Anda di halaman 1dari 25

Fiksi Hukum

Cerpen Karangan: M Fajarli Iqbla


Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 15 April 2015

Siang itu di fakultas hukum, Hukum sedang mendengarkan penjelasan dosen senior yang
membawakan meteri Hukum Pidana. Sesekali Hukum mengerutkan keningnya pertanda ada hal-hal
yang mengganggu pemahamannya. Suasana ruang hening saat itu, entah karena siang sudah terlalu
terik atau mahasiswa sudah terlalu lapar. Akhirnya pembawa materi yang sudah tua itu pun menutup
kuliah dengan kata-kata terakhir.
“Jadi, tidak ada manusia yang kebal hukum, jika ia memang bersalah maka ia patut untuk dihukum,
kita berada di negeri hukum yang menuntut semuanya harus adil.” Penjelasan yang sangat berapi-api
ditutup dengan petikan akhir yang membahana.

Hukum keluar ruangan dengan pikiran yang dipenuhi bermacam-macam hal. Tak salah ia memilih
fakultas hukum sebagai lanjutan studinya, disamping ia ingin menjadi penegak hukum yang adil ia
juga sangat menyukai pelajaran yang berbau hukum sejak ia belajar di sekolah dasar.

Sebenarya sederhana saja, Hukum adalah seorang mahasiswa yang biasa-biasa saja, ia kuliah ikut
organisasi dan tidur, hanya namanya saja yang kadang-kadang membuat orang lain bertanya kenapa
ia bernama Hukum.
Hukum tak ambil pusing tentang namanya yang tidak umum itu. Dia beranggapan bahwa ayahnya
yang dulu berprofesi sebagai hakim telah memberikan nama itu dengan banyak pertimbangan dan
Hukum pun tak mengeluh soal nama itu.
Yang ada dalam benak Hukum sekarang adalah bagaimana caranya menegakkan hukum di negeri ini.
Karena berita mengenai pelanggaran hukum dan manusia-manusia tak taat hukum di negeri ini tak
pernah absen dari surat kabar. Akhirnya ia memutuskan untuk menegakkan hukum dengan
tangannya sendiri walau langit akan runtuh.

Siang itu juga ia menuju sebuah gedung yang katanya banyak koruptor yang memakan uang rakyat.
Dia pun masuk ke dalam dan tak sengaja ia melewati ruangan besar yang dipenuhi pria-pria gendut
sedang membicarakan sesuatu sambil tertawa terbahak-bahak.
“Aku harus dapat minimal satu milyar dari dari mega proyek ini.” Salah seorang berkumis tipis
bersuara.
“Hahahaha tenang saja pak, anda akan mendapatkannya pak jika bapak dapat segera menyetujui
pembongkaran rumah penduduk yang mengganggu itu.” Pria ber-jas hitam angkat suara.
“Ya, kalian harus sabar, penduduk di sana punya semacam ketua yang memimpin mereka untuk
menolak penggusuran, dan juga mereka punya surat-surat kepemilikan yang sah, jadi agak
merepotkan.”
“Ah, masa itu saja repot, bapak kan punya kekuasaan, beri dia ongkos dia yang lebih.”
“Sudah dicoba, tapi dia menolak.”
“Kalau begitu buat dia diam untuk selamanya.” Pria ber jas memberi solusi akhir.
“Mmmm akan aku pikirkan.”
Begitu marahnya Hukum mendengar musyawarah barusan. Ia tahu bahwa yang mereka bicarakan
pasti rencana pembangunan hotel mewah yang terhalang rumah penduduk. Ia tahu karena berita
menjadi topik utama koran minggu ini.
Tak menunggu lama, Hukum pun menerobos masuk dan mengupat-upat di dalam ruangan.
“Kalian kurang ajar, tak tahu malu, penindas rakyat dasar bajingan.”
Tapi aneh ruangan tetap seperti biasa, tak ada perubahan seakan Hukum tak ada dalam ruangan itu,
teriakannya tak terdenganr, hilang diterpa AC.
Hukum sendiri heran, tak satu pun mata memandang padanya, dia menjadi kagok, aneh dan sangat
aneh.
“Ada apa ini? Apa mereka semua buta dan tuli.” Gumamnya.
Sampai musyawarah selesai, Hukum yang dari tadi berdiri di depan seakan tidak ada, meraka tidak
merasakan keberadaannya, atau jangan-jangan Hukum sedang bermimpi.
Hukum berjalan dengan langkah gontai keluar dari ruangan itu, ia berjalan dengan kepala penuh
tanda tanya.
Tiba-tiba tak terasa ia sudah berada di jalan raya, dan melihat seorang berseragam sedang memukuli
seorang pemuda.
“Bajingan kau, berani sekali menyerempet mobil baruku.” Teriak pria berseragam.
“Ampun pak, ampun, saya tidak sengaja.” Pemuda sudah babak belur.
Warga hanya berkerumun melihat adegan itu, tak seorang pun melakukan tindakan untuk
menghentikan amarah si pria berseragam dan bermuka sangar. Mungkin mereka takut padanya.
Hukum sendiri takut padanya, tapi demi keadilan ia maju menerobos kerumunan untuk menghentikan
kejadian itu.
“Hei hentikan.” Teriak Hukum.
Si pria sangar tadi melirik asal suara, ia melihat pemuda kurus kerempeng menunjukkan telunjuknya
ke arah mukanya. Dengan berang ia berkata.
“Apa kau, ingin mati?”
Hukum pun menunduk, gemetar. Semangat yang tadinya muncul seakan menguap ditelan pelototan
mata si pria besar tadi.
“Jika kau tak ingin mati konyol, pergi sana.” Bentak si pria sangar.
Tak menunggu lama, si Hukum pun lari terbirit-birit.

Ia berlari dan terus berlari sampailah ia ke pasar. Pasar tradisional yang kumuh, padat dan becek. Ia
berjalan-terus berjalan sampai ia melihat seorang anak remaja mengambil dompet seorang ibu-ibu. Ia
tak ingin merasa konyol lagi seperti tadi. Akhirnya ia pun mengikuti kemana perginya si bocah tadi. Ia
terus berjalan mengikuti si bocah, kadang sesekali ia bersembunyi untuk membuat si bocah tak
curiga. Hingga sampailah ia ke kandang si bocah. Di sanalah si bocah memberikan dompet itu pada
seorang pria yang pasti adalah pimpinan copet-copet ini.
“Hey, serahkan kembali apa yang kau curi.” Teriak Hukum.
Sesaat keadaan hening.
“Siapa kau, polisi?”
“Aku, aku hanya seorang yang mencari keadilan.”
“Cepat pergi anak muda atau kau akan menyesal.”
“Aku tidak takut, kebenaran pasti menang.” Walau sedikit gemetar tapi kata-kata yang dikeluarkan
Hukum sangat tegas.
Si pimpinan pencopet menyeringai ejek.
“Anak-anak, kita punya tamu tak diundang.”
Tiba-tiba keluar sekitar sepuluh orang pemuda berbadan besar.
Tak lama kemudian hukum sudah babak belur. Jatuh ke tanah dengan berlumuran darah.
“Kalian pasti akan dihukum, kalian akan diadili.” Teriak Hukum dengan segala kemampuan yang
masih ia miliki.
Kemudian salah seorang dari preman itu mendatangi lagi si Hukum dan tak disangka membuka
reseleting celana jins kumalnya dan mengencinginya. Melihat hal yang menarik itu, teman-temannya
yang melihat juga melakukan hal serupa.
Hukum tak bisa berbuat apa-apa ia hampir mati atau bahkan lebih baik ia mati saja.
“Hey anak muda.” Selah seorang preman mengangkat wajah Hukum dengan menarik rambutnya.
“Kembalilah ke sekolah dan perbanyak diskusimu tentang keadilan.” Kata preman itu sambil meludah
wajah Hukum.
“Hahahahahaha.” Teman-temannya yang lain pun tertawa terbahak-bahak.

Hukum bangun dari tidurnya, teryata yang ia alami barusan hanya mimpinya karena mungkin
semalam ia terlalu banyak membaca fiksi horor. Ia pun bangun seperti biasanya untuk bersiap-siap ke
kampus. Ia bercita-cita ingin menegakkan hukum di negeri ini dengan seadil-adilnya.
Seperti biasa pula, ia membaca surat kabar sebelum ia berangkat kuliah. Dan yang sangat menarik
perhatiannya adalah berita utama yang berjudul.
“Sesosok mayat ditemukan di sungai”
“Telah ditemukan sesosok mayat yang hanyut di sungai, dari KTP dapat dipastikan mayat ini adalah
seorang mahasiswa. Dari keterangan KTP tersebut dapat dipastikan korban bernama Hukum, seorang
mahasiswa fakultas hukum. Hasil pemeriksaan semetara menyetakan bahwa korban terlibat
perkelahian dahulu sebelum akhirnya meninggal dunia.”
Mata Hukum terbelalak membaca berita itu, mulutnya terbuka lebar. “Apa aku benar-benar talah
mati?”
Heran, aneh dan bingung itulah yang Hukum rasakan sekarang dengan apa yang sedang ia alami.

Banda Aceh 2014

Cerpen Karangan: M Fajarli Iqbla


Facebook: Fajar Lee

M. Fajarli Iqbal
Mahasiswa Gemasastrin Unsyiah
Lahir di Lokseumawe 1994
Anggota Forum Lingkar Pena Aceh
no Rekening BRI 395101004422537 a/n M fajarli iqbal

Cerpen Fiksi Hukum merupakan cerita pendek karangan M Fajarli Iqbla, kamu dapat mengunjungi
halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
Korban Penipuan (Sebuah Cerpen Hukum)
18 Februari 2013   18:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:05  1  0 0

Siang itu sinar matahari panas sekali. Menyengat sampai ke dalam kulit lapisan terdalam.

Jam 11.00 wib, di cucian mobil

Tiba-tiba aku didatangi beberapa orang laki-laki.

“Slamat siang pak, maaf apa benar bapak yang membawa mobil dengan nomor plat H 4567
XXX itu?” tanya seorang pria bertubuh penuh tato dan telinga kanan kiri terdapat anting-anting
dari perak. Orang itu tidak sendirian. Tiga orang temannya mendampingi saat kami mulai terlibat
pembicaraan seirus. Keempat orang bertubuh besar penuh tato dan tindik di kedua telinganya
yang mendatangiku ini ternyata adalah Debt Colector (DC) dari sebuah kantor Leasing mobil.

“ benar. Ada apa mas?”

“ Begini pak, kami dari kantor Leasing. Ini surat kuasa dari kantor kami untuk kami. Kami
memberi tahukan kepada bapak bahwa mobil bapak sudah empat bulan tidak membayar
angsuran ke kantor kami. Ini bukti daftar angsurannya”

“Masya Allah, coba lihat surat kuasanya mas. Sekalian sama itu mas, daftar angsurannya”

Kubaca dengan teliti surat kuasa itu. Memang benar surat kuasa itu menunjuk nama orang yang
menemuiku tadi untuk mengurus mobil dengan nomor plat dan warna yang sangat persis dengan
mobil yang ku pakai selama ini. Tapi, menurut kaidah normatif sebenarnya surat kuasa itu
banyak kekeliruan. Bisa saja waktu itu aku menolaknya. Cuma tak pikir, nggak ada untungnya
berdebat sama orang yang bekerja tidak dengan otak ini.

Waktu itu aku tidak sendirian, ada teman yang kebetulan menemaniku dalam perjalanan.

“begini saja pak, kita bicarakan di kantor kami saja biar jelas. Pimpinan kami yang akan
menjelaskan tentang ini”

“oke mas, kalau memang ini bukan mobil saya maka silahkan diambil. Tapi kalau ini hak saya
maka akan saya pertahankan”
Setelah mobil selesai di cuci, aku bersama temanku dan dua orang DC berada dalam satu mobil
meluncur menuju kantor leasing yang sangat kebetulan tidak jauh dari tempat kerjaku. Matahari
makin memanas saja menerkam kepala kami. Aku sengaja membuat suasana di dalam mobil
tidak tegang. Ku pencet tombol on pada tape mobilku. Ku pencet lagi tombol pilihan FM 1, aux
in dan CD. Ku pilih CD. Ku pilih CD slow rock. Tak lama kemudian mengalunlah lagu You’re
All I Need nya White Lion yang hits pada tahun 90an.

Sedikit kami bercengkrama tentang cuaca siang itu. Aku tanyakan juga asal usul mereka.
Sesekali aku sambil tersenyum kecut mengguraui para DC ini betapa celakanya saya karena
mobil yang aku tumpangi ini. Para DC ini juga bercerita kalau kejadian yang menimpaku ini
banyak juga menimpa masyarakat di daerah pedesaan. Mereka tergiur dengan murahnya harga
mobil yang ditawarkan, padahal sama sekali tidak tahu asal usul mobil yang ditawarkan.

Jam 13.00 wib, di Kantor Leasing

Mobil ku parkir di halaman belakang kantor, lewat pintu samping sebelah kanan. Aku sangat
kehausan, ku teguk air mineral yang selalu kusiapkan di tasku..lalu aku masuk ke dalam ruangan
yang dingin.

“ siapa yang harus saya temui mas?”

“ tunggu dulu pak, silahkan. nanti ada pak Arman selaku kepala pelaksana lapangan”. “oh iya
saya pinjam STNK nya pak biar saya cek nomor rangka dan nomor mesinnya”

Setelah STNK aku serahkan, temanku mengingatkanku untuk mencocokkan data yang tertulis di
daftar angsuran dengan data di STNK yang aku pegang.

“bener juga ya, coba dilihat. Mana tadi dokumennya, ini aku ada kopian STNK?”

Ternyata benar, data di STNK yang aku pegang berbeda dengan data yang ada dalam daftar
angsuran. Perbedaan itu ada di nomor rangka dan nomor mesin. Hanya nomor polisi dan warna
mobilnya saja yang sama. Aku terkaget sekaligus heran.

“ Gila, kok bisa seperti ini tanyaku. Apa mungkin....?”

Bergegas aku sedikit berlari mendatangi DC yang lagi mencocokkan data STNK ku dengan
mesin mobilku.

“mas, ku rasa kamu salah sasaran. Data di daftar angsuran ini beda dengan data di STNK ku”.
“coba kamu lihat, nomor rangka dan nomor mesinnya saja berbeda. Persamaan hanya di nomor
polisi”
“iya pak, saya juga mendapati hal yang sama setelah saya cek langsung di mesinnya”. “ tunggu
bentar ya pak, biar saya kontak kantor pusat”

Orang itu kemudian terlihat sibuk menelepon bosnya yang di pusat. Keduanya terlibat
pembicaraan yang serius. Sesekali orang ini berbicara dalam bahasa daerah yang tidak aku
mengerti. Berarti orang ini satu daerah dengan bosnya. Kalau nggak salah melihat namanya,
orang ini marganya orang Batak.

“Marpaung, yah itu marga Batak pak” kata temanku.

Aku menangkap kesan, orang ini berusaha meyakinkan bosnya bahwa mobil yang aku bawa
bukan mobil yang dicari, tapi bosnya kayaknya ngotot agar untuk sementara mobil ku di tahan
dulu sampai ketemu mobil yang benar-benar dicari. Lama sekali pembicaraan antara mereka
berdua. Sampai-sampai nggak sadar ternyata keringatku meleleh di antara kerah bajuku.
Beberapa menyeruak dipunggung belakang dan lipatan lenganku.

Huff..Panas sekali siang itu kurasa..

Aku pun pulang saat waktu menunjuk ke arah jam setengah tiga siang.

Sejak saat itu hatiku terusik. Terbersit tanya tak tertahan. Pikiranku melayang pada kisah
temanku yang mobilnya hilang di bawa lari temannya. Tapi akhirnya dua bulan kemudian
ketemu sudah di tangan orang lain. Mobil itu di jual dengan tanpa surat-surat resmi. Pembelinya
minta uangnya dikembalikan kalau temanku mau mengambil mobilnya kembali. Inikan sindikat
pencurian dan pemerasan. Temanku sudah mengambil langkah benar, lapor ke Polosi. Tetapi
parahnya, Polisi yang dilapori kejadian ini tidak berbuat apapun untuk mengembalikan mobil
temanku..

Sementara aku, mobilku ini sebenarnya milik siapa? Aku memang beli second mobil ini dari
orang yang aku sendiri tidak kenal. Tapi aku percaya saja, sebab yang menawarkan mobil ini aku
kenal baik. Nggak mungkin menipuku lah pikirku. Kalaupun tertipu, aku tahu rumahnya.
Keluarganya pun aku mengenal baik.

Hemm, waktu itu aku tertarik mobil ini karena selain murah mobil ini masih terhitung baru.
Keluaran setahun yang lalu. Warnanya juga ku suka. Tidak hanya aku, istri dan anak-anakku
juga suka warna mobil ini.

Hanya selang dua hari setelah sepakat mengenai harga lewat telepon, mobil itu diantar ke
rumahku..oh luar biasa. Betapa senangnya aku. Mobilnya bagus banget, bodinya bersih
mengkilap, interiornya harum.
Setelah berbicara sebentar, dua kunci mobil diserahkan kepadaku dan orang ini pun pulang.
Mobil ditinggal padahal sepeserpun aku belum memberinya uang. Aku tidak berpikir apa-apa
tentang asal usul mobil ini. Kami saling percaya saja.

Udara pagi yang masuk lewat jendela ruang kerjaku menambah semangat pagiku saat itu.
Dem..dem..du..du..du..du..du..suara musik dari komputerku mengalun lembut.

Jam 16.00 wib hari berikutnya, di Dealer Mobil

“kampas rem nya sudah habis pak, jadi harus diganti” kata mekaniknya. “mohon ditunggu, ini
hanya sebentar kok”.

“Ok”

Sesaat kemudian aku membayar biaya service dan ganti rem ke kasir. Aku diberi nota
pembayaran. Di nota itu tertulis pemilik mobil yang kupakai selama ini. Bahkan ada alamat dan
nomor teleponnya. Hatiku mulai dag dig dug. Benarkah ini pemilik asli mobil yang sudah
menemaniku selama delapan bulan terakhir? Mengapa namanya tidak sama dengan yang ada di
STNK? Kalau benar dialah pemiliknya, lantas orang yang tertulis di STNK itu siapa? Aku harus
berbuat apa? Kalau aku kembalikan mobil ini, bagaimana dengan uangku yang sudah dibawa
oleh si penjual? Apakah aku harus berurusan dengan polisi atas ketidak tahuanku?

Oh..aku berada dalam kondisi antara bingung, ragu-ragu dan ketakutan. Bayangan uangku,
kantor polisi dan jeruji besi silih berganti datang dan pergi di otak ku..

Aku pulang dengan perasaan bergemuruh. Laju mobil yang ku pacu teramat cepat
membelalakkan beberapa mata di pinggiran jalan. Lampu merah di perempatan dekat jembatan
panjang yang terkenal dengan polisinya yang galak ku lewati dengan tanpa ragu. Selama dua jam
perjalanan, sampai juga aku di rumah. Ku ceritakan semua yang ku alami pada istriku.

“ya sudah pasrah saja saja pada Yang Kuasa pak” hibur istriku. “kalau memang masih rejeki
kita, pasti tak akan kemana. Besok Bapak telpon saja orang itu untuk lebih pastinya”.

Tuuuttt.....tuuuttt....tuuuutt

Hallo..

Iya hallo, slamat pagi bu. Apa benar ibu punya mobil kijang dengan nomor polisi H 4567 XXX
warna silver?

Pagi pak, dengan siapa ini? Oh iya pak, Cuma sudah setahun ini hilang dibawa kabur karyawan
saya. Sudah lama pula karyawan saya itu menghilang.
Langsung ku tutup telpon tanpa permisi. Kepala ku terasa mau pecah. Aku pun lemes
seketika..sementara matahari semakin meninggi saja.
CERPEN TENTANG HUKUM
Pada zaman dahulu disebuah desa yang kurang maju, hiduplah seorang tukang pedati
bernama Icul yang baik hati, suka menolong, rajin menabung dan tidak sombong.
Suatu hari saat ia akan pergi ke pasar menjajakan barang dagangannya, ia melewati
sebuah jembatan yang baru dibangun. Saat ia sedang asik berjalan melewati jembatan
tersebut, tiba-tiba jembatan mengeluarkan suara “kruuatak brekk!” ternyata jembatan
yang baru dibangun itu tidak kuat dan ambruk, akhirnya tukang pedati terjatuh
kesungai dan kuda beserta barang dagangannya pun hanyut ke sungai. Penasaran
dengan kelanjutan ceritanya? Langsung saja kita saksikan di TKP!!

 Tukang Pedati  : Susahnya mencari uang, berjalan beberapa kilo . Tak seberapa
yang ku peroleh. 
Ketika si tukang pedati melewati jembatan yang baru dibangun, tiba-tiba terdengar
suara “kruuatak ........brekk!!” , ternyata jembatan yang ia lewati tidak kuat dan
akhirnya si tukang pedati dan kuda beserta barang dagangannya hanyut ke dalam
sungai.
 Tukang Pedati  : whadooooooh...... barang daganganku semua hanyut kedalam
sungai. aku tidak  terima dengan semua ini.

Akhirnya si tukang pedati beserta keluarganya melaporkan kepada hakim untuk


mengadukan si pembuat jalan agar diberi hukuman atas kerugian besar yang ia terima.
Permohonan keluarga si tukang pedati dikabulkan. Hakim memanggil si Pembuat
Jembatan untuk diadili. Namun, si Pembuat Jembatan tidak terima . Ia melemparkan
kesalahan kepada tukang kayu yang menyediakan kayu untuk bahan jembatan itu.
Kemudian hakim memanggil si Tukang Kayu.

 Tukang Kayu    : Kanjeng Tuan, apa kesalahan saya sehingga saya dipanggil ke
persidangan ini...?

 Hakim              : Kesalahan kamu sangat valid. Kayu yang kamu bawa untuk
jembatan itu ternyata gapuk , sehingga menyebabkan  Icul si tukang pedati beserta
kuda dan barang dagangannya jatuh ke sungai. Jadi kamu harus ganti rugi atas
kerugian yang Icul alami.
 Tukang Kayu    : Hehh.. sorry ya... maaf maaf aja, kalau itu permasalahannya ya
jangan salahkan saya dong. Salah kan saja si Penjual Kayu yang menjual kayu gapuk
itu.
Hakim berfikir bahwa yang dikatakan si Tukang Kayu benar, bahwa si Penjual Kayu lah
yang menyebabkan si Tukang Kayu membawa kayu yang jelek untuk si Pembuat
Jembatan. 

 Hakim      : Hey wal (pengawal).. datangkan dihadapanku si Penjual Kayu untuk


mempertanggungjawabkan kelakuannya.
 Pengawal : Baik Kanjeng...! 
Si Penjual Kayu dibawa oleh pengawal untuk menghadap Hakim.

 Penjual Kayu    : Yang Mulia Hakim, apa kesalahan saya kok dibawa ke sidang
pengadilan ini...?

 Hakim      : Kesalahan kamu sangat waw... karena kamu tidak menjual kayu yang
bagus kepada si Tukai (tukang kayu) sehingga jembatan yang dibuatnya tidak strong
dan menyebabkan Tuti (tukang pedati) kehilangan kuda dan dagangannya dalam
pedati.

 Penjual Kayu    : Kalau itu problemnya jangan salahkan saya. Yang salah asisten
saya. Dialah yang menyediakan beragam jenis kayu untuk dijual. dialah yang salah
memberi kayu yang uelik kepada si Tukai (tukang kayu ) itu.

 Hakim              : That’s right juga penjual kayu ityu. hai wal bawa pembantyu
ityu kehadapankyu!!!!!! (Wal pun menjemput si pembantu)

Seperti hal nya orang yang telah di panggil terlebih dahulu oleh hakim, si pembantu
pun bertanya kepada hakim perihal kesalahannya.

 Pembantu 1 : Yang Mulia Hakim nopo salahku...., tego we karo aku nyeluk aku
neng pengadilan..

Sang hakim memberikan penjelasan tentang kesalahan si pembantu yang


menyebabkan si Tuti kehilangan kuda dan dagangannya sepedati. Tetapi sayangnya si
pembantu tidak secerdas tiga orang yang telah dipanggil terlebih dahulu sehingga dia
kowah kowoh ketika memberi jawaban kepada sang hakim. So .. sang hakim
memutuskan si pembantu dan memberi ganti rugi kepada si Tuti (tukang pedati ) 
  

 Hakim : (sang hakim berteriak kepada pengawal ) Hay wal.. cemplongno si


pembantu pekuk ini ke penjara dan sita semua uang nya sekarang juga . 

Beberapa menit kemudian, sang hakim bertanya kepada si pengawal 

 Hakim      : Hay wal.. apakah hukuman sudah dilaksanakan???


 Pengawal : Durung yang mulia, angel banget untuk melaksanakannya ..
 Hakim      : Kenapa sulit??
 Pengawal : Susah sangat yang mulia si pembantu badan nya
sangat gempal dangemuk, namun penjara yang kita punya terlalu mungil untuk si
pembantu, sehingga ora sedeng dan pembantu kere itu juga tidak punya uang untuk
disita.
 Hakim : (sang hakim marah besar) Kamu tolol banget sih… pakek dong otak
kamu. Cari pembantu si jukai (Penjual kayu) yang lain yang berbadan cuilik, cungkring
koyo wong kurang gizi, tampange melas tapi duet e akeh isoo??
 Pengawal : Siap kerjakan Yang Mulia!

Pengawal pun segera mencari pembantu yang berbadan cuilik menthik, cungkring dan
banyak uangnya yang sekiranya muat masuk penjara. Dan dibawa lah si pembatu itu
ke hadapan hakim.

 Pembantu 2 : Yang Mulia.. apa kesalahan saya, saya hanya manusia cebol
sehingga harus masuk ke penjara?

 Hakim        : Kesalahan kamu adalah pendek, kurus dan punya uaaaang .


Sehingga pantas dan muat untuk masuk penjara.
Pembantu itu mendadak kowah kowoh setelah mendengar penjelasan hakim yang
kurang logis tersebut. Akhirnya si pembantu yang berbadan cebol, cungkring dan
punya uang itu dimasukkan kedalam penjara dan uangnya pun disita.

 Hakim      : Audion sadaya.. bagaimanakah menurut pandangan kalian semua.


Apakah peradilan ini sudah adil?
 Masyarakat : Sampuuun…!!!
Lantas apa yang ada di benak anda setelah membaca cerita diatas?????
Joki Narapidana
CERPEN

Sejak kabar tentang perjokian narapidana terkuak di berbagai media massa, pikiranku selalu mengajak-
ajak untuk melakukan bunuh diri. Melompat dari lantai 16, apartemen mewah tempat tinggalku. Dengan
kematianku aku berharap dapat menutupi segala tindakanku yang telah mempermainkan hukum. Sebab,
seperti Kasiyem, sebagai calon terpidana aku pun telah menyusun skenario semacam itu.

Bedanya, jika Kasiyem terlibat perkara hukum karena berdagang pupuk subsidi, sedangkan aku bandar
narkoba. Jika dibandingkan, nilai perbuatan Kasiyem masih tergolong baik, karena ia justru membantu
kalangan petani di Bojonegoro yang kesulitan mendapatkan pupuk. Kalau perbuatanku justru merusak,
meracuni generasi muda dengan angan-angan kosong, fatamorgana yang muncul karena efek
manipulatif narkoba. 

Sejauh ini, sejak hampir sepuluh tahun aku menggeluti bisnis narkoba, sudah puluhan kali skenario
perjokian itu dipraktikan. Bisnis narkoba merupakan usaha yang bergelimpangan uang. Sementara
aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, dan hakim, kebanyakan berperilaku korup. Dengan
menggunakan pengacara langgananku, aku biasa mempermainkan hukum. Hukum di Republik ini bak
komoditas dagang. Biasa dijualbelikan. KUHP (Kasih Uang Habis Perkara)!

“Sudahlah, jangan kuatir. Aku yakinkah kau, dalam skenario perjokian kita ini lebih canggih. Rapi. Satgas
mafia hukum pun takkan mampu mengendusnya”, kata pengacaraku meyakinkan.

“Benar, lo. Sebab kalau kali ini sampai terbongkar, habislah aku. Jaringan bisnisku rusak. Dan, kasihan
teman-teman penegak hukum yang selama ini banyak membantu kita, karirnya bakal hancur”, sahutku.

Hari ini perkaraku bakal diputus hakim. Tidak mungkin diputus bebas. Karena kasusku itu sudah menjadi
berita nasional. Namaku sudah kondang di mana-mana sebagai bandar narkoba kakap yang berhasil
ditangkap. Dengan penangkapan itu pun, banyak pejabat di kepolisian yang mendadak dipromosikan.
“Membawa berkah juga”, pikirku, sambil tersenyum kecil.

Tanpa sadar pikiranku menerawang ketika pertama kalinya aku tertangkap. Melalui ekspos media massa
aku dapat mengetahui bagaimana aparat penegak hukum memberikan apresiasi para petugas lapangan.
Bahkan dalam salah satu siaran media televisi swasta, seorang pejabat kepolisian mengungkapkan
bagaimana anak buahnya menolak tatkala kutawari uang sogok ratusan juta rupiah. Di bagian lain,
kulihat wajahku terpampang di berbagai media massa cetak maupun eletronik, layaknya selebritis.
Dengan membayar ratusan juta ke penyidik, aku memang sempat ditahan. Tapi karena uang sogok itu,
aku tidak pernah ditempatkan di sel tahanan bercampur dengan tahanan-tahanan lain. Tapi ditempatkan
di Blok Klinik, yang bersih, luas, dan bebas ke mana saja. Termasuk ke luar tahanan seperti yang
dilakukan Gayus, terdakwa yang mantan pegawai Dirjen Pajak itu. Aku pergi ke diskotik, cafe-cafe, atau
melacur bersama-sama petugas yang mengawalku.

Sogok Hakim

Uang. Aku meyakini, ketika uang menjadi sesembahan manusia, maka uang dapat berbuat apa saja.
Untuk kasusku tersebut aku sudah mengeluarkan ratusan juta rupiah. Tapi nilai itu terbilang kecil
dibandingkan dengan hasil bisnis narkobaku yang tetap terus berlangsung meski aku berada di sel
tahanan. Termasuk ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan. Semuanya hanya sandiwara!

Di kejaksaan aku disambut layaknya Bos Besar. Jangankan petugas piket, kepala kejaksaan negeri pun
membungkuk-bungkuk memberi hormat tatkala aku datang bersama penyidik yang memeriksaku. Dan, di
tingkat penuntutan itulah aku menerima surat perintah penahanan lanjutan dari kejaksaan, tapi tidak
pernah di sel tahanan. Karena surat perintahan lanjutan itu hanya formalitas alias awu-awu. Sehingga
surat itu hanya menjadi penghuni laci.

Tak sampai seminggu, perkaraku sudah dikirimkan ke pengadilan. Dalam sidang pertama, di muka
sidang majelis hakim tidak pernah menanyakan status penahananku. Ketiga anggota hakim majelis
seolah tutup mata. Bahkan jadwal pemeriksaannya pun dilakukan pagi hari, ketika aktivitas dan
pengunjung sidang belum ramai. Menurut ketua majelis hakim, persidangan pagi hari itu sengaja
dilakukan untuk menghindari pers.

Tak sampai dua jam aku menunggu, persidangan pun dimulai. Menurut majelis hakim, aku dinyatakan
bersalah dan dihukum dua tahun enam bulan. Aku tak terkejut. Tapi di muka sidang wajahku harus
kubuat seolah-olah bersedih. Menundukan muka di hadapan majelis hakim yang “kotor” itu, agar
sandiwara mafia hukum itu tidak terkuak. Yang pasti, putusan hakim tersebut nantinya akan dipalsukan.
Kerja bersama antara majelis hakim, bagian kepaniteraan, dan kejaksaan. Persis dengan yang dilakukan
oknum-oknum Pengadilan Negeri Medan dan Kejaksaan Negeri Medan, yang memalsukan sekitar lima
puluh vonis hakim yang terkuak pada Oktober 2008 lalu.
Sang "Markus" (Cerpen Bagian I)
SANG “MARKUS”

(Cerpen Bagian I)

Hari itu, Sabtu (16/5), suara dering SMS tiba-tiba membangunkan


tidurku. Dengan setengah nyawa yang baru terkumpul, sambil berbaring aku menggapai sumber bunyi
tersebut. Aku arahkan sentuhan jari pada Mini Mouse untuk membuka pesan singkat yang masuk. Click!
Seketika itu juga pesan singkat terpampang pada layar HP-ku.

“Pak Faiz, klien gw ada yang nawarin utk bayar spy menang kasusnya di mk. Gw bilang jng percaya,
siang ini gw akan ketemu klien gw utk bahas ini sekaligus cari tau soal ini. Gw mao cari tau siapa yg mau
ambil keuntungan.” 

Spontan saja hatiku langsung berteriak.

“Gila!! Belum juga ada seminggu, kok udah ada yang pengen ngerusak semuanya!”. 
Tanpa pikir panjang, segera aku jawab pesan tersebut.

“Mana mungkin mereka bisa pastiin menang, pembuktiannya terbuka dan akses ke hakim juga terbatas.
Kita koordinasi aja dulu, kl jelas kita ambil tindakan. Bisa jadi ini kelakuan pihak ketiga yg coba2 cari
untung di tengah kesempatan, pas sidang pilkada kmrn juga ada yg jual nama-nama hakim”.

Tidak lama berselang, sinar matahari menembus jendela ruangan dan memaksa mataku menatap ke
arah jam dinding yang berada tepat di atasnya. Saat itu waktu tengah menunjukan pukul 11.10 WIB.

“Wah, udah siang! Pasti sebentar lagi tamu-tamu mulai berdatangan”,  sergaku di dalam hati sambil
cepat-cepat bangkit dari kolong meja kerja.

Segera sajaku tinggalkan kasur lipat yang menemaniku sependek pagi ini. Kuraih peralatan mandi
seadanya dan langsung berlari menuju ke arah kamar mandi.

Maklumlah, tamu-tamu setia MK yang kami tunggu biasanya mulai berdatangan setelah pukul 12 siang.
Mereka berencana datang kembali untuk memperbaiki teknis penomoran alat-alat bukti permohonan.

Selama seminggu penuh, yakni sejak dibukanya meja permohonan pada tanggal 9 Mei yang lalu, Tim
Penanganan sengketa Pemilu di MK (Tim 69) memang lebih banyak bermalam di kantor. Tim 69 sengaja
dipersiapkan sejak 3 (tiga) bulan sebelumnya guna menerima dan memeriksa ratusan sengketa yang
masuk .

Pendaftaran permohonan dibuka selama 3 x 24 jam non-stop. Mulai siang hingga larut malam biasanya
menjadi waktu rutin berdatangannya gelombang permohonan. Sedangkan di waktu malam hingga
beranjaknya sang surya menjadi masa dimana kami memilah dan memetakan permohonan tersebut.

Kala itu, kasus yang terpetakan baru berjumlah 492 kasus. Namun belakangan ini, setelah semuanya
melewati persidangan pemeriksaan, ternyata teridentifikasi menjadi sekitar 623 kasus dari 70 perkara
permohonan yang masuk. Sejumlah perkara tersebut diajukan oleh 42 partai politik dan 28 calon
perseorangan anggota DPD.

Permasalahan utamanya, selain kesemuanya harus diputus tidak lebih dari 30 hari kerja, ternyata banyak
bukti-bukti permohonan yang diajukan pada awal proses penerimaan yang masih kacau balau. Padahal,
jumlahnya terus menggunung hingga mampu menutupi ruangan Cyang berukuran 16 x 28 meter persegi.

***

Selepas mandi, aku bergegas kembali ke ruangan dan langsung memeriksa telpon genggam sambil
berharap ada balasan info penting lainnya yang aku terima terkait denan SMS sebelumnya. Akan tetapi,
berdasarkan ketentuan yang telah disepakati, sebenarnya aku dan Tim 69 lainnya sejak awal tidak
diizinkan untuk berhubungan dengan pihak luar yang memiliki keterkaitan dengan sengketa yang sedang
diperiksa.

Agak berat bagiku memang, karena tidak biasanya aku menjaga jarak atau bahkan menutup komunikasi
dengan orang lain, apalagi terhadap kawan sendiri. Semua jadi serba aneh dan seakan-akan dunia
bersosialisasi yang menjadi rutinitas keseharianku perlahan mulai berubah. Tetapi memang demikianlah
peran yang dituntut kepada kami untuk beberapa waktu ke depan. Awalnya, aku terima pembatasan itu
sebagai bentuk komitmen bersama. Namun entah mengapa, kali ini nuraniku justru berbicara lain.

“Biarlah aku dimarahi atau dikenai sanksi. Toh, bukannya ini justru menjadi salah satu bentuk
pengawalan dari proses pemeriksaan PHPU?", tanyaku pada hati kecil.

“Lagipula, aku kenal betul siapa yang sedang diajak berkomunikasi ini. Seorang aktivis LBH yang telah
teruji integritasnya selama bertahun-tahun. Jadi sudah pasti, tentunya kami berdua tidak akan rela
apabila MK kemudian terjangkiti para “Markus” (makelar kasus)”, gumamku meyakinkan diri sendiri.

Dua pertimbangan di ataslah yang memberanikan diriku untuk meneruskan komunikasi dengan salah
satu kawan baikku tersebut. Lagipula, apa yang sedang dia tangani juga tidak ada sangkut pautnya
dengan tugas-tugas langsungku. Dengan mengucap bismillahirahmanirrahim, ku bulatkan niat baik ini.

Pertentangan yang tengah terjadi pada batinku tiba-tiba terhenti. “Beep! Beep!” Pesan singkat kembali
masuk ke telpon genggamku. Setelah kubuka, terbaca pesan singkat sebagai berikut.
“Ini salah satu sms ke klien saya: … Bpk Mahfud masih menunggu komitmen bapa utk di bantu,karna
pesaing bapa telah melakukan kecurangan, itu menurut beliau terima kasih”. 
Belum selesai ku cerna dengan baik tulisan tersebut, satu pesan singkat masuk kembali.
“Tp tunggu jelas dulu infonya ya pak faiz. Nanti gw kabari stelah bertemu”.

Hmm…, mungkin inilah yang namanya instinct pertemanan. Nampaknya ada kesamaan sikap antara aku
dan dia yang sama-sama tidak mau tergesa-gesa dalam mengambil tindakan. Perlu adanya titik terang
terlebih dahulu dari peristiwa yang mengagetkan di pagi itu.

Setelah beberapa kali berbalas SMS, akhirnya aku sudahi komunikasi kami dengan mengirimkan pesan
singkat.

“Ok, ok. Sip, kita berburu bersama… Mereka jatuh pada orang yg salah!”

***

Sejak awal memang sudah diantispasi dan diduga bahwa selama proses pemeriksaan sengketa Pemilu,
MK akan disusupi oleh para “Markus”. Hal ini setidaknya dapat terbaca berdasarkan pengalaman MK
pada PHPU tahun 2004 dan pemeriksaan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) lima bulan
yang lalu.

Konon pada tahun 2004, baik para pihak yang berperkara maupun pihak ketiga di luar MK, disinyalir telah
mencoba untuk menggoyahkan kemandirian institusi hukum yang berjuluk “pengawal konstitusi” ini.
Serbuan komplotan “Markus” tersebut terus terendus ketika MK memeriksa perkara Pemilukada untuk
Kabupaten Kerinci dan perkara Kabupaten Belu.

Melihat kondisi yang mulai meresahkan pada saat itu, melalui press conference  tanggal 16 Januari 2009
yang lalu, Ketua MK Moh. Mahfud MD. menceritakan bahwa keluarganya sempat dihubungi oleh orang-
orang tak dikenal yang mengaku telah membawa uang 2,5 miliar untuk para hakim MK. Mereka mengaku
bernama Lopes dan Awiku yang sedang bermalam di Hotel Aryaduta (Kompas, 16/1).

Sontak saja perbuatan tersebut membuat berang seluruh Hakim MK dan sebagian besar pegawai MK.
Pasalnya, kerja keras dan usaha mereka untuk mempertahankan reputasi MK sebagai pengadilan yang
bersih dari praktik suap menjadi terusik.

Pertanyaannya, mengapa para “Markus” tiba-tiba bangun dari kuburnya tatkala MK menangani sengketa
terkait dengan Pemilihan Umum? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Tiap kewenangan
pemeriksaan yang dimiliki oleh MK disadari memiliki muatan perbedaan baik dari subyek pihak yang
berperkara maupun obyek yang diperkarakan.

Pemeriksaan pengujian undang-undang pada dasarnya hanya melibatkan pihak-pihak dari Pemohon,
Pemerintah, dan DPR. Materi persidangannya pun pasti bermuara pada konstitusionalitas keberadaan
dari suatu undang-undang, baik itu secara materiil maupun formil. Artinya, kepentingan yang
dipermasalahkan umumnya tidak memiliki keterikatan secara langsung pada individu yang berperkara
(non-contentious). Akan tetapi, hal tersebut lebih menekankan pada institusi hukum dan objectum
litis dari perkara yang sedang diperiksa.

Sedangkan, pemeriksaan sengketa Pemilu memiliki karakteristik khusus, yakni “win or lost” bagi para
pihak yang berperkara. Kepentingannya pun langsung terletak pada keterpilihan seseorang untuk duduk
sebagai Kepala Daerah. Apabila diperkarakan, maka keabsahan penyelenggaraan Pemilu untuk
memastikan seorang menjadi Gubernur, Walikota, Bupati, atau anggota DPR, anggota DPD, dan anggota
DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten menjadi amat ditentukan pada persidangan di
Mahkamah Konstitusi.

Putusannya pun sebenarnya akan mudah sekali ditebak. Sebab, proses pemeriksaan yang dilaksanakan
tentunya hanya akan mengarah pada dua muara putusan dengan rumus 50%-50% (fifty-fifty), yaitu
menang bagi Pemohon (permohonan dikabulkan) atau kalah bagi Pemohon (permohonan ditolak atau
tidak diterima).

Di sinilah modus operandi para “Markus” subur bermain. Dengan atau tanpa mengatasnamakan para
Hakim dan para pejabat lainnya di lingkungan MK, tanpa informasi sedikitpun para “Markus” dapat
menjanjikan 50% kemenangan kepada Pemohon.

Liciknya, sang Markus akan menghubungi kedua belah pihak yang sedang berperkara, yaitu Pemohon
selaku calon yang tidak terpilih dan Pihak Terkait selaku calon terpilih.

Seandainya saja para “Markus” tersebut menjanjikan kemenangan kepada kedua belah pihak yang
sedang berseteru, maka sudah pasti 100% probabilitas kemenangan yang dibuat oleh sang “Markus”
akan selalu tepat jatuh kepada salah satu pihak yang berperkara.

Celakanya, hingga hari ini masih banyak masyarakat yang menggantungkan harapan pada permainan
suap dan jual-beli perkara di lingkungan MK. Akibatnya, (mungkin) masih ada pihak-pihak yang dengan
mudah tertipu atau setidaknya tergiur pada tipu muslihat yang demikian!

***

Dua minggu sejak pertama kali aku menerima SMS mengenai “Markus”, nyatanya aroma praktik tersebut
semakin terendus kuat. Tepat pada Selasa (2/6) pagi, salah satu atasan MK menghampiri dan
memberikan lembaran kertas yang berisi semacam transkrip pembicaraan.

“Ini Faiz. Coba komentari”, tandasnya lugas.

Mataku langsung melayang dan membaca secara cepat transkrip dialog antara dua orang yang tertulis
“Penelpon” dan “Pemohon” secara bergantian. Pikiranku langsung menyeruak,

“Markus??”.

Ternyata dugaanku benar. Lembaran yang sedang aku baca adalah hasil transkrip negosiasi yang
dilakukan melalui telepon genggam. Dari pembicaraan tersebut diketahui bahwa Penelpon mengaku
kenal dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD. Dirinya meminta sejumlah uang jikalau
perkara yang diajukannya ingin dimenangkan.

Untuk meyakinkan Pemohon, sang “Markus” juga menyeret beberapa nama petinggi MK, yaitu Janedjri
M. Gaffar (Sekretaris Jenderal) dan Zainal Arifin Hoesein (Panitera).

“Ada yang aneh!”, pikirku tajam.


Firasatku menduga bahwa sang Markus pastilah pihak ketiga di luar MK. Sebab, penyebutan nama dan
status para petinggi MK tersebut adalah salah besar.

Pertama, sang Markus meminta agar Pemohon mentransfer Rp 50 juta ke rekening BCA Nomor
7600372216 atas nama Moh. Machfud.

“Pakai c yah namanya, pakai c..”, jelas sang Markus berulang kali sebagaimana tertulis pada transkrip
pembicaraan tersebut.

Padahal, nama sesungguhnya dari Ketua MK adalah Moh. Mahfud MD., tanpa menggunakan satupun
huruf “c”.

Kedua, sang Markus yang mengaku sebagai Sekretaris Jenderal salah menyebutkan nama dan
jabatannya sendiri.

“Pak Jendri M. Jaffar, saya Sekjen dari Kepaniteraan MK”, pungkas sang Penelpon transkrip.

Bagi yang paham betul, tentunya akan tersenyum ketika membaca perkataan tersebut. Sebab, antara
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK adalah dua lingkup bidang kerja yang berbeda. Sekjen
membawahi Sekretariat Jenderal, sedangkan Kepaniteraan dibawahi oleh Panitera. Keduanya tidak
saling merangkap satu sama lainnya.

“Sekarang sedang dilangsungkan press conference di atas. Pak Ketua mencoba mengklarifikasi berita-
berita itu”, jelas sang atasan memotong keseriusanku yang sedang mencermati lembar demi lembar
transkrip di tangan.

“Oh, baguslah. Karena ini sama persis Pak dengan apa yang pernah saya laporkan kepada Bapak dua
minggu lalu”, ungkapku.

Sejak menerima petunjuk tentang keberadaan para “Markus” yang mulai melancarkan aksinya, aku
memang memberikan informasi tersebut hanya kepada kalangan terbatas, yaitu kepada mereka yang
aku anggap mempunyai palu kebijakan utama untuk dapat menindaklanjuti.

Rupanya gayung bersambut. Semakin santernya berita tersebut ternyata mengharuskan Ketua
Mahkamah Konstitusi untuk angkat bicara dan membeberkan praktik para “Markus” yang tengah beredar.
Para “Markus” ibarat binatang buas dan liar ketika mengincar calon mangsanya yang tidak lain adalah
para pihak yang sedang berperkara. Modus operandinya pun cukup terbilang lihai. Gerakannya juga tidak
dapat terbaca riil. Lebih dalam lagi, mereka sangat selektif dalam memilih calon korban.

Berdasarkan keterangan para Pemohon, setidaknya sudah ada 3 (tiga) pihak yang sedang berusaha
didekati oleh para “Markus”. Pertama, calon anggota DPD dari Maluku, Thamrin Elly; Kedua, calon
anggota DPD dari Papua, Pdt. Ellion; dan Ketiga, calon anggota DPD dari Jawa Tengah, Natalie.

Dalam kesempatan press conference tersebut, Mahfud MD. sempat berseru keras,.

“Vonis di sini tidak akan bisa dibeli dengan harga semahal apapun. Semua bukti-bukti yang dikirim ke
rumah saya dan hakim-hakim yang lain dengan maksud memenangkan perkara akan berakhir di kotak
sampah!”, tegasnya.
Entah berapa banyak lagi korban atau calon korban yang mungkin terjerat oleh perangkap sang “Markus”
ini. Himbauan yang didukung oleh pemberitaan hampir di seluruh media massa cetak sehari setelahnya
(3/6) rupanya cukup membantu untuk mengingatkan publik bahwa berperkara di MK tidak dapat dan tidak
boleh diintervensi oleh siapapun dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, para Pemohon diharapkan
tidak sedikitpun terpancing dengan tawaran atau janji-janji surga terhadap perkara yang mereka ikuti.

Terhadap kejadian tersebut, pihak MK pun telah meneruskan laporan kepada pihak yang berwajib untuk
dapat segera ditindaklanjuti. Sejatinya aku berkeyakinan bahwa dengan petunjuk yang telah ada, pelaku
kasus ini dapat dengan mudah ditangkap, karena nomor telpon-nya pun ikut terlacak, yaitu 0817-1377XX.
Namun nyatanya hingga hari ini (8/6), aku belum juga menerima kabar apapun.

“Mungkin pihak kepolisian memerlukan waktu lebih lama untuk dapat meringkus sindikat ‘Markus’
tersebut secara tepat dan menyeluruh”, pikirku positif.

Dalam hati aku berdoa:

“Ya Allah, aku hanya minta satu hal. Hindarkanlah MK ini dari terpaan kasus-kasus yang bisa merusak
legitimasi kepercayaan masyarakat kepadanya. Kami dan seluruh warga hukum lainnya amat
merindukan kehadiran peradilan Indonesia yang bersih dan berwibawa. Jika saja akhirnya MK turut
tumbang di kemudian hari, maka kiranya sulit bagiku untuk mengembalikan semangat keikhlasan dan
pengabdian diri terhadap suatu institusi hukum negara di negeri tercinta ini.”

Fiuhh.., aku lalui hari itu dengan penuh tanya dan harap. Batinku kemudian berbisik,

“Hush Faiz, jangan berlarut-larut. Pekerjaan setumpuk permohonan sudah menunggu tuk diperiksa,
tauk!”

***

… bersambung …
Anomali Hukum dan Peradilan Cinta
Jejak Publisher 09/09/2018 Anomali Hukum dan Peradilan Cinta2018-09-
09T11:00:22+07:00Cerpen, Thriller No Comment

169
SHARES

ShareTweet

Aku hanya saksi bisu di antara cerita yang melekat hingga dibawa ke meja hijau
itu. Orang –orang menerka-nerka siapa yang salah dan siapa yang benar. Tapi
tidak mereka ketahui jika di dalam UUC, Undang-Undang Cinta itu tidak ada
yang salah ataupun benar, tetapi siapa pemenang kasus sesungguhnya.

Benar, orang-orang berkhayal tentang peradilan yang selalu ditanya-tanyakan.


Atas nama cinta yang tak kunjung ada benarnya bahkan tidak tahu apa
salahnya. Mereka sibuk memikirkan masalah hati yang tidak pernah reda, untuk
itu aku diciptakan, UUC. Pintu besar itu dibuka perlahan dan diikuti orang-orang
yang masuk ke ruang penuh kursi. Tibalah waktuku kembali menjadi bacaan
mereka dengan mulut besar mereka.

“Hadirin dimohon berdiri,” kata seorang moderator di sampingku meminta


orang-orang untuk berdiri menyambut kedatangan hakim.

Seorang pembela maju ke tengah ruang sidang, meninggalkan kliennya yang


duduk manis di belakang meja. Ia mulai beraksi sesuai tugasnya.

“Yang mulia, saya menekankan bahwa saudara Vinus tidak bersalah”

“Bagaimana jaksa?” Tanya hakim mempersilakan jaksa penuntut untuk


memberikan tuntutannya.

“Saya menolak yang mulia.”

Jaksa penuntut kembali menjabarkan spekulasi itu, karena hanya di sidang


inilah spekulasi ikut serta merta menjadi pembanding. Kenapa? Lagi-lagi ini
karena kasus cinta. Setiap orang boleh jatuh cinta, itu benar. Semua masih
wajar. Bahkan kepada hati yang keliru mereka berikan dan mereka tidak terima
setelahnya, itu juga wajar. Karena itu sebab patah hati. Tapi, bisakah ada
peradilan untuk membebaskan kata hati itu sendiri? Bisakah orang-orang
berhenti menanyakan peradilan itu sendiri? Tidak akan ada jawabannya. Semua
tidak akan pernah usai, percayalah. Karena aku bahkan tidak menemukan itu
dalam diriku sendiri yang ditulis dan direvisi berkali-kali oleh mereka yang
masih mempertanyakan keadilan.

Jaksa penuntut itu pun mulai bercerita, bukan hanya spekulasi masalah hati
tetapi ia juga membuatnya terlihat seperti bukti dari sebab perkara. Kejadian itu
dikatakannya sudah 3 bulan yang lalu dan terjadi selama 3 tahun. Vrita, gadis
penuntut itu bilang Vinus benar-benar memperlakukannya sebagai seorang
kekasih tapi Vinus tak pernah mendeklarasi dirinya sebagai kekasihnya. Terlebih
hubungan mereka berakhir saat Vrita bertanya soal statusnya di mata Vinus.

“Iya itu benar, saya benar-benar sayang Vrita dan tidak berniat
mempermainkannya.”

“Lalu mengapa Anda meminta Vrita untuk tidak menghubunginya lagi?” Tanya
Jaksa Penuntut antusias.

“Itu karena saya tidak ingin membuat Vrita jatuh cinta pada saya, saya bukan
laki-laki yang baik untuknya.” Kesaksian itu pun berhenti sejenak, gadis itu
sendiri hanya terdiam tak berekspresi—terlalu tenang untuk disebut sebagai
manusia, dia lebih tenang daripada diriku yang tidak memiliki perasaan atas
nama cinta itu sendiri.

“Yang mulia, saudara Vinus telah mengaku meninggalkan Vrita namun demi
kebaikan Vrita, jadi berdasarkan pasal 12 UUC 2018 saudara Vinus dinyatakan
tidak bersalah dan itikad baiknya hanya sebagai teman baik saja. Bahkan
saudara Vrita sendiri sudah berlebihan karena membawa kasus ini ke
pengadilan karena kasus ini sebenarnya sudah tuntas 3 bulan yang lalu dan
diselesaikan secara kekeluargaan.”

“Apa ada kalimat penutup, Jaksa?” Tanya Hakim kepada Jaksa Penuntut yang
sudah menyiapkan sebundel kertas.

“Di sini saya membawa bukti bahwa kasus Vinus merupakan penipuan dan
pelanggaran berat.”
Bukti itu pun dibacakan di depan sidang. Vrita yang diam saja itu kini tertunduk
semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sedang Vinus benar-benar terlihat
cemas dan khawatir—matanya sudah menangkap mata Vrita dan raut wajahnya
seolah berkata, ‘Sudah sedalam itukah kamu jatuh cinta? Maafkan aku, aku
menyayangimu.’

Jika aku tidak ada, maka tidak ada lagi patokan hukum dan semuanya akan
mengalir begitu saja rasa seseorang. Mereka tidak perlu menyalin bukti
pembicaraan, foto kenangan yang seharusnya dihapus saja, tidak perlu ada
yang harus malu, dan dipermalukan hanya karena masalah cinta. Jika aku tidak
ada, semua orang bisa lebih fokus dengan sidang peradilan lainnya, masih
banyak aksi demo anarkis, pembunuhan, kasus korupsi yang membandel, dan
topik hangat lainnya. Di sini aku hanya sebagai pengalih semua bentuk hukum.
Mereka tidak tahu perasaanku, mereka hanya ingin ego mereka menang walau
sudah tahu dalam peradilan ini tidak pernah ditemukan yang namanya adil.

“Saya mencabut tuntutan.” Kata Vrita tiba-tiba.

Semua orang terperangah, mereka tidak terima. Penonton sudah antusias


melihat sidang yang tiba-tiba pemainnya menyerah sebelum hasil akhir. Ini
semua konyol, begitu kata mereka.

“Karena cinta akan selalu berada di pihak yang sama, ini sakit dan tidak adil.
Tapi keputusan ini adalah yang paling adil untuk masalah hati.” Ucap Vrita
dengan berani.

Anda mungkin juga menyukai