan, si orang yang dipanggil Lima ini, memiliki
kebiasaan yang sama dengannya? Maksudku, seumur hidup, aku tak pernah menemukan orang
lain, selain dirinya, yang seperti dirinya.

Ketika aku keluar dari laboratorium digital, Langkah kakiku terasa berat, membuatku berjalan
pelan hingga disusul Wijaya. Anak itu menanyai keberadaanku, berhasil melihat pikiranku yang
melayang jauh, sehingga aku terpaksa mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Wijaya yang tahu
aku berbohong segera meninggalkanku, tak ambil pusing, dia bilang ada administrasi yang harus
dikerjakannya. Aku sendiri tidak begitu memikirkan administrasi yang harus dikerjakan Wijaya,
karena toh akhir-akhir ini memang banyak perkembangan kasus yang baru didapatkan, dan Wijaya
bukan tipe orang yang suka menumpuk pekerjaan di akhir.

Sekarang, aku malah bingung sendiri, berharap untuk tak ikut mendengarkan informasi yang
didapatkan tim IT. Jika memang benar Luthfi terlibat, apa yang dia lakukan pada Yusup?
Maksudku ... selama ini yang kutahu, jika dia tak menyelamatkan seseorang, dia akan ...
membunuhnya.

Di samping itu, Januar telah resmi jadi tahanan penjara. Tak mendapatkan hukuman mati,
melainkan penjara seumur hidup. Aku yang sudah tidak terlalu diselimuti emosi menganggap
wajar keputusan itu, karena polemik hukuman mati menjadi hal yang krusial di dalam negeri ini.
Sebagian mendukung, sebagiannya lagi tidak. Aku sendiri selalu absen dalam mengambil posisi,
tak dapat mengambil keputusan yang menurutku merupakan keputusan terbaik. Untungnya,
penahanan itu ditetapkan cukup lama dari penangkapan. Jika tidak, mungkin aku akan menuntut
hakim.

Istri Januar belum mengontakku sama sekali, tetapi hal itu membuatku berharap bahwa ia sedang
baik-baik saja. Keterkejutan yang datang padanya secara bertubi-tubi jelas bisa merapuhkan
hatinya. Untungnya, aku rasa aku datang di saat yang tepat. Apa jadinya jika ia melihat Ganira,
dengan mata kepalanya sendiri, sedang mencekik kucing hanya karena kucing itu meronta-ronta
meminta makan?

Aku berhasil memindahkan raga ke ruanganku. Dinginnya udara karena pengatur ruangan tak
lantas membuat otakku terasa lebih baik, semata-mata nama Luthfi terus terngiang di dalam
pikiranku dengan pertanyaan yang masih sama: benarkah lelaki bertopi itu terlibat?

Aku bisa saja memastikannya, bertanya padanya secara langsung, tetapi aku ragu dia akan
langsung menjawabnya. Selain itu, bagaimana cara aku memanggilnya? Selama ini hanya dia yang
mampu meraihku, tiba-tiba muncul di hadapanku dan memberikan berita-berita brengsek yang tak
kubutuhkan, tetapi tetap ia beritahu. Sekarang, aku bisa apa?
Aku kembali mengulang rekaman memori dan memproyeksikannya secara tak nyata, semua
kejadian seolah kembali terulang dalam hidupku.

Luthfi tak akan datang, mencari seseorang, jika bukan karena kepentingannya.

Sekali lagi, aku berpikir.

Lelaki bertopi itu tak pernah menemuiku, kecuali dia menginginkan, membutuhkan, atu merasa
bisa mendapatkan sesuatu dariku. Aku hanya harus memaksanya keluar, dan itu artinya aku harus
mengundangnya dengan sesuatu yang benar-benar menyangkutkannya. Tapi, apa?

Aku berpikir dengan keras. Bahkan, terlalu keras hingga kurasakan denyutan pada keningku.
Pikiranku terhenti tepat pada sebuah rencana yang harus kuakui jika aku tak menyukainya. Terlalu
melibatkan Wijaya yang aku yakin tak tahu apa-apa tentang lelaki bertopi itu—menduga dari
pertanyaan polosnya yang tak mengetahui arti dari kata Lima. Jika Wijaya mengenal Luthfi lebih
jauh, aku yakin pertemuan itu akan diakhiri dengan obrolan di antara kami, membuat keputusan
dari asumsi yang sama.

Aku hanya perlu meminta Wijaya mengumumkan ke media bahwa ada kemungkinan Yusup tidak
kabur dari rumah atas inisiatifnya sendiri, melainkan diculik. Jika perlu, Wijaya hanya perlu
memberitahu bahwa seseorang yang dipanggil Lima merupakan dalang dari penculikannya. Berita
semacam itu tak akan Luthfi sukai, terkesan membuka jati dirinya di tengah publik yang selama
ini ia tutupi. Tapi, jelas itu akan menarik perhatiannya.

Selanjutnya, aku tak dapat menebak apa yang akan Luthfi lakukan pada Wijaya, bahkan mungkin
juga padaku. Aku tidak yakin bisa menjelaskan situasi ini padanya, terpaksa membuka
identitasnya—yang menurutku pun masih belum begitu jelas—ke dunia luar. Sikapnya tak dapat
kutebak dengan mudah. Dia bisa saja mengerti, bisa juga masa bodoh mendengar penjelasanku,
dan hal itu malah akan membuat bahaya yang berkepanjangan. Belum lagi, semua itu didasari
asumsi bahwa: Luthfi memang terlibat. Bagaimana jika tidak? Bisa-bisa, tidak hanya aku yang
mampus, Wijaya pun bisa mampus.
Aku berusaha memikirkan cara lain, tetapi nihil. Otakku tak dapat membuat strategi lain yang lebih
baik. Salah sendiri si sialan itu tidak ingin bisa kuhubungi, kan?

Jadi, bagaimana?
18. Schrodinger

Aku telah mengontak Wijaya semalam, memberitahukannya bahwa hari ini aku akan menemuinya,
membahas beberapa informasi penting yang mungkin harus kusampaikan. Tak begitu detail, hanya
menyebutkan bahwa pertemuan kami akan berkutat dengan kasus Yusup dan daftar orang yang
menurutku patut untuk dibicarakan. Aku menyebut nama Lima dalam pesan yang kukirimkan,
tetapi tampaknya Wijaya belum bisa menerka siapa orang yang kumaksud. Dia membalas pesan
dengan antusias, berharap bisa menemuiku dengan segera.

Aku membuat sarapan yang sedikit mewah—jika kau sebut telur dadar dengan irisan daun bawang
adalah mewah, mungkin untuk pertama kalinya dalam hidupku. Menyantapnya bersamaan dengan
program televisi yang tengah berjalan tidak membuat rasanya menjadi semakin nikmat, apalagi
dengan rasanya yang sedikit hambar karena kekurangan garam, tetapi setidaknya suara-suara dari
saluran televisi mampu meramaikan suasana.

Seselesainya kusantap sarapanku, mencuci piring, kemudian segera mematikan televisi, aku
kembali memastikan bahwa pesan yang kurasa kukirimkan semalam memang benar-benar
kukirimkan, bukan hanya terjadi di dalam mimpi.

Kurasa, pada akhirnya aku memang terpaksa menjerat Wijaya ke dalam kasus-kasus yang
berhubungan dengan si lelaki bertopi—dengan anggapan bahwa Lima yang dimaksud memang
dia, walaupun bagaiaman juga aku benar-benar tak ingin melibatkannya.

Aku mengambil jaket kulit hitam yang tergantung di atas sofa—sebelumnya memang telah
kusiapkan. Kemudian, merogoh sakunya untuk meraih kunci mobil yang jika kuingat-ingat
memang terakhir kusimpan di sana. Kutepuk-tepuk beberapa bagian pakaianku, membuatnya
semakin bersih dan rapi, hingga akhirnya aku keluar rumah, bersiap membalikkan tubuh untuk
mengunci pintu, yang sialannya seluruh anggota badanku ini terlanjur kaku begitu melihat Luthfi,
yang tak diundang, duduk dengan santai di kursi halaman depan rumahku dan segera menengok
begitu melihat pintu terbuka.

Aku terkejut bukan main. Dari seluruh kemungkinan kehadiran Luthfi yang tiba-tiba di
pandanganku, tak pernah terbesit jika dia akan berdiam diri di depan rumahku, menungguku keluar
dari rumah, biarpun aku tahu dia memang selalu memberikan kejutan yang tidak benar-benar harus
diberikan.

Laki-laki itu menatapku dingin ketika mulutku ternganga, terkuncu bagaikan sebuah patung yang
memang didesain seperti itu. Aku memerlukan beberapa menit hingga seluruh syaraf dalam
tubuhku kembali merespon lingkungan yang ada di sekitarku.

Otakku secara cemerlang segera memberikan lusinan pertanyaan, mulai dari 'kenapa kau di sini',
'mau apa kau ke tempat ini', sampai 'kau ingin membunuhku, ya' atau semacamnya. Namun, aku
tahu dengan pasti pertanyaan-pertanyaan itu akan disangkalnya begitu kulemparkan padanya.
Luthfi tak akan menjawab. Sialan, dia pasti kemari hanya untuk memenuhi rencananya yang entah
apa. Mulutku akhirnya tak mengucapkan apa-apa, bergumam pun tidak.

Laki-laki itu segera berdiri setelah meratapi kekakuanku.

"Kau benar-benar menyelidiki kasus Yusup, ya?"

Tentu saja lelaki itu mengucapkannya dengan datar, tanpa memperlihatkan emosi seperti biasanya.
Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban. Jawaban 'ya' saja tentu sudah menjawab
pertanyaannya, tetapi aku mencoba untuk mencari rangkaian kalimat terbaik, merancangnya,
setidaknya agar aku sendiri puas dengan jawabanku.

Selain itu, bukankah aku memang ingin mencari Luthfi? Aku bisa menghubung-hubungkannya,
bukan?

"Benar. Dan menduga dari pertanyaan yang baru kau sebutkan itu, sepertinya kau benar-benar
terlibat di dalamnya, ya?"

Aku tak tahu dasarnya, dari mana keberanianku itu datang. Tampaknya aku benar-benar sudah
masa bodoh, lelah, tak peduli segala reaksi Luthfi yang berada dalam interval bisa biasa saja atau
ekstrem luar biasa tak terduganya.

Sialannya, si lelaki bertopi itu mengangguk.


"Iya," katanya, dan benar-benar hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang. Aku harus mengapresiasi
reaksinya. Aku tidak marah, percuma saja, tetapi aku benar-benar menginginkan penjelasannya,
apa yang membuatnya terlibat, terutama peran apa yang dia ambil dalam kasus Yusup mengingat
selama ini yang kutahu dia selalu mengambil nyawa targetnya.

Namun, ingatan-ingatanku itu malah memberikan hipotesis yang baru.

"Kau adalah orang yang mereka sewa untuk membunuh Yusup?"

Aku tak akan berkilah, menyadari bahwa ketegangan dalam diriku mulai mencuat, menunggu
jawaban dari Luthfi yang sebenarnya tak ingin kudengar, sekaligus terpaksa kucaritahu untuk
mencari nasib dari kasus yang dibuka kembali setelah tujuh tahun berlalu.

Jawaban tidak dari Luthfi mungkin akan lebih mudah bagiku untuk melanjutkan ... maksudku,
membantu Wijaya mengusut kasus yang kusarankan untuk dibuka. Namun, bagaimana jika iya?
Aku harus memborgolnya dan menyerahkannya pada Wijaya begitu saja? Tidak mungkin semudah
itu, kan? Maksudku ... orang tolol macam apa yang mau ditangkap dengan senang hati? Melihat
kelakuan Luthfi, tampaknya tak mungkin hal itu terjadi.

Namun, seolah berusaha memancing rasa penasaranku lebih jauh, Luthfi malah menyeringai,
memperlihatkan gigi-giginya yang putih, yang sebenarnya tak harus kuperhatikan. Deru napasnya
membara, keluar ke mana-mana.

Aku yang tak sabar segera memotong gelagat sialannya. Tiga menitku telah terbuang sia-sia.

"Kenapa kau tersenyum?"

Luthfi menutup mulut, menyekanya dengan sebelah telapak tangan, menghilangkan seluruh bekas
seringaian yang sebelumnya menempel di wajahnya.

"Menurutmu?"

Aku lupa salah satu sisi Luthfi yang ini, berusaha sok misterius bagaikan tokoh penting dalam
tulisan-tulisan fiksi yang tak ingin diungkapkan terlebih dahulu oleh para penulis. Namun, jika
pertanyaan itu diajukannya, artinya mau seberapa besar pun usaha yang kukerahkan, Luthfi tak
akan pernah memberikan jawabannya, setidaknya secara eksplisit. Dan balasannya itu tentu berada
di luar perkiraanku, tidak masuk ke dalam salah satu bagian 'iya' maupun 'tidak'.

Sekali lagi, aku terdiam dan termangu. Luthfi kembali menyeringai karenanya, tetapi ia
melemparkan pertanyaan yang tak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya, yang membuatku
bingung sudah berapa juta kali ia selalu berhasil mengagetkanku. Jika aku memiliki riwayat
penyakit jantung, mungkin aku sudah benar-benar mati.

Bibir basah bagian atasnya terangkat, dan gerakan mulutnya selaras dengan kata-kata yang
dikeluarkan.

"Yusup ingin bertemu denganmu."

===

Kesepakatan yang aku buat bersama Luthfi tidak dapat diputuskan dengan mudah. Aku
memerlukan waktu dua jam, mungkin lebih, hingga pada akhirnya bisa mempersilakan Luthfi
mengambil alih kemudi mobilku. Keinginan-keinginannya yang berlebihan—menurutku,
membuatku terpaksa memintanya mengatur ulang seluruh keinginan yang diharapkannya: mataku
harus ditutup, atau lebih parah lagi ia akan membuatku tak sadarkan diri, membawaku ke suatu
tempat yang tak kuketahui, dan jelas saja kutolak.

Pertemuanku dengan Luthfi secara tiba-tiba ... tidak, lebih tepatnya kunjungan Luthfi ke rumahku,
terpaksa membatalkan janji yang telah kubuat dengan Wijaya. Setidaknya, kali ini aku tidak harus
pusing-pusing untuk menjeratkan permasalahan Luthfi—yang kubuat atas dasar pemikiranku
sendiri—padanya. Aku berpura-pura bodoh, memberitahunya bahwa ada beberapa hal yang ingin
kupastikan kembali, yang pada akhirnya membuatku benar-benar merasa bodoh karena seharusnya
kasus ini Wijaya yang pegang, seperti apa yang selalu kutekankan pada tim IT maupun Wijaya.
Kalau tahu jadinya begini, mungkin memang sudah seharusnya kasus ini kutangani sendirian.

Luthfi adalah salah satu pengemudi, mungkin hanya untuk saat ini—aku tidak tahu, yang paling
santai yang pernah kutemui. Dia tak pernah membunyikan klakson bagaimanapun pengendara
yang lain melaju di jalanan bak ahli balap. Ia selalu mengalah, termasuk untuk para penyeberang
jalan yang umumnya tak pernah diindahkan oleh para pengendara. Bahkan, sampai membuat
beberapa mobil dan motor di belakang membunyikan klakson karena merasa 'aneh' melihat
kebiasaannya yang mempersilakan orang-orang untuk menyeberang jalan terlebih dahulu
ketimbang menancap gas begitu melihat penampakan di tepi jalan. Selain itu, aku tidak tahu
apakah karena ia takut menorehkan goresan pada mobilku atau tidak, tetapi yang pasti dia selalu
mengambil jarak yang cukup jauh sehingga mobilku bisa dipastikan tak akan rusak.

Namun, di saat yang bersamaan, pikiranku tak dapat lepas dari lontaran kalimatnya, menyebutkan
bahwa Yusup ingin bertemu denganku. Maksudnya ... apakah Yusup yang dimaksudkan itu Yusup
yang sama? Aku ingin bilang bukan, tapi aku tak dapat memberikan bukti penyangkal. Selain itu,
Luthfi hampir tak pernah salah ... atau mungkin benar-benar tak pernah salah?

Selanjutnya, jika memang Luthfi tak berbohong, apakah itu artinya Yusup masih hidup?

Aku bisa membayangkan wajah-wajah yang berseri, kerabat maupun guru dan teman-teman
Yusup, akibat ditemukannya dia—si anak SMA yang hilang tujuh tahun lalu—yang sampai saat
ini belum pernah ditemukan batang hidungnya. Namun, bukan berarti seluruh penyelidikan
terhenti sampai sana. Aku, atau secara formalnya adalah Wijaya, harus mencari tahu mengapa
selama ini dia menghilang, dan hubungan apa yang ada di antaranya dengan Luthfi. Jelas, hal itu
akan kembali menyangkutkan masalah Wijaya pada Luthfi. Namun, aku berusaha untuk tak
memikirkannya terlalu jauh. Mengetahui—jika memang benar—Yusup masih hidup saja
menurutku sudah lumayan cukup.

Mobil telah keluar dari area Bandung Timur, menuju kawasan pemukiman yang tak padat. Satu
dua rumah bisa kupindai dengan jelas, masing-masing berjarak dua puluh atau tiga puluh meter.
Namun, berbeda dengan kawasan kota yang hampir setiap hari ramai, tempat ini begitu sepi,
hampir tak terlihat adanya kehidupan selain berbagai jemuran yang menggantung di depan maupun
atap rumah.

Sisi kiri dan kanan jalan dipenuhi oleh hamparan rumput luas disertai pepohonan yang menjulang
tinggi, menutupi sebagian besar ujung pemandangan oleh batang-batang pohon. Aku menduga
orang-orang di sekitar tempat ini menjadikan kebun sebagai lahan utama mata pencaharian.
Jalanan mulai menanjak, kabut tipis mulai menyelimuti jalanan, padahal hujan tidak turun.
Kemudian, baru saja hendak bertanya pada Luthfi berapa lama lagi kita sampai—mengingat kami
telah melakukan perjalanan selama tiga jam, ia segera menginjak pedal rem di depan sebuah rumah
yang terlihat sedikit tak terurus akibat beberapa retakan dan noda pada dinding-dindingnya.

Aku mencoba meyakinkan Luthfi, mencari tahu apakah dia benar-benar tak salah alamat, tetapi
lelaki bertopi itu segera keluar dari mobil yang terpaksa membuatku mengikutinya. Dan sekali
lagi, aku yakin benar jika rumah di hadapan mobilku ini persis seperti rumah kosong yang tak
terurus, hanya saja kaca-kacanya tidak pecah.

Luthfi melemparkan kunci mobil padaku, yang membuatku spontan meraihnya. Ia segera masuk
ke dalam rumah, dan aku tidak terlalu terkejut karena toh memang banyak rumah kosong yang
ditinggalkan begitu saja, tak terkunci dan bisa disusupi siapapun.

Setelah mengunci mobil karena Luthfi tak melakukannya untukku, aku segera mengikutinya,
masuk dan menemukan interior rumah yang tak kalah buruknya dari bagian luar. Beberapa sofa
telah robek, bahkan bagian dalamnya terlihat sengaja dikeluarkan. Jam dinding yang tergantung,
terpaku pada dinding, tak berjalan sama sekali. Lantainya kotor, beberapa sarang laba-laba
memenuhi bagian-bagian dinding. Benar-benar rumah yang tak layak huni. Lalu, kenapa Luthfi
membawaku ke sini? Apakah Yusup benar-benar ada di sini?

Luthfi berjongkok, dia meraih sebuah tarikan baja di antara lantai kayu dan berhasil membuka
segmen kecil yang memperlihatkan tangga menuju bawah tanah. Aku terkejut, tentu saja. Ruang
bawah tanah bukanlah ruangan yang lazim di Indonesia, apalagi untuk rumah yang berada di
kawasan desa—aku menduga—dengan kabut tipis yang menyelimutinya. Angin topan bukan
bencana alam utama yang terjadi di Indonesia, tak ada alasan untuk membuat ruang bawah tanah
selain sebagai gudang penyimpanan. Tapi, di tempat seperti ini, mereka menyimpan apa? Aku bisa
mengerti jika hal yang sama terjadi pada rumah dengan gaya eropa yang sengaja diperuntukkan
bagi orang-orang kaya. Tapi, rumah ini?

Luthfi meluncur ke bawah, dan aku mengikutinya. Jarak antara dinding atas dengan kepala yang
rendah terpaksa membuatku—Luthfi juga sebenarnya—menunduk. Aku tak ingin beberapa bagian
kepalaku menjadi botak hanya karena terseret langit-langit yang tidak dibuat untuk manusia
dengan tinggi lebih dari seratus tujuh puluh sentimeter.

Akhirnya, aku benar-benar sampai di lantai bawah, mendapati kejutan—sekali lagi—yang tak
pernah kupikirkan sebelumnya.

Aku ditipu oleh tampilan luar rumah yang tampak berantakan, tak terurus, bahkan tampak tak
layak huni. Di bagian ruang bawah tanah ini, aku melihat sebuah ruangan bagai markas militer
kosong yang luas—tidak benar-benar persis.

Ruangan ini bisa diisi ratusan orang, apalagi dengan hampir tak adanya barang-barang yang
memenuhi ruangan. Sejauh mata memandang, aku hanya dapat melihat beberapa lampu yang
digantung, sengaja dibuat sebagai penerangan, beberapa papan tulis hitam yang sebagian telah
dicoreti oleh kapur di tengah ruangan, serta satu paket kursi dan meja yang sengaja disimpan di
sebelah papan tulis.

Seorang laki-laki duduk di sana. Aku tak dapat melihatnya langsung dengan jelas karena mataku
belum terbiasa dengan intensitas cahaya yang rendah, tetapi aku tahu lelaki yang tengah
membelakangiku itu memang benar manusia, bukan hantu—kecuali hantu yang menyamar
menjadi manusia. Dia tengah mengotak-atik laptop yang terbuka di hadapannya, dan tampaknya
dia tak terganggu sama sekali dengan langkah kaki kami yang menggema—atau mungkin karena
suara ketikannya cukup keras hingga ia tak menyadari keberadaan kami? Suara itu juga
menggema.

Namun, yang jelas, Luthfi tak membuang-buang waktu. Ia meninggalkanku yang masih terkesima
dengan ruangan luas ini, berjalan menuju si lelaki yang tak menyadari keberadaan kami sambil
berseru.

"Tamumu sudah datang."

Seketika itu juga, si lelaki dengan jemari yang lincah di atas keyboard segera berbalik. Walaupun
sebelumnya kusebutkan kedua mataku belum terbiasa dengan penerangan yang minim di ruangan
ini, tetapi aku dapat mengenali lelaki itu, setidaknya karena pernah melihat fotonya.
Dan, ya, benar, itu Yusup. Dia masih hidup. Eh, tentu saja kecuali dia adalah hantu Yusup yang
berpura-pura masih hidup.
19. Through it All

Ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku, bahkan mungkin jumlahnya ribuan, tetapi
mulutku tetap terkunci selama tiga menit pertama.

Kesan anak sekolah yang melekat pada Yusup tampaknya telah menghilang. Wajahnya lebih tirus
dibandingkan dengan foto terakhirnya yang diambil dari tujuh tahun lalu atau lebih. Kumis dan
janggut tipis kini menghiasi wajahnya dengan frame dan gagang kacamata yang tipis melekat di
wajahnya. Rambutnya sedikit acak-acakan, tetapi kurasa ia menyisir setiap hari sehingga tetap
nyaman dipandang. Dia adalah seorang laki-laki yang bisa ada di mana saja, tidak menarik
perhatian, dan kurasa itulah sebabnya orang-orang bisa luput menyadari bahwa dia adalah seorang
anak yang pernah hilang.

Luthfi membawakanku sebuah kursi. Namun, mungkin karena mereka hanya tinggal berdua di
tempat ini, tak pernah ada orang ketiga yang menyusup dan tiba-tiba berteman dengan mereka,
yang juga kurasa tak mungkin hal itu terjadi, Luthfi sengaja berdiri karena fasilitas yang tak
mencukupi. Ia memilih untuk berpangku dada, mungkin bersiap-siap seandainya secara tiba-tiba
kuhajar Yusup karena sudah merepotkan banyak orang.

Kami memang belum berkenalan, tetapi instingku benar-benar kuat, mengatakan bahwa orang di
hadapanku ini memang Yusup—dilihat dari bentuk wajahnya yang tak berubah tentu saja, dan
laki-laki itu tidak bertanya sama sekali akan informasi pribadiku, membuatku menduga-duga
bahwa dia memang sudah tahu siapa aku, yang jelas saja itulah yang terjadi seandainya dia
memang Yusup. Seperti kata Luthfi, bukan? Dia yang ingin bertemu denganku.

Aku tidak dijamu sama sekali, segelas air mineral pun tidak, tapi aku tak merasa keberatan.

"Tempat apa ini?" Dari sekian banyak pertanyaan yang kupindai dalam benakku, akhirnya salah
satu di antaranya keluar. Entah karena spontanitasku, yang benar-benar penasaran akan eksistensi
tempat ini, atau karena memang aku terlalu takut untuk mencari tahu informasi tentang Yusup,
apalagi di hadapan orang yang kumaksud.

Namun, Luthfi menjawab pertanyaanku lebih dulu. Yusup masih belum berbicara.
"Bunker, dibuat pada saat perang dunia."

"Tidak mungkin orang-orang yang tinggal di sekitar tempat ini tidak tahu keberadaan bunker ini,
kan? Lalu bagaimana kau ...," aku menunjuk Yusup, "Bisa menghilang selama bertahun-tahun
tanpa adanya orang yang curiga?"

"Mereka tahu keberadaan bunker ini. Mereka tidak tahu Yusup ada di tempat ini. Lagipula, kurasa
mereka tidak tahu beritanya. Mereka orang-orang tua yang masih bersikeras untuk tinggal di
perkebunan. Orang-orang kebanyakan memilih untuk pindah, tinggal di pinggir jalan raya. Orang-
orang tua itu tak pernah berjalan lebih jauh dari lingkungan rumahnya."

Walaupun aku tak memberikan tanggapan, tetapi kurasa apa yang Luthfi ucapkan itu ada benarnya.
Seperti apa yang kulihat sebelumnya, jarak antara satu rumah dengan yang lainnya terpaut
beberapa meter, mungkin lebih dari sepuluh meter—khas rumah-rumah pemilik perkebunan jaman
dulu.

Sekarang, aku kembali memindai berbagai pertanyaan yang masih melayang-layang dalam
pikiranku, mencarinya satu-satu sehingga otakku memuatnya dengan lama.

"Bagaimana mungkin listrik di tempat ini tidak dimatikan?"

"Saya tahu Anda mencari saya ke mana-mana, Pak Roy. Kenapa kau membuang-buang waktumu
untuk menanyakan hal itu dan bukannya bertanya mengenai diriku?"

Selaan Yusup berhasil membuatku terperangah. Kata-katanya menusuk, masuk ke dalam


telingaku. Aku seperti melihat Luthfi kedua, tetapi tentu saja dengan wajah yang berbeda dan
terlihat lebih muda. Cara bicaranya agak sama, entah karena Luthfi yang memengaruhinya atau
memang dia memiliki aksen semacam itu. Yang jelas, dia tidak menyukaiku yang terlihat
membuang-buang waktu. Jadi, aku tak memiliki pilihan.

"Kau benar-benar belum mati?"

"Apa saya terlihat sudah mati?"


Baiklah, itu pertanyaan yang benar-benar tolol, lebih tolol daripada pertanyaan-pertanyaanku
sebelumnya. Aku mengangkat kedua lengan, mengarahkan kedua telapak tanganku ke arahnya,
sekadar meminta maaf karena tak berhasil membuat pertanyaan yang lebih baik.

"Maksudku, orang-orang PK ...." Aku baru sadar bahwa aku menggunakan istilah yang umum
digunakan di kantorku, tetapi seharusnya bukan menjadi singkatan yang biasa didengarkan banyak
orang.

"Ah, PK itu ...."

"Saya tahu PK yang maksud." Sekali lagi, selaannya berhasil membuatku terperangah. Rasanya,
baru pertama kali kusebutkan istilah itu di hadapannya. Apa dia benar-benar tahu?

"Kau tahu apa itu PK?"

"Jika yang Anda maksudkan dengan PK itu adalah kelompok polisi korup, salah satu istilah yang
Anda serta rekan-rekan Anda gunakan di kepolisian. Ya, saya tahu."

Itu bukan lagi sebuah tebakan, tetapi Yusup mampu menjelaskannya secara lantang, tak terbata-
bata, benar-benar seperti telah mengetahuinya bahkan sebelum aku menyangkutkan kata-kata PK
di rangkaian kalimatku. Artinya? Dia benar-benar tahu.

Sekarang, aku mulai keringat dingin.

"Tujuh tahun lalu orang-orang PK membuat rencana pembunuhanmu. Kau tahu itu?"

"Saya tahu."

"Kau tahu alasannya?"

Akhirnya—sepertinya—aku berhasil membuat pertanyaan yang tepat. Yusup menyukainya,


kurasa, dilihat dari gelagatnya menyiapkan napas sebelum mengeluarkan satu dua paragraf yang
berisi cerita panjang.

"Sederhana, karena saya mengetahui eksistensi mereka."


"Apa kau tahu ayahmu juga terlibat dengan polisi-polisi korup itu?"

"Saya tahu."

Singkat, padat, jelas, tak ada keraguan dari dalam mulutnya. Tatapan matanya masih melekat,
melihat ke arahku dan membuatku benar-benar gugup. Perasaanku seolah menunjukkan kebalikan
dari profesiku, menjadi seorang penjahat yang ditangkap karena sebuah kejahatan. Jadi, begini
rasanya, ya?

Tapi, sialan, kenapa malah jadi aku yang merasa gugup?

Menyangkut pertanyaan sebelumnya, ada banyak pertanyaan-pertanyaan turunan yang bisa


kuberikan pada Yusup. Bagaimana perasaannya setelah mengetahui ayahnya terlibat dengan PK,
bagaimana cara dia tahu bahwa dia memang menjadi salah satu target—bahkan mungkin satu-
satunya—pembunuhan yang direncanakan oleh orang-orang PK, serta beragam pertanyaan yang
bisa menyangkutkannya kepada eksistensi PK. Namun, sejauh apapun aku berusaha, pertanyaan-
pertanyaan itu tak pernah keluar dari mulutku. Aku takut dia tersinggung, marah, dan parahnya
lagi malah tidak mau berkomunikasi denganku selamanya, setelah ini.

Luthfi yang melihat kecanggungan kami akhirnya tak tahan. Dia merobohkan tubuh, duduk di atas
meja karena tak tahan berdiri sedari tadi. Kakinya menggantung dan berayun berirama.

"Kalian berdua kelihatan canggung, kalian tahu?" katanya. Nadanya sedikit mengejek, tetapi hal
itu mungkin bisa membuatku dan Yusup berkomunikasi satu sama lain lebih baik. Kadang kala
dua orang yang memiliki tujuan yang sama akan bekerja sama untuk meraih tujuan mereka, kan?

Aku dan Yusup melempar pandangan. Luthfi memberikan cengiran merendahkan.

"Kau ingat pertanyaanmu tentang aku yang terlibat dengan hilangnya Yusup dan aku jawab iya?"

Aku tak memberikan tanggapan, tetapi tampaknya Luthfi mengerti jika aku ingat.

"Aku membantunya keluar dari masalah itu."


"Seorang pegawai minimarket melihat seseorang yang membawa dia," sekali lagi aku menunjuk
Yusup dengan telunjukku, "Aku tahu itu. Lalu, kenapa anak ini tak pernah kembali dan malah
bersembunyi di sini? Mau sampai kapan dia tinggal di tempat ini?"

"Lihat, tidak sulit untuk berbicara, kan? Kenapa kau jadi tak banyak omong, Roy?" Luthfi kembali
menyeringai. Ia melepaskan pangkuan dadanya. Kini, kedua tangannya bertumpu di atas meja.

Jebakan yang sangat bagus. Aku memujinya, sungguh. Aku benar-benar tak menyangka jika dia
berusaha untuk membuat katalis yang bisa membantuku mengungkapkan—tanpa membuat Yusup
tersinggung—pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi hinggap di dalam otakku.

Yusup sendiri kini tak perlu mencari tahu lebih lanjut. Ia menjawab.

"Saya memiliki pekerjaan di sini."

"Yang benar saja." Semakin lama aku mendengarnya, rasanya aku benar-benar tak bisa
membedakan Yusup dan Luthfi. Sama-sama brengsek, tidak menyenangkan, lebih senang
membuat teka-teki daripada memberikan jawaban atas pertanyaan yang kusampaikan.

Kemudian, sadar akan ketaksabaranku, Luthfi menambahkan detail yang kuperlukan.

"Kau ingat kali pertama kita bertemu? Itu yang kami lakukan."

"Tentu, bagaimana mungkin aku lupa ketika kau menembak kakiku hingga aku harus berjalan
terpincang-pincang selama beberapa minggu." Kulemparkan pandanganku beberapa kali ke arah
Yusup dan Luthfi. Sekarang ke Yusup.

"Kau beruntung karena kali pertama dia bertemu denganmu, dia malah menyelamatkanmu,
bukannya menembak kakimu hingga harus jalan terpincang-pincang selama beberapa minggu."
Aku membuat jeda beberapa saat.

"Sambil membunuh seseorang."

Luthfi bertukas dengan cepat. "Yang jelas-jelas bersalah tetapi kalian malah membiarkannya
berkeliaran dan menangkap orang yang salah."
"Serta baru menyadari kesalahan itu dan akan membawanya ke pengadilan sebelum kau tiba-tiba
muncul."

"Aku minta maaf, oke?" Luthfi menunduk, kemudian mengangkat kedua tangannya beriringan
dengan kepalanya. "Aku bukan peramal yang bisa tahu bahwa kau akan sampai ke kesimpulan itu.
Aku kira kasus itu telah kalian tutup dan tak akan pernah dibuka lagi selamanya."

"Kau tidak seperti orang yang tidak tahu apapun. Faktanya, kau selalu mengetahui segala hal yang
tak kuketahui."

"Aku akan ke atas, meninggalkan kalian berdua di sini. Tampaknya kau dan aku hanya akan
mengobrol seperti biasa, pura-pura tak melihat Yusup. Kau mencarinya, dan Yusup sudah
memenuhi keinginanmu. Kalian berdua saling membutuhkan, bukannya aku. Oke?" Luthfi
beranjak dari tempat duduknya—yang sebenarnya sebuah meja, dan segera membawa kedua
kakinya pergi menjauh dariku juga Yusup. Raganya menghilang, laki-laki itu pergi ke atas, benar-
benar serius meninggalkanku berdua dengan anak ini, yang seharusnya tentu saja sudah menjadi
pemuda berumur dua puluhan, bukan seorang anak SMA yang harus memikirkan cara untuk lulus
ujian nasional. Sekarang, aku benar-benar berharap Wijaya ada di sini. Mungkin dengan anak
seumurannya, obrolan mereka bisa lebih nyambung, kan?

Keringat dingin kembali membanjiri diriku. Sekarang lebih deras. Namun, aku berusaha
menyembunyikannya dengan berdeham sedikit keras.

"Kau tidak rindu dengan rumahmu?" Satu lagi pertanyaan basa-basi, tetapi itu lebih baik daripada
tak ada obrolan sama sekali, yang mungkin tak akan pernah bisa kudapatkan lagi.

"Tentu saja rindu."

Entah dia benar-benar mengucapkan kejujuran atau hanya berpura-pura. Aku tidak bisa
mendeteksi apakah anak itu sedang jujur atau tidak, terlalu datar, dan aku tak pernah menyukai
tipe manusia semacam ini.

"Termasuk ayahmu?"
"Kecuali dia."

Sekarang, entah kenapa aku merasa dia benar-benar jujur.

"Kenapa kau tidak kembali ke rumahmu? Apa karena ayahmu?"

"Salah satunya."

"Salah satunya?"

"Sudah saya katakan saya ada pekerjaan, Pak Roy."

Dan aku benar-benar lupa akan hal itu.

"Kalau begitu, apa yang kaulakukan?"

"Saya—maaf—kami membantu kalian."

"Aku serius."

"Saya serius."

Sekali lagi, aku tak benar-benar bisa tahu apakah dia tengah berbohong atau tidak, bercanda atau
tidak. Semuanya terdengar sama, kurasa selama hidupnya dia hanya memiliki satu not suara yang
tertanam di pita suaranya. Aku tidak suka terdengar seperti orang brengsek yang senang
merendahkan orang lain, tetapi sekarang aku rasa aku mengerti mengapa di sekolahnya—dulu—
Yusup pendiam dan hampir tak pernah bergaul dengan orang lain. Mungkin orang-orang yang
menghindarinya karena tak tahan dengan reaksi singkat, padat, dan jelas yang Yusup berikan.

"Apakah pekerjaan yang kausebutkan berkaitan dengan apa yang Luthfi sebutkan tadi?"

"Luthfi?"

"Temanmu itu, yang tadi meninggalkan kita ...." Otakku kembali mengolah semua informasi yang
didapat. "Namanya bukan Luthfi?"
Anak itu menggeleng, tetapi untuk kali ini aku tidak benar-benar terkejut. Namun, aku tetap
berusaha memastikan bahwa Yusup tidak keliru.

"Nama asli maupun nama alias?"

"Bukan."

Jadi, selama ini aku ditipu olehnya? Aku ingin menggeram, tetapi entah mengapa informasi yang
otakku berikan memberikan akhir yang berbeda untuk digerakkan oleh otot-ototku. Aku malah
tertawa, menyeringai, menyadari bahwa selama ini aku dibohongi olehnya.

"Kita fokus saja dulu pada pembicaraan." Aku memutuskan. "Jadi, pekerjaan yang kausebutkan
tadi berkaitan dengan apa yang si laki-laki bertopi itu sebutkan?"

"Ya."

"Dan demi apapun, Yusup, bisakah kau menjawab lebih panjang dari itu? Misalnya, 'ya, yang kami
lakukan adalah bla-bla-bla' atau semacamnya? Aku mohon buatlah hidupku menjadi lebih mudah."

"Coba saja."

"Apa pekerjaan yang kausebutkan tadi berkaitan dengan apa yang si laki-laki bertopi itu
sebutkan?"

"Ya, itu benar."

Aku menyerah. Anak ini tidak bisa berubah, mungkin karena sudah terlalu tua dan terlalu lama
bergaul dengan Luthfi ... atau siapapun si brengsek itu yang mengaku bernama Luthfi.

Aku merogoh saku, mencoba mengambil ponsel.

"Aku akan memberitahu rekanku bahwa kau masih hidup."

"Saya tak ingin Anda melakukannya."


Dan di detik itu juga, gerakanku terhenti. Untuk pertama kalinya aku bisa mendengar Yusup
menaikkan nada bicaranya. Setidaknya, sekarang aku tahu dia memiliki dua not suara dalam pita
suaranya. Namun, hal itu tentu menunjukkan bahwa dia benar-benar tak main-main.

Persembunyiannya selama tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat, aku tahu itu. Namun, ketika
aku berpikir dia ingin merasakan udara bebas di luar sana, berkumpul kembali bersama keluarga—
tanpa ayahnya mungkin—dan merasakan kehangatan yang telah hilang sejak lama, ternyata aku
salah. Yusup bahkan mengulurkan tangannya, hampir meraih lenganku yang belum berhasil
meraih ponsel sebelum terhenti karena interupsinya.

Kunaikkan sebelah alisku.

"Kenapa?"

"Orang-orang PK akan mencari saya ... lagi."

"Memangnya apa yang kaulakukan pada mereka sampai-sampai mereka ingin membunuhmu,
sih?"

"Anda pikir dari mana Anda mendapatkan daftar nama orang-orang PK itu?"

Kini, aku sedikit terkejut.

"Yang laki-laki bertopi itu berikan?"

Dan Yusup mengangguk. Sekarang aku bisa menarik benang merah di antara semua kasus
brengsek yang berkeliaran sekian lama. Yusup tahu eksistensi PK, dan mereka semua ingin
membunuhnya. Anak itu menghilang sebelum mereka berhasil melakukan eksekusinya,
bersembunyi di tempat ini, bekerja sama dengan Luthfi ... oh sialan, aku masih terbiasa
memanggilnya dengan nama itu, dan si brengsek itu secara terang-terangan menarikku ke dalam
lingkaran setannya. Semuanya masuk logika, dan akhirnya aku berada dalam lingkaran brengsek
yang mereka buat.

"Baiklah, sekarang serius. Apa yang kau kerjakan di tempat ini?"


"Sudah saya bilang, kami membantu kalian."

"Oh, aku mohon jangan lagi. Maksudnya secara spesifiknya. Membantu bagaimana?"

"Mengadili orang-orang yang seharusnya diadili. Memangnya dia tak pernah memberitahu Anda,
Pak Roy?"

"Mengadili? Luthfi membunuh para tersangka. Itu bukan mengadili."

"Anda tahu ada berapa orang yang dibebaskan dari hukuman, baik karena suap maupun karena
bukti yang 'dianggap' kurang selama tujuh tahun terakhir ini?" Yusup seolah menghindari
jawabanku. Tetapi, aku terlalu terpaku mendengar pertanyaanya.

"283, itu lebih dari tiga kasus perbulannya. Jika kami menggunakan prosedur yang sama dengan
kalian, para polisi, akan memerlukan waktu yang cukup lama, belum dengan menghitung orang-
orang yang kembali dilepaskan baik karena suap maupun karena dianggap tak ada bukti yang
mumpuni, padahal orang-orang tahu dia bersalah."

"Kau tetap tak memiliki hak untuk membunuh seseorang.

"Katakan itu pada ayah saya, Pak Roy."

Aku kelepasan. Ketakutanku untuk menyinggungnya kini benar-benar keluar. Tapi, sama seperti
ucapan-ucapan yang lainnya, aku tak dapat melihatnya dengan jelas walaupun kali ini aku benar-
benar yakin.

Dan aku tak bisa memperbaikinya. Aku sering mendapati kasus seseorang yang dibunuh oleh
saudara, relatif, maupun orang-orang terdekatnya sendiri. Namun, aku tak pernah menemui
seseorang yang 'hanya' menjadi calon korban dan masih hidup di hadapanku. Paling parah, hanya
Riska yang melihat pembunuhan orang tuanya di depan mata kepalanya sendiri—walaupun sang
ayah yang merupakan pelaku pembunuhan itu bukan ayahnya yang sebenarnya.

Dan dengan Yusup yang mengucapkannya secara lantang, aku tak bisa berbuat banyak.
"Jadi, Anda suadh menemui saya. Itu yang Anda inginkan, kan? Anda sudah tahu saya masih
hidup. Itu menjawab pertanyaan Anda, Pak Roy?"

"Tidak semudah ...."

"Dan jangan pernah memberitahukan hal itu kepada siapapun." Dia menyela pembicaraanku. Dan
sekarang, aku malah lebih suka dia yang canggung dan tak bisa berkomunikasi dengan baik.

Sialan. Aku tidak memiliki pilihan lain, ya? Dan kenapa harus aku yang terlibat di kasus brengsek
ini, sih?
20. Through it All II

Aku naik ke atas, keluar dari bunker remang-remang, membuat rasa takutku akan kegelapan—
yang padahal sebelumnya tak pernah kumiliki—muncul secara tiba-tiba—agak berlebihan, sih.

Gontaian kakiku membawa tubuh kembali ke rumah tak layak huni. Dan sesuai janjinya,
penampakan Luthfi segera muncul di hadapanku begitu kepala yang sebelumnya kutundukkan
karena atap rendah mencuat ke permukaan lantai. Lelaki itu duduk di sofa yang telah sobek di
mana-mana, tapi tak dapat kulihat benda-benda asing yang bisa menghibur dirinya di kala
menunggu kedatanganku. Apa yang Luthfi lakukan selagi menungguku?

Aku berlalu melewati dirinya, menjadi manusia tak sopan yang tak ingin bertegur sapa padahal
saling mengenal. Tapi Luthfi menahan punggungku, walaupun tidak sampai menariknya. Sontak,
tarikan lengannya berhasil membuat langkahku terhenti. Aku hampir terjatuh, tetapi besarnya gaya
yang menahan tubuhku itu masih bisa kuantisipasi.

Dia bilang dia akan mengantarkanku, yang jelas membuatku bingung karena toh mobil yang
sebelumnya dibawanya juga adalah mobilku. Jika aku tersesat, aku bisa menggunakan google
maps, tidak harus benar-benar sampai diantarnya. Namun, ketika dia bilang dia memarkirkan
mobilnya di suatu tempat di Bandung, walaupun tidak begitu dekat dengan alamat rumahku,
akhirnya aku menyetujui permintaannya. Jadi, sekali lagi kami berkendara melalui jalanan yang
sama, hanya saja dengan arah yang berbeda. Yang pasti, aku akan dimarahi atasan karena mangkir
dari jam kerja walaupun hanya awal-awal.

"Jadi ...." Aku bergumam di sela-sela perjalanan. Kalimat pertamaku di petualangan kedua kami
berhasil membuat Luthfi memalingkan kepalanya. "Kau memiliki niat untuk memberitahuku
namamu yang sebenarnya?"

Laki-laki itu tertawa keras, suara beratnya menggema dan menggetarkan dinding-dinding mobil.

"Yusup yang memberitahumu?"

Aku tak memberikan tanggapan.


"Sampai saat ini panggil saja Luthfi."

"Ada alasan mengapa kau memilih nama orang dari berkas kasus yang kau inginkan?"

"Aku adalah tipe orang yang ingin menjaga privasiku, Roy," katanya, sembari memutar setir ke
arah kanan, menyelinap di antara kedua mobil yang memenuhi sisi kiri dan kanan jalan. "Tapi
untuk menjawab penasaranmu, anggap saja aku dan dia pernah bekerja sama."

"Apa pekerjaanmu?"

"Apa kau benar-benar harus tahu?"

"Tentu." Kuucapkan dengan tegas, tak peduli dengan seluruh rasa baik yang selalu menghargai
privasi orang lain dalam diriku. Luthfi—atau siapapun dia—sedikit terperanjat. Raut wajahnya
benar-benar terlihat seperti bertanya-tanya. Kemudian, dengna cepat dia meraih ponselnya,
mengutak-atik tetapi tak kuketahui apa yang sebenarnya laki-laki itu lakukan. Dia kembali
menyakukannya sambil berkata, "Berikan ponselmu."

"Untuk apa?"

"Berikan saja."

Aku tak memiliki pilihan lain. Aku segera memberikan ponselku padanya, dan lelaki itu segera
mengembalikannya padaku dalam keadaan airplane.

Aku belum sempat berkomentar, lelaki bertopi itu segera bertanya, "Kau ingin tahu kenapa aku
bisa datang menemuimu, seolah-olah tahu apa yang terjadi padahal tak ada di tempat dan selalu
seperti itu seterusnya?"

Aku ingin tahu? Tentu saja, aku selalu ingin tahu akan hal itu! Dan si sialan ini malah baru
menawarkan. Aku yang terlalu tertarik malah tak dapat memberikan tanggapan, mengungkapkan
betapa besarnya rasa ingin tahuku akan kemampuan-kemampuan cenayang yang selalu Luthfi
berikan. Untungnya, Luthfi tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Dia bercerita.

"Kami menyadap ponselmu."


"Sialan," gerutuku. Aku segera membongkar ponsel, berusaha mencari alat detektor seperti yang
Luthfi lemparkan, tetapi lelaki itu malah menertawaiku.

"Tak akan kau temukan di mana-mana. Bahkan, kau hanya bisa menghilangkan alat penyadap itu
dengan mengganti ponsel ... yang otomatis akan tersadap kembali."

"Hah?" Aku terkejut. "Apa maksudmu jika aku membeli ponsel, penyadap itu akan kembali?"

Laki-laki itu menyeringai.

"Kau tahu nomor telepon diregistrasi dengan nama dan nomor KTP pemilik, kan?"

"Maksudmu kau menyadap orang-orang berdasarkan identitas pemiliknya, dan bukannya


berdasarkan perangkat?"

"Semacam itu."

Napasku tertahan, tetapi bukan karena aku yang mengendalikan, melainkan reaksi spontan yang
kuberikan atas kegilaan yang Luthfi tawarkan.

"Itu benar-benar melanggar peraturan, kau menganggu privasi orang lain."

"Lalu, apa yang akan kaulakukan? Menangkapku?" Sekali lagi, lelaki itu tertawa. "Aku merasa
lebih pantas ditangkap dengan tuduhan kasus pembunuhan daripada penyadapan."

Untuk hal itu, aku setuju. Tapi pembunuhan yang dilakukannya berdasar. Dan sialannya, aku—
secara tak profesional—turut terbantu dengan pekerjaannya.

"Sudah berapa lama kalian melakukannya?"

"Melakukan apa?"

"Menyadap ponselku."

"Kalau hanya aku, mungkin sudah agak lama, kalau Yusup, hitung saja dari semenjak dia
menghilang."
"Kau sudah melakukan ini lebih dari tujuh tahun lalu?"

"Tentu." Yusup membanting setir, motor sialan yang hampir menyerempet mobil melaju kencang
bagai tak tahu permintaan maaf. Dan para brengsek itu tidak tahu bahwa mobil yang dikendarai
Luthfi—atau orang yang ingin dipanggil Luthfi ini—adalah mobilku, dan yang harus membayar
kerugian atas goresan—jika seandainya memang terbentuk—adalah aku.

Namun, perhatianku tak memusat ke arah sana.

"Kenapa kau mengubah mode ponselku ke dalam mode airplane?"

Luthfi masih terlalu fokus dengan jalanan. Ia tak segera menjawab pertanyaanku, tetapi ia
memastikannya untuk tetap terjawab setelah beberapa saat.

"Supaya Yusup tak dapat mendengar percakapan kita."

"Memangnya kalian bisa mendengar semua percakapan orang-orang dari ponsel?"

"Aku tidak tahu teknisnya, itu bukan keahlianku." Akhirnya, Luthfi mengaku punya kelemahan,
yang benar-benar tak pernah kudengar sebelumnya. "Yang jelas, kita bisa mendengar seluruh
percakapan orang-orang. Sebelum Yusup datang, kami hanya bisa menyadap orang-orang ketika
panggilannya aktif atau ada pesan yang dikirimkan. Yusup mengubah semua ponsel orang-orang
menjadi mikrofon."

"Tunggu dulu. Jadi, sebelum Yusup, kau bekerja sama dengan orang lain?"

Luthfi mengangguk.

"Siapa?"

"Seorang teman yang mati dibunuh karena mengembangkan proyek rahasia berupa penyadapan
ponsel orang-orang."

"Kau seorang ilmuwan?"


"Apa aku terlihat seperti seorang ilmuwan?"

Dari penampilan? Jelas tidak. Tapi aku tidak bisa mengetahui secara pasti isi otak manusia, yang
jika kuasumsikan berdasarkan banyaknya keputusan yang pernah ia buat, cerdiknya mengambil
tindakan, memanfaatkan keadaan untuk mencapai kejayaan, maka seharusnya iya.

Namun, aku menggelengkan kepala seraya berkata, "Mana ada ilmuwan seperti dirimu."

Luthfi tertawa keras. "Tentu saja."

Namun, atmosfer yang diberikan laki-laki itu benar-benar berbanding terbalik. Aku telah bekerja
puluhan tahun sebagai seorang penyidik, dan walaupun mengidentifikasi emosi pelaku bukanlah
keahlianku, tetapi aku bisa melihat gambaran perasaan yang Luthfi berikan. Tatapannya kosong
walaupun ia sedang memperhatikan jalan. Senyumnya dipaksakan, dan seharusnya semua orang
pun tahu bahwa tawa yang ia berikan sebelumnya tidaklah tulus, tetapi dipaksakan.

Si teman yang ia maksud sudah pasti memiliki pengaruh besar dalam kehidupannya. Dan si sialan
itu masih belum bisa memaafkan sesuatu, apapun yang terjadi padanya. Sebuah konklusi yang
sangat singkat dan tak memerlukan penelitian mendalam.

Akhirnya, aku meminta Luthfi untuk memarkirkan mobil, tidak berhenti di depan rumahku
maupun di depan kantorku. Aku meminta lokasi yang sepi, setidaknya agar dia bisa keluar dengan
tenang, menghindari banyaknya pasang mata yang mungkin tertuju ke arahnya—dan pastinya
tidak ia sukai.

Aku membuka pintu, begitu pula dengan Luthfi. Ketika aku berjalan melewati bagian depan mobil,
Luthfi hanya menunggu pada sisi pengemudi. Tak ada salam sapa, salam perpisahan, atau apapun
itu yang biasa orang-orang gunakan sebagai bentuk rasa hormat dalam interaksi. Bahkan, ketika
aku mulai duduk, memasang bangku pengaman, lelaki itu tak menyiagakan diri, bersiap
melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

Jendela mobil terbuka, padahal seingatku Luthfi tak membukanya selama mengemudi. Mungkin,
dia baru membukanya. Yang pasti, Luthfi memanfaatkan hal itu untuk kembali berbincang singkat
denganku—bukan salam perpisahan.
"Manusia seperti aku dan Yusup adalah manusia yang kebanyakan orang pikir sudah mati. Dan
aku harap kau bisa membuatnya terus seperti itu."

Benar-benar bukan salam perpisahan, kan?

===

Aku sampai di kantor, telat hingga berjam-jam. Namun, alasan 'penyelidikan kasus Yusup' tetap
tak bisa kugunakan sebagai tameng pelindungku, tentu saja karena kasus itu memang sebenarnya
bukan penangananku.

Ketika aku duduk, Wijaya mengetuk pintu kantorku, dan aku mempersilakannya masuk. Anak itu
membawa sebuah map cokelat, dan tampak cukup tebal jika aku lihat secara sekilas. Wijaya duduk
berseberangan dengan tempatku duduk. Senyum sapanya yang ramah menghantui awal pertemuan
ini, tetapi dia masih belum mengucapkan sepatah kata pun.

Wijaya mengeluarkan seluruh dokumen yang disimpannya di dalam map, tetapi tetap memilah
tumpukan kertas itu, yang kuduga akan ia sodorkan padaku. Dan, tentu saja tebakanku tepat.
Memangnya, apalagi? Masa hanya untuk mencari selembar dokumen saja dia harus sampai
menumpang di kantorku?

Uluran tangannya menyeberangkan beberapa lembar kertas berukuran A4 itu padaku. Aku
menggapainya tanpa perlu bersusah payah. Anehnya, belum ada percakapan di antara kami, tapi
aku merasa tahu akan apa yang seharusnya aku perbuat—menunggunya menyerahkan sebuah
dokumen.

"Apa ini?" Aku bertanya ketika kedua bola mataku memindai kertas itu dari atas hingga bawah.
Walaupun begitu, aku masih belum memproses teks-teks yang ada di dalamnya.

"Saya menginvestiagi seluruh orang yang mungkin terlibat dalam rencana pembunuhan Yusup,
Pak Roy," katanya, menjelaskan.

Kini, aku mulai membaca setiap halaman, hingga benar-benar akhir. Otakku menyoroti beberapa
kata yang menyimpulkan bahwa masih ada kemungkinan Yusup belum mati, utamanya karena
orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pembunuhannya tak berhasil melancarkan serangan
itu dengan baik. Umumnya mereka berkata bahwa Yusup tak pernah muncul, yang tentu saja
kumengerti dengan jelas karena sebelum waktu pembunuhan yang telah ditentukan, Luthfi sudah
lebih dulu menculik anak itu.

Tapi, bagaimana caraku menjelaskannya pada Wijaya?

"Saya rasa rencana yang mereka lakukan gagal. Yang jelas, itu di luar rencana mereka."

"Apa kau yakin orang-orang yang kau tanyai ini tidak berbohong?"

"Saya menggunakan alat pendeteksi kebohongan, Pak."

"Wijaya, mereka semua polisi." Kurapikan lembaran-lembaran dokumen yang Wijaya serahkan
padaku, mengetuknya sebanyak dua kali agar bagian bawah kertas-kertas ini bisa tersusun dengan
sempurna. Kemudian, kembali kuletakkan tumpukan kertas itu ke atas meja. "Mereka mungkin
tahu cara alat itu bekerja. Mereka bisa memanipulasinya."

Wijaya menghela napas. Ia kecewa, aku yakin akan hal itu, tapi tetap berusaha untuk menutupinya.

"Saya mengerti, Pak," katanya, kemudian kembali meraih dokumen-dokumen yang sebelumnya
diserahkannya padaku. Kembali merapikannya—membuat pekerjaanku seolah sia-sia, dan
memasukannya ke dalam map. Persis sebelumnya.

Wijaya kembali berdiri, juga tanpa salam perpisahan seperti yang biasanya ia lakukan. Merasa
sedikit janggal, akhirnya aku bertanya padanya.

"Ada apa, Wijaya?"

Sekali lagi, ia menghela napas, walaupun masih sama seperti sebelumnya—sengaja ditahan agar
tak terlalu terdengar olehku.

"Tidak, Pak. Hanya saja ... Anda adalah satu-satunya orang yang percaya Yusup masih hidup. Saya
pikir saya akan mendapatkan reaksi yang sedikit berbeda."
"Aku hanya ingin kau berhati-hati dengan orang-orang PK. Mereka manipulatif, Wijaya."

"Saya mengerti, Pak."

Wijaya meninggalkan ruangan.


21. Acid Rain

Semakin lama aku menjalani hari, semakin kurasakan rasa tenang yang terusik. Wijaya masih
bersikeras mengungkap kasus Yusup, bahkan mungkin bekerja siang malam untuk mendapatkan
jawaban yang ia inginkan, sedangkan aku yang tahu kebenarannya berleha-leha, menghindari
seluruh pertanyaan yang diajukannya padaku sekadar untuk berpura-pura tak tahu, hingga pada
puncaknya Wijaya mulai mempertanyakan keseriusanku dalam penyelidikan kasus ini, berhasil
melihat merosotnya antusiasku, yang padahal bukan merosot melainkan kusembunyikan.

Aku tengah menyantap makan siang di kantin kantor ketika Wijaya membawa setumpuk berkas,
kembali menjejali diriku dengan tulisan-tulisan rapi hasil cetakan komputer yang memang sengaja
ingin ia perlihatkan padaku. Konklusinya sampai saat ini masih sama: Yusup hilang dan mayatnya
belum ditemukan, tetapi itu artinya Wijaya tak akan berhenti sampai ia bisa melihat di antara dua
hal: Yusup yang masih hidup atau seonggok mayat yang bisa diidentifikasi sebagai Yusup. Kasus
itu bisa saja ditutup karena melewati batas waktu penyelidikan yang ditempuh, tetapi itu artinya
aku harus terus menghindari Wijaya selama bertahun-tahun—jelas tak kuinginkan.

Aku berpura-pura membaca seluruh hasil penyelidikannya, memindai secara cepat seluruh tulisan
yang tersusun runut dari atas sampai bawah sambil menggerus nasi di dalam mulutku. Kemudian,
kusimpan kembali dan mendapati Wijaya yang mengangkat sebelah alisnya. Walaupun begitu, aku
masih bisa menangkap gagasan utama dalam tulisannya.

"Laporanmu mashih belum berubah jauh dari laporanmu sebelumnya."

"Saya tahu, Pak," katanya, dan membiarkanku untuk kembali menyantap makanan sambil
merapikan berkas laporannya.

"Dengar, Wijaya, berkaitan dengan sikapku waktu itu, aku minta maaf." Kunyahan dalam mulutku
belum selesai kulaksanakan, tetapi aku sengaja berbicara, mempercepat proses pertemuanku
dengannya. Sialannya, suaraku terdengar seperti gumaman anak kecil yang baru belajar membaca.
"Tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Yusup masih hidup, dan aku rasa aku mulai
sadar bahwa membuka kembali kasus itu adalah kesalahan. Mungkin, waktu itu ... oh, sialan." Aku
mengangkat kedua tangan sembari berusaha mencari kalimat terbaik untuk dikeluarkan.
"Terlalu dihantui oleh kepergian Loka, sehingga ketika aku tahu ada kejanggalan di kasus Yusup,
aku berpikir jika dia masih hidup dan aku bisa menyelamatkannya. Dan itulah sebabnya selama
ini aku selalu ikut campur dengan kasus itu—yang kebetulan terkadang kau membuatku terpaksa
ikut campur juga. Tapi, sekarang aku benar-benar merasa tolol. Emosi itu sudah menghilang, dan
mencari orang yang hilang tujuh tahun lalu itu benar-benar tolol dan imajinatif."

Tidak sepenuhnya, sebenarnya. Buktinya aku berhasil, kan? Tetapi, kurasa, seluruh permulaan
dibukanya kasus ini memang karena rasa emosionalku yang tak terbendung, yang sialannya kini
membuatku bingung.

Aku sudah siap mendengarkan kalimat 'tidak apa-apa' khas Wijaya, yang memang biasanya ia
berikan ketika aku meminta maaf—walaupun aku benar-benar melakukan kesalahan. Tetapi,
selesai merapikan seluruh berkasnya, Wijaya tak melayangkan kalimat khas yang biasa
diberikannya.

Sebaliknya, dia tersenyum, sedikit tertawa, lebih tepatnya sih cengengesan. Napas pendeknya
keluar dari kedua lubang hidung yang tersendat-sendat.

"AKP Januar bilang dia tahu siapa Lima yang dimaksud."

"Kau ... hah!?"

Aku terkejut bukan main. Rasanya jantungku terpompa dengan hebat sampai hampir lepas,
meninggalkan tubuhku bagaikan pesawat terbang yang meninggalkan landasannya. Mataku
mengerjap berulang kali, dan aku baru sadar beberapa butir nasi keluar dari mulutku karena proses
kunyahan yang tak sempurna. Aku seharusnya mengambil minum agar tak tersedak, tetapi rasa
terkejutku berhasil mengendalikan kerongkonganku, membiarkan suapanku sebelumnya masuk
begitu saja.

"Kenapa kau masih berhubungan dengan orang itu, Wijaya? Dan sialan, dia bukan seorang AKP
lagi." Aku menggerutu, tak kurang dari seorang anak yang tak dibelikan ponsel atas
permintaannya. Tapi Wijaya tahu jelas aku tak sedang bercanda.

"Karena ... beliau mengaku tahu siapa Lima yang dimaksud, Pak."
"Kau memercayainya!?"

"Tidak sepenuhnya, Pak."

"Wijaya, sialan, itu sangat buruk, karena seharusnya kau tidak memercayainya sama sekali, bukan
tidak sepenuhnya memercayainya."

"Saya rasa tak ada alasan lagi untuknya berbohong. Maksud saya, Anda mengerti kan, Pak? Beliau
sudah mendekam di penjara, dan saya rasa bagaimanapun dia tak akan bisa keluar dari sana. Kasus
yang menjeratnya berat."

"Wijaya, sialan, orang-orang melaporkan kasus kejahatan ke kepolisian, dan ternyata orang-orang
brengsek bajingan seperti Januar ada di kepolisian, kau terlalu percaya orang-orang di sekitarmu
adalah orang-orang baik sepertimu. Apa kau tidak pernah hidup di lingkungan orang-orang
brengsek seperti itu?"

"Tapi ...."

"Kau tidak pernah melihat ibumu sendiri mati di tangan ayah tirimu, berada di posisi penentuan
hidup dan mati temanmu, dan yang terparah, kau tidak tahu betapa kesalnya aku, ketika si bajingan
Januar berhasil merenggut satu-satunya keluarga yang kupunya, dan sekarang kau masih bisa
memercayainya. Kau tahu hal kecil apa yang kuinginkan dari Loka? Melihatnya berkuliah, berfoto
dengannya saat ia mengenakan toga. Dan si sialan itu mengambil semuanya, bukan hanya masa
depan anak itu, tapi juga masa depanku, potret masa depan yang sampai sekarang masih kuimpi-
impikan."

Napasku terengah-engah. Dan di saat yang bersamaan, aku baru sadar bahwa belasan tatapan mata
tengah tertuju ke arahku, termasuk sang penjaga kantin yang biasa menjajakan dagangannya.

Aku menggerutu dalam hati. Oh, sialan. Apa yang baru saja kulakukan?

Aku berjalan, pergi. Aku mendengar Wijaya yang beberapa kali memanggilku, tetapi kuhiraukan.

Aku benar-benar bingung.


===

"Kau bisa mendengar ini, aku tahu itu."

Kulemparkan pandanganku ke segala arah, mencari carut marut sudut-sudut ruangan yang tak
pernah kubersihkan, terutama bagian atap, sekadar menghilangkan rasa grogi saat berbicara di
depan ponsel ... dan tidak melakukan panggilan apapun.

"Dan aku yakin kau tahu apa yang terjadi denganku di siang hari ini, jadi aku benar-benar meminta
kau untuk menghubungiku, atau—brengsek—aku akan membocorkan keberadaanmu, Yusup,
kenapa semua orang."

Aku tak akan berbohong, aku benar-benar terlihat seperti orang gila yang berbicara dengan
ponselnya sendiri, padahal tak kulakukan sebuah panggilan. Mulutku yang sengaja kudekatkan
pada mikrofon ponsel jelas ingin segera pergi, melepaskan tautan jarak yang pendek darinya. Tapi,
setelah berpikir sekian lama, aku tahu cara ini adalah cara yang terbaik.

Si sialan itu—Luthfi—tak pernah memberikan kesempatan untukku menghubunginya, yang


akhirnya membuatku merasa sedikit tolol karena selama ini, tanpa sepengetahuanku, dia
menyadapku, yang artinya dia bisa mendengar seluruh percakapan yang kulakukan. Termasuk
sekarang ini, kan?

Entah sudah berapa menit kuulangi kalimat-kalimat yang sama, berkutat di antara 'dia, atau
mereka—Luthfi dan Yusup—bisa mendengarku saat ini' dan 'aku meminta mereka untuk
menghubungiku sekarang juga', tentu saja dengan tambahan ancaman yang sangat terdengar
seperti gertak sambal. Mungkin di ujung sana, Luthfi dan Yusup tengah menertawaiku.

Dan sialannya, aku menyerah, melemparkan ponsel itu ke atas sofa sebelum segera merebahkan
raga di tempat yang sama.

Aku meregangkan tubuh, dilanjutkan dengan mengusap seluruh permukaan wajah dengan kedua
tanganku, dan sekali lagi menggerutu, "Sialan, kenapa jadi sulit seperti ini."
Setidaknya, perlu waktu hingga dua menit sampai pemikiranku pulih kembali. Kemudian, aku
meraih ponselku, dan tepat setelahnya, ponselku yang lain—yang Luthfi berikan padaku—
berdering. Aku tak perlu membuat pemikiran yang berputar terlalu jauh hanya untuk menerka
siapa si penelepon itu. Jelas Luthfi, kan? Atau mungkin Yusup karena dia sudah membuka tabir
hilangnya secara terang-terangan padaku.

Jadi, aku segera mengangkatnya, berteriak tanpa salam sapa yang hangat.

"Manusia sialan ...." Kuucapkan frasa itu, tetapi tidak kutunjukkan secara khusus. Yusup atau
Luthfi, aku harap seseorang dari mereka berhasil menerima hardikanku. "Kau ada di mana? Aku
ingin bertemu denganmu. Tadi siang aku menuju bunker dan kalian malah tak ada di sana."

"Hei, hei, sabar Roy, ada apa denganmu?" Suara itu jelas suara Luthfi. Aku sudah mengenal
suaranya seperti aku mengenal suara kakakku—yang sebenarnya tak ada, sih.

"Wijaya masih melanjutkan kasus Yusup, dan kaupikir aku bisa menghindar terus-terusan
darinya?"

"Bisa saja, kalau kau bisa."

"Dan kau masih bisa membalas seperti itu, Brengsek?" Aku menarik napas panjang,
mengeluarkannya secara perlahan, berusaha meredam emosi yang kembali mencuat dalam
kepalaku. "Dengar, kau ceritakan semua kenyataan itu padanya, dan aku akan sangat berterima
kasih padamu."

"Memangnya tak bisa kau buat dia untuk percaya Yusup sudah mati?"

"Aku yang pertama antusias membuka kasus Yusup dan menyerahkan kasus ini padanya. Aku
sudah berpura-pura putus asa dan Wijaya masih belum patah semangat untuk menyelidiki
kasusnya."

"Aku akan menyembunyikan Yusup semampuku."

"Bukan itu poinnya, sialan," gerutuku. "Apa orang-orang PK tahu tentang dirimu?"
Perlu jeda beberapa saat sampai Luthfi kembali membalasnya.

"Mungkin. Siapa yang tahu, kan?"

"Januar mengaku mengenalmu."

"Kami memang pernah bertemu, kan?"

"Bukan mengenalmu sekadar tahu wajahmu, dan kau adalah orang sialan brengsek yang menyusup
ke dalam rumahnya, kemudian dengan seenaknya mengikat seluruh pergelangan lengan orang-
orang yang ada di dalam sana, sialan, tetapi mengenalmu sebagai Lima. Kau pasti mengerti
maksudku, kan? Apa kau sudah berubah jadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa?"

Sekali lagi, Luthfi tak segera menjawabnya, tetapi emosiku yang mencuat juga tidak bisa
memikirkan susunan kalimat yang bisa kugunakan untuk menambal waktu kosong seperti ini.
Mungkin Luthfi sedang berpikir, mungkin juga tidak, yang jelas aku masih menunggunya
berbicara, hingga akhirnya ia melakukannya.

"Aku rasa Lima yang ia maksud bukan aku, tetapi orang lain."

"Memangnya siapa lagi?"

"Kau ingat temanku yang pernah kuceritakan?"

"Oh, dongengmu yang kauceritakan untuk membuat hubungan kita semakin dekat itu?"

"Terserah." Luthfi menggerutu. Tak terdengar seperti itu, sebenarnya, tapi aku yakin hatinya
tengah mengomel. Namun, di saat yang bersamaan, aku kembali memikirkan lontaran kalimatnya.

"Tunggu, jadi selama ini ada orang dengan nama 'Lima' lain yang benar-benar bukan dirimu?"

Tak ada jawaban dari seberang sana.

"Sebenarnya kau siapa, sih?"


"Kau ingat ketika aku meminta berkas kasus 'Lima' ketika kau masih sanggup menodongkan pistol
padaku seandainya kau masih punya?"

Sungguh, lelucon yang tidak lucu sama sekali. Aku tahu izin menggunakan senjata apiku dicabut
dan sesekali aku membuat topik candaan dari sana, tetapi ketika Luthfi yang menyajikannya, aku
benar-benar tak bisa tertawa bersamaan dengannya.

"Aku berterima kasih padamu karena aku bisa melemparkan berkas-berkas itu ke hadapan
wajahnya—orang yang membunuhnya—sebelum ... kau tahu, kan? Metodeku dulu."

"Maksudmu dia tidak mati karena overdosis?"

"Kalau aku menulis Loka meninggal karena tenggelam, apa kau akan percaya?"

"Jangan bawa-bawa dia, sialan!"

"Maaf, Roy, bukan maksudku ingin membuatmu kesal, tapi ada banyak kasus yang ditutup dengan
kesalahan. Aku harap kau mengerti itu."

"Terdengar lucu untuk kalimat yang keluar dari ... bagaimana caraku mengatakannya, ya?"
Kulambungkan kedua bola mataku ke atas dan ke bawah. "Seorang perampok, karena aku tahu
kau tidak ingin disebut sebagai pembunuh."

"Hei, aku harus bertahan hidup, kan? Kau pikir aku bisa hidup tanpa makan? Oh ya, siang tadi
aku dan Yusup bekerja sama untuk pertama kalinya mengambil hak orang lain yang bisa mereka
sedekahkan kepada kami. Biasanya Yusup menolak, tapi aku yakin dia terpaksa karena
kelompokku sebelumnya sudah menendangku keluar. Aku yakin mereka menyesal."

"Kau merampok lagi?"

"Kurang lebih."

"Kau tahu, kau adalah sasaaran empuk untukk mengejar karier, sialan. Ada berapa kejahatan yang
sudah kaulakukan?"
"Aku tidak ingat. Tapi kalau kau memang ingin mengejar karier, tangkap saja."

Tiba-tiba, aku dapat mendengar pintu rumahku yang diketuk—tiga kali. Reaksiku yang sedikit
lamban berhasil membuat seseorang di luar sana kembali mengetuk pintu rumahku, sebelum
akhirnya kuakhiri pembicaraan—yang entah bagaimana awalnya hingga bisa keluar dari topik
pembicaraan yang kuinginkan—dengan Luthfi.

"Ada tamu, tapi pembicaraan kita belum selesai, oke?"

Aku benar-benar merasa lega sekarang ini, karena setidaknya aku tahu bagaimana caraku
menghubungi Luthfi, yang berbulan-bulan ini tak pernah kuketahui. Setidaknya, sekarang aku
berada dalam kondisi: bisa memutuskan panggilan tanpa harus takut tak dapat menghubunginya
kembali.

Aku bangkit dari sofa setelah menyakukan ponsel ke dalam saku celana. Untungnya, aku masih
menggunakan celana seragam sehingga tak perllu repot-repot mencari celana panjang untuk
menerima tamu. Ketika aku membuka pintu, aku bisa melihat sosok Pak Jajang tampil di teras
rumahku.

Laki-laki itu tersenyum ramah, tetapi kehidupanku yang sudah berkutat terlalu jauh dengan orang-
orang PK sepertinya membuat instingku bekerja dengan sangat baik. Senyuman itu bukan
senyuman ramah yang diberikan dengan tulus, lebih seperti senyuman untuk sapa: "Kejutan,
Bajingan!"

Apalagi dengan pistol yang ia todongkan ke arah perutku, secara diam-diam.


22. Acid Rain II

Kejutan yang diberikan Pak Jajang seharusnya bisa membuat manusia mana pun merasa gugup,
mengeluarkan keringat dingin tetapi tetap tak mendapatkan kesemaptan untuk menyekanya karena
otak berhasil memanipulasi pikiran untuk tubuh tetap terdiam. Namun, reaksi yang pantas
dilakukan manusia itu tak kunjung meresapi tubuhku. Aku kaget, kebingungan, tetapi hanya itu,
tidak sampai merasa terancam hingga harus berteriak untuk mengekspresikan perasaanku. Aku
menduga semua itu terjadi karena Luthfi—siapapun nama sebenarnya—yang terus memberikan
tekanan untukku, mengambil jiwaku sebagai manusia dan membuangnya sejauh mungkin.

Aku bersikap tenang, bahkan lebih dari seharusnya. Padahal, sebelumnya aku sedang marah-
marah. Sepertinya aku tahu bahwa marah dalam situasi seperti ini tak akan membantuku.

Pak Jajang tidak meminta izin untuk masuk ke dalam rumahku, pun aku tak menawarinya untuk
masuk, tetapi secara perlahan ia mengangkat kedua kakinya secara bergantian. Langkahnya
berhasil memaksaku untuk mundur lebih jauh karena tak ingin moncong pistol—peredam lebih
tepatnya—terus menusuk perutku, dan aku tak merasa memiliki kecepatan yang cukup hingga
dapat merebut pistol itu begitu saja darinya. Pak Jajang sudah tua, gerakannya mungkin lamban,
tetapi jari telunjuknya sudah siap siaga menarik pelatuk, bukannya diletakkan pada gagang pistol
untuk menghindari marabahaya. Bahkan, satu kesalahan yang tidak sengaja ia lakukan saja kurasa
bisa membunuhku karena secara tak sengaja juga pelatuk itu akan tertarik. Terpeleset, misalnya.

Aku semakin mundur, dan kini Pak Jajang benar-benar berhasil masuk menghindari barikade
tubuhku. Pintu rumahku segera ditutupnya, dan di saat yang bersamaan aku menggerutu dalam
hati karena sama sekali tak ada di antara tetangga-tetanggaku yang melihat kejadian ini. Aku
semakin membenci kehidupan individualisme, padahal aku sendiri termasuk salah satu
penganutnya.

"Di mana kau menyembunyikan Yusup?"

Aku sudah menduga pertanyaan yang akan keluar dari mulutnya, tetapi aku memang tidak
memiliki niat untuk menjawab pertanyaannya. Setidaknya, jika dia memang yakin Yusup masih
hidup, seharusnya dia juga yakin bahwa aku adalah satu-satunya orang yang tahu di mana Yusup
berada. Sehingga, setidaknya aku bisa tenang sedikit karena ia tak akan menembakku begitu saja.
Peluangnya menjadi lebih kecil.

Aku mengangkat kedua tangan, memberikan tanda padanya bahwa aku tak berbahaya, dan sekali
lagi aku mundur. Kini, Pak Jajang tidak mengikuti gerakanku. Moncong pistol dan perutku terpaut
cukup jauh sekarang ini.

"Kenapa Anda yakin saya menyembunyikan Yusup, Pak?"

Itu bukan pertanyaan yang cerdas, sangat mudah disiasati dengan balasan 'itu tidak penting' atau
semacamnya, tetapi tak ada salahnya mencoba, kan?

Pak Jajang dengan tak ragu menjawab, "Itu tidak penting."

Dan sekarang aku merasa mencoba menanyakan pertanyaan itu adalah sebuah kesalahan, karena
Pak Jajang, sekali lagi, memperpendek jarak antara kami.

"Kalau begitu, bisakah kita membicarakan ini baik-baik?" Aku bertanya, berusaha menahan nada
bicaraku agar tak terlalu tinggi, membuat emosinya memuncak, dan aku menunggu jawaban
darinya dengan penuh harap dan cemas.

Pak Jajang melekatkan tatapannya tajam-tajam ke arahku, alisnya menukik tajam dan
menunjukkan rasa ketaksukannya padaku, entah karena apa. Namun, hal itu tak membuatnya
mempercepat pengambilan keputusan. Aku sudah mengangkat kedua lenganku beberapa lama,
bahkan sampai kedua punggungku pegal. Aku ingin menurunkannya, tetapi aku tahu situasinya
sedang tidak baik.

"Membicarakan baik-baik bagaimana?"

Aku bersyukur.

"Kita berdua bisa duduk, kemudian saya akan menceritakan seluruh hal yang saya ketahui
mengenai Yusup. Bagaimana?"
Pak Jajang tak serta merta menerima tawaranku. Tatapannya itu masih belum dilepaskan, tetapi
kini ditemani oleh otaknya yang berpikir—aku bisa melihat itu dari bola matanya. Dan sekali lagi,
aku kembali menaruh harap dengan penuh kecemasan.

Pak Jajang mengangguk perlahan seraya berkata, "Oke." Dia segera berjalan menghampiri sofa,
kemudian duduk, tetapi tak kunjung menurunkan todongan pistol itu padaku. Aku yang tetap
tenang mengikuti rencanaku, yang sekali lagi kuakhiri dengan rasa syukur karena ia menerima
tawaranku.

Sekarang adalah bagian tersulitnya: bagaimana caraku mengulur waktu sampai dua jam atau
lebih—jika seandainya mereka sedang ada di dalam bunker sialan yang jauh itu—hingga Luthfi
datang ke rumahku? Itu pun jika dia memperhatikan situasi yang sedang terjadi padaku melalui
alat penyadap yang dipasangnya.

Jika tidak? Mungkin aku memang sudah dalam keadaan mampus seperti kucing Schrodinger.

===

"Semuanya omong kosong! Yusup pasti masih hidup, kan!?" Pak Jajang berdiri dengan cepat, dan
sekarang tak ragu menodongkan pistol itu ke arah kepalaku.

Sekali lagi, sebagai seorang manusia, seharusnya aku terkejut, terperangah, atau mungkin akan
lebih wajar lagi jika aku menarik diri, menjauh dari pistol itu. Tapi semuanya tak kulakukan. Aku
rasa seharusnya aku takut, cemas, mencoba berteriak minta tolong karena ada orang gila yang
masuk seenaknya ke dalam rumahku dan mengintimidasiku—untuk kesekian kali, tetapi saraf
motorikku tak bekerja dengan baik, bagaikan mati rasa.

Aku hanya membalas lemparan pandangan Pak Jajang, mengadahkan kepala tanpa memberikan
ekspresi yang semestinya. Sekarang, aku mulai berpikir: Apa aku tidak takut mati? Tapi kenapa?
Apa karena aku sudah tidak bergairah untuk hidup? Maksudku ... apa tujuanku untuk
mempertahankan diri? Aku tidak memiliki keluarga, seorangpun. Jika mereka bisa pergi
meninggalkanku, kenapa aku tak boleh menyusul mereka?
Karierku sebagai seorang polisi tidak begitu buruk, pun tidak begitu baik, cenderung monoton.
Aku pikir, ketika pertama kali masuk ke dalam akademi kepolisian, aku bisa memberantas
kejahatan, dipandang sebagai seorang lelaki hebat yang mencoba mengamankan kota ini dari
kejahatan. Tapi? Tak jarang aku harus menelan ludah dari mereka karena ... ya, karena itu memang
tugasku—memberantas kejahatan. Tak ada rasa terima kasih yang keluar dari mulut mereka.
Sebaliknya, ketika aku mengungkapkan keberadaan orang-orang PK, mereka menghujat para
penegak hukum habis-habisan, melihat kami sebagai orang rendahan yang mengkhianati negara
ini. Bodoh, mereka tidak tahu ya bahwa aku, yang mengungkapkan keberadaan orang-orang PK
itu, juga seorang polisi?

Jadi, kenapa aku harus mempertahankannya?

Semua pemikiran itu bergumul menjadi satu. Apakah ini akhirnya? Apalagi dengan sialannya, tadi
siang, aku malah berkelahi dengan Wijaya.

Pak Jajang berteriak, "Aku ingin kau memberitahu di mana anakku berada!"

"Oke, oke, tapi tenang, oke?" Kembali kuacungkan kedua lenganku. "Saya akan membawa Bapak
ke suatu tempat, tapi saya tak bilang Yusup masih hidup, jadi jangan berharap terlalu lebih, oke?"

Kenapa aku masih bisa membohongi diriku sendiri, mengatakan bahwa Yusup 'mungkin' sudah
meninggalkan dunia ini, padahal aku tahu dengan jelas raganya masih bisa bergerak ke sana dan
ke mari? Aku tidak tahu, semuanya keluar begitu saja tanpa kupikirkan.

Apakah karena aku ingin melindungi Yusup dari ayahnya? Tapi kenapa?

Aku tak sempat berpikir lebih jauh, Pak Jajang terlanjur merenggut kerah bajuku, menariknya dan
sengaja menempatkanku, berdiri di hadapannya. Aku bisa merasakan moncong peredam
menyentuh pinggulku. Selain itu, walaupun aku tak berbalik, melihat raut wajahnya, aku bisa tahu
dengan jelas bahwa dia tak akan menurunkan tingkat pengawasannya terhadapku. Sialan, aku tak
menemukan celah untuk melawannya.

Pak Jajang mendorongku, dan aku terpaksa menginterupsinya karena kunci mobilku memang telah
kuletakkan di atas meja kamarku. Namun, laki-laki itu terus memaksaku berjalan sambil
melemparkan kunci mobilnya. Tentu saja, aku yang tidak melihat gelagatnya malah membuat
kunci itu terjatuh di hadapanku. Aku berjongkok, meraihnya, dan Pak Jajang benar-benar tak
melepaskanku dari pengawasannya barang sedetikpun.

Sialan. Di saat tak kubutuhkan, Luthfi selalu muncul. Sekarang, dia di mana!?

===

Dua jam telah kutempuh. Mungkin tiga jam, aku tidak tahu, dan aku tak memiliki kesempatan
untuk melihat jam.

Pak Jajang masih menodongkan pistol ke arahku, walaupun sekarang tidak sampai menyentuh
bagian-bagian tubuhku. Namun, lelaki itu benar-benar tak pernah melepaskan pandangannya
dariku. Sesekali aku menengok ke arahnya, mencari celah dalam berkendara, tetapi tak sekalipun
kulihat dia ikut terpana melihat jalanan yang gelap gulita—kami sudah berada di luar kawasan
kota. Walaupun begitu, aku mencoba untuk berkonsentrasi, melihat jalanan yang panjang tanpa
adanya satu pun kendaraan yang berpapasan.

Padahal, aku bisa menabrakkan mobil ini ke arah pohon—mungkin juga tiang listrik atau lampu
jika memang ada, tetapi aku tak memiliki jaminan Pak Jajang akan selamat. Atau tak selamat?

Kemampuan navigasiku memang tidak terlalu bagus, tetapi jalan satu-satunya yang bisa dilalui,
menuju ke arah bunker tempat di mana Yusup bersembunyi, tak memerlukan kemampuan khusus
dalam bernavigasi. Aku yakin beberapa menit lagi akan sampai, dan aku tidak tahu bagaimana
reaksi anak itu—jika memang ada di sana—melihat ayahnya yang paling tak ingin dilihatnya.
Apakah dia akan terkejut dan menghindar? Atau dia akan meraihnya, berlari ke arahnya dan
memeluknya karena ternyata Yusup sudah memaafkan ayahnya semudah sang anak yang
memaafkan ayah dan ibu tirinya dalam adegan-adegan sinetron? Aku tidak tahu. Jelas, aku tidak
tahu, karena aku bukan cenayang.

"Pak Jajang," kataku, memecah keheningan yang terjadi semenjak ... kami berkendara. Ya, dua
jam tanpa sepatah katapun keluar dari mulut kami masing-masing jelas membuatku bosan. Tapi
entah kenapa, aku tetap tak menemukan hasrat untuk memulai pembicaraan, setidaknya hingga
sekarang ini.

Pak Jajang yang sedari tadi tak melepaskan pandangannya dariku tak perlu mengeluarkan tenaga
yang banyak untuk menengok ke arahku. Dia hanya berdeham pelan, dan nadanya benar-benar
tidak bersahabat.

"Apa Bapak sudah gila dengan membuat rencana pembunuhan anak bapak sendiri?"

"Apa maksudmu?"

"Anda terlibat dalam pembuatan rencana pembunuhan anak Bapak sendiri, kan?"

Aku menengok sesaat. Guratan wajah yang tampak serius, dengan alis menukik tajam, yang
biasanya menghiasi wajah Pak Jajang sekarang ini berubah menjadi rasa penasaran. Aku bisa
melihatnya yang tak main-main.

"Tunggu dulu ... jadi Anda tidak tahu?" Aku memastikan, dan Pak Jajang masih belum melepaskan
wajah penasarannya itu.

"Tidak tahu apa?"

"Apa Anda terlibat dalam rencana pembunuhan untuk seseorang sekitar tujuh tahun lalu?"

"Apa hubungannya?"

"Anda ingin bertemu dengan Yusup atau tidak?"

"Seharusnya kau tahu jika saat ini, posisimu sedang tidak aman."

"Lalu? Anda membunuhku pun tak akan ada yang menangisiku, Pak. Anda membutuhkan saya,
bukan saya yang memohon-mohon pada Anda untuk tak membunuh saya."

"Kalau begitu kenapa kau membantuku?"


"Memangnya dengan saya menyetir, berarti saya membantu Anda? Memangnya Anda tahu
sekarang saya ingin membawa Anda ke mana?"

"Sialan!" Pak Jajang menyodorkan lengannya, dan sekarang sentuhan moncong peredam itu
kembali terasa pada pinggulku.

"Silakan saja."

Pak Jajang komat-kamit. Aku yakin, dia memberikan berbagai sumpah serapah yang sengaja
ditujukannya untukku. Tapi, bukan berarti hal itu berhasil membuatnya menarik pelatuk,
melukaiku, dan kemudian pergi meninggalkanku. Sebaliknya, dia hanya bisa mengekspresikan
emosinya dalam kata-kata tanpa tindakan.

"Jadi, apa Anda masih ingin bertemu dengan Yusup?"

Pak Jajang tidak menjawab.

"Apa Anda terlibat dalam rencana pembunuhan untuk seseorang sekitar tujuh tahun lalu?" Aku
mengulangi pertanyaannya, sama persis, dan Pak Jajang memerlukan beberapa waktu untuk
berpikir.

"Iya, aku terlibat," katanya, sedikit terbata, berusaha untuk menahan diri. Namun, semua terlanjur
keluar. Dia mengakuinya.

"Anda tahu siapa targetnya?"

"Seorang peretas yang ingin mengungkapkan organisasi kami. Si brengsek, memangnya apa
hubungannya dengan anakku?"

"Anda tahu siapa peretas itu?" Aku memberikan penekanan pada kata 'peretas', sekadar
memberikan petunjuk untuknya, dan itu berhasil.

Pak Jajang berpikir dengan keras, aku bisa melihatnya dengan jelas walaupun hanya seketika,
ketika aku mencuri pandang sebelum netraku kembali fokus pada jalanan.
Mulutnya terbata-bata, matanya mengerjap dengan cepat.

Pak Jajang sudah tahu jawabannya.

"Tidak mungkin," kilahnya. Aku rasa dia ingin menghalau pemikirannya yang paling buruk,
berpikir bahwa Yusup adalah peretas yang dimaksud. Sayangnya, memang benar begitu.

"Mungkin."

"Kau berbohong, sialan!"

"Anda tahu saya tidak berbohong, Pak. Jika Anda berpikir saya berbohong, Anda pasti tak akan
membiarkan saya menyetir karena Anda tak tahu ke mana saya membawa Anda. Anda
memercayai saya, dan Anda tak dapat menerima kenyataan itu."

Rumah itu sudah kulewati, rumah dengan bunker tempat Yusup bersembunyi, tetapi aku tak
menghentikan mobil ini. Pedal gas terus kuinjak, melewati malam yang dipenuhi oleh kabut tebal.
Jarak pandangku—kurasa—tak lebih dari lima belas meter, padahal lampu jauh telah kunyalakan.
Air sungai di samping kanan mengalir dengan deras, dan aku mulai khawatir karena tak pernah
menempuh perjalanan lebih jauh dari tempat ini. Bagaimana jika di depan sana ternyata hanya ada
jembatan rusak yang membuat buntu jalanan dan Pak Jajang mulai mengambil alih kemudi dan
memintaku untuk kembali ke kota Bandung?

Aku terus mencoba untuk bersikap tenang.

"Jadi, Anda benar-benar tak tahu jika peretas itu anak Anda, ya Pak?"

"Brengsek!"

"Anda tahu saya pernah punya seorang anak, kan? Walaupun anak angkat, bukan anak kandung,"
kataku, dan Pak Jajang tak merespon walaupun todongan pistolnya mulai mengendor. Ia menarik
lengannya secara perlahan. "Ketika saya tahu seseorang mengambil nyawanya, tak akan saya
pungkiri jika saya benar-benar marah. Beberapa kali saya sempat berpikir untuk mengambil
nyawanya dengan tangan saya sendiri, tetapi pada akhirnya saya mengurungkan hal itu."
Aku bisa mendengar suara napas Pak jajang yang mendengarkan ceritaku.

"Perasaan itu masih menyelimuti diri saya, tetapi saya yakin, bahwa saya tidak dilahirkan untuk
menjadi seperti. Saya selalu marah ketika mendengar namanya, ketika seseorang masih bisa
menaruh rasa percaya pada dirinya, dan saya tak akan menutup-nutupi hal itu."

Jalanan semakin gelap gulita. Kabut semakin tebal, dan aku bisa mendengar air sungai yang
mengalir semakin deras.

"Saya menemui keluarga si pembunuh. Bayangkan betapa seharusnya saya membenci mereka,
kan? Tapi hal itu tidak terlintas dalam benak saya. Saya tak membenci mereka, berpikir bahwa
mereka adalah keluarga dari seorang pembunuh. Karena apa? Karena saya tahu saya bukanlah
orang seperti itu."

Aku menengok sekilas, Pak Jajang masih mendengarkan ceritaku.

"Ketika saya berpikir bahwa dunia ini tidak adil, bagaimana seseorang merebut harta berharga dari
diriku, ternyata saya menemukan sebuah keadilan di dunia ini. Seseorang yang mendapatkan
balasan karena dia adalah seorang munafik brengsek yang bersembunyi dalam topeng kebaikan."

Aku menarik napas, dan untuk pertama kalinya, semenjak aku memulai paragraf-paragraf panjang,
Pak jajang berbicara.

"Hentikan, sialan!" pintanya. Namun, aku tak berhenti.

"Saya pikir Anda adalah seorang ayah yang tak punya hati dengan membuat rencana pembunuhan
pada anaknya sendiri."

"Aku bilang hentikan."

"Ternyata saya salah. Bahkan, lebih buruk. Anda tidak tahu bahwa Anda membuat rencana
pembunuhan untuk anak Anda sendiri."

"Sialan!"
"Anak Anda mati gara-gara Anda sendiri."

"Hentikan, brengsek!"

"Bagaimana perasaannya, Pak? Apa Anda merasa bersalah? Dari cara Anda berusaha sekeras
mungkin mencari anak Anda, Anda pasti benar-benar mencintainya, Ya? Berbeda dengan Januar
brengsek yang tidak peduli dengan keluarganya. Setidaknya Anda lebih baik."

"Roy, aku benar-benar akan menarik pelatuknya."

"Anda bisa mendapatkan sertifikat sebagai ayah terburuk."

"Roy ...."

"Seorang ayah yang ...." Itu kalimat terakhir yang tak sempat kuselesaikan. Secara tiba-tiba perutku
terasa panas, bagaikan tersengat listrik pada satu titik dan berhasil membuatku meringis kesakitan.

Aku pernah ditembak sebelumnya, dan aku tahu jelas bagaimana rasanya. Sekarang, hal yang sama
kembali terulang. Aku bisa merasakannya, dan sama persis. Secara spontan, aku meraba bagian
perutku, dan darah merah merembes keluar.

Pak Jajang melepaskan tembakan.

Keringat dingin menjalar dengan cepat, keluar dari pori-pori tubuhku. Aku mencoba kembali
berkonsentrasi pada jalanan, tetapi mataku kabur dengan cepat. Kedua kakiku tak dapat
membedakan pedal gas dan rem, membuatku tak bisa menghentikan laju kendaraan ini. Pikiranku
masih terlalu fokus pada derasnya darah yang merembes keluar dari pakaianku.

Pak Jajang berteriak-teriak, tetapi tidak seperti sebelumnya. Dia terdengar panik, mengucapkan
kata 'tidak' yang banyak sekali hingga tak dapat kuhitung dengan jari.

Pikiranku kabur, beriringan dengan pandanganku yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Dan
dalam setengah sadar, aku tahu Pak Jajang membuka kunci pintu pengemudi dan dia mendorongku
keluar dari mobil.
Aku melawan, tetapi rasa nyeri pada perutku berhasil merobohkan pertahanan. Aku berteriak,
keras, sesaat sebelum tergelincir dari mobil yang melaju. Aku berguling, sampai akhirnya
mencicipi permukaan air sungai dan membuat tubuhku basah kuyup.

Seharusnya aku bisa melawan, tetapi tidak bisa. Rasa sakit ini tidak main-main. Walaupun aku
rasa Pak Jajang tidak menembakku pada bagian vital, tetapi tubuhku semakin melemas.

Aku meringis, di dalam air, membiarkan derasnya air sungai membawaku.

Aku berpikir dalam kaburnya pemikiran.

Apakah ini akhirnya?


23. Ending

Langit cerah berhasil mengiringi pemakaman dengan khidmat. Tak ada isak tangis yang keluar,
walaupun renungan mendalam berhasil membuat siapapun mengingat segala tindakan yang pernah
dilakukan.

Orang-orang yang mengiringi kepergian itu tak begitu banyak. Bahkan, bisa dibilang sangat
sedikit. Bahkan, bisa disebutkan satu persatu: Komisaris Yudha, Riska, Yulda dan Ganira, dan
tentu saja Wijaya serta istrinya. Mereka tak saling bertegur sapa, tetapi mereka semua tahu alasan
satu sama lain berada di tempat ini.

Sebuah penanda makam dengan nama Roy menjadi pengingat bagi mereka semua bahwa orang
itu pernah ada dan hidup di dunia ini.

===

Satu bulan semenjak kematian itu, Wijaya masih menjalani hari seperti biasanya. Bukan seorang
polisi super hebat biarpun orang-orang menilai dirinya sebagai seorang yang cemerlang, bukan
pula seorang polisi brengsek yang tegabung dalam kelompok kejahatan hanya untuk memuaskan
dirinya. Penyelidikan kasus demi kasus ia ketuai, termasuk dengan kasus yang dibuka kembali
semenjak tujuh tahun lalu ditutup. Kasus hilangnya Yusup.

Kasus itu telah ditutup kembali dengan kesimpulan yang sedikit berbeda: Yusup bukannya kabur
dari rumah, melainkan diculik dan dibunuh. Mayatnya tak pernah ditemukan, persis dengan jasad
Roy yang tak pernah ditemukan. Bahkan, pemakaman yang dilakukan sebulan lalu harus dilakukan
tanpa jasad.

Wijaya mengamati seisi kota, dan dia bisa tersenyum senang karena tampaknya kota Bandung tak
perlu mengikuti kesedihan dirinya. Ia melihat aktivitas orang-orang seperti biasanya, tak tahu
bahwa di luar sana ada seseorang yang berjuang mati-matian hanya untuk mengungkapkan kasus
kejahatan. Ah, bahkan mungkin tidak hanya mati-matian, tetapi benar-benar mengorbankan
nyawanya. Namun, setidaknya Wijaya bisa melihat banyak orang di luar sana yang masih bisa
tertawa dengan bahagia.
Wijaya pulang, hampir tengah malam karena laporan kasus yang dibuatnya ternyata memiliki
beberapa kesalahan pengetikan dan terpaksa membuatnya kembali memindai dari awal sampai
akhir. Sebenarnya, hari ini merupakan hari-hari seperti biasa baginya, tak ada yang istimewa.
Namun, ketika ia membuka pintu, sesosok manusia segera ia lihat. Manusia itu bertindak dengan
cepat, bahkan sebelum Wijaya sempat berteriak.

"Tidak perlu berteriak dan membangunkan orang-orang, aku ada di sini bukan untuk
menghajarmu, membunuhmu, atau meminta uang darimu."

"Anda siapa?"

Manusia itu berdiri, kemudian mengenakan topi yang ditentengnya. Tanpa memperkenalkan diri,
manusia itu malah bertanya, "Kau mengenalku. Kita pernah bertemu."

Wijaya memerlukan beberapa waktu sampai akhirnya ia mampu menyadarinya.

"Anda adalah orang yang menembak Pak Roy pada waktu itu."

"Yang pertama, benar. Di bagian kakinya. Yang kedua, bukan aku."

"Apa yang Anda lakukan di rumah saya?"

"Aku yakin kau sudah mendengar rekaman yang kukirimkan."

Wijaya terbelalak. "Jadi Anda yang mengirimkan rekaman itu?"

Rekaman yang manusia itu maksudkan adalah rekaman percakapan antara Roy dan Pak Jajang,
bentuk pengakuan Pak Jajang yang menyusun rencana pembunuhan anaknya sendiri, juga
teriakan-teriakan Roy yang menyatakan bahwa Yusup telah mati dan itu semua adalah salahnya—
salah satu alasan mengapa kasus Yusup ditutup dengan simpulan kematian Yusup. Namun,
rekaman itu dikirimkan oleh orang tak dikenal, begitu saja diberikan pada Wijaya. Sebenarnya,
Wijaya bisa saja menghiraukan rekaman itu, mengingat segala bentuk barang digital dapat
dimanipulasi oleh siapapun. Namun, ia sudah kenal lama dengan Roy, apalagi sebagai rekan kerja,
dan dia bisa memastikan bahwa suara di rekaman itu—biarpun terdistorsi dan terdengar berbeda
dari suara sebenarnya—adalah suara Roy. Ditambah dengan menghilangnya Roy di saat yang
bersamaan, Wijaya tak memiliki pilihan lain selain menganggap bahwa rekaman itu bukanlah
rekayasa.

Namun, tetap saja, selama ini dia tak pernah tahu siapa pengirimnya, setidaknya sampai manusia
di hadapannya ini mengaku.

"Kau bisa memanggilku Luis."

"Tapi itu tetap tak menjawab pertanyaan kenapa Anda harus datang ke rumahku dan masuk secara
sembarangan. Apa istriku tak ada di rumah? Lalu, bagaimana kau bisa mendapatkan rekamannya?"

"Dia sedang tidur, tenang saja," balasnya. "Dan anggap saja rekaman itu aku dapatkan karena
bekerja sama dengan Roy untuk mengungkapkan kasus Yusup dan juga memberikan pelajaran
pada ayahnya untuk tidak bertindak semena-mena."

"Memberikan pelajaran?"

"Sebenarnya, ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke sini."

Wijaya menelan ludah, tetapi tak sampai berbunyi keras.

"Kau tahu alasan Roy menghindar darimu di akhir-akhir penyelidikan kasus?"

"Bagaimana Anda tahu itu?"

"Roy sendiri yang menceritakannya," Luis menjawab. "Dia melakukannya karena tak ingin kau
terlibat. Dia tahu kapasitas orang-orang PK, dan dia tahu Yusup sudah tidak ada. Pada akhirnya,
aku dan Roy bekerja sama untuk memberikan pelajaran pada Pak Jajang, bahwa semua ini terjadi
karena ulahnya."

"Tapi rencana pembunuhan Yusup tidak seperti itu ... seharusnya kan ...."

"Tabrak lari, aku tahu. Tapi memangnya kau tidak pernah berpikir bahwa mereka memiliki rencana
lain?"
Wijaya tak bereaksi. Ia tahu Luis benar, bisa saja mereka memiliki rencana cadangan tetapi Roy
dan Wijaya tak menemukannya.

"Orang-orang PK hanya mempermainkanmu, berpura-pura bahwa mereka tak tahu menahu


dengan kasus itu. Dan aku rasa mereka sukses melakukannya, membuatmu berkelahi dengan Roy
di saat-saat terakhir."

Wijaya menghela napas. Kalimat-kalimat Luis membuatnya kembali mengingat saat-saat terakhir
ia bertemu dengan Roy—saat yang tidak baik.

"Aku dan Roy sengaja menjebak Pak Jajang. Roy menawarkan diri untuk menjadi umpan. Rencana
kami hanya berhenti sampai mendapatkan pengakuan Pak Jajang, tapi kami tak pernah menyangka
bahwa Roy benar-benar akan ditembak, dan lebih parahnya lagi dibuang ke sungai. Aku mengikuti
mobil mereka dari belakang. Aku melihat semuanya. Aku melihat tubuh Roy yang terpelanting
dari dalam mobil. Aku berusaha menyelamatkannya, tetapi aku tak dapat menemukannya. Itu
semua di luar dugaan, percayalah."

"Jadi, kenapa Anda ke sini, Pak Luis?"

"Sebelum melakukan itu semua, Roy menitipkan satu pesan padaku. Jika ada hal buruk yang
terjadi padanya saat itu—dan ternyata benar-benar terjadi—dia hanya ingin kau tahu bahwa dia
tak suka bagaimana kau bisa dengan mudah memercayai orang-orang PK dan menganggap semua
kalimat yang keluar dari mulutnya masih memiliki peluang untuk dipercayai." Luis menelan ludah,
sekadar melumas kembali tenggorokannya yang kering. "Tapi, bagaimanapun juga, kau adalah
rekan kerja terbaik untuknya. Satu kesalahan kecil tak membuatnya lupa akan seluruh kerja sama
yang pernah dia lakukan bersamamu. Maaf aku baru datang setelah satu bulan berlalu, tetapi aku
hanya ingin memastikan bahwa kau sudah hampir melupakan kasus Yusup sebelum aku
menemuimu."

Luis menarik napas.

"Yang ingin dia katakan adalah, 'kau dan Roy akan selalu menjadi yang terbaik'. Itu pesannya."
Wijaya mematung, tak memberikan komentar apa-apa. Dia hanya bisa melongo layaknya orang
bodoh ketika Luis pergi berjalan, melaluinya, dan segera keluar dari rumahnya sambil memberikan
pesan lain untuk Wijaya, mengatakan bahwa Wijaya tak perlu khawatir karena ia tak akan pernah
bertemu lagi dengannya.

===

Apakah kenyataannya seperti itu?

Ketika pertanyaan itu mencuat, mungkin ada dua opsi yang bisa kau pilih: Itu tidak benar atau itu
seratus persen benar. Namun, bagaimana jika sebagian dari pernyataan itu benar dan sebagiannya
lagi tidak benar?

Yusup masih hidup, kalian tahu itu. Jadi, itu adalah salah satu kebohongan yang Luis ungkapkan
secara terang-terangan. Tapi, tentu saja kalian tahu dia berbohong karena kalian mengetahui
kenyataannya, kan? Wijaya tidak, jadi dia tak akan pernah tahu apakah itu adalah kebohongan atau
tidak. Wijaya hanya membuat sebuah aksioma: Yusup telah mati.

Lalu, bagaimana dengan cerita yang lainnya? Memangnya kalian tahu kenyataannya? Memangnya
kalian melihat sudut pandang yang lain?

Luis—atau yang kalian kenal dengan si sialan Luthfi—tak pernah menyusun rencana dengan Roy.
Maksudnya, gila, memangnya bagaimana caranya ia membuat rencana yang melibatkan emosional
kompleks manusia? Pak Jajang mendatangi rumah Roy seorang diri, menodongkan pistol padanya
seorang diri, dan itu semua tidak terencana. Jadi, sekarang kalian tahu Luthfi memberikan satu
kebohongan yang lain lagi.

Atau mungkin sebaiknya seluruh kejadian diceritakan saja, ya?

Luthfi mendengar ancaman yang Pak Jajang berikan pada Roy, dan dia berusaha secepat kilat
menuju rumah Roy, mengendarai mobil di tengah malam sambil meminta bantuan Yusup
memonitor percakapan mereka. Sayangnya terlambat. Ia bisa mendengar dari alat penyadap—atau
malware penyadap—yang ia tanamkan pada ponsel Roy jika mereka telah mengendarai mobil.
Tentu, bukan berarti semuanya berakhir. Luthfi mencari tahu ke mana sekiranya Roy akan pergi.
Ada banyak kemungkinan tempat ia menuju, tetapi ada satu hal yang mengganjal pikirannya:
Kenapa Roy malah mempersilakan Pak Jajang untuk duduk? Tentu, karena Roy menunggu
kedatangan Luthfi, dan itu disadarinya. Namun, merasa tak akan dikunjungi, akhirnya Luthfi tahu
bahwa Roy lah yang akan menuju ke sana, membuat Luthfi sengaja memutar arah, kembali menuju
rumah bobrok yang dibangun di atas bunker.

Menit demi menit berlalu, sampai Luthfi yakin benar bahwa Roy malah melewati bunker dan
bukannya menepi. Jalanan yang sepi, tak pernah ada mobil yang melintas di malam hari,
membuatnya yakin bahwa itu adalah mobil—walaupun bukan mobil Roy—yang ia kendarai.
Luthfi tak ambil pusing. Ia mencoba menyusulnya, dan kabut tebal berhasil menutupi jejak
penguntitannya walaupun dengan begitu, ia harus bersusah payah pula mengejar mereka dalam
kegelapan yang tak dapat dengan mudah ditembus oleh sinar.

Lihat, kan? Bagaimana mungkin cerita semacam itu bisa direncanakan dengan mudah? Orang
sepintar apapun tak bisa memprediksi banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi dalam waktu
yang cepat.

Namun, bukan berarti Luthfi tak melihat bongkahan tubuh yang keluar dari mobil. Ia melihat Roy
yang jatuh, tercebur, dan tidak berdaya. Semua itu terlihat dengan jelas—walaupun kabut tebal
menutupi jalanan—di depan matanya. Ia terus berkendara, perlahan, sedangkan di saat yang
bersamaan Luthfi kehilangan mobil yang ada di depannya.

Namun, apakah itu berarti Luthfi menyaksikan pembuangan mayat di depan wajahnya? Kata
siapa?

Sepulang dari rumah Wijaya, Luthfi kembali memasuki wilayah kekuasannya. Jika sebelumnya ia
selalu melihat sesosok manusia di dalam bunker, duduk di depan komputer dengan jemari yang
terus menari di atas keyboard, kini ia melihat dua sosok manusia, dan tentu saja keduanya tidak
asing.
Luthfi melihat sebagian kecil tubuh itu yang tersangkut di tepi sungai. Dengan bantuan senter
ponselnya, ia bisa tahu bahwa Roy ada di sana, terbujur dengan lemah dan ditempa oleh derasnya
air sungai. Ia berhasil menarik tubuh Roy keluar dari lubang kematiannya.

Itu adalah cerita lengkapnya. Bagaimana? Tidak sepenuhnya jujur tetapi tidak sepenuhnya bohong
juga, kan?

Aku tertawa menyeringai melihatnya masuk ke dalam bunker.

"Luis? Nama samaran macam apa lagi itu Lin?"

Ah iya, aku juga lupa memberitahu. Selama ini kalian juga dibohongi, karena dia bukan Luthfi.

Laki-laki bertopi itu membalas seringaianku.

"Selamat datang di kelompok orang-orang mati, Roy."

Anda mungkin juga menyukai