NIM : 2110722001
TUGAS : ANALISIS CERPEN
2. Alur/Plot
Seorang penjahat yang mendapat yang mendapat pengacara yang hebat. Penjahat itu, juga
meminta kepada pengacara muda untuk membelanya. Karena pengacara itu profesional
maka dia menerimanya dengan membela penjahat dengan membela penjahat
dipersidangan,penjaht yang seharusnya menjadi musuh negara dan rakyat.
Peradilan terhadap penjahat itu dimulai . gambaran dari pengacara tua itu benar-benar
terjadi sidang perkara yang dilakukan oleh pengacara dan penjahat itu dimenangkan
keduanya. Penjahat itu bebas dengan tertawa lepas. Penjahat itu menerima kebebasnya
dengan cepat keluar negeri dan sulit untuk menjamahnya kembali.
Mengetahui hal tersebut rakyat menjadi beramarah. Mereka turun kejalan dengan
melakukan demontrasi besar-besaran dimana-mana, gedung-gedung dipengadilan
dibakar, dan pengacara muda itu diculik dan dibunuh.
3. Latar
· Latar tempat :
Kantor pengacara tua (ayah dari pengacara muda),bukti "Pengacara tua itu
menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang
jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu
menoleh kepada pengacara muda Pengadilan, bukti ". Dengan gemilang dan mudah ia
mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu."
— Latar waktu :
Malam hari, bukti "Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu
banyak beristirahat. Selamat malam"
— Latar suasana :
Menegangkan, bukti "Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas
ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan
diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru" Kesedihan, bukti "Pengacara tua itu terpagut
di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan
yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes
di pipi pengacara besar itu"
4. Tokoh/Penokohan
. Pengacara Senior (ayah): Memiliki sikap yang bijaksana, penyayang, rendah
hati. Hal tersebut berdasarkan kutipan: "Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah
jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku
sudah sangat rindu kepada dia." "Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak
memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan
suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan". Dari kutipan diatas, karakter
tokoh ayah yang menyayangi dan merindukan putranya. Pengacara senior sudah tampak
lemah dan tua.
Sudut pandang adalah pandangan pengarang dalam melihat suatu peristiwa dalam sejarah.
Untuk mengetahui sudut pandangnya, kita dapat mengajukan pertanyaan: siapa yang
bercerita? Ada beberapa jenis sudut pandang, antara lain sudut pandang orang pertama
(gaya naratif "saya"), sudut pandang resensi (orang ketiga), dan sudut pandang campuran.
Namun, semua ini dalam sebuah karya fiksi disalurkan melalui sudut pandang tokoh,
melalui mata tokoh cerita. Sudut pandang adalah cara memandang tokoh cerita dengan
menempatkan diri pada posisi tertentu. Sudut pandang yang terdapat dalam cerita Corte
del Popolo adalah sudut pandang orang ketiga, atau sudut pandang yang biasanya
pengarang menggunakan tokoh “dia”, atau “dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama
karakter tersebut.
6. Amanat
a) Dalam memilih pilihan hidup itu, kita sebagai manusia harus menggunakan pikiran dan
perasaan kita, agar pilihan yang kita buat tidak merugikan diri kita sendiri.
b) Banyaknya mafia di negeri ini menjadi bukti kebobrokan moral di negeri ini dimana
hukum bisa dipertukarkan.
c) Kita sebagai manusia yang bermoral harus melaksanakan suatu pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab kita menurut norma-norma yang berlaku secara profesional, agar
kita terhindar dari hal-hal yang merugikan orang lain, apalagi membuat orang lain tidak
bahagia. Bukan tidak mungkin ketika orang marah, mereka lupa diri dan mampu
melakukan hal-hal yang melampaui batas normal.
Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit
untukmengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya.Putu yang
dilahirkan di PuriAnom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga
seniman. Ia bungsu darilima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia
tinggal di kompleks perumahanbesar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota
keluarganya dekat dan jauh, danpunya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah
Raka, seorang pensiunan punggawa yangkeras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya
mengharapkan Putu jadi dokter.Namun, Putulemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan
sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat
beasiswa belajar drama (Kabuki)di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena
tidak kerasan dengan lingkungannya, iabelajar hanya sepuluh bulan.
Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974,ia mengikuti
International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang keIndonesia,
mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy. Putu mengaku belajar banyak dari
Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat dikepala saya adalah bagaimana
menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gayaorang bodoh, sehingga
yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gayaTempo," ungkap
Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan
bagikebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985),
dan ia tetapproduktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat
Teater Mandiri,yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater,
Institut KesenianJakarta (IKJ)Putu Wijaya terinspisrasi dari kecarut – marutannya hukum
indonesia yang semakin lamasemakin hancur, yang jahat dibebaskan dan yang bersalah
dihukum. Tidak toleransi lagikorupsi besar-besaran yang menghabiskan uang yang
banyak hanya dihukum beberapa tahun,tetapi seseorang yang bertahan hidup dan mencuri
sebuah sebuah buah kapuk dihukum penjara.Itulah Putu Wijaya membuat cerpen yang
akan mengisahkan bahwa kejahatan pasti akan kalahwalaupun dengan cara apapun untuk
menang.