Anda di halaman 1dari 205

1.

All That Remains

Manusia cenderung menghindari sebuah tempat yang tidak diinginkannya. Sebagai manusia, aku
pun merasakan hal yang sama, ingin keluar dari tempat yang kumuh ini—tempat yang sedikit
gelap dengan dinding yang sudah berlumur noda akibat debu yang menempel. Namun,
keterpaksaan membuatku duduk lebih lama, menyandarkan tubuhku dan menahan beban yang
semakin lama semakin terasa berat sembari mendengarkan atasanku yang tengah berbicara.
Suaranya sedikit terdistorsi, telingaku tak dapat menangkapnya dengan baik akibat rasa kantuk
yang menyelimuti pikiranku. Bahkan, aku tertunduk beberapa kali.

Ah ya, aku berada di ruang rapat—ruang penumbalan. Di mana tentu saja seseorang, atau mungkin
beberapa di antara kami, akan ditunjuk untuk menyelidiki sebuah kasus. Itu juga lah alasan
mengapa aku tak ingin berlama-lama di tempat ini. Karena aku tahu, sekali diriku dipanggil,
artinya ada sebuah kasus yang entah harus kuterima dengan bahagia karena aku mendapatkan
pekerjaan, tidak menjadi seseorang yang menerima gaji buta, atau harus bersedih karena aku tahu
suatu kasus sedang terjadi.

Wijaya berbeda denganku, tubuhnya tegak dengan kepala yang tak digerakkannya sama sekali.
Alisnya menajam, membuat kerutan pada kening putihnya, sedangkan kedua tangannya mengetuk
meja, hampir tak terdengar oleh siapapun, berulang kali hingga aku dapat mengingat dengan jelas
nada yang ditimbulkannya. Jika jiwa musisi ada dalam tubuhku, mungkin ketukan Wijaya sudah
kujadikan sebagai nada dasar untuk mengaransemen lagu.

Wijaya duduk di sampingku pada bangku paling belakang—kegemaran kami. Mungkin, Wijaya
hanya mengikutiku yang terbiasa untuk duduk di bagian ini, sehingga membuatnya terbiasa untuk
duduk di sini. Ah, iya, sesuai janji Komisaris Yudha yang kini tengah berbicara di depan, akhirnya
hampir setiap kasus yang diberikan padaku juga diberikan pada Wijaya, menjadikan kami sebagai
rekan kerja yang tak terpisahkan selama berada dalam satu divisi, tetapi aku tak
mempermasalahkan hal itu. Selama ini, semuanya berjalan cukup lancar. Beberapa kasus setelah
kasus pertama Wijaya, dapat kutangani dengan baik bersama dirinya. Tak ada perbedaan pendapat
yang terlalu signifikan. Bahkan, semua kasus dapat ditutup dengan alasan yang jelas. Semakin ke
sini pun Wijaya tampak lebih lihai dalam menangani kasus. Selalu berpikir rasional, teliti seperti
biasanya, membuatku merasa menjadi orang tolol karena tak dapat mengimbanginya. Namun,
Wijaya masih tetap menghormatiku sebagai seorang senior yang padahal tidak begitu kupedulikan.
Ia selalu saja rendah diri. Dasar, kebiasaan.

Komisaris Yudha memberikan gambaran singkat mengenai kasus yang baru ditemukan pagi ini.
Seorang mayat laki-laki ditemukan di dalam mobil yang terparkir pada daerah Cipaganti. Daerah
perumahan yang setahuku lumayan sepi, khas tempat tinggal orang-orang elit. Bahkan, saking
sepinya, aku tak ragu antara satu orang dengan orang yang lain, yang saling bertetangga, tak
mengenal satu sama lain. Tentu saja aku berani berkata begitu karena beberapa kasus pun pernah
terjadi pada lokasi dengan lingkungan yang mirip. Bukan tempat orang mati, mungkin hanya
karena orang-orang yang tak begitu suka bersosialisasi—aku dapat memahaminya.

Mobil tersebut ditemukan oleh salah satu penghuni rumah yang hendak mengeluarkan mobilnya.
Namun, mengetahui ada seseorang yang memarkir mobilnya sembarangan, di depan rumahnya, ia
menjadi gusar. Sang penemu mengetuk mobil beberapa kali setelah mengetahui ada seseorang di
dalamnya. Namun, tak ada respon, akhirnya lelaki itu merasakan sesuatu yang tak beres. Semakin
lama, semakin kencang ia ketuk pintu mobil untuk penumpang depan. Namun, tetap berakhir
dengan kekosongan. Sang pria yang berada di dalam mobil tak bergerak—diam. Tentu, sang
penemu berpikir bahwa lelaki yang berada di dalam mobil itu tertidur. Namun, pemikiran itu harus
disingkirkannya jauh-jauh ketika menengok pada bagian bangku penumpang tengah. Sebuah alat
pembakaran dengan bara yang menyala terlihat walaupun tidak begitu jelas, membuat sang
penemu tak berpikir panjang untuk menghancurkan kaca mobil bagian belakang, mencoba
menyelamatkan nyawa lelaki itu. Tentu dibarengi dengan kecekatannya untuk menghubungi
kami—pihak kepolisian.

Beberapa petugas telah dikirimkan, mengamankan lokasi dari orang-orang yang tak bertanggung
jawab. Namun, tetap tugas kami untuk menyelidiki semuanya, kan?

"Pak Roy dan Pak Wijaya." Komisaris Yudha mengayunkan lengannya, terhenti di udara dengan
telunjuk yang mengarah padaku, atau mungkin Wijaya, yang jelas di antara kami, atau malah
maksudnya adalah keduanya—aku dan Wijaya. Namun, yang pasti ucapannya itu membuatku
terpaksa membuka mata, tak ingin terlihat lelah dan mengantuk, membuat lagak yang sama seperti
yang ditampilkan oleh Wijaya.

"Saya serahkan kasus ini pada Anda berdua," lanjutnya, sembari menurunkan lengannya. Serentak
aku dan Wijaya membalas, "Baik, Pak."

Tak ada lagi bahasan yang diberikan biarpun Komisaris Yudha menawarkan waktu untuk
mendiskusikan masalah ini lebih jauh. Jadi, ia segera menutup pertemuan, membuat orang-orang
membubarkan diri setelah mereka memberikan ucapan semoga berhasil pada kami. Beberapa di
antara mereka memberi kami nasihat untuk segera menuntaskan kasus ini dengan cepat—dasar
manusia—dan membereskan laporannya. Padahal aku sendiri belum tahu secara jelas kasus yang
dimaksud.

Aku belum beranjak, begitu pula dengan Wijaya. Alih-alih mengangkat tubuhnya dari bangku
keras yang membuat punggung kesakitan, Wijaya menolehkan wajahnya, melihatku sambil
mengangkat sebelah alisnya.

"Mau pakai mobil saya, Pak?"

Akhirya, aku berdiri, bertumpu pada kedua kakiku sambil menahan beban punggungku pada
telapak tangan yang masih menempel pada meja.

"Boleh," balasku. "Terakhir kali, kita menggunakan mobilku, kan?"

Wijaya mengangguk. "Saya akan mengambil ponsel saya dulu, Pak, tak sengaja tertinggal di
ruangan." Kemudian, Wijaya merogoh kantung celananya, menimbulkan suara gemericik khas
kunci yang bersentuhan dengan gantungannya. "Jika Anda ingin menyetir, saya ...."

"Aku akan menunggu, Wijaya. Kau saja yang menyetir, lagipula kurasa aku sedang dalam kondisi
yang tak baik untuk menyetir."

"Ah, oke, Pak."

Kami meninggalkan ruangan ini, kosong, sembari menutup pintu dengan perlahan.
===

Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan oleh Komisaris Yudha, seharusnya kasus ini bukanlah
kasus yang rumit. Bunuh diri—itulah yang kusimpulkan. Kalaupun tidak, kemungkinan besar
seseorang memberikan obat tidur pada sang korban. Lalu, dengan sengaja sang pembunuh
memarkirkan mobilnya di tempat yang sepi, membiarkan sang korban memiliki waktu yang cukup
lama untuk mengisap karbondioksida yang memenuhi isi mobil akibat pembakaran arang,
membuat sang korban meninggal secara perlahan—cara yang menyakitkan walaupun sang korban
tak menyadarinya karena ia tertidur. Artinya, aku hanya perlu mencari tahu sang pemilik mobil,
menghubungi orang-orang yang bersinggungan dengan sang pemilik mobil, juga korban, mencari
tahu sang pelaku, kemudian menjeratnya dengan pasal pembunuhan.

Jadi, di sinilah kami, mendapati orang-orang yang tengah mengerumuni sebuah mobil dengan kaca
yang pecah. Masyarakat sipil—yang sebenarnya sedikit mengganggu—sedikit menghalangi
langkahku. Bahkan, untuk mengambil jarak lima meter dari mobil yang bermasalah itu pun harus
kudorong bahuku, menepis lautan manusia yang cukup membuatku bingung, kenapa tempat ini
baru ramai setelah adanya kejadian?

Walaupun tak berkata apa-apa, kurasa Wijaya setuju denganku. Mukanya sedikit masam, terlihat
sebal dengan suasana yang ada. Membuatku menertawakannya.

"Jangan terlihat kesal seperti itu," perintahku padanya, membuatnya sadar bahwa ia tak begitu
enak dipandang, hingga akhirnya Wijaya kembali memberikan mimik normalnya.

Seorang petugas terlihat sedang bekerja, mencari suatu barang yang mungkin akan ditemukan—
entah apa itu. Ia membuka dasbor mobil, meraba bagian dalamnya, seolah-olah mencari sesuatu.
Lalu, sambil sedikit mengendap-endap, kutepuk bahunya, memberikan isyarat bahwa aku telah
berada di sini.

Petugas itu sedikit terkejut. Ia langsung berbalik, melepaskan kegiatannya dengan segera.

"Pak," sapanya begitu menyadari aku telah berada di belakangnya.


Aku tidak mengenal orang ini, sungguh, tetapi tampaknya ia mengenalku dari caranya menyapa.
Ia langsung tahu bahwa aku adalah orang yang akan mengusut kasus ini sehingga seharusnya tak
perlu kuperkenalkan diriku padanya. Namun, kurasa tidak etis rasanya seandainya tak
kuperkenalkan diriku pada sang petugas ini.

"Kami baru sampai di tempat kejadian perkara," jelasku. "AKP Roy. Dan dia—" Kutunjuk Wijaya.
"AKP Wijaya. Bisa kau jelaskan situasi yang ada?"

Petugas itu kini berdiri di hadapanku, membelakangi dasbor mobil dengan mayat yang masih
duduk kaku di belakangnya.

"Tunggu sebentar, Pak." Petugas itu mengambil buku catatannya yang sengaja disimpan dalam
saku kemejanya. Sungguh cara yang sangat klasik. Maksudku ... bukankah hampir semua orang
saat ini menggunakan ponsel untuk mencatat hal yang dianggap penting?

"Sekitar pukul lima lewat lima belas menit, Pak Erlangga, sang pemilik rumah itu—" Petugas itu
mengarahkan lengannya pada sebuah rumah bercat putih dengan halaman yang begitu luas, rumah
yang terletak tepat di samping mobil ini—mobil yang bermasalah. Membuatku berasumsi bahwa
Pak Erlangga adalah orang pertama yang menemukan mayat di dalam mobil, seperti yang
diceritakan Komisaris Yudha. "Hendak mengeluarkan mobilnya. Namun, sebuah mobil terparkir
tepat di depan rumahnya, membuat Pak Erlangga mencari tahu siapa sang pemilik mobil. Namun,
begitu mendekati mobil ini, ia menyadari bahwa seseorang tengah berada di dalam mobil."

"Kemudian dia menyadari adanya alat pembakaran dengan bara yang menyala, kan?"

"Benar, Pak. Semacam alat pembakaran yang digunakan untuk memasak sate," balas sang petugas.
"Akhirnya Pak Erlangga memecahkan kaca bagian belakang mobil karena berdasarkan
kesaksiannya, pintu mobil terkunci dan kuncinya pun masih tergantung dengan mesin dalam
keadaan mati."

Kuperhatikan dengan seksama. Memang, pecahan kaca berserakan di mana-mana, memenuhi


aspal berwarna hitam, bagaikan berlian yang muncul dari dalam tanah.
"Tunggu dulu," tukasku. "Apa tadi kau mengatakan bahwa pintu mobil terkunci dengan kunci yang
tergantung di dalam?"

Petugas itu mengangguk.

"Apa Pak Erlangga mengatakan sesuatu yang lain? Sesuatu yang aneh. Maksud saya, jika
keadaannya seperti itu, artinya orang ini bunuh diri, kan?"

"Ya, saya rasa, Pak. Mungkin saja." Sang petugas memutar kepalanya, memperhatikan mayat yang
seolah sedang mendengarkan pembicaraan kami. Namun, pada saat yang bersamaan, di saat itu
jugalah kusadari bahwa Wijaya ternyata tak mendengarkan percakapan kami dengan seksama. Ia
terlalu sibuk memperhatikan kondisi mayat. Beberapa kali ia bolak-balikkan kepala mayat itu.
Bahkan, ia mengangkat dagunya, seolah-olah mayat itu adalah sebuah boneka yang layak untuk
dimainkan—tentu saja tidak.

Namun, aku sendiri tak ingin ambil pusing. Sudah jelas, kan? Sebuah mobil yang terkunci dari
dalam dengan sesosok mayat yang ada di dalamnya. Bagaimanapun, seandainya ini adalah
pembunuhan, tak mungkin ada seseorang yang dapat keluar dari dalam mobil itu dengan mengunci
pintunya tanpa membawa kuncinya. Selain itu, mobil yang diparkirkan ini termasuk mobil lama,
sebuah Karimun Suzuki keluaran tahun 2000-an berwarna putih tanpa kunci digital. Tak ada remot
yang dapat dilepaskan, mengunci mobil ini dari luar.

Brengseknya, berbeda dengan pendapatku. Wijaya segera bertanya, "Pak, seandainya Anda
menemukan mayat seperti ini, apa yang Anda pikirkan?"

Apa yang anak itu pikirkan?

Wijaya menyingkir, membiarkanku melihat mayatnya secara leluasa. Dari jarakku ini, mayat itu
tampak biasa. Duduk dan tertunduk, atau mungkin setidaknya semacam itu karena Wijaya telah
mengotak-atik posisi mayat, walaupun aku yakin tidak begitu berpengaruh. Namun, aku mencoba
mencari tahu apa maksud dari pertanyaanya, membuatku melakukan hal yang sama seperti yang
Wijaya lakukan—setidaknya yang kulihat.
Mayat itu adalah seorang laki-laki. Yang jelas, ia bukan laki-laki biasa. Gaya rambutnya yang
modis memperlihatkannya sebagai seseorang yang cukup muda, mungkin dua puluh lima hingga
dua puluh tujuh tahun. Mengenakan kemeja dengan kancing yang sengaja dilepaskan,
memperlihatkan kaus putih sederhana, tetapi tetap terlihat modis. Lengannya sedikit besar,
mungkin karena rajin berolahraga, biarpun bagian tubuhnya tak menunjukkan tanda-tanda
semacam itu. Namun, pusat perhatianku kini mengarah pada kepalanya. Entahlah, aku tidak yakin,
aku hanya ingin melakukan apa yang Wijaya lakukan sejauh yang kulihat.

Kudongakkan kepala mayat itu sembari memohon maaf dalam hati—kebiasaanku. Hampir saja
aku menghina Wijaya karena kurasa tak kutemukan apa-apa, sebelum kuperhatikan secara
seksama leher bagian atas mayat ini. Sebuah goresan tipis melintang, semacam luka yang
memanjang. Namun, benar-benar tipis hingga aku sendiri hampir tak menyadarinya.

Bekas jeratan.

"Orang ini tak mungkin menjerat dirinya sekaligus sengaja menyalakan arang untuk menghirup
karbondioksida." Aku menghela napas. "Aku ingin mengatakan dia mencoba bunuh diri dengan
menjerat lehernya, tetapi pada akhirnya ia mencoba bunuh diri dengan menghirup karbondioksida.
Tetapi aku yakin kau tak akan setuju denganku. Iya, kan, Wijaya?"

"Sejujurnya, Pak, saya sendiri masih ragu. Dia bisa saja bunuh diri, tetapi tak menutup
kemungkinan seseorang membunuhnya."

"Mobil ini terkunci, kunci mobil ini tergantung pada kemudi. Selain itu, tak mungkin seseorang
dapat mengunci mobil dari luar tanpa kuncinya, kan?" Aku berjalan memutar, menuju bagian
pengemudi, memperhatikan secara seksama dan dapat mevalidasi bahwa kunci itu masih
tergantung pada tempatnya, tak berpindah. Seandainya sang saksi—Pak Erlangga—jujur, maka
seharusnya kematian lelaki ini memang bunuh diri. "Jika memang lelaki ini dibunuh, dijerat hingga
mati dan sang pembunuh sengaja mengatur sedemikian rupa sehingga semuanya terlihat seperti
bunuh diri, bagaimana caranya keluar dari mobil ini dalam keadaan terkunci tanpa mengeluarkan
kuncinya?"

"Pak, apa Anda ingat kasus Dokter Ryan?"


Demi apapun, sesungguhnya aku benar-benar tak ingin mengingat kembali masalah itu. Masalah
kompleks yang biarpun menjadi awal kedekatanku dengan Wijaya. Namun, dalam sekejap, seluruh
rangkaian kasus itu seolah terpampang secara nyata di depanku, visualisasi dari pekerjaan otakku
yang brengsek.

"Kenapa?" Kusilangkan kedua lenganku, memangku dada.

"Sejujurnya, Pak, dari sana saya mulai berpikir bahwa kejadian yang paling tak mungkin terjadi
pun ternyata sangat mungkin terjadi." Wijaya meneguk ludahnya. "Ketika seorang tersangka
berada di dua tempat yang bersamaan, ketika ternyata kenyataan kasus berbeda dengan pemikiran
awal kita. Dalam sekejap, hal tersebut terlintas dalam benak saya. Jadi, jika pada kasus itu pun
sesuatu yang tak mungkin terjadi dapat terjadi, mengapa tidak dengan kasus ini?"

Aku menghela napas. "Apa kau sendiri tadi mendengar penjelasan petugas itu?"

Aku baru sadar, petugas itu ternyata tak seharusnya kusebut sebagai 'itu', karena ia masih berdiri
tepat di sampingku, mengikutiku berjalan ke bangku pengemudi. Tanpa suara, seperti hantu.
Namun, pada akhirnya kuralat kalimatku.

"Dia," kataku, sembari menunjuk sang petugas yang kumaksud. "Bagaimana caranya?"

"Saya hanya berkata mungkin, Pak," balas Wijaya, tak begitu senang dengan balasanku. Mungkin,
ia merasa menjadi orang tolol karena kesimpulan yang dibuatnya tak kutanggapi dengan baik. Jadi,
pada akhirnya, aku mencoba menengahi permasalahan ini, antara egoku dengan egonya.

"Bagaimana jika kita mencari tahu sebab kematiannya terlebih dahulu? Apakah memang lelaki ini
mati karena menghirup asap setelah sebelumnya mencoba bunuh diri dengan menjeratkan
lehernya, atau memang mati tercekik. Untuk saat ini mari kita kesampingkan terlebih dahulu
bahwa mayat ini terkunci di dalam mobil," kataku. "Jika ia mati tercekik ... atau dicekik, aku setuju
bahwa kasus ini bukanlah bunuh diri. Namun, jika lelaki ini mati karena menghirup asap,
kemungkinan besar dia bunuh diri. Bagaimana? Kau setuju?"
Wijaya memutarkan kedua bola matanya, beberapa kali, membuatku menunggu dengan sabar
sembari meletakkan lengan kananku pada bagian atas mobil yang tak begitu tinggi. Ah, mobil ini
benar-benar kecil—city car.

Akhirnya, setelah beberapa detik, Wijaya memangku dadanya, tersungging sambil kembali
mengangkat sebelah alisnya.

"Setuju."
2. All That Remains II

Aku harus bersyukur karena tak dilahirkan dalam keluarga yang senang bertaruh uang, menyimpan
sebagian besar harta kekayaan dan menunggu keberuntungan berpihak pada mereka, yang
seandainya tidak, artinya mereka akan menyesali perbuatannya, tetapi tetap tak belajar dari
kesalahannya, tetap berjudi. Sebenarnya, situasi yang sama sedang terjadi padaku, mencari tahu
apakah sang lelaki yang telah menjadi mayat ini sebenarnya korban pembunuhan atau bunuh diri.
Mungkin, aku bisa memasang dengan harga sejuta dengan meyakinkan Wijaya bahwa lelaki ini
bunuh diri. Namun, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak terlahir dalam keluarga yang
seperti itu.

Kerumunan manusia semakin menipis. Kini, aku dapat melihat celah kosong di antara bahu orang-
orang yang sebelumnya tak tampak. Selain karena waktunya berangkat kerja—yang padahal waktu
telah menunjukkan pukul tujuh pagi—dan membuat mereka memilih untuk meninggalkan lokasi
ini dengan cepat, kurasa karena mereka pun berpikir bahwa kasus ini adalah kasus remeh, yang
biasa terjadi atau dapat terjadi pada siapapun dan kapanpun. Walaupun begitu, aku harus tetap
profesional dengan menjalankan segala prosedur yang ada. Itulah yang membedakanku dengan
masyarakat sipil.

Kuperintahkan Wijaya untuk menelisik sekitar, menyisiri seluruh tempat kejadian tanpa
meninggalkan satu titik pun hal yang mungkin luput dari penglihatan. Aku memercayainya—tentu
saja—sebab Wijaya adalah orang paling teliti yang pernah kukenal. Kurasa akan lebih efektif jika
ia melakukannya, sementara aku lebih memilih untuk mendekati Pak Erlangga yang berdiri tak
jauh dari petugas polisi, memandangiku yang tengah melangkahkan kaki mendekatinya.

Dalam penglihatanku, seorang lelaki paruh baya, bertubuh kurus dengan kemeja putih polos
berdiri bungkuk. Kacamatanya menghiasi wajah dengan kerutan yang sedikit memenuhi
wajahnya. Rambutnya beruban, tetapi hanya sebagian, membuat warna abu yang malah
membuatnya terkesan eksotis. Kaki-kakinya menopang beban tubuhnya dengan sempurna,
bercelana bahan hitam dengan pantovel yang mengilap. Tipe pria paruh baya yang bisa berada di
manapun.
Begitu jarakku tak terpaut jauh dengannya, aku segera menyapa, "Pak Erlangga?"

Pak Erlangga mengeluarkan kedua tangannya yang sedari tadi dimasukan ke dalam masing-masing
saku celana, membuat kepalan tangan yang tergantung di samping tubuhnya.

"Ya?"

Kuulurkan lenganku. "Perkenalkan, saya Roy, yang akan menyelidiki kasus ini."

"Erlangga." Pak Erlangga membalas jabatan tanganku, mengayunkan lengannya ke atas dan ke
bawah. Kemudian, tak berselang lama, kulepaskan keramahannya itu, kembali memosisikan kedua
lenganku pada tempat yang biasanya.

"Mohon koreksi jika saya salah, Pak. Pak Erlangga adalah orang pertama yang menemukan mayat,
kan?"

"Ya, saya orangnya."

Lelaki ini benar-benar santai, seolah-olah penemuan mayat yang menimpanya adalah kejadian
biasa, bukan sesuatu yang sangat luar biasa yang membuatnya harus menyombongkan diri,
mengambil sebuah foto dan menarik perhatian banyak orang begitu jepretannya diunggah ke
media sosial.

"Saya ingin menanyakan beberapa hal. Sekiranya Bapak berkenan, saya hendak menanyakannya
sekarang."

"Saya tidak keberatan."

Kusisir sekeliling. Memang, biarpun suasana di tempat ini sudah lengang, tidak seramai
sebelumnya, tetapi masih belum cukup tertutup bagiku untuk mendapatkan informasi yang
mungkin saja di antaranya tidak boleh diketahui oleh banyak orang. Jadi, kuraih bahu Pak
Erlangga, mendorongnya secara halus, isyarat baginya untuk pergi ke tempat yang lebih aman,
menuju mobil yang bermasalah, menjaga jarak beberapa meter dari kerumunan orang-orang yang
tak dapat mendekati lokasi lebih dekat lagi. Kemudian, seolah mengerti maksudku, Pak Erlangga
segera mengikutiku, melangkahkan kakinya sesuai dengan ketukan sepatuku.

Begitu kurasa cukup, lenganku kulepaskan, mengambil ponsel dan segera membuka memo,
bersiaga untuk mencatat ucapan Pak Erlangga yang sekiranya kubutuhkan. Aku tahu, mungkin
merekam suaranya akan jauh lebih baik, aku dapat mendengar ulang seluruh kalimat yang ia
lontarkan, tapi tidak dengan suara kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jarak yang tak cukup
jauh.

Kucatat tanggal hari ini beserta tulisan 'Erlangga – saksi 1' yang sengaja kusimpan di bawahnya.
Tanpa memperlihatkan catatanku itu padanya, aku segera berkata, "Anda bisa menceritakan
terlebih dahulu mengenai Anda, Pak. Mulai dari umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan sebagainya."

Pak Erlangga tampaknya langsung mengerti. Tanpa basa-basi, dia segera menjawab pertanyaanku.
"Umur saya 47 tahun, saya dosen di salah satu universitas di kota ini. Tempat tinggal saya, Anda
dapat melihatnya, Pak, tepat di samping mobil yang terparkir ini."

"Ada nomor yang bisa saya hubungi?"

Pak Erlangga segera menyebutkan sederetan angka yang kucatat secepat mungkin sebelum
jemariku berhenti karena tak dapat menyamai kecepatan bicaranya, membuatku menanyakan
ulang pertanyaanku. Untungnya, setelah kali kedua kutanyakan pertanyaan yang sama, aku dapat
menuliskannya dengan baik—setidaknya setelah kukonfirmasi.

"Baiklah, Pak. Anda dapat menceritakan kronologi kejadiannya. Saya harap sedetail mungkin."

Pak Erlangga mengerutkan keningnya, terlihat berpikir keras.

"Sekitar setengah enam pagi, setelah saya berpamitan dengan istri saya untuk pergi bekerja, saya
mendapati mobil ini terparkir di depan pagar rumah saya. Awalnya, saya kira seseorang
memarkirkan mobilnya dengan sembarangan." Pak Erlangga menengok, memperhatikan mobil
yang tengah terdiam di sampingnya juga di sampngku.
"Saya mencoba mencari tahu sang pemilik mobil. Awalnya saya kira tetangga saya, tetapi begitu
kuperhatikan, seseorang berada di dalam mobil ini, pada bangku penumpang. Saya mengetuk
pintunya, beberapa kali, tetapi orang itu tak menjawab. Lalu, saya melihat adanya alat pembakaran
di bangku belakang. Tanpa berpikir panjang, saya mencoba membuka pintunya, tetapi terkunci,
jadi saya langsung mengambil kunci inggris yang biasa saya simpan dalam mobil, langsung
memecahkan jendelanya. Segera setelahnya, saya memeriksa korban, tidak bernapas. Jadi saya
memanggil ambulans dan polisi."

Kuangkat sebelah alisku. "Saya bisa mengerti alasan Anda memanggil ambulans, Pak. Tapi kenapa
Anda menghubungi polisi?"

"Refleks," balasnya, masih dengan nada datar tanpa sedikitpun keraguan, membuatku menghela
napas dan mencoba menyelidiki lebih lanjut, karena seluruh informasi ini telah kudapatkan dari
Komisaris Yudha, tak ada tambahan sedikitpun kecuali identitas dari Pak Erlangga yang juga tak
begitu mendalam. Jadi, aku kembali bertanya padanya.

"Ketika pertama Anda menemukan mayat, Pak, bisa Anda deskripsikan bagaimana keadaannya.
Maksud saya ... segalanya, apapun yang menempel dalam pikiran Anda."

"Duduk, diam, tak bernapas, kemungkinan telah meninggal. Saya tak tahu apalagi yang bisa saya
ceritakan."

"Bagaimana dengan kondisi mobilnya?"

"Kondisi bagaimana?"

"Apakah mesinnya dalam keadaan menyala, atau sebagainya. Lalu, kapan Anda menyadari bahwa
kunci mobil tersebut masih menggantung pada lubangnya?"

Pak Erlangga terbelalak, seolah seluruh ketenangannya tadi sirna. Selain itu, ia mengangkat
sebelah alisnya, tanda keheranan. "Untuk mesinnya, saya yakin dalam keadaan mati. Untuk kunci
sendiri, saya tak memperhatikannya. Segera setelah mengecek kondisinya, saya segera menelepon
ambulans dan polisi, keluar dari mobil. Lagipula bukankah anak ini bunuh diri? Beberapa polisi
telah menanyakan hal yang sama pada saya, kenapa saya harus menjawabnya lagi?"
"Memastikan," tukasku, membuat Pak Erlangga menaikkan sebelah alisnya.

"Memastikan?"

Namun, aku tak ingin membahasnya lebih jauh. Segera kulayangkan topik yang lain.

"Apakah Anda mengenal korban?"

Pak Erlangga menggeleng. "Saya tak mengenal anak ini."

"Bagaimana dengan malam sebelumnya? Atau mungkin pagi hari, mungkin ada keanehan. Apakah
Anda mendengar mesin mobil yang menyala? Maksud saya ... tak mungkin mobil ini bergerak
sendiri, kan?"

"Saya pulang kemarin malam sekitar pukul delapan. Tak ada mobil yang terparkir di depan rumah
saya. Pagi hari pun saya tak mendengar apapun. Entahlah, mungkin memang ada, tetapi saya baru
bangun pukul lima pagi."

"Lalu, bagaimana dengan perumahan ini, apa Anda pikir tetangga Anda, atau siapapun itu
mendengar sesuatu sebelum mayat ditemukan?"

"Mungkin." Pak Erlangga menelan ludahnya dengan cepat. "Mungkin saja mereka mendengarnya,
tetapi tidak peduli. Ketika saya pecahkan jendela mobil ini pun, tak ada tetangga yang keluar
sekadar untuk melihat apa yang tengah terjadi. Ya, Anda tahu sendiri, kan, Pak?"

"Saya mengerti."

Uh, individualisme. Entah kenapa sifat seperti itu tak dapat dilepaskan dari kehidupan perkotaan,
utamanya di perumahan elit—biarpun tempat ini tidak terlalu seperti itu. Sejujurnya, aku sendiri
pun tak berhak menggeneralisasi satu sifat pada sekumpulan orang-orang tertentu. Brengseknya,
beberapa pengalamanku seolah mencegah hal itu, membuat otakku terpaksa mengumumkan
sesuatu yang seharusnya khusus. Aku tak berkata bahwa aku membencinya, hanya saja aku
berharap jika hal itu dapat dikikis, menghilang dari peradaban manusia.
Ponselku bukanlah keluaran terbaru, membuatku terpaksa membuka lembaran memo yang baru
karena keterbatasan karakter yang disediakan untuk satu memo. Walaupun begitu, aku tetap
berusaha menulis rangkuman dari seluruh wawancaraku sedetail mungkin. Kondisi yang ada,
keadaan sebelum penemuan mayat ini, semuanya. Lalu, merasa cukup, akhirnya kuakhiri seluruh
percakapan kami, berterima kasih pada Pak Erlangga karena telah bersedia meluangkan waktunya
untuk menjawab beberapa pertanyaanku yang spontan. Aku memang tak menyiapkan pertanyaan
apa-apa sebelumnya.

"Jadi, apa sekarang saya boleh meninggalkan lokasi?" tanyanya segera setelah kuucapkan terima
kasih padanya sembari membenarkan posisi kacamatanya, mencoba membuatnya terasa lebih
nyaman.

"Tentu," kataku.

"Syukurlah. Dari tadi para polisi tak mengizinkan saya pergi." Rasa lega terlihat dalam raut
wajahnya, disusul dengan hela napas yang panjang, seolah-olah ia memang telah menunggu
jawaban yang kulontarkan. Namun, tentu saja aku tak akan melepaskannya begitu saja,
membuatku bertanya, "Ah, jika saya boleh tahu, ke mana Anda akan pergi?"

Lalu, pria itu menjawab sembari menolehkan pandangannya pada arloji yang melekat di
lengannya, berwarna perak mengilap, terlihat mahal. "Tentu saja mengajar, Pak. Saya kira saya
harus meniadakan kelas hari ini. Untung saja saya belum memberitahukan hal ini pada mahasiswa-
mahasiswa saya."

"Bukankah Anda hendak berangkat pukul enam pagi?"

"Sebenarnya, saya masuk pukul delapan. Saya terbiasa untuk datang satu jam lebih awal. Anda
mengerti kan, Pak? Supaya saya tidak datang terlambat. Juga supaya mahasiswa saya yang
terlambat dapat saya pantau." Pak Erlangga menurunkan lengannya. "Walaupun mungkin saya
akan telat hari ini. Saya permisi dulu, Pak."

Kemudian, tanpa menunggu balasan dariku, pria itu setengah berlari, menuju mobilnya yang kini
telah terparkir di bahu jalan. Bahkan, sebelum aku sempat beranjak dari tempatku, mobil itu telah
menghilang dari pandanganku, melesat dengan cepat meninggalkan lokasi ini, membuatku
menyimpulkan satu hal: dia memang terburu-buru.

Aku berusaha untuk tidak peduli untuk saat ini, biarpun sebenarnya hatiku terus bertanya-tanya,
bagaimana mungkin ada seseorang yang dapat pergi ke tempat kerjanya sedangkan ia tahu bahwa
pagi ini ia baru saja menemukan mayat di depan rumahnya?

Tanpa sadar, kepalaku menggeleng dua kali, entah karena merasa bingung akan kekuatan hati Pak
Erlangga yang seolah-olah menjadikan hal ini adalah hal yang biasa, atau karena dedikasinya yang
tinggi untuk mengajar, membuatnya menginjak pedal gas kuat-kuat dan melesat meninggalkan
lokasi ini. Padahal, aku yakin mahasiswa-mahasiswanya akan lebih bahagia seandainya ia memilih
untuk meniadakan kelas. Pengecualian jika ia memutuskan untuk mencari hari pengganti.

Di samping itu, Wijaya terlihat sibuk menelaah seluruh sudut bagasi. Badannya membungkuk,
bagaikan seseorang yang mencari cincin kawinnya yang tak sengaja terjatuh di antara rerumputan.
Ah, omong-omong tentang cincin, Wijaya kini selalu mengenakannya. Jari manis kirinya menjadi
salah satu hal yang selalu mencolok mataku, mungkin juga mata banyak orang. Bahkan, di kala
pertama ia mengenakannya, aku tak menggodanya tiada henti, membuat dirinya tersipu malu,
membuat pipinya berwarna merah biarpun tampaknya ia sudah terbiasa sekarang ini.

Karena saksi yang kuperlukan telah meninggalkan lokasi, akhirnya kuputuskan untuk membantu
Wijaya, mendekatinya kemudian menepuk pundaknya, persis seperti yang kulakukan pertama kali
pada petugas yang mengurus lokasi ini. Bahkan, semuanya terlihat seperti reka adegan kejadian.
Wijaya pun terlonjak kaget, sama seperti petugas itu, membuatku tertawa kecil.

"Menemukan sesuatu?" tanyaku segera, sebelum Wijaya merasa kesal padaku karena telah
membuatnya terlonjak kaget.

"Ya ampun, Pak!" Wijaya membetulkan posisi berdirinya. Dari raut wajahnya, sudah jelas dia tak
menyukai perbuatanku tadi, seperti bocah yang kesal setengah mati karena dikerjai oleh temannya.
"Mungkin bisa disebut penemuan, tapi tidak terlalu seperti itu juga, Pak. Tapi kurasa akan semakin
menekankan bukti bahwa mayat itu dibunuh, Pak." balasnya, membuatku menyilangkan kedua
lenganku.
"Maksudmu?"

Wijaya segera berjalan, meninggalkan bagasi tanpa isyarat apapun. Sebenarnya, ada dua
kemungkinan: ia tahu aku akan mengikutinya atau ia kesal padaku karena telah mengejutkannya.
Atau mungkin gabungan keduanya. Yang pasti, kuikuti permainannya. Wijaya berhenti tepat di
bangku kemudi di mana mayat yang malang itu masih tergeletak, belum dievakuasi.

"Perhatikan pangkal hidungnya," perintah Wijaya padaku. Lalu, tanpa menunggu perintah
tambahan, segera kutopang dagu mayat—untung aku tak pingsan karena telah terbiasa—yang
belum berubah warna, masih tampak seperti manusia yang tertidur. Secara tepat kuperhatikan
bagian yang disebutkan oleh Wijaya.

Sejujurnya, perlu beberapa waktu bagiku untuk menyadari apa yang dimaksudkan oleh Wijaya.
Sungguh, daripada memikirkan bercak aneh pada pangkal hidung mayat ini, aku lebih terkesima
akan kemampuan Wijaya untuk memperhatikan keadaan korban, lebih teliti dari yang kuduga.
Maksudku ... ya ampun, bahkan tampaknya dari semua orang di dunia ini, hanya Wijaya yang akan
menemukan sebuah bekas menghitam di pangkal hidung mayat ini.

Dalam beberapa lama, kuperhatikan dengan seksama bekas menghitam yang menyelimuti pangkal
hidung mayat ini. Berbentuk oval di kedua sisinya, menajam pada bagian bawah.

"Dia pengguna kacamata, ya?" terkaku. Sejujurnya, aku sendiri tak pernah menggunakan
kacamata, tak tahu apakah bekas ini akan timbul pada pangkal hidungku jika kugunakan kacamata.
Namun, satu benda yang digunakan dalam selang waktu yang lama, sehingga menimbulkan bercak
hitam seperti ini, tak ada yang lain dalam pikiranku selain benda itu. Lalu, seolah setuju, Wijaya
pun mengiyakan terkaanku. Aku merasa seperti bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar
dan menjawab dengan tepat pertanyaan dari gurunya.

"Dari tadi saya mencari kacamata yang mungkin tersimpan di dalam mobil. Tapi saya tak
menemukannya."

Kutarik tubuhku keluar, memastikan seluruh bagian tubuhku berada di luar mobil. "Kau ingin
mengatakan mustahil baginya untuk berkendara seorang diri tanpa menggunakan kacamata, ya?"
"Benar."

"Bagaimana jika seandainya dia tak memerlukannya? Mungkin dioptrinya tidak sebesar itu.
Mungkin hanya setengah atau seperempat, sehingga dia tak begitu memerlukan kacamata di setiap
waktu, termasuk saat mengemudikan mobil?"

"Kalau begitu, seharusnya bekas itu tak ada karena dia jarang menggunakannya, kan? Asumsi
saya, dia selalu menggunakan kacamata ke manapun, Pak, sehingga bercak hitam membekas pada
pangkal hidungnya."

"Tidak menutup kemungkinan bahwa kejadiannya seperti apa yang kukatakan, kan? Mungkin juga
dia lupa menggunakanya di saat ia akan bunuh diri. Pikiran orang yang akan bunuh diri mungkin
akan kacau, membuatnya lupa akan kebiasaannya."

"Begitu juga dengan yang saya katakan, Pak. Bagaimana jika seseorang membawanya ke sini
setelah membunuhnya terlebih dahulu, dan sang pembunuh lupa membuat sang mayat
mengenakan kacamata."

Kemudian, untuk beberapa saat, kami tak melanjutkan argumen yang masing-masing lontarkan
sebelumnya. Percuma saja, itu yang kupikirkan. Mungkin juga itu yang dipikirkan oleh Wijaya.

Aku menghela napas. Wijaya menghela napas. Kami menghela napas di saat yang bersamaan,
malah membuat kami tersenyum kecil, pun di saat yang bersamaan.

Akhirnya, menghentikan seluruh rasa canggung ini, sekaligus mengakhiri seluruh perdebatan
kami, aku berkata, "Kita tak dapat berbuat apa-apa seandainya tidak memeriksa penyebab
kematian orang ini."

"Ya, tapi kita perlu meminta izin dari keluarganya dulu, Pak. Beberapa petugas tengah mencari
keluarganya. Dari informasi yang saya dapat, mereka menemukan orang tua korban, sedang
menuju ke sini." Wijaya membuat jeda, beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan.
"Bagaimana dengan saksi tadi? Apa Anda mendapatkan sesuatu, Pak?"
"Sejujurnya ... tidak," kataku. "Semuanya sama seperti yang disebutkan dalam pertemuan awal.
Selebihnya hanya informasi mengenai sang saksi. Sialan, aku tak begitu menyukai orang itu." Aku
berusaha untuk tak mengatakannya, sungguh, tetapi seolah-olah mulutku tiba-tiba saja berkata.
Bahkan, tangan kananku mengepal tanpa sebab yang jelas. Ya, walaupun aku berkata jujur, sih.
Maksudku, gila, apakah dia begitu mencintai pekerjaannya sampai-sampai sosok mayat yang
ditemukannya saja tak mengganggunya? Atau karena dia tak peduli?

Akhirnya, karena kurasa aku tak dapat melakukan apapun, maksudku untuk sesuatu yang berarti.
Aku hanya berharap orang tua dari anak ini—yang terbujur kaku pada bangku penumpang—cepat
datang sembari berusaha terlihat sibuk, mencari-cari benda yang bahkan tak kuketahui
wujudnya—aku memang tak sedang mencari apapun.

Aku sempat menemui istri dari Pak Erlangga, hanya saja diakhiri dengan tangan kosong. Tak ada
kesaksian yang berarti selain segala ucapannya yang mirip seperti yang disebutkan oleh Pak
Erlangga. Terbangun pada pukul empat pagi, tak mendengar apapun, kemudian memasak nasi dan
lauk pauk yang akan disantap sebagai sarapan—berdua. Kemudian, seperti waktu yang disebutkan
oleh suaminya, mereka berpamitan. Bahkan, harus kuakui kesaksian sang istri tidak sebegitu
informatif seperti kesaksian Pak Erlangga. Ia bahkan tak menyadari jika Pak Erlangga
memecahkan kaca mobil dengan alasan segera menuju kamar mandi untuk membasuh dirinya
segera setelah Pak Erlangga menginjakkan kaki keluar dari rumahnya.

Pak Erlangga sendiri, berdasarkan kesaksian istrinya, baru memberitahukan hal itu setelah ia
menelepon ambulans dan polisi.

Wijaya pun sama sepertiku, berusaha mencari sebuah benda yang bahkan tak tahu wujudnya
seperti apa. Kami hanya membuat sebuah kesibukan yang tak berarti. Menunggu keluarga dari
mayat ini datang, mencoba meminta izin pada mereka untuk melakukan autopsi pada sang mayat.
Hingga akhirnya, aku dan Wijaya menemukan batang hidung mereka. Datang menuju kerumunan
orang yang semakin lama semakin menipis. Bahkan dapat dihitung jari.

Mobil polisi yang disusul oleh kendaraan pribadi segera menepi, membuatku lega karena pada
akhirnya aku tak perlu melanjutkan permainan peranku—pun Wijaya. Dengan segera, kujelaskan
situasi yang ada para mereka:seorang lelaki paruh baya dengan kaus polos, seorang wanita yang
juga paruh baya, tetapi tampak lebih muda dari sang lelaki, serta seorang pria yang ... uh, aku tidak
yakin harus mengatakan apa. Tampilannya tidak berntakan, hanya saja aku dapat melihat sebuah
tato melintang di sepanjang lengannya, bertubuh kekar dengan rambut cepak yang menghiasi
kepalanya.

Mereka datang dengan raut wajah yang berbeda-beda. Sang lelaki paruh baya—yang kuduga
sebagai ayah dari sang korban—terlihat terkejut. Matanya terlihat menatap tak percaya, berdalih
padaku bahwa semua ini hanya kebohongan. Sang wanita—ibu, kurasa—terlihat lebih parah. Aku
dapat melihat air matanya mulai berlinang, matanya memerah disertai wajah yang terlihat
ketakutan. Sedangkan sang pemuda terlihat lebih santai, dapat mengontrol seluruh emosinya
biarpun pada wajahnya masih dapat kulihat rasa terkejut akan berita yang kami sampaikan.

Aku berusaha menceritakan segala hal yang kurasa perlu kuceritakan pada mereka. Tak termasuk
mengenai adanya kemungkinan bahwa orang ini adalah korban pembunuhan. Sejujurnya, aku
harap semuanya berjalan lancar. Namun, tahukah apa yang mereka katakan ketika aku meminta
izin dari mereka agar dilakukan autopsi pada mayat?

"Tidak," kata sang ayah, membuat isak tangis sang ibu semakin meledak.
3. Shots Fired

Aku dan Wijaya saling bertatapan. Walaupun begitu, kami tak mengucapkan sepatah katapun
meski tampaknya aku mengerti akan apa yang sedang menjalar di dalam otaknya. Mulutnya
memang tak bergerak, tetapi aku tahu benar bahwa ia tengah berusaha meyakinkanku, memaksaku
untuk menunjukkan kebenarannya bahwa mayat ini—sang lelaki yang telah terbujur kaku—tidak
dapat dikatakan bunuh diri biarpun seluruh situasi tampaknya sangat mendukung hal itu.

Wijaya sempat berkata bahwa ia melihat bintik kecil pada mata korban, kemungkinan besar akibat
pembuluh yang pecah karena cekikan kuat yang melintang di sepanjang lehernya. Aku sendiri tak
yakin apakah bintik kecil itu diakibatkan oleh cekikan kuat atau karena karbondioksida yang
memenuhi mobil membuat pernapasannya terganggu, memaksa darah untuk mengikat
karbondioksida, bukannya oksigen, mengurangi jumlah pasokan oksigen yang tersedia untuk
dikirimkan ke otak. Yang pasti, tanda itu memang ada.

Aku sendiri tidak mungkin menyalahkan mereka, menganggap mereka tak ingin berkooperatif dan
dengan wewenang yang sengaja kuada-adakan, kuperintahkan mereka untuk mundur, berbalik,
kemudian pulang dan membiarkan seluruh pekerjaan yang ada di sini diurus oleh pihak kepolisian.
Bagi kebanyakan orang, terlebih lagi orang-orang Indonesia, membiarkan salah satu anggota
keluarga meninggal dalam keadaan utuh adalah suatu keharusan—setidaknya hampir seperti itu.
Aku yakin, dalam benak mereka, jika seandainya autopsi dilakukan pada salah satu anggota
keluarga mereka ini, mereka akan menerimanya dalam keadaan tak utuh, terbongkar mulai dari
belahan dada hingga perutnya, yang padahal kurasa dokter yang bersangkutan—kemungkinan
besar salah satunya Dokter Dalton—hanya perlu memeriksa bagian paru-parunya. Namun, tetap
saja mereka akan menerima anggota keluarga mereka itu dalam keadaan yang tak utuh—yang
mereka pikirkan.

Sang ayah menatap kami bagaikan penjahat yang telah terkepung. Dadanya membusung dengan
raut wajah yang tak menyenangkan. Alisnya menajam. Sekali lagi, ia berkata, "Saya tak dapat
membiarkan hal itu dilakukan pada anak saya."
Aku mencoba untuk bersikap tenang. Menarik napas sedalam mungkin, menjernihkan pikiran dan
mencoba untuk fokus pada permasalahan yang ada. Dalam benakku, kuusahakan muncul
visualisasi laut dengan desiran ombak yang menenangkan—sekadar berusaha—dan kuharap dapat
membantuku untuk tak ikut membusungkan dada—tindakan yang tercela dalam situasi ini.

"Kami hanya perlu memeriksa penyebab kematiannya, Pak," jelasku.

"Dia meninggal karena kekurangan oksigen, kan? Untuk apa memeriksanya lagi?"

Bedebah. Pasti sang petugas yang menjemput mereka mengatakan hal itu.

"Ada kemungkinan lain, Pak." Aku tetap berusaha untuk tenang. Aku telah melakukan hal yang
sama seperti ini, berkali-kali, semuanya tidak membuatku menjadi lebih baik. Semua orang pun
tahu betapa sulitnya untuk melakukan pekerjaan ketika seseorang berusaha menghalangi, kan?
Terlebih lagi, posisiku sekarang memaksaku untuk tetap bertindak halus. Padahal, jika aku tidak
terikat dengan instansi manapun, menjadi seseorang yang gila misteri dan selalu mencium bau
kasus baru, pasti telah menghantam kepala lelaki itu dengan batu, membuatnya pingsan dan
membiarkanku untuk bekerja dengan caraku sendiri. Sayangnya keadaan ini tak seperti itu.

"Saya tetap tak mau!" bentaknya, semakin keras. Aku yakin suaranya itu dapat terdengar sampai
kerumunan polisi yang tengah berdiskusi mengenai kasus ini—mungkin. Terbukti bahwa para
polisi itu—petugas yang tak kukenal satu persatu-satu—memalingkan wajahnya karena teriakan
sang ayah.

Aku hampir putus asa. Menghadapi orang yang keras kepala bukanlah keahlianku. Biasanya, jika
tak berakhir dengan 'tanpa' keputusan yang jelas, aku akan menghajar wajahnya dan
membungkamnya. Tentu hal itu sangat jarang kulakukan walaupun pernah. Namun, seolah
menyadari bahwa keadaan semakin tak baik, Wijaya menyela.

"Ada kemungkinan anak Anda bukan bunuh diri, tetapi dibunuh."

Aku tersentak kaget. Sumpah! Aku yakin benar jika Wijaya berjanji tak akan mengungkapkan hal
itu sebelum kami bisa yakin seratus persen bahwa sang korban tidaklah bunuh diri, melainkan
seorang korban pembunuhan. Keluarga korban pun turut mengikuti reaksiku—sama persis—
dengan motif yang berbeda. Mereka mungkin lebih terkejut karena Wijaya mengungkapkan bahwa
lelaki itu—yang telah duduk di bangku penumpang entah berapa lama—mungkin saja seorang
korban pembunuhan. Terlebih sang ibu. Seketika, isakan kecilnya berhenti, kepalanya
menengadah, menatap Wijaya dengan penuh harapan.

"Benarkah?" teriak sang Ibu, tak terbendung. Matanya benar-benar menatap penuh harap, sedikit
berkaca-kaca akibat sisa air mata yang belum menetes jatuh meninggalkan kedua bola matanya.

Wijaya mengangguk, sedangkan aku berbisik dengan pelan. "Kau bilang tak akan memberitahukan
hal itu pada keluarganya, kan?"

"Janji kita adalah kita tak akan mengungkapkan hal itu jika kita belum yakin, kan, Pak? Saya sudah
yakin!"

Aku berdecak. Akhirnya, aku terpaksa mengikuti rencananya. Bagaimanapun juga, aku bukan
manusia super yang dapat mengembalikan waktu dan menuju detik-detik sebelum Wijaya
melanggar perjanjian yang telah dibuat. Akhirnya, aku hanya berdiri kaku, keluar dari rencana
yang telah kami susun.

Sang ayah yang sebelumnya terlihat berani, tegas, kini mulai goyah. Matanya masih terbelalak—
tentu saja—akibat berita yang baru didapatkannya. Namun, ia masih mengelak. Mungkin orang
ini memiliki pola pikir yang sama sepertiku.

"Tidak mungkin!" teriaknya. "Jika anakku tidak bunuh diri, bagaimana mungkin mobil itu dapat
terkunci sedangkan kuncinya berada di dalam mobil!?"

"Anda tahu mobil siapa yang beliau gunakan, Pak?" Seperti yang kubilang, aku terpaksa mengikuti
rencana Wijaya dan berusaha meyakinkan bahwa anak ini tidaklah bunuh diri—mungkin. Aku
sendiri tidak yakin apakah keinginan kami untuk melakukan autopsi pada mayat dapat tercapai
atau tidak setelah mereka tahu bahwa ada kemungkinan pembunuhan dalam kasus ini. Namun,
kuharap semuanya dapat berjalan dengan lancar.

"Itu mobil saya! Kenapa!?"


"Apakah mobil ini memiliki kunci duplikat? Maksud saya, untuk ...."

"Tidak ada!" tukas sang ayah, memotong kalimatku yang belum selesai.

"Pak!" sang istri tampak berusaha menenangkan suaminya. Perempuan itu menangkap lengan sang
suami yang tampaknya hampir melayang dan mendekati wajahku. Aku tak tahu apa yang ada
dalam pikiran pria itu. Apakah dia kesal? Apakah dia marah karena salah satu anak yang ia cintai
harus pergi dari dunia ini? Terlebih ketika ia mengetahui bahwa anaknya itu kemungkinan
merupakan korban pembunuhan. Apakah dia merasa kesal pada sang pembunuh yang entah siapa,
tetapi tak dapat melepaskan seluruh emosi pada orang yang tepat?

Aku tidak tahu. Yang pasti, keadaan seseorang yang sedang terguncang, terkejut dan tak dapat
menerima kenyataan, bisa menjadi sangat buruk. Setidaknya, dalam hidupku, telah kutemukan
keadaan yang identik seperti yang terjadi sekarang ini. Biarpun seperti yang kukatakan, tak
membuatku menjadi lebih baik.

Namun, reaksi yang terjadi sedikit berbeda dari dugaanku. Suami itu menghempaskan lengan sang
istri, melepaskan genggamannya sebelum akhirnya sang istri kembali berteriak lebih keras.

"PAK!"

Kemudian, semuanya menjadi hening. Sang suami melayangkan tatapannya, melihat ke arah sang
istri yang berusaha menenangkannya. Namun, tak mengucapkan sepatah katapun hingga akhirnya
lelaki itu pergi meninggalkan sang istri dan anaknya—mungkin juga, sih.

Secara kasar, lelaki itu melangkahkan kakinya lebar-lebar, menimbulkan suara pijakan yang amat
keras dan berjalan keluar lokasi. Kemeja yang dimasukannya ke dalam celana terlihat sedikit
berantakan akibat gaya berjalan yang seharusnya tak dilakukan. Namun, seolah tak peduli, lelaki
itu terus berjalan meninggalkan kedua keluarganya yang tak tahu harus berbuat apa, hingga
akhirnya sang istri mengikutinya, berlari kecil sambil mengayunkan kedua lengannya di antara rok
yang sedikit menghambat langkah kakinya. Sedangkan pemuda itu—dengan tato di sepanjang
lengan kirinya—tak berbuat apa-apa. Beberapa kali ia menatap orang tuanya pergi, tetapi tak ada
pemikiran untuk melangkahkan kakinya, baik mendekati kami—aku dan Wijaya—maupun
mendekati kedua orang tuanya. Pada akhirnya, aku mencoba berinisiatif, mendekati pemuda itu
yang disusul oleh Wijaya.

Struktur wajah pemuda itu cukup mirip dengan mayat yang kami temui walaupun keadaannya
lebih berantakan. Tak berkumis, tetapi jambangnya sengaja tak dicukur, melintang di sepanjang
pipi dan melewati dagunya. Jika dibandingkan, aku seperti melihat diriku dan Wijaya seandainya
kami bersaudara—biarpun kami tak memiliki struktur wajah yang mirip. Pemuda itu pun memiliki
gaya klasik yang bahkan kukira telah punah. Ia mengenakan kaus yang dimasukan ke dalam celana
jeans. Untungnya, badannya yang tegap membuatnya terlihat modis. Jika saja Pak Erlangga yang
melakukan itu, tentu ia akan lebih terlihat seperti orang-orangan sawah daripada manusia.

Aku memperkenalkan diri, begitu pula dengan Wijaya. Kami saling bersalaman, membuatku
mengetahui bahwa namanya adalah Januar segera setelah ia sendiri memperkenalkan diri ketika
menjabat tanganku. Biarpun ia memiliki tato berwarna hitam yang melintang di sepanjang
lengannya, ia tidak tampak seperti preman kasar yang sering memalak orang. Memang, stigma
orang-orang brengsek seperti itu telah menetap dalam otak orang-orang, termasuk otakku. Laki-
laki yang memiliki tato pada bagian tubuhnya, apalagi jika ia mencat beberapa bagian rambutnya,
pastilah brengsek, padahal kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Setidaknya, Januar—yang dipanggil Janu—tampak lebih tenang jika kubandingkan dengan kedua
orang tuanya. Bahkan, di saat seperti ini, ia masih bisa berkata, "Maafkan kedua orang tuaku."

Jadi, untuk membalas keramahannya itu, aku menjawab, "Ya, saya mengerti." Kemudian, dengan
segera kucari topik baru. Setidaknya, kurasa orang ini dapat berbicara dengan lebih baik—kepala
dingin—dibandingkan dengan seorang lelaki tua yang berteriak-teriak padaku. Ah, ya, lelaki itu
kini sudah memasuki mobilnya, disusul oleh istrinya. Namun, mengingat salah satu anak mereka
masih berada di luar sini, kurasa mereka tak akan segera pergi. Mungkin saling berargumen,
mengeluarkan kata-kata kasar akibat rahasia yang Wijaya bocorkan.

Sekali lagi, kutatap Wijaya. Kurasa ia sedikit menyesal akan tindakannya, tetapi tetap berpegang
teguh pada pendiriannya. Bukan karena ia hendak terlihat tak bersalah, lebih seperti menjaga
wibawa di depan orang yang secara tak langsung terlibat dengan 'kemungkinan' pembunuhan ini.
Apa jadinya jika ia langsung merasa bersalah di depan keluarga korban? Sudah pasti Janu—
mungkin selamanya—tak akan dapat memercayai polisi lagi.

"Jadi, Anda saudaranya?" tanyaku dengan segera. Lalu, Janu mengangguk.

"Kakakku," katanya. "Sebenarnya aku tidak begitu dekat dengannya."

Harus kuakui, dia dapat mengendalikan emosinya dengan begitu baik.

Tentu saja, aku tak boleh melupakan sopan santunku. Jadi, aku berkata, "Ah, maaf. Boleh saya
menanyakan beberapa pertanyaan?"

Janu mengangguk—untungnya.

"Ya, silakan."

Kembali kuraih ponselku, bersiaga untuk mencatat beberapa informasi yang mungkin akan
berguna bagiku. Namun, sekali lagi, tentu saja pertanyaan yang akan kutanyakan adalah
pertanyaan spontanitas. Brengsek, aku memang belum memikirkan susunan pertanyaan yang akan
kulontarkan, tetapi aku sendiri tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Apa benar mobil itu miliknya?" tanyaku, sembari menunjuk pada Karimun yang masih belum
bergerak sedari pagi. Walaupun begitu, kini sang mayat telah kami sembunyikan dari terik
matahari, menyimpannya dalam kantung plastik berwarna hitam, mencegah orang-orang yang
ingin melihatnya secara langsung biarpun percuma karena kerumunan sudah semakin menipis.

"Mobil ayahku," katanya.

"Apa kakak Anda memang sering menggunakan mobil itu?"

Janu mengangkat bahunya, disertai kedua tangannya yang terbuka, memperlihatkan kedua telapak
tangannya padaku. "Aku tidak tahu. Seperti yang kukatakan, aku tidak begitu dekat."

Kemudian, seolah-olah tak puas dengan cara kerjaku, Wijaya menyela. "Apa pekerjaan kakak
Anda?"
"Aku tidak tahu."

"Tidak tahu?" selaku. "Kapan terakhir Anda bertemu kakak Anda?"

"Sering," jawabnya. "Ya. Sering, sebenarnya. Dia sering berkunjung ke rumah kedua orang tuaku."
Janu menahan napas sebelum akhirnya melanjutkan. "well, aku tinggal di rumah orang tuaku dan
dia sering berkunjung. Jadi, secara teknis, kami memang sering bertemu."

"Apa pekerjaan Anda?"

"Jual beli online. Biasanya ponsel," balasnya. "Kenapa menanyakan pekerjaanku? Memangnya
berhubungan, ya?"

Alih-alih menjawab pertanyaannya, Wijaya malah berusaha untuk menggali informasi yang belum
diketahuinya.

"Apakah semalam dia mengunjungi keluarga Anda? Anda bilang sering, kan?"

Janu tak merespon dengan cepat. Ia terkejut terlebih dahulu. Mungkin, nada bicara Wijaya lebih
mirip menuduhnya dibandingkan dengan menanyakan sebuah pertanyaan. Laki-laki itu segera
mengernyitkan dahinya ketika Wijaya lebih memilih untuk berpangku dada dan mengedepankan
sebelah kakinya, seolah-olah hendak bergaya untuk sesi pemotretan sampul majalah.

"Ya, dia mengunjungi orang tuaku ... tentu saja juga diriku."

"Artinya dia masih hidup malam kemarin."

Janu terlihat lebih bingung dari sebelumnya. Ia tampak seperti anak kecil yang selalu ingin tahu
segalanya, menggaet ujung baju orang tuanya hanya untuk menarik perhatian dan menanyakan
hal-hal yang tak begitu penting. Namun, tentu saja ia bukan anak kecil. Pertanyaannya lebih
spesifik, lebih logis dan masuk akal daripada menanyakan hal-hal semacam: apakah sedotan
memiliki satu lubang atau dua lubang?

"Aku tidak mengerti." Janu memberikan tatapan keheranannya secara gamblang, begitu jelas di
hadapanku. "Bukankah kakakku itu bunuh diri?"
Namun, seolah sudah mengambil alih seluruh wawancara yang kubuka ini, tanpa ragu Wijaya
segera membalas, "Mungkin. Tidak menutup kemungkinan juga ia dibunuh."

"Bagaimana mungkin?"

"Percayalah pada saya," ucap Wijaya, berusaha meyakinkan Janu.

Lalu, tepat setelah Wijaya mengucapkan hal itu, pasangan kekasih yang tadi berada di dalam mobil
telah keluar. Sama seperti sebelumnya, sang suami terlihat kesal, tak dapat menerima kenyataan
yang mungkin saja terjadi. Wajahnya menggebu-gebu. Bahkan, kurasa secara tak langsung aku
dapat melihat kepalanya yang memerah, dipenuhi oleh emosi yang entah mengapa ia dapatkan.
Sedangkan sang istri, ia berjalan lebih tenang daripada suaminya, biarpun secara terus-terusan
perempuan itu menunduk. Aku sendiri tak mengerti apa yang tengah terjadi. Namun, sang suami
segera menghadapiku. Wajahnya berhenti tepat di depan wajahku. Terlalu dekat, bahkan aku harus
menarik kepalaku beberapa sentimeter daripada harus merasakan tabrakan wajahnya yang
tentunya tak kuinginkan.

"Sudah saya putuskan," katanya, segera setelah ia menatap mataku dengan tajam.

Awalnya, aku sendiri tak mengerti akan ucapannya. Namun, melihat reaksinya itu, tentu tak ada
hal lain yang akan dibahasnya selain kematian sang anak dan rencana autopsi yang kuinginkan.
Secara jelas, lelaki itu memang terlihat marah. Oh, sialan. Bahkan, pengalamanku selama belasan
tahun dalam menghadapi orang tua yang tak menginginkan anaknya diautopsi, ini benar-benar kali
pertama kulihat seorang ayah yang begitu marah akan keadaannya.

Seorang lelaki yang pada awalnya tak ingin menerima rencana yang kuberikan, berargumen
dengan sang istri secara pribadi, kemudian segera keluar dan mengatakan, sudah saya putuskan.
Apa yang akan kau pikirkan mengenai hal itu? Mengubah pikirannya dan secara ajaib akan bekerja
sama?

Sayangnya dunia ini tak seindah dan semudah itu.

"Tidak ada autopsi untuk anak saya," katanya, dengan nada tegas, membuatku menarik napas
dalam-dalam beberapa kali.
===

Salah satu alasanku untuk tak menjadi dokter—utamanya dokter bedah—selain karena otakku
yang tak memumpuni, juga karena keraguan akan kemampuanku untuk melihat genangan darah
yang begitu banyak, menyelimuti bagian tubuh manusia hingga menimbulkan ilusi yang tak
menyenangkan dalam otakku. Walaupun pada akhirnya pun, ketika aku bekerja menjadi polisi,
aku terpaksa melakukannya, sih.

Aku merasa cukup bahagia karena pekerjaan seperti itu—yang sebenarnya sangat kubutuhkan—
tak harus kulakukan. Aku hanya perlu menunggu hasil pemeriksaan yang mereka lakukan,
mendapatkan penjelasan dari para ahli, kemudian kembali mencoba mengungkapkan kasus dengan
data yang tersedia, seperti sekarang ini.

Beberapa media massa akhirnya menjadikan berita ini sebagai berita utama, umumnya berjudul
'Dari Bunuh Diri Menjadi Pembunuhan', sesuai dengan keadaan yang terjadi. Tentu saja dengan
adanya pemberitaan itu, mereka memerlukan sumber primer yang tak lain adalah diriku atau
Wijaya. Sejujurnya, salah satu hal yang paling kubenci. Namun, aku tak memiliki pilihan lain
selain membuat ledakan dalam berita dan mengungkapkan semuanya, sekadar menjadikan autopsi
pada sang korban menjadi legal dan berada di bawah naungan pihak yang berwenang.

Tentu saja dengan tindakanku itu, sang ayah menjadi sangat marah hingga beberapa kali
melayangkan ungkapan kekesalannya padaku. Mulai dari omongan, ancaman, hingga kepalan
tangannya yang hendak mendarat di wajahku. Namun, berbeda dengan sang suami, sang istri
terkesan membelaku. Walaupun tentu pada awalnya perempuan itu tak setuju akan pendapatku.
Namun, rasa penasaran yang tinggi mengenai pembunuhan yang mungkin terjadi pada anak
mereka membuatnya berpikir ulang, hingga akhirnya setuju akan pekerjaan yang kami lakukan
sekarang ini.

Pada akhirnya, sang istri berusaha membujuk suaminya untuk mengikuti tata cara yang kami
lakukan, beberapa kali. Lalu, seolah lelah akan seluruh kejadian yang telah menimpanya, akhirnya
ia setuju.
Brengsek. Seandainya saja pria tua itu tak menghalauku, sudah pasti tak perlu ada berita yang
membludak. Bahkan, mungkin sang pembunuh akan lengah dan memberikan celah bagi kami
untuk menyusup, menangkapnya. Sekarang, orang itu akan lebih berhati-hati karena ternyata
rencananya tak berjalan dengan lancar, setidaknya jika memang semuanya seperti yang Wijaya
pikirkan—pembunuhan. Pada akhirnya pun ia setuju, kan?

Akhirnya, selang beberapa lama, Dokter Dalton menghubungiku, memintaku untuk segera
menemuinya. Begitu pula dengan Wijaya yang bertemu denganku di lorong rumah sakit
kepolisian.

Kemudian, seperti biasa, Dokter Dalton telah menunggu kami, sedangkan timnya telah pergi
meninggalkan ruangan, menyisakan Dokter Dalton seorang diri berada di dalam ruang
pemeriksaan. Lalu, begitu aku dan Wijaya masuk, kami menemukan seonggok tubuh yang
terbaring di atas kasur, tertutupi oleh kain yang sengaja diletakkan di atasnya, menghindari orang-
orang sepertiku, juga Wijaya, muntah dan mengotori tempat ini.

"Jadi, bagaimana?" tanya Wijaya dengan tak sabar. Dasar, padahal melangkahkan kaki lima kali
dalam ruangan ini saja belum. Namun, Dokter Dalton seolah tak merasakan adanya masalah.
Dengan segera ia memberikan secarik kertas pada Wijaya, membuatku berjinjit di belakangnya
karena Wijaya berdiri tepat di samping tembok, membuat jarak antara mataku dan berkas yang
tengah dipegangnya itu terpaut cukup jauh.

"Saya memeriksa semuanya. Luka luar, kemungkinan luka dalam, paru-parunya," jelas Dokter
Dalton pada kami. Namun, Wijaya tampak ingin membuktikan seluruh deduksinya. Dengan tak
sabar ia membalas, "Bisa langsung memberikan kesimpulannya, Dok?"

Dokter Dalton menatapku dan Wijaya secara bergantian, cukup lama, seolah-olah meyakinkan
kami bahwa kami memang ingin mencari tahu jawabannya. Suasana terasa begitu mengerikan,
seolah-olah ucapan Dokter Dalton selanjutnya akan menentukan hidup dan mati kami.

Lalu, ia mulai berbicara.


"Seperti yang diduga. Saya rasa dia meninggal bukan karena terlalu banyak menghirup
karbondioksida. Ia telah meninggal lebih lama dari itu. Dicekik," jelasnya. "Dengan sangat kuat
oleh benang tipis."

Wijaya berbalik, membuatku berdiri dengan normal dan segera mundur beberapa langkah.
Brengseknya, ia tersungging, menampilkan wajah penuh kemenangan dan seolah-olah
memaksaku untuk memujanya. Aku tahu dia memang dapat diandalkan. Brengseknya, aku tidak
menyukai senyumannya itu.

"Ya, ya, ya, kau benar. Kita tidak menemukan benang apapun di dalam mobil itu. Tidak mungkin
dia menjeratkan tali ke lehernya sendiri." Kubuat jeda, beberapa detik, sebelum kutanyakan
pertanyaan pamungkasku. "Sekarang pertanyaannya, bagaimana mengunci mobil tanpa
mengambil kuncinya? Aku tahu mungkin dia bodoh dengan membuat luka seperti itu dan mencoba
membuatnya seolah-olah kasus itu adalah bunuh diri. Tapi, dia tidak begitu bodoh dengan
membuat kasus dalam ruangan tertutup."

"Saya tahu, Pak. Saya tahu."

Ya. Sebuah kasus dalam ruangan tertutup. Jika boleh jujur, kasus semacam ini adalah kasus
pertamaku. Aku tidak pernah menemukan kasus yang melibatkan orang pintar semacam ini,
membuat sebuah tindak kejahatan yang tampak mustahil dilakukan. Untungnya, dengan segala
paksaan, kemungkinan bunuh diri dapat kami singkirkan. Namun, bagaimana caraku menemukan
trik untuk membuat ruangan tertutup itu?

Lalu, siapa yang melakukannya? Apakah itu artinya aku harus kembali menginvestigasi seluruh
kemungkinan tersangka?
4. Doorpost

Sebagai manusia normal, atau mungkin agar terlihat umum, tentu 'menunggu' adalah sebuah
pekerjaan yang sangat membosankan. Aku yakin, tak hanya diriku saja yang setuju akan hal itu,
bahkan mungkin sembilan puluh sembilan persen populasi di dunia ini akan setuju dengan
pendapatku. Pernyataanku itu tentu saja tak lepas dari waktu menunggu hasil autopsi untuk keluar,
membiarkan Dokter Dalton bekerja secara teliti untuk memberikan hasil yang terbaik, membuat
kami—aku dan Wijaya—mencoba melakukan investigasi sebelum akhirnya kami dapat
meyakinkan diri kami bahwa kasus yang tengah terjadi ini bukanlah bunuh diri, melainkan sebuah
pembunuhan.

Sejujurnya, keluarga yang tak kooperatif membuat pekerjaan kami semakin berat. Untung saja,
saudaranya—dengan lengan kirinya yang dipenuhi tato—tampak lebih berguna daripada yang
kuduga. Ia ramah, diluar dari ekspetasi kami, membuyarkan seluruh anggapan kami bahwa setiap
orang yang terlihat seperti seorang preman adalah antagonis untuk setiap kehidupan manusia. Janu
memberikan kesempatan pada kami untuk mengakses ponsel kakaknya itu. Namun, tentu tidak
semudah itu. Ponsel itu dikunci, memaksaku untuk membukanya secara paksa, meminta bantuan
beberapa ahli teknologi untuk membuka kuncinya itu—tentu saja, siapa sih yang ingin bertanya
pada mayat mengenai kunci ponselnya?

Agoy, itulah nama korban, atau mungkin lebih tepat nama panggilannya. Nama aslinya sendiri
Yoga, dan aku dapat mengerti kenapa pada akhirnya orang itu dipanggil Agoy.

Akhirnya, aku mendapati kenyataan bahwa sang korban merupakan seorang kepala distributor di
sebuah perusahaan yang cukup besar. Tidak begitu terkenal, tetapi cukup besar. Perusahaan yang
bergerak pada alat rumah tangga—walaupun perusahaan asing. Namun, untuk detailnya sendiri,
belum kudapatkan secara jelas karena Dokter Dalton meneleponku terlebih dahulu, memaksaku
untuk melaju dan bergerak ke sini alih-alih mencari tahu mengenai kehidupan sang korban. Ya,
walaupun begitu, setidaknya atasan korban telah membuat janji denganku. Bahkan, atasannya itu
sendiri pun tampak kaget begitu mendapatkan berita yang kukabarkan, membuatnya terlihat
antusias untuk mengobrol denganku, mengungkapkan kenyataan.
Di samping itu, Wijaya memikirkan hal yang tak kalah pentingnya, mencoba memikirkan segala
kombinasi kejadian yang mungkin. Alasan mengapa Agoy berkendara menggunakan mobil
ayahnya, padahal ketika kami mengunjungi rumah orang tua korban, Avanza hitam besar dengan
kondisi yang lebih baik dari mobil itu terpampang secara nyata di halaman rumahnya. Selain itu,
berdasarkan kesaksian saudaranya, mobil itu memang mobilnya walaupun hanya mobil kantor.

"Saya rasa dia adalah orang yang memikirkan penampilan, Pak," katanya. "Gaya berpakaiannya
cukup modis, rambutnya ditata rapi, kenapa dia tidak menggunakan mobilnya sendiri? Biarpun itu
mobil kantor, tapi bukan mobil dinas, kan? Seharusnya sang korban menggunakannya."

"Kita sendiri tak tahu apa yang dilakukan korban sebelum ia tewas, Wijaya. Bagaimana jika
sebelumnya ia akan bertemu dengan seseorang sehingga ia memperbaiki penampilannya?"

Wijaya mengayunkan kedua alisnya, menyadari sebuah kesalahan dalam kalimatku. "Kalau begitu
tampak lebih aneh. Karena jika memang ia akan bertemu seseorang yang begitu penting hingga ia
memperhatikan penampilannya, seharusnya ia juga memperhatikan kendaraan yang
digunakannya. Selain itu, untuk apa dia menggunakan mobil orang tuanya sedangkan ia sendiri
telah memiliki mobilnya sendiri?"

Benar juga. Gaya berpakaian yang modis, serta kendaraan yang dipilihnya itu benar-benar
kontradiktif. Jadi, jika memang aku tak dapat menemukan alasan yang jelas untuk hal yang
bertolak belakang itu, maka hanya ada satu kesimpulan yang dapat kuraih: karena memang bukan
sang korban yang memilih mobil itu. Brengseknya, kesimpulan itu hanya akan merujuk pada satu
masalah lain, mengapa seseorang memilih mobil itu dan bagaimana cara mereka mendapatkannya?

"Pak," Wijaya membuyarkan seluruh lamunanku. Otakku seolah-olah terhenti, tak bergerak hanya
karena sapaannya padaku. Namun, begitu menoleh, Wijaya tampak segan untuk melanjutkan
kalimatnya. Mulutnya kaku, hampir tak bergerak, bahkan butuh beberapa detik hingga akhirnya ia
menguatkan tekadnya. "Ini hanya asumsi saya. Tapi saya rasa sang ayah dari keluarga itu
membunuh anaknya sendiri."

Aku terbelalak, menatap Wijaya tak percaya. Hanya ada satu pertanyaan yang terlintas pada
benakku yang tiba-tiba bekerja secara rumit.
"Kenapa?" tanyaku, segera setelah Wijaya mengucapkannya.

Wijaya sendiri tampak tak nyaman untuk mengatakannya, beberapa kali ia layangkan
pandangannya secara tak beraturan, berusaha untuk tak menatapku yang malah membuatku
semakin penasaran, membuat kerah bajunya kusut tak keruan.

"Coba pikirkan, Pak." Wijaya menarik napas, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. "Mobil
itu hanya bisa dikendarai oleh orang-orang yang memiliki kuncinya. Saya sendiri telah
memikirkan mengenai adanya kemungkinan pencurian, seseorang mengambil mobil itu,
anggaplah para perampok. Tapi apa mungkin para perampok itu membunuh seseorang entah
karena apa kemudian dengan sengaja membuatnya terlihat seperti bunuh diri, kemudian
meninggalkan hasil rampokannya itu di antah berantah dengan begitu santai? Saya rasa tidak
mungkin terjadi."

Aku berusaha mendengarkan penjelasan Wijaya secara seksama. Meyakinkan diriku tak ada satu
pun kata yang terlewat, meninggalkan telingaku dan menghasilkan informasi yang salah yang
seharusnya tak kuproses di dalam otakku.

"Selain itu, jika memang sang korban yang mengeluarkan mobil itu, saya rasa alasan saya
sebelumnya berlaku. Kenapa harus mobil itu? Saya rasa tidak begitu logis. Jika saudaranya yang
melakukan itu, saya masih memahaminya, tapi korban bukanlah orang yang acuh tak acuh. Saya
yakin itu. Jadi, pilihan saya jatuh pada sang korban yang sengaja diletakkan pada mobil itu, tetapi
semua itu hanya mungkin dilakukan oleh anggota keluarganya, dan yang paling mencurigakan
adalah sang ayah."

"Karena dia tak ingin bekerja sama dengan kita?"

"Karena saya rasa dia tahu bahwa anaknya itu bukan bunuh diri, melainkan dibunuh. Berbeda
dengan saudaranya atau ibunya yang tampaknya tak mengetahui keadaan yang terjadi, sang ayah
terlihat memaksa kita untuk menutup kasus ini dan menyatakannya sebagai bunuh diri."
"Aku mengerti," kataku. "Jika seseorang melakukan itu pada Loka, dan pada akhirnya aku tahu
bahwa seseorang membunuhnya, tentu aku lebih tertarik untuk mencari tahu identitas sang
pembunuh dan akan menghajarnya di tempat."

Wijaya mengangguk.

"Tetap saja kita tak dapat membuat kesimpulan itu selama kita tak tahu bagaimana sang pembunuh
keluar dari mobil yang terkunci, dan kita sendiri pun tak memiliki bukti bahwa sang ayah yang
melakukannya, kan?"

"Itu hanya teori yang sampai saat ini dapat saya simpulkan, Pak." Wijaya memelas. Tentu saja.
Nada datarku seolah-olah menandakan ketaksetujuan atas pikirannya, yang artinya harus segera
kuralat.

"Aku tidak mengatakan kau salah, Wijaya," kataku sembari tertawa kecil, "Hanya saja tidak ada
bukti yang mendukung teorimu itu. Mungkin belum. Tapi kurasa kita harus menyelidiki kasus ini
lebih jauh lagi. Kurasa kasus ini bukan kasus yang dapat dipecahkan dalam semalam." Kutepuk
pundaknya beberapa kali. "Kita tetap akan bertemu dengan atasan korban besok. Hari ini kita
istirahat."

===

Gedung-gedung pencakar langit bukanlah pemandangan yang biasanya kusaksikan. Bandung


bukan kota metropolitan—atau sedikit metropolitan. Biarpun beberapa kali dapat kulihat gedung-
gedung dengan tinggi ratusan meter, tapi tak mendominasi seperti yang ada di Jakarta ini.

Ah, ya, kantor yang akan kukunjungi saat ini berada di wilayah Jakarta. Sejujurnya, tempat yang
agak asing bagiku. Aku tak sering berjalan-jalan keluar kota, akhir mingguku selalu kugunakan
untuk bermalas-malasan di rumah—itu pun jika sedang bebas tugas. Selain itu, aku memang
tinggal di kota kembang dengan suasana dinginnya sedari kecil. Dan entah karena keberuntungan
atau apa, ketika kumasuki akademi kepolisian, aku kembali ditugaskan pada tempat yang sama.

Namun, berbeda dengan Wijaya yang katanya sempat tinggal di ibukota untuk beberapa saat
sebelum akhirnya kedua orang tua mereka memutuskan untuk pindah. Setidaknya, jika memang
kami tersesat, aku dapat menyalahkan Wijaya karena seharusnya kala ini ia lah sang pemandu tur,
memimpin perjalanan kami ke tempat yang seharusnya.

Aku cukup bersyukur karena di masa ini, jalan bebas hambatan telah ditemukan—setidaknya
menghubungkan dua kota yang kutuju. Perjalanan kami hanya berkisar tiga jam—tentu hanya di
jalan tol. Namun, begitu memasuki wilayah ibukota, seluruh kendaraan tampak tumpah ruah
memenuhi jalan, nyaris tak bergerak. Gila, batinku. Bagaimana mungkin orang-orang dapat
bertahan dalam suasana seperti ini?

Wijaya tengah menyetir, sedangkan aku berleha-leha sembari mengambil pegangan tangan yang
terletak di atas pintu. Jujur saja, aku bosan dan rasanya kakiku mulai tak dapat berkompromi.
Beberapa kali kuganti posisi, mencari cara agar aku dapat duduk senyaman mungkin, apalagi
dengan seragam seperti ini. Namun, tampaknya seluruh usahaku sia-sia sampai akhirnya
kuputuskan untuk membandingkan keadaanku dengan Wijaya. Sudah pasti kakinya terasa pegal,
menginjak perseneling berulang kali tanpa tahu kapan akan berakhir.

Perjalanan kami sendiri—seperti biasa—dipenuhi oleh cerita yang diutarakan oleh masing-
masing. Segala kehidupan kami baik sebelum maupun setelah bertemu, candaan kasar yang
rasanya akan tabu jika kami ucapkan di depan seorang wanita, hingga beberapa pertanyaan
filosofis yang tampaknya tak penting—memang tak penting, sih. Namun, topik utama kami kali
ini adalah membicarakan Riska, gadis yang masih duduk di bangku kelas dua SMA yang secara
terpaksa menjadi adik angkat dari Wijaya.

Wijaya sendiri bercerita bahwa terkadang Riska masih tak dapat melupakannya. Beberapa kali ia
mendapatinya sedang merenung, berada dalam keadaan yang kosong dengan mata melotot, tetapi
tak fokus. Membuat Wijaya terpaksa mengejutkannya, mengambil sebuah topik lain yang dapat
menimbulkan senyuman pada perempuan itu. Ah, iya, biarpun secara legalnya, seharusnya Riska
menjadi adik dari Wijaya, bukan anaknya, tetapi Riska sendiri lebih sering tinggal bersama Wijaya
dan istrinya—menurut pengakuannya, sih—karena jarak dari rumah Wijaya ke sekolahnya yang
lebih dekat dibandingkan dengan rumah orang tuanya. Memang ada benarnya, karena terakhir
kukunjungi rumah orang tua dari Wijaya, mungkin jaraknya sekitar dua puluh kilometer dari
sekolah yang hampir setiap hari harus perempuan itu kunjungi.
Selain itu, tak ada masalah yang begitu berarti lagi. Lambat laun Riska dapat memahami keadaan,
berusaha melepaskan semuanya begitu saja—biarpun aku yakin amatlah sulit.

Aku sendiri, dengan bangga menceritakan Loka, bagaimana tingkah lakunya sedikit demi sedikit
mulai berubah, mulai menerima keberadaanku. Bagaimana pada akhirnya kami bisa
bercengkerama selayaknya sebuah keluarga. Walaupun sebenarnya kebersamaan kami lebih
banyak disia-siakan untuk sebuah boardgame atau cardgame.

Akhirnya, perjalanan kami berakhir. Sebuah gedung tinggi terpampang memenuhi jendela mobil
walaupun tidak terlalu tinggi jika harus kubandingkan dengan gedung-gedung yang mengitarinya.
Cat putih halus membuat kesan elegan dengan halaman utama yang cukup luas. Tulisan yang
menandakan nama perusahaan itu tercetak dengan jelas di depan gedung, menghadap jalanan
dengan gagahnya, berwarna emas dan mengilap.

Wijaya membawa mobil ke tempat parkir, kemudian memarkirkannya secara hati-hati di samping
Serena putih tanpa pengemudi. Lalu, tanpa basa-basi lagi, kami melepaskan sabuk pengaman.
Kemudian, memastikan bahwa seluruh barang yang kami perlukan tak tertinggal. Kubuka pintu,
membiarkan teriknya matahari membakar kulitku di balik seragam ini.

Gila, panas sekali!

Seolah-olah berjalan secara otomatis, lengan kananku berusaha menghalau teriknya matahari.
Bayangan gelap dari telapak tanganku langsung terlihat begitu kutaruh lengan itu pada keningku.
Kemudian, sambil berjalan, aku terus mengeluh.

"Astaga!"

Wijaya terkekeh. Setelah ia mengunci mobil, membuat kegaduhan dari suara yang memekakkan
telingaku, ia berkata, "Pasti kepanasan ya, Pak?"

Aku mengangguk. Gila, bahkan kurasa mulutku tak dapat mengucapkan apapun lagi karena
rasanya kerongkonganku telah kering. Kaus dalamku pun tampaknya telah berkeringat. AKu
merasa sedikit basah. Tak menyenangkan. Astaga.
Kami terus melanjutkan perjalanan dengan gaya yang saling bertolak belakang. Aku benar-benar
merasa tak nyaman akan suasana ini, sedangkan Wijaya sibuk menertawaiku. Hingga akhirnya
seluruh kekesalanku itu terbayar setelah kutapakkan kaki ke dalam gedung, dipenuhi oleh udara
sejuk akibat air conditioner yang kuterka diatur pada suhu enam belas derajat celcius. Sedangkan
Wijaya, senyumannya menghilang secara berangsur-angsur begitu kami memasuki lobi utama.

Lobi utama apanya? Hanya ada seorang penjaga yang duduk dan memperhatikan kami. Untung
saja kami memakai seragam kepolisian yang tak akan mencurigakan. Jika tidak, mungkin ia telah
menginterogasi kami.

Orang yang akan kami temui—Pak Alvin—sendiri telah memberikan sebuah alamat yang
sebenarnya dapat langsung kami tuju, lantai sebelas ruang A03. Namun, seperti kebiasaanku, aku
berusaha terlihat sopan walaupun sebenarnya dengan pakaian ini aku dapat bertindak sesukaku.
Jadi, daripada berjalan begitu saja seperti seseorang yang tidak mengetahui tata krama, kupilih
untuk berjalan mendekati penjaga itu yang tampaknya pun ia merespon dengan cukup baik.
Penjaga itu segera berdiri, keluar dari zona yang sedari tadi ditempatinya, kemudian langsung
tersenyum dan membuatku melakukan hal yang sama—begitu pula dengan Wijaya.

"Siang, Pak," sapaku, seramah mungkin, membuatnya membalas dengan segera.

"Siang juga, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya hendak bertemu dengan Pak Alvin. Apa beliau ada?"

"Ah, iya. Saya hubungi beliau dulu sebentar."

Penjaga itu segera berbalik, membiarkanku dan Wijaya berdiri, menunggu. Namun, penjaga itu
dengan cekatan segera mengambil telepon, menghubungi seseorang. Bahkan, tak begitu lama,
akhirnya ia memberitahuku bahwa Pak Alvin sedang berada di ruangannya, menunggu kami. Jadi,
aku dan Wijaya memutuskan untuk menuju ruangannya, memasuki lift yang membawa kami ke
lantai atas.

Gedung ini benar-benar sepi, sangat sangat sangat sepi. Bahkan, mataku tak dapat menipu bahwa
penjaga itu lah satu-satunya orang asing yang kutemui selama aku berada di dalam sini. Gilanya
lagi, tepat ketika pintu lift terbuka, kembali kudapati pemandangan yang sama. Sebuah lorong luas
tak bertuan. Tak ada siapapun, sungguh sepi. Walaupun begitu, suasana sejuk tempat ini membuat
semuanya tak terlihat menyeramkan. Malah sebaliknya, membuatku betah.

Wijaya yang seolah-olah mengetahui isi pikiranku pun berceletuk. "Ke mana orang-orang?"

Kuangkat kedua bahuku, menandakan ketaktahuanku.

Kalau kukunjungi kantorku di jam yang sama, sudah pasti kutemukan teman-temanku yang sibuk
di depan komputer, menemui beberapa orang yang bulak-balik mengambil berkas, atau bahkan
mendapati beberapa orang yang tengah bermain playstation, menghilangkan rasa penat mereka.
Sungguh keadaan yang berbeda sepenuhnya.

Akhirnya, kudapati ruangan dengan tulisan A03 yang terletak pada sisi kiri lorong, dihiasi oleh
lampu hias yang menyala kecil, berwarna krem di atas karpet halus yang tak dapat kurasakan
secara pasti karena sol sepatu yang menghalangi. Sejujurnya, aku sempat ragu untuk mengetuk
pintu, mengingat tempat yang begitu sepi bagai tak ada manusia. Namun, aku sendiri tak memiliki
alasan yang cukup kuat untuk tak melakukannya. Penjaga itu bilang bahwa Pak Alvin berada di
ruangannya, artinya dia pasti ada di sini, kan?

Akhirnya, kuketuk pintu sebanyak tiga kali, sedangkan Wijaya bersiaga di belakangku—seperti
biasa. Akhirnya, pintu terbuka secara perlahan, menampakkan seorang pria dengan umur yang
tampaknya hampir sama denganku, mungkin sedikit di atasku. Mengenakan kacamata dengan
kemeja putih mahal. Sepatu berwarna hitam dan celana bahan kain yang kuyakini hanya bisa
didapatkan di toko butik terkenal seolah-olah menandakan bahwa orang ini—yang tengah berada
di hadapanku—adalah seorang penguasa luar biasa. Wajahnya sendiri tampaknya berasal dari
keturunan tiongkok, tetapi tidak murni. Dalam sesaat, lelaki itu tersenyum dan mempersilakan
kami masuk dengan begitu ramah. Bahkan, seolah-olah lelaki ini secara sengaja telah menyediakan
kursi untuk kami, walaupun hanya satu kursi.

Namun, pada akhirnya ia mempersilakan kami untuk duduk di sofa yang telah disediakan,
sedangkan lelaki itu duduk di tempat sebagaimana mestinya. Namun, kedua lengannya sibuk untuk
merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.
Ruangannya cukup luas, lebih luas dari ruanganku. Agak dingin karena pengatur suhu yang
dinyalakan. Selain itu, jendela yang cukup besar membuat cahaya matahari dapat menembus
ruangan ini dengan leluasa, membuat penerangan alami yang memang dibutuhkan. Selain itu,
kertas-kertas yang tadi berserakan di atas meja segera dimasukannya ke dalam kabinet.

Lalu, untuk memastikan bahwa lelaki ini adalah orang yang kami cari, segera kubuka percakapan.

"Pak Alvin?"

"Ya, saya Alvin." Segera setelah ia memasukan seluruh dokumennya, ia segera mendekati kami,
menjulurkan lengannya, menandai awal perkenalan.

"Roy," kataku. "Dan ini Wijaya."

Pak Alvin segera melepaskan masa perkenalan. Bahkan, seolah tak sabar, ia bertanya, "Apakah
berita itu benar bahwa Pak Yoga dibunuh oleh seseorang?"

"Masih kami selidiki. Tapi kemungkinan besar, iya, Pak." Wijaya mendahuluiku

"Jadi, apa yang bisa saya bantu?" Pak Alvin segera bertanya, begitu tiba-tiba. Memang, sebenarnya
itu yang kami perlukan, tetapi tak kusangkan percakapan ini akan berjalan dengan sangat mulus,
seolah-olah ia tahu akan maksud dari kedatangan kami.

Namun, karena Wijaya yang memulainya lebih dulu, kupersilakan ia untuk mengambil alih situasi
ini, membiarkanku bersantai untuk beberapa saat.

"Anda bisa mulai dengan bagaimana Pak Yoga dapat bekerja di sini, apa yang beliau lakukan di
sini, bagaimana kepribadiannya, mungkin juga hingga seseorang yang mungkin tak menyukainya.
Lalu hubungan Anda dengan Pak Yoga, baik sebagai rekan kerja maupun di luar dari itu."

"Saya rasa pertanyaan terakhir akan sangat sulit untuk dijawab karena Pak Yoga adalah orang yang
baik."

"Sekehendak Anda saja, Pak, tidak perlu semuanya untuk dijawab."


Pak Alvin memperbaiki posisi kacamatanya, menaikannya dengan jari telunjuk, sebelum akhirnya
berkata. "Sebenarnya Pak Yoga belum lama bekerja di sini, mungkin baru sekitar tiga tahun. Dia
kepala distributor untuk pulau Sumatera, Jawa dan Bali."

"Tiga pulau sekaligus!?" Aku terhenyak, membuat Pak Alvin terkejut dan terpaksa memotong
ucapannya.

"Benar."

"Banyak sekali."

"Kepala distributor kami hanya ada tiga. Salah satunya Pak Alvin."

"Anda sendiri di sini sebagai apa, Pak?"

"Penanggung jawab distribusi barang wilayah Indonesia."

Sekali lagi, aku terbelalak. Ya ampun, kini seluruh analisis yang dilontarkan oleh Wijaya kemarin
kembali terlintas dalam benakku. Dengan perusahaan sebesar ini, dengan jabatan yang begitu
tinggi, kurasa pemikiran Wijaya itu tak dapat kusangkal. Maksudku, gila. Kukira ketika aku tahu
bahwa sang korban adalah kepala distributor, ia tidak memegang wilayah seluas itu, kukira hanya
wilayah Bandung, paling besar Bandung dan sekitarnya. Namun, kini seluruh anggapanku itu
runtuh begitu saja. Belum lagi perusahaan ini adalah perusahaan asing.

Akhirnya, dengan rasa penasaran yang menguap, keluar dari otakku dan benar-benar membuat
hatiku tak nyaman, aku bertanya, "Jadi, Anda mengepalai Pak Yoga?"

Pak Alvin mengangguk.

"Anda tahu ada berapa orang yang dikepalai oleh Pak Yoga?"

"Hanya satu."

"Satu?"
"Struktur di perusahaan kami sangat sederhana, Pak."

"Saya mengerti," kataku, sembari mengangguk. "Lalu, bagaimana dengan keseharian Pak Yoga?
Apa Anda pikir ada seseorang yang tak menyukainya sehingga ... Anda tahu, kan? Harus
menghabisi nyawanya."

"Dia orang yang rajin, tanggung jawab, sangat baik. Seperti yang saya katakan sebelumnya,
pertanyaan itu akan sangat sulit untuk saya jawab."

"Anda yakin?"

"Seratus persen."

"Bagaimana dengan kegiatannya, apa Anda tahu ke mana kemarin beliau pergi?"

"Di akhir pekan biasanya dia pulang," katanya. "Astaga, aku tak pernah menduga hal ini akan
terjadi. Dia benar-benar orang baik, Pak. Bahkan hampir setiap hari ia menghubungi keluarganya
hanya untuk menanyakan kabar."

"Setiap hari?"

"Iya, orang tuanya."

Aku sendiri mendapati banyak panggilan keluar dari ponsel korban. Seluruhnya ke nomor yang
sama, nomor orang tuanya. Orang tua dari korban sendiri pun mengaku bahwa setiap hari—atau
setidaknya hampir setiap hari—Agoy menelepon mereka, menanyakan kabar mereka, yang pada
awalnya tak begitu kupercaya. Memangnya siapa orang gila yang akan melakukan hal itu? Namun,
sekali lagi, pikiran itu tampaknya harus kulepaskan dari otakku.

Percakapan kami lanjutkan, tak begitu lama sebelum seseorang menghubungi ponselku. Walaupun
begitu, aku tak merasakan adanya masalah karena tampaknya kedatangan kami ke sini pun tak
begitu berarti. Oh, sialan, apakah ini sebuah kesalahan? Maksudku, WIjaya telah membuat
teorinya, dan kedatangan kami ke sini seolah-olah semakin mendukung teori yang Wijaya buat.
Namun, tak memberikan bukti yang kuat, hanya membuat asumsi yang semakin kuat. Aku merasa
seperti seseorang yang memiliki ide brilian, sangat luar biasa untuk memajukan kebudayaan
manusia, tetapi tak dapat menerapkan ide itu karena berbagai kendala. Tentu saja rasanya sangat
mengesalkan, bukan?

Akhirnya, kuangkat ponselku. Sungguh, sesuatu yang tak kuduga datang begitu saja.

Kepalaku bertanya-tanya. Sol sepatu yang mencegahku merasakan lembutnya karpet dalam
gedung ini berkali-kali kuhentakkan. Seorang petugas mengirimkan pesan singkat padaku.

'Pak, seseorang mengaku melihat pelaku pembunuhan kemarin. Apa Anda ingin menemuinya
langsung atau saya saja yang mengurusnya?'

Tentu saja kesempatan itu tak dapat kusia-siakan.

'Saya akan ke sana empat atau lima jam lagi. Tunggu.'


5. Clutch

Pertemuan yang kulakukan tidak berlangsung cukup lama, mungkin hanya sekitar satu jam,
bahkan kurang dari itu. Entah karena keegoisanku yang begitu tinggi hingga terlalu berharap
bahwa orang itu—atasan dari sang korban—memiliki sesuatu yang cukup kuat hingga bisa kututup
kasus ini dengan segera, atau mungkin karena rasa ketidakpuasanku akan lontaran kalimatnya yang
tidak begitu mengejutkan, selain struktur organisasi perusahaan yang terlihat sangat sederhana.

Aku kembali melintasi jalan tol di bawah teriknya matahari yang memanggang aspal. Speedometer
mobil menunjukan angka 120. Aku melanggar peraturan di mana seharusnya kuturunkan
kecepatan hingga 80 kilometer perjam, tetapi kakiku tak ingin melakukannya. Sekali saja
kulepaskan pedal gas, maka secara otomatis ujung kakiku akan menginjaknya kembali, seolah-
olah sebuah kutukan merayapi kakiku.

Wijaya kini menggantikanku, duduk pada bangku penumpang sambil membersihkan kuku-
kukunya. Walaupun begitu, matanya bergerak ke segala arah meskipun pandangannya lebih sering
mengarah keluar jendela, memperhatikan lukisan jingga yang terbentang di atas cakrawala.
Memang, hari sudah mulai sore. Bahkan, kurasa terlalu cepat hingga aku sendiri pun tak
menyangka bahwa sebentar lagi sang mentari akan turun dari tahtanya.

Kami melakukan satu kali pemberhentian untuk mengisi bensin sekaligus mengisi perut kami. Aku
yang merasa tidak begitu nyaman ketika harus terburu-buru lebih memilih untuk membeli roti
dalam kemasan. Sedangkan Wijaya tak kuasa menahan laparnya, memilih untuk memakan
makanan berat, membuatku terpaksa menunggunya untuk menghabiskan seluruh jajanannya. Tapi,
hey, roti pun makanan berat, bukan? Aku tak mengerti mengapa orang-orang Indonesia—
khususnya di pulau Jawa—menganggap seluruh makanan selain nasi bukanlah makanan berat.

Seperti tebakanku sebelumnya, aku berhasil sampai kantor sekitar empat jam kemudian. Sedikit
bersyukur karena besok adalah awal dari minggu yang baru, membuat orang-orang Jakarta kembali
menuju kotanya, meninggalkan Bandung dalam keadaan sepi—lebih lancar dari yang kuduga.

Pengatur suhu mobil berdengung beberapa detik sebelum kumatikan mesinnya. Kemudian,
Kulepaskan sabuk pengaman dan sedikit berlari kecil. Sebelumnya, telah kupastikan bahwa
seseorang—entah siapa—yang mengaku melihat pelaku pembunuhan itu berada di kantor
kepolisian. Setidaknya, itulah yang dikatakan petugas yang menghubungiku.

Wijaya mengikutiku dari belakang. Bedanya, dia tidak berlari kecil. Wijaya begitu santai, bahkan
sempat-sempatnya memasukan kedua lengan ke dalam saku. Namun, bukan alasan yang tepat
bagiku untuk tak terburu-buru. Maksudku, ya ampun, aku tak suka membuat orang menunggu.

Bagian penerima aduan masyarakat menjadi tujuan utamaku, menanyakan orang yang kumaksud.
Namun, dengan segera, sang penjaga tampaknya tahu tujuanku. Bahkan, tanpa perlu
menyelesaikan seluruh pertanyaanku, sang penjaga mengulurkan lengannya lebih dulu sambil
melepaskan jempolnya, menunjukkan orang yang kumaksud. Tentu saja dengan spontan aku
berbalik, menemukan wanita baya, mungkin hampir masuk 50 tahun sedang duduk dengan
anggunnya. Kedua lutut ditutupnya, sedangkan baju ungu dengan model yang tak kukenal, tampak
menunjukan bahwa ia adalah seorang ibu-ibu dan membuatnya terlihat mencolok. Berbeda dan
menarik. Walaupun tentu saja kerutan di wajahnya tak dapat menyembunyikan semua hal itu.

Tanpa basa-basi, aku berjalan mendekatinya, membuat perempuan itu berdiri dengan segera.
Kujulurkan lenganku, memperkenalkan diri dan wanita itu pun memberikan rekasi yang sama.
Dewita namanya, tetapi kusapa sebagai Bu Dewi karena umurnya yang terpaut cukup jauh
denganku—mungkin. Wijaya pun melakukan hal yang sama.

Sebagai sang tuan rumah, kupandu orang tua itu menuju ruanganku, mengambil jalur kanan dari
persimpangan depan, mengarahkannya ke lorong yang sedikit remang-remang akibat lampu yang
tak dinyalakan. Kemudian, berbekal kunci yang hampir selalu kubawa setiap saat, kubuka pintu
itu, membuat ruangan pengap terbuka untuk dimasuki siapapun, walaupun tetap saja harus
seizinku.

Segera setelah kutekan saklar lampu, ruangan ini tampak lebih baik daripada sebelumnya, biarpun
beberapa lembar kertas masih berserakan di atas meja, membuatku bergegas merapikannya. Selain
itu, Tanpa seizinku—yang kontradiksi dengan pernyataanku sebelumnya—Bu Dewi memasuki
ruangan, duduk di atas kursi yang memang telah disediakan bagi siapapun—tamu—yang
mendatangi ruanganku, membuat Wijaya berdiri dengan tegap di ambang pintu.
Aku mengambil posisi sebaik mungkin, kemudian mengayunkan jari telunjuk dan jari tengahku
yang sengaja kurapatkan, dua kali, isyarat untuk Wijaya agar merekam percakapan kami.
Sebenarnya, itu bukanlah bahasa tubuh yang umum digunakan, Gerakan itu kubuat bersama
Wijaya. Lalu, Wijaya mengambil ponselnya, terlihat sibuk berkutat dengan gadget-nya.
Sedangkan aku lebih memilih untuk mencatat menggunakan ponselku.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, segera kumulai percakapan, orang kedua yang kuharap dapat membantu
penyelidikan kasus ini.

"Jadi, Bu Dewi," kataku, beberapa saat sebelum menenggak ludah yang telah bergumul pada
mulutku sebelumnya. "Saya dengar ibu akan memberikan kesaksian atas kasus yang kemarin
terjadi."

"Benar." Bu Dewi menjawab tanpa ragu, hampir seperti kereta patas yang melewati stasiun kecil—
berjalan sangat cepat.

"Sebelumnya bisa ceritakan mengenai diri Anda sendiri dulu, Bu? Nama ... ah, itu sudah, ya?
Kalau begitu langsung saja di mana Anda melihat sang pelaku dan bagaimana Anda dapat yakin
bahwa itulah sang pelaku."

"Saya tetangga korban," katanya lagi, dengan lantang, membuatku terkejut.

Namun, seolah menjadi orang bodoh, aku berusaha untuk meyakinkan indera pendengaranku,
menanyakan kalimat yang baru saja diberikannya. "Anda tetangga korban?"

"Ya."

"Apa yang Anda lihat?"

"Janu mengendarai mobil itu," tukasnya. "Saya tidak ingat kapan hari, tetapi saya yakin hal itu
terjadi pada waktu Shubuh, ketika saya hendak membuat sarapan."

Selama ini Janu lah yang membantu kami, mengurusi semuanya, bekerja sama walaupun tak
menutup kemungkinan seseorang yang terlihat sangat mendukung kami pun, dapat melakukannya.
Aku tidak mengatakan bahwa Janu tak mungkin melakukannya, tetapi belum dapat kupastikan.
Jadi, kulanjutkan pertanyaan yang tidak kususun, kulontarkan secara spontan.

"Kapan biasanya Anda menyiapkan sarapan?"

"Pukul empat pagi."

Penemuan mayat sekitar pukul lima pagi, perjalanan dari lokasi rumah korban ke tempat kejadian
perkara pun tak membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Masih masuk akal, tetapi tetap belum
bisa kujadikan sumber primer untuk mendukung teori bahwa korban dibunuh—mungkin oleh
saudaranya sendiri.

"Bisa Anda ceritakan detailnya?" tanyaku sembari mengepalkan kedua lengan, menyimpannya di
atas meja. Namun, tepat ketika wanita itu akan berbicara, aku menyela lebih dulu. "Tapi
sebelumnya apa Anda ingin meminum sesuatu, Bu? Air mineral atau teh?"

Bu Dewi mendorong kepalanya. Tidak terlalu signifikan, tetapi tetap terlihat lebih maju. "Teh saja.
Terima kasih."

Wijaya berinisiatif untuk keluar ruangan setelah ia berikan ponselnya padaku. Layarnya
menunjukan waktu yang terus berjalan, mulai memasuki menit kelima.

"Jadi, apa Anda dapat menceritakan detail kejadiannya? Sedetail mungkin," tanyaku kembali
sambil mengernyitkan kening, serta mencatat seluruh hal yang perlu kucatat di dalam memo.
Sebenarnya, aku bisa menggunakan komputer, tetapi booting yang biasanya membutuhkan proses
lama membuatku mengurungkan niat itu. Memang, tempat ini membutuhkan pembaharuan,
termasuk benda-benda elektronik. Komputerku saja tak dapat terkoneksi dengan internet secara
nirkabel. Memangnya aku hidup di tahun berapa?

"Ketika itu saya bangun tidur, suami saya dan anak-anak saya pun masih tidur. Seperti biasa saya
ke dapur untuk memasak nasi, mengeluarkan beberapa bahan yang saya perlukan untuk memasak.
Lalu, saya beristirahat sejenak, di ruang depan menonton televisi. Di saat itu saya mendengar suara
mesin mobil yang menyala, membuat saya membuka tirai jendela untuk melihat keluar."
"Di saat itu Anda melihat mobil tetangga Anda?"

"Ya."

"Dari mana Anda tahu bahwa Janu membawa mobil itu?"

"Tato anak itu terlihat dengan jelas. Dia mengeluarkan tangannya dari jendela."

Aku berdeham. Sekali lagi masuk akal. Beberapa orang memang terbiasa untuk mengeluarkan
salah satu lengannya, menyandarkannya pada jendela yang terbuka. Bahkan, mungkin juga sambil
merokok. Aku sendiri pernah melakukan hal itu beberapa kali, tak ada alasan bagiku untuk
meragukannya. Bu Dewi pun tampaknya mantap dengan pengakuannya, memberikan penjelasan
sebaik-baiknya tanpa menutup-nutupi.

Kemudian, tepat di saat jeda percakapan kami, Wijaya kembali sembari membawa secangkir teh
dengan kepulan asap yang memenuhi bagian atas cangkir. Dengan tatakan kaca, ia meletakannya
tepat di depan perempuan itu. Namun, tak langsung ia sesapi. Sebaliknya, perempuan itu malah
bertanya.

"Mungkin saja adiknya itu membunuh kakaknya sendiri, kan?"

Aku yang belum ingin menarik kesimpulan, menggeleng dua kali sembari masih mengetikkan
beberapa kata yang belum sempat kutulis pada memo ponselku. Aku sedikit terperangah ketika
harus melakukan dua aksi sekaligus. Walaupun memang aku dapat melakukan beberapa pekerjaan
sekaligus, tetapi berbicara sambil menulis bukanlah keahlian utamaku.

Dengan sedikit gagap, aku menjawab, "Ah, ya ... mungkin saja." Kemudian, segera setelah selesai
kutuliskan segala hal yang perlu kutuliskan, kucoba untuk menjawab dengan lantang.

"Belum dapat saya pastikan."

"Bukankah keterangan saya sudah jelas?"

"Untuk saat ini, ya, mungkin saja. Tetapi kami belum bisa menyimpulkan hingga sejauh itu, Bu."
Namun, tampak tak menyukai jawabanku, secara ketus perempuan itu membalas. "Saya harus
pergi sekarang, ada urusan."

Satu pertanyaan terlintas dalam benakku. Apakah cara berbicara perempuan—utamanya ibu-ibu—
ketika ia merasa tak menyukai seseorang—atau pernyataan seseorang—memang menyebalkan
seperti itu? Cepat, tegas, dengan nada yang terkesan sombong. Bahkan perempuan itu hendak
segera beranjak dari kursinya hingga terpaksa kutahan untuk menanyakan nomor yang bisa
dihubungi. Namun, setelah itu, perempuan itu kembali pergi, meninggalkanku dan WIjaya dalam
kebingungan.

"Ibu itu kenapa, Pak?" tanya Wijaya segera.

"Sedang menstruasi, mungkin?" aku tertawa pendek. Namun, candaanku tak dapat melebihi itu,
ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan Wijaya, sesuatu yang mungkin akan membuat
semuanya sedikit berubah.

"Kau ingin tahu apa yang ibu itu katakan tadi?" tanyaku, sembari mengembalikan ponsel Wijaya.

"Apa, Pak?"

"Ibu itu bilang dia melihat Janu mengendarai mobilnya. Apa kau pikir anak itu memiliki
kemungkinan untuk membunuh saudaranya sendiri?"

Wijaya menatap tak percaya. Mulutnya terkatup kuat-kuat ketika aku lebih memperhatikan
secangkir teh yang bahkan belum sempat terminum—asapnya masih mengepul.

"Benarkah?" tanyanya.

"Aku tidak tahu. Mungkin benar, mungkin saja perempuan itu hanya mengada-ada. Lagipula aku
tidak begitu menyukainya."

Wijaya menatapku bingung, membuatku terpaksa menjelaskan.

"Ia ingin membuat Janu seolah-olah tersangka utamanya. Aku tidak mengatakan itu tidak
mungkin, tetapi bisa saja perempuan itu mengada-ada."
"Lalu, bagaimana jika ternyata Ibu itu mengatakan yang sebenarnya, Pak?"

"Sudah kukatakan jika itu mungkin terjadi, kan?" tegasku. "Ketika pertama kali sang adik
mendatangi lokasi, aku memperhatikannya secara teliti. Percayalah padaku, Wijaya, tetapi anak
itu tak terkejut—sama sekali. Anak itu sudah tahu bahwa kakaknya telah meninggal dunia. Namun
aku tak tahu apakah karena anak itu tahu apa yang akan dilihatnya, atau karena seorang petugas
telah memberitahukan semuanya padanya, membuatnya dapat menahan diri." Aku meneguk ludah.
"Tapi satu hal yang pasti, ketika kau memberitahukan bahwa mayat itu adalah korban
pembunuhan, bukan bunuh diri, semuanya memberikan atmosfer yang sama, begitu terkejut.
Sekali lagi, aku tidak tahu mereka terkejut karena pada akhirnya kita menyimpulkan kasus ini
sebagai kasus pembunuhan, atau tak menyangka karena kita menyimpulkannya sebagai kasus
pembunuhan."

"Saya mengerti, Pak." Wijaya berdeham. "Saya tak begitu memfokuskan diri pada Janu. Saya pikir
hanya karena sang ayah yang tak ingin bekerja sama, saya dapat menuduhnya."

"Mungkin mereka bersekongkol."

"Bagaimana dengan sang ibu korban?" Wijaya melanjutkan pertanyaannya. "Selama ini
tampaknya sang ibu korban keluar dari pengawasan kita."

"Aku tidak tahu, Wijaya," kataku. "Tetapi yang pasti, tampaknya kita sudah sepakat. Tersangka
utama kita adalah salah satu anggota keluarga itu, atau mungkin dua orang, mungkin juga
semuanya. Yang pasti, kita harus mencari tahu trik dari mobil yang tertutup itu. Selama kita tak
dapat menungkapkan bagaimana cara mobil itu terkunci dari dalam dan seseorang keluar darinya,
kita tak dapat bergerak lebih jauh."

Wijaya mengangguk setuju.

===

Tumpukan kertas berantakan di atas mejaku, di samping kepala manekin yang sengaja tak
kubuang. Terdiri dari tiga lembar yang berisi catatan penyelidikan. Bagaimana cara korban
terbunuh, bukti-bukti yang menguatkannya berdasarkan analisis Dokter Dalton. Beberapa foto
yang sengaja kuminta dari petugas forensik pun tak luput turut mengambil andil untuk merusak
estetika mejaku. Selain itu, sekumpulan keterangan dari beberapa orang—tepatnya dua—yang
sebelumnya telah kutuliskan pun kini berada di atas kertas.

Sekali lagi, kupilah lembaran-lembaran itu, membacanya sekali lagi secara seksama.

Korban merupakan seorang kepala distributor, ditemukan meninggal pada pukul enam dalam
sebuah mobil dengan alat pembakar yang masih menyala di bagian tengah mobil. Serpihan kaca
berserakan di dalam mobil akibat saksi—yang menemukan mayat pertama kali, Pak Erlangga—
sengaja memecahkan kaca jendela untuk menolong korban. Kematian korban diduga akibat
jeratan benang, dibuktikan atas lampiran yang diberikan oleh Dokter Dalton. Alat pembunuhan
belum/tidak ditemukan. Selain itu, berdasarkan keterangan beberapa orang, korban adalah orang
yang sangat baik, hampir tidak mungkin seseorang tak menyukainya. Lalu, seorang saksi yang
lain mengatakan saudaranya terlihat tengah mengemudikan mobil di pagi hari, sekitar pukul
empat hingga lima. Kemungkinan besar membawa mayat korban.

Aku mengambil napas, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Lalu, kukembalikan kertas-
kertas itu menumpuk di atas meja, tetap tak kubereskan. Ah, betapa luar biasanya aku ini, dapat
bertahan dengan suasana berantakan seperti itu.

Aku baru saja berniat untuk keluar dari kamar ketika kudengar ketukan pada pintu kamarku. Tiga
kali, dan aku yakin Loka yang melakukannya. Jadi, kubuka pintu sembari mendengarkan decitan
khas yang setiap hari kudengar. Sejujurnya, aku sedikit terganggu. Namun, selalu kuupayakan
untuk menganggapnya sebagai irama lagu—lagu terburuk.

Loka berdiri di depan pintu kamarku, menyodorkan sebuah kertas buram yang telah terlipat tak
rapi, tidak simetris. Aku yakin, jika orang-orang yang mengalami OCD melihatnya, mereka pasti
telah berteriak sekeras-kerasnya. Mungkin pula menghajar Loka yang telah melakukannya.
Untungnya, aku tak seperti itu.

"Minggu depan dibagi rapot," beritahunya, ketika aku membaca surat edaran itu. Dua minggu lagi.
"Berarti sekarang lagi minggu UAS, dong?" Kembali kulipat kertas itu. Namun, kubuat belahan
yang baru, lebih rapi dan pastinya simetris.

"Iya."

"Kalau gitu belajar yang bener, ya."

"Pasti lah!" katanya dengan semangat, membuat hiasan senyum pada wajahku. Ya ampun, bahkan
aku tak pernah ingat dia pernah berbicara seperti itu padaku. Aku tidak peduli akan cara bicaranya
yang mungkin terlihat tak sopan bagi sebagian orang. Namun, melihatnya seperti seseorang yang
sangat senang akan kehidupan ini, aku pun telah merasa bahagia.

Sekali lagi, pikiranku mengenai Loka kembali menyeruak dalam benakku. Semester genap akan
berlalu, anak ini akan naik tingkat ke kelas tiga SMA. Ia akan kuliah dalam waktu yang dekat,
mungkin meninggalkanku untuk merantau. Namun, artinya semakin dekat anak ini memiliki
kehidupannya sendiri, kehidupan yang lepas dariku. Aku memang tak mengetahui masa depan
manusia, tetapi aku selalu berharap ia akan menjadi orang yang berguna, sesedikit apapun.

Telah kutelusuri berbagai kehidupan orang-orang, utamanya para pembunuh yang bahkan jika
kuceritakan latar belakang mereka pada orang-orang awam, kurasa mereka pun tak dapat
memercayainya. Beberapa di antara mereka memang berasal dari keluarga yang buruk, orang tua
yang bercerai, bahkan pemabuk. Membuat pribadi mereka menjadi pribadi yang buruk pula. Hidup
secara liar. Mulai dari mengemis, hingga menodongkan senjata tajam pada para pejalan kaki. Telah
kutemui banyak kasus seperti itu.

Namun, tak hanya itu. Beberapa pelaku pembunuhan—sejauh yang kuselidiki—pun tak selalu
berasal dari lingkungan kotor yang mengontaminasi orang-orang. Pribadi mereka terbentuk secara
anomali. Berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, tak ada anggota keluarga lainnya yang
memiliki catatan kejahatan, tetapi tiba-tiba mereka menjadi orang yang pertama. Berbagai faktor
dapat mendukung hal itu, baik dari dalam diri maupun luar diri.

Yang jauh lebih buruk dari itu, aku telah menangani sebuah kasus yang dilakukan oleh seorang
psikopat gila. Seorang kembaran dari dokter yang memutilasi korban-korbannya. Namun,
penekananku sebenarnya bukanlah seberapa buruknya manusia-manusia itu, tetapi mereka
tetaplah manusia. Sedingin apapun, sehilang-hilangnya emosi mereka, mereka tetap memiliki satu
titik kecil yang dapat membuat mereka menjadi manusia. Bahkan, seorang pembunuh berantai
pun—yang merasakan kesendiriannya selama itu—dapat luluh, mengobrol denganku layaknya
teman, padahal kami baru saja bertemu dalam suasana yang berbeda jauh. Dia adalah seorang
pembunuh, dan aku menangkapnya.

Aku tak tahu masa depan.

Aku tak pernah menyangka dapat menjadi seorang polisi. Namun, aku yakin orang tuaku tak akan
bangga pada diriku—sedikitpun. Seluruh pilihanku mungkin selalu menjadi penyerangan bagi
mereka. Seluruh pilihanku adalah kesalahan, membuatku kabur dari rumah dan tak pernah
kembali.

Aku tak tahu bagaimana kabar mereka. Namun, kini aku memiliki hal lain yang lebih darurat
dibandingkan masa laluku.

Apakah Loka akan menjadi orang yang baik? Apakah Loka akan menjadi diriku yang kedua?
Apakah dia akan baik-baik saja? Ataukah dia sama seperti orang-orang lain, orang-orang yang
kehilangan, tetapi tidak mendapatkan kesempatan yang cukup baik hingga akhirnya kehilangan
arah.

Lalu, kenapa aku berpikir seperti ini?

Apakah karena aku merasa Janu pun mungkin mengalami hal yang demikian?
6. Clutch II

Mungkin akan ada banyak sekali orang yang menertawakanku, bahkan hingga menghardikku
begitu melihat daftar riwayat pencarian yang ada dalam ponselku—betapa memalukannya.
Kalimat-kalimat yang tampak tolol seperti 'Bagaimana mengunci mobil dari dalam' dan
semacamnya telah memenuhi riwayat pencarianku selama tiga puluh menit terakhir. Namun, tentu
saja hal itu tak akan bisa kutemukan dengan mudah. Nihil, bahkan hingga belasan halaman
pencarian yang kutelusuri, tak ada satu situs pun yang menyinggungnya.

Akhirnya, merasa putus asa, kulahap sarapan yang telah kubeli sebelumnya, nasi putih dengan
tumis kangkung. Kesukaanku, tetapi bukan dengan alasan makanan itu adalah makanan terbaik
bagi lidahku, melainkan harganya yang murah. Sebenarnya, aku sedikit menyesal karena tak
pernah belajar untuk memasak, membuatku terpaksa selalu membeli makanan, menghamburkan
uangku yang sebenarnya dapat kuhemat dengan lebih baik. Tapi, hei, bukankah artinya aku dapat
memakan makanan apapun seprti yang kumau, tak perlu tergantung akan kemampuanku untuk
memasak makanan-makanan terbatas yang dapat dibuat olehku?

Loka sudah berangkat ke sekolah, mendahuluiku. Mengenakan celana abu-abu dan tas yang
tampaknya tak terisi apapun, dia mengendarai motor peninggalan ayah kandungnya dulu.
Sebenarnya, beberapa kali kutawarkan untuk pergi bersamaku, tetapi alasan sulit untuk pergi ke
mana-mana tanpa motor selalu mendekap dalam mulutnya. Jadi, aku tak dapat menghasutnya.
Selain itu, memang ada benarnya juga, sih.

Walaupun berulang kali sendok yang kugenggam masuk dan keluar dari mulutku, tetapi pikiranku
hanyut dalam hal yang lain, seolah-olah otak dan sistem motorikku bekerja untuk dua hal yang
berbeda. Kukunci ponselku, menyimpannya di samping piringku sembari memikirkan kegiatan
yang akan kulakukan hari ini. Minimal pagi ini.

Secara umum, ketika kuselidiki sebuah kasus, utamanya kasus pembunuhan, ada dua hal yang
akan kuselidik seteliti mungkin. Pertama, bukti yang kuat untuk menunjang seluruh kesimpulan
yang kubuat dalam kasus itu. Dan kedua, motif yang kuat dari pelaku. Aku tahu, biarpun
sebenarnya alasan pertamaku pun sudah cukup bagus untuk mengakhiri sebuah kasus, tetapi rasa
kemanusiaanku memaksa untuk memberikan alasan yang kedua. Semua orang di dunia ini—
termasuk diriku—pasti memiliki motif yang kuat untuk melakukan suatu kegiatan, termasuk
alasan lapar yang menjadi motif utamaku untuk menyantap sarapan ini. Jadi, aku tak dapat
melepaskan hal itu dari penyelidikanku.

Pembunuhan yang sedang kuselidiki sekarang ini—seorang kepala distributor—pun tak luput dari
hal yang sama. Bahkan, berdasarkan bukti, asumsi, dan kesaksian beberapa orang, dapat
kusimpulkan bahwa keluarga korban pun terlibat akan pembunuhannya. Namun, kini pertanyaan
baru timbul dalam benakku. Kenapa? Bukankah dia adalah orang yang baik? Bukankah dia begitu
menyayangi keluarganya hingga setiap hari menanyakan kabar? Masalah apa yang menimpa
keluarga mereka sehingga mereka—seandainya memang benar adanya—harus membunuh orang
baik itu?

Kutumpakkan keningku di atas telapak tangan, tentunya setelah kulepaskan sendok dari lenganku.
Kepalaku berdenyut, dua kali. Astaga, sialan, kenapa semua orang tidak dapat hidup selayaknya
manusia normal, sih?

Semalam, Wijaya sendiri telah mengontakku, meminta izin dariku untuk pergi ke rumah keluarga
korban, memastikan kesaksian yang diberikan oleh tetangganya itu. Tentu saja aku pun tak ingin
meninggalkan kesempatan itu. Namun, rencana kami itu baru akan dilaksanakan pagi ini.

Waktu telah menunjukan pukul tujuh, tetapi awan dengan intensitas yang besar menutupi cahaya
matahari, membuat dunia ini terlihat mendung. Kelabu merayapi permukaan dunia. Namun, bukan
alasan yang tepat bagiku untuk mangkir dari pekerjaan. Jadi, kuhabiskan seluruh makananku,
mengambil seluruh barang yang mungkin akan kuperlukan selanjutnya, termasuk menutupi diriku
dengan jaket, beranjak pergi sesegera mungkin hingga sebuah chat tiba-tiba mendatangi notifikasi
ponselku.

Wijaya mengontakku.

"Pak, Anda harus ke sini sekarang."

===
Ketika pertama kalinya kakiku menginjak tanah di sekitar tempat ini, ada banyak hal yang
kuharapkan berada di sini, terlepas dari ada atau tidaknya Wijaya yang tengah berdiri di depan
pintu, menunggu kehadiran seseorang. Rumah bercat putih ini—rumah dari orang tua Agoy—
sama seperti sebelumnya. Tak menjadi reruntuhan dalam dua hari semenjak terakhir kutinggalkan.
Eksteriornya masih rapi, tetapi terkesan mengerikan. Sedangkan Wijaya, begitu mengenali
mobilku yang terparkir di jalanan depan, segera menghampiriku.

Beranda rumah itu masih sama, lampu bagian luar mati, tak menyala, tetapi tetap sama, belum
berubah menjadi neon panjang yang dapat menerangi bagian depan dengan lebih baik. Bahkan,
tanaman-tanaman yang sengaja diletakkan di halaman depan yang luas pun tampak masih subur,
belum mati. Namun, terdapat satu benda yang menghilang dari penglihatanku.

Mercedes itu menghilang dari tempat ini.

Aku yakin benar, terakhir kukunjungi tempat ini, C200 itu masih terparkir di halaman depan
dengan gagahnya, berwarna perak mengilap dan dapat memantulkan sinar matahari dengan cukup
baik. Janu menyebutkan bahwa mobil itu adalah milik kakaknya—lebih tepatnya mobil kantor
kakaknya. Namun, kenapa sekarang mobil itu tak dapat kulihat sejauh mata memandang?

Sepatu Wijaya berbunyi dengan irama yang canggung, jeda antar suara dari sepatu bagian kiri dan
kanannya tampak tak sama, mungkin berbeda beberapa milidetik.

Melihat lingkungan seperti ini, kurasa tak kubutuhkan penjelasan yang lebih jauh dari Wijaya. Aku
sudah menerka ucapan apa yang akan diberikannya padaku.

Mereka kabur, atau semacamnya.

"Pak, mereka tidak ada di rumah," ucap Wijaya, seolah-olah meng-iya-kan pemikiranku
sebelumnya. Namun, aku tak dapat merasa begitu bangga, memberitahukan dirinya bahwa aku
adalah seorang penebak ulung—percuma saja. Perhatianku lebih teralihkan pada mobil yang
hilang.
"Maaf, Pak, saya datang ke sini lebih pagi karena ingin memastikan mereka belum pergi lebih dulu
untuk bekerja. Tetapi begitu menyadari bahwa mobil yang terakhir terparkir di halaman rumah
tidak ada, saya ...."

"Ya, ampun, Wijaya!" Nada bicaraku meninggi, tetapi bukan berarti aku marah. "Kapan sih kau
akan berhenti meminta maaf atas seluruh perbuatanmu itu? Jangan membuatku merasa aku adalah
seniormu," lanjutku, sembari tertawa.

Namun, Wijaya tak setuju.

"Anda memang lebih senior dari saya, kan, Pak?"

"Tapi bukan atasanmu."

"Tetap saja."

Aku berdecak, menggelengkan kepala atas, betapa keras kepalanya anak ini, untungnya untuk hal
yang sopan.

"Aku tidak ingin merasa menjadi atasanmu. Kau terlihat seperti bergantung padaku. Kau cerdas,
Wijaya, kau dapat bertindak sesukamu, tak perlu meminta maaf, apalagi yang kaulakukan itu pun
tak salah."

Wijaya mendengus pelan, tawanya yang tertahan terdengar secara samar, angin yang keluar
melalui lubang hidung dan giginya yang sudah sengaja dirapatkannya itu terdengar aneh. Namun,
aku tak menarik kembali kata-kataku. Aku memang menyukai orang0orang yang mengagungkan
norma kesopanan, menjadikan dirinya terlihat lebih bermoral dan memiliki etiket yang baik, tapi
tidak untukku, terlebih lagi oleh WIjaya.

"Jadi, apakah kau sudah memeriksa bagian dalam?" tanyaku, sembari mengganti topik,
menunjukan perasaan bersalahku secara tidak langsung. Memang, agak tolol juga, sih, mencoba
mengubah kebiasaan seseorang. Lain halnya jika aku adalah orang tua yang mendidiknya dari
kecil. Tapi, tidak sekarang ini.
Wijaya mengangguk, beberapa kali. "Hanya sebagian kecil, tetapi saya rasa tidak ada seorangpun
di sana, semuanya kosong."

"Aku mengerti," kataku. Kemudian, mengambil ancang-ancang untuk berjalan.

"Ayo."

Rumah ini cukup luas, mungkin satu setengah kali lebih besar dari rumahku. Eksteriornya ditata
dengan baik. Sebuah halaman yang cukup luas memenuhi bagian depan dengan rerumputan
berwarna hijau. Namun, tetap diberikan pijakan marmer untuk orang-orang yang ingin berjalan
melaluinya. Walaupun begitu, rumah ini tak memiliki garasi. Alasan itu pula lah yang membuatku
menyadari bahwa mungkin ada sesuatu yang tak beres yang menimpa—atau sengaja dilakukan—
para penghuni rumah ini.

Memang, walaupun mungkin saja orang-orang itu sedang keluar, masing-masing bekerja atau
melakukan hal lain yang sangat dibutuhkan seperti menghadiri pemakaman anggota keluarga
mereka yang baru saja meninggalkan dunia ini, tetapi pernyataan yang diberikan oleh Wijaya
membuatku sangat yakin bahwa keadaannya tak seperti itu. Kurasa tak ada seorangpun—atau
mayoritas—yang akan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Sewajarnya salah satu
anggota keluarga mereka, yang keluar paling terakhir, menguncinya, kan? Lain halnya kalau
mereka terburu-buru dan memikirkan beban yang sangat berat, membuat orang-orang itu lupa.

Artinya mereka sedang terburu-buru.

Tawa kecil keluar dari mulutku. Desisan akibat kedua bibir yang sengaja kukunci tak dapat
menahan dirinya. Aku mengingat ketika dulu—temanku yang memiliki vila—mengunciku di
dalam vila karena ia lupa bahwa aku menginap. Ya, itu hanya alasannya, sih, aku tak tahu secara
pasti apakah kejadiannya seperti itu atau memang dia ingin mengerjaiku, tetapi kala itu aku hampir
menangis, ketakutan dalam kesendirian.

Wijaya bertanya-tanya, apa yang menghinggapi pikiranku sehingga secara tiba-tiba aku tertawa,
sendirian seperti orang gila. Namun, aku menghindar, tak memberitahukannya. Aku hanya
memberitahunya bahwa kenangan masa kecilku—bodoh dan tolol—membuatku menertawakan
diriku sendiri setelah melihat pintu depan yang mirip dengan yang ada di kenanganku itu.

Kami telah sampai di pintu depan, sedikit terbuka akibat Wijaya yang sebelumnya telah
mendahuluiku, menjejaki kaki-kakinya di dinginnya keramik. Ah, maksudku sepatunya.
Sebenarnya, sesuai dengan budaya yang ada di sini, aku dan WIjaya harus melepaskan sepatu,
bertelanjang kaki dengan kedinginan yang menjalar melalui pori-pori tubuh. Namun, tidak untuk
sekarang ini. Aku menjadi orang yang tak sopan, bajingan sesaat yang seenaknya memasuki rumah
orang tanpa izin.

Bagian depan rapi, tak ada kerusakan apapun. Tirai-tirai masih menggantung sebagaimana
mestinya, sebuah meja kecil dengan vas bunga yang menghiasi masih berdiri dengan anggun
menyambut kedatangan kami karena tuan rumah yang menghilang entah ke mana. Selain itu, dua
buah sofa panjang masih menghiasi ruangan depan—ruangan paling kecil.

"Ruangan mana saja yang sudah kau periksa?" tanyaku, sekaligus memastikan kembali bahwa
Wijaya memang benar-benar sudah menyelidiki rumah ini.

"Bagian depan, ruang bersantai atau keluarga, kamar tidur di lantai satu."

"Bagian belakang rumah?"

"Belum saya periksa, Pak."

"Kau mau berpencar?"

"Saya akan ke lantai dua, Pak."

"Oke."

Wijaya menaikkan lututnya tinggi-tinggi sambil mengambil ancang-ancang. Dia memang tak
menggenggam pistol yang tengah tergantung pada sabuknya, tetapi aku yakin refleksnya sangat
bagus. Beberapa kali kulihat reaksinya yang begitu cepat ketika kami mengejar seorang tersangka,
berhasil berteriak dan membuatnya berhenti. Jadi, aku yakin jika gerakan tiba-tibanya itu bisa
terjadi selama secepat kilat, mungkin dia pun dapat mengalahkan seorang koboi terkenal dalam
duel tembak.

Aku sendiri, tak menyukai keadaan seperti ini. Menggeledah rumah tak berpenghuni bukanlah
kegemaranku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Aku tak tahu apakah
mungkin saja seseorang secara tiba-tiba—aneh—menghajarku dari belakang, memotong
pergelangan tanganku dan membuatku lumpuh, menyuntikan obat-obatan dalam dosis yang tinggi
pada leherku, atau hal-hal gila lainnya yang biasa terjadi dalam sebuah film. Bahkan, lebih buruk
lagi. Zombie menyerangku karena ketaktahuanku bahwa sekarang adalah hari pertama penyebaran
wabah virus mematikan. Bisa saja, kan? Jadi, aku merasa lebih aman untuk menggenggam pistol
dengan kedua tangan. Mengambil ancang-ancang akan hal buruk yang mungkin terjadi.

Lantai satu rumah ini cukup luas dengan desain yang sangat sederhana. Terdiri atas lima ruangan
utama. Sebuah ruang keluarga yang amat besar, hampir tiga kali lipat ruang rapat pada kantorku.
Selain itu, terdapat dapur, dua buah kamar dan sebuah kamar mandi yang masing-masing
terintegrasi dengan ruang keluarga. Kemudian, pada bagian ujung, terdapat sebuah taman kecil
terbuka yang berisi kolam ikan dengan air mancur di tengah-tengahnya.

Ah, aku sendiri mengetahui seluk beluk rumah ini karena sebelumnya Janu memberikan tur gratis
mengelilingi rumah ini—sebutanku, sih. Ketika ia sendiri sibuk mencari informasi yang bisa
didapatkan mengenai kakaknya itu, secara lancang kukelilingi rumah ini, di luar pengawasan sang
ayah dan sang ibu yang lebih memilih untuk mengurung diri di kamar.

Sesuai dengan ucapan Wijaya, tujuanku langsung terarah menuju dapur—yang juga terbuka.
Tanpa pintu, dapat kulihat secara langsung sebuah kompor serta tabung gas yang berada di sudut
kanan ruangan. Sedangkan beberapa peralatan memasak tersimpan rapi pada raknya. Selain itu,
sebuah bungkus mie instan tampak ditinggalkan begitu saja—tidak dibuang. Membuatku berpikir
bahwa mangkuk yang tersimpan di atas meja keluarga merupakan akibat dari dimasaknya mie
instan itu. Di samping itu, sebuah panci dengan air yang menguning dengan bercak-bercak putih
turut memberikan dekorasi yang tak begitu baik. Gagang panci itu mengarah pada bagian kiri.

Kusentuh permukaan air itu.


Dingin.

Ya, aku sendiri tak tahu butuh berapa lama agar air rebusan mie instan terasa dingin di kulitku.
Namun aku yakin, artinya mereka telah meninggalkan tempat ini cukup lama. Mungkin lebih dari
satu jam.

Kemudian, kukunjungi bagian taman belakang. Begitu terang dibandingkan ruangan sebelumnya
dan cukup menyejukkan, terasa seperti berjalan melintasi dimensi. Rerumputan rendah setinggi
dua sentimeter memenuhi bagian ini. Ikan-ikan koi menghiasi kolam dengan suara air yang
mengalir dari regulator. Mereka mendatangiku, membuka mulutnya berkali-kali seolah aku datang
untuk memberikan makanan. Namun, tidak.

Tak kutemui apapun di taman ini.

Wijaya telah kembali, lengkap dengan pistol yang masih tergantung pada sabuknya. Dia
mendatangiku sambil mengangkat kedua bahunya.

"Tidak ada siapapun," beritahunya. Sedangkan aku berusaha mencari makanan ikan, memikirkan
ulang rencanaku yang sebelumnya tidak akan memberi makan ikan ini sembari berkata, "Ya,
tampaknya mereka benar-benar pergi."

"Mereka kabur."

"Mungkin."

Wijaya berdeham. "Mungkin?"

Aku merasa kecewa karena tak dapat menemukan makanan ikan di sekitar sini. Jadi, pikiranku
kembali fokus pada pembicaraan kami.

"Mereka bisa saja diculik. Tapi, ya, aku lebih senang untuk berasumsi bahwa mereka kabur, karena
kurasa mereka adalah tersangka utama hingga saat ini."

"Jadi, Pak, Anda sudah setuju jika mereka—sekeluarga—menghilangkan nyawa ...."


"Tidak begitu juga," selaku sebelum Wijaya menyelesaikan kalimatnya, membuatnya berhenti
secara canggung, menggelikan. "Aku belum menemukan motif yang tepat."

Aku beranjak dari taman ini, memasuki ruangan yang hanya dipisahkan oleh jendela besar yang
dapat digeser. Sedangkan Wijaya mundur dua langkah, memastikan jarak terbaik antara diriku
dengan dirinya.

Kukantongi kembali pistolku.

"Kita memerlukan keterangan lain yang dapat menguatkan motif pembunuhan," beritahuku. "Ya,
sekarang kita berada di rumahnya, kurasa tak akan terlalu sulit untuk menanyai beberapa tetangga."

"Termasuk ibu-ibu yang kemarin?"

Wijaya menggodaku. Dia tertawa, seolah-olah perempuan itu—Ibu Dewi—merupakan mimpi


terburukku yang harus selalu kuhindari. Namun, aku mengikuti permainannya. Tak dapat kutahan
tawa yang kini meledak.

"Tentu," kataku. "Ah, satu lagi, Wijaya."

Wijaya menaikkan sebelah alisnya.

"Apa kau ingat salah satu dari mereka, Janu, sang ayah atau ibunya, ada yang kidal?"

"Tidak," jawab Wijaya. "Kenapa Anda bertanya seperti itu, Pak?"

"Panci itu, juga sendok yang tersimpan pada mangkuk yang belum dicuci," kataku, sembari
menunjuk masing-masing benda yang kusebutkan. "Kurasa penggunanya kidal."

"Lalu, maaf, Pak, jangan tersinggung. Tapi kenapa Anda menanyakan hal itu?"

Ya, walaupun sejujurnya aku sudah merasa tersinggung karena sekali lagi dia meminta maaf, sih.
Maksudku, aku tak akan ambil pusing jika memang seandainya Wijaya melakukan kesalahan fatal,
membahayakan nyawanya dan juga nyawaku, atau memaksaku berada pada kondisi yang tak baik,
hidup menderita selamanya, menghilangkan Loka dari kehidupanku dan semacamnya. Tapi, untuk
hal ini, astaga! Dia bahkan belum mengatakan apapun sebelumnya dan ia sudah meminta maaf.

Aku hampir menghardiknya. Namun, tentu saja tak kulakukan. Mulutku masih terkunci, bahkan
mungkin tergembok secara rapat dengan kunci yang kubuang entah ke mana. Jadi, alih-alih
menghajarnya dengan ratusan kalimat yang tak patut didengar, aku membalas, "Aku hanya
tertarik."

Sekali lagi, wajah penasaran Wijaya timbul.

"Kurasa dengan kita mengasumsikan bahwa sang pembunuh adalah orang kidal, kita dapat
mengetahui sedikit kejelasan yang belum kita ketahui sejauh ini."

Wijaya hanya mengangguk pelan, meng-iya-kan pilihanku. Ia pasti mengerti akan apa yang
kubicarakan. Tenaga seseorang, pengguna tangan kanan dan kiri, kemungkinan besar berbeda,
kan? Tangan dominanmu kemungkinan besar memiliki tenaga yang lebih kuat. Aku sendiri tak
tahu apakah Dokter Dalton dapat melakukannya atau tidak. Namun, jika terdapat kecenderungan
luka yang lebih dalam pada bagian tertentu, maka aku dapat menentukan dari arah mana sang
pelaku mencekik korban. Depan, belakang, samping kiri atau samping kanannya. Aku tahu,
mungkin kedengarannya sangat tolol, tak masuk akal dan benar-benar percuma. Tapi kenapa
tidak? Tidak ada salahnya, kan?

Ya, itu pun dengan asumsi bahwa salah seorang anggota dari keluarga ini membunuhnya, dan
orang itu adalah kidal. Informasi itu bukanlah sumber primer, tetapi tetap dapat menjadi
peganganku.

Kemudian, kembali pada rencanaku selanjutnya. Berkunjung ke rumah-rumah tetangga,


menanyakan keseharian keluarga ini. Mencari motif jika seandainya memang seluruh anggota
keluarga ini adalah orang gila yang dapat membunuh orang yang dicintainya.

Namun, apakah aku sendiri sudah gila? Aku tak memiliki dasar yang kuat untuk menuduh mereka.
Hanya asumsi karena keanehan gelagat orang-orang itu serta salah satu kesaksian wanita yang
bahkan tak begitu kusukai. Tak ada bukti konkrit hingga sejauh ini. Jadi, kenapa?
Apakah aku melakukan kesalahan?

Apakah aku akan melakukan kesalahan lagi?


7. Break

Tempat ini ditinggalkan dalam keadaan yang cukup rapi—setidaknya begitu sejauh mata
memandang. Tak ada bekas pengrusakan, perkelahian, pembunuhan atau apapun itu. Dua buah
pigura tergantung pada ruang keluarga. Yang pertama, mungkin diambil beberapa tahun lalu,
kedua dua anak laki-laki yang masih kecil berdiri tepat di tengah pemotretan. Sedangkan satu
lagi—yang terletak di sebelah kanan foto sebelumnya—tampak lebih baru, ketika dua anak laki-
laki itu telah tumbuh dewasa. Bahkan, salah seorang dari laki-laki itu tampak mengenakan topi
sarjana, berpakaian rapi. Kurasa potret itu diambil tepat ketika wisuda anak laki-laki itu digelar.
Sedangkan sang pasangan suami istri tak begitu berubah selain pakaian mereka yang berganti.

Aku tidak mengerti bagaimana mereka semua dapat tersenyum di dalam foto.

Kamar-kamar mereka—ada empat—ditinggalkan begitu saja dalam keadaan rapi, tampak tak
tersentuh, membuatku berasumsi mereka pergi sebelum waktu tidur—mungkin pukul sepuluh
malam, tergantung waktu tidur mereka. Namun, tak adanya bekas paksaan untuk masuk ke dalam
rumah ini, tampaknya mereka memang pergi atas kesadaran mereka sendiri—sebuah keharusan.

Wijaya berjalan mendahuluiku, menggerakan kaki-kakinya di antara keramik dingin. Suara


sepatunya menggema, yang kuyakini menimbulkan lantunan indah pada setiap telinga orang yang
mendengarnya. Sedangkan aku—perhatianku—lebih tertarik pada keminimalisan rumah ini. Luas,
tetapi tak begitu banyak pernak-pernik yang dipasang. Bahkan, tampaknya dua foto keluarga itu—
yang sengaja di pajang di tengah ruangan—tampaknya menjadi satu-satunya ornamen tambahan
yang diletakkan di rumah ini.

Kami membiarkan rumah ini dalam keadaan terbuka—tak terkunci—seperti sebelumnya. Bahkan,
kunci rumah ini masih menggantung dengan jelas, terpaku pada lubang kunci berwarna kuning
mengilap, seolah-olah memang sengaja diletakan di sana.

"Anda berpikir orang-orang ada di rumah, Pak?"

Kuangkat sebelah alisku sembari terus berjalan. Kemudian, menyadari betapa bodohnya diriku—
Wijaya tak akan melihatnya. Jadi, aku menanyakannya kembali. "Kenapa?"
"Saya rasa orang-orang sedang bekerja saat ini."

"Kecuali orang-orang yang menghuni rumah ini," kataku. "Kurasa berharap saja setidaknya ada
satu atau dua orang yang dapat kita datangi."

Lalu, setengah sadar, kuteguk ludahku, merasakan sisa-sisa rasa hambar mengaliri tenggorokanku.
"Seperti Ibu-ibu itu."

Wijaya menghentikan langkahnya. "Ibu-ibu yang mana?"

"Aku tidak sedang menunjuk seseorang." Kini, posisiku sejajar dengan Wijaya. Ketika ia berhenti,
aku terus berjalan. Memang, kata 'itu' yang kumaksud merujuk pada hari kemarin, bukan seseorang
yang tiba-tiba kutemui di hadapanku.

"Ibu Dewi," kataku, menjelaskan lebih lanjut, membuat Wijaya ber-o ria, sembari tertawa kecil
menyadari kebodohannya.

Ya, untuk seorang wanita yang cukup tua, jika dia bukan seorang pegawai negeri sipil, kurasa tak
ada alasan yang berarti untuknya bekerja. Bukan maksudku untuk merendahkan derajat wanita.
Namun, melihat penampilannya kala itu, kurasa perempuan itu pun berprofesi sebagai ibu rumah
tangga, merapikan seluruh properti yang ada di rumah, melakukan berbagai kegiatan berat lainnya.
Mencuci, memasak, lain-lain yang mungkin hampir tak pernah kulakukan. Atau mungkin memang
tak pernah.

Ketika Wijaya mengikuti pergerakanku setelah menyadari kebodohannya, aku meberitahunya,


"Kita menuju rumah dengan cat berwarna itu dulu." Lalu, segera setelahnya, kubuat jeda beberapa
saat untuk kusambung dengan sebuah pertanyaan. "Kau memiliki ide, pertanyaan apa saja yang
harus kita tanyakan pada mereka?"

Wijaya memutar bola matanya ke segala arah, mungkin dua atau tiga kali, tak begitu kuperhatikan.
Namun, yang pasti, ia menjawab. "Mungkin tentang mengetahui ke mana perginya Janu dan orang
tuanya?"

"Itu sudah pasti."


"Keseharian mereka. Kita belum pernah menanyakan itu pada mereka, kan?"

"Aku hanya ingin kesaksian yang membuatku semakin yakin bahwa mereka—keluarga itu—
memiliki motif untuk membunuh salah satu anggota keluarganya." Aku menoleh. "Kau sudah
yakin mereka yang melakukannya, kan?"

Wijaya menghirup napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. "Mungkin?"

Ketakpastian adalah satu hal yang kubenci. Maksudku, bergerak berdasarkan asumsi bukanlah
sesuatu yang bagus. Seluruh analisis yang dikerjakan dengan asumsi, memang akan membangun
sebuah kesimpulan kompleks yang membuat pekerjaan seolah selesai. Namun, satu bukti lain—
yang mungkin ditemukan tak sengaja—bisa menghancurkan semuanya, apalagi ketika bukti itu
didapatkan di tengah perjalanan. Lebih buruk lagi, di akhir perjalanan. Ketakpastian adalah satu-
satunya hal yang kutakutkan saat ini.

Aku tahu. Mungkin, secara garis besar, seluruh pembunuhan ini merujuk pada keluarga korban—
aneh. Seluruh kemungkinan, gelagat mereka, tetapi satu hal yang kurang. Motif. Kenapa mereka
melakukannya? Di titik itu, aku benar-benar takut—sangat takut. Bagaimana jika tak dapat
kutemukan motif yang kuat untuk menuduh mereka? Bagaimana jika mereka tak melakukannya?
Yang lebih buruk lagi, bagaimana jika mereka memang melakukannya tetapi aku tak dapat
membuktikannya?

Seluruh pekerjaan tentu memiliki resiko masing-masing. Namun, sedikit berbeda denganku. Di
sini, aku dipaksa untuk menentukan arah hidup seseorang. Bagaimana akhirnya nanti, apakah
mereka akan bebas atau harus berakhir di balik jeruji besi. Beberapa kali terlintas dalam benakku,
bagaimana jika aku menangkap orang yang salah?

Aku selalu berharap, kejahatan dapat kucegah sebelum kejahatan itu terjadi. Setidaknya, semuanya
tidak akan tampak abu-abu seprti ini. Jelas.

Sebuah rumah bercat biru—seperti yang kutunjuk sebelumnya—tampak begitu sepi. Namun,
bukan berarti rumah ini terlihat berbeda dengan yang lain. Seperti yang Wijaya katakan
sebelumnya. Mungkin orang-orang di sekitar sini sedang pergi bekerja, kan? Selain itu, akan
menjadi awal yang buruk bagi mereka seandainya harus menerima kami sebagai tamu—orang
tolol yang dengan seenaknya mengganggu pagi hari mereka.

Aku tak pernah tahu apa yang ada di pikiran Wijaya. Aku bukan penerawang, biarpun bukan
berarti dapat kuterka berbagai kalimat yang sedang muncul dalam otaknya. Namun, selama aku
bekerja dengannya, dia tak pernah melepaskan diri dari beberapa hal: santai ketika waktunya,
ketakutan ketika waktunya. Di saat ini, dia tampak tak begitu terpengaruh akan kepergian keluarga
itu, seolah-olah Wijaya yakin kita dapat menangkapnya kembali. Ah, ya, aku sendiri telah
menghubungi kantor pusat untuk menyebarkan pada beberapa lokasi di Jawa Barat, seandainya
mereka menemukan Mercedes C200 dengan plat nomor yang kuberikan, maka mau tak mau
mereka harus menangkapnya.

Untungnya, ketika mencari tahu informasi mengenai Agoy—sang korban—mobil itu pun muncul
dengan informasi bahwa pemiliknya adalah sang korban. Membuatku mencatat plat nomor
mobilnya secara teliti, memiliki huruf depan B. Seharusnya, tak begitu sulit untuk mendeteksinya,
karena nomor polisi itu bukan daerah Bandung. Namun, mengingat sudah lama sekali mereka
pergi—mungkin—kurasa akan menambahkan rintangan yang begitu jelas. Mereka telah
menghilang selama sepuluh jam—menurut asumsiku—yang artinya bisa saja mereka telah sampai
di perbatasan provinsi.

Sialan memang.

Wijaya yang mendahuluiku mengetuk pintu rumah ini, beberapa kali. Namun, selama kami
bernapas, menjejali oksigen di antara kami dengan karbondioksida, tak ada tanda-tanda dari
penghuni rumah ini untuk keluar. Kosong.

Wijaya mencoba membuka pintu. Terkunci.

"Mereka sedang pergi, mungkin, Pak," katanya.

"Awal yang buruk," timpalku. Kemudian, mencoba menguji keberuntungan kami, akhirnya pilihan
kami jatuh untuk mengetuk pintu-pintu yang lain. Sialannya, hampir semuanya memberikan akhir
yang sama, hingga akhirnya pada pintu kesembilan, rumah yang terletak segaris dan berada di
samping kanan rumah korban, sedikit jauh untuk disebut sebagai tetangga. Memberikan tampilan
wajah yang tidak begitu mengejutkan.

Ibu Dewi tidak tampak seperti sebelumnya. Dia terlihat lebih tua. Keriputnya semakin menjadi-
jadi. Tanpa make up, membuatnya terlihat seperti ibu-ibu rumah tangga yang kelelahan. Namun,
berbeda dengan sebelumnya—atau hampir sama juga, sih—dia menyambut kami dengan tidak
begitu ramah. Daster yang digunakannya sedikit kusut, jari-jari tangannya pun sedikit mengeriput.

"Selamat pagi, Bu," sapaku ramah, tetapi tampaknya ibu ini tak begitu peduli. Sekali lagi, seperti
sebelumnya, ia menjawab dengan lantang—sangat cepat—dan terkesan menyebalkan.

"Ada apa?" katanya.

"Mohon maaf bila kami meng—"

"Langsung aja."

Aku dan Wijaya saling beradu pandang. Benarkah? Adakah orang seperti ini di dunia ini? Ya
ampun.

"Kami ingin menghubungi Janu pagi ini, tapi kami tak—"

"Dia kan emang berandalan." Perempuan itu menjawab dengan lugas, tak ada penyesalan sama
sekali. "Pagi-pagi paling udah mabok."

Sekali lagi, aku dan Wijaya beradu pandang. Benarkah?

Sejujurnya, aku sedikit geram. Bahkan, tanpa sadar, lengan kananku telah mengepal. Sangat keras,
bersiap mengambil tindakan yang tak seharusnya kulakukan. Urat-uratku menyembul. Maksudku,
astaga. Aku tak pernah menyukai orang-orang yang tak dapat bertindak ramah. Aku membencinya,
sungguh, benar-benar membencinya.

"Kalau begitu kami permisi, Bu." Wijaya mengambil lenganku, menariknya sedikit, membiarkan
perempuan itu menutup pintu, bahkan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Membantingnya,
membuat suara yang memekakan telingaku. Sekali lagi, aku geram. Hidungku mengeluarkan udara
berlebih, alisku menekan.

Aku menggerutu, tetapi Wijaya terus menarik lenganku, memaksaku berjalan, setengah berlari.

"Sudah kukatakan aku tak menyukai Ibu-ibu itu," kataku.

"Bukan itu yang saya maksudkan, Pak," tukas Wijaya. "Ada hal lain yang ingin saya bicarakan
dengan Anda, tetapi tidak di sini."

"Katakan saja. Apa?"

Wijaya tak setuju. "Saya ingin Anda memikirkannya lebih jauh, Pak. Alasan kenapa saya tak ingin
membicarakannya di sini dan mengapa saya merasa harus membicarakannya dengan Anda."

Aku hampir tak mendengarkan seluruh ucapan Wijaya. Napasku masih menggebu-gebu. Namun,
pada akhirnya dapat kukontrol dengan baik. Seluruh gerakanku, saraf motorikku, semuanya
berusaha kembali normal, menghilangkan kerutan urat-urat pada kedua lenganku.

Aku berusaha untuk fokus. Memikirkan apa yang Wijaya maksudkan. Namun, tak berhenti sampai
sana, pikiranku mengenai motif keluarga itu untuk membunuh salah satu anggota keluarganya
terus menggenang dalam lautan pikiranku, terangkum dalam satu kata tanya. Kenapa?

Namun, teka-teki Wijaya dapat menarik perhatianku begitu aku menyadarinya. Alasan mengapa
ia tak ingin membicarakannya di sini, alasan mengapa dia merasa harus membicarakannya
denganku. Membuatku berjalan lebih cepat, kembali membuat napasku menggebu-gebu.

Aku tahu, mungkin telah kupuji kemampuan Wijaya berulang kali. Ratusan, mungkin hingga
ribuan, tetapi aku tetap tak dapat melepaskan kebiasaanku itu. Dan sekali lagi, bagaimana anak itu
bisa dengan cepat menyadari semuanya? Maksudku, ya ampun.

Begitu kami sampai di mobil, tepat ketika kupegang kemudi mobil ini, segera kumulai
pembicaraan, tentu saja yang akan menarik perhatiannya. Bagaimana aku—tak kalah darinya—
dapat memecahkan teka-teki yang diberikan olehnya. Walaupun sebelumnya ingin kunyalakan
mobil ini, berbicara dengannya sembari mengambil kemudi dan memasuki jalan raya, tetapi
kuurungkan niat itu. Aku tak dapat melakukannya saat ini, bukan karena ketakjelasan ini, tetapi
malah sebaliknya. Aku melihat melalui spion mobil. Kiri, kanan dan tengah, memastikan tak ada
yang mengikuti kami—mungkin.

Rumah perempuan itu berjarak dua rumah dari rumah korban, di mana kuparkirkan mobilku. Tak
kutemui adanya jendela yang mengarah ke kami. Kurasa dia tak dapat mengawasi kami dengan
cukup baik.

"Baiklah, Wijaya. Karena kau membuat teka-tekimu terlihat begitu elegan, aku akan menjawab
teka-tekimu itu dengan cara yang memukau."

Wijaya tertawa kecil. "Silakan, Pak."

"Perempuan itu bersaksi bahwa ketika pembunuhan terjadi, ia melihat Janu mengemudikan mobil,
keluar dari rumahnya. Perempuan itu yakin dengan tato yang ada di lengan sang pengemudi,
membuatnya langsung mengatakan bahwa itu adalah Janu." Aku menarik napas. "Rumah
perempuan itu berada di sebelah kanan rumah korban, kan?"

Wijaya mengangguk.

"Aku tahu Janu memang memiliki banyak tato. Tapi sejauh penglihatanku, tatonya melintang di
lengan kirinya."

Wijaya menimpali kalimatku. "Benar."

"Jika memang Janu yang mengemudikan mobil itu, dan ia mengeluarkan lengannya, seharusnya
perempuan itu tak melihat tatonya. Dia berbohong. Benar begitu?"

Wijaya mengangguk, dua kali, sedikit lebih bersemangat dari sebelumnya. "Apapun alasannya,
perempuan itu telah berbohong dengan mengatakan Janu mengendarai mobil itu."

"Kau berpikir kita harus mengawasinya?"


"Saya rasa, Pak, Ibu itu bukan tipe orang yang suka untuk diawasi. Kita harus tahu mengapa Ibu
itu berbohong."

"Seperti memaksanya berbicara?"

"Mungkin."

"Aku tidak tahu bagaimana denganmu. Namun, untukku, saat ini, aku lebih khawatir dengan
keberadaan orang-orang itu, keluarga itu. Ke mana mereka pergi. Tapi, kurasa keinginanmu itu
pun beralasan—jelas. Apakah kau memiliki rencana bagimana cara perempuan itu akan mengakui
kebohongannya?"

Aku tak pernah memiliki sejarah yang baik dengan wanita. Semuanya selalu berakhir buruk.
Bagaimana hubunganku dengan ibuku, beberapa perempuan yang sempat menjalin kasih
denganku, tidak termasuk ibu kandung Loka. Hubungan eratku biasanya terjadi pada sebuah tali
persahabatan. Kegilaan yang biasanya kuperbuat tak dapat diterima oleh perempuan-perempuan
baik yang kuinginkan. Bahkan, tanpa Loka, entah bagaimana hubunganku akan berakhir dengan
istriku itu.

Sebenarnya, beberapa kali kami bertengkar, tetapi Loka selalu menjadi penengah. Kami berdua
memiliki visi yang sama, membuat hidupnya lebih baik, memperbaiki rantai yang telah terputus
sebelumnya dari kedekatanku dengan istriku, membuat semuanya lebih baik.

"Kita harus mengetahui tentang Ibu itu, Pak," balas Wijaya. "Mencari tahu cara terbaik bagaimana
kita mengetahui kepribadian dan mendekati Ibu itu."

Aku sedikit tak puas. "Ini akan menjadi pekerjaan panjang."

"Panjang?"

Aku tertawa kecil. "Maksudku, untuk mengetahui ibu-ibu yang tak kusukai itu, kita juga harus
menanyakan tetangga-tetangga sekitar tempat ini, kan? Kita telah mengunjungi sembilan rumah,
dan dia adalah orang pertama yang menyambut kedatangan kita. Bukankah artinya kita harus
menunggu hingga sore hari, menunggu orang-orang ini pulang dari tempat kerjanya."
Wijaya cekikikan.

"Ooh," katanya.

Hari ini masih pagi, tetapi semuanya tampak telah berjalan begitu lama. Aku tidak tahu, entah
karena kumpulan awan yang berjalan terlalu rendah di udara atau karena memang suasana hatiku
yang sedang tak begitu bagus. Semuanya tampak lebih gelap daripada seharusnya. Dan sekarang,
aku merasa kehilangan sesuatu yang berguna—penting. Keluarga itu menghilang, sebuah
kebohongan kembali terungkap. Membuatku berandai-andai, memikirkan sesuatu yang
sebelumnya pun telah kupikirkan.

Aku mendorong bahu Wijaya, membuatnya mengeluh karena kepalanya membentur kaca mobil.
Lalu, sesaat kemudian, dia mengusap kepalanya, meyakinkan dirinya bahwa kepalanya tak terluka.
Lelaki itu meringis dan membuatku tertawa terbahak-bahak.

"Balasan karena kau menyadari sesuatu yang membuat kita menambah daftar kemungkinan
tersangka," kataku.
8. Whisperer

Terkadang, dua hal yang kontradiktif dapat memenuhi belenggu otakmu. Maksudku, segala
sesuatu yang bertolak belakang, seolah merayapi seluruh pikiranmu, membuat sesuatu yang
terlihat salah menjadi benar, atau sebaliknya. Bagaimana kau merasa jujur ketike berbohong,
bagaimana kau merasa beruntung dan sial di saat yang bersamaan. Hal-hal semacam itu. Dan kini,
tentu aku tak luput dari itu.

Aku merasa beruntung karena kemudi yang digunakan di Indonesia berada di sebelah kanan,
menimbulkan pertanyaan besar atas kesaksian Ibu Dewi yang berbunyi tak sesuai dengan
seharusnya. Di samping itu, sialannya semua terjadi ketika sebelumnya kami—aku dan Wijaya—
hampir menetapkan seluruh anggota keluarga itu terlibat dalam sebuah pembunuhan, mencekik
Agoy dengan keji dan membiarkannya duduk sendirian di dalam mobil yang terkunci.

Aku sendiri belum dapat melepaskan pemikiran itu, bagaimana mobil itu dapat terkunci. Sangat
jelas, bagaimana pelaku dapat keluar dari ruangan tertutup itu. Membuat penyelidikanku bergerak
berdasarkan asumsi—yang sangat kutakutkan. Lalu, sekarang ini, aku dan Wijaya hanya
melakukan pengawasan yang tampaknya tak begitu penting, menunggu orang-orang untuk
kembali dari pekerjaannya. Sedangkan kami? Melakukan hal-hal tak berguna. Meregangkan
tubuh, mencari posisi terbaik untuk bersandar, menghalangi seluruh aliran darah yang hendak
menuju kakiku karena tergencet akibat posisi duduk yang tak nyaman ini.

Kami telah duduk selama berjam-jam.

Aku dan Wijaya pun membicarakan berbagai hal yang tak penting. Bagaimana kami membenci
komisaris Yudha sekaligus harus menghargainya sebagai atasan. Bagaimana Wijaya mencoba
belajar bahasa Sunda dariku, karena ternyata ia sendiri belum lebih lancar dari sebelumnya.
Namun, setidaknya dia telah mengerti akan apa yang orang-orang ucapkan—setidaknya jika
mereka mengucapkannya pelan. Terkadang, aku sendiri masih menggodanya, mengucapkan
beberapa kalimat tak berarti—atau tak ada hubungannya dengan apapun—dengan cepat dan
membuatnya kebingungan. Jika hal itu terjadi, maka ia akan mendorong bahuku, dan aku akan
berusaha untuk menepisnya. Tampaknya pun Wijaya telah terbiasa dengan guyonanku yang
sebenarnya tak terlalu lucu itu.

Aku menggodanya, mengatakan akan membelikan kamus terjemahan Bahasa Indonesia Bahasa
Sunda ketika ia berulang tahun. Dan sekali lagi, Wijaya menggerutu.

Beberapa jam terus berlalu.

Ponselku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk dan menimbulkan nada getar yang sengaja
kupasang. Dokter Dalton menghubungiku.

'Saya telah mendapatkan hasilnya', katanya.

"Dokter Dalton?" terka Wijaya.

"Ya. Katanya dia sudah mendapatkan hasilnya."

"Cepat juga."

Aku setuju. Namun, bukan berarti aku dapat langsung bergembira dengan berita itu. Aku harus
mengetahui hasilnya, kan?

'Bisa kau kirimkan foto hasilnya?'

Aku menekan tombol kirim. Lalu, beberapa detik kemudian, Dokter Dalton membalas.

'Tidak bisa.'

'Kenapa?'

'Anggap saja karena saya tak ingin hasil ini tersebar luas di dunia maya.'

'Aku sedang dalam tugas saat ini. Kirimkan saja fotonya.'

'Tidak aman.'
'Tenang saja, kurasa aman.'

'Ya, kecuali sang pemilik aplikasi dengan terms of agreement yang telah kita setujui sebelumnya,
membuat mereka memiliki hak untuk melihat dan menggunakan foto yang kita kirimkan.'

Uh, dasar Dokter paranoid.

"Kenapa, Pak?"

"Dia tak ingin mengirimkan fotonya," gerutuku, sembari mengembalikan ponsel itu ke dalam saku.
"Kita harus ke sana untuk mengetahui hasilnya."

"Saya bisa menunggu di sini, Pak."

"Aku tak ingin berjalan kaki."

"Saya bisa menunggu di rumah Janu untuk beberapa waktu."

Aku sedikit terkejut. Sungguh. Dalam seluruh pemikiran yang mungkin ada di otak Wijaya, aku
yakin sekali pilihan itu adalah pilihan terakhirnya. Aku tak pernah ingat Wijaya suka
menggunakan properti milik orang lain, apalagi rumah mewah.

"Bagaimana jika mereka kembali?" tanyaku, sekaligus mempertanyakan pilihannya itu.

"Saya bisa berpura-pura duduk di dalam, menunggu kedatangan mereka," balasnya. "Tenang,
Pak."

"Kau yakin, Wijaya?"

Wijaya mengangguk.

Aku hendak menggeleng, tetapi tak dapat melakukannya. Aku tahu, aku dapat menjadi orang
paling brengsek dengan meninggalkannya di sini sedangkan kendali mobil ini kuambil
sepenuhnya. Namun, aku sendiri tak ingin menggunakan kendaraan umum. Maksudku, gila,
berapa lama kantorku dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan umum dari sini? Tak ada
akses langsung, minimal dua kali menggunakan angkutan kota, itu pun dari ujung ke ujung.

"Kurasa aku akan menunggu. Dokter Dalton pun bisa menunggu, kan?" balasku, tak setuju.
"Lagipula jika seperti itu, artinya aku harus kembali lagi ke tempat ini. Malas sekali."

Wijaya cekikikan, seolah menertawakanku sebagai orang paling tolol yang dikenalnya. "Jika kita
mendapatkan dua informasi sekaligus, saya rasa itu lebih baik, Pak," jawabnya. "Lagipula istri
saya bisa menjemput saya menggunakan sepeda motor. Tenang saja."

Uh, kurasa aku benar-benar tak dapat membalas seluruh rencana anak ini. Memang, aku juga tolol.
Bagaimana mungkin aku dapat membalas argumen atas dasar pendapat dari orang yang gila
analisis? Maksudku, dia seperti Sherlock untukku, menyadari berbagai hal tak wajar dengan sangat
cepat. Sedangkan aku? Mungkin hanya berperan sebagai orang biasa yang melewati Sherlock,
bahkan tanpa menyadari bahwa ia adalah sang detektif legendaris, membuatku berjalan lebih jauh
tak memedulikannya.

Aku menghela napas. "Baiklah. Terserah." Kupastikan seluruh persiapanku lancar. Kedua spion
mobilku, kaki kiri yang telah berada di atas kopling, serta memastikan bahwa tanganku siap untuk
menjalankan mobil ini. Sedangkan WIjaya, setelah ia meng-iya-kan rencanaku—atau rencananya
sendiri—segera meninggalkan mobil ini, menutup pintu secara perlahan hingga harus kupastikan
bahwa pintu itu telah tertutup rapat.

Dalam sudut pandang yang terbatas, Wijaya tampaknya tetap bersikukuh dengan rencananya. Ia
memasuki rumah itu, kemudian menghilang dari pandanganku. Sedangkan aku, memasukan gigi,
melancarkan kecepatan mobil ini. Aku tahu mungkin ini sangatlah berlebihan, tetapi kuharap yang
kulakukan ini adalah sesuatu yang benar—yang terbaik.

===

Suasana lorong ini memang tak pernah berubah. Dingin, kusam, lembab, seperti sebuah museum
bawah tanah yang tak terurus. Menakutkan. Aku tak pernah mengerti mengapa Dokter Dalton
dapat bekerja dalam situasi seperti ini. Belum lagi beberapa mayat dengan sengaja disimpan dalam
tempat khusus, yang tentunya akan membuat bulu kuduk siapapun merinding jika
mengetahuinya—apalagi pertama kali. Aku tak pernah menyukai tempat ini, sungguh. Mungkin
juga hal yang sama berlaku pada Dokter Dalton, tetapi ia berusaha untuk tak peduli.

Di balik jenggot tipisnya yang mulai tumbuh, Dokter Dalton menyambutku dengan sumringah.
Kedua kakinya diseret untuk mendekatiku. Selain itu, seperti biasa, ia menggenggam sebuah
amplop coklat tertutup yang kuyakini berisi hasil pemeriksaan yang dilakukannya.

Sejujurnya, aku selalu bingung. Jika Dokter Dalton memang melakukan pemeriksaan seperti yang
kuminta, kemudian segera menghubungi setelah ia mendapatkan hasil yang memuaskan, lalu
menungguku untuk datang. Apa yang ia lakukan selama itu? Apa yang membuatnya betah untuk
berlama-lama di sini, dalam ruangan mengerikan ini—mungkin sendirian—hanya untuk
menungguku? Kenapa dia tak pernah meminta untuk bertemu di kantin, misalnya? Apakah Dokter
Dalton merasa tempat ini rumah keduanya? Mungkin saja.

Namun, orang tolol macam apa yang berani menanyakan hal itu?

Selain itu, bagaimana mungkin dia dapat melakukan seluruh pekerjaannya dengan cepat? Apakah
selama dua puluh empat jam dia tinggal di sini? Ya ampun, aku tak mengerti. Secara teknis, itu
logis, tetapi benar-benar mustahil, mengingat dia pun adalah seorang manusia.

Dia menyapaku, kemudian bertanya. "Di mana Pak Wijaya?"

"Ah, sedang mengurus sesuatu," balasku. Tapi tetap tak berbohong, kan? "Jadi, bagaimana, Dok?"

"Ah, ya!" Dokter Dalton membuka amplop itu, mengambil secarik kertas—benar-benar secarik—
dari dalamnya, memberikannya padaku yang tentu saja segera kuterima tawarannya itu.

"Jika memang benar apa yang Anda katakan itu, Pak Roy," katanya. "Saya rasa korban diserang
dari belakang."

Jujur, aku tak mengerti bagaimana cara Dokter ini mengidentifikasi semuanya. Apakah metode
yang kupikirkan berhasil? Apakah Dokter Dalton sendiri memiliki metode yang lain, sehingga
ketika aku menghubunginya, ia mendapatkan sebuah petunjuk yang dapat digunakannya untuk
mengidentifikasi? Atau sebenarnya dia hanya menggunakan sihir? Semacam Dokter Strange untuk
ilmu forensik?

"Aku tidak mengerti bagaimana kau melakukannya, Dokter, tapi terima kasih," pujiku.

"Bagaimana dengan perkembangan kasusnya, Pak Roy?"

Aku berdeham. "Belum ada perkembangan yang signifikan. Aku dan Wijaya bahkan masih
kebingungan untuk menetapkan tersangka. Lebih buruk lagi, bukti."

"Saya mengerti," tukas Dokter Dalton. "Benang, tali, apapun itu yang digunakan untuk menjerat
leher korban, dapat diperoleh siapapun, kapanpun, kemudian mereka akan membuangnya dan kita
tak tahu di mana mereka membuangnya."

"Ya," ucapku, setuju. "Semuanya lebih kompleks dari yang kuduga. Pada awalnya kami terlalu
terpaku pada ruang tertutup, pembunuhan yang mustahil terjadi. Lalu menuju pelaku, sekarang—
" Dahiku mengerut. Kemudian, kupijat menggunakan tiga buah jari—telunjuk, tengah dan
manis—berharap semuanya akan terasa lebih baik.

"Sekarang masalah baru malah memperumit keadaan."

Dokter Dalton tak lebih dari sekadar menganga, membentuk huruf o yang cukup lebar, tetapi
dengan tatapan penasaran. Alisnya menggantung, memberikan kesan yang tak pernah kulihat
sebelumnya.

"Sidik jari pada kunci mobil itu pun, tak lebih dari anggota keluarga korban. Untuk pintu, aku tidak
begitu yakin karena banyak sekali jejak yang tertinggal di sana. Ada beberapa yang lain di luar
dari anggota keluarga mereka. Aku dan Wijaya hampir berpikir bahwa keluarga itu sendiri yang
melakukannya. Sialannya, kami tak mendapatkan motif yang cukup baik—alasan mereka—untuk
membunuh Agoy."

"Agoy?"
"Yoga, nama korban pembunuhan itu." Aku lupa jika Dokter Dalton tidak terbiasa mendengar
nama panggilan korban. "Dan di saat semua itu terjadi, satu pendapat lain muncul, memperburuk
keadaan—" Sekali lagi, kuusap keningku seketika setelah wajah perempuan itu terbayang-bayang
dalam benakku. Ya ampun.

"Aku tak ingin membahasnya," lanjutku, dan tampaknya Dokter Dalton dapat memahaminya. Dia
tak menanyakan hal lainnya padaku lebih lanjut. Alih-alih dia menyadari bahwa untuk saat ini—
mungkin—diriku memerlukan waktu untuk beristirahat, mungkin lebih lama dari biasanya.

Aku tidak membenci pekerjaan ini. Sungguh! Aku hanya benci ketika tak dapat kuputuskan
sesuatu sesegera mungkin. Aku tak menyukainya ketika Komisaris Yudha mendatangiku,
membentakku akan kerja yang tak becus, kemudian tanpa rasa bersalah, meninggalkanku begitu
saja padahal ia sendiri tak membantu apa-apa.

Selain itu, apakah saat ini Wijaya tengah mewawancarai orang-orang itu? Para tetangga yang tak
kukenal itu? Ataukah dia sedang menunggu di bawah langit yang semakin muram, ketika matahari
telah mulai tenggelam dan menghilangkan sinarnya?

Aku mengirim pesan singkat pada Wijaya, memberitahukan bahwa urusanku di sini telah selesai,
hendak menyusulnya kembali. Namun, balasannya begitu cepat.

Tidak perlu, saya sudah mengurusnya, Pak, katanya, yang tak begitu membuatku senang. Sejurus
kemudian, pesan yang lain hampir saja kukirimkan. Namun, ketikan Wijaya yang bahkan lebih
cepat dari pergerakan tanganku, membuatku mengurungkan niat itu, menyudahi seluruh kalimat
yang belum selesai kutuliskan.

Wijaya mengirimkan pesan berikut: Kalau Anda berkenan, kita bisa bertemu di food court seperti
biasa, Pak. Saya akan ke sana. Bagaimana?

===

Ketika aku kecil, tak pernah kubayangkan kota Bandung akan menjadi seperti ini. Tentu, maksud
dari 'ini' yang kukatakan berada dalam konteks positif dan negatif sekaligus. Bagaimana kota ini
dapat berkembang dengan baik, menjadi sebuah kota yang cukup indah untuk didatangi sebagai
tempat wisata, utamanya kuliner. Namun, tak menutup kenyataan juga bahwa tempat ini—yang
telah kutinggali sejak lama—memberikan beberapa gambaran buruk seperti kemacetan yang sulit
untuk terurai. Memang, masalah itu terjadi karena ketakdisiplinan para penduduk yang acuh tak
acuh. Hanya saja, kenapa harus seperti itu?

Aku tak mengerti dengna mereka—orang-orang aneh—yang dapat membuyikan klakson, bahkan
kurang dari satu detik ketika lampu hijau menyala. Bagaimana para pengendara motor dapat
dengan mudahnya menyingkirkan para pejalan kaki yang menggunakan trotoar, di mana
seharusnya jalanan itu adalah milik mereka. Bagaimana, sebuah penyebrangan jalan tak berfungsi
sama sekali karena para pengendara kendaraan bermotor, tak pernah—atau sangat jarang—untuk
menghentikan laju kendaraannya dan membiarkan para penyebrang jalan untuk lewat lebih dulu.

Hal-hal di atas membuatku jengkel—tentu saja. Bagaimana perasaanku seolah-olah dipermainkan.


Bagaimana mungkin ketika aku kecil dulu, dapat dengan mudahnya kutulis bahwa fungsi dari
zebra cross adalah tempat penyebrangan jalan ketika aku sendiri tak dapat menyebrang dengan
mudah melaluinya?

Dan sederet kekesalanku lainnya.

Aku sempat menjadi petugas lalu intas beberapa waktu. Sungguh, pekerjaan yang lebih buruk
bagiku. Bukan karena aku merasa menjadi orang yang lebih rendah daripada keadaanku yang
sekarang ini, tetapi aku benar-benar tak dapat menyikapi orang-orang arogan, brengsek, yang
selalu merasa dirinya benar. Kurasa alasan itu pula lah yang membuatku selalu geram berada di
sekitar Ibu Dewi. Bagaimana cara bicaranya—yang bahkan mungkin tak disengaja—membuatku
kesal, terkesan angkuh. Namun, dalam satu sisi, aku merasa tak dapat menyalahkan mereka pula.
Bagaimana jika mereka dilahirkan seperti itu. Gila, kenapa sih aku bisa membenci orang seperti
itu?

Kekuranganku itu pula lah yang membuatku beberapa kali terkena kasus, menyebabkan karierku
yang terhambat. Namun, aku tak begitu peduli lagi. Wijaya seolah memberikanku sebuah ide. Dia
mencintai pekerjaannya, dia selalu tenggelam dalam dunia analisisnya, membuatku terpukau.
Mungkin itu juga yang menyebabkanku kalah darinya—biarpun Wijaya tak menyadarinya.
Apakah aku iri dengannya? Mungkin. Tetapi Wijaya sendiri—entah sadar atau tidak—selalu
menganggapku lebih baik darinya, sebisa mungkin menanyakan segala tindakan yang harus
dilakukan padaku. Dan sekarang, aku menunggunya sambil menggigit roti lapis keju yang renyah
di mulutku. Beberapa kali kupaksa gigi taringku untuk mengoyaknya.

Sudah hampir dua puluh menit menunggu, anak itu belum datang juga.

Kunyahanku berlanjut terus menerus, sengaja tak kulakukan cepat-cepat karena aku tak ingin
kehabisan kegiatan sebelum Wijaya menapakan wujudnya. Jadi, aku berpura-pura menikmati roti
ini di setiap gigitannya, memperhatikan setiap sobekan yang kubuat biarpun tak begitu indah.
Mencoba untuk berperilaku seperti yang mereka berikan dalam iklan makanan atau minuman.

Kemudian, di saat itu pulalah Wijaya datang. Akhirnya, kunyahanku dapat kugerakan dengan lebih
cepat.

Wijaya berjalan dengan cepat—setengah berlari—begitu melihatku. Kemudian menarik kursi,


segera duduk.

"Maaf saya telat, Pak."

"Tidak apa-apa, kau tidak membawa mobil, aku mengerti."

"Ah, sebenarnya istri saya mengajak saya untuk berbelanja. Saya pun dapat kemari dengan alasan
pekerjaan."

Aku menahan tawa. Hampir saja beberapa kunyahan makananku keluar sia-sia, menjadi muntahan
yang tentu tak ingin terlihat oleh semua orang. "Ah, belum bisa lepas dari gaetan istri baru, ya?"

Aku mengerti. Mereka baru menikah, mereka ingin memiliki momen bersama, apalagi di saat yang
baru. Namun, masih dengan memakai seragamnya seperti itu? Ya ampun, bukan pilihan yang
terbaik. Aku sendiri memilih untuk mengenakan jaket, menutup baju yang ada di baliknya dan
menghindari pandangan semua orang. Selain itu, terbukti semua orang memperhatikan Wijaya.
Membuatku merasa sedikit malu. Namun, tetap saja pada akhirnya rasa penasaranku melebihi
semuanya. Apa yang Wijaya dapatkan, bagaimana seluruh kebenaran yang terjadi.
"Jadi, apa yang kau dapatkan?"

Aku mengunyah makananku, lebih cepat. Kemudian, memasukan seluruh potongan yang lainnya,
menghabiskan semua makanan dmembuat kedua lenganku bebas dari jeratan itu.

"Mungkin berita yang tak ingin Anda ketahui, Pak," katanya.


9. Whisperer II

Aku hanya mangut-mangut. Tidak aneh, batinku. Menyadari ada seseorang yang membuat
kesaksian palsu saja membuatku kesal, kurasa aku telah menyiapkan diri untuk menerima berita
yang tak ingin kuketahui seperti yang diutarakan oleh Wijaya.

"Berdasarkan kesaksian orang-orang, memang tampaknya mereka tidak menyukai Janu."

Kuturunkan kedua lenganku, ditopang oleh meja kayu yang terasa dingin. "Bagaimana mungkin?
Tampaknya dia anak yang baik, kan? Maksudku, sikapnya itu, di luar dari penampilannya."

"Dia sering mabuk, mencederai orang-orang, siapapun. Anda mengerti, kan, Pak?"

Aku tak membalas pertanyaannya. Memang, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing. Tapi, aku sendiri tidak benar-benar yakin. Maksudku, astaga, bahkan anak itu
yang menyambut kami, mempersilakan kami untuk menyelidiki kasus ini, terbuka terhadap segala
cerita yang ada. Aku tidak mengatakan bahwa Janu tidak mungkin melakukannya, hanya saja
sikapnya itu benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang kusaksikan secara
langsung.

Aku menggeram. Tolol, aku baru bertemu dengannya beberapa hari dan kini aku berusaha
menghindari pernyataan orang-orang yang mungkin telah tinggal di sekitarnya selama beberapa
tahun, belasan tahun, atau bahkan lebih.

"Tak hanya itu, Pak," lanjut Wijaya. "Anak Ibu Dewi pun pernah diserang hingga kritis."

Aku terbelalak.

"Benarkah?"

Wijaya tak menepis keraguanku, tetapi ia terus melanjutkan ceritanya. "Meninggal karena
kehabisan darah ketika ia dilarikan ke rumah sakit."
"Astaga." Aku tak dapat berkata-kata lebih banyak lagi. Bahkan, biarpun ingin kulakukan, Wijaya
tak henti-hentinya menceritakan seluruh informasi yang didapatnya.

"Kasusnya tak dilaporkan. Keluarga Janu meminta maaf, memohon pada Ibu Dewi untuk tidak
melaporkan kasus ini pada polisi. Tentu saja beliau tak menginginkannya. Namun, orang-orang
sepakat untuk tak melaporkan kasus itu. Pertama, karena ketika itu Janu masih berumur lima belas
atau enam belas tahun, lalu—"

Aku menyela, "Dia telah bermabuk-mabukan pada umur segitu?"

"Mungkin."

Kugaruk kepalaku. Aku tak menyukai ini, benar-benar tak menyukainya.

"Kedua, karena mereka tak ingin kasus ini terbuka, mereka tak ingin orang-orang merasa tempat
tinggal mereka tak aman."

"Aku dapat mengerti itu."

Wijaya sendiri, sebelum beranjak dari kursinya, berkata, "Ah, saya beli makanan dulu ya, Pak!"

Tentu saja tak dapat kutolak. Aku bukan orang gila yang menginginkan seseorang mati kelaparan,
apalagi di hadapanku. Selain itu, dia membayar sendiri untuk makanannya. Hanya saja, satu hal
yang benar-benar masih membuatku sedikit terganggu adalah pakaiannya itu. Astaga, aku baru
ingat jika jaketnya disimpan dalam mobilku, dia tak memiliki kesempatan untuk mengambilnya.
Sialannya, berpuluh-puluh pasang mata terus tertuju pada Wijaya, seolah-olah ia adalah manekin
yang sengaja dipajang untuk memamerkan busana. Namun, meskipun begitu, aku tetap tak dapat
menyalahkan segerombolan manusia ini. Pasti, di antara mereka, sebagian besar bertanya apa yang
sedang terjadi di sini. Apakah ada kasus? Perampokan, pencopetan, atau bahkan pembunuhan?

Sangat jarang mereka melihat seseorang berseragam polisi untuk datang ke tempat ini, karena
memang sedikit tak wajar melihat kami yang tampak seharusnya bekerja berada di sini.

Akhirnya, aku berusaha menepis seluruh pemikiran itu. Fokus pada kasusnya, Roy!
Pernyataan yang Wijaya berikan memberikan sedikit teori baru yang mungkin bisa kubangun
sekarang. Ibu Dewi memiliki motif yang cukup besar untuk melukai salah seorang anggota
keluarga itu. Namun, jika ia melakukannya, seharusnya ia menimpakan seluruh perbuatannya pada
adik korban, bukan? Akan lebih masuk akal jika Janu—atau siapapun di antara keluarga itu—yang
melakukannya dan Ibu Dewi—yang memiliki motif kuat—sengaja memberikan kesaksian palsu,
memaksa kami untuk menangkap Janu yang sangat dibencinya itu. Kemudian, dengan kebohongan
bodohnya—aku yakin Ibu Dewi sangat jarang berbohong—aku dan Wijaya malah mendapatkan
informasi yang lain.

Perempuan itu hanya ingin Janu ditangkap, tak lebih dari itu.

Lalu, sekarang, dengan kesaksian palsu yang ada, malah memberiku keterangan yang lain. Mobil
itu tak melintas di depan rumah Ibu Dewi di pagi hari. Artinya, tak ada kesaksian yang cukup kuat
kapan mobil itu keluar dari rumah, ke arah mana ia melintas dan siapa yang mengendarainya. Dan
terkaan kami terhadap Janu tentu saja runtuh, karena tampaknya lelaki itu berkoordinasi dengan
baik, tak menutupi apapun, sangat berbanding terbalik dengan ayahnya.

Oh, sialan!

Kuketukan jemariku ke atas meja, menimbulkan lima nada berbeda yang berulang-ulang. Dengan
tatapan kosong, aku tampak seperti manusia yang kehilangan arah.

Dengan seluruh rangkuman yang ada, kurasa semuanya menuju beberapa hal: jika melihat gelagat
orang-orang, maka sang ayah—atau keluarga lainnya—memiliki kemungkinan untuk membunuh
korban, apalagi mereka menghilang sekarang. Jika melihat motif yang ada, semua orang mungkin
melakukannya, kemungkinan besar di luar keluarga itu—entah siapa. Namun, jika melihat tempat
kejadian perkara, semua orang tampak tak melakukannya.

Semuanya bertolak belakang. Gila, semuanya!

Wijaya kembali dengan sepiring nasi goreng—kebiasaannya—beserta sendok garpu yang


menjulang memenuhi pinggiran piring. Selain itu, segelas es teh memenuhi seluruh lengan kirinya,
memaksa kedua tangannya bekerja di saat bersamaan. Lalu, seolah mengabaikanku, ia
meletakannya di atas meja, kemudian mengambil tempat duduk yang sebelumnya memang telah
ditempatinya. Berdoa sebelum makan dan mulai mengunyah.

Karena dia tak mengucapkan sepatah katapun juga, jadi aku berinisiatif untuk memulainya.

"Kau berpikir Ibu Dewi melakukannya?"

Wijaya—dengan mulutnya yang masih penuh sesak—berusaha berbicara.

"Tidak," katanya sembari menggelengkan kepala. "Sebaliknya, Pa—"

Wijaya tersedak. Secara spontan ia menenggak minumannya. Masih sedikit terbatuk-batuk, tetapi
tetap berusaha untuk melanjutkannya.

"Saya rasa ... astaga!" gerutunya, ketika ternyata sisa-sisa makanan belum seluruhnya mengalir
melalui tenggorokannya. Ia meninju dadanya dua kali, berusaha menormalkan keadaan.
Sedangkan aku, hanya tertawa kecil melihat tingkahnya. Bagaimana pun—segila apapun
analisisnya—Wijaya tetap manusia yang terkadang melakukan tindakan bodoh, walaupun
jatuhnya lebih ke kocak.

Segera setelah kuperintahkan dirinya untuk menelan makanannya sebelum berbicara. Akhirnya
Wijaya mengadahkan kepalanya ke atas, berusaha memasukan seluruh sisa makanan yang ada ke
dalam mulutnya. Kemudian, kembali pada posisi semula setelah semuanya berjalan lancar—tentu
saja tanpa kunyahan.

"Saya rasa malah sebaliknya, Pak. Ibu Dewi tidak melakukannya."

Ya, aku telah memikirkan hal yang sama, tetapi tetap saja ingin kudengar pendapat Wijaya.
Bagaimana dia menyimpulkan hal itu. Hingga akhirnya aku pun membalas, "Kenapa?"

"Pertama, saya rasa perempuan tua itu tak dapat menjerat Pak Yoga dengan kuat. Mungkin bisa,
tetapi saya sedikit meragukannya. Selain itu, beliau memiliki satu anak lagi, tetapi tidak sedang di
rumah—kuliah. Sedangkan suaminya bekerja sebagai PNS, berumur hampir sama dengannya,
tidak memiliki kekuatan yang lebih baik—mungkin." Wijaya mengambil sesendok nasi. Namun,
belajar dari kesalahannya, dia tak menyuapi mulutnya terlebih dahulu, alih-alih membiarkannya
tergantung karena pernyataannya yang belum selesai. "Lagipula Ibu Dewi kesal terhadap Janu,
bukan Pak Yoga. Kenapa Ibu Dewi harus membunuh Pak Yoga?"

Aku sepakat. "Ya."

Kemudian, Wijaya memasukan sesendok nasi itu pada mulutnya, menandakan pernyataannya
yang sudah selesai. Atau sudah selesai untuk saat ini.

"Aku memikirkan hal yang sama," kataku. "Ibu itu hanya ingin semuanya berjalan seperti apa yang
ia inginkan. Tipe orang yang paling kubenci."

Wijaya menelan makanannya. "Orang yang mengarahkan kita pada arah yang salah."

"Sudah kukatakan jika aku membencinya, kan?" geramku, tak sadar kedua tanganku kembali
mengepal.

"Ah, ya, Pak. Selain itu, saya mendapatkan kesaksian bahwa keluarga itu—mungkin—keluar dari
rumah sekitar setengah sebelas malam."

Aku, yang sedikit paranoid, berusaha meyakinkan Wijaya akan apa yang diucapkannya itu.
"Bagaimana kau bisa yakin bahwa kesaksian itu bukan sebuah kebohongan seperti yang dilakukan
Ibu Dewi?"

"Entahlah. Mungkin karena sang saksi tidak mengatakan tentang tato atau semacamnya?" Wijaya
mengangkat kedua bahunya. "Selain itu, ia yakin benar bahwa tipe mobil yang keluar dari
perumahan itu adalah Mercedes, seperti yang ada di rumah keluarga Pak Yoga, yang sekarang
menghilang."

"Siapa yang melihatnya?"

"Penjaga pos perumahan. Bukan satpam bayaran yang sengaja dibayar untuk menjaga perumahan,
tetapi orang-orang yang ada di lingkungan itu, relawan untuk menjaga perumahan. Kalau dulu,
mungkin pos kamling."
"Ya, setidaknya bukan cerita Ibu-Ibu yang berdelusi melihat mobil melewati rumahnya dan secara
ajaib dia melihat keluar dan secara ajaib pula ia melihat tato di lengan yang salah. Aku dapat
memercayainya saat ini—" kutenggak ludahku. "Mungkin."

Kita semua—manusia di muka bumi ini—bukan lagi manusia-manusia gila seperti saat dahulu—
mungkin. Bukan lagi seorang kanibal yang memakan sebangsanya sendiri hanya untuk bertahan
hidup. Kala ini, manusia telah tumbuh menjadi orang-orang yang berjiwa sosialis, bergantung
terhadap orang lain, membuat peradaban baru yang lebih baik. Tanpa kekesaran, tanpa kengerian
yang harus dihadapi. Lalu, kenapa ada seseorang yang hendak membunuh laki-laki—lengkap
dengan baju elegannya—di malam, atau mungkin pagi hari? Tak beralasan.

Tunggu dulu.

"Pernahkah kau berpikir Janu mabuk, kemudian menyerang kakaknya sendiri?"

"Semabuk apa?" Wijaya mengangkat sebelah alisnya.

"Semabuk ... hingga membunuh kakaknya sendiri."

Aku tahu, sebuah alasan yang konyol. Tapi bukan berarti tidak mungkin, kan? Bagaimana jika
selama ini, tebakan kami telah tepat, hanya saja motifnya itu—yang terjadi—ternyata tak terduga.
Sebuah motif tanpa alasan yang jelas, tetapi cukup kuat. Bagaimana jika ternyata selama ini, Janu
sendiri tak menyadari akan apa yang diperbuatnya. Ketika seluruh pikirannya menghilang, ketika
itu pula lah seluruh kasus dimulai.

Mungkin saja, bukan?

"Itu masuk akal." Wijaya tampak waswas mendengar ucapanku. Wajahnya mengerut, ia tidak
seoptimis seperti biasanya. Bahkan, di sela-sela suapannya, dia tampak tak bernapas. Dadanya tak
bergerak sama sekali, padahal seragamnya lumayan ketat. "Ya ampun. Bagaimana jika memang
benar seperti itu?"

Aku sendiri tak tahu harus mengatakan apa. Maksudku, gila. Seluruh pembunuhan yang tampak
terencana ini, apa memang benar jika ternyata dilakukan secara spontan? Tak sengaja? APakah
hal itu juga yang menyebabkan ayah dari Janu, mati-matian melindunginya, berusaha meyakinkan
kami bahwa ini semua bunuh diri? Bagaimana jika ternyata sang ayah bukanlah sang pelaku,
melainkan seseorang yang paling melindungi si pelaku. Sedangkan pelaku itu, dia tak mengetahui
apa yang dilakukannya.

Membunuhnya dalam diam tanpa menyadarinya. Sungguh itu mengerikan.

"Drama keluarga yang mengerikan," komentarku.

"Pak. Lalu bagaimana? Kita telah membuat asumsi. Lumayan kuat, lalu apa yang akan kita lakukan
setelahnya?" Wijaya mengambil sesendok nasi lagi. "Bagaimana cara kita memecahkan kondisi
ruangan tertutup itu? Bagaimana dengan buktinya? Kita tak memiliki bukti."

"Aku benci mengatakannya. Tetapi kurasa kita harus menunggu sekali lagi. Menunggu kabar
mereka untuk ditemukan. Bukankah akan lebih cepat kita bertanya padanya? Atau ... mereka."

"Ya, mungkin, Pak." Pada akhirnya, Wijaya mengakhiri seluruh obrolan kami—setidaknya
obrolan penting kami. Ia melanjutkan makan malamnya. Sedangkan aku, meminta maaf karena
tak dapat menemaninya mengelilingi perumahan itu, mencari informasi melalui para tetangga.
Wijaya sendiri, tampaknya tak merasa begitu masalah. Bahkan, ia menimpali seluruh permintaan
maafku dengan terima kasih. Dia jadi bisa berduaan dengan istrinya, katanya. Dasar, seperti
pengantin baru saja.

"Bagaimana dengan kabar Loka, Pak?" Secara tiba-tiba Wijaya melayangkan obrolan di luar
konteks seharusnya, benar-benar keluar dari himpunan pembicaraan yang kupikirkan.

"Baik-baik saja. Kenapa?"

"Ah, tidak, Pak. Hanya saja sudah lama saya tak bertemu dengannya," balasnya, sedikit tertawa,
lalu kembali mengunyah makanannya. Oh, tampaknya Wijaya semakin lihai untuk berbicara
ketika mengunyah makanan. Dia tak tersedak lagi. "Terakhir kami bertemu ketika ia mengunjungi
pernikahanku. Sudah lama sekali."

"Akan kupaksa dia masuk ke akademi kepolisian agar dia bisa bekerja sama denganku."
Aku menggoda Wijaya. Cukup sukses, dia memberikan respon positif untuk kalimat yang
kulontarkan itu.

"Sebaiknya jangan, Pak. Saya pasti akan merasa canggung."

"Aku mengerti," kataku. "Kau orang aneh yang tak bisa lepas dari kebiasaan. Menyebutku Pak,
meminta maaf padaku atas seluruh perbuatanmu, tipe orang yang paling jarang kutemui.
Kebanyakan orang-orang yang kutemui, sama seperti Ibu Dewi, marah pada segalanya.
Berbohong. Astaga, betapa aku membencinya."

Jika seluruh orang di dunia ini boleh kukomentari, tentu akan ada banyak sekali hal yang ingin
kuungkapkan. Sama seperti sebelumnya, ketika aku merasa kesal dengan beberapa pengendara
kendaraan bermotor yang tak taat aturan. Selain itu, hal-hal aneh yang mungkin hanya bisa
kutemui di Indonesia. Para orang tua dengan bayinya yang menonton bioskop, membuat anak
mereka menangis akibat getaran suara yang terlalu kencang. Maksudku, ya ampun, kenapa mereka
begitu tak peduli, sih? Baik pada bayi mereka maupun penonton lain yang terganggu. Untung saja
tak ada orang aneh yang merasa perlu mengambil paksa bayi mereka agar semua orang dapat
menikmati film—di luar dari mereka.

Anehnya, para orang tua itu merasa bangga akan kelakuan mereka.

Tak hanya itu. Ketika aku mengantre pun, tak jarang orang-orang dapat dengan mudahnya
menyerobot antrean. Kala itu, dengan tasku yang penuh sesak serta beberapa pegangan yang
memenuhi kedua lenganku, dengan sengaja aku mengantri panjang di sebuah loket, menunggu
waktuku tiba. Sejujurnya, tak masalah, hingga seseorang—lelaki kurus dengan kaus oblongnya—
memberikan uang padaku. Berusaha untuk memesan 'tempat' padaku. Maksudku, dia memintaku
untuk membelikannya tiket karena tak ingin mengantre.

Astaga, apa bedanya dengan menyela antrean?

Kemudian, tampak menyadari gelagatku—bengong tak keruan—Wijaya menepis seluruh


ingatanku itu. "Kenapa, Pak?" tanyanya dengan lugas, membuatku mengocok kepala, ke segala
arah, kembali membuat pandangan yang jeli ke seluruh penjuru ruangan.
"Aku baru menyadari. Betapa banyak orang-orang yang kukomentari, betapa banyak orang-orang
yang tak kusukai, di luar dari Ibu Dewi itu," balasku. "Entahlah. Aku hanya berlebihan. Tetapi, ya
ampun. Banyak sekali hal-hal yang harus dibenarkan di luar sana—di samping kasus pembunuhan,
tentu saja."

Wijaya tampaknya mengerti. Dia tak mengadu lagi, melanjutkan lahapannya.


10. Coda

Sudah hampir seminggu dan tak ada kabar yang mengembirakan. Aku merasa seperti seonggok
daging yang dibiarkan busuk, tak berguna dan tak berbuat apa-apa. Aku tidak mengatakn bahwa
penyelidikan ini kuhentikan, tetapi kasus ini sendiri tak mengalami perkembangan yang signifikan.

Aku dan Wijaya sudah menetapkan seorang tersangka—Janu—tinggal menunggu saatnya di mana
seseorang akan menemukannya, melaporkannya pada kami dan membawanya kembali. Aku tak
pernah tahu bahwa mereka akan bersembunyi dengan cukup baik.

Salah satu kekurangan yang membuat mobilitas kami terbatas adalah karena sedikitnya informasi
tentang keluarga itu. Sialannya, aku tak akan mendapatkan rekam jejak kehidupan mereka selama
mereka belum melakukan kejahatan. Dan hingga pembunuhan itu terjadi, mereka belum
melakukannya. Bahkan, belum untuk beberapa saat setelah pembunuhan itu terjadi. Terkadang,
aku merasa benar-benar tolol, membiarkan mereka pergi hanya sehari setelah kasus itu terjadi.

Ah, ya, tentang sebelumnya. Memang, aku benci mengatakannya, tetapi aku tak akan dapat
menelusuri kehidupan mereka sebelum mereka mencatatkan diri pada kasus kejahatan. Sejujurnya,
aku selalu berharap bahwa orang-orang ini dapat kutelusuri kapanpun, di manapun. Namun, tentu
saja tak mungkin kupublikasikan keinginan itu, membuat mereka merasa hidupnya selalu dimata-
matai, tak memiliki privasi, padahal itu semua pun demi kebaikan mereka sendiri, kan? Aku tak
peduli dengan kehidupan mereka, aku hanya peduli ketika suatu kejahatan—yang seharusnya tak
terjadi—terjadi.

Hari-hari terakhir lebih sering kubuang untuk di rumah. Tentu, segala pekerjaan administrasi, di
luar dari penyelidikanku kulakukan di kantor, tetapi tak lebih dari itu. Suasana hatiku sedang tak
terlalu baik, kurasa aku tak dapat berkomunikasi dengan siapapun untuk sementara waktu,
membuatku terpaksa mengurung diri di rumah. Selain itu, Loka sedang sekolah, tak akan ada yang
menggangguku.

Di atas ranjang, aku berbaring. Dengan kaus putih oblong dan celana pendek—lebih atas sedikit
dari lutut—aku tampak seperti orang yang baru bangun dari tidur, padahal sekarang sudah pukul
dua siang. Namun, pikiranku tak jauh dari Janu.
Aku tidak mengerti bagaimana kasus ini akan berakhir untuknya. Maksudku, ya ampun. Bukankah
dia tak menyadari hal itu? Bukankah dia tak bermaksud membunuh kakaknya? Bagaimana
persidangan akan menuntutnya? Ya, itu pun jika seluruh kebenaran kasus ini mirip seperti teori
yang aku dan Wijaya buat, sih.

Kugulingkan diriku ke sebelah kiri, memandangi jendela yang menyinari kamar ini—sudah
kukatakan sekarang pukul dua siang.

Apakah orang dapat berubah?

Aku tidak tahu secara tepat. Dalam kasus ini, mungkin tidak. Namun, melihat gelagatnya kala itu,
tampaknya Janu belum menyadari bahwa dia sendiri yang membunuh kakaknya. Aku tak dapat
membayangkan bagaimana kedua orang tuanya itu menceritakan semuanya. Oh, astaga. Aku tahu,
orang-orang telah menempelkan stempel 'Anak gila brengsek bedebah yang tak pantas hidup' di
dahinya. Tetapi aku yakin dia tak sepenuhnya seperti itu. Setidaknya, kelakuannya itu merupakan
penyimpangan sosial yang sudah beredar umum di masyarakat. Dia bukan pembunuh gila atau
sang pelanggar peraturan yang selalu merasa dirinya benar. Maksudku, dia masih mendapatkan
simpatiku.

Dalam bayang-bayang, kurasa aku dapat melihat dirinya beserta keluarganya. Bagaimana mereka
dihadapkan dalam kondisi yang canggung, tak dapat dipercaya. Bagaimana ketika anak itu baru
saja selesai menyantap mie instan, orang tua mereka menceritakan kebenaran yang ada.

Aku naif jika mengatakan bahwa diriku tak sensitif.

Kubalikan posisiku semula, kembali menghadap langit-langit kamar.

Aku sendiri berasal dari keluarga yang tidak begitu baik. Kedua orang tuaku bercerai dan aku
mengikuti ibuku. Ia menikah lagi dengan seorang laki-laki yang harus kuakui memang tampan.
Seluruh jari-jarinya mengeras—suami barunya pekerja kasar. Dia senang menggunakan kemeja
putih, mungkin hampir tak pernah menggantinya karena seingatku lelaki itu selalu
menggunakannya. Ibuku tampak bahagia bersamanya, tentu saja, sampai suatu ketika di tengah
malam kudengar pertengkaran mereka. Membicarakanku.
Kala itu, umurku mungkin tak lebih dari sepuluh tahun. Ibuku dengan suami barunya bertengkar,
meributkan soal diriku. Bagaimana mereka hanya berkamuflase, berpura-pura bahagia padahal
sebenarnya tidak. Bagaimana mereka beradu akting di depanku. Tersenyum di depanku.
Bagaimana mereka harus memperlakukanku. Namun, tahukah apa yang suami baru dari ibuku itu
katakan? Dia bilang, dia tak tahan. Tak menyukaiku. Aku hanya anak kecil yang banyak omong,
dan dari awal dia tak menyukaiku. Seandainya bisa—katanya—ia akan mengembalikan waktu,
kembali ketika ibuku berbohong bahwa ia belum menikah dan menampar ibuku.

Iya, ibuku berbohong menurut pengakuannya.

Pintu kamar mereka tertutup, tetapi aku dapat mendengar pertengkaran mereka dengan jelas. Kala
itu aku sedang kehausan, bangun tengah malam, hendak mengambil air ketika mereka menarik
perhatianku. Tentu saja ibuku melawan, tidak menyukai kata-katanya. Namun, hanya sampai di
sana. Setelah ibuku berteriak, semuanya hening. Tak ada apapun.

Aku ketakutan. Sungguh, kala itu aku tak dapat bergerak. Kakiku seolah membeku, kedinginan.
Lalu, tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka. Ayah tiriku terkejut, tetapi aku lebih terkejut. Ibuku
terkapar, tak berdaya. Aku tak tahu apa yang dilakukannya, tetapi aku begitu ketakutan.

Ayah tiriku hendak menangkapku, spontan aku berlari sekencang mungkin. Menuju pintu depan,
mencoba keluar dari rumah ini. Sialannya, pintu itu terkunci, membuat gerakanku semakin
terbatas. Ia lelaki dewasa sedangkan aku adalah seorang anak kecil. Langkahnya lebih cepat.

Aku mencoba memutar kunci pintu, menarik daun pintunya. Membukanya di saat yang tepat ketika
lelaki itu menggapaiku, menarik tubuhku dan membuat pintu itu terbuka dengan cepat. Aku
berteriak, sekencang mungkin, tetapi lelaki itu membantingku ke lantai. Aku merasakan sakit yang
luar biasa pada kepala bagian belakangku. Namun hanya itu, sisanya tak sadarkan diri. Semuanya
hitam, gelap, hingga tiba-tiba dapat kulihat ayah kandungku tertidur di sampingku. Aku terbaring
di atas ranjang, menghadap atas, persis seperti sekarang ini.

Ayah kandungku, sosok yang lebih baik dari ayah tiriku, pada akhirnya mengasuhku. Aku tidak
tahu persis kenapa. Saat itu aku tak ingin kembali bersama ibuku, aku tak peduli. Dan tampaknya,
ayahku ini menjagaku dengan lebih baik. Sangat baik hingga tak kuketahui dunia di luar rumah
ini. Sangat baik hingga aku tak tahu bahwa ibuku meninggal karena pertengkaran, bagaimana ayah
tiriku ditangkap dan ditahan selama belasan tahun di balik jeruji besi. Bahkan aku tak
mengetahuinya sebelum aku memasuki usia remaja.

Ayahku meninggal lebih dulu. Kecelakaan. Motor yang dikendarainya tergelincir ketika ia hendak
memutar arah. Ia terjatuh tepat di bawah sebuah truk yang memuat kayu-kayu untuk
didistribusikan. Kepalanya terlindas, berantakan. Seolah-olah aku melihat mayat korban
penganiayaan yang kepalanya dipukul dengan keji. Tak berbentuk. Kala itu aku duduk di bangku
sekolah menengah pertama. Baru saja masuk.

Tentu, hal itu sangat memukulku. Bagaikan tamparan keras bagiku. Kenapa sebelumnya aku harus
tinggal bersama ibuku? Kenapa aku harus tinggal dengan sebuah kebohongan ketika ayahku benar-
benar mengharapkanku, mencintaiku. Dan kenapa dia harus meninggalkanku dengan sangat cepat?

Di saat itu, keluarga dari temanku menerimaku. Teman sepermainanku, pemilik vila di daerah
lembang. Sang teman yang tak kusangka akan melakukan kejahatannya itu. Maksudku, astaga,
orang tua mereka benar-benar baik. Temanku itu pun tak memiliki masalah yang luar biasa. Dia
tampak baik-baik saja, sungguh!

Aku tak pernah mengerti mengapa orang bisa berubah, sedrastis itu, pula.

Ayah kandungku selalu mengajarkan berbagai hal baik dalam hidup. Model yang tepat sebagai
seorang ayah. Model yang selama ini selalu kujadikan panutan, walaupun tentu saja aku tak sebaik
dirinya.

Aku menelungkup, menangkap kedua lututku, mengaitkannya dan membuatku sekarang lebih
seperti daging busuk yang mengerut.

Aku selalu berusaha membuang jauh-jauh perasaan ini, tetapi ternyata aku tak dapat
menenggelamkannya dan menghilangkannya. Perasaan ini selalu datang.

Aku rindu mereka semua. Ibu kandungku, ayah kandungku, teman yang kuanggap seperti saudara
sendiri. Rasanya, aku ingin kembali ke masa di mana aku tak berpikir lebih jauh selain bermain.
Dunia ini penuh manipulasi, sungguh, dan aku berharap tak mengetahuinya.
Aku hampir menangis.

Oh, sialan, aku tak dapat melakukannya! Menggelikan. Kenapa aku menjadi melankolis seperti
ini?

Aku beranjak dari kasur, mencoba membugarkan tubuhku. Meregangkan seluruh tubuhku,
menarik lenganku ke atas, sejauh yang kubisa. Lalu, kutarik diriku menuju dapur, mengarah ke
lantai satu dengan menyusuri tangga yang entah sampai kapan kuat berdiri. Mengambil segelas air
segera setelah kudapatkan gelas yang kubutuhkan.

Di saat yang bersamaan, Loka pulang.

"Loh, udah pulang?" tanyaku, heran. Memang, sekarang masih pukul dua siang, kan? Selain itu,
seharusnya setiap sekolah sudah menerapkan sistem full day school saat ini.

"Kan udah ujian akhir semester. Emang nggak ada kegiatan apa-apa lagi di sekolah."

Aku hanya ber-o ria sebelum akhirnya mencoba membuat semuanya lebih baik. Menanyakan hal
yang mungkin akan disukainya.

"Mau jalan-jalan nggak?"

Loka sendiri tampak kebingungan. Sama sepertiku. Kenapa aku menanyakan hal seperti itu? Apa
karena aku sendiri merasa bosan berada di sini? Uh.

"Bapak nggak kerja?"

"Lagi nggak. Jadi mau atau nggak, nih?"

Loka tersenyum. "Ke mana?"

Kutampilkan wajah terbaikku. Sesungguhnya aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu.
Maksudku, itu kan pertanyaan spontan, bahkan tak pernah kupikirkan sebelumnya akan terlontar
melalui mulutku. Bahkan, aku saja tak tahu Loka akan pulang secepat ini. Jadi, daripada
menggantungkan harapannya, aku menjawab, "Nggak tahu. Kamu ada ide, nggak?"
Dia tersenyum sumringah. Ujung-ujung bibirnya melebar, hampir sama seperti Joker dalam
Batman. "Loka ganti baju dulu, ya, Pak."

Aku tak mengiyakan pilihannya, tetapi Loka langsung menuju lantai atas, menuju kamarnya
sembari masih menggenggam ransel yang tak digendongnya.

Ya, bersantai sedikit pun tak masalah, kan?

===

Kami mengunjungi beberapa tempat wisata. Aku beruntung karena Bandung sendiri,
menyuguhkan beberapa tempat wisata yang dapat dikunjungi kurang dari sehari. Sayangnya—atau
brengseknya—masih banyak orang-orang yang tak peduli dengan sampah yang mereka hasilkan.
Betapa brengseknya ketika mereka membuang sampah sembarangan, padahal jelas-jelas tempat
sampah berada di antara mereka. Astaga, bahkan slogan 'belum menjadi tempat wisata jika tidak
ada sampah yang berserakan' tampaknya sangat tepat untuk diberikan, apalagi di Indonesia.

Jalanan semakin temaram. Yang kulihat sejauh mata memandang hanyalah hiasan kecil di samping
kiri dan kanan mobil, lampu kota yang tidak menyorot dengan sangat terang—tentu saja. Selain
itu, kemacetan terjadi di sana-sini, padahal jika kulihat jam yang ada, waktu telah menunjukan
pukul sembilan malam.

Oh, ya ampun, Komisaris Yudha pasti akan sangat kesal padaku. Mungkin meninjukan kepalan
tangannya yang besar ke arah wajahku jika ia tahu aku malah berjalan-jalan dibanding memikirkan
kasus yang ada. Aku tahu, mungkin semua ini terlihat salah, tetapi aku tak mau memaksa diriku
dan membuat kinerjaku menurun.

Loka—yang duduk di bangku penumpang—kini tidak pernah memainkan ponselnya ketika berada
di dekatku. Maksudku, padahal di situasi yang seperti ini—macet dan gelap—ia memiliki banyak
kesempatan untuk memainkan ponselnya. Aku sendiri yakin baterai ponselnya belumlah habis. Di
samping ia membawa power bank, ia sendiri hampir tak pernah menggunakan ponselnya ketika
kami berjalan-jalan. Aku tidak tahu apakah dia melakukannya hanya karena ingin membuatku
senang atau memang kesadaran dirinya bahwa aku tak suka ketika ada sesuatu yang lebih baik—
menurutku—dihadapkan tepat di depan dirinya, tapi ia terpaku pada benda kecil itu.

Ya, tak peduli apapun alasannya, aku menyukainya.

Namun, tak sampai di sana. Dering panggilan menyeruak dari balik saku kemejaku. Sebuah
panggilan masuk. Sialannya, aku tak ingin memberikan contoh yang buruk untuknya, membuatku
memerintahnya.

"Loka, tolong ambilin, dong!" seruku sembari sedikit mencondongkan tubuhku dengan harapan
Loka dapat mengambilnya dengan mudah.

Setelah ia mengambilnya dan melihat layar ponselku, aku bertanya, "Siapa?"

"Pak Wijaya," jawabnya lantang.

"Ooh. Angkat aja, terus loud speaker-in," perintahku dan ia langsung menurut.

"Halo?" sapaku, setengah bertanya. Kuharap suaraku ini dapat terdengar dengan jelas di balik
klakson mobil yang memenuhi jalanan. Brengsek memang mereka, sudah tahu macet seperti ini,
untuk apa mereka membunyikan klakson?

"Pak Roy!"

"Kenapa?"

"Pak, apakah Anda sudah menerima pesan yang dikirimkan pada Anda?"

"Pesan apa?"

"Ooh, berarti belum ya, Pak?"

Aku tak tahu. Aku baru sadar aku tak pernah menggenggam ponsel selama perjalanan. Tujuh jam
dalam rekreasi, artinya sangat mungkin ada pesan yang kulewatkan.

"Mungkin," balasku, segera, tak ingin membuatnya menunggu.


"Pak, keluarga korban—pelaku—ah, apapun itu Pak, mereka sudah ditangkap. Mereka dalam
perjalanan menuju kemari. Saya mungkin akan ke kantor dalam beberapa menit. Pak Roy juga
akan ikut, kan?"

"Pasti!" jawabku, singkat.

"Ah, oke, Pak! Saya tunggu. Terima kasih, Pak. Saya tutup teleponnya, ya."

Wijaya mengakhiri panggilan. Namun, bukan itu yang menjadi sorotan utamaku. Ada sesuatu yang
lebih aneh dari kalimat Wijaya.

Untuk apa dia berterima kasih? Uh, maksudku, aku tak melakukan apa-apa. Aku benar-benar tak
melakukan apa-apa dan dia berterima kasih. Aku tahu, secara norma kesopanan, hal itu wajar.
Tetapi, secara logika, aku tak menemukan alasan yang tepat mengapa kata itu harus diucapkan.
Atau sialannya, hanya aku yang terlalu berlebihan untuk menanggapi satu kata yang terselip di
antara ribuan kalimat?

"Pak, Loka boleh ikut?" Loka menyerukan pertanyaannya. Membuat konsentrasiku sedikit buyar.

"Kan besok sekolah."

"Besok libur."

Uh, aku tak dapat menolaknya.


11. Helix

Aku berkeringat. Sungguh. Belasan tahun—hampir puluhan—kujalani pekerjaan seperti ini,


semuanya tetap tak membuatnya mudah, seolah-olah aku berada dalam lingkaran waktu,
mengulangi semuanya, mempertanyakan segala hal yang mungkin terjadi. Apakah aku akan
membuat kesalahan? Apakah seluruh lajur yang kuambil ini benar adanya? Kenapa aku dapat
yakin?

Terlebih jika kasus yang kutangani adalah sebuah kasus rumit yang tampak seperti kasus sepele—
sederhana.

Sejujurnya, ini pertama kalinya Loka mengunjungi kantorku. Aku sendiri tak yakin akan apa yang
diinginkannya. Tempat ini tak begitu menarik di malam hari, hanya sebagian anggota yang berjaga
malam, Mungkin pula—jika beruntung—beberapa orang yang mengadukan kasusnya, bertemu
dengan kami. Selain itu, tak lebih dari orang-orang yang menjadi tahanan sementara, ditahan di
ruang penahanan—ruangan yang selalu kuhindari.

Namun, Loka tampak biasa saja—anteng. Sesaat setelah ia menapakan sol sepatunya, geretan
kakinya tak dapat berhenti. Ia terus mengikutiku, mengekor di belakang sembari melihat samping
kiri dan kanan setiap ruangan maupun lorong yang kami lewati. Aku merasa seperti seorang tour
guide.

Memasuki tempat ini, beberapa orang tampak sedang menunggu di ruang tunggu. Bagian penerima
tampak kewalahan menerima aduan mereka satu persatu. Namun, bagaimana lagi? Pekerjaan
kami, kan? Resiko setiap pekerjaan selalu berbeda satu sama lain, memiliki beban masing-masing.
Setidaknya, mereka tak perlu memikirkan beban akibat rasa takut dalam mengambil keputusan
yang salah. Orang-orang itu—para penerima aduan—hanya perlu mencatat seluruh aduan orang-
orang sipil secara detail, tak lebih. Hidup mereka tak menggantungkan nyawa orang-orang di balik
jeruji besi, dunia luar, atau bahkan kursi listrik.

Gedung ini tak terlalu besar, hanya perlu beberapa saat hingga aku menemukan Wijaya. Itu pun
tak lebih dari sekadar menyusuri lorong remang-remang yang langsung tampak begitu kubuka
pintu depan gedung.
Wijaya melambaikan tangannya, menyadari kehadiranku, membuatku membalas gerakan
tubuhnya itu.

"Di mana mereka?" tanyaku tanpa berbasa-basi. Untuk saat ini, tidak mungkin aku melakukannya.
Tidak mungkin kukeluarkan sejurus candaan tololku yang tak membuat suasana menjadi lebih
baik.

"Ruang interogasi satu, dua dan tiga. Mereka semua dipisahkan." Fokus Wijaya sedikit terganggu.
"Ah, Loka, ya? Udah lama nggak ketemu."

Loka sendiri sedikit cengengesan. "Iya, om."

Aku tahu, Loka bukanlah seorang anak kecil yang perlu pengawasan berlebih, apalagi ketika
kubawa ia ke kantor. Namun, tetap aku tak merasa nyaman seandainya ia harus berdiam diri, di
tengah lorong gelap seperti ini, sendirian. Apalagi, dengan adanya tiga orang yang benar-benar
ingin kutemui—Janu, ayah dan ibunya—tampaknya tak akan membuat malam ini menjadi singkat.
Kurasa secangkir kopi pun harus kupersiapkan, berjaga-jaga untuk yang terburuk.

"Loka, kalau kamu mau jalan-jalan, jalan-jalan aja. Kalau mau nunggu, ruangan bapak ada di
sebelah kanan, cari aja namanya. Kalau kamu mau pulang duluan, pulang aja, tapi kasih tahu dulu.
Oke?"

"Sip!"

Aku tak pernah merasa lebih hidup dibandingkan Loka yang mengikuti semua ucapanku. Dia
langsung pergi, beranjak dari tempat dirinya. Bahkan, tak perlu kukonfirmasi bahwa seluruh
pesanku itu telah selesai.

Wijaya tertawa kegirangan melihatku.

"Kenapa?" tanyaku segera. Namun, perlu beberapa saat hingga Wijaya menjawab pertanyaanku.
Ia menepuk-nepuk perutnya, beberapa kali.

"Pak Roy, Bapak memperlakukan Loka seperti anak kecil."


"Dia masih kecil."

"Maksud saya—" Wijaya menanamkan kedua lengannya pada saku celana setelah ia rasa
diperlukan. Tak ada tertawaan lagi, tetapi ia masih tersenyum. "Anak kecil berusia sembilan atau
sepuluh tahun."

"Aku tak menyalahkanmu." Kuacungkan kesepuluh jari tanganku. "Mungkin memang begitu. Aku
tak pernah membaca buku panduan bagaimana menjadi orang tua yang baik. Sewaktu ia kecil,
mungkin aku memang tak pernah dekat dengannya. Aku tak tahu, mungkin saja karena itu, aku
selalu melihatnya seperti anak kecil. Tapi dia sendiri tak mempermasalahkan hal itu. Ya, kurasa
tak ada salahnya, kan?"

"Tentu, Pak. Hanya saja, hal itu cukup membuat saya geli." Wijaya membuat jeda. "Ah, nanti saya
coba perlakukan Riska seperti itu, ah."

"Secara teknis, Riska bukan anakmu, kan?"

"Tidak ada bedanya." Wijaya kembali mengeluarkan tawanya. Matanya terpejam. Ia benar-benar
puas. Sialan. "Baiklah, Pak. Cukup. Bagaimana jika sekarang kita fokus pada permasalahan awal
'mengapa kita di sini'"

Aku mengangguk. "Aku datang sejauh ini bukan hanya untuk mengajak Loka ke sini. Aku sendiri
sudah mengecek pesan yang kausebutkan. Mereka ditangkap di daerah Sukabumi, kan?"

"Benar," Wijaya menyetujuinya. "Mereka tinggal di rumah saudara mereka untuk beberapa waktu.
Kita beruntung karena polisi yang melakukan razia, memperhatikan sebaran kita dan menyadari
jenis mobil serta plat nomor mobil yang sama. Tidak salah lagi. Mereka ditangkap tadi pagi, lalu
dikembalikan setelah wawancara sesaat, kembali diserahkan pada kita."

"Aku tidak tahu denganmu, Wijaya. Apa kau siap?"

Wijaya mengangkat sebelah alisnya. Kebingungan. Aku sendiri, dengan tololnya malah bertanya
dengan nada yang kurang begitu menyenangkan. Aku yakin, dalam hatinya, Wijaya sedang
bertanya-tanya. Siap untuk apa? Mungkin pula tidak, jika tebakanku salah. Namun, pilihan tepat
bagiku sekarang ini adalah menjelaskan situasi yang ada.

"Perkiraan kita, pembunuhan ini dilakukan secara tak sengaja—mungkin. Bagaimana kau akan
menghadapinya, menguatkan seluruh pikiranmu bahwa ia tak lebih dari seorang pembunuh
kakaknya untuk menghindari pemikiran yang lain—"

Belum selesai aku berbicara, Wijaya menyela. "Kita telah melewati kasus-kasus yang berbeda,
Pak."

"Ya, dengan pelaku yang melakukannya dengan sadar. Maksudku, bagaimana jika Janu tak pernah
terpikirkan untuk melakukannya? Hanya keadaannya saja yang—tolol itu—yang memaksanya
untuk melakukannya. Aku tahu, mungkin aku terlalu sensitif, aku terlalu tolol. Tetapi kau
mengerti, kan?"

Wijaya memainkan seluruh jarinya, menarik dan mengulurkannya kembali. Malam hari yang
dingin ini benar-benar terasa hening, padahal aku yakin sekali di depan tadi ada sekitar dua atau
tiga orang yang sedang menunggu agar aduannya dapat diterima. Entah karena mereka tak
mengobrol satu sama lain atau karena memang telingaku yang sedang tak dapat fokus untuk saat
ini.

Kosong. Benar-benar kosong.

"Sejujurnya, Pak," Wijaya akhirnya memecah keheningkan. "Sedari tadi, jari-jariku gemetar. Saya
berusaha untuk menahannya. Saya berkeringat, semakin deras ketika saya menyadari bahwa waktu
bagi kita untuk menemui tersangka—orang-orang itu—semakin dekat. Jadi, ya, saya tidak siap.
Tetapi saya tak memiliki pilihan lain. Maaf, Pak."

Sekali lagi, sebuah permintaan maaf yang tak berarti.

Aku tahu, sehebat apapun Wijaya menyembunyikannya, ia pun masih manusia, takut melakukan
sebuah kesalahan, takut untuk memperlihatkan kenyataan yang ada pada seseorang yang
seharusnya bisa menghindarinya. Namun, seperti yang Wijaya katakan, tak memiliki pilihan lain.
Akhirnya, aku mengambil ruang interogasi tiga, di mana sang ibu dari korban tengah duduk di
kursi yang dingin, diterangi sebuah bohlam lampu yang bahkan intensitas cahayanya tak dapat
menerangi seluruh penjuru ruangan. Perempuan itu tengah duduk, gelisah, mungkin ketakutan,
sama seperti aku dan Wijaya. Bedanya, aku dan Wijaya berusaha menutupi hal itu.

Kucondongkan tubuhku, memperlihatkan bahwa aku mengambil kendali ruangan ini. Padahal,
nyaliku sungguh ciut. Hatiku belum siap.

Tahu kenapa aku memilih ruangan ini untuk kukunjungi pertama kali?

Karena aku belum siap. Aku belum siap untuk bertemu dengan Janu. Aku belum siap bertemu
dengan sang ayah yang mungkin sangat terlibat—jauh lebih dalam—seperti yang kami ketahui—
atau mungkin yang sebagian kami ketahui.

===

Wanita ini tak lebih dari seorang ibu yang ketakutan. Kaki-kakinya digoyangkan, beberapa kali
dengan cepat, mencoba menghilangkan rasa gelisah walaupun tak berjalan dengan baik.

Aku mengambil kursi, duduk tepat di hadapannya ketika ia tak berani memandangi wajahku.
Setidaknya, aku tahu ia merasa bersalah. Entah merasa bersalah karena terlibat pembunuhan
anaknya sendiri atau hal lain. Yang pasti, bulir air mengalir dari keningnya, beberapa kali diusap
sehingga membuat kerah lengan bajunya basah, hampir sama seperti seseorang yang habis
berolahraga.

Beberapa kali wanita ini menoleh ke arahku, mencoba memperhatikan gerak-gerikku karena rasa
penasarannya. Di saat itu pula—secepat kilat—ia menghindar, berharap untuk tak melihatku atau
pun Wijaya. Dalam hatinya aku yakin perempuan ini telah bergumam, mengeluarkan banyak
sekali kalimat yang tak dapat dikeluarkan melalui mulutnya.

Bibirnya terkunci, kaku, tak berkata apa-apa. Walaupun begitu, aku sengaja berdiam diri, membuat
suasana yang tak nyaman—baginya, tentu. Semakin lama, perempuan itu semakin tak tenang.
Keringat mulai merayapi seluruh permukaan wajahnya, kemudian menganak sungai melewati
pori-pori wajahnya, bergumul dengan butiran keringat yang lain, menciptakan derasnya jalur
keringat.

Akhirnya, seolah tak tahan, perempuan itu segera membuka pembicaraan.

"Saya nggak tahu apa-apa!" teriaknya, menggema. Tentu, kalimat itu akan menjadi kalimat
pertama dari rekaman yang telah Wijaya nyalakan. Sedangkan aku, berusaha untuk tetap tenang,
diam, berharap perempuan ini menceritakan semuanya lebih jauh. Aku tak ingin salah langkah,
aku tak tahu sejauh mana perempuan ini terlibat—jika memang terlibat.

"Suami saya ngajak pergi, langsung, saya nggak bisa nolak!" teriaknya sekali lagi, semakin
menggema. Untung saja ruangan ini memang kedap suara. Mau berusaha sekeras apapun, tak akan
ada orang yang menyelamatkannya.

Akhirnya, aku sendiri goyah. Ia telah memulainya, awal yang cukup baik. Aku mencoba untuk
memancing pembicaraan.

"Ibu Elis. Benar, kan?"

Perempuan itu mengangguk.

"Kenapa Anda berpikir saya berada di sini untuk membahas hal itu?"

Perempuan itu terperangah. Wajahnya seolah telah ditmpa kepalan tangan seekor monyet, tepat di
dagunya dan membuatnya tak berkutik. Aku memotong seluruh pernyataannya pada tempat yang
tepat.

Namun, hal itu malah membuat Ibu Elis ketakutan. Sekali lagi, dia mengedarkan pandangannya
ke seluruh penjuru ruangan kecuali satu: diriku.

Kalau aku sedang berada dalam lomba debat, pastilah sebuah kebanggaan besar bagiku. Aku
berhasil membungkamnya dalam satu kalimat pendek. Namun, bukan hal yang bagus jika ini
terjadi di saat sekarang. Membungkam perempuan ini tak lebih dari sekadar bunuh diri. Aku tak
akan mendapatkan apapun. Jadi, daripada semuanya berakhir sia-sia, aku mempertegas
pertanyaanku.

"Jadi, kenapa Anda berpikir saya berada di sini untuk membahas hal itu?"

Namun, sama seperti sebelumnya, perempuan itu melakukan hal yang sama. Sekali lagi, bola
matanya berputar-putar, bergerak tak tentu arah. Membuatku setengah berdiri, bertahan pada
kedua telapak tanganku sambil mengangkat pinggulku, membuat perempuan itu—entah sadar
ataupun tidak—mendongak, mengalihkan tujuannya padaku.

"Anda tahu anak Anda—Janu—menghilangkan nyawa kakaknya sendiri?"

Namun, di luar dugaanku. Wanita itu terkejut, lebih dari sebelumnya. Secara tak sadar ia
lemparkan kepalanya ke belakang, seolah dorongan kuat benar-benar menimpa kepalanya itu.

"Nggak! Janu nggak kayak gitu!"

Setengah tak percaya, tapi kurasa perempuan ini tak mengada-ada. Reaksinya terlalu luar biasa
untuk disebut berbohong. Lain halnya jika perempuan ini ahli berbohong. Sialannya, aku tak ingin
menganggapnya seperti itu.

"Apa-apaan!?" bentaknya.

"Kalau Anda tidak ingin saya bertanya seperti itu, saya memohon bantuan Anda, Bu," tukasku.
"Kenapa Anda langsung berpikir bahwa saya ingin menanyakan Anda mengenai kepergian
Anda—keluarga Anda—secara tiba-tiba. Jika tidak, saya tak akan segan-segan untuk menanyakan
hal lain, yang mungkin tak ingin Anda dengar, terus-terusan semalaman. Saya tak keberatan."

Perempuan itu meneguk ludahnya. Mungkin, telah ditahannya sedari tadi akibat kegelisahan yang
menyeruak. Hanya saja, ia melakukannya beberapa kali, membuatku menduga jika produksi air
liurnya meningkat secara drastis dalam keadaan seperti ini.

Entahlah, aku bukan dokter. Aku hanya mengasumsikan, kan?

Akhirnya, perempuan itu dengan gagap menjawab.


"Suami saya. Dia bilang di rumah kami udah nggak aman. Saya dan Janu dipaksa pergi, malem-
malem. Saya nggak mau, tapi dia maksa!"

"Alasan apa yang suami Anda utarakan sehingga harus meninggalkan rumah secara terburu-buru?"

"Dia Cuma bilang nggak aman! Beneran!" Perempuan itu mulai terisak. Matanya semakin sembab.
Bahkan, kini keadaannya lebih buruk. Aku tak dapat membedakan air mata dan air keringat yang
mengalir pada wajahnya. Sialannya, biarpun sebenarnya itu semua adalah kelemahanku, aku tetap
berusaha menahan diri untuk membuat perempuan ini tenang. Aku tidak tahu. Aku benar-benar
ingin melakukannya, tetapi aku tak dapat melakukannya. Aku tak ingin mengulangi kesalahan
yang pernah kuperbuat.

"Kapan Anda pergi bersama keluarga?"

"Nggak inget!"

"Pukul berapa Anda pergi?"

"Sepuluh atau sebelas malem. Saya nggak begitu ingat! Yang pasti hampir tengah malem. Dia
bangunin saya, nyuruh cepet pergi. Terus, tadi pagi, waktu kena razia, dan kami semua malah
ditangkep. Saya takut. Ya ampun ... saya takut!"

Perempuan itu mulai sesenggukan.

Aku tidak mengerti apa yang ia takutkan. Apakah ia takut sesuatu yang buruk terjadi padanya
sekarang ini? Atau perempuan ini terlibat dengan pembunuhan anak kandungnya sendiri dan takut
ketahuan? Aku tidak yakin di antara kedua hal itu yang tepat, yang dapat kuputuskan. Namun,
perempuan ini memang benar-benar ketakutan.

"Terus ... waktu perjalanan ke sini. Saya denger dari pembicaraan orang-orang. Mereka, polisi,
mereka bilang anak saya pembunuh."

Akhirnya, perempuan itu benar-benar menangis.


"Tahu tidak perasaan saya gimana!? Saya tahu Janu emang kayak gitu! Tapi dia cuma ... dia
cuma—"

Kepala perempuan itu mendarat dengan hantaman keras ke atas meja. Bahunya naik turun,
napasnya tak beraturan. Suara tangisnya memenuhi ruangan ini. Namun, sekali lagi kuingatkan,
sekeras apapun dia berusaha agar suaranya terdengar hingga keluar ruangan, semuanya akan
percuma.

Berkali-kali kupanggil namanya, menggoyangkan bahunya, berharap agar ia kembali duduk


dengan tegak—minimal duduk. Namun, perempuan itu tak mengindahkan seluruh usahaku.
Tangisannya semakin menyeruak. Sialan.

Aku berdiri, kemudian Wijaya menggapai bahuku dan berbisik, "Apakah harus kita lanjutkan,
Pak?"

Aku menggeleng. "Biarkan saja seperti itu dulu. Tunggu sampai keadaannya membaik. Kita
tinggalkan dia. Jujur, aku ingin membuatnya tenang, tetapi kita tak dapat melakukannya dengan
statusnya. Perempuan itu bisa jadi saksi, tapi bisa juga menjadi tersangka. Aku tak ingin
mengambil resiko sebelum aku yakin benar akan apa yang dilakukannya, apakah ia terlibat atau
tidak."

Wijaya, tampaknya tidak begitu senang dengan pilihanku. Mungkin, aku tidak begitu yakin. Yang
pasti, ia bertanya, "Apa kau pikir Ibu ini terlibat, Pak?"

Satu pertanyaan sulit. Sangat sulit. Perlu beberapa waktu bagiku untuk mengumpulkan semuanya.
Bukti, kemungkinan, motif. Namun, brengseknya, semuanya tampak abu-abu. Apalagi dengan
keadaannya yang seperti itu.

"Sejujurnya, aku belum yakin, Wijaya," balasku, setengah berbisik. "Mungkin. Tapi kurasa
tidak—atau belum. Entahlah."

Akhirnya, Wijaya mengerti akan jalan pikiranku.


Rencana kami akhirnya beralih untuk berganti ruangan. Segera setelah perbicaraan singkat kami,
aku meminta seorang petugas untuk berjaga di depan pintu ruang interogasi, berjaga-jaga
seandainya perempuan itu hendak keluar ruangan, kabur untuk kedua kalinya dan membuat
pekerjaanku semakin sulit.

Aku dan Wijaya menuju ruang interogasi dua, di mana sang Ayah korban ditahan. Namun, keadaan
yang berbeda timbul begitu kumasuki ruangan.

Bukan berarti ruangan ini terlihat lebih baik atau lebih buruk. Semua ruangan interogasi sama saja.
Buruk. Penerangan seadanya, terkesan kotor dan menjijikkan. Lembap dan sangat tak nyaman
digunakan untuk tidur. Kecil dan pengap—tak terlalu kecil juga, sih. Namun, dari seluruh
kemungkinan bagiku untuk tinggal dalam ruangan selama satu jam, tentu ruang interogasi adalah
pilihan terakhirku.

Tegel hitam ini seolah menyaksikan semuanya. Perbedaan jomplang antara ruang sebelumnya dan
ruangan yang sekarang kutapaki. Dinginnya tempat ini tidak sedingin ruangan sebelumnya.

Aku merasa kaku.

Tahu kenapa kurasakan hal yang sangat berbeda dengan suasana yang sama? Tentu, bukan karena
desain ruangan ini yang berbeda—ruangan ini tak ada bedanya. Bukan karena bohlam lampu yang
diganti. Namun, sesuatu di luar dugaanku.

Di ruangan ini, sang Ayah sedang duduk dengan keadaan yang berbeda dengan istrinya. Super
berbeda, seratus delapan puluh derajat.

Dia tidak menangis seperti wanita itu. Bahkan, lebih buruk lagi. Alih-alih mengungkapkan
kesedihannya, lelaki itu malah tersenyum.

Iya, tersenyum. Sumringah, seolah menunggu kedatangan kami.


12. Helix II

Pak Cakra—nama ayah dari sang korban—memberikan gambaran yang tak pernah kupikirkan
sebelumnya. Dengan kemeja hitamnya, senyumnya tak pudar sedikit pun. Brengseknya, semakin
kususuri ruangan ini, semakin mendekatinya, aku melihat senyumannya yang semakin lebar.

Tentu, sebagai manusia biasa, aku langsung bertanya, kenapa? Hanya saja tak terucap, tidak keluar
dari mulutku yang sengaja kukunci. Apapun alasannya, aku yakin hal itu adalah sesuatu yang
menyebalkan. Jadi, sekali lagi, aku berusaha untuk tenang. Duduk di hadapannya.

Aku benar-benar lelah, ingin tidur, tetapi kupaksa kedua mataku untuk terbuka lebih lama lagi.

"Aku tahu kau yang akan menemuiku," jelasnya, dengan nada yang setimpal wajahnya. Terdengar
yakin, tidak begitu tegas, tetapi menusuk.

"Anda tahu apa yang Anda lakukan, kan?"

Lelaki itu menggeleng.

"Tidak," katanya.

Aku melihat perubahan yang drastis dalam dirinya. Brengsek, padahal baru beberapa hari tak
bertemu. Oh, sialan! Apakah artinya dia telah menunjukkan bahwa ia memang terlibat? Apakah ia
merasa tak dapat berkutik lagi sehingga menyerah pada keadaan, tetapi tetap hendak membuatku
tak nyaman?

"Anda meninggalkan rumah Anda. Satu keluarga." Aku berusaha tak kalah dalam mengintimidasi.
Nada bicara sengaja kutekan pada bagian akhir. Mencoba mencari kebenaran. Aku tahu, suaraku
itu terdengar menjijikkan—benar-benar bukan diriku. Namun, aku tak memiliki pilihan lain.

"Bisa Anda jelaskan kenapa Anda melakukannya?"

Pak Cakra—yang kini telah kehilangan senyumannya—menyandarkan bahunya, menjauhiku,


berusaha terlihat santai walaupun agak percuma. Oh, aku harap rekaman di ruangan ini—melalui
kamera yang terpasang di ujung ruangan—mengambil semua gambarnya. Betapa brengseknya
orang ini, tak mengetahui keadaan.

Uh! Kenapa aku jadi marah-marah seperti ini?

"Pergi mengunjungi rumah saudara."

"Mengunjungi secara tiba-tiba?"

"Tentu tidak. Sudah direncanakan."

"Terburu-buru?"

"Tidak terlalu."

"Tidak terlalu terburu-buru hingga lupa mengunci pintu rumah?"

Pak Cakra membatu. Mulutnya sedikit gelagapan. Namun—tidak—dia tak mengatakan apapun,
sama sekali—setidaknya beberapa detik.

Harus kuakui, dia orang yang hebat, berpura-pura terlihat santai, tenang, bahkan berhasil sedikit
menakutiku. Namun, tetap saja dia tak dapat menyembunyikan semuanya. Aku yakin benar, untuk
sesaat ia terperanjat akan pertanyaanku. Mungkin ia tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.

Aku harap Wijaya merekam semuanya dengan suara yang jelas.

"Anda terburu-buru," kataku, tetap dengan nada tinggi yang mengancam. Namun, brengseknya,
lelaki itu kembali mengembalikan kata-kataku.

"Mungkin," tukasnya.

"Mungkin bagaimana?"

"Mungkin memang sedikit terburu-buru hingga lupa mengunci pintu."

"Kenapa Anda terburu-buru?"


"Karena ingin segera sampai."

"Bukan karena ingin menghindari kami dan menghindari kenyataan bahwa Anda membunuh anak
Anda sendiri?"

Sekali lagi, lelaki itu terperanjat. Matanya terbelalak untuk kedua kalinya, persis seperti pertama
ia mendatangi tempat kejadian perkara. Namun, untuk kali ini, aku tak akan tertipu dengan
tampilan wajahnya yang harus kuakui cukup baik.

Alisnya menggantung, menajam, sedangkan keningnya mengerut, membuat lipatan kulit yang
amat banyak—tak terhitung.

"Omong kosong!"

"Atau Anda ingin melindungi anak Anda yang sebenarnya melakukan hal itu dengan kabur
menghindari kami?"

"Apa buktinya?"

Aku berdeham. Bukti. Brengsek. Aku tak memiliki benda yang dapat menguatkan dugaanku.

Namun, tentu, aku tak dapat kalah beradu argumen dengannya.

"Anda pergi dengan keluarga Anda, menghindari kami."

"Sudah kubilang aku akan mengunjungi rumah saudaraku. Sedikit terburu-buru. Lalu apa
masalahnya?"

"Masalahnya Anda melakukan hal itu sehari setelah anak Anda dibunuh, Pak."

"Lalu? Jika memang kebetulan, bagaimana?"

"Terlalu kebetulan."

"Tetap saja kebetulan, kan?"


Ia berkelebat, tak mau kalah—tentu saja. Kami seperti sepasang anak kembar yang saling
menyalahkan satu sama lain. Tak sampai baku hantam, tetapi mirip.

Astaga! Kenapa ia begitu menyebalkan?

Aku mengambil napas dalam. Sedangkan pria ini, entah sejak kapan telah berdiri tegak,
menghilangkan sandaran tubuh yang nyaman. Kemejanya sedikit kusut, rambutnya acak-acakan.
Namun, aku tetap tak melihat rasa takut dari wajahnya—sama sekali.

Apakah ia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi? Apakah ia tahu akan apa yang harus
dihadapinya? Apakah dia memang tidak terlibat sehingga ia merasa cukup tenang?

Tidak, pertanyaan terakhirku itu amatlah tolol. Tidak mungkin.

"Jadi, Pak," kulayangkan sebuah topik baru, berusaha mencari celah. "Ketika saya dan rekan saya
memasuki ruangan ini, mengapa Anda tersenyum seperti itu?"

"Karena tebakanku benar, kalian yang akan mendatangiku. Tidakkah kalian merasa senang
seandainya tebakan kalian benar?" Pak Cakra menyapu seluruh ruangan, menajamkan
pandangannya padaku dan Wijaya dengan alis yang mengerut. "Omong kosong! Biarkan aku
pergi!"

"Mengapa Anda menerka-nerka bahwa kami akan memasuki ruangan ini?"

"Mengapa kalian begitu peduli untuk mengetahuinya?"

"Anda tahu situasi yang sedang terjadi saat ini, kan?"

"Anda tahu betapa brengseknya—sialannya—orang-orang mengatakan bahwa Janu—anakku


itu—membunuh kakaknya sendiri?"

Sekali lagi. Kenapa ada orang yang tahu mengenai penyelidikan kami? Kenapa orang tua ini
mengetahui perkembangan kasus yang aku dan Wijaya lakukan?

"Dari mana Anda mendengar itu?"


"Polisi yang mengantar kami. Sialan. Dia mengatakan semuanya, mengatakan kami ditangkap
karena anakku—tentu saja Janu—membunuh kakaknya sendiri. Bagaimana perasaanmu
seandainya hal itu terjadi padamu? Kau punya anak, kan?"

Aku hampir tak bernapas, seolah-olah seluruh organ dalam tubuhku berhenti bekerja. Pak Cakra
menggebrak meja, menimbulkan kebisingan yang senada dengan amarahnya. Wajahnya
memerah—sangat padam. Dapat kubayangkan jika ia merupakan tokoh komik, maka bercak asap
akan memenuhi kepalanya, menandakan tingkat kemarahan yang telah memuncak—sangat tinggi.

Namun, brengseknya, aku tak dapat berkilah. Kenyataannya memang seperti itu, tetapi sejujurnya
aku berharap bahwa perkembangan kasus ini belum tersebar. Untung, sampai saat ini—mungkin—
hanya keluarga Pak Cakra yang tahu. Jika tidak, aku yakin orang-orang akan mendatangiku,
mewawancaraiku, bertanya bagaimana mungkin seorang saudara kandung membunuh saudaranya
sendiri? Kemudian, segera setelah melihat penampilan Janu—atau lebih parah, mengetahui
sifatnya yang sering bermabuk-mabukan—maka mereka akan menyadarinya. Hal yang wajar.

Setelah beberapa detik menahan napas, aku mencoba menghirup oksigen secara leluasa. Tentu saja
diriku belum tenang, apalagi dengan adanya seorang laki-laki dewasa di hadapanku, marah,
kecewa, mengutukku dalam hati—mungkin—dengan napasnya yang berat. Bahunya berkali-kali
mengayun ke atas dan ke bawah. Mungkin dia naik pitam untuk alasan tertentu—atau pasti.

"Anda berpikir anak Anda mungkin melakukannya?"

"Tentu saja tidak!"

"Kenapa?"

"Aku tahu, brengsek, dia memang seperti itu, berbanding terbalik dengan anakku yang satunya
lagi. Aku tahu, sialan," gerutunya. Sekali lagi, Pak Cakra menggebrak meja.

"Tapi tak ada alasan untuknya berbuat seperti itu!"

"Kenapa Anda tak ingin bekerja sama dengan kami ketika pertama kali kami menyelidiki kasus
itu? Kenapa Anda selalu berkilah dan menghindar?"
Pak Cakra menoleh ke arah kiri, melihat dinding dingin berwarna hitam gelap yang tentu tak akan
membantunya untuk berpikir. Mungkin, dia hanya berharap agar dinding itu berbicara,
memberitahunya apa yang harus dikatakan. Namun, sesaat kemudian, Pak Cakra kembali
melemparkan pandangannya ke arahku.

"Karena aku tahu ketika kalian memutuskan bahwa Agoy dibunuh seseorang, orang pertama yang
akan kalian curigai adalah diriku, juga Janu."

"Kenapa?"

"Itu mobilku, brengsek." Pak Cakra menutupi mulut dengan kedua lengannya. Kemudian, sedikit
meredam suaranya. "Mobilku, sialan. Aku tak tahu bagaimana bisa berada di sana. Tetapi aku
yakin, kalian pasti akan mengarah diriku, membuatku seolah terlibat. Astaga."

"Jadi Anda ketakutan?"

"Tidak ... ya ... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan." Nadanya semakin merendah. "Aku tidak
tahu."

Lelaki itu mulai menunduk. Seluruh nada tingginya menghilang, tergantikan oleh suara khas penuh
penyesalan. Kedua tangannya dikepalkan di atas meja, diseret sedemikian sehingga menyebrangi
meja ini, tetapi tetap tak bersentuhan dengan lenganku. Untuk beberapa menit, tak ada
perbincangan di antara kami. Namun, kurasa aku melihatnya dengan jelas—air mata jatuh
mengalir. Bercak air akibat tetesan air mata semakin terlihat seiring berjalannya waktu.

Laki-laki itu menangis. Sayup-sayup, tak begitu terdengar. Tetapi aku tahu jelas keadaannya. Ia
tak ingin memperlihatkannya, tetapi tentu bekas air mata yang mengering itu tak dapat
menyembunyikannya.

Namun, tetap, aku tak dapat terlena dengan suasana seperti ini. Menyebalkan, memang.

"Anda sudah bisa berdiskusi dengan kepala dingin?"

Pak Cakra tak menjawab.


"Pak?"

Sekali lagi, dia tak menjawab.

Baiklah, percuma, aku seperti sedang berbicara dengan sebuah batu. Batu yang menangis, tentu
saja.

Aku beranjak, berdiri, menghampir Wijaya, sama seperti kali pertama di ruang interogasi
sebelumnya. Wijaya sendiri tampak anteng dengan penampilan yang ada di hadapannya.

"Kau tahu siapa yang mengantarkan mereka ke sini?" tanyaku pada Wijaya, setengah kesal dengan
nada yang meninggi walaupun tidak setinggi suara yang dilemparkan oleh Pak Cakra.

"Ya, saya rasa, Pak. Tapi mungkin sudah pulang."

"Brengsek. Aku akan menghajarnya habis-habisan karena membocorkan informasi penyelidikan."

Aku keluar tanpa aba-aba, berjalan lebih cepat dari sebelumnya dan menggosokan sol sepatuku,
membuatnya semakin tipis. Sedangkan Wijaya mengikutiku dari belakang, memanggil-manggil
namaku yang tak begitu kuhiraukan. Namun, dalam pangilannya yang keempat, aku memberitahu
Wijaya bahwa sebelum mendatangi ruang interogasi terakhir, aku hendak menenangkan diri di
ruanganku sendiri. Setidaknya, dengan itu—mungkin—rasa kesalku akan petugas yang
membocorkan informasi akan berkurang.

Kuperintahkan Wijaya untuk melakukan apapun—sesukanya. Aku tak peduli jika dia ingin
mendatangi Janu lebih dulu atau melakukan aktivitas yang lain seperti makan malam yang telah
terlalu malam untuk disebut malam.

Hampir pukul dua belas malam.

Aku dan Wijaya berpisah. Lebih tepatnya, aku memisahkan diri. Mengambil gagang pintu
kantorku setelah beberapa saat melintasi lorong-lorong gelap. Beberapa ruangan di gedung ini
telah kosong. Nama-nama yang tertera pada masing-masing pintu tergantung begitu saja, seolah
tanpa pemilik. Tentu saja, mereka telah pulang, mungkin tidur di atas kasur yang nyaman. Berbeda
denganku yang sialannya masih harus menyelidiki kasus ini di saat yang tidak tepat.

Aku harap pekerjaan yang kulakukan selarut ini—setidaknya—mendapatkan apresiasi yang


setimpal seperti seorang karyawan yang sengaja melakukan kerja lembur. Maksudku, ini di luar
jam tugasku, bukan?

Berbeda dengan ruangan yang lainnya, ruanganku sangat terang. Lampu di dalam memberikan
cahaya yang meluas hingga keluar jendela. Mungkin Loka, karena seingatku, aku belum memasuki
ruangan ini dan menyalakan lampunya. Lalu, begitu kubuka pintu ini dan memberikan bunyi yang
halus—menenangkan telingaku—aku segera melihat Loka yang tengah duduk di atas kursi,
membuka lembaran-lembaran dokumen yang disimpannya di atas meja. Kemudian, begitu ia tahu
bahwa seseorang memasuki ruangan ini, ia menoleh hanya untuk beberapa detik sebelum ia
kembali pada pekerjaannya.

"Kenapa kamu bisa masuk?" tanyaku segera, sembari menarik kursi yang berada di bawah meja,
duduk dengan santai sambil mencuri pandang dokumen yang tengah dibaca olehnya.

"Pintunya kebuka."

"Kebuka?"

"Nggak dikunci, maksudnya."

Seharusnya, jawaban Loka adalah jawaban umum yang dapat kuterima. Mungkin aku lupa, tentu
saja, karena biasanya sebelum meninggalkan ruangan ini, aku akan menguncinya. Memang,
sebelumnya kukatakan pada Loka, seandainya ia ingin menunggu, maka ia harus menunggu di
ruanganku. Namun, maksudku, jika ia ingin melakukannya, seharusnya ia menemuiku dulu untuk
mengambil kuncinya. Dan sekarang, ia dapat masuk tanpa izin. Tentu saja tak begitu masalah
sebelum kukaitkan dengan kasus yang tengah kutangani.

Kebetulan. Kata itu terus terngiang dalam telingaku. Oh, sialan. Seandainya Pak Cakra terus
menahan argumennya itu, mungkin semalaman akan kupikirkan hal itu karena hal yang sama pun
terjadi padaku, tepat setelah bertanya padanya.
Loka membolak-balikan halaman dokumen, lebih sering menuju ke halaman terakhir, tetapi tak
jarang ia pun kembali membaca kalimat-kalimat di halaman sebelumnya. Aku tidak tahu, mungkin
dia hanya meninjau ulang dan mengingat kembali informasi yang ia lupakan. Tidak semua orang
memiliki memori jangka pendek yang baik.

"Gimana?" tanyaku, di sela-sela pencariannya, membuat Loka menengok sekali ke arahku,


kemudian kembali sibuk dengan halaman-halamannya, persis ketika kumasuki ruangan ini.

Tanpa menatapku sedikitpun, Loka bertanya, "Gimana apanya?"

"Kasusnya. Kamu lagi baca tentang kasusnya, kan?"

Aku tahu, seharusnya aku tak membiarkannya untuk membaca berkas itu. Berkas terlarang yang
mungkin dapat mengutuk semua orang yang membacanya. Namun, percuma saja, mungkin berita
itu telah tersebar luas. Seandainya ada seorang polisi yang dapat membocorkan informasi seperti
itu—pada tersangka, lagi—tak menutup kemungkinan ada polisi-polisi lain melakukan hal yang
sama. Oh, sialan, padahal aku hanya mengatakan kemungkinan saudara kandung itu adalah
pembunuhnya.

Setidaknya Loka—mungkin—tak akan membocorkan informasi itu pada siapapun. Mungkin


hanya pada teman-temannya, tetapi kurasa mereka tak akan peduli karena mereka semua telah
melihat berita yang sama. Dari bunuh diri menjadi pembunuhan.

"Ya, gitu lah," komentarnya. "Banyak istilah aneh, nggak ngerti."

Aku tersenyum simpul, sesaat. Aku yakin ia berfokus pada tajuk yang ditulis oleh Dokter Dalton,
karena sesungguhnya pun aku tak terlalu mengerti dengan istilah-istilah yang ia pakai di sana.
Terkadang, aku memohon pada Dokter Dalton—berdalih—agar ia membuat informasi yang dapat
digunakan oleh khalayak umum. Aku sendiri sebenarnya tak merasa keberatan dengan tulisan-
tulisannya itu, karena tentu saja aku dapat bertanya langsung padanya, tetapi tetap saja
pekerjaannya tidak sederhana, kan? Maksudku, haruskah kuhubungi dia setiap kali kutemukan
kata atau kalimat ganjil yang di luar dari diksiku?
Melihat Loka membaca berkas itu, membuatku kembali mengingat ulang seluruh hal yang telah
ditemukan. Sidik jari, yang tertinggal hanya berasal dari keluargga korban, mungkin tak ada bekas
penghapusan. Luka jeratan penyebab pembunuhan ditutupi oleh kesan bunuh diri akibat
menghirup gas karbondioksida—cukup pintar.

"Tapi kayaknya ini bukan pembunuhan di ruang tertutup deh, Pak."

Aku terperanjat. Sungguh.

"Kenapa?" tanyaku, segera setelah Loka mengatakan hal itu.

"Loka pernah liat, mobil kayak gini bisa dikunci meskipun nggak pakai kunci. Pas kuncinya
nyantol juga mungkin bisa."

"Beneran?"

Loka mengangguk.

"Temen Loka—bapaknya, sih—punya mobil yang kayak gini, Loka pernah liat."

Aku benar-benar tak dapat memercayainya. Astaga, benarkah yang anak ini katakan? Sialan,
betapa tololnya diriku, satu hal vital yang selalu menjadi pikiranku selama ini ternyata memiliki
jawaban yang diketahui oleh seorang anak SMA.

"Boleh kontak temen kamu sekarang?" Kulihat jam dinding yang menggantung, beberapa menit
lagi menuju tengah malam. "Atau nanti pagi," ralatku.

Loka mengangguk.

Oh, astaga.
13. Truth be Told

Suaranya sedikit terdistorsi, menggema tak keruan dengan suara statis yang timbul dan tenggelam
secara bergantian. Desisan ular—atau setidaknya suara yang mirip seperti itu—berulang kali
terdengar, menghilangkan suara sesungguhnya yang ingin kudengar. Telingaku terasa hampir tak
berfungsi, membuatku kebingungan untuk mengetuk ulang ponsel Wijaya atau harus kubersihkan
telingaku. Namun, di saat seperti ini, Wijaya meminta maaf karena sengaja menyimpan ponsel di
balik saku kemejanya, membuat hasil yang tak begitu baik karena noise yang terdengar lebih
dominan dibandingkan dengan suara Janu.

Akhirnya, aku menyerah. Kurasa akan lebih baik untuk melihat rekaman ruangan langsung
daripada harus mendengar rekaman dari ponsel Wijaya. Aku tahu, kedengarannya tolol untuk
merekam suara sedangkan aku tahu bahwa di balik ruangan ini—sembunyi-sembunyi—telah
tersimpan alat lain yang tak kalah canggihnya, mengambil seluruh pergerakan setiap orang yang
berada di dalam ruangan sekaligus mengambil rekaman suara segala ucapan yang diberikannya.
Hanya saja, mengambil rekaman sendiri terasa lebih pribadi bagiku. Seluruh benda itu seolah
menjadi milikku, bebas untuk kugunakan. Jadi, ya, semua itu hanya agar aku merasa nyaman,
tetapi sepertinya kebiasaanku itu berlanjut pada seluruh rekan kerjaku, utamanya Wijaya. Tak
pernah sekalipun dia menolak melakukannya. Aku sendiri tidak begitu yakin akan alasannya, tapi
terkadang aku berandai-andai, apakah ia merasakan hal yang sama?

Kuberikan ponsel Wijaya kembali padanya, menyebrangkannya melalui gesekan meja yang
mungkin dapat merusak casing ponsel Wijaya biarpun aku yakin tidak akan seberat itu. Wijaya
menerima ponselnya dengan senang hati dan langsung dikantonginya.

"Langsung saja ke intinya," kataku. "Apa yang dia katakan?"

"Janu bilang dia tidak tahu. Dia sangat tidak yakin. Katanya sendiri bahkan dia sudah tak pernah
mabuk-mabukan, setidaknya dua bulan hingga tiga bulan terakhir ini, tetapi dia tidak yakin."
Wijaya memiringkan kepalanya, mengangkat sebelah alisnya, mempertanyakan rasa percayaku
akan alasan aneh semacam itu. "Dia tidak tahu apakah malam itu—tidak sengaja—dia kembali
mabuk, ia tidak begitu ingat."
"Kau memberitahu bahwa kami memiliki dugaan jika ia mabuk sebelum membunuh kakaknya?"

"Bagaimana lagi saya harus mengatakannya, Pak? Saya rasa dia tak akan bicara apapun jika saya
tak melakukannya."

"Tidak, maksudku, itu bagus."

Aku mencoba berpikir, berada dalam situasi itu. Jika aku sendirian, kemudian secara tiba-tiba
seseorang menuduhku membunuh kakakku sendiri—sebenarnya aku tidak punya—dan dengan
alasan yang bahkan aku pun tak mengerti, apakah memang terjadi atau tidak, aku yakin aku akan
sangat kehilangan arah, tak tahu akan mengatakan apa selain 'tak tahu'. Mungkin, itu yang terjadi
pada Janu. Mungkin, memang benar bahwa ia melakukan semua itu di bawah kesadarannya yang
menipis, seperti dugaan kami sebelumnya.

"Lalu?" tanyaku, memastikan lebih jauh cerita yang dapat Wijaya sampaikan. Kemudian, Wijaya
kembali memosisikan dirinya sebagaimana seharusnya, tak ada sakit leher akibat terlalu lama
memiringkan kepalanya.

"Lalu Anda datang, Pak, di saat yang tepat," beritahunya.

Saat itu, aku tahu Wijaya sedang berbincang dengan Janu, lebih tenang dari sebelum-sebelumnya.
Tak ada rasa amarah yang memuncak seperti Pak Cakra, tak ada isak tangis yang menggema di
seluruh penjuru ruangan seperti yang terjadi pada ibunya. Dua orang itu—para manusia—duduk
santai sebagaimana seharusnya. Tegak tanpa adanya baku hantam. Kemudian, saat aku masuk,
secara spontan mereka menoleh padaku, mengikuti datangnya sumber suara. Lalu, aku yang tak
ingin mengganggu pesta mereka, lebih memilih untuk bersandar pada dinding yang dingin, diam,
tampak tak ada seandainya suara pintu itu tak menggagalkan rencanaku.

Sejauh yang kudengar, mereka hanya membicarakan soal 'kabur dari rumah' itu. Memang, aku
yang datang terlambat tak mengikuti perbincangan mereka dari awal—alasanku ingin
mendengarkan rekamannya sekarang. Namun, Janu memberikan pernyataan yang sama dengan
ayahnya dengan diksi yang sedikit berbeda: mereka harus menemui saudaranya, menurut ayahnya.
Kenapa harus? Tentu saja aku bertanya pada Janu, memotong pembicaraan mereka secara tak
sopan—dalam hati aku meminta maaf—seperti orang brengsek yang tak tahu aturan. Namun, Janu
tak memberikan jawaban yang cukup memuaskan. Dia hanya bilang seperti itu, tak lebih, tak
memberikan gambaran berarti akan kata 'harus' yang diucapkannya.

Aku tak memaksanya lebih jauh. Namun, pilihannya untuk tak memberikan gambaran 'harus' itu
membuatku terpaksa sedikit memaksa Janu untuk memberikan informasi lain. Tentu, aku
mengatakan seperti apa yang Wijaya katakan—walaupun sebelumnya aku belum tahu.
Membuatnya mendongak, kemudian langsung membanting kapalanya ke arah bawah, membuatku
dan Wijaya bergerak cepat sebelum ia melakukan hal lain yang tak kuinginkan.

Namun, bukan hanya itu. Orang-orang itu, semua berakhir sama. Menangis, membantingkan
kepalanya seolah otak mereka tak berguna. Kemudian, di saat seperti itu, biasanya aku akan
mengakhiri interogasi, mencoba membiarkan kepala mereka dingin terlebih dahulu. Lagipula,
untuk apa mendapatkan informasi dari orang yang tak dapat berpikir jernih? Lebih baik aku
mendapatkan informasi palsu dari seseorang yang berada dalam kondisi normal daripada harus
mendengarkan jeritan seseorang yang melengking di malam hari. Setidaknya, ketika aku tahu
bahwa seseorang berbohong, aku dapat menarik kesimpulan yang lain.

Kemudian, isak tangisnya kembali berdengung dalam telingaku. Sedikit memalukan, memang,
bagaimana seorang laki-laki dewasa, berbadan gempal dengan tato yang memenuhi salah satu
bagian lengannya menangis. Di hadapanku. Aku tidak mengatakan bahwa itu adalah hal yang
buruk. Tapi—mungkin—bagi sebagian orang hal itu terlihat memalukan. Setidaknya dengan
perawakannya yang seperti itu. Ah, aku tidak berniat menyindir, oke?

Kemudian, di sela-sela tangisnya, dia memberitahuku bahwa ayahnya mengatakan, mungkin Janu
memang membunuh kakaknya sendiri. Mabuk. Tentu, kan? Siapa yang tidak berpikir seperti itu?

Walaupun begitu, dia tetap bersikukuh bahwa kemungkinan lainnya tetap ada. Maksudnya,
bagaimana mobil itu dikunci? Mengapa harus dikunci? Untuk alasannya sendiri, tentu aku yakin
bahwa seseorang—ayahnya atau mungkin Janu sendiri—berusaha untuk memperlihatkan sebuah
pembunuhan sebagai bunuh diri. Sedangkan caranya? Aku belum tahu.
Aku benar-benar berterima kasih pada Wijaya, bagaimana ia bersikeras untuk menyelidiki kasus
ini hingga satu kejadian yang mustahil terjadi, benar-benar terjadi. Seandainya tidak, mungkin
kami telah menutup kasus ini sebagai bunuh diri, tak mengetahui kebenaran yang ada,
meninggalkan jasad korban di bawah tanah dengan sang pembunuh yang masih berkeliaran di luar
sana.

Pukul empat pagi dan aku belum tidur sama sekali. Sektar tiga jam lamanya setelah kuhabiskan
waktu untuk menginterogasi Pak Cakra. Sialannya, kegiatan yang kulakukan. Ya, sedikit tolol.
Loka bertukar pendapat denganku. Ia berlagak menjadi seorang detektif—detektif gadungan—
dengan aksen inggris khas abad 20. Tentu saja gagal, karena bahkan aku sendiri tak yakin apakah
dia cukup lihai menggunakan bahasa inggris untuk percakapan sehari-harinya atau tidak.

Namun, tetap aku dan Loka bertukar pendapat. Aku tidak bermaksud sombong, tetapi keterbatasan
Loka dalam beberapa bidang—bidangku—sedikit membuatnya terlihat tak begitu baik untuk
memecahkan suatu kasus, malah lebih terkesan seperti detektif gadungan. Namun, tetap saja aku
menghargainya. Setidaknya, dia yakin bahwa kasus pembunuhan ruangan tertutup itu akan
terungkap pada bagian 'ruangan tertutupnya'.

Loka sendiri belum pulang. Aku yakin dia sedang sibuk memainkan ponselnya di suatu tempat.
Aku lupa bahwa ia tak membawa motor, dan mobil adalah satu-satunya kendaraan yang dapat
kugunakan untuk pulang. Jadi, ya, Loka terpaksa menunggu. Aku telah menawarkannya untuk
mengendarai mobil, sedangkan nanti—ketika aku akan pulang—aku hanya perlu menumpang
pada Wijaya, memintanya mengantarkanku pulang. Namun, Loka menolak. Belum punya surat
izin mengemudi, katanya.

"Bagaimana dengan Anda, Pak?" Wijaya menekan-nekan dadanya, menahan batuk. "Anda
menemukan sesuatu ketika beristirahat itu?"

"Sebenarnya, ya," kataku. "Loka bilang dia tahu bagaimana trik ruangan tertutup itu dibuat."

"Benarkah!?"

"Ya. Dan sejujurnya, dia telah memberitahuku bagaimana caranya."


"Bagaimana!?" Wijaya benar-benar antusias. Bahkan, rasa kantuknya yang menjalar tampaknya
menghilang begitu saja, digantikan oleh rasa terkejut yang luar biasa.

"Aku tidak ingin kita terlalu berharap. Jadi kurasa aku lebih memilih melakukannya dengan
simulasi."

"Kalau begitu bagaimana jika kita langsung menyimulasikannya sekarang?"

"Menggunakan mobil siapa?"

"Mobil saya. Mobil Anda, mobil siapa saja, Pak." Jujur, aku belum pernah melihat Wijaya yang
seantusias ini. Aku yakin, rasa penasarannya benar-benar telah memuncak, hampir meledak.
Bahkan, matanya melotot menatapku, luar biasa. Tampaknya aku dapat melihat bagian dalam dari
bola mata WIjaya saking melototnya ia.

"Mobil yang spesifik. Tentu jangan mobil yang jadi tempat pembunuhan. Aku tak ingin
keteledoran kita—seandainya ada—merusak barang bukti."

Wijaya terlihat kecewa akan jawabanku. "Kenapa, Pak?" tanyanya.

"Pokoknya, aku telah meminta Loka untuk menghubungi temannya, orang yang memiliki mobil
yang sama. Kita hanya perlu menunggu balasannya, kapan kita dapat meminjamnya. Kurasa tak
akan lama."

Sekali lagi, darahku mengalir begitu kencang, adrenalinku menguat. Aku sendiri mungkin sama
seperti Wijaya. Sangat antusias. Hanya saja, karena aku telah mengetahuinya lebih dulu, aku bisa
mengontrol seluruh perasaan dan gerak-gerikku lebih baik, sehingga terlihat tak begitu tertarik.
Tapi, ya, aku sangat tertarik dengan apa yang Loka katakan. Aku sendiri, tak pernah mencoba cara
seperti itu. Cara yang sedikit tolol.

Namun, jika berhasil, cara yang tolol itu pun menjadi sebuah hal yang brilian, bukan?

===
Mataku sayup-sayup, hampir terpejam, tetapi sebisa mungkin kuhindari untuk tidur. Kami hampir
sampai—mungkin—jika Loka tidak memberikan alamat yang salah. Untungnya, Loka sendiri ikut
menumpang, di belakang, walaupun tampaknya ia tengah tertidur, sih.

Dari persimpangan kedua, rumah ketiga di samping kiri dengan cat cokelat yang mendominasi
warna lainnya. Aku dapat melihatnya, mengasumsikan bahwa memang rumah itu yang kami tuju.
Kemudian, dengan melihat adanya mobil Karimun Suzuki keluaran tahun dua ribu yang
kuharapkan, aku menjadi semakin yakin. Kuperintahkan Wijaya untuk berhenti, membuatnya
menginjak rem walaupun tampaknya Wijaya sendiri tak memerlukan komandoku untuk
menyadarinya.

Secara ajaib, Loka bangun.

Aku—atau kami seluruhnya—keluar dari mobil, menapakan kaki ke atas aspal berwarna abu yang
sedikit kasar, lebih mirip kumpulan batu yang diberi semen, tetapi tidak menutupinya.
Kupersilakan Loka untuk mengambil langkah pertama—tentu saja—karena ia lebih mengenal
penghuni rumah dibandingkan dengan aku dan Wijaya. Setidaknya, hal itu mungkin dapat
mempermudah suasana.

Kami—aku dan Wijaya—berjalan mengekor di belakang Loka. Loka mengetuk pintu, hanya perlu
beberapa saat sebelum seorang wanita membukakan pintunya, menimbulkan suara yang kurasa
khas untuk masing-masing pintu. Decitan kecil akibat engsel yang sudah menua, tak dioli,
menggema, menyeruak memenuhi telingaku ketika perempuan itu sedikit sumringah.

"Eh, Loka," katanya. Kemudian, melihat ke arahku, juga Wijaya, bergantian. Kini, senyum
sumringah yang tadinya tampak dipaksakan, berubah menjadi senyum penuh tanda tanya besar
akan apa yang sedang terjadi. Mungkin ia terkejut karena dua orang dewasa berseragam polisi
secara tiba-tiba berada di lingkungannya.

Wanita itu kembali menatap Loka.

"Ada apa?" tanyanya.


Lalu, Loka tanpa basa-basi menjawab, "Ini Bu, bapak saya mau ketemu sama Pak Rio. Pak Rio
ada?"

"Ooh, mau minjem mobil, ya?"

Loka mengangguk.

"Pak Rio lagi kerja. Tapi tadi dia bilang, kalau ada polisi yang dateng, pinjemin aja. Pak Rio ke
kantor pakai motor. Saya kira nggak bakal ada Loka." Akhirnya, perempuan itu melemparkan
kembali pandangannya pada kami. Hanya saja dengan keadaan yang berbeda. Ia tersenyum simpul,
terlihat sedikit dipaksakan, tetapi tetap tersenyum.

Akhirnya, aku berjalan semakin mendekat. Memang, tadi aku lebih memilih untuk berhenti dengan
jarak terpaut tiga meter dari pintu depan. Seolah-olah aku menunggu sesuatu yang tak diinginkan,
takut akan hal buruk terjadi dan membuat Loka menjadi umpan.

"Sebentar, ya. Saya ambil kuncinya dulu." Wanita itu pergi meninggalkan kami bertiga. Namun,
mungkin karena rasa kantuk yang sedari tadi mendera, masing-masing dari kami memilih untuk
diam, tak mengatakan apapun. Bahkan, aku yakin Wijaya telah setengah tertidur. Bola matanya
hampir tak terlihat, menutup walaupun tak begitu rapat.

Lalu, perempuan itu kembali dengan kunci dan gantungan berbentuk dompet yang kuyakini di
dalamnya berisi STNK. Perempuan itu memberikannya pada Loka. Lalu, Loka mengestafetkannya
padaku, sedangkan Wijaya tetap diam tak berkutik. Bahkan, kurasa dia tak akan mengingat
kejadian ini, karena tampaknya ia tak membuka matanya sama sekali—walaupun tidak, sih.

"Mobilnya itu," tunjuk perempuan itu, walaupun sebenarnya tak begitu kuperlukan. Tentu saja aku
mengetahuinya. Maksudku, bagaimana mungkin aku menghindari kenyataan bahwa jika aku ingin
berada pada sisi ini, maka aku harus melewati mobil itu?

"Terima kasih, Bu," kataku sembari menggaet Wijaya, menariknya dengan sedikit paksaan
sehingga ia terlihat seperti tertarik oleh gravitasi bumi yang mendadak membesar. Bagian baju
yang dimasukan ke dalam celananya sedikit tertarik keluar. Namun, aku tak ingin membuang-
buang waktu lagi.
Ketika aku, Wijaya dan Loka berjalan mendekati mobil itu—mobil eksperimen—sang tuan rumah
lebih memilih untuk mengawasi kami dari kejauhan. Ia tak bergerak dari tempatnya semula, tetap
berdiam diri di depan pintu masuk ketika kami seolah-olah hendak membobol mobil itu, walaupun
tentu saja tidak dapat dikatakan membobol ketika aku memiliki izin untuk menggunakan
mobilnya. Lagipula, hanya eksperimen sederhana, tidak akan menurunkan rem tangan dan
membuat mobil ini menabrak pagar, kok.

Namun, melihat kesempatan yang didapatkannya, Wijaya tersentak, bangun begitu saja, sama
seperti Loka sebelumnya. Lengannya menepis kaitan jariku pada bajunya. Aku yakin, dalam hati
ia benar-benar menunggu saat ini untuk tiba. Maksudku, sialan, mungkin ini kali pertama bagiku—
juga baginya—menyelidiki sebuah pembunuhan di ruangan tertutup—biarpun bukan ruangan.
Aku sendiri tak pernah menemukan hal yang sama—sebelum ini. Aku yakin, orang-orang merasa
bahwa hal seperti ini adalah hal yang biasa terjadi di komik maupun novel. Namun, tidak pada
kenyataannya.

"Kau ingin mencobanya?" tanyaku pada Wijaya. Namun, ia menggeleng.

"Anda saja, Pak."

Akhirnya, kami lanjutkan rencana kami. Lenganku kuayunkan dengan ujung kunci yang
menempel pada lubangnya. Kemudian, memutarnya, membuat kunci pintu itu terbuka.

Aku masuk ke dalam setelah mengangkat kaki kanan dengan sol sepatu kotor lebih dulu. Disusul
oleh kaki kiriku, membuatku terlihat melayang jika seseorang dikatakan berdiri ketika kakinya
menginjak tanah.

Sebelum memulai penelitian kami—penelitian dadakan—kunyalakan mobil ini terlebih dahulu,


menurunkan jendelanya agar aku dapat berkomunikasi dengan siapapun yang berada di luar sana,
utamanya Wijaya, tapi tak menutup kemungkinan pula dengan Loka.

Sungguh, penyelidikan ini hanya penyelidikan biasa. Tetapi Wijaya menatap cemas, begitu juga
dengan diriku. Apakah benar akan berhasil? Jika berhasil, artinya aku dapat menutup kasus ini.
Korban, pelaku, motif, hingga trik yang mengganggu penyelidikanku.
Aku sedikit ragu, tetapi aku harus mencobanya.

Kuputar kunci mobil, mematikan mesinnya, mencoba membuat situasi yang semirip mungkin
seperti yang ada pada tempat kejadian perkara—tentu dengan pengecualian jendela mobil ini.

Jantungku berdegup dengan kencang seperti genderang perang.

Aku menarik napas sedalam mungkin.

Aku membuka pintu pengemudi. Menekan kunci pintu mobil, membuat semua kunci masing-
masing pintu ikut terkunci ketika pintu pengemudi masih terbuka. Baiklah, seluruhnya lancar,
tinggal satu tahap terakhir—penentuan.

Aku menutup pintu mobil, sedikit keras melebihi apa yang kuperlukan. Namun, aku terpaksa
melakukannya agar aku benar-benar yakin bahwa pintu ini memang tertutup. Dan, ya, pintu ini
tertutup.

Rapat.

Pintu ini benar-benar tertutup rapat dengan kunci yang tak kembali terbuka. Tetap mengunci. Jika
aku kembali menaikan jendela ini dan aku merupakan mayat yang telah kehabisan napas, tentu
kondisinya sama dengan yang ada pada tempat kejadian perkara.

Ruangan tertutup.
14. Vengeance

Apakah ini semua hanya delusi? Aku melakukannya, melihat semuanya, tepat di mana aku berada,
tetapi aku merasa bahwa dunia ini adalah dunia fantasi di mana seluruh keinginanku, harapanku,
seluruhnya terkabul, dan itu semua terjadi. Bahkan, aku memastikannya berkali-kali, kunci mobil
ini benar-benar tak bergerak, tak terbuka, tepat seperti sebelumnya, terkunci. Mengunciku di dalam
seolah berharap aku mati terkurung, ditinggalkan dan dilupakan.

Aku mendengus, tersenyum, menimbulkan suara napas yang aneh—tersendat. Kedua telapak
tanganku terangkat tanpa sadar. Semuanya bekerja seperti seharusnya.

Di luar, Wijaya menatapku tak percaya.

"Astaga!" katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Demi apapun, tak pernah


terpikirkan dalam benak saya, Pak, bagaimana hal ini bisa terjadi."

"Teknologi di dunia ini semakin maju. Sistem keamanan semakin disempurnakan. Mobil keluaran
baru mungkin tak dapat melakukannya. Mungkin kunci pintu akan terbuka secara otomatis begitu
tahu bahwa kunci mobil ini masih tergantung pada tempatnya. Tapi aku lupa bahwa mobil ini
sudah tua, sudah lama diproduksi. Mungkin lebih tua dari umur Loka." Loka belum delapan belas
tahun. Dan jika mobil ini memang dibuat pada tahun yang pas dengan yang kudapatkan, artinya
mobil ini memang lebih tua dari Loka. "Sistem keamanannya belum sebaik sekarang. Bahkan
kunci digital-nya pun tak ada, kan?"

Wijaya terpaku, tersenyum kaku, sama sepertiku yang bahkan tak berpaling untuk menatapnya,
lebih memilih untuk melihat speedometer yang tak bergerak sama sekali. Seluruh jeratan
pemikiran yang melintasi otakku masih sama seperti sebelumnya. Apakah semua ini hanya delusi?
Jujur, aku tak menyangkanya.

Namun, aku tak dapat terlarut dalam pemikiran itu. Seperti yang kutahu, cara ini berhasil, itulah
hal penting yang harus kutempatkan dalam otakku. Kembali kunaikan jendela mobil, kemudian
berjalan keluar setelah sebelumnya kutarik kunci pintu, membiarkanku melengang bebas.
Wijaya tak mengatakan apapun lagi. Aku yakin, dia sama terkejutnya denganku. Sedangkan Loka,
aku dapat melihat senyum bangganya, seolah-olah ia memberikanku cahaya dalam kegelapan—
walaupun memang seperti itu. Dia menyilangkan lengannya di depan dadanya, menungguku untuk
berterima kasih yang tak langsung kukatakan secara terang-terangan. Aku tertawa kecil sebagai
pengganti kata terima kasih. Lalu, di seberang sana, Ibu Rio tampak kebingungan dengan apa yang
sedang terjadi, tak tahu harus berbuat apa.

===

Memecahkan sebuah kasus memang bukanlah hal yang mudah. Namun, mendekati seorang
tersangka, menangkapnya, dan tahu bahwa hukuman akan dibawakan padanya pun bukanlah hal
yang mudah bagiku. Ketika aku tahu bahwa satu trik gila sederhana yang tak pernah terpikirkan
olehku sebelumnya ternyata bisa dilakukan, harus kuakui bahwa aku amat senang, seolah-olah
berhasil menyelesaikan ujian dalam satu mata pelajaran tersulit secara sempurna. Namun, pada
saat itu pula aku harus menemui ujung dari kasus ini. Menyimpulkan satu kasus dan menutupnya.
Bukan berarti aku tak ingin melakukannya, hanya saja sedikit berbeda untuk kasus kali ini.

Janu membunuh kakaknya sendiri dalam keadaan tak sadar. Sang ayah berusaha melindunginya,
berkendara beberapa saat dan berusaha memperlihatkan bahwa anaknya bunuh diri. Namun, semua
usahanya itu tak berjalan mulus. Kami—atau harus kukatakan Wijaya—tahu. Dan sejauh yang
kutahu, Agoy adalah seorang anak yang sangat menyayangi keluarganya—mungkin juga berlaku
untuk Janu. Satu kesalahan tolol mengubah semuanya. Padahal, aku benar-benar yakin bahwa Janu
bukanlah orang seperti itu. Maksudku, dia masih peduli. Di kesadarannya, Janu berusaha untuk
membantu kami, tak berusaha menutup-nutupi. Walaupun tak menutup kemungkinan bahwa kala
itu—ketika mereka mendatangi tempat kejadian perkara untuk pertama kalinya—ia belum tahu,
tapi ia bersikap acuh. Setidaknya sifat aslinya menyeruak, berusaha mengungkapkan pembunuhan
kakaknya.

Ironis, bukan?

Aku telah membicarakan semuanya dengan Wijaya, bagaimana kami akan mengakhiri kasus ini,
dan keputusan kami telah mutlak, meminta Pak Cakra agar dapat membujuk Janu menyerahkan
dirinya. Awalnya, tentu ia menolak. Jika aku boleh jujur, bukan pekerjaan yang mudah—sama
sekali. Aku tahu dalam lubuk hatinya, lelaki tua itu merasakan hal yang sama. Melepaskan anak—
yang kini satu-satunya—bukanlah hal yang mudah, terlebih lagi jika ia tahu pada akhirnya ke mana
anaknya itu akan berakhir. Namun, bujukan kami pada akhirnya berhasil. Sang ayah meminta
anaknya untuk menyerahkan diri.

Kasus ini diakhiri dengan cukup baik. Setidaknya, tak ada pertumpahan darah di antara kami.
Hakim memberikan hukuman minimal, serta kebebasan untuk Pak Cakra. Aku tidak tahu
bagaimana cara pandang mereka terhadap orang tua itu, tetapi aku cukup setuju. Dia hanya
berusaha melindungi anaknya, tak lebih dari itu. Lagipula, Pak Cakra tidak memberikan
perlawanan terhadap penyelidikan kami. Ia menghindar, tetapi tidak menyerang balik. Hanya
ketakutan, tak lebih dari itu. Lalu, satu-satunya jalan untuk mengelabui kami adalah melakukan
trik yang sebenarnya sudah sering ia lakukan. Mengunci pintu dari dari dalam, menutupnya dari
luar.

Berita di berbagai surat kabar, baik cetak maupun elektronik pun telah beredar. Judul-judul yang
seolah bersinar saling beradu satu sama lain. Sang pembunuh ditemukan. Sang pembunuh ternyata
adiknya sendiri! Lima pembunuhan mengerikan tahun ini, nomor tiga akan membuat Anda
terkejut, dan segala omong kosong lainnya. Beritanya tak lebih dan tak kurang, semuanya hampir
sama seolah masing-masing dari media tersebut mengambil potongan berita yang lain,
menyatukannya menjadi padu, membuat karya tulis yang baru.

Aku sendiri lebih memilih untuk lepas tangan dari urusan pers, menyerahkan Wijaya dan
Komisaris Yudha untuk menghadapinya. Lalu, aku dapat dengan tenang menghadiri pembagian
rapor hasil belajar siswa. Penghujung untuk semester genap, pembagian hasil kenaikan kelas
biarpun aku yakin jika seburuk apapun Loka, ia pasti akan naik kelas. Salah satu sistem yang
menurutku sedikit ambigu, membuatku dilema.

Aku tahu, standar nilai di sekolah ini begitu tinggi, mencapai angka delapan puluh, bahkan
beberapa di antaranya mencapai angka delapan lima. Tapi, brengseknya, mereka memiliki fasilitas
apa hingga berani menetapkan standar yang begitu tinggi sebagai syarat kelulusan? Formalitaskah?
Apakah mereka hanya ingin terlihat baik?
Satu hal yang sangat kubenci. Kepura-puraan. Ketika seseorang berbohong untuk masalah
pribadinya. Ketika seseorang berbohong bahwa ... ia ... berpura-pura mencintaiku di hadapanku,
kemudian melepaskan seluruh topeng pada wajahnya hanya untuk membantingku di depan pintu,
membuatku pingsan.

Kusikut Loka, membuatnya mengerang kecil, tetapi tak lebih dari itu, ketika sang guru memanggil
anak didik serta orang tuanya satu persatu. Ya, kebiasaan di sekolah ini, bagaimana para murid
dipaksa untuk memberikan hasil laporan belajar pada orang tuanya.

"Orang tua Temenmu ada di sini?" tanyaku, segera, sebelum Loka berteriak lebih lanjut. Namun,
Loka tetap tak mengerti.

"Semuanya juga di sini, Pak."

"Maksudnya Pak Rio. Dia ada di kelas ini?" aku menjelaskan. AKhirnya, Loka mengerti. Ia
menunjuk seorang lelaki dengan kemeja abu bergaris putih yang melintang di sepanjang
kemejanya, dari atas ke bawah.

"Itu," katanya.

Aku tak berkata lebih lanjut. Aku berjinjit, berusaha untuk tak menimbulkan kerusuhan. Lelaki
yang ditunjuk itu tidak duduk sendiri. Seorang anak SMA—yang kuduga anaknya dan juga teman
Loka—duduk di sampingnya, membelakangiku. Sedangkan bangku yang berada tepat di
belakangnya kosong. Setengahnya. Maksudku, dari dua kursi yang ada, hanya terisi satu kursi oleh
wanita berbaju merah yang menutupi seluruh anggota tubuhnya dari atas ke bawah.

Tak ingin mengagetkan Pak Rio—mungkin, aku pun belum tahu—aku memilih untuk duduk di
belakangnya, di samping wanita yang kini berada di sebelahku. Aku yang berusaha terlihat sopan
hanya tersenyum kaku, kemudian melemparkan pandanganku kembali ke arah depan, berharap
perempuan itu tak terganggu oleh aksiku yang bagaikan seorang mata-mata. Mengendap-endap,
siap menerkam mangsa dari belakang.

Kucolek bahu lelaki itu, dan ia menoleh.


"Roy," kataku sembari menjulurkan lengan, memperkenalkan diri sebagaimana mestinya.
Kemudian, lelaki itu membalasnya, menjabat tanganku.

"Rio," balasnya.

Tepat!

"Saya ingin berterima kasih, Pak." Kulepaskan genggaman itu, langsung menuju inti yang ingin
kubicarakan. Memang, kata terima kasih tak mungkin lepas begitu saja tanpa kuucapkan. Oleh
karen itu, di saat ini, aku berusaha mengatakannya sebelum kesempatan itu hilang.

Namun, Pak Rio memberikan reaksi yang berbeda. Ia lebih seperti mempertanyakan eksistensiku,
keanehanku yang tiba-tiba berterima kasih. Berterima kasih untuk apa? Karena berkenalan? Aku
yakin, seluruh otaknya sedang memproses kalimat-kalimatku, berusaha mengonversikannya ke
dalam realita yang paling mungkin—probabilitas tertinggi. Tetapi, aku sendiri yakin jika lelaki ini
tak dapat melakukannya. Kami belum pernah bertemu sebelumnya, ia baru mengetahui namaku—
mungkin—jika istrinya tak membicarakan mengenai namaku—hanya dua orang polisi. Dan
sekarang, aku tak menggunakan apapun yang berkaitan dengan atribut kepolisian.

Jadi, daripada harus menunggu otaknya meledak, aku menjelaskannya lebih lanjut.

"Saya polisi yang kala itu meminjam mobil Anda, Pak. Tetapi Anda tidak ada di tempat."

Barulah setelahnya, sambungan-sambungan kabel yang tadi sempat terputus sekarang berfungsi
dengan lancar. Pak Rio mendongak, beberapa detik, sebelum ia menurunkannya kembali.

"Ooh! Ayahnya Loka, ya?"

Aku mengangguk.

"Saya nggak tahu kalau Anda ayah Loka." Lelaki itu berbicara sambil tertawa, agak keras,
membuat hampir seluruh tatapan mata di ruangan ini—yang sangat penuh—tertuju pada kami.
Namun, aku sendiri sadar akan posisiku. Aku adalah orang yang baru pertama kali bertemu
dengannya, bagaimana mungkin aku bisa menyuruhnya untuk diam? Jadi, persetan dengan
keadaan. Orang ini telah membantuku.

"Sebenernya saya juga belum pernah ngambil rapor anak saya." Kini, sang anak menoleh padaku
sesaat setelah ayahnya berkata seperti itu. "Ini pertama kalinya. Jadi, maaf kalau saya nggak kenal
dengan Anda, Pak."

Aku mengangguk setuju, tak menyalahkannya. Ada kalanya untuk yang pertama kali. Aku sendiri,
baru beberapa kali melakukannya, mungkin satu atau dua kali setelah istriku meninggal. Biasanya,
aku akan meminta cuti untuk hal seperti ini. Untungnya, dengan alasan yang ada—membuat
laporan kasus—aku bisa kabur dengan leluasa.

Ah, kata kabur itu terlalu berlebihan, bukan? Anggap saja aku berusaha keluar dari zona
mengerikan, menghirup napas pada udara bebas yang menyejukan, sebelum kembali memasuki
zona itu.

"Anda kenal Loka?" tanyaku segera. Memang, tadi ia langsung mengatakan hal tentang Loka.
Maksudku, jika dia belum pernah bertemu dengan Loka, bagaimana mungkin?

"Loka pernah beberapa kali datang ke rumah saya, Pak Roy."

Aku tak begitu terkejut. Loka sering pulang malam, ada banyak kemungkinan akan apa yang ia
lakukan dalam interval waktu tersebut. Namun, aku sendiri tak ingin ambil pusing. Mungkin dia
hanya belajar bersama teman-temannya, kan? Dia hampir tak pernah belajar di rumah, artinya aku
tak dapat membentaknya karena ia belajar bersama temannya di luar rumah, bukan?

"Waktu istri saya menceritakan bahwa Anda adalah ayah Loka, saya sempat tak percaya. Betapa
kebetulannya," lanjutnya lagi. Kini, seluruh badannya diputar sembilan puluh derajat agar ia dapat
mengobrol denganku lebih baik—lebih nyaman. Sedangkan wanita yang berada di sampingku
tidak terlalu peduli. Mereka memperhatikan kami, tetapi tidak berusaha untuk menginterupsi
pembicaraan kami yang mungkin terasa mengganggu.
Aku sendiri terlalu bersemangat, tidak terlalu mengindahkan hal itu. Belasan pasang mata yang
sedari tadi memperhatikan kami kini berangsur-angsur berkurang. Beberapa di antara mereka lebih
memilih untuk diam, tak memberikan komentar apa-apa—setidaknya melalui mulutnya.

"Loka berkata jika Anda selalu mengunci mobil seperti itu. Dia bilang cara itu sedikit aneh,
makanya dia ingat. Boleh saya bertanya bagaimana Anda menyadari cara mengunci mobil seperti
itu?" Aku sengaja tak memberikan gambaran 'cara' itu secara gamblang. Mungkin, hampir sama
seperti Dokter Dalton, aku tak ingin seluruh informasi yang kutahu bocor dengan mudahnya.
Setidaknya untuk trik yang seperti ini. Aku tak dapat membiarkan para peniru menggunakan cara
yang sama.

"Jangan-jangan Anda yang menyelidiki kasus itu—" Pak Rio setengah berbisik. "Dari bunuh di—
"

"Ya," aku memotong, kemudian tersenyum sekaligus menatap sekitar, berharap tak ada siapapun
yang dapat mendengarnya, termasuk wanita di sebelahku. Namun, percuma, perempuan itu sudah
tahu. Bahkan, ia memberikan tatapan aneh padaku, seperti bertanya-tanya, benarkah?

"Itu saya," lanjutku.

"Apakah pelaku melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan?"

"Bisa dikatakan seperti itu," balasku. "Oleh karena itu saya sangat berterima kasih pada Anda, Pak,
karena saya tak pernah memikirkan hal seperti itu. Jadi, jika saya boleh tahu, bagaimana Anda
menemukan cara itu?"

"Sejujurnya tak sengaja," lelaki itu mendengus kecil. "Kunci pintu mobil saya sepertinya sudah
rusak—keluaran lama. Mengerti, kan? Lalu secara iseng saya mencoba mengunci pintu ketika
terbuka dan menutupnya. Mobil itu tetap terkunci. Mobil itu tak memiliki remot, dan saya pikir
cara itu lebih cepat dilakukan daripada harus mengunci mobil secara manual, dan jadilah
kebiasaan." Ia sedikit tertawa. "Sedikit lucu, kan?"

Aku tak pernah tahu jika kunci mobil itu rusak. Yang kutahu, trik itu berhasil dan Pak Cakra
mengakuinya, memang caranya seperti itu. Mungkin mobil mereka memiliki kondisi yang sama.
Percakapan kami harus terhenti ketika nama Loka dipanggi. Terpaksa aku beranjak dari tempat
dudukku setelah berterima kasih sekali lagi pada Pak Rio. Kemudian, mengambil laporan hasil
pembelajaran yang Loka peroleh. Seperti biasa, nilainya standar. Namun, bagiku, bukanlah sebuah
keharusan agar ia menjadi anak yang sempurna. Jadi, aku menerimanya dengan senang hati.

===

Jalanan macet, seluruh kendaraan di kota ini seolah tumpah ruah tak beraturan. Untungnya, hanya
salah satu bagian jalan yang tak kulalui. Sedangkan diriku dapat menginjak pedal gas dengan
leluasa, menertawakan orang-orang yang tengah menggerutu akibat kemacetan panjang—
walaupun sebenarnya sering terjadi.

Namun, brengseknya, satu hal membuatku cukup geram. Sebuah mobil polisi tiba-tiba berjalan
melintas, menghindari kemacetan dengan mengambil jalurku, tepat di depanku. Membuatku
terpaksa berhenti, menginjak rem dengan sedikit mendadak. Mungkin ia tak melihat mobilku
sebelumnya? Aku tidak tahu. Namun, mobil polisi itu terlihat berusaha kembali pada jalur yang
seharusnya. Sialannya, tak ada ruang kosong, membuatku berhenti beberapa saat.

Kemacetan tak kunjung terurai. Bahkan, bertambah parah ketika mobil yang berada di depanku
ini, menyelinap secara paksa, mengambil jalur orang lain. Tolol, gerutuku. Namun, seolah tidak
menyadari keadaannya, mobil itu malah menyalakan sirinenya, kemudian membanting setir ke
arah kanan. Masa bodoh dengan kemacetan yang ada, dia tak kembali pada jalurnya. Malah
berjalan tepat di hadapanku.

Lelaki itu menjulurkan lengannya, menyuruhku untuk menepi. Memang, ada sedikit bagian
kosong di hadapanku, aku bisa menepi untuk sesaat. Tapi, brengsek, seenaknya saja dia.

Aku terus diam. Dan Loka, dia malah menertawakan keadaan yang terjadi. Tolol. Anak ini saja
tampaknya lebih tahu aturan berkendara daripada si pengemudi itu.

Bukannya menyadari kesalahannya, si pengemudi itu, dengan sirine mobilnya yang masih
memekakan telingaku, memberikan informasi melalui pengeras suaranya, menyuruhku untuk
menepi. Ada kecelakaan di depan, katanya.
Ya ampun, orang setolol apapun, pasti menyadari bahwa sebelumnya ia berusaha untuk kembali
pada jalurnya, tak menyalakan sirine, mencoba memotong perjalanan dengan membuat kemacetan
yang lain—mungkin lebih parah.

Aku keluar dari mobil setelah menyuruh Loka untuk tidak bergerak. Mendatangi mobil polisi itu.
Jendelanya terbuka—tentu—akibat juluran tangannya yang sedari tadi dilakukan. Sejujurnya, aku
benar-benar geram. Rasanya, ingin kusilangkan lenganku di depan dada tepat di hadapan mobil
polisi itu. Berpura-pura menjadi orang yang berkuasa, tetapi tak kulakukan. Aku lebih memilih
untuk menyelesaikan perkara—aku menyebutnya perkara—ini.

Kesan pertama yang kulihat dari pengemudi itu. Dia pun kesal, sama sepertiku. Geram di balik
kumis tipisnya yang tidak begitu pantas.

Ia langsung bereaksi begitu melihatku.

"Pak, mohon tepikan terlebih dahulu mobil bapak. Di depan ada kecelakaan."

Aku, tentu saja yang tak menerima kalimatnya itu, tak menyukainya. Sialan. Bahkan, petugas ini
seolah-olah tahu segalanya, seolah-olah berkuasa. Nadanya tegas, seolah benar. Tapi, aku tahu
benar jika ia sedang berbohong. Maksudku, jika memang ada kecelakaan di depan sana, kenapa
tak sedari tadi ia membunyikan sirinenya, menyuruh kendaraan lain untuk menepikan jalannya?
Kenapa ia melakukannya tepat ketika ia berusaha memotong jalan? Sebuah kebetulan? Terlalu
kebetulan untuk disebut kebetulan.

Kukeluarkan dompetku, memperlihatkan identitasku. Membuat petugas itu terkejut—sangat


terkejut.

"Saya polisi. Kecelakaan apa?"

"Eh—ah, kec—"

"Jangan berbohong, brengsek." Kutarik kerah seragam laki-laki itu. "Di luar sana, ada orang yang
dengan mati-matiannya melindungi orang lain, tak memikirkan dirinya, tak memikirkan
konsekuensi akan apa yang terjadi padanya. Di luar sana, seseorang terlalu memikirkan
kesalahannya. Depresi. Sedangkan kau di sini? Sialan, bertindak sesukanya, egois, berbohong
untuk memenuhi tujuanmu. Kau berlaku tolol di depan anakku, sialan."

Lelaki itu—terlihat dari matanya—ketakutan. Aku yakin benar. Setidaknya, orang ini tak pandai
berbohong. Kulepaskan cengkramanku, membuatnya bernapas seperti biasa setelah tersentak ke
belakang untuk beberapa saat.

"Matikan sirinemu, kemudian berjalan mundur. Kau membuat kesalahan ini."

Aku tahu, biasanya aku tidak terlalu peduli dengan kesalahan orang-orang. Ah, sebenarnya peduli,
hanya saja tak mengutarakannya seperti ini. Tak mengatakannya secara langsung. Tak
mencengkram kemeja seseorang, membuatnya ketakutan, dan memberikannya hukuman. Sialan.
Untuk sesaat, aku berpikir, apakah tindakanku tadi itu benar-benar diperlukan? Jika ya, kenapa?
Apakah aku sendiri merasa ingin terlihat berkuasa?

Aku tak terlalu berharap untuk mendapatkan jawabannya. Setidaknya, petugas itu sudah—
mungkin—menyadari kesalahannya. Ia berjalan mundur, tidak menepi, padahal tadi aku hanya
menggertak, tak benar-benar bermaksud seperti itu. Namun, sekali lagi, aku tidak terlalu
memikirkan jawabannya. Petugas itu melakukannya, hal itulah yang terpenting.

Loka cekikikan di dalam mobil.

"Keren," komentarnya, ketika kukendalikan kemudi mobil ini.

"Keren apanya?" tanyaku, sembari tetap fokus pada jalanan, meyakinkan diriku bahwa petugas
yang tadi tak kabur sebelum kuberikan tatapan terakhirku padanya. Setidaknya, aku ingin
meyakinkan orang itu bahwa aku tidak main-main.

"Ngancem gitu ke orang. Kan jarang yang berani, apalagi ke polisi."

"Bapak kan polisi."

"Tetep aja."
Kini, kami berdua cekikikan, bersama-sama. Sedikit amarahku terurai, sejalan dengan kemacetan
yang terjadi di jalurku.

"Coba kalau semua orang di sini berani kayak gitu, Pak. Mungkin Bandung jadi lebih nyaman."

"Di kemacetannya," balasku.

"Iya, terutama itu."

Aku baru memikirkan kalimat yang dilontarkan oleh Loka. Jika aku lebih berani untuk mengambil
tindakan, bukan hanya mengomentari mereka dan meluapkan seluruh kekesalanku, mungkin
memang akan lebih baik. Mereka akan membenciku—pasti—tetapi keadaan akan lebih baik. Oh,
sialan, kenapa Loka begitu pintar? Aku tak pernah menyadarinya bahwa ia memiliki pemikiran
logis yang cukup rasional.

Namun, jika kulakukan hal itu, artinya aku memiliki satu pekerjaan tambahan yang belum selesai
kulakukan.

Pada kasus yang kutangani, aku mengesampingkan Ibu Dewi, menganggapnya tidak ada padahal
seharusnya tak kulakukan. Memang, kesaksiannya palsu dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,
tetapi jika aku membiarkannya, aku tak lebih dari sekadar orang yang tolol, membiarkan orang
seperti Ibu Dewi untuk menyalahkan orang yang tak bersalah—biarpun secara teknis, dalam kasus
itu, Janu tetap bersalah.

Kurasa aku akan mengunjunginya, bercakap-cakap ringan dengan perempuan itu. Mungkin
dengan minum teh atau membicarakan hal yang lain. Tentu saja pertemuan yang akan kulakukan
dengan perempuan itu tak akan begitu serius, lebih ke arah silaturahmi.

Namun, sialannya, di saat itu pula aku mengetahui bahwa kesalahan fatal telah terjadi. Kesalahan
yang selalu kuhindari, selalu tak kuharapkan untuk terjadi. Aku pikir aku telah menutup kasus ini
dengan sempurna. Namun, ternyata tak semudah itu.

Kasus ini lebih kompleks dari sekadar seorang saudara yang membunuh saudara lainnya.
15. Personal Deep

Jantungku berdegup kencang. Masih bisa kutangani, tetapi tetap saja rasanya tak nyaman. Kedua
kaki yang berdiri kokoh di depan pintu ini tampaknya tak ingin bergerak. Entah sudah berapa menit
kuhabiskan waktu untuk berada di tempat ini, tetapi rasanya ada sesuatu yang salah—hanya
perasaanku.

Aku berpikir, betapa brengseknya orang yang mengunjungi rumah orang lain hanya untuk
memberitahukan hal yang dirasanya benar—walaupun memang benar. Namun, aku tak memiliki
pilihan lain. Seperti yang Loka katakan, harus ada aksi. Segala bentuk komplainku tentu akan sia-
sia jika tak kuutarakan pendapatku pada siapapun. Pelaku, korban, orang-orang yang peduli,
siapapun itu. Jadi, akhirnya setelah kukumpulkan kekuatanku sambil menghela napas, kuketuk
pintu ini. Tiga kali.

Ibu Dewi membukakan pintu untukku.

Wajahnya sama seperti biasanya, tak menyukai kedatanganku. Dia langsung merengut, aku tahu
benar hal itu terjadi karena sesaat sebelumnya, aku dapat mengintip dari celah kecil ketika pintu
itu baru saja terbuka. Ia merasa tak memiliki masalah sampai ia melihatku. Dia tak menyukaiku,
dan aku dapat mengerti akan hal itu.

"Selamat siang," sapaku dengan ramah. Sungguh, cara bicara teramah yang pernah kulakukan,
tetapi perempuan ini tak peduli. Bibirnya tetap melengkung ke bawah, tak menyukaiku. Bahkan,
dia membalas dengan cepat.

"Ada apa?"

Perempuan itu masih memegang gagang pintu, seolah-olah berusaha untuk menutup pintu
kembali, tak ingin berurusan denganku.

"Saya kemari ingin membicarakan mengenai Janu, Pak Arya dan istrinya."

"Kasusnya sudah selesai, kan?"


"Ada hal lain yang ingin saya bicarakan."

Perempuan itu mendengus kesal. Bahkan, ia menyilangkan kedua lengannya, memangku dada,
sungguh hal yang tidak sopan untuk dilakukan di tanah Pasundan. Aku tahu, mungkin terlihat biasa
saja bagi orang lain, siapapun di dunia ini. Namun, di tanah ini, gerakan seperti itu—apalagi
dilakukan oleh perempuan—amatlah tak sopan. Jika aku segenerasi dengan kakekku, mungkin
telah kutampar perempuan itu, mengajarkannya tata krama. Untungnya, zaman sudah berbeda,
berubah.

Tetap saja aku tak menyukainya.

Kunaikkan nada suaraku.

"Dengar, Bu," kataku, tegas. "Jika Anda memiliki masalah sendiri, oke, itu masalah Anda sendiri,
Anda bisa berpikir untuk menyelesaikannya, tetapi yang Anda lakukan itu tidak benar."

"Anda tahu apa, Pak?"

"Anak Anda telah meninggal. Karena Janu."

"Siapa yang memberitahu!?"

Tetangga-tetangga Anda, batinku. "Catatan kepolisian," kataku.

Matanya mengerjap berkali-kali. Tatapannya tajam bagaikan elang. Bahkan, perempuan itu hampir
menutup pintu sebelum pada akhirnya kutahan, memaksakan lenganku untuk mendorong balik
pintu itu. Kepalan tanganku berhasil menghentikan tindakannya. Namun, kurasakan dorongannya
semakin kuat, membuatku menggunakan lengan yang lain untuk menahannya lebih jauh.

"Saya belum selesai," lanjutku dengan tak sopan. Sialan, aku benar-benar merasa menjadi orang
paling brengsek saat ini. Maksudku, aku merasa cukup berterima kasih atas bantuannya secara tak
langsung, bagaimana kami tahu bahwa Janu suka bermabuk-mabukan, karena sebelumnya—
sejujurnya—aku tak pernah memikirkannya hingga kesimpulan itu. Namun, aku tetap ingin
membat semuanya berjalan dengan baik. Sistem persaudaraan di tempat ini.
"Saya tidak ingin berurusan dengan Anda lagi," katanya. Namun, aku menolak untuk
mendengarkan hal itu. Setidaknya, hingga hari ini, hingga aku merasa seluruh masalah akan beres.
Bagiku, ini pun masih terkait dengan kasus yang kutangani.

"Saya janji saya tak akan menemui Anda lagi. Saya hanya ingin menyampaikan satu hal pada
Anda, Bu." Aku meneguk ludah, membuat jeda beberapa saat. "Jika Anda—" Kuacungkan jari
telunjuk padanya. "Memiliki masalah dan Anda ingin menyelesaikannya, jangan pernah sekali-
sekali berbohong, menuduh seseorang melakukan hal yang salah padahal tidak ia lakukan,
walaupun dalam kasus ini benar adanya."

Perempuan itu diam. Sedangkan aku, tertawa kecil, lebih ke arah kecewa. Napasku terpotong-
potong, mengembuskannya dengan cepat, tetapi dak mendapatkan aliran oksigen dengan cukup
baik.

"Jadi, yang ingin saya katakan, jangan pernah berbohong, apalagi menyangkut nyawa seseorang.
Saya tak pernah berhenti memikirkan bagaimana Anda bisa tidur, mengetahui Anda berbohong,
menuduh Janu melakukan hal yang tak ia lakukan hanya karena Anda ingin membuatnya terlihat
bersalah."

Namun, perempuan itu memberikan reaksi yang berbeda dari sebelumnya. Jika tadi, ia berusaha
menghindariku, menutup pintu dengan paksa yang pada akhirnya kutahan. Kini, perempuan itu
malah membuka pintu lebar-lebar, melepaskan genggamanku yang sedari tadi bertahan, berjaga-
jaga seandainya perempuan itu menutup pintu lagi. Namun, kini aku tak memerlukannya.

Aku dapat melihat amarah yang memuncak pada diri wanita itu. Hampir berapi-api, tetapi bukan
berarti dia tak akan melemparkan gundukan batu ke arahku seandainya dia bisa. Perempuan itu
berjalan dengan kaki yang dihentakannya, amat kuat, ke arahku.

Aku mundur.

Apakah aku melakukan kesalahan? Maksudku, kenapa dia selalu menganggapku sebagai orang
yang salah? Apakah perempuan itu benar-benar sangat membenciku? Brengsek, memang.
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang anak, kan!?" Perempuan itu berteriak amat
keras, tak kalah kerasnya dari suara mesin truk yang dapat menggetarkan kaca. Aku yakin, jika
orang-orang telah pulang, kembali dari tempat kerjanya, pasti mereka semua akan keluar, melihat
keributan apa yang tengah terjadi. Namun, terbesit pula dalam pikiranku jika hal itu mungkin tak
akan terjadi seandainya orang-orang di sekitar tempat ini tak terlalu peduli. Tetapi aku tak terlalu
memikirkannya.

"Istri saya sudah meninggal."

"Dibunuh?"

"Tidak."

"Kalau begitu kau tidak tahu bagaimana perasaannya, kan?"

"Tetapi seseorang membunuh ibu saya."

Akhirnya, perempuan itu berhenti berteriak. Berhenti memaksaku untuk mundur lebih jauh.

"Aku tidak mengerti dengan kalian, orang-orang—" Entah apa yang terjadi dengan diriku. Seluruh
kesopananku hilang begitu saja, mengganti kata 'saya' dengan 'aku', biarpun sebenarnya tak terlalu
masalah. Namun, kurasa kepalaku memanas. Aku tak dapat menanggulanginya. Entah karena
matahari yang menyengat atau memang kepalaku sedang mendidih karena dorongan perempuan
ini. Tapi, aku benar-benar merasakannya.

Aku tak dapat berhenti.

"Menganggap masalah kalian adalah yang terberat, mencari cara paling cepat untuk
memecahkannya, tak peduli dengan keadaan orang lain. Jika kau merasa kehilangan anakmu
adalah masalah terbesarmu, kau harus mendengarkan ini." Aku menarik napas dalam-dalam.
"Ibuku dibunuh, ayahku meninggal ketika aku masih duduk di sekolah dasar. Istriku meninggal,
membuatku menjadi orang tua tunggal untuk anakku sendiri. Dan kau tahu? Aku terpaksa
memenjarakan sahabatku, sahabat terbaikku, karena kejahatannya. Berita baiknya? Aku tak pernah
menyalahkan orang yang membunuh ibuku, berbohong agar hukuman yang diterimanya lebih
berat. Tak pernah menyalahkan dokter yang tak dapat menyelamatkan nyawa istriku, menuntutnya
karena merasa ia gagal."

Aku tak kuasa menahan semuanya. Aku tak pernah menceritakan hal itu sebelumnya, pada
siapapun, termasuk Wijaya. Aku hanya tak dapat menahannya. Sialan. Kurasa mataku sedikit
berkaca-kaca.

"Aku benci orang egois sepertimu, Bu. Dalam kejahatannya pun, Janu masih membantu kami. Ia
tak pernah tahu jika ia sendiri yang melakukan kejahatannya itu. Namun, kau tahu apa yang
dikatakannya ketika menyadari hal itu? Dia menyesal, menangis. Pada akhirnya dia menyerahkan
diri. Orang tuanya mati-matian melindungi dirinya, tetapi lelaki itu berusaha menerima kenyataan
yang ada, tak berkilah. Dia tahu apa yang dilakukannya. Dia tahu akan konsekuensinya, dan dia
mengambilnya. Sedangkan kau?" Aku tertawa, merendahkan. "Mungkin anakmu lebih baik dari
Janu, tetapi jelas Janu lebih baik dari dirimu. Aku tidak ingin menjadi orang yang kasar, tapi aku
tak dapat menahannya."

Kuelus pangkal bibirku, sedikit menutupinya, merasakan desiran napas keluar dari hidungku,
keras.

"Karena jika ternyata Janu tak melakukannya, dan kebetulan kau memberikan kesaksian palsu
yang tak dapat kusangkal—" Sekali lagi, aku menarik napas. "Artinya aku akan menangkap orang
yang salah. Dan kau tahu betapa aku tak ingin hal seperti itu terjadi, kan?"

"Jangan salahkan aku!" Perempuan itu terus berkilah, berteriak tak kalah kerasnya dari nada
suaraku, seolah-olah pita suaranya dapat menahan getaran sekeras mungkin. "Pak Cakra sendiri
yang mengatakannya. Ia bilang Janu yang melakukannya. Dia bilang tak ingin terlihat jahat di
depan mata anaknya, jadi dia memintaku untuk memberikan keterangan itu." Perempuan itu
kembali berjalan, di hadapanku, mendekatiku.

Aku mundur dua langkah.

"Dia bilang dia tak tahan untuk melindungi Janu. Dan aku memang melihat peluang di sana. Aku
membuat keterangan itu, ya, tapi karena ayahnya yang menginginkannya!"
Bulir keringat berseluncur melalui keningku. Mulutku menganga.

Apa? Batinku.

Perempuan itu terengah-engah. Padahal, dia hanya berbicara, tetapi seluruh energinya tampak
terkuras, tak bersisa. Aku sendiri, tak dapat melakukan apa-apa. Aku terkejut, sangat terkejut,
bukan karena Ibu Dewi mengatakan bahwa ia terpaksa membuat kesaksian palsu itu, tetapi
telingaku terlalu fokus mendengarkan kalimat yang lain.

Pak Cakra yang mengatakannya.

Kenapa? Maksudku, ketika kami menangkap mereka—sekeluarga—di malam hari itu, ketika Loka
sendiri pun ikut membantu menyelesaikan kasus itu, aku yakin benar Pak Cakra berusaha
melindungi Janu. Ia tak pernah bilang Janu melakukannya, setidaknya pada awalnya. Lalu, kenapa
ia mengatakannya pada Ibu Dewi?

Ibu Dewi memberikan kesaksian sebelum mereka pergi. Seingatku, Ibu Dewi melapor di sore hari,
ketika aku sedang berada di Jakarta. Lalu, Janu dan keluarga mengaku pergi sekitar pukul sepuluh
malam. Jika memang Pak Cakra memang sudah menginginkan semuanya berakhir, kenapa ia harus
pergi? Kenapa kabur meninggalkan rumah itu?

Aku termangu. Ada hal yang tak konsisten. Jika memang Pak Cakra ingin melindungi Janu,
seharusnya dia tak menceritakan hal itu pada Ibu Dewi. Namun, jika Pak Cakra memang tak ingin
melindungi Janu dan ingin membereskan semuanya, kenapa ia harus menghindariku?

Aku baru ingat, ketika aku melintasi halaman depan rumah Pak Cakra siang ini, aku tak melihat
adanya kendaraan. Kosong, bagai ditinggalkan. Aku pikir mereka memang pergi bekerja, atau
bagian paling buruk adalah meninggalkan tempat ini, mengubur kenangan mereka semua di tempat
ini. Tapi seluruh pemikiran itu sirna. Ada hal yang lebih buruk yang dapat kupikirkan.

Pak Cakra dan istrinya kabur karena sesuatu.

Aku setengah berlari, berharap bahwa seluruh pemikiranku keliru. Terik matahari turut
mendukung seluruh air keluar dari permukaan kulitku, membuat bajuku basah dan berbau tak
sedap. Rambutku yang lurus dan naik turun akibat hentakan kaki terasa basah. Namun, aku tetap
tak peduli. Tujuanku saat ini berubah, mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Akhirnya, aku sampai di depan pintu rumah ini—rumah dengan pemilik yang bermasalah. Secara
kasar, aku berusaha membuka pintu, menurunkan daun pintu berulang kali dengan sangat keras.
Bahkan, suaranya tak tertahankan, bagaikan suara gaduh sel penjara yang dibuka tutup dengan
kencang.

Pintu ini tak terbuka. Kuusahakan sekeras apapun, pintu ini tak tergoyahkan.

Aku menggedor pintu, berteriak memanggil-manggil nama mereka, tetapi tak ada sahutan sama
sekali.

Baiklah, mobil mereka tak ada, rumah ini terkunci. Sebenarnya, tak ada salahnya jika aku berpikir
mereka pergi ke luar kota, mencari pemandangan yang indah untuk sejenak melupakan realita.
Namun, kesaksian Ibu Dewi tadi sungguh membuatku panik. Aku tak dapat berpikir lebih jauh
selain kemungkinan terburuk yang terjadi.

Apakah mereka telah pergi? Aku tidak tahu. Aku tak dapat menggeledah rumah ini kecuali kubuka
pintu ini secara paksa. Tentu, mendobrak pintu ini bukan pilihan utamaku, terlebih ketika sendiri.
Yang ada, tulang punggungku akan patah dan pintu ini tetap tak terbuka. Jadi, aku mencoba
mencari jalan lain.

Seingatku, jendela rumah ini tak memiliki teralis. Seharusnya, tidak akan sulit untuk menyusup ke
dalam rumah ini. Namun, tentu saja itu artinya aku harus memecahkan jendela, memotong kayu-
kayu penyangga jendela, yang mungkin akan membuat orang-orang menduga bahwa aku adalah
perampok. Tetapi aku tak memiliki pilihan lain.

Aku mengambil ancang-ancang, mengukur jarak hingga terpaut beberapa meter. Jendela rumah
ini agak tinggi. Jika aku ingin menendangnya sekeras mungkin, artinya aku harus sedikit
melompat. Sejujurnya, aku tak memiliki dasar bela diri. Bahkan, aku sempat ragu. Apakah
memang harus kulakukan? Namun, otakku tetap bersikukuh, tak ada pilihan lain.
Aku membungkuk, menyiapkan napas, siap berlari. Lalu, ketika saatnya tiba, bertumpu dengan
kaki kananku, aku mulai berlari, melangkah jauh, memperhitungkan saat yang tepat bagiku untuk
melayang, melompat sambil menendang. Kemudian, dalam beberapa langkah, aku melakukannya.
Aku bertumpu dan melompat, mengangkat kaki kananku dan berharap kerasnya sol sepatuku dapat
memecahkan jendela. Sialannya meleset.

Aku terjerembap. Sedikit memalukan, bahkan sepatuku saja tak berhasil menyentuh kaca
jendelanya, malah membuat jejak kotor di dinding rumah ini. Tercetak dengan jelas. Ya ampun.

Untungnya, pendaratan yang kulakukan tadi—tidak mulus—tak memberikan rasa sakit yang luar
biasa. Bagian badanku jatuh lebih dulu, dan itulah yang terpenting.

Aku berdiri sambil menepuk-nepuk bajuku, membersihkannya. Baiklah, itu benar-benar


memalukan. Kurasa aku harus belajar terlebih dahulu sebelum merasa akan bisa melakukan
semuanya. Pekerjaan seperti itu bukan pekerjaanku. Atau setidaknya, bukan pekerjaanku seorang
diri.

Kurasa aku harus mencari benda tumpul yang dapat memecahkan jendela ini.

===

Pecahan kaca memenuhi halaman disertai kegaduhan yang baru saja terjadi. Aku berhasil
meminjam perkakas para penghuni rumah di sini. Namun, bagian buruknya, mereka mengikuti,
ingin mengetahui apa yang terjadi dan aku tak dapat menolaknya. Kunci inggris yang menjadi
pilihanku berhasil membantu seluruh pekerjaanku. Lalu, beberapa kali lagi, kupecahkan kaca
jendela ini pada bagian yang lain, membuatku leluasa untuk mematahkan kayu penyangga jendela
ini. Hanya perlu empat serangan hingga akhirnya patah.

Aku bisa masuk. Jarak jendela ini dari permukaan tanah mungkin hanya sekitar satu setengah
meter. Aku memanjat, menggapai bagian bawah jendela dengan kedua tanganku setelah
memastikan tak adanya pecahan kaca yang masih tersisa. Kemudian, menarik beban tubuhku yang
dibantu oleh orang tak dikenal. Maksudku, orang yang meminjamkan perkakasnya itu padaku—
aku belum tahu namanya. Seorang remaja, mungkin masih duduk di bangku sekolah menengah
pertama.

Akhirnya, berkat bantuannya, kulakukan pekerjaan ini dengan lebih mudah. Walaupun bagian
punggungku sempat mengenai pecahan kaca, tetapi kurasa tak sampai berhasil melukaiku.
Kemudian, perlu beberapa saat hingga aku sadar telah berada di dalam rumah ini.

Kosong—tentu saja.

Sepi, dingin, bagaikan rumah angker yang berhasil kubobol. Rumah terlarang yang tak boleh
dimasuki oleh siapapun, dan kini aku berada di dalamnya. Rumah sialan yang akan mengutuk
siapsa aja yang memasukinya, memberikan hukuman kematian karena ketaksopanannya. Tapi,
tentu rumah ini tak seperti itu.

Aku menjamah seluruh ruangan, memasukinya satu persatu. Ada satu hal yang benar-benar
membuatku terganggu. Seluruh keadaan di tempat ini, sekecil apapun, tampak sama, tak ada
perubahan. Mangkuk kotor itu tetap tersimpan di atas meja. Bungkus mie instan itu benar-benar
tak bergerak. Bahkan, sedikitpun tampaknya tidak. Begitu pula dengan panci yang tersimpan di
atas kompor. Mereka tidak membereskannya, membersihkannya. Mereka tidak melakukannya.

Atau mereka tidak sempat melakukannya?


16. SNAFU

Semuanya tak berubah. Foto itu, mereka masih tersenyum padaku. Aku tak melihat adanya debu
yang bertebaran, tetapi aku yakin sekali jika aku mengunjungi tempat ini sekali lagi dalam waktu
yang lebih lama—dua atau tiga minggu—maka tak akan kudapatkan jejak seseorang. Semuanya
akan tertutup debu—pasti.

Aku belum pernah ke lantai atas rumah ini, setidaknya sebelum mereka tinggalkan. Tempo hari,
Wijaya yang menyisir bagian atas, membiarkanku untuk mengatasi bagian bawah, jadi aku tidak
tahu persis bagaimana keadaan semula di atas. Namun, kini aku tak memiliki pilihan selain
memeriksanya, diikuti oleh anak SMP itu yang turut memanjat, mengikuti seluruh pergerakanku.

Kami berkenalan dalam waktu singkat. Namanya Aldi, orang tuanya bekerja dan ada seorang
pembantu di rumahnya. Setidaknya, anak ini tidak dibiarkan sendirian begitu saja biarpun aku
yakin tak akan begitu masalah. Dia mengenakan kaus berwarna kuning dengan tulisan Jepang yang
menempel pada bagian dadanya. Cukup besar hingga aku mengenalinya. Aku tidak bilang bahwa
aku bisa berbahasa Jepang, tetapi aku mengetahui beberapa kata di antaranya. Sekolah Loka
memiliki muatan mata pelajaran bahasa Jepang, dan aku pernah belajar bersamanya. Tulisan kanji
pohon itu tertera pada dada Aldi, dan aku yakin benar akan tulisannya.

Aku meminta Aldi untuk menunggu di mana kupecahkan kaca jendela, berjaga-jaga seandainya
ada seseorang yang ingin memasuki tempat ini, seperti pembunuh bayaran yang ingin mengambil
nyawaku atau perampok yang ingin menggondol seluruh perhiasan dan benda-benda elektronik
yang ada di tempat ini, walaupun aku tahu hal itu tak akan terjadi—itulah alasannya aku
menyuruhnya di sana. Anak itu akan aman, dan aku tak dapat membiarkannya untuk mengetahui
gerak-gerikku. Setidaknya, dia akan merasa berjasa karena turut membantu penyelidikanku.
Penyelidikan tak resmi.

Mungkin, baru sekitar dua atau tiga hari semenjak kasus itu ditutup. Bahkan, seluruh berkas telah
kusempurnakan, juga dengan Wijaya yang turut membantuku, begadang semalaman hanya untuk
mengetikan kata-kata yang pantas, enak untuk dibaca. Namun, sekali lagi kupertanyakan
semuanya. Benarkah seperti itu?
Keramik berwarna putih ini mulai sedikit berdebu, dan sepatuku yang kotor malah
membersihkannya. Seperti papan tulis hitam yang ditulisi kapur, di mana asumsiku mengatakan
bahwa warna hitam adalah kotor, sedangkan hal lain berlaku untuk warna putih. Derap langkahku
seolah menggema di seluruh ruangan, padahal aku berjalan dengan sangat hati-hati,
mengangkatnya secara perlahan dan sebisa mungkin tidak jatuh ke bawah, menginjak bagian yang
salah dan malah terjun bebas, meremukkan tulang-tulangku.

Wajahku berseri-seri. Memang, terlihat gila, tapi begitu adanya. Tentu bukan tanpa alasan. Aku
hanya membayangkan seluruh sikapku sebelumnya. Sialan. Bagaimana perasaanku jika aku salah
menangkap seseorang, bagaimana seluruh beban yang akan kutanggung nantinya seandainya
memang pelaku sebenarnya dapat berkeliaran dengan bebas di luar sana sekarang ini. Dan itu
terjadi. Aku takut. Sungguh, aku benar-benar takut. Bukan karena sang pembunuh—yang kuduga
adalah ayahnya—masih berada di luar sana. Tapi aku tak dapat membayangkan dengan apa yang
akan terjadi pada Janu.

Maksudku. Ya ampun, bagaimana caraku menemuinya nanti? Hanya mengatakan bahwa aku
melakukan kesalahan dan membiarkannya pergi? Sialan. Masih baik ia baru mendekam di penjara
selama beberapa hari. Bagaimana jika aku baru menyadari kesalahanku setelah bertahun-tahun?
Membiarkan hidupnya terbuang sia-sia hanya karena kebodohanku? Aku tak dapat
membayangkannya.

Aku merasa sangat tolol sekarang sekaligus bersyukur karena aku dapat memikirkan hal lain—
kemungkinan lain yang terjadi—dengan cepat berkat bantuan semua orang. Termasuk Ibu Dewi
yang aku yakini sedang merengut kesal, berharap aku mati.

Aku sampai pada sebuah kamar yang cukup luas. Spring bed langsung tampak di hadapanku begitu
kubukakan pintu ini. Sebuah televisi memenuhi ruangan.

Ya ampun, aku selalu menginginkannya, memiliki ruangan pribadi sendiri.

Kamar ini bersih dengan seprai yang sedikit acak-acakan, belum sempat dibereskan, dan aku tidak
terkejut akan hal itu. Bahkan, untuk membersihkan mangkuk saja mereka tidak sempat, bagaimana
mungkin mereka akan sempat membereskan kamar ini ketika mereka tahu mereka harus berlari
sekencang mungkin, menghindariku?

Sebuah meja panjang melintang di sisi kanan kamar dengan jendela yang terpasang di atasnya,
tertumpu pada sebuah penyangga yang kurasa dapat menahan cermin itu untuk waktu yang lama.
Namun, tak ada benda apapun di atasnya. Sungguh, sebuah hal yang sia-sia. Begitu pula dengan
laci-laci yang berjejer pada meja itu. Enam buah laci, membentuk tiga baris dan dua kolom.
Hampir tak kutemukan apapun selain benda-benda kecil yang mudah luput dari penglihatan.
Kancing baju yang terlepas, benda-benda tak berbentuk, berwarna masing-masing yang berbeda
satu sama lain, seperti potongan benda yang tak kuketahui apa. Selain itu, benda-benda biasa
semacam sisir, gel rambut, dan semacamnya. Membuatku bertanya-tanya, kenapa menyimpannya
di dalam laci? Apakah hanya karena sebuah kebiasaan?

Kubuka lemari baju, lembaran-lembaran pakaian masih tersimpan rapi. Beberapa dilipat dan
ditumpuk, sedangkan yang lainnya sengaja digantung agar tak kusut. Kebanyakan kemeja, tetapi
tak sedikit pula kaos-kaos yang bertumpuk di bagian bawah. Namun, tak ada yang lain di sini.

Aku beralih ke kamar yang lain, hanya saja lebih berantakan. Bahkan, dinding kamarnya pun
terlihat lebih berwarna. Lebih kotor dengan noda di sana-sini. Desain interior ruangannya hampir
sama, hanya saja dua kamar ini memiliki properti yang berbeda. Bedanya lagi, seluruh peralatan
untuk membersihkan diri, sisir dan lain-lain, tak disimpan di dalam laci—berada di atas meja. Laci
kamar ini malah lebih banyak berisi botol minuman keras, voucher game online dan benda-benda
tak penting yang hampir sama seperti di kamar sebelumnya, potongan-potongan benda yang tak
kuketahui.

Kamar Janu, terkaku. Berarti, mungkin kamar sebelahnya adalah kamar Agoy.

Aku mengambil salah satu botol kosong itu, mengangkatnya keluar dari laci dan mengadahkannya
ke atas. Menerawang tutup botol yang telah terbuka. Yang jelas, minuman keras ini bukan
minuman yang biasa ada di supermarket ataupun minimarket. Botol berwarna hijau gelap ini tak
pernah kutemukan di manapun. Jadi, bagaimana Janu mendapatkannya? Di mana ia membelinya?
Kupikir, ketika orang-orang berkata bahwa dia sering bermabuk-mabukan, ia melakukannya
dengan mencampurkan berbagai obat-obatan, maupun racun yang biasa digunakan untuk
membunuh serangga. Membuatnya seperti orang tolol dan bisa mati secara percuma karena
overdosis. Ternyata, tak sepenuhnya seperti itu juga. Minumannya cukup berkelas—mungkin.

Merasa cukup, kukembalikan botol itu. Lalu, karena merasa tak ada hal yang dapat menarik
perhatianku lebih jauh lagi, kuputuskan untuk berhenti, kembali menyusuri tangga dengan arah
yang berbeda. Melangkahkan kaki ringanku tanpa menimbulkan bunyi yang berarti.

Aku tidak mengerti. Jika mereka—pasangan suami istri itu—memang mengunci pintu rumah ini,
artinya mereka sempat kembali ke rumah ini. Tapi kenapa mereka tak melakukan apapun? Aku
telah menyelidiki lantai satu, tak ada yang berubah, termasuk kolam kecil yang berada di taman
belakang kecuali beberapa ikan yang tampaknya telah mati.

Jika memang mereka kembali ke tempat ini, untuk apa mereka melakukannya? Kenapa mereka
harus kembali hanya untuk pergi kembali?

Sungguh, aku tidak mengerti. Walaupun kuharap aku bukannya tidak mengerti, melainkan belum.

Aku kembali ke tempat di mana jendela itu pecah, bagai dibobol maling yang memiliki hak
tersendiri untuk menyelidiki sebuah kasus. Aldi masih berdiri di sana, tidak melakukan apa-apa.

"Ada yang datang?" tanyaku, berusaha membuatnya merasa tidak diabaikan. Namun, anak itu
menggeleng.

"Tidak," katanya, memberitahu. Kemudian, aku berterima kasih atas seluruh bantuannya. Lalu,
mengembalikan seluruh perkakasnya segera setelah aku melompat dan menggendong anak itu
untuk keluar dari rumah, menghindari pecahan kaca yang berserakan dan kemungkinan tulang
yang patah akibat landasan yang tak sempurna. Aku tak mengenal anak ini, dan aku tak ingin
mengambil resiko untuk mencederainya, membuatku terpaksa bertanggung jawab. Setelah itu, aku
menyuruhnya pulang dan anak itu menurut.

Aku tahu, anak itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia sendiri yang
menceritakannya. Namun, siapapun, kurasa hampir tak akan ada yang percaya pada orang seperti
diriku, seseorang yang mengenakan kaus abu-abu dan bisa berada di mana saja, kemudian
mengaku sebagai polisi. Mungkin, dia kesepian, membutuhkan teman, biarpun sang pembantu
berada di rumah. Anak itu tak memperlihatkannya, tetapi aku kenal benar dengan gelagat seperti
itu. Loka—dulu.

Namun, aku berusaha untuk tak mengindahkannya. Di hadapanku ada sesuatu yang lebih penting.
Sebuah kesalahan—mungkin—telah kubuat. Seperti yang kupikirkan sebelumnya, Pak Cakra
tidak konsisten dalam menentukan tindakannya. Bisa jadi dia hanya terlalu terguncang akibat
kehilangan anaknya. Namun, hingga menyebabkan anaknya yang satu lagi menjadi terdakwa,
bersalah atas tindakan yang tidak dilakukannya? Apakah aku tetap harus bertanya-tanya akan
sikapnya?

===

Sejujurnya, penjara bukanlah tempat kesukaanku. Aku tidak menyukai tempat terbuka dengan
pagar-pagar yang menjulang tinggi di antaranya. Biarpun memang, penjara ini cukup luas, lebih
luas dari lapangan yang berada dalam komplek perumahanku. Tempat ini memiliki dua lapis pagar
dengan kawat yang melintang, menghindari orang-orang untuk memanjat. Walaupun kurasa
hampir tak akan ada orang yang memikirkan cara untuk keluar dari tempat ini.

Tingginya mungkin sekitar lima atau enam meter. Cukup tinggi hingga jika kau jatuh, kau harus
dilarikan untuk ke rumah sakit, mengurusi bagian belakang tubuhmu, membenarkan tulang ekor
kembali ke tempatnya. Selain itu, empat buah menara penjaga terletak di ujung pagar, terletak di
antara lapis pertama dan kedua pagar. Jadi, siapapun tahanan yang mencoba memanjat menara itu,
artinya mereka harus berhasil melewati lapis pertama dari pagar yang menjulang tinggi.

Aku sendiri memiliki hak istimewa untuk mengunjungi tahanan yang kuinginkan. Tak perlu
membuat janji biarpun tetap harus melakukan kunjungan pada jam kunjungan. Namun, aku dapat
melakukan kunjungan langsung ke sel tahanan. Tidak melalui pertemuan di satu ruangan yang
penuh penjagaan ketat atau ruangan yang disekat, berbicara satu sama lain melalui kaca yang
dilubangi, menghindari mereka untuk menyerang siapa saja yang berbicara dengannya.

Kini, aku berjalan dengan bebas walaupun tetap dalam pengawasan sang sipir penjara.
Penjara ini memiliki empat blok—A sampai D—dengan tahanan yang disesuaikan oleh kejahatan
masing-masing. Sedangkan tujuanku jatuh pada blok C. Bukan tempat yang istimewa, alih-alih
mengerikan. Kebanyakan dari mereka hanya menatapku tajam. Beberapa di antaranya duduk pada
permukaan lantai, membiarkan dinginnya suhu di sel mereka untuk menjalar, memenuhi tubuh,
bahkan mungkin hingga darah. Beberapa lagi di antaranya lebih memilih bersantai di atas tempat
tidur mereka, terbuat dari ranjang yang aku yakin tak akan seempuk ranjangku. Aku pernah
merasakannya ketika masih berada di akademi, dan demi apapun, aku tak pernah rindu dengan
ranjangku yang bisa membuatku sakit pinggang itu.

Blok ini sangat kekurangan cahaya matahari. Sungguh. Jeruji besi diletakkan di atas setinggi lima
hingga enam meter. Ukurannya sangat kecil, bahkan tampaknya tubuhku saja tak dapat
menembusnya. Dengan kuantitas yang tidak begitu banyak, bisa dibayangkan betapa gelapnya
tempat ini. Nyaris tak terlihat apapun, apalagi sore hari.

Aku sampai pada sel yang kuinginkan setelah melalui banyaknya pasang mata yang mengikuti
gerakanku. Bahkan, beberapa di antara mereka merasa tertarik, sengaja melingkarkan seluruh jari-
jarinya pada jeruji sel, mendekatkan muka mereka—sedekat mungkin—hingga mereka dapat
melihatku, walaupun aku yakin tidak akan begitu jelas. Tidak semuanya, hanya beberapa, dan itu
cukup mengganggu. Namun, aku berusaha untuk terlihat tegas. Tegap tanpa beban. Mereka tak
dapat melakukan apa-apa. Mereka—orang-orang yang membenciku itu—tak mungkin keluar dari
selnya, menyerangku, membunuhku, meninggalkan mayatku di tempat ini hingga membusuk.

Janu berdiri, menyadari kehadiranku. Secara samar, aku dapat melihatnya, bergerak mendekatiku.
Sungguh, aku tidak berani menerka kalimat apa yang akan dia ucapkan untuk pertama kalinya
begitu yakin bahwa aku berada di sini, memandanginya di tempat yang berbeda, terpisahkan oleh
jeruji besi. Namun, semakin mendekat, aku dapat melihatnya semakin jelas. Cahaya matahari yang
menembus tempat ini sedikit membantu.

Bedanya, Janu tidak mengatakan apa-apa.

Sang sipir berjalan, agak menjauh dariku, namun tetap mengawasi kami. Sedangkan aku—sialan.
Aku tahu apa yang kupikirkan, aku tahu apa yang harus kuberitahu padanya, tetapi aku tak dapat
merangkum kalimat terbaik untuk kuucapkan.
Aku sendiri belum memberitahukan hal ini pada siapapun, termasuk Wijaya. Aku tak dapat
membiarkannya merasa tolol, melakukan kesalahan bodoh hanya karena kebohongan kecil dari
seorang Ibu yang menginginkan balas dendam. Brengsek, padahal sebelumnya kami sudah
menuduh Pak Cakra. Kebohongan perempuan itu yang membuat tuduhan kami bergeser pada Janu.
Dan sekarang, dia berada di tempat ini.

Bagaimana caraku mengatakannya? Bagaimana bisa dengan mudah aku memberitahunya, hei, kau
tidak bersalah. Ayahmu yang melakukannya. Kau bisa keluar kalau nanti Ayahmu sudah
ditangkap. Jadi tunggu, oke?

Janu menjilat bibirnya, beberapa kali hingga kulit kering pada bibirnya tak terlihat lagi. Ia
menatapku tajam, seperti seorang predator yang siap menerkam mangsanya. Sungguh, aku benar-
benar tak dapat menerka akan apa yang ada di pikirannya. Aku tak dapat melihatnya. Semuanya
kosong, atau mungkin karena aku yang tak ingin melihatnya.

Namun, dalam keheningan ini, dia bertanya, "Apa?"

Kubenarkan celanaku, membuatnya berada pada posisi yang lebih nyaman. Sejujurnya, aku tak
suka dengan seragam ketat ini, pergerakanku menjadi terbatas, tetapi aku tak memiliki pilihan lain.

"Kemarin aku mengunjungi rumahmu, tidak sengaja, kedua orang tuamu tak ada di sana."

Janu mendengus, tertawa kecil, kemudian mengangkat kedua tangannya. Tak terlalu tinggi, hanya
sampai sepantar dadanya yang agak bidang. "Mungkin mereka pergi, memulai hidup baru. Mereka
tak menginginkanku, kakakku telah mati. Untuk apa mereka tetap tinggal di situ hanya untuk
dibayang-bayangi oleh kedua anaknya yang tak dapat mereka temui?"

"Aku tahu."

Janu memiringkan kepalanya beberapa derajat. Kemudian membalas. "Ya. Kau tahu segalanya."

"Bukan. Maksudku, bukan tahu tentang mereka pergi dan akan memulai hidup baru," Sanggahku.
Kini, Janu memberikan seratus persen fokusnya padaku.
"Apa?" tanyanya dengan segera.

"Aku tahu kau akan berkata seperti itu."

"Memangnya kenapa?"

Aku menghela napas.

Aku tahu, aku sudah menyelidiki kasus ini sekian lama. Aku tahu, aku sudah berusaha sekeras
mungkin mencari kesimpulan yang tepat akan kasus ini dengan seluruh bantuan yang kuterima.
Wijaya, para petugas yang lain, hingga Loka. Namun, hal itu benar-benar menggangguku ketika
mengetahui bahwa aku melakukan satu kesalahan besar—kecil, sebenarnya, hanya saja berdampak
besar. Kesalahan yang luput dari pemikiranku.

Aku terlalu fokus untuk mencari tersangka pembunuhan, mencari bukti dari lingkungan yang ada
dan sesungguhnya itu sulit. Mencari tahu segala bentuk informasi yang ada dari tetangga-tetangga
korban. Aku tahu, mereka turut membantuku menyelesaikan kasus ini. Biarpun mereka tak
menyadarinya, tetapi aku benar-benar berterima kasih akan hal itu.

Hanya saja, aku melupakan satu hal yang penting.

Kurasa aku terlalu berharap bahwa Janu adalah pembunuh kakaknya sendiri, membuatku
menghilangkan kesempatan untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ternyata Janu tak
melakukannya, maka seharusnya ia dapat mengatakan sebuah kejujuran padaku.

Sekali lagi, aku mengambil napas. Lebih dalam dari sebelumnya. Kemudian, mengeluarkannya
secara perlahan sebelum akhirnya aku bertanya pada lelaki ini—lelaki penuh tato yang menjadi
seorang korban atas kesalahanku.

Kupicingkan mataku.

"Kau tahu masalah yang terjadi antara kakakmu dan ayahmu, kan?"
17. Warm Shadow

Napas Janu menggebu-gebu. Bahunya naik turun secara beraturan dalam tempo yang lambat.
Perutnya, aku yakin sedang terkocok akibat pertanyaanku yang tiba-tiba mendarat di telinganya.
Bola matanya sendiri bergerak tak menentu arah, bagai pesawat ulang-aling yang kehilangan
kendali tanpa awak. Dia gelisah, tak tenang, seluruh gerak-gerik yang terjadi pada raganya
menunjukkan hal itu.

Aku meminta sipir yang mengantarku sebelumnya untuk membukakan sel, memberikanku kesan
tersendiri untuk tinggal di dalam sel ini beberapa saat. Walaupun begitu, tetap sang sipir tak
meninggalkanku, ia berdiri di depan sel sebelum akhirnya aku memintanya untuk pergi sejenak.

"Ada yang ingin kuobrolkan dengannya, sedikit pribadi," kataku, membuat sang sipir tak memiliki
pilihan lain selain menyingkir. Walaupun tak begitu jauh, setidaknya aku tak dapat melihatnya
berada di depan sel ini.

Janu sendiri tak berusaha untuk kabur. Percuma—mungkin itu yang dipikirkannya. Alih-alih
demikian, Janu malah mempersilakanku masuk begitu saja, bagaikan seorang tuan rumah yang
sebenarnya adalah seorang kanibal, membiarkan mangsanya masuk dengan senang hati.

Keadaan sel ini tak lebih baik daripada lorong gelap tadi. Hampir tak ada bedanya selain suasana
yang lebih lembap. Bahkan, aku tak yakin orang-orang yang mendekam di tempat seperti ini dapat
melewati malam-malamnya tanpa mengeluh. Tak ada angin yang berembus pun, suhu di ruangan
ini tetap mampu menusuk tulang, membuatku merasa linu dan merasa enggan untuk bermalam di
tempat ini seandainya tak terpaksa.

Janu duduk di atas kasurnya yang keras, sedangkan aku lebih memilih untuk bersandar pada sisi
yang lain. Dari kejauhan, dapat kudengar tahanan-tahanan yang lain mengeluarkan kata-kata
kasar—di antaranya nama hewan—karena melihat satu pintu sel yang terbuka. Memang, sialan,
tahanan yang berada di depan sel Janu ini memiliki mulut yang tak dapat dijaga. Beritanya tersebar
luas pada para tahanan yang lain. Mereka protes, mengapa hal yang sama tak dilakukan pada
selnya. Namun, aku tak mendengar penjelasan apa-apa dari sang sipir, begitu pula denganku yang
merasa memiliki pekerjaan yang lebih penting.
Menit-menit pertama kami habiskan dengan berdiam diri, tak sepatah katapun juga muncul dari
mulutku maupun mulut Janu ketika kujejalkan kaki di dalam sel ini. Walaupun begitu, Janu tetap
tak melepaskan pandangannya dariku. Di lain pihak, otakku sedang bergumul, terus memikirkan
kalimat pertama apa yang harus kulontarkan. Apakah aku tetap harus bersikukuh pada pertanyaan
awalku tadi atau mulai memberitahunya bahwa mungkin ada kesalahan dalam kasus ini?

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Jadi?" Kumulai pembicaraan, mengangkat bibir bagian atasku. "Kau tahu apa yang terjadi antara
saudara dan ayahmu itu, kan?"

Akhirnya, Janu menunduk. Jari-jari tangannya dimainkan, mengetukannya ke atas kasur. Lalu,
dalam sekejap, dia kembali memosisikan dirinya pada keadaan semula.

"Memangnya kenapa?"

"Aku hanya ingin memastikannya."

"Untuk apa?"

Aku menelan ludah. Tak berasa.

"Memastikan kau tidak bersalah."

Janu terkejut—sangat terkejut. Alisnya menajam dan dia mulai berdiri, meninggalkan kasur tak
empuknya itu. Sedangkan kedua kakinya mulai diangkat secara perlahan, mendekatiku.

"Apa?" tanyanya. "Bagaimana mungkin?"

"Aku tahu semua ini terdengar aneh, tapi aku memerlukan bantuanmu."

"Kau menuduhku, baru beberapa hari ini keputusan bersalah ditimpakan padaku, dan sekarang kau
bilang aku tidak bersalah?"

"Mungkin."
Napas Janu melenguh. Namun, beberapa saat kemudian, ia tampak tak peduli. Masih dengan
tatapan tajamnya, ia semakin mendekatiku. Sungguh, aku belum pernah melihat anak ini
memberikan tatapan semengerikan itu.

Ia mengepalkan kedua tangannya, membusungkan dadanya.

"Setelah semua ini dan kau masih bisa mengatakan bahwa aku tak bersalah? Kenapa tidak
melakukannya dari dulu?"

Oh, sialan. Di luar rencana.

"Dengar dulu, Ja—"

Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Janu segera memberikan serangannya, berusaha


meninjuku dengan lengan kanannya. Jadi, sesegera mungkin aku menghindar, membungkukkan
diriku dan menghindari serangannya.

Pukulan Janu mendarat pada tembok sel. Lalu, dengan segera, ia lepaskan, mengangkat kepalan
tangannya dan memastikan bahwa seluruh ruas jarinya baik-baik saja, tak ada yang terluka.
Namun, ia tak berhenti sampai sana, ia terus berusaha melukaiku, kembali mengempaskan kepalan
tangannya ke arahku dan membuatku segera menghindar. Sekali lagi, aku membungkuk, kemudian
mengambil ruang kosong untuk menempatkan beban tubuhku, segera melesat ke arah kanan dan
membuat Janu memutar badannya.

"Aku ingin membantumu, sialan!" Aku menghardiknya. Suatu kebodohan, karena kalimat itu
terlontar begitu saja dari mulutku dan tak memperhatikan konsekuensinya. Sialan, kurasa Janu
semakin marah.

"Setelah menjebloskanku ke penjara!?"

Sekali lagi, Janu berusaha untuk melesatkan kepalan tangannya untuk mengenaiku. Aku cukup
beruntung karena Janu bukanlah petarung profesional. Gerakannya itu sebatas gerakan-gerakan
berandalan brengsek yang tak memiliki dasar untuk berkelahi. Aku tidak mengatakan bahwa aku
ahli bela diri—memecahkan jendela dengan kakiku saja tak bisa—tetapi setidaknya aku dapat
menghindar dengan cukup baik karena dulu aku cukup sering menghadapi beberapa preman
brengsek yang melakukan kejahatan, menghindar untuk ditangkap dan berusaha melukaiku sekuat
tenaga.

Aku melihat celah. Ketika membungkuk untuk ketiga kalinya, segera kudorong kaki Janu,
membuatnya tersungkur dan jatuh ke atas kasurnya walaupun tidak semua bagian tubuhnya.
Wajahnya mendarat lebih dulu, tetapi aku yakin tidak akan begitu masalah biarpun kasur ini
sekeras tripleks. Sedangkan aku, dengan gesit segera berdiri dengan tegak ketika Janu berbalik,
tetapi tetap berbaring.

"Aku tak ingin melukaimu. Aku hanya ingin membantumu. Aku tahu aku yang memasukanmu ke
sini, itu adalah sebuah kesalahan, tetapi sungguh, percaya padaku jika aku akan membantumu."

Aku bergidik.

"Aku melakukan kesalahan. Brengsek. Aku tahu itu. Kau pikir mudah bagiku untuk memutuskan
bertemu denganmu? Sialan, bahkan hal itu kupikirkan semalaman, aku tidak tidur."

Baiklah, sebenarnya itu terlalu berlebihan, tetapi tidak terlalu bohong juga, setidaknya hanya
setengah berbohong. Aku memang memikirkannya, tetapi aku masih bisa tidur dengan waktu yang
tersisa. Aku hanya mencoba membuatnya mengerti akan kedatanganku, memperbaiki kondisi yang
ada dan membuat semuanya kembali menjadi normal. Tak ada salahnya, kan?

Janu, dengan napasnya yang tersengal-sengal, kembali memberikan tatapan elangnya padaku.
Namun, tak berselang lama, kepalanya mulai sesenggukan. Bagaikan terhentak akibat gempa bumi
yang cukup dahsyat. Lalu, ia duduk, tepat pada permukaan lantai yang dingin. Sekali lagi,
tertunduk.

"Aku minta maaf," kataku, tetapi Janu tampaknya tak begitu peduli. Ia tetap menunduk dengan
kaki yang disilakan.

"Bagaimana kau tahu kakakku memiliki masalah dengan ayahku?" tanyanya, tanpa mengubah
penampilannya. Rambutnya yang basah dan acak-acakan menutupi seluruh wajahnya. Aku tak
dapat melihatnya dengan jelas. Apakah dia sedang cemberut? Tersenyum gembira? Atau sesuatu
yang lain? Aku tidak tahu, tetapi aku tak dapat memaksanya untuk menggambarkannya. Jadi, aku
membalas.

"Minuman keras itu—setahuku—bukan minuman keras murah yang bisa dibeli di mana-mana.
Jangan tersinggung, tetapi kurasa kau tidak bisa membelinya," kataku. "Walaupun kau pernah
bilang kau menjual-jual barang secara online, tetapi aku tak menemukan barang-barang yang dapat
kau jual di rumahmu. Jadi, aku hanya mengasumsikan—"

"Semua itu bohong. Ya, aku tahu."

Oh, aku pikir itu hanya tebakan beruntung. Kukira barang-barang Janu telah diambil oleh orang
tuanya—seluruhnya—tanpa meninggalkan apapun, tapi tampaknya tidak seperti itu. Kamarnya
yang bersih, walaupun tidak beres seratus persen, ternyata memang begitu adanya.

Akhirnya, Janu mendongakan wajahnya.

"Kakakku yang membelikannya. Kami saudara. Maksudku, dia orang terbaik yang pernah
kumiliki, lebih dari orang tuaku."

Aku berusaha menyimak, membuat fokus pada telingaku, melakukan pendengaran terbaik.

"Mereka selalu membandingkanku dengan kakakku. Kau tahu, kan? Dia sukses, aku gagal.
Sederhana."

"Tapi dia hanya berperilaku baik di depan orang tua kalian? Benar begitu?"

"Tidak juga," tukasnya. "Mungkin. Ya, tetapi ... aku tidak yakin." Janu membuat jeda, beberapa
detik. "Dia mulai meminum minuman keras ketika kuliah. Kurasa dia tak pernah melakukan hal
itu sebelumnya, tak pernah melakukan hal itu di depan orang tua kami secara terang-terangan.
Berbeda denganku."

"Orang tua kalian tahu kakakmu meminum minuman keras?"

"Tidak. Tentu saja tidak. Makanya aku bilang dia tak pernah melakukan hal itu di depan orang
tuaku, kan?" balasnya. "Ketika itu aku masih SMA, beberapa kali mengunjungi kamar kost-nya.
Sejak saat itu aku pun melakukan hal yang sama. Ketika aku sudah lebih besar, ketika aku telah
lulus sekolah, aku tak dapat menemukan jalan hidupku. Tidak kuliah, tidak bekerja, selalu gagal
dan berakhir seperti ini."

Janu memberikan lukisan-lukisan artistik yang menempel pada tubuhnya secara permanen. Garis-
garis halus yang melengkung pada tubuhnya itu sungguh digambarkan dengan baik. Beberapa
tulisan kecil tampak diguritkan, tetapi aku tak sempat membacanya karena tulisan-tulisan itu
berada pada bagian dalam permukaan lengannya. Janu segera menyikapinya, kembali
memosisikan lengannya tepat di samping tubuhnya.

"Beberapa kali kabur dari rumah karena orang tuaku selalu membentakku. Hingga puncaknya aku
pergi ke tempat kakakku. Anak tolol, kata mereka. Aku tinggal bersama kakakku selama beberapa
waktu. Dunia yang kumiliki di tempat itu lebih baik. Aku semakin dekat dengan kakakku hingga
akhirnya ia bekerja. Kala itu, aku tak memiliki pilihan lain selain kembali. Aku tidak dapat kabur,
tidak mampu. Maksudku ... gila, bisa apa aku ini?"

Aku mengangguk perlahan. Dan dalam beberapa saat, kulihat mata Janu mulai berkaca-kaca.
Hatinya cukup sentimen—mungkin.

"Di saat itulah mereka terus membandingkanku dengan kakakku. Sungguh, aku benar-benar kesal.
Bukan pada kakakku, melainkan orang tuaku."

Janu mulai sesenggukan.

"Ketika aku tahu kakakku mati, dibunuh seseorang. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya
mencoba membantu kalian." Janu memberikan tatapan nanarnya padaku. "Namun, ketika ayahku
mengatakan bahwa aku mabuk, aku yang melakukannya, saat itu aku benar-benar tidak tahu harus
melakukan apa. Jadi, apakah ayahku yang melakukannya?"

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Sebelumnya kau menanyakan masalah yang dimiliki kakakku dan ayahku. Kenapa aku tak dapat
berpikir ayahku tak melakukannya?"
Aku terhenyak. Benar juga.

"Tak pernah terbesit dalam benakku jika ayahku melakukannya. Apa ayahku benar-benar
melakukannya?"

Mulutku membisu. Apakah iya? Apakah tidak? Tentu saja aku belum tahu. Alasan itulah yang
memaksaku untuk pergi ke tempat ini. Berdasarkan asumsiku, tentu saja jawabannya iya. Tapi
berapa kali aku mencoba memecahkan kasus berdasarkan asumsi yang menurutku kuat, yang pada
akhirnya malah memberikan kesimpulan yang salah? Sebuah penyelidikan yang kompleks,
terstruktur, rasional, pada akhirnya semuanya salah. Apa aku harus kembali mengulanginya?

Namun, Janu tidak berhenti. Bola matanya menatapku penuh harap, tetapi ia tak memberikannya
secara jelas akan apa yang diharapkannya. Apakah dia ingin aku mengatakan iya? Bagaimana jika
sebaliknya? Apakah ia akan menyerangku kembali karena memberikan jawaban yang tak
diharapkannya?

"Mungkin," balasku, tak menunggu lebih lama lagi. Sedangkan Janu, tampaknya tak berusaha
untuk menggali informasi lebih jauh. "Aku sedang mencari tahu."

Janu tak merespon.

"Aku ingin meminta bantuanmu," lanjutku, berusaha membuatnya lebih baik walaupun reaksinya
masih sama—tak ada reaksi.

"Dengar, jangan tersinggung. Tapi apakah ayahmu adalah tipe orang yang mungkin bisa
membunuh seseorang karena alasan kecil seperti mengetahui anaknya senang bermabuk-mabukan
atau sesuatu semacamnya?"

"Tidak, kurasa," balasnya, sedikit sesenggukan. "Dia tak membunuhku. Aku tahu, ia sangat
membenciku. Beberapa kali memukulku, lebih sering membentak. Tapi tidak sampai
menghilangkan nyawa. Astaga. Karena itu aku bilang tak pernah terbesit dalam pikiranku bahwa
dia yang melakukannya, kan?"

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa sekarang mungkin dia melakukannya?"


Janu menelan ludahnya, membuat suara aneh di kerongkongannya. Napasnya masih tak beraturan
dengan udara yang bercampur keringat. Sangat tak nyaman, aku yakin.

"Aku tidak tahu," jawabnya lirih. "Kau tahu? Ketika ia mengatakan bahwa aku mabuk, aku tak
dapat memercayainya. Maksudku ... aku tidak merasa, setidaknya malam itu, apalagi hingga
membunuh kakakku. Tapi ayahku mengaku bahwa dia berusaha melindungiku, membuat
pembunuhan itu terlihat menjadi bunuh diri."

Janu menarik napas dalam-dalam.

"Ia mengatakan itu ketika kalian mulai menyelidiki kasus kakakku. Ayahku mengaku dia yang
memosisikan seluruh kejadian agar terlihat menjadi bunuh diri. Namun ia gagal. Karena itulah ia
menyuruh kami untuk pergi sebelum kalian berhasil menangkapku."

Janu menggigil. Bukan karena kedinginan, tapi sesuatu yang lain. Matanya mengerjap berkali-kali,
gigi-giginya saling beradu, membuat suara gemertak. Lalu, sekali lagi ia menarik napas untuk
diembuskannya secara perlahan.

"Aku tidur malam sebelumnya. Maksudku ... aku tidak yakin. Apakah aku mabuk? Aku tidak
merasa seperti itu, tetapi aku tidak ingat. Botol minuman itu ada di kamarku, kosong. Aku tidak
tahu, benar-benar tidak tahu. Aku tidak memiliki pilihan lain. Ayahku mengajakku pergi dan aku
tidak tahu akan apa yang harus kulakukan. Aku mengikutinya."

"Tetanggamu mengaku melihatmu mengemudikan mobil itu, tepat di saat yang pas sebelum orang-
orang menemui jasad kakakmu."

"Apa?" Janu terhenyak. Bahunya tersentak ke belakang kala wajahnya tetap mendongak, menatap
ke arahku.

"Kau tidak mabuk saat itu, kan?"

"Aku tidak tahu!"

"Ayahmu memanfaatkanmu."
"Untuk apa?"

"Menghindari kejahatannya."

Janu terbelalak.

"Kenapa dia melakukannya?"

"Aku tidak tahu. Karena itu aku bertanya padamu, apakah kau tahu masalah yang terjadi antara
ayah dan kakakmu?"

Janu membisu.

"Jujur, pada awalnya aku masih ragu. Aku takut membuat kesalahan yang sama, tapi mendengar
ceritamu itu tampaknya sekarang aku yakin."

Janu mulai mengangkat tubuhnya, bertumpu pada telapak tangan dan menarik tubuhnya ke atas,
berusaha berdiri walaupun masih sedikit sempoyongan. Kini, aku yang sedikit mendongak.
Tubuhnya lebih tinggi dari yang kuingat, padahal tadi ia hendak menghajarku—beberapa menit
sebelumnya.

"Kakakku selalu menyembunyikan hal-hal seperti itu dari orang tuaku," katanya. "Tapi, beberapa
kali orang tuaku memang sering membentaknya."

"Hingga memukulnya?"

"Itu tidak mungkin terjadi," lanjutnya. "Melalui telepon. Setiap kali ayahku mendapatkan telepon
dari kakakku. Dia akan selalu menggerutu."

"Bukankah setiap minggu kakakmu pulang ke rumah?"

"Setiap minggu juga aku selalu berkeliaran. Aku tidak selalu di rumah."

Seandainya lelaki ini jujur. Berarti ada seseorang yang harus kutemui. Seseorang yang sebelumnya
tak pernah kuanggap penting, berpikir bahwa ia tidak terlibat lebih jauh. Brengsek.
Ternyata selama ini aku membiarkan seorang saksi penting berkeliaran bersama sang pembunuh—
jika memang Pak Cakra yang melakukannya.

Istrinya. Bukankah seharusnya dia setiap malam, hampir setiap hari—sebagian besar waktunya—
dihabiskan bersama suaminya? Brengsek. Seharusnya dia tahu sesuatu.
18. Concerned Third Party

Aku belum memberitahu Wijaya sama sekali. Mungkin, saat ini dirinya sedang tidur dengan santai,
mengorok hingga getaran suaranya mengganggu tetangga-tetangganya. Sedangkan di sini,
pikiranku tampak runyam. Beberapa menit kuhabiskan hanya berdiam diri, duduk di atas sofa
tanpa melakukan apapun. Kedua lengan kumainkan, mengaitkannya satu sama lain dan
menggerakan ujung-ujung jariku, melenturkan dan menegangkannya secara berkala.

Pukul sepuluh malam dan aku belum bisa tidur. Tidak mengantuk. Begitu kupaksakan kedua mata
ini untuk terpejam, otakku langsung melenguh, seolah-olah dapat kudengar teriakannya, berkata
tidak dengan sangat keras padaku, membuatku kembali terjaga.

Aku sudah mencoba berbagai cara. Makan, minum, menghitung benda-benda yang tidak penting,
semuanya tak berhasil. Membaca buku pun tampaknya tak begitu efektif. Bukannya terlarut dalam
tulisan yang tergurat pada kertas-kertas itu, pikiranku melambung ke tempat yang lain.

Di mana aku dapat menemukan mereka? Apakah tempat yang sama? Kalaupun di tempat yang
sama, bagaimana caraku mendapatkan mereka? Menyeretnya hingga berdarah-darah,
melemparkan mereka tepat di hadapanku dan memaksa untuk berbicara.

Penyelidikan kali ini tidak resmi. Maksudku, kasus ini baru ditutup beberapa hari, seluruh media
telah memberitakannya karena sang pelaku—saat itu—adalah adiknya sendiri, membunuh
kakaknya dengan keji atas kecerobohannya dan berusaha membuat seluruh kejadiannya terlihat
seperti bunuh diri. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Aku tak dapat membiarkan mereka—para wartawan—mengendus sebuah kesalahan dalam


penyelidikanku. Bisa mati aku, begitu pula dengan Wijaya. Tentu, orang-orang akan melihat kami
seperti orang yang terburu-buru, menutup sebuah kasus dengan kenyataan yang salah. Mereka
akan segera menghakimiku—kami. Polisi tolol, brengsek, menuduh orang yang tak bersalah hanya
karena ia berpenampilan layaknya preman yang suka memalak di perempatan jalan. Aku tidak
melakukan ini untuk diriku—walaupun mungkin ada—tetapi juga untuk Wijaya, dan aku tak ingin
menyeretnya ke dalam sebuah permasalahan.
Jadi, di sinilah diriku. Duduk berdiam diri dengan segelas teh hangat yang sedari tadi belum
kuhabiskan—gelas kedua. Aku tidak tahu apakah segelas teh dapat membuatku terjaga atau tidak,
tetapi kuharap tidak. Aku ingin beristirahat, sungguh, tetapi aku tidak bisa. Masih banyak
pertanyaan yang melintas di dalam benakku.

Tak ada jejak yang dapat kuikuti, rumah itu bersih tanpa meninggalkan sedikitpun petunjuk. Aku
tak dapat meminta bantuan petugas-petugas lain untuk hal yang tak resmi ini, atau mereka akan
menyadari kesalahan yang kulakukan—setidaknya jangan dalam waktu sedekat ini. Jadi, ke mana
aku harus pergi?

Semilir angin malam menerpa rumah ini. Tentu tak terasa karena aku sedang berada di dalam,
tetapi bunyi gemerutuknya akibat menabrak dinding-dinding bagian luar rumahku, aku yakin
betapa sejuknya suasana yang ada. Betapa tenang suasana yang ada di luar sana ketika di dalam
diriku sendiri sedang terjadi perkelahian yang luar biasa, lebih semacam perang.

Namun, tak begitu lama, ketukan kayu terdengar, membuatku berbalik dan mendapatkan Loka
tengah berjalan menuruni tangga dengan perlahan. Ia membeku untuk beberapa saat, tepat setelah
aku menangkapnya basah-basah. Menyelinap, mungkin? Aku tidak tahu, yang pasti dia langsung
tertawa kecil begitu melihatku yang bingung akan gerak-geriknya.

"Belum tidur?" tanyaku, tak menghentikan pergerakan Loka yang pada akhirnya terhenti di
sampingku. Ia duduk di sofa lainnya, sofa yang lebih kecil dan hanya dapat memuat satu orang.

"Lagi tidur, nih." Nadanya mengejek. Aku mengerti, tetapi aku tetap tak terpengaruh oleh selera
humornya yang rendah.

"Kenapa kamu ke sini?"

"Kenapa Bapak belum tidur?"

Kumiringkan wajahku, kuberikan mimik wajah terburukku untuk menunjukan rasa tak senang.

"Belum ngantuk."
"Sama," balasnya sambil cekikikan.

Jujur, aku merasa sedikit canggung. Maksudku, pikiranku sedang berkelut dan aku harus meladeni
obrolannya. Bagaimana mungkin semua hal itu dapat kulakukan secara mulus?

"Bapak lagi mikirin sesuatu, kan?" tanyanya tiba-tiba, sedikit mengusik perhatianku.

"Iya, sedikit."

"Tentang kasus?"

Aku mengangguk.

"Ada yang bisa Loka bantu?"

"Hah?"

Loka kembali tertawa, lebih keras dari sebelumnya.

"Ah, nggak, cuma ingin bantu aja."

Aku tidak sadar sejak kapan permainan yang kuberi judul 'melenturkan dan menegangkan jari' itu
kuhentikan. Yang pasti, aku telah tak memainkannya. Sebagai gantinya, aku tak mengerjakan apa-
apa selain menyimak omongan yang dikeluarkan bocah itu.

"Kamu udah bantu kok tentang kunci mobil waktu itu. Terima kasih."

Loka tak setuju. Dia menepis pembicaraanku dengan segera.

"Kasusnya belum selesai kan, Pak?"

Aku terhenyak.

"Kenapa kamu mikir gitu?"


Loka tampak bangga dengan tebakannya. Tepat, menurutnya, tetapi memang keadaannya seperti
itu. Wajahnya begitu sumringah, bagaikan memenangkan undian dengan nilai yang sangat besar.

"Kalau kasusnya belum selesai, Bapak pasti kayak gini, mikirin sesuatu. Kalau udah selesai
biasanya santai, nggak akan tiba-tiba diem di sofa terus nggak ngapa-apain."

"Sejak kapan kamu jadi pinter?"

Loka cengengesan. Wajahnya berseri-seri, begitu juga denganku. Setidaknya, untuk sepersekian
detik otakku dapat memikirkan hal yang lain, tidak melulu hal yang sama yang sedari tadi
berkelana di dalam otakku selama berjam-jam.

"Bener kan, Pak?"

Kuposisikan diriku, duduk tegap. "Ya, memang." Kini, gerakan mataku menuju ke segala arah.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Menceritakan kasus ini padanya atau tidak? Maksudku, tak
ada salahnya menceritakan kasus ini pada Loka, tetapi untuk apa? Dia bukan wartawan dan dia
bukan orang yang selalu mengunggah segala aktivitasnya ke dalam media sosial. Seluruh
ucapanku, jika aku memintanya, akan terjaga utuh dengannya. Tapi, sekali lagi, untuk apa?

"Kau ingin tahu sesuatu?" Aku menawarkan, mengucapkannya secepat embusan angin yang sedari
tadi membuat kegatuhan. Memang, tidak begitu kuat, tetapi kesunyian di malam ini membuatku
merasa tak dapat mendengarkan hal lain selain semilir angin itu.

Loka terperangah. Ia tak mengucapkan sepatah katapun, tetapi aku yakin dalam hatinya, ia sudah
berteriak dan berharap aku memberikan seluruh informasi yang kudapat sesegera mungkin.
Bahkan, tanpa sadar Loka memajukan bahunya, berusaha mendengarkan segalanya yang keluar
dari mulutku, bahkan mungkin termasuk sendawa yang tak sengaja kulakukan.

"Bapak mulai mengantuk, Bapak mau tidur." Kuangkat beban tubuhku, berdiri dengan kokoh dan
segera melangkah, tentu saja dengan senyuman yang menghiasi wajahku. Sedangkan Loka sedikit
menggerutu, kecewa, tetapi aku senang akan hal itu. Sekali lagi, candaan yang sebenarnya tidak
pantas mampu membuatku melupakan segala ketegangan yang terjadi pada diriku. Namun,
walaupun begitu, aku tidak berbohong dengan alasan kantukku. Aku memang mulai mengantuk
secara ajaib. Mungkinkah karena teh yang kuminum?

===

Alunan musik ballad rock memenuhi mobilku, tidak begitu kencang, tetapi cukup membuat
telingaku nyaman akan alunan melodinya. Bahkan, aku berusaha untuk tidak mengetukan
jemariku, mengikuti irama lagu yang kusukai—bahaya. Ketika aku sudah terpikat pada musik,
bisa jadi aku melakukan hal tolol yang dapat mengganggu konsentrasiku.

Ah, berkaitan dengan kemarin, tampaknya aku sukses membuat Loka kesal. Tentu saja hanya
sebatas candaan, tetapi Loka menganggapnya terlalu serius. Ketika bangun tidur, hendak
menyantap sarapannya, intonasi bicaranya berubah secara drastis, lebih seperti acuh tak acuh
dibandingkan Loka yang biasanya, tetapi tentu saja itu malah membuatku semakin senang. Lucu,
bagiku.

Perjalanan ini sendiri pun kulakukan tanpa persetujuan siapa-siapa. Walaupun seharusnya aku
piket, aku meminta salah satu rekanku untuk menggantikanku sementara waktu. Urusan yang
berkaitan dengan kasus itu, alasanku, memastikan seluruh berkas perkara dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik seandainya tersangka naik banding dan rekanku itu langsung
menyetujuinya setelah kuiming-imingi dengan mentraktirnya makanan suatu saat nanti. Padahal,
tentu saja hal itu tak terjadi. Mana mungkin Janu naik banding. Memangnya apa yang dimilikinya?
Maksudku ... dia tak memiliki alasan yang kuat untuk mengelak, semua orang telah sepakat bahwa
dia yang membunuh kakaknya, dan tololnya, semuanya itu akibat keputusan brengsek yang
kutetapkan.

Astaga, betapa tololnya aku, menggiring opini mereka, dan sekarang aku malah berusaha untuk
melawannya. Mereka semua pasti akan bertanya-tanya, kenapa?

Putaran ban permenit mobil ini semakin meninggi begitu kurasa celah untuk menelusup di antara
mobil-mobil yang ikut berkelana bersamaku cukup besar. Namun, tentu tak kuhindari segala
bentuk pencegahan kecelakaan. Aku memakai sabuk pengaman, mengemudi tak lebih dari seratus
dua puluh kilometer perjam—biarpun masih melanggar aturan. Mobil ini memiliki air bag yang
masih berfungsi dengan baik, biarpun tak dapat kuuji coba sekarang. Aku berkendara menantang
maut, menyalip berbagai jenis kendaraan secara tak manusiawi, tetapi aku tetap tahu bagaimana
melindungi diriku. Selain itu, tentu akan selalu kuusahakan untuk tak mengalami kejadian yang
tak kuinginkan. Aku pun tak dapat meminta orang-orang ini—orang-orang tak kukenal yang turut
berkendara—untuk mengalami kecelakaan.

Mentari semakin meninggi, memberikan kilauan cahayanya melalui jendela mobilku. Untungnya,
panas yang menyengat tak perlu kurasakan karena pengatur suhu mobil ini yang masih berfungsi
dengan baik. Mungkin mobil ini dapat kujadikan sebagai rumah berjalan.

Berkendara sendirian sebenarnya bukanlah kegemaranku. Memang, aku hampir melakukannya


setiap saat, setiap waktu. Namun, bukan berarti aku menyukainya. Di zaman seperti ini, di mana
mobil menjadi sebuah kebutuhan, bukan gaya hidup, berkendara jauh tampaknya sudah menjadi
kebiasaan, tetapi tak biasanya dilakukan seorang diri. Aku pergi atas dasar pekerjaan—walaupun
tak resmi—dan aku tak dapat mengeluh karenanya. Tidak adil, bukan?

Tujuanku adalah tempat di mana Agoy tinggal, sebuah kamar kost di Jakarta yang alamatnya
kudapatkan dari Pak Alvin. Tentu Pak Alvin sendiri mengikuti perkembangan berita, apa yang
terjadi pada Agoy dan bagaimana kasus ini berakhir. Bahkan, sebelum ia memberikan alamat itu
melalui chat setelah kuminta, ia bertanya padaku, untuk apa?

Aku melenguh pelan. Bulir keringatku berjatuhan kala itu, malam ketika Loka belum menuruni
anak tangga dan kesal akan kelakuanku yang sengaja kulakukan.

Pak Alvin tahu bahwa kasus ini telah ditutup, disimpulkan, sang pelaku telah dijatuhi vonis.
Namun, permintaanku itu seolah menjadi bumerang akan berita-berita yang ada. Dia tahu bahwa
ada sesuatu yang tak beres ketika aku bertanya padanya. Jadi, aku menjawab seadanya.

Kasus ini mungkin belum berakhir. Lebih kompleks dari yang diduga.

Akhirnya, Pak Alvin tampaknya mengerti keadaan yang ada. Ia langsung memberikanku sebuah
alamat yang dapat kukunjungi. Tentu saja sendirian. Namun, aku tetap memintanya untuk tak
membocorkan hal ini pada siapapun. Ya, pada akhirnya, serapat apapun kututup sebuah rahasia,
seseorang—mungkin dua orang—pada akhirnya pun harus tahu. Aku tak dapat bergerak jika tak
kulakukan hal itu, dan tentu saja aku sudah tahu konsekuensinya.

Aku dapat menerima amarah dari komisaris Yudha. Oh, sialan, aku sudah mengalaminya berkali-
kali, tubuhku sudah kebal untuk hal itu. Aku hanya tak ingin citra kesatuanku menjadi terlihat
buruk akibat kesalahanku. Mengganti jawaban kasus sehari tepat setelah si pelaku—atau yang
awalnya dituduh sebagai pelaku—dijatuhi hukuman. Maksudku, benar-benar terlihat seperti
terburu-buru dalam menentukan nasib seseorang, kan? Padahal mereka tak tahu kerumitan apa
yang harus kuhadapi. Oh, brengsek, aku benci orang-orang yang menghakimi orang lain karena
hanya melihat sebagian kecil kenyataan yang ada.

Pikiranku tampak membeku, tetapi sebenarnya tidak. Bukan berhenti, lebih seperti melesat jauh
akibat transisi berita baru yang datang secara tiba-tiba.

Aku pun tak lebih dari mereka, menghakimi orang-orang yang tak kusukai—Bu Dewi.

Astaga, kenapa sulit sekali menjadi manusia?

Aku mulai memasuki gerbang tol, menyiapkan kartu e-toll-ku untuk segera kutempelkan pada
mesin pemindai, mengurangi jumlah saldo uang yang berada dalam kartu itu karena keegoisanku
untuk menyelidiki kasus ini sendirian. Seharusnya, aku dapat meminta kompensasi, mendapatkan
uang pengganti untuk uang pribadiku yang terbuang dalam masa penyelidikan. Sialnya, aku tidak
sedang menyelidiki sesuatu—secara legal, tentunya.

Perlu waktu beberapa jam hingga dapat kutemukan alamat yang kucari. Aku belum mengenal kota
ini, membuatku berhenti secara berkala untuk bertanya pada orang-orang mengenai alamat yang
kutuliskan pada ponselku. Tentu di samping telah kubuka peta melalui google map. Aku hanya
memastikannya. Pengalaman lebih baik dari sekedar benda digital pintar yang menuntunmu, kan?

Pilihan orang-orang elit. Alamatnya sendiri menunjukan tempat yang sedikit sepi, tetapi mewah.
Kawasan ini bukanlah kawasan kampus di mana para mahasiswa yang ingin belajar terpaksa
menyewa sepetak kamar untuk bertahan hidup. Mungkin, tempat kost ini lebih dikhususkan pada
orang-orang yang bekerja, terletak sedikit ke dalam dari jalan raya. Pekerja yang tak menetap di
kota Jakarta.

Seorang satpam menatapku heran. Aku yakin karena seragam dan juga sabuk pistol yang sengaja
kupasang sebagai bentuk hormatku atas aturan yang telah ditetapkan dan diberitahukan padaku.
Walaupun begitu, seperti biasa, aku tidak terlalu menanggapinya. Awalnya, memang aku merasa
risih, tetapi semakin lama kehidupan berjalan, aku pun dapat terbiasa, kan?

Kuperkenalkan diriku secara singkat seperti layaknya orang-orang berkenalan. Berjabat tangan
kemudian mengayunkannya beberapa kali, ke atas dan ke bawah. Menyebutkan namaku secara
singkat, berasal dari mana, dan apa tujuanku ke sini. Tentu, sang satpam tidak perlu melakukan
hal yang sama, tetapi dia melakukan beberapa hal yang kusebutkan sebelumnya.

Aku bertanya langsung pada intinya, alasan mengapa kedatanganku secara tiba-tiba ini menjadi
sebuah hal yang penting. Rasa penasaranku akan apa saja yang mungkin masih disembunyikan
oleh Agoy tampaknya semakin menguat ketika satpam itu memberitahuku bahwa memang Agoy
tinggal di sini, menyewa kamar lantai dua dengan nomor tiga. Kamar yang sangat dekat dengan
tangga utama, hanya perlu belok kanan setelah kususuri tangga itu.

Namun, keterkejutan mendatangiku tepat setelah ia mengatakan hal itu. Sesuatu yang tak pernah
kupikirkan sebelumnya. Sesuatu yang entah kuharapkan terjadi atau tidak. Aku bersyukur
karenanya, sekaligus merasa ragu akan apa yang harus kulakukan.

"Tadi ada Bapak-bapak dan ibu-ibu yang juga menanyakan hal yang sama," katanya.

Mulutku menganga, lebar selebar gua kelelawar yang selalu dilintasi oleh hewan-hewan nokturnal
itu. Aku harus berpikir cepat, brengsek. Hal seperti ini lah yang tak kusukai sekaligus kusukai di
saat yang bersamaan. Aku tak perlu mencari mereka, tetapi aku tak tahu akan apa yang harus
kulakukan selanjutnya. Menangkap mereka? Lalu?

"Aku minta bantuanmu, ikuti aku!" perintahku, segera berlari, tak mengindahkan kehadirannya.
Aku tak peduli apakah dia akan mengikutiku atau tidak. Mungkin, aku bisa mengatasi mereka,
pasangan suami istri itu. Maksudku, hei, aku punya pistol, bukan? Namun, bala bantuan pun tak
akan kutolak. Tak ada alasannya, kan?

Kecepatan lariku rasanya semakin baik. Semakin cepat, seperti kelinci yang menantang kura-kura
untuk balap lari. Aku tidak membahas mengenai ceritanya, aku hanya mengatakan bahwa
kecepatanku tampaknya sama seperti kelinci itu jika dibandingkan dengan kura-kura.

Susuran tangga kulalui dengan begitu cepat. Bahkan, aku tak merasakannya. Begitu sampai di
lantai dua, aku sedikit terengah-engah, tetapi tak menghentikan langkahku. Tepat di depan pintu,
sejenak otakku kembali memproses segala kemungkinan yang terjadi.

Aku berlari karena tak ingin mereka pergi, keluar dari kamar ini. Setidaknya, aku harus menangkap
mereka, mengepungnya, apalagi tampaknya satpam yang tadi pun mengikuti arahanku. Ia berdiri
tepat di sampingku dengan napas yang tersengal-sengal, sama sepertiku.

Ah, sebelumnya, ingat bahwa kukatakan jika kecepatan berlariku seperti kelinci? Aku tidak akan
menarik kata-kataku itu. Brengseknya, aku tak dapat berkilah bahwa ternyata aku pun tak bisa
hanya menganalogikan kecepatan berlariku, tetapi cerita yang sama pun tampaknya berlaku untuk
saat ini.

Aku membuka pintu. Tak terkunci. Namun, di saat itulah aku tahu bahwa aku terlambat.

Sehelai kain yang cukup panjang berlumuran darah, terletak di atas lantai yang dingin. Aku
berharap bahwa orang itu—yang tergeletak di atas kain itu—adalah istri Pak Cakra. Jangan
berprasangka buruk, hanya saja jika seperti itu keadaannya, semuanya akan mudah bagiku.

Namun, tidak seperti itu. Kenyataan yang ada sungguh berbanding terbalik.

Aku melihat Pak Cakra terbaring, berlumuran darah, mungkin tak bernyawa.

Ibu Elis tergeletak tak berdaya, tak berlumuran darah, mungkin hanya pingsan, tetapi aku tidak
tahu akan hal itu.
Sedangkan satu lagi, seorang tamu yang tak diundang, membawa sebilah pisau pada lengannya,
berwarna merah pekat yang masih menetes sebutir demi sebutir.

Siapa?
19. Chaos Theory

Teori kekacauan.

Aku pernah membaca beberapa artikel mengenai hal itu, bagaimana sebuah tindakan kecil yang
tampaknya tidak begitu berarti ternyata memiliki dampak yang lebih besar dari yang kuduga.
Bagaimana kepakan-kepakan kecil sayap kupu-kupu dapat menimbulkan tornado besar yang
melintas di berbagai belahan dunia. Tentu, tak hanya itu, teori kekacauan pun dapat terjadi di mana
saja, kapan saja, tanpa ada seseorang yang mengetahuinya sebelum ia mengalaminya sendiri.

Seorang pria berperawakan besar dan tinggi hadir begitu saja di hadapanku, mengenakan topi
hitam berlidah yang menutupi sebagian besar wajahnya. Ia berdiri, berbalik, namun selanjutnya
melakukan gerakan yang tak pernah kusangka sebelumnya.

Lelaki itu mengeluarkan pistol, mengarahkannya padaku, menembak dengan segera sebelum
berhasil kuambil pistol yang tengah menelungkup di dalam sabuk pistolku.

Rasanya? Sakit. Sungguh. Aku tak pernah tertembak sebelumnya, dan seluruh perasaan ini
menjawab segalanya. Aku langsung ambruk ketika kaki kananku merasakan setruman dahsyat.
Aku berteriak—pasti—tak kalah kerasnya dari suara letusan senjata api yang pria itu keluarkan.

Aku ingin mengecam, tetapi mulutku terlalu sibuk untuk merintih kesakitan. Secara otomatis
kedua tanganku kugerakan, menutupi luka yang ada. Namun, percuma, darah telah mengalir ke
mana-mana, yang ada, kedua lenganku malah terbaluri oleh cairan kental berwarna merah gelap
dengan bau amis yang tak menyenangkan.

Aku meringkuk, masih berteriak. Memejamkan mata beberapa kali. Sialan! Sakit sekali!

Sang satpam tak melakukan apapun. Dia kebingungan, tak dapat mengambil langkah yang tepat
akibat kejadian yang begitu tiba-tiba ini. Sedangkan pria yang menembakku tadi keluar melalui
jendela kamar. Aku sendiri tak melihatnya dengan jelas, hanya samar-samar. Kedua mataku terlalu
sibuk untuk melihat kakiku yang terluka.
Aku meronta-ronta. Oh, sialan! Lebih sakit dari yang kuduga! Apakah tulangku remuk? Apakah
pendarahan ini dapat dihentikan? Beberapa pertanyaan terus terlintas dalam benakku ketika
kusadari bahwa di ruangan itu, sang pria yang menembakku benar-benar telah pergi, meninggalkan
Pak Cakra dan istrinya tergeletak tak berdaya.

Beberapa orang mulai mengerumuni tempat ini. Biarpun lelaki itu menembakkan pistolnya dengan
peredam yang terpasang, kurasa suaranya tak menghilang seratus persen. Begitu pula dengan
teriakanku yang jelas akan membangkitkan rasa penasaran mereka. Namun, aku tetap tak peduli.
Aku sedikit berguling, menelungkup, memeluk kakiku yang terluka. Darahnya terus mengalir
keluar membasahi keramik putih yang semakin ternoda.

Akhirnya, aku mencoba duduk. Seketika itu juga, rasa nyeri mulai menjalar melalui kakiku,
menelusup melalui berbagai organ tubuhku. Bahkan, otakku merasakan sakit yang luar biasa.
Sekali lagi, aku merintih di antara kerumunan orang-orang yang terus menanyakan hal apa yang
baru saja terjadi.

Aku berusaha untuk tenang, memperbaiki aliran pernapasanku. Masih baik orang itu tak
menembak jantungku. Aku tidak sedang memakai rompi anti peluru, dan semuanya bisa berakhir
sangat buruk seandainya lelaki itu menembak jantungku. Namun, satu pertanyaan lanjutan harus
terukir kembali dalam benakku.

Kenapa lelaki itu menembak kakiku? Mungkin, ia bukan profesional. Namun, menembakku dari
jarak yang bahkan tidak lebih dari lima meter ini, siapapun itu, dapat menjadikan dadaku sebagai
sasaran utama. Maksudku, hei, ukuran badanku bukankah lebih besar dari ukuran kakiku? Aku
mengerti jika ia tak menembak kepalaku, tetapi kenapa tidak dengan tubuhku?

Akhirnya, seorang penghuni berinisiatif untuk mengantarkanku ke rumah sakit. Beberapa orang
mengangkat tubuhku, menggendong tubuhku di saat kesadaranku mulai menurun.

Sialan, jarak sedekat itu pasti lukaku sangat dalam. Brengsek, memang. Mungkinkah aku
kehabisan banyak darah?
Mataku mulai berkunang-kunang. Napasku mulai tersengal, semakin melemah. Embusannya tak
sekuat sebelumnya. Pendengaranku semakin buruk. Beberapa orang terlihat panik, berteriak dan
menyuruh orang-orang untuk ke samping, memberikan jalan agar mereka dapat menggotongku
dengan mudah, tetapi aku tak dapat memperhatikan percakapan mereka dengan jelas.

Kesadaranku mulai menurun.

Di saat itu, aku tahu rembesan darah keluar melalui lukaku, membuat celanaku yang bolong akibat
peluru itu menjadi kotor. Begitu pula dengan aliran darah yang mengucur melalui kakiku. Kurasa
kaos kakiku pun tak lepas dari imbas sang peluru yang kini bersarang di kakiku.

Satu pertanyaan terakhir. Siapa orang itu?

Aku tak dapat memikirkannya. Semakin lama, seluruh pandanganku semakin menghitam. Aku
mulai terpejam. Tak kuat.

Benar, aku kehilangan banyak darah.

===

Roy sang penyendiri. Itu sebutan mereka padaku, dan memang bisa dibilang seperti itu.

Aku tak pernah mengikuti acara reuni sekolahku. Aku selalu membiarkannya, menganggapnya
sebagai angin lalu. Itu cara mereka, bagiku, tetapi tidak untukku.

Di antara orang-orang itu, mungkin akulah satu-satunya orang yang berbeda. Tak memiliki orang
tua, meninggal ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Satu-satunya orang yang
kuanggap ada adalah saudaraku—bukan saudara kandung tentunya. Sahabat terbaikku itu selalu
kuanggap sebagai saudaraku, tak peduli betapa berbedanya kami.

Kami memang satu sekolah, tetapi berbeda kelas.

Selain itu, sebenarnya alasanku lebih senang menyendiri bukan karena latar belakang yang ada
dari diriku. Mungkin karena sudah sifatku seperti itu. Aku sendiri tak mempermasalahkan akan
apa yang mereka bicarakan mengenai diriku, karena memang adanya seperti itu, kan?
Sahabat terbaikku itu selalu bertanya—apalagi saat kelas 3 SMA—mengenai masa depan kami.
Di mana kami akan kuliah, bekerja, cita-cita kami. Dan di saat itu, aku sendiri tak memiliki
pilihan. Ke mana akan kulanjutkan sekolahku? Aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu.
Hidupku selalu kujalani untuk hari ini, tak lebih. Selain itu, apakah artinya lebih baik aku
langsung bekerja? Tapi pekerjaan apa yang cocok bagiku?

Dengan keadaan yang sama, mungkin aku bisa berakhir menjadi orang tolol yang mentato
lengannya, memalak para supir truk hanya untuk sebungkus rokok—mempercepat kematianku.
Bayangan yang sama selalu terlintas dalam benakku. Bagaimana jika pada akhirnya aku akan
tumbuh dewasa seperti ayah tiriku alih-alih ayah kandungku?

Aku tidak ingin memikirkannya, sehingga aku memilih untuk tidak memikirkannya. Aku hidup saat
ini. Aku tidak tahu bagaimana dengan kehidupanku besok, lusa, tulat, satu minggu ke depan, atau
mungkin setengah abad selanjutnya.

Namun, sahabat terbaikku itu menangkapnya dengan cara yang salah. Ia menertawakanku.

"Kalau nggak tahu mau kuliah ke mana, masuk akademi aja, biar nggak bingung nanti kalau
kerja."

Aku baru sadar bahwa selama ini, aku hidup bukan atas dasar keinginan, tetapi karena sebuah
keharusan yang dipaksakan dari lingkunganku. Maksudku, untuk apa aku sekolah? Aku memang
bersekolah—ya—tetapi untuk apa? Aku hanya merasa harus. Masuk di pagi hari, memenuhi
seluruh buku tulisku kemudian pulang dan melakukan hal yang sama berulang-ulang. Aku
bersekolah bukan atas keinginanku pribadi. Tetapi aku tak menolaknya, kan?

Bukan berarti aku akan berhenti dari sekolah.

Kurasa, sahabatku itu ada benarnya. Aku bukan tipe seorang pengembara yang dapat menentukan
jalan hidupnya sendiri. Aku lebih senang terikat dengan sebuah keharusan, memaksaku tetap
bertahan hidup. Aku tahu akan kehidupanku selanjutnya. Tidak hidup.

Menjadi mesin yang terus bekerja atas dasar perintah kurasa tak terlalu buruk. Setidaknya, aku
tak memerlukan alasan lain untuk menyokong alasanku tetap bertahan di bumi ini.
Aku membalasnya.

"Mungkin memang seharusnya begitu?"

===

Seorang perawat bertanya mengenai keberadaan keluargaku, berharap seseorang dapat


menjengukku dan membawaku pulang. Aku tak memiliki seorang saudara—satu pun tak ada—
serta istriku telah meninggal. Jadi, aku tak memiliki pilihan lain selain memberikan kontak Wijaya
dan memberitahunya bahwa aku sedang berada di rumah sakit, telah melalui proses operasi
pengambilan sesongsong peluru sialan yang menancap di kakiku.

Dalam otakku, berbagai skenario telah muncul. Wijaya pasti bertanya-tanya akan apa yang telah
terjadi. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kebohongan apapun, dikubur sebaik apapun, pada
akhirnya akan bocor juga. Seseorang harus mengetahuinya, dan waktu bagi Wijaya untuk
mengetahuinya tampaknya sudah sampai pada batas yang ditentukan.

Selain itu, aku tak mungkin meminta Loka untuk ke sini. Tak ada kendaraan pribadi selain
motornya itu—padahal dia belum memiliki SIM. Dan aku pun tak ingin pulang dalam keadaan
seperti ini, menenteng kakiku yang terluka dengan angin yang berembus kencang melaluinya
selama tiga jam.

Menurut pengakuan pihak rumah sakit, tulang keringku sedikit retak. Tidak hancur, tetapi tetap
saja berada dalam kondisi yang tidak baik. Lukanya dalam, tetapi tak sempat melesat melubangin
bagian belakang kakiku. Pelurunya tertahan oleh tulang. Berita buruknya telah diberikan oleh sang
perawat, tulangku retak.

Aku mencoba untuk bersandar, memperhatikan kondisiku yang sedang tak begitu baik. Lilitan
kain memenuhi betisku. Bersih, berwarna putih sempurna. Selain itu, menurut pengakuan pihak
rumah sakit, para penghuni kost itu setuju untuk mengumpulkan sebagian hartanya, membantuku
dalam proses administrasi, termasuk menyumbangkan uang untuk biaya operasiku. Tentu tak serta
merta, tetapi melalui penjelasan sang satpam yang tampaknya cukup lihai untuk membuat cerita
sedemikian sehingga orang-orang itu turut membantuku.
Aku tertawa kecil. Masih ada ya orang baik di negara ini? Di saat seorang ayah membunuh
anaknya sendiri, orang-orang itu malah membantuku, padahal aku adalah orang asing bagi mereka.

Beberapa orang di antara mereka pun sempat menunggu operasi yang dilakukan padaku. Dua jika
ingatanku tak salah. Aku tak sempat menanyakan nama mereka, tetapi apapun yang mereka
lakukan itu, aku benar-benar berterima kasih. Lalu, segera setelah kuberikan kontak Wijaya pada
sang perawat yang menjengukku, seketika itu juga mereka pamit dan meninggalkanku sendirian.
Aku tak akan menolaknya—tentu. Seperti yang kukatakan, aku adalah orang asing bagi mereka,
sepatutnya aku bersyukur karena setidaknya orang-orang itu masih peduli, kan?

Mereka pun menceritakan banyak hal padaku. Sang pria yang tergeletak itu—Pak Cakra—
bersimbah darah dengan napas yang telah terhenti. Meninggal. Lehernya digorok dengan keji,
membuatnya mati dengan seketika. Sedangkan sang istri ditemukan masih bernapas dengan bekas
kejutan listrik di lehernya. Hanya dilumpuhkan menurut kesaksian mereka. Lalu, kini mereka
mengevakuasi perempuan itu, membiarkannya istirahat di tempat kost itu, tetapi perempuan itu
belum mau bicara apapun biarpun telah siuman.

Mereka hampir menyerahkan perempuan itu ke kantor polisi sebelum akhirnya aku menolak
rencana mereka.

"Jangan dulu," kataku. "Ada hal rumit yang harus kubereskan. Sialannya, laki-laki itu
menggangguku dan sekarang ia pergi."

Jadi, mereka hanya memberikan sebuah rekaman padaku. Melalui ponselnya, gambar berwarna
dengan kualitas buruk diberikan padaku. Sebuah rekaman CCTV yang memberikan ilustrasi
kejadian, tetapi hanya untuk gerbang depan. Mereka pun cukup terkejut karena tak adanya seorang
laki-laki bertopi yang berjalan melalui gerbang depan. Bahkan, dalam rekaman itu, aku hanya
menemukan Pak Cakra dan istrinya yang berjalan menuju samping kiri setelah bertanya-tanya
pada sang satpam. Mungkin menanyakan nomor kamar anaknya?

"Mungkin si pelaku melalui tembok belakang," terka lelaki itu, yang memiliki tubuh lebih tinggi
daripada yang lainnya. "Di sana tak ada kamera pengawas. Temboknya memang tinggi, tetapi tetap
bisa dipanjat."
Aku sendiri belum tahu gambaran pasti mengenai denah tempat kost itu. Yang kutahu, tempat itu
tak berbentuk rumah, lebih seperti sebuah asrama terbuka yang dapat dimasuki oleh siapapun,
tentu saja dengan seorang penjaga keamanan di depannya. Namun, seperti yang orang itu katakan,
bagian belakang mungkin tidak seaman bagian depan. Siapapun bisa masuk. Namun, aku yakin
bahwa orang yang menembakku itu bukanlah orang biasa. Maksudku ... hei, dia menembakku,
loh! Dia memiliki pistol! Bagaimana ia bisa mendapatkannya?

Sejenak, perhatianku sedikit teralihkan pada lelaki sialan itu. Padahal awalnya aku ingin
menangkap Pak Cakra. Oh, sialan!

Menurut pengakuan mereka pun, tubuh Pak Cakra telah termutilasi menjadi tiga bagian. Tangan
kanan dan kaki kanannya telah dipotong dengan rapi. Lalu, dengan adanya koper di samping mayat
Pak Cakra, mereka menduga bahwa lelaki itu tengah memutilasinya dan hendak memasukan
bagian-bagian tubuhnya ke dalam koper. Mereka berasumsi bahwa orang itu hanyalah orang gila
yang haus darah, membutuh atas dasar kebutuhan, bukan karena keinginan. Namun, kenapa harus
Pak Cakra? Maksudku, bahkan dia baru saja mendatangi tempat itu tiga puluh menit sebelum
kedatanganku—berdasarkan kamera pengawas—lalu kenapa orang itu langsung membunuhnya?
Sekebetulan itukah?

Pikiranku menjadi semakin semrawut ketika akhirnya Wijaya datang ke tempat ini, bertelanjang
kaki karena sebuah keharusan berdasarkan peraturan yang sengaja disimpan di depan pintu.

Namun, aku tak menyangka istrinya dan Riska pun turut datang.

"Pak Roy!" sapa Wijaya, sesegera mungkin sambil setengah berlari, membuatku terpaksa
mengeluarkan desisan seperti ilar, menyuruhnya untuk lebih tenang.

Ruangan ini bukan ruangan pribadi, melainkan ruangan untuk para pasien beristirahat setelah
operasi yang dilakukan. Jadi, aku tak ingin mengganggu orang lain. Bahkan, pembesuk yang
berada di hadapanku saja—yang sedari tadi membaca buku—tampaknya sedikit terganggu. Ia
segera melirik menuju sumber suara dengan wajah yang tidak terlihat senang.

"Anda baik-baik saja?" tanyanya lagi, dengan nada yang sedikit direndahkan, mengikuti aturanku.
"Kalau ditembak pada bagian kaki, meremukkan tulang keringku dan membuatku kesakitan itu
termasuk baik-baik saja, maka, ya, aku baik-baik saja."

Di samping itu, para wanita yang Wijaya bawa tak mengatakan apa-apa. Mereka hanya menatapku
penuh kecemasan, padahal aku bukan siapa-siapa bagi mereka. Ya, seperti yang kubilang, bukan?
Ternyata di negara ini masih ada orang lain yang terlalu peduli dengan orang asing.

"Apa yang terjadi?" tanya Wijaya, melanjutkan sembari memperhatikan lembaran kain yang
menghiasi kakiku. Kemudian, ia palingkan wajahnya, membuat kami beradu pandang hanya untuk
meyakinkan dirinya bahwa tak ada masalah yang terjadi padaku.

"Aku ditembak."

"Bukan, Pak. Maksud saya, kenapa Anda bisa ditembak? Siapa yang melakukannya?"

"Orang tak dikenal. Sialan. Aku tidak tahu siapa dia."

"Apa yang Anda lakukan di Jakarta, Pak?"

Aku melenguh kecil, menenggak ludah yang sedari tadi bergumul di dalam mulutku.

"Pekerjaan."

"Pekerjaan apa?"

"Kasus."

"Kasus apa?"

Aku menghela napas.

"Janu, Agoy, keluarga itu."

Wijaya terhenyak.
"Kenapa?" tanyanya, sedangkan istrinya dan Riska hanya dapat beradu pandang, tak mengerti akan
pembicaraan kami.

"Kurasa aku melakukan kesalahan. Janu tida melakukannya."

"Kenapa Anda tidak memberitahu saya, Pak?"

"Kau bisa ditembak juga kalau aku memberitahumu," balasku dengan nada yang tak serius.
Namun, Wijaya malah meninju pelan lenganku. Ia tahu, aku hanya bercanda.

"Tapi sungguh, Wijaya. Kurasa Janu tak melakukan itu."

Wijaya memperhatikanku dengan seksama. Namun, aku berusaha untuk tak membuatnya ragu—
sedikitpun.

"Pak Cakra dibunuh seseorang. Orang yang sama dengan yang menembakku."

"Dia pelakunya?"

"Aku tidak tahu."

Wijaya menatap tak percaya.

"Tapi istrinya masih hidup, ia sedang beristirahat di tempat yang sama."

Wijaya menarik tubuhnya, berdiri gengan tegap sementara aku masih kesakitan akibat tulang-
tulangku yang terasa nyeri. Sedikit ngilu, memengaruhi pergerakan kepalaku yang secara otomatis
tersentak ke belakang, menabrak tembok.

"Beritahu alamatnya pada saya,Pak. Saya akan ke sana."

"Aku juga akan ke sana."

"Sekarang? Memangnya Anda sudah bisa berjalan dengan sempurna, Pak?"


Aku tak melawannya. Memang benar adanya, bahkan tarikan napasku pun tidak sebagus
seharusnya. Jika aku ditembak untuk kedua kalinya, tak ada jaminan bahwa orang itu—orang yang
menembakku untuk pertama kalinya—tak akan meleset dan berhasil membunuhku.

"Riska dan istriku bisa menjaga Anda di sini, Pak. Percayakan saja pada saya."

Aku tak memiliki pilihan lain.


20. Issue #173

Ketika aku dilarikan ke rumah sakit ini, sebenarnya aku tidak benar-benar pingsan. Hiruk piruk
orang-orang masih bisa kudengar melalui telingaku walaupun sedikit terdistorsi. Aku hanya
berusaha meyakinkan sugestiku bahwa tidak akan ada yang terjadi. Semuanya akan berakhir baik-
baik saja—pasti. Jadi, aku memejamkan mata, membiarkan semuanya mengalir, dan di saat itu
pula aku tahu bahwa seseorang mengantarkanku ke tempat ini melalui kemacetan kota. Selain itu,
seseorang berusaha menutupi lukaku dan memaksa darahnya untuk tidak mengalir lebih jauh.

Aku yakin akan hal itu, sebab seseorang yang menungguku sebelumnya menunjukan hal yang
dapat memperkuat dugaanku. Tangannya tidak dicuci terlalu bersih. Noda merah masih menempel
pada beberapa bagian yang tak dapat terlihat dengan jelas oleh mata, tetapi aku tahu.

Wijaya segera pergi begitu kuberikan ponselku, menunjukan alamat tempat Agoy tinggal semasa
kerja. Sedangkan kini, suasana canggung mulai menghantuiku. Aku bertiga bersama istrinya dan
Riska. Jadi, apa yang harus kulakukan? Mungkin, pada beberapa waktu, aku dapat membuka
pembicaraan dengan tepat, mengalirkan suasana dengan candaan kering yang bahkan tak lucu
sama sekali. Namun, tidak untuk saat ini.

Istri Wijaya pun tampaknya bukan termasuk orang yang gemar berbicara. Sewajarnya—atau
umumnya—seorang wanita akan membahas seluruh pemandangan yang ada di depannya dengan
habis-habisan. Namun, bahkan semenjak kedatangannya, perempuan itu belum mengatakan
sepatah katapun juga. Padahal sebelumnya kami pernah bertemu.

"Wijaya yang meminta kalian kemari?" Akhirnya secara terpaksa kubuka pembicaraan dengan
napas yang masih tak beraturan. Beberapa kali kubenarkan posisi sandaranku, membuat tubuhku
rileks selama mungkin. Namun, bahuku terasa berdenyut seirama dengan pelipisku yang sedari
tadi berkutat pada pekerjaannya. Urat-uratku tampaknya mulai timbul.

"Riska yang meminta." Akhirnya perempuan itu berkata. "Ketika dia mendapat panggilan, Riska
langsung meminta untuk ikut ketika tahu bahwa Anda, Pak—"
"Roy," selaku. Sebenarnya, aku sedikit kecewa karena perempuan itu tak mengingat namaku sama
sekali. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Bisa jadi memang dia tak memiliki ingatan jangka panjang
yang cukup bagus, kan? Aku sendiri pernah mengetahui seseorang yang benar-benar tak dapat
mengingat namaku, padahal selama tiga tahun kami selalu berada di kelas yang sama. Tentu saja
karena aku tak terlalu sering bergaul dengan banyak orang, tapi jika benar-benar tak tahu namaku
sama sekali? Artinya sesuatu yang salah menimpa dirinya, kan?

Istri Wijaya tampak merasa bersalah. Ia mengeluarkan senyumnya, sedikit cekikikan. Kemudian
membalas, "Maaf."

"Kalian suami istri sama saja, ya? Selalu meminta maaf."

Akhirnya, kami berdua malah terkekeh bersama. Setidaknya, berita baiknya adalah semua berjalan
sebagaimana mestinya. Tidak ada rasa canggung lagi dalam ruangan ini.

"Aku merasa tersanjung karena kalian mau datang menemuiku, padahal aku bukanlah siapa-siapa
bagi kalian."

Namun, sesegera mungkin Riska menggeleng. Dia tak mengatakan apa-apa, tetapi aku mengerti
akan maksudnya. Apakah hal itu menjadi alasan utama baginya untuk menjengukku?

Namun, aku sendiri tak ingin menyinggung hal yang sama. Sekeras mungkin, aku berusaha untuk
tidak mengatakan apa-apa mengenai orang tuanya maupun kata-kata yang dapat menyerempetnya,
kembali pada kenangan masa lalu yang pasti tak ingin diingatnya, walaupun ia tak dapat
melupakannya. Jadi, aku berusaha mencari topik lain. Walaupun secara gamblang otakku kembali
memberikan gambaran yang sama, aku tetap berusaha untuk mencari celah yang ada.

"Kau suka Fisika?"

Baiklah, benar-benar pertanyaan yang acak. Kenapa aku harus menanyakan hal seperti itu?

Namun, sebagai gantinya, Riska malah mengangguk. Oh, sialan,. Artinya pembicaraan ini harus
berlanjut, aku tak dapat membuatnya terlihat seperti topik sialan yang hanya digunakan untuk
mengisi waktu.
"Sekali-kali kau harus bertemu Loka. Dia benar-benar payah dalam mata pelajaran itu. Nilainya
pun paling kecil ketika pembagian rapor dilaksanakan."

Ya ampun, benar-benar mulus. Aku bangga pada diriku.

"Ah, kalau kalian ingat, Loka pernah bertemu dengan kalian. Dia anakku," lanjutku sebelum
semuanya kembali canggung. "Aku sungguh-sungguh. Mungkin kalian harus bertemu
dengannya."

"Saya tahu, Pak Roy," istri Wijaya menyela. "Suami saya sering membicarakan Anda. Hanya saja,
maaf, saya tidak terlalu baik dalam mengingat nama. Tetapi saya ingat apa yang dikatakannya itu."

Aku hanya bertanya-tanya. Bagaimana mungkin dia bisa mengingat pembicaraan yang
dilakukannya jika untuk nama yang sederhana saja ia tak dapat mengingatnya? Aku tidak
menyalahkannya—tentu saja. Aku hanya penasaran, apakah hal seperti itu bisa terjadi?

"Juga bagaimana Anda dan suami saya bekerja. Bagaimana kalian bertemu dengan Riska. Saya
mengerti."

"Kurasa Wijaya terlalu berlebihan dalam membicarakanku."

Namun, istri Wijaya menyanggah. "Tidak. Suamiku pernah berkata, Anda ditambah dirinya adalah
yang terbaik. Dia menghormatimu dan menurut ceritanya, Anda tak pernah merasa lebih baik dari
dirinya. Saya rasa cukup menunjukan bahwa dia memang tak berlebihan."

Aku tertawa dalam hati. Aku dan Wijaya adalah yang terbaik. Oh, ya ampun, Wijaya bisa berkata
seperti itu juga rupanya?

Akhirnya, sang istri itu pun mengenalkan diri walaupun sebenarnya aku telah mengetahui
namanya. Lilia, atau lebih singkatnya dapat kupanggil Lili, atau mungkin lebih umum kupanggil
dengan sebutan istri Wijaya. Ijaw? Aku tertawa terbahak-bahak, tentu saja tak keluar dari mulutku,
hanya dalam hati. Tapi tetap saja, panggilan yang buruk itu mengocok perutku. Aku harus
memikirkan hal yang lain hingga hatiku dapat berhenti tertawa.
Kurasa memanggilnya istri Wijaya sudah cukup baik. Seiring berjalannya waktu, mungkin aku
akan mulai memanggilnya Lili.

"Bagaimana kalian bisa bertemu? Maksudku ... bertemu hingga memutuskan untuk menikah.
Wijaya selalu mengelak untuk menceritakannya karena katanya sedikit memalukan." Aku
menghela napas. "Aku bersumpah jika kau menceritakannya, aku tak akan mengatakan apa-apa
pada Wijaya. Mulutku akan terkunci."

Bahkan, Riska pun tampaknya tertarik dengan obrolan itu. Ia segera memalingkan wajahnya,
menunggu ibu ... oh aku lupa, seharusnya mereka menjadi sepupu. Aku harus meralat ucapanku
tadi. Menunggu sepupunya untuk berbicara.

"Instagram."

"Instagram?"

"Kami mulai dekat di instagram."

Kupicingkan kedua mataku. Aku tak memainkan banyak media sosial, dan aku pun sedikit terkejut
akan pengakuan Lili. Maksudku, bagaimana mungkin?

"Bagaimana mungkin?"

Lili mendekap kedua lengannya sambil tetap berdiri, berbeda dengan Riska yang sudah tak tahan
untuk menyangga tubuhnya, duduk di atas kasur di mana aku terbaring. Lagipula, tak ada larangan
untuk melakukannya, Riska tak melakukan kesalahan.

"Hanya komentar singkat," ucapnya sembari sedikit tertawa. "Saya rasa Wijaya benar. Sedikit
memalukan."

Aku tak berkomentar apa-apa. Aku berusaha memikirkan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Memalukan bagaimana? Kemudian, perempuan itu malah cekikikan. Sungguh, membuat rasa
penasaranku semakin meningga saja. Riska pun mengalami hal yang sama. Gadis itu tak peduli,
bahkan beberapa kali ia memaksa ibu—sepupunya—untuk meneruskan jawabannya itu.
Oh ya ampun, aku selalu melihat Riska sebagai anak angkat Wijaya sebagaimana Loka merupakan
anak angkatku. Aku selalu lupa bahwa secara sah, Riska adalah sepupunya.

"Mungkin lebih baik saya berikan langsung saja screenshot-nya," lanjut perempuan itu sembari
merogoh sakunya, mencari ponsel berwarna putih yang kini dimainkannya. Kemudian, ia
memberikannya padaku dengan lampu latar yang masih menyala.

Sengaja kumiringkan ponsel ini, membiarkan Riska untuk melihatnya bersamaku. Riska beranjak
dari kasur, berdiri di sampingku setengah membungkuk, ia melihat sebuah foto yang ada pada
ponsel ini, sama sepertiku. Potongan singkat mengenai apa yang terjadi di antara mereka.

Aku melihat foto Lili. Sungguh, biasa saja, seperti kebanyakan foto para perempuan di masa kini.
Potret diri yang berfokus pada wajahnya. Cantik—memang—tetapi hampir semua wanita
melakukannya. Tak begitu menarik perhatianku sampai aku membaca komentar yang ada pada
foto ini.

Kalau kamu tinggal di Bandung, single, terus masih di bawah 25 tahun, kayaknya kita harus
ketemuan, deh.

Kalau gitu harusnya kita ketemuan sekarang.

Hah, beneran?

Tiga komentar singkat yang benar-benar menggelikan. Aku dan Riska saling beradu pandang,
menatap tak percaya. Bahkan, Riska menganga, seolah membiarkan seekor lalat melintas
melaluinya. Sedangkan aku ... aku tidak tahu akan apa yang sedang kupikirkan. Gila, hal ini benar-
benar terjadi?

"Sesingkat itu?" tanyaku, memastikan, seraya mengembalikan ponsel itu padanya.

Istri Wijaya kembali cekikikan. Ia menutup mulutnya dengan lengan kanannya, tetapi tetap
sesenggukan karena tawanya.

"Iya. Sudah saya bilang memalukan, kan?"


"Itu tidak memalukan, lebih seperti—" aku berusaha mencari kata yang tepat. "Menggelikan."

Kututup mulutku dengan kedua lenganku, berusaha terlihat seolah ingin muntah, memberikan
suara palsu yang tak nyaman untuk didengar. Tentu, berpura-pura muntah, tetapi tampaknya hal
itu tak menyinggung Lili sama sekali. Sebaliknya dia tampaknya menyukai lawakanku yang tak
begitu pantas disebut sebagai lawak. Namun, perempuan itu tertawa lebih keras, membiarkan para
pembesuk yang lain memperhatikan kami.

Mungkin, dari sekian banyak orang yang ada di sini, hanya kami orang gila yang dapat tertawa.
Maksudku, ya ampun, tak terdengar suara orang lain yang tertawa terbahak-bahak, kan? Mereka
semua bersedih, dan di sini—kami—malah menertawakan cerita konyol yang menggelikan. Lebih
buruk lagi, aku adalah orang yang habis melakukan operasi, loh! Kenapa malah diriku ini yang
mendukung suasana canda yang pekat?

Kurasa tak hanya Wijaya, melainkan semua orang dapat menjadi gila jika berada di sampingku.

Perawat yang sebelumnya menemuiku, kini kembali mendatangi bilik ini, bertanya-tanya akan apa
yang tengah terjadi, tetapi aku meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja. Tentu, akhirnya
perempuan itu menyuruh kami untuk mengecilkan volume suara. Maksudku, siapapun pasti benci
untuk diganggu, kan? Apalagi sedang berada dalam suasana sedih, terlarut ke dalam air mata dan
tak dapat kembali berenang melawannya.

Atau karena aku yang terlalu tolol dengan menganggap bahwa hal ini biasa saja?

Ketika aku pulang nanti, aku yakin Loka akan bertanya-tanya, sama seperti yang Wijaya lakukan
sebelumnya. Pertama, dia akan bertanya mengenai apa yang terjadi pada kakiku, dilanjutkan
dengan siapa dan mengapa. Aku sendiri sudah mempersiapkan jawabannya dengan baik. Tak ada
gunanya menutup-nutupi.

Akhirnya, selang beberapa saat, Wijaya kembali dengan utuh tanpa adanya pendarahan di dalam
tubuhnya, tak tertembak sepertiku yang tolol. Ia memberitahu bahwa Istri Pak Cakra telah
dibawanya—dalam keadaan terguncang, tentu saja. Perempuan itu tidak mengatakan apapun, baik
ketika Wijaya bertanya langsung padanya di tempat itu maupun ketika dalam perjalanan, dan aku
mengerti akan keadaannya.

Perempuan itu baru kehilangan anaknya, suaminya, serta seorang anak lainnya yang berada di
jeruji besi. Masih baik dia tak berpikir untuk bunuh diri, bagaimana jika dia memikirkannya hingga
sejauh itu?

Jadi, sang lelaki misterius yang menembakku itu pun tak dapat kulacak. Kamera pengawas tempat
kost itu hanya berada di gerbang depan dan beberapa lorong terbuka. Namun, tak pernah kutemui
seorang lelaki yang berjalan melintasi kamera. Ia menunggu mereka di kamar itu, menunggunya
secara pasti. Pasangan suami istri itu memasuki kamar tanpa merasakan adanya bahaya sama
sekali.

Menurut pengakuan Wijaya pun, jendela kamar itu dicongkel, bagian kuncinya rusak sehingga
orang-orang dapat masuk dengan mudah melalui jendela. Jika kuingat, pagar bagian belakang
memiliki tinggi hingga empat atau lima meter—menurut pengakuan mereka. Tidak terlalu tinggi
untuk seseorang yang dapat memanjat, mencongkel kunci jendela sambil bergelantungan, dan
berhasil menyusup ke dalam ruangan itu serta membunuh seseorang di antaranya. Membuatku
berpikir, jika ada seseorang dengan kemampuan luar biasa seperti itu, kenapa ia tak
melumpuhkan keduanya sekaligus saja?

Tidak hanya itu, Wijaya memberikan pengakuan yang lebih menarik. Ia menggeledah kamar
korban—maksudku Agoy—secara teliti, mendapati sebuah komputer yang tak dikunci,
membuatnya dapat menelisik lebih dalam, tetapi Wijaya tak ingin memberitahunya lebih lanjut.
Terlalu lama, katanya. Dan ia tak ingin meninggalkan Ibu Elis—istri dari Pak Cakra—itu
sendirian.

"Dia dalam keadaan terguncang, saya tak ingin dia melakukan hal yang tidak-tidak."

Aku tahu, maksud Wijaya adalah bunuh diri. Apalagi yang lebih buruk dari hal itu? Menurut
pengamatanku, perempuan itu telah kehilangan semuanya, walaupun mungkin ia masih beruntung
jika memiliki saudara atau orang tua yang masih hidup.
"Kita bicarakan dalam perjalanan," saranku, tetapi Wijaya mengelak. Ia menggeleng.

"Tidak, Pak," balasnya. "Saya tak ingin melakukannya di depan Ibu itu."

"Kita tak harus melakukannya di depan Ibu itu. Maksudku—"

"Anda membawa kendaraan, kan, Pak?" Wijaya kembali menyelaku. Suaranya terdengar sangat
yakin, bahkan seolah probabilitas kebenaran akan pemikirannya itu melebihi seratus persen.
Namun, kenyataannya memang seperti itu, kan?

"Saya melihatnya ketika mengunjungi tempat kost itu. Mobil Anda masih terparkir."

"Kalau begitu kita mengendarai mobil yang berbeda saja. Istrimu bisa mengendarai mobil, kan?"
Kulambungkan tatapanku pada Lili. Ia setengah terkejut, tetapi tidak mengelak. Tentu saja. Kakiku
sedang terluka, bagaimana mungkin aku dapat mengendarai mobil manual dengan sebelah kaki?
Untuk gigi otomatis, mungkin aku masih menyanggupi, tetapi tidak dengan mobilku.

"Saya tak ingin membiarkan istri saya ataupun Riska bersamanya, Pak, maaf."

Ya, aku tak dapat menyangkalnya. Memang mengerikan seandainya tiba-tiba saja dalam
perjalanan perempuan itu mencoba untuk bunuh diri. Setidaknya, aku dan Wijaya lebih
berpengalaman untuk menangani kasus seperti itu.

"Anda dan saya akan mengendarai mobil saya, bersama Ibu itu." Wijaya memalingkan
pandangannya, menatap istrinya. "Kamu sama Riska ya, say."

Dalam hati aku menjerit. Sungguh. Demi apapun, Wijaya! Aku tak pernah mendengarnya berkata
seperti itu. Aku tertawa, mengolok-oloknya, sekaligus muntah dalam saat yang bersamaan. Tentu
tak digambarkan secara fisik, tetapi otakku seolah memproses hal yang sama. Menggelikan!

Namun, aku tak dapat menahan semuanya. Tawaku mulai meledak untuk sekali lagi. Aku berusaha
menutupinya, tetapi aliran getaran itu terus memenuhi kerongkonganku, memaksanya keluar.

"Maaf, maaf, Wijaya!" kataku, di sela-sela tawaku yang benar-benar menggema. "Aku tak terbiasa
mendengarmu berkata seperti itu."
Wijaya sedikit tersipu. Pipinya memerah dan ia mulai memainkan bola matanya.

"Terserah apa katamu. Lagipula, tampaknya memang lebih baik aku berkendara bersamamu. Aku
dan kau, sama dengan yang terbaik."

Wijaya tersentak, matanya melotot dan menatapku tak percaya. Secara bergantian, ia
memandangiku dan istrinya, berkali-kali, dengan pipi yang semakin memerah. Aku yakin, hatinya
sudah menggerutu, bahkan mungkin lebih parah lagi, setengah merajuk dan menyesal akan seluruh
ucapan yang pernah dikatakannya. Namun, ia berusaha menghindarinya. Ia pergi setelah berkata,
"Aku akan memanggil perawat dan meminta kursi roda." Bahkan tanpa sedikitpun melirik ke arah
kami—aku, istrinya dan Riska. Sedangkan kami bertiga hanya bisa menertawakannya.

Wijaya telah tak tampak, mungkin ia sudah keluar ruangan dan meminta kursi roda seperti yang
dikatakannya. Sedangkan di sini, kami masih tertawa. Mulai mereda, tetapi tetap saja ada di antara
kami yang melanjutkan tawa, membiarkan para pembesuk yang lain—sekali lagi—menatap marah
pada kami.

"Tenang, aku tak akan membocorkan mengenai pertemuan kalian yang menggelikan itu. Kalau
tidak, mungkin Wijaya tidak ingin menemuiku lagi selamanya," kataku dengan cekikikan.

Tampaknya, lukaku ini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan candaan tadi yang lebih terasa.
21. Ending

Semuanya terasa antiklimaks. Sungguh. Pak Cakra telah tiada, dan tak ada seorang pun yang dapat
menginterogasinya kecuali segelintir orang yang mengaku bisa berbicara dengan arwah. Janu pun
hampir tak dibebaskan seandainya kesaksian ibunya tak dapat menguatkannya. Namun, satu hal
yang belum kubereskan. Siapa orang itu? Siapa yang menembak kakiku itu?

Kesaksian sang ibu hampir sama seperti Janu. Setidaknya, dengan beberapa tambahan akan
pengakuan suaminya—sebelum ia meninggal—mengenai seluruh pembunuhan itu. Bagaimana
sang suami meyakinkan dirinya juga Janu bahwa pelakunya tak lain adalah Janu. Walaupun pada
kenyataannya tentu tak seperti itu.

Beberapa temuan yang Wijaya dapatkan dari tempat tinggal sang korban pun—Agoy, maksudku—
mampu menguatkan motif yang dilakukan oleh Pak Cakra. Sejumlah utang, pengeluaran yang
sangat besar dan tak mampu menutupi kebutuhan sehari-harinya, membuat Wijaya yakin bahwa
motif utama yang terjadi atas pembunuhan itu adalah uang.

Agoy tidak sebaik apa yang orang tuanya pikirkan.

Di saat kesulitan, ia mencoba meminta bantuan orang tuanya, meminjam sejumlah uang. Namun,
tentu itu semua hanya dugaanku. Tetapi, bukan tanpa dasar yang jelas. Pada beberapa dokumen,
Wijaya menemukan sejumlah catatan mengenai pengeluaran biaya, utamanya pada judi,
permainan saham yang semakin memburuk, tak lepas juga sejumlah peminjaman uang pada
beberapa rentenir. Agoy semakin pailit, setidaknya itulah yang terjadi pada dirinya.

Sang istri sendiri tidak mengetahui seluruh kejadian itu hingga akhirnya Pak Cakra terpaksa secara
terang-terangan membuka semuanya, memaksanya pergi untuk kedua kalinya, menghindari para
debt collector yang kapan saja bisa mengunjungi rumahnya. Tentu, sebuah pernyataan yang sangat
mencengangkan, membuat perempuan itu tak dapat berkata apa-apa selain merasakan ketakutan
yang mulai menjalar melalui pori-pori tubuhnya.

Aku tidak tahu bagaimana cara mereka akan membayarnya. Aku ingin membantu, tetapi sialannya
jumlah uangnya tak sedikit, hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, pengabdianku hingga seratus
tahun saja tampaknya tak akan cukup—tentu dengan memperhitungkan biaya makan dan sehari-
hari.

Demi apapun, aku merasa sangat tolol. Aku menggiring opini orang-orang ke arah yang salah. Dan
sialannya, aku pun secara tak langsung tergiring atas pernyataan orang-orang yang tak kucek untuk
kedua kalinya.

Aku ingat, ketika Pak Alvin mengatakan bahwa Agoy adalah orang yang baik, selalu menelepon
keluarganya, hampir setiap hari. Betapa bodohnya aku untuk tak memeriksanya ulang. Maksudku,
bagaimana mungkin Pak Alvin bisa tahu detail pembicaraan yang mereka lakukan? Dia
mengatakan itu hanya berdasarkan asumsi, bagaimana kebanyakan orang akan menelepon
keluarganya, menunjukan rasa kangen, dan ternyata itu tak terjadi pada Agoy. Dia melakukan hal
yang sebaliknya. Dia memang menelepon keluarganya hampir setiap hari—mungkin hanya
ayahnya saja—tetapi untuk hal yang lain.

Aku benar-benar merasa tolol ketika mendengar pernyataan mereka, betapa berandalnya Janu,
betapa brengseknya anak itu hingga mampu melukai orang-orang yang berada di sekitarnya,
membunuhnya secara tak langsung. Maksudku, ya ampun! Bahkan pengembala domba yang
sering berbohong pun pada akhirnya berkata jujur, kan? Bagaimana ia menangis kehilangan
domba-dombanya karena tak ada seorang pun yang memercayainya, dan aku merasa menjadi salah
satunya.

Ketika Ibu Dewi mengatakan bahwa Janu sering mabuk-mabukan, betapa cepatnya aku
menyimpulkan kasus itu tanpa menyelidikinya lebih dalam lagi. Bagaimana aku merasa begitu
sempurna, tidak merasakan sebuah kesalahan, dan bagaimana pada kenyataannya ternyata aku
salah besar.

Stereotype memang buruk. Tetapi, demi apapun, kenapa hal itu selalu saja terjadi?

Aku mulai berpikir, apakah seharusnya selama ini aku tidak hanya memikirkan kemungkinan
kejadian yang terjadi pada sebuah kasus? Bagaimana dengan kemungkinan yang tak mungkin
terjadi? Bagaimana jika seharusnya aku memberikan gambaran yang lebih jelas, mematahkan
argumenku sendiri hanya untuk memastikan semuanya benar?
Uh, sialan. Otakku kembali berdenyut.

Aku tengah menunggu Wijaya, menantikan ketikan laporannya yang semoga saja kali ini benar-
benar berakhir. Aku tak ingin membuang-buang kertas lagi, dan kurasa Komisaris Yudha pun
menginginkan hal yang sama.

Ah, ya, berkaitan dengan dirinya. Sekali lagi, aku dimarahi habis-habisan. Bahkan, tampaknya ia
tak peduli akan lukaku. Daripada bersimpati, dia malah memilih untuk memarahiku, membentak
kebodohanku sehingga diriku terluka, padahal jalan selayaknya manusia normal pun aku belum
bisa. Masih nyeri, tetapi Komisaris Yudha tak peduli. Namun, tetap aku tak dapat melawannya.
Memang benar seperti itu, kan?

Walaupun pada awalnya aku ingin menyembunyikan rahasia mengenai lelaki itu—lelaki misterius
yang membuat kakiku terluka, aku tak berhasil. Tentu, sialan, bagaimana mungkin aku dapat
berbohong mengenainya? Menyalahkan Pak Cakra yang sudah wafat untuk menyembunyikan
kebenaran? Cerita macam apa yang dapat kukatakan? Seorang mayat menembak polisi? Tentu tak
akan lucu.

Jadi, sekali lagi aku dimarahi karena membiarkan sang penembak itu kabur. Tampaknya seluruh
pilihanku akan salah di depan Komisaris Yudha.

Aku sendiri, tentu belum menyerah dengannya. Sebisa mungkin, kukumpulkan segala informasi
yang ada, termasuk berdasarkan kesaksian orang-orang yang tinggal di tempat kost itu.

Menurut mereka, tak pernah ada orang asing aneh yang gemar memakai topi berkeliaran di
lingkungan itu. Ketika mereka mengatakan lingkungan, bukan hanya lingkungan dalam, tetapi pun
lingkungan di luar tempat kost. Jalanan umum yang bisa dilalui siapa saja, termasuk lapangan luas
yang terletak di belakang tempat kost. Membuatku bertanya-tanya, apakah orang itu telah
menargetkan Pak Cakra sebagai korbannya? Tapi kenapa?

Akhirnya, Wijaya mengetuk pintu, membiarkanku untuk mempersilakannya masuk. Lalu, lelaki
itu menenteng sebuah map besar yang kuduga berisi laporan kasus.
Wijaya meletakannya di atas meja. Namun, alih-alih membicarakan mengenai kasus itu, Wijaya
sama denganku, lebih tertarik untuk membicarakan pria misterius yang membuat tidurku tak
nyaman akhir-akhir ini.

"Pak, saya rasa saya tahu bagaimana orang itu membunuh Pak Cakra," beritahu Wijaya padaku,
membuatku bertanya-tanya.

Namun, dengan segera Wijaya mengeluarkan selembar foto yang juga disimpannya di dalam map.
Terpisah, tentu saja, yang artinya dia tak akan berniat memasukannya kembali ke dalam map,
karena sejatinya map itu digunakan untuk diisi oleh laporan singkat mengenai kasus Agoy dan
keluarganya.

Foto itu dicetak dalam selembar kertas berukuran A4. Dengan kualitas bagus, aku dapat
memperhatikan foto itu dengan seksama. Dan, ya, aku sedikit terkejut. Tidak, lebih dari sedikit
terkejut.

Foto itu diambil oleh seorang wartawan—kurasa. Persidangan yang sengaja membuat Janu duduk
di tengah-tengah ruangan. Aku tidak begitu yakin persidangan yang mana, tetapi tampaknya
sidang pertama, ketika Janu langsung dijatuhi hukuman bersalah karena ketololanku itu.

Namun, tentu Janu bukan objek utamanya di sini. Bahkan, objek utamanya benar-benar terpencil,
hampir tak terlihat hingga kupicingkan mataku, mencoba melihatnya lebih teliti.

Lelaki bertopi itu ada di dalam ruangan. Memang, sidang itu adalah sidang terbuka. Namun,
apakah artinya dari selama itu ternyata sang pria telah menargetkan korbannya? Lalu, kenapa ia
membunuh Pak Cakra di tempat kost anaknya? Kenapa tidak langsung saja di tempat ini atau di
rumah Pak Cakra seandainya dia memang telah membuntutinya dari sejauh ini? Apa yang
dipikirkannya?

===

Beberapa bulan telah berlalu. Pengejaranku akan pria misterius itu belum berakhir, tetapi tak
kutemukan titik terang sedikitpun. Aku tak pernah menemukan kembali jejaknya, yang bahkan
sekarang pun aku mulai ragu apakah lelaki itu sudah mengganti penampilannya atau tidak. Namun,
yang pasti, aku tak pernah mendengar berita mengenai seorang lelaki bertopi yang berlalu lalang
di dalam kota—kota apapun itu—dengan niat buruk.

Aku hampir putus asa.

Wijaya pun turut membantu—tentu saja—tetapi tetap seluruh perjuangan kami seolah-olah terasa
percuma. Tak pernah ada berita tambahan dalam bentuk apapun, semuanya kosong bagai diterpa
angin. Bahkan, tampaknya orang-orang telah melupakan lukaku yang telah membaik.

Perban pada kakiku telah dilepaskan, memberikan luka tembak yang tidak begitu cantik. Bahkan,
rambut-rambut kakiku terlihat rontok di antara bekas peluru. Guritan-guritan halus kulitku seolah
memberikan tato permanen tanpa tinta. Untungnya, karena aku lebih sering menggunakan celana
panjang, luka ini hampir tak pernah terlihat oleh siapapun kecuali diriku di saat-saat tertentu—
tidur, mandi, olahraga.

Ya, aku mulai berolahraga sekarang. Sungguh, sebuah motivasi yang dibangun cukup lama hingga
akhirnya aku memutuskan untuk melakukannya. Semakin ke sini, tampaknya aku semakin
membutuhkannya. Walaupun pada akhirnya aku dapat ngos-ngosan dalam beberapa menit.
Memalukan, tetapi mau bagaimana lagi?

Loka sudah duduk di bangku SMA kelas tiga—atau dua belas. Namun, pilihan akan kuliahnya
masih sama sepertiku dulu—tidak tahu. Namun, aku tak memaksanya untuk masuk ke Akpol. Aku
hanya menunggunya untuk memutuskan sendiri. Namun, jika saatnya telah tiba, siapa yang tahu,
kan? Mungkin secara tiba-tiba ia akan mengembangkan operating system komputernya sendiri dan
menjadi seorang milyarder.

Sekarang, semuanya kembali berjalan dengan normal. Tak kutemukan kembali berita-berita
mengenai seorang adik membunuh kakaknya sendiri atau sang ayah yang telah meninggal
ternyata pembunuh anaknya.

Beberapa bulan setelah kasus itu, Janu beserta ibunya pindah, mencari tempat tinggal lain. Aku
sendiri tak yakin bagaimana mereka dapat membayar semua utang Agoy, tetapi tampaknya Pak
Cakra memiliki asuransi jiwa. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka dapat berpindah-pindah
dengan tenang? Jika mereka ingin menghilangkan ingatan mengenai tempat tinggal mereka
sebelumnya, mereka harus benar-benar menghapus memori itu, kan?

Di pagi hari ini, di hari bebas tugas, aku tengah duduk santai melihat sebuah taman yang terpapar
di hadapanku. Betapa asri dan menenangkannya. Burung-burung mencuit di antaraku. Kasus itu
sudah selesai, semuanya berakhir tanpa adanya keraguan kembali dari diriku. Aku cukup senang
dengan kesimpulan yang ada. Setidaknya, Janu tak berusaha melukaiku kembali.

Kusisir pemandangan sekitar, melihat orang-orang berwajah tanpa dosa yang berjalan melaluiku.
Betapa beruntungnya hidup mereka, tampak tak memiliki masalah. Ketika seseorang mengalami
stereotip yang buruk, berjuang melawan omongan orang-orang di sekitar karena telah terlanjur
mengambil jalan yang salah, orang-orang ini masih dapat berjalan dengan bebas, tak mengetahui
masalah yang ada.

Seorang lelaki yang berjalan santai di balik jaketnya, seorang wanita yang sengaja membawa
anjingnya untuk berjalan-jalan di pagi hari, serta seorang pria bertopi yang tampaknya tengah
memperhatikanku.

Tunggu dulu.

Oh, sialan! Lelaki bertopi itu mengawasiku.

Aku beranjak dari tempat dudukku, sesegera mungkin. Mengempaskan tubuhku keluar dari zona
nyaman, berlari menuruni anak tangga dan mengambil sisi kanan, berusaha menarik kerah lengan
lelaki itu. Namun, sialannya, sesegera mungkin aku berada di sana, lelaki itu telah tiada.

Taman ini memiliki pohon-pohon yang tinggi menjulang. Ia bisa kabur ketika perhatianku
teralihkan pada anak tangga, ketika aku tak ingin terjatuh. Namun, bukan berarti orang itu dapat
menghilang dengan segera, bukan?

Aku mencari, terus mencari hingga napasku terasa sangat tipis—tercekik. Seluruh penjuru taman
ini, aku terus mencarinya, bahkan hingga ke dalam bilik-bilik toilet yang biasanya selalu kuhindari.
Tak ada siapapun. Kosong.
Apakah pria itu benar-benar ada? Apakah aku hanya berdelusi?

Aku tidak tahu. Karena setiap aku selangkah di belakangnya, dia menghilang begitu saja, bagaikan
angin yang berembus menunjukan jalan. Hilang.

Anda mungkin juga menyukai