Anda di halaman 1dari 9

LA LLORONA

Derum kenderaan melaju kencang sembari disusul rentetan tembakan. Orang-orang


berhamburan sekitar, beberapa polisi telah membarikade, termasuk aku seorang aparat dengan
kertas tilang di genggaman. Memakai tembok sebagai perlindungan seadanya, revolver-ku
mencoba membidik bagian ban. Orang-orang gila di dalam mobil semakin melaju, kenderaan
bersenjatakan gutling gun tersebut kini mulai membidik ke arahku dan polisi lain.
“Dasar pecandu opium!” hardikku.
Dengan sigap aku menghindar, menuju tembok lain sebelum tembok yang kugunakan
sebelumnya binasa oleh serbuan peluru. Ini sudah menjadi yang ketiga dari serangan kartel
Bonifacio minggu ini, penangkapan pemimpin besar mereka sudah cukup gemparkan Eropa dan
kini salah satu bos kartel Meksiko itu telah berhasil di pindahkan ke penjara Amerika. Dapat
dikatakan aku dan seluruh masyarakat Meksiko sekarang adalah tawanan mereka, menuntut
pembebasan lewat kematian satu per satu dari kami.
Kembali korban berjatuhan dari kubu aparat—beberapa rekan tumbang sia-sia. Aku
memperhatikan keadaan, tentu mati di sini bukan akhir bahagia. Kalau ada kesempatan maka
inilah saatnya, pasukan kartel tersebut sedang berhenti melancarkan serangan. Untuk ukuran
senjataku, mengenai tangki atau ban mobil harus berjarak dekat. Aku mengendap-endap melalui
puing-puing bangunan, memanfaatkan asap kucoba untuk memperkecil jarak. Sesaat mobil
mereka melintas, sontak aku menarik pelatuk, proyektil peluru tepat mengenai tangki bensin.
Kebocoran itu membuat api tersulut melahap mobil dalam kobaran.
Kondisi berbalik, satu per satu para penyerbu berhasil diringkus oleh aparat. Aku
menghela nafas lega, kuperhatikan massa mulai berkerumun seraya mencemooh para kartel.
Seorang rekan menghampiriku, memberi pujian atas keberanianku tadi. Aku tertawa, itu lebih
mirip kenekatan kurasa.
“Semua tetap karena keberanianmu, Sersan Hugo. Ini menjadi serangan ketiga kartel
Bonifacio dan ketiga kalinya kau berhasil menggagalkan mereka membuat kekacauan lebih
parah.”
~~~
Kelap-kelip rona kamera harus kuhadapi setelahnya, jepretan demi jepretan wajahku
diabadikan selama pers berlangsung. Usai jumpa awak media, seorang rekan—tepatnya senior di
kepolisian—berkata bahwa aku dipanggil oleh Komisaris Hector. Hatiku girang, apakah kini
kinerjaku akan diapresiasi? Kenaikan gaji? Pangkat? Aku tak sabar menanti.
Tok … tok … tok ….
Pintu kubuka, komisaris tampak telah menungguku. Ruangan berhiaskan pita-pita
penghargaan komisaris terpampang gagah di belakang kursinya, sederet piagam seperti lomba
menembak antar kesatuan kepolisan Eropa sampai penghargaan atas penangkapan gembong
narkotika tersusun berderet di etalase kaca.
“Sersan Hugo datang menghadap, Pak!”
“Duduklah,” pinta Komisaris Hector.
“Berkat saudara serangan kartel Bonifacio berhasil dihalau agar tak memasuki ibu kota.
Selaku komisaris saya harus berterimakasih. Jujur saja, kita sedang dalam keadaan berat.
Kehadiran saudara akan menjadi penyelamat, sekaligus malapetaka kota ini. Paham, Sersan?”
“Mereka akan memburuku, Pak!”
Komisaris Hector mengangguk.
“Atas jasa saudara … pangkat saudara sekarang menjadi perwira. Surat-surat tilang tak
perlu saudara urus lagi, tugas saudara kini adalah seorang detektif.”
“Apakah ini bagian dari usaha menjauhkanku dari kota, Pak Komisaris?”
“Menjauhkan saudara dari kota atau membunuh saudara … itulah tawaran mereka kepada
institusi ini. Saudara adalah prajurit berintegritas. Setidaknya, saya bisa menahan nyawa saudara
melayang sedikit lebih lama.”
Kami berdua saling beradu tatapan. Bisa saja bila aku menolak, segerombolan “rekan”
telah siap membrendelku dengan peluru bak seorang teroris ketika keluar dari rungan ini.
Komisaris Hector berada di pilihan yang sulit begitu pun aku. Ketika sebuah tempat tidak cukup
luas untuk dua orang baik, maka mereka perlu dipisahkan. Aku berdiri, ancang-ancang
memberikan hormat.
“Aku menerima kenaikan pangkat ini, Pak!” teriakku sekeras mungkin.
“Pilihan bijak, Detektif Hugo. Sebagai upaya perlindungan terakhir, saya akan memberi
saudara satu kasus.”
~~~
Terowongan panjang segera menyambut perjalananku ke Kota Real de Catore, kota mati
yang memiliki histori sebagai kota pertambangan. Komisaris Hector memutuskan untuk
membuangku di sini, menjauhi kota pusat menggunakan alibi penyelidikan sejumlah kasus
penculikan anak-anak.
“Apakah Anda bisa mengusut kasus ini, Tuan?” tanya seorang warga asli di kursi supir.
“Kejahatan manusia selalu memiliki celah,” balasku.
“Tapi yang menculik anak-anak di sini adalah hantu, Tuan. Dia … La Llorona menuntut
balas dendam,” ucapnya gemetar.
“Legenda itu, ya … orang tuaku menakutiku dengan kisahnya agar aku tidak keluar
malam-malam. Sungguh … akan kubuktikan bahwa ini bukan ulah makhluk gaib.”
“Mengapa Anda begitu yakin, Tuan?” kini ia menoleh ke arahku, mobil telah berhenti.
Aku tersenyum, memilih enggan menjawab dan melongos keluar untuk mengungkap
sebuah kejutan nanti.
“Apakah Anda Detektif Hugo, Tuan?” seseorang mencegatku. “Carlos, jurnalis remaja.
Aku datang untuk mewawancarai Tuan.”
~~~
Khalayak percaya bahwa rentetan penculikan yang terjadi di kota Real de Catore adalah
buntut dari kutukan legenda hantu La Llorona. Dikisahkan dahulu, La Llorona adalah ibu yang
membunuh kedua anaknya di sebuah danau sebagai bentuk pelampiasan atas perselingkuhan
suaminya. Masyarakat setempat kala itu meyakin La Llorona akan menculik setiap anak-anak
yang melewati danau saat malam hari.
Bacaan koran kusudahi setelah secangkir kopi datang bersama aroma khas menyeruak
sampai ke hidung. Carlos sibuk mengotak-atik ranselnya, mencari pena dan catatan pertanyaan
yang akan dilayangkan kepadaku. Dalam hati aku sedikit berdumel, selain kejahatan bisa
kupastikan akan melawan intelektualitas masyarakat konservatif di sini.
“Sebagai detektif, apakah Tuan Hugo sudah punya langkah awal menyelidiki kasus ini?”
“Tentu … aku berencana merekap kasus kriminal di kota ini selama lima tahun terakhir.”
“Akan tetapi kasus ini dilakukan oleh makhluk gaib, Tuan Hugo.”
“Ada dua hal yang akan kubuktikan di sini. Pertama, aku benar. Kedua, kasus ini tidak
berkaitan dengan hantu.” Aku menjawab penuh kepercayaan diri.
Kata demi kata dicatat oleh Carlos, tak lupa ia pun merekam percakapan kami.
Wawancara terus berlanjut hingga menjelang petang. Dan seperti apa yang dapat kutebak,
keesekoan hari sejumlah warga menyeruduk tempatku menginap untuk mempertanyakan
pernyataanku yang tidak mempercayai kasus ini didalangi sosok hantu. Bebebrapa terlihat
geram, akan tetapi tak sedikit pula yang ingin mendengar penjelasan baik-baik.
“Pendeta di sini telah mengatakan bahwa kasus ini melibatkan makhluk gaib, kami
mempercainya ketimbang dirimu!” hardik seorang warga.
Ketegangan berhasil direda usai seorang yang langsung kukenali adalah walikota datang
menenangkan dan membubarkan massa.
“Sebagai orang kota Anda pasti terkejut … tapi tolong maafkan, kota ini adalah kota
mati, kepercayaan warga sini tentang hal gaib masih erat bersarang. Jadi … meskipun Anda
katakan bahwa ini adalah ulah penjahat, mereka akan sulit menerima.”
“Salahku tidak memahami keadaan itu, Pak.”
Tak lama Carlos datang menghampiriku, kemarin kami sudah membuat janji untuk sama-
sama ke suatu tempat. Namun melihat amukan warga karena beritanya, kurasa akan memberikan
beberapa pelajaran.
“Tuan menyukai beritaku?” tanya Carlos, antusias.
“Aku hampir mati, Bodoh.” Tanganku menjewer telinganya.
Ia tertawa sembari sesekali meringis. “Baiklah-baiklah … maafkan.”
Aku melepas jeweranku. “Sudahlah … bawa aku ke TKP sekarang.”
~~~
Embusan angin menerpa kerah mantelku, cuaca dingin belakangan selalu disertai kabut
tebal. Selayang pandang kulihat danau membentang luas dengan pepohonan rimbun di
sekeliling. Aku mengitari sekitar, beburu petunjuk baru dan kalau beruntung menemukan pelaku.
“Jadi di sini kau katakan mereka diculik?”
“Semua anjing pelacak di kota selalu berakhir ke danau.”
Langkahku berhenti di tepian danau. Jika kasus ini sudah tuntas, aku ingin kembali ke
sini semata-mata untuk bersantai. Aku mencoba berkaca, kupandangi refleksi wajahku dari air
yang lambat-laun kurasa mencoba memikat. Kugunakan tangan untuk menepis air, mencoba
mengaburkan.
Kekekekekekeke!
Secara tiba-tiba sebuah tangan pucat dari dalam danau menyeruak mencengkeram erat
tanganku. Tanganku tak serta-merta dapat dilepaskan begitu saja, kurasakan darah mengalir
akibat kuku-kuku dari tangan itu. Sedetik kemudian, tubuhku tertarik ke dalam danau.
Keadaan sekitar berganti menjadi gelap, mentari kini bergantikan rembulan yang
tertutupi awan. Kabut mulai menutupi pandangan. Aku berdiri—meski kuyakini telah tenggelam
—kondisi seperti ini membawaku ke ambang kematian lebih cepat. Sebagai seorang terlatih,
tanpa pikir panjang aku langsung mengokang senjata, menanti gerangan dari balik kabut.
Kekekekekekeke!
Tawa cekikan menggema, pohon-pohon bergetar diselingi semilir angin, suara para gagak
mulai terdengar tak beraturan, danau mengeluarkan suara mengeletup. Sigap aku mengarahkan
pencahayaan ke arah danau, terlihat sosok bersetelan putih ala-ala pengantin wanita, wajah buruk
rupanya mengeluarkan bau tak sedap, ia melayang menghampiriku seraya menyeringai. Belum
sempat untuk bereaksi, kurasakan tangannya telah mencengkeram leherku, pupil mata kami
bersitatap.
“Kekekekekekeke … lama tidak bertemu!”
“Tuan Hugo sadarlah!”
Tanpa bisa mendapat penjelasan, kudapati lingkungan sekitar menjadi normal semula.
Matahari masih bersinar, semua keanehan telah sirna. Apakah itu alam lain? Meski demikian,
kurasakan panas pada bagian leherku.
“Jelaskan keadaanku sebelumnya, Carlos.”
“Tuan melamun dan tiba-tiba menceburkan diri ke dalam danau. Untung saja … tubuh
Tuan masih bisa kutarik.”
“Baiklah kesampingkan dulu hal itu. Apakah jam malam berlaku di kota ini?”
“Belum lama ini diberlakukan kembali, tetapi tak sedikit anak-anak melanggar.”
“Pas sekali … aku mempunyai ide.”
Tanpa banyak kata lagi, aku dan Carlos memungut ranting-ranting di sekitar danau,
menyebarkannya secara merata. Kulihat Carlos keheranan, sesekali ia menyerocos tentang
tindakanku yang aneh ini.
“Sudahlah … kita tunggu malam ini.”
~~~
Malam tiba lebih cepat di kota Real de Catore. Ketika sudah pukul 7 malam, bisa
dipastikan ingar-bingar kota padam dalam sekejap. Beberapa kedai minum tetap buka, isinya pun
tidak begitu banyak, orang-orang cenderung memainkan uang mereka di sini sembari berharap
menjadi jutawan saat bangun kembali.
“Detektif Hugo, belum genap seminggu kedatanganmu namun telah memantik api
dengan warga lokal. Berkata seolah tak percaya hantu tapi sekarang justru menyuruhku datang,
seorang penjaga perbatasan dengan hobi gaib.”
“Mengeluh saja pada uang-uangku nanti.” Aku mengeluarkan sekantung uang.
“Sekarang aku mendengarkan.”
Aku dan Zennict melanjutkan percakapan. Malam semakin larut, jarum jam kini terpaut
di angka 9, jam malam sudah berlaku.
“La Llorona ya … aku banyak kenangan dengan hantu satu itu. Berhati-hatilah … dia
akan sulit untuk takluk.”
Dari arah jendela kulihat Carlos sudah menunggu. Kukatakan padanya jika ingin ikut,
maka harus menunggu di luar.
“Tentu aku tidak akan sabar membunuh hantu itu dan mencoreng nama orang-orang
bergelar Ghosh Hunter yang tidak bisa membunuh La Llorona sejak 100 tahun kematiannya.”
Zennict menanggapi candaanku dengan tertawa lugas.
“Satu lagi kuingin minta tolong padamu,” aku mulai berbisik.
Kuakhiri pembicaraan kami dengan jabatan tangan. Dengan barang-barang yang telah
kubeli, kuyakin bisa menghadapi kemungkinan terburuk. Carlos segera menghadangku—seperti
kali pertama kami bertemu—ketika pintu sudah kubuka, ia begitu antusias.
“Menunggu di luar sangatlah menyebalkan terlebih jika menunggu orang dewasa
minum.”
“Maka kau cepatlah besar.”
“Aku sudah membawa yang Tuan Hugo minta!”
Tak jauh dari kedai minum, Carlos melepas ikatan seekor anjing serta menggiringnya ke
arahku. Ketika kami larut dalam percakapan, tanpa Carlos sadari Zennict telah ada di
belakangnya. Sesuai permintaanku, Zennict membius Carlos.
“Tunggu sebentar kawan kecil. Tugasmu … adalah setelah ini,” ucapku.
~~~
Gulita menguasai kota, berbekal cahaya dari lampu jalanan kuperhatikan secara seksama
ada apa di balik temaram. Meskipun sudah terhitung 10 anak hilang di danau ini, tak sedikit
orang memilih melintasi jalanan di sekitar danau karena lebih dekat ke area pertokoan. Malam
kini menjelang pukul sepuluh. Dapat kurasakan hawa aneh mulai menggerogotiku.
Tolong!
Aku tersentak dari rasa ngantuk. Sial! Aku kecolongan. Terlihat sosok La Llorona
muncul dari entah-berantah, ia berjalan terseok-seok. Ingin sekali kuterpingkal tapi ini bukan
saatnya. La Llorona gadungan, biar kuberikan timah panas kepadamu.
“Berhenti!” gertakku seraya mengacungkan revolver.
La Llorona palsu memberikam perlawanan, dibalik dress putihnya ia keluarkan senapan
serbu dan langsung menembaki diriku tanpa ampun, aku berhasil menghindar. Dalam kegelapan
kami saling beradu tembakan. Percikan api beradu bersama proyektil peluru, seketika di danau
menjadi arena tembak. Aku berhasil mengamankan korban, ia seorang remaja perempuan.
Tembakan berhenti, usai mencari celah agar korban bisa keluar pun aku kini mengendap-endap,
mencoba memperkecil jarak kembali.
Dor!
Satu tembakan berhasil mengenai kaki La Llorona palsu. Tidak seperti sebelumnya ia
terseok-seok, kini ia paksakan untuk terus berlari, kabur dalam keadaan pincang. Tak lama ia
pun menghilang. Namun tidak masalah, ranting-ranting pohon yang sudah kusebar kebanyakan
telah diinjak olehnya, ditambah darah dari kaki La Llorona palsu mengucur keluar. Aku
memanggil Dolpy, anjing yang kuminta dari Carlos.
“Oke sobat … enduslah bau ini.” Kudekatkan sebuah ranting kayu bercampur darah.
~~~
Endusan Dolpy membawaku ke sebuah bangunan kumuh tak bertuan. Pecahan kaca
jendela berserakan kemana-mana, rerumputan ilalang tumbuh meninggi, hingga akses pintu
masuk tertutup oleh kayu-kayu yang dipaku. Kucoba masuk lewat jendela, di dalam hanya
sebatang lilin saja pencahayaan untuk seluruh ruangan. Tidak banyak furnitur di sini, dua meja
yang terletak di sudut ruangan kugeledah.
“Bedebah!” hardikku kala melihat salah satu foto.
Terlihat beberapa orang mengelilingi altar dengan seorang gadis yang kuidentifikasi
adalah salah satu korban penculikan. Sialan! Mataku melotot memperhatikan lembaran-lembaran
foto, tak kusangka akan menghadapi kultus gila selama berkarir. Di meja lain, kudapati kantung-
kantung kecil marijuana di salah satu laci.
“Mereka dua kali lipat lebih berbahaya dari kartel-kartel kecil di kota pusat.”
Kukemasi semua yang bisa kutemukan. Catatan-catatan, foto-foto, dan semua yang bisa
kujadikan bukti nanti. Mirisnya, beberapa nama penjabat penting di Meksiko tercatat menjadi
penyumbang dana di kultus mengerikan ini. Setelah semua kususun, terakhir adalah surat wasiat
dariku untuk Carlos, semua kutaruh di tas anjing milik Dolpy.
“Pergilah sobat, sampaikan ini!”
Woof!
Dolpy melompat dari jendela dan langsung menerjang gulita malam. Kini tersisa aku
seorang. Remang-remang cahaya perlahan muncul dari arah barat, kuperhatikan dari dalam
bangunan, beberapa orang mengenakan jubah serba hitam beserta topeng berkerumun
menyanyikan lagu-lagu yang tidak kumengerti artinya.
“Persiapkan dirimu, Hugo … kau akan bergerilya,” ucapku.
Aku mencoba mendekat, ilalang yang tumbuh menjulang membantuku untuk bergerak
sedikit cepat tanpa terdeteksi. Aku sampai di pagar pembatas, seseorang yang tampaknya adalah
pemimpin kultus mendekati altar yang dikelilingi sebuah kubangan.
“Dengan ini kami sembahkan jiwa dari darah daging kami, untuk Yang Mulia Agung La
Llorona!” pisau siap ditancapkan.
Tanpa berpikir panjang tanganku langsung menarik pelatuk, persembahan gagal
dilakukan. Semua orang tertuju padaku. Terlihat beberapa orang melepas jubah mereka dan telah
siap dengan senapan serbu di genggaman. Aku terpojok, orang-orang kultus dari arah belakang
telah mengepungku. Aku diarak menuju ke tengah mendekati altar.
“Dasar penyusup!” seseorang menendang kakiku.
Moncong senjata diarahkan padaku yang terkapar di tanah. Aku tidak bisa apa-apa.
Kericuhan terjadi, seseorang yang kuduga pemimpin menghampiriku. Ia melepas topengnya, sial
rasanya aku ingin tertawa saja. Sudah kuduga sejak awal, bahwa orang tua yang membelaku
tempo hari patut dicurigai, namun siapa sangka dia adalah pemimpin dari kegilaan ini semua?
“Aku prihatin padamu, Detektif. Karirmu panjang mengingat umurmu masih muda.
Komisaris itu telah membodohimu kau tahu? Kau akan binasa oleh kami.”
“Kenapa … kenapa menculik anak-anak itu?”
“Kotaku sudah mati, Detektif. Tidak seperti dulu kami ramai penduduk, sekarang
kebanyakan di kota ini adalah orang tua. Sebagai wali kota beribu cara sudah kulakukan. Hingga
akhirnya kuputuskan untuk memproduksi marijuana. Ya, tentu marijuana kami tidak akan
bertahan jika tidak ada keistimewaan. Maka dari itu, kugunakan darah anak-anak kami yang
menjadi tumbal untuk La Llorona sebagai bahan campuran.”
“Bedebah! Kau tidak punya hati!”
Aku mencoba memberontak namun secara kejam salah satu anggota kultus menembak
kakiku. Aku menjerit kesakitan, darahku bersimbah kemana-mana. Pemimpin kultus
menyuruhku diam dan menyaksikan persembahan.
“Wahai La Llorona yang agung, kumohon berikan kasihanimu untuk kami yang melata
tak berguna. Kumohon berkahi marijuana kami dengan darah dari anak-anak kami yang telah
kau berkahi!” Sontak semua anggota kultus bersujud.
Seakan dejavu, air kubangan mengeletup. Angin dingin berembus kencang disertai
suasana yang semakin mencekam, beberapa obor sebagai penerangan padam.
Kekekekekekeke!
La Llorona bangkit dengan dress putih khasnya. Tubuhnya melayang, suara cekikan yang
terasa menusuk itu membuat beberapa anggota kultus pontang-panting kabur. Satu yang tidak
pernah mereka ketahui, siapapun yang meminta kepada La Llorona, akan berakhir denngan
kematian.
Kekekekekekeke!
Pembantaian massal dimulai, La Llorona memulai terornya dengan memenggal kepala
seorang anggota kultus yang selama ini menjadi La Llorona palsu. Disusul kematian pemimpin
kultus yang harus merasakan kobaran api sebelum dipenggal oleh La Llorona. Semua orang
kocar-kacir menyelamatkan diri. Beberapa anggota kultus bersenjata mencoba menembak La
Llorona. Menggunakan sisa-sisa tenaga, aku mencoba mencari tempat aman.
“Mati! Mati! Mati! Kekekekekekekeke!”
Tidak perlu waktu lama, malam itu dalam kobaran api, pemandangan penuh darah
kusaksikan secara langsung. Mayat-mayat anggota kultus menyisahkan badan tanpa kepala. Kini,
La Llorona memutar kepalanya 180 derajat, ia menoleh ke arahku.
Kekekekekekeke!
Bak teleportasi, La Llorona tiba-tiba saja telah mencengkeram leherku. Aku kesulitan
bernapas. Wajah hancur La Llorona menyeringai puas, apakah ini sudah akhirnya? Mati di
tangan hantu tanpa bisa berkeluarga. Setidaknya, kuyakini Komisaris Hector tidak benar-benar
membuangku. Penugasanku di sini adalah untuk mengungkap kasus yang melibatkan para
penjabat Meksiko. Huh, kuharap aku bisa melihat revolusi itu.
“18 tahun penanitanku … memendam amarah terhadap seorang anak yang berhasil kabur
dariku, berakhir sekarang juga!” La Llorona semakin mencengkram leherku.
“Aku merasa tersanjung membuatmu kesal selama 18 tahun, La Llorona. Tapi di saat ini
juga riwayatmu benar-benar berakhir.”
Dor!
Peluru suci yang sebelumnya kubeli dari Zennict akhirnya tepat mengenai jantung La
Llorona, seketika ia melepas cengkeramannya. Aku tertawa puas—meskipun diselingi batuk
berdarah—hantu yang terkena peluru suci akan merasakan api neraka lantas meledak begitu saja.
“Ti-tidak!” tubuh La Llorona hancur berkeping-keping.
“Berisitirahatlah yang tenang, La Llorona.”
~~~
Gerimisi turun membasahi tanah, tak berselang lama setelah aku mengalahkan La
Llorona, Carlos bersama Dolpy datang membawa bala bantuan dan berhasil menemukan para
korban-korban yang secara sadis dipaksa masuk ke kantung hitam seukuran manusia dewasa.
Beberapa sudah menjadi mayat namun pula ada yang masih hidup. Mayat-mayat anggota kultus
pun ikut dievakuasi. Kini aku terbaring lemah di ranjang ambulans.
“Maaf sudah membius dirimu …,” ucapku.
“Tuan Hugo melakukan yang benar. Ego remaja akan membuat tuan membawaku dan
justru akan semakin menambah beban. Lagi pula melihat pemandagan ini, kupikir akan menjadi
satu di antara mereka jika tetap ikut.”
“Bagaimana dengan wasiatku?”
“Kulakukan secepat kubisa, dewan pers telah menerima seluruh salinan bukti itu. Tidak
lama lagi, dunia akan gempar.”
“Untuk kedepan dan seterusnya aku akan pindah ke Amerika, kau ikutlah denganku
Carlos. Dengan terpublikasinya bukti-bukti itu hidup kita berdua tidak akan aman di Meksiko.
Komisaris Hector telah menyusun penerbangan untuk kita berdua dalam waktu dekat.”
Malam telah berlalu dengan aku menghabiskan waktu menghabisi sosok hantu. Mentari
tampakkan semburat kemerahannya, apakah ini akhir? Kupikir masih belum. Dunia masih terlalu
gila untuk disudahi.

Anda mungkin juga menyukai