Anda di halaman 1dari 217

PENDAHULUAN

Proses politik

Tuan-tuan Hakim yang terhormat,


Tatkala kami pada tanggal 16 Juni 1930 di dalam surat kabar
membaca pidato pembukaan Dewan Rakyat oleh Gubernur Jenderal,1
yang antara lain berisi pula permakluman, bahwa kami akan terus
dituntut di muka pengadilan, maka tatkala itu juga kami berkata “Ini
menjadi proses yang menggemparkan!”
Memang sedari mula diadakan penggrebekan dan tangkapan-
tangkapan pada hari 29 Desember 1929,2 kekagetan yang meletus di
dalam udara pergaulan hidup Indonesia dan negeri Belanda itu tak
berhenti terus mengumandang, -perhatian dan kegemparan itu terus
menggetarkan udara politik Indonesia dan negeri Belanda sampai pada
hari ini.
Dan perhatian itu bukan sekali-kali berhubung dengan diri kami
sendiri, tapi adalah disebabkan oleh maknanya proses ini, -suatu proses
terhadap suatu pergerakan yang memang sedari lahirnya hidup dalam
pusat perhatian, perhatian kawan-kawannya dan perhatian musuh-
musuhnya. Perhatian dan kegemparan itu melebihi perhatian dan
kegemparan di jaman proses “Afdeling B”3, melebihi perhatian dan
kegemparan di jaman proses-proses.
“PKI” 4, melebihi perhatian dan kegemparan di jaman proses
manapun juga, -tak lain tak bukan, yakni oleh karena proses ini
adalah proses terhadap suatu pergerakan, yang menurut kata
Middendorp adalah sebenar-benarnya “dagingnya daging dan
darahnya darah” segenap pergerakan nasionalis di Indonesia.
Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses
politik; ia oleh karenanya, di dalam pemeriksaannya, tidak boleh
dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan asas
pergerakan kami, dan yang menjadi nyawanya pikiran-pikiran dan
tindakan-tindakan kami; ia di dalam pemeriksaannya harus
1
memasukkan soal-soal politik itu di dalam gedung mahkamah ini, agar
supaya Tuan-tuan Hakim bisa mengerti segala asas dan sifat pergerakan
kami itu, mengerti segala isi pikiran-pikiran kami itu, mengerti segala
sebab-sebab dan maksud-maksud tindakan-tindakan atau perkataan-
perkataan kami yang menjadi pemeriksaan Tuan-tuan itu.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, kami tidak syak wasangka,
kami percaya, bahwa Tuan, -bagaimana juga barangkali Tuan punya
keyakinan politik- kami percaya, bahwa Tuan berdiri sama tengah.
Maka oleh karenanyalah kami tersenyum oleh caranya surat-surat
kabar, misalnya ‘AID de Preangerbode5 atau lain-lain surat kabar yang
benci kepada kami dan pergerakan kami, menghasut Tuan-tuan
Hakim bahwa di dalam proses ini kami tentu akan mendapat
hukuman, yakni bahwa “putusan bebas tak bisa jadi”. Kami tersenyum
pula, oleh karena surat-surat kabar yang demikian itu menunjukkan
moralnya yang sebenarnya.

Hakim dalam proses politik

Kami tidak tahu apa-apa tentang Tuan-tuan punya keyakinan


politik. Kami pun tidak perlu mengetahuinya. Tapi kami percaya
bahwa peringatan Mr. Dr. Schumann tak perlu bagi Tuan-tuan, yakni
peringatan bahwa: “adalah menarik hati untu menghukum si
penghasut, juga karena ia musuh di lapangan politik”.
Kami percaya, kami yakin, bahwa juga peringatan Prof.
Molengraaff tak perlu bagi Tuan-tuan, Prof. Molengraaff yang
mengatakan bahwa :
“pihak yang kita senangi, itulah yang kita pandang benar”,
-meskipun barangkali Tuan-tuan (kami tidak tahu), seperti kata Mr.
van Houten, termasuk dalam golongan hakim, yang
“karena juga manusia tidak selamanya berdiri di luar
sesuatu pertikaian”, malahan barangkali berdiri “di
tengah-tengah pergerakan politik”, atau “ikut mengambil
bagian yang akif dalam tiap perjuangan”,6

2
kami ulangi lagi: Kami percaya bahwa tuan-tuan Hakim berdiri
sama tengah. Dan jikalau nanti kami uraikan segala kami punya
keyakinan politik, jikalau nanti kami beberkan segala sifat-sifat
PNI dan segala penglihatan atau ideologi kami, jikalau nanti kami
masukkan “politik” di dalam gedung mahkamah ini, maka itu bukan
untuk mempropagandakan kebenaran kami punya keyakinan itu,
melainkan hanya supaya Tuan-tuan bisa mengetahui asas, sifat, dan
aksinya PNI, dan bisa menakar, bisa mengerti, bisa begrijpen kami
punya penglihatan politik, -dan karena itu, mengerti isi dan maksud
segala perkataan dan tindakan kami yang Tuan-tuan periksa dalam
proses ini. Hanya inilah maksud kami dengan mengucapkan
pidato ini. Bagian yang bersangkutan dengan hukuman adalah
bagian kami punya pembela-pembela Mr. Sastromoeljono cs.7

Pasal-pasal dan tuduhan-tuduhan seperti biasa

Sebab Tuan-tuan Hakim, kami di sini didakwa bersalah


menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar
pada pendapat subyektif, yakni pendapat yang kurang sama
tengah. Kami didakwa melanggar pasal 169 yang di dalam surat
tuduhannya berisi tuduhan-tuduhan pelanggaran, tentang
pemberontakan, pasal 161 bis, pasal 171 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.8 Kami didakwa menjalankan hal-hal yang di dalam
Kitab Undang-undang itu dikalimahkan dengan cara yang membuka
jalan bagi subjectiviteit itu, -subjectiviteit atas pertanyaan “apakah
yang dinamakan cara menyindir”, “apakah yang dinamakan cara
janji”, “apakah yang dinamakan dengan kata-kata tertutup”, -
subjectiviteit atas pertanyaan “apakah yang dinamakan ketertiban
umum”, “apakah yang dinamakan melanggar”,- subjectiviteit
atas pertanyaan “apakah yang dinamakan menerbitkan rusuh”,
subjectiviteit atas pertanyaan “apakah yang dinamakan kabar
bohong”, “apakah yang dinamakan perikehidupan ekonomi dari
pergaulan hidup”, dan lain-lain sebagainya.

3
Terutama sekali pasal-pasal 161 bis dan 153 bis sangat sekali
membuka kesempatan lebar pada pendapat subyektif itu. Kami,
kaum politik Indonesia, kami sejak semula pasal-pasal ini diterbitkan,
tidak berhenti-hentinya mengeritiknya, tidak
berhenti-hentinya memprotesnya. Kami
anggap pasal-pasal ini sebagai halangan besar bagi menjalankan “hak
berserikat dan berkumpul”, yang toh tadinya sudah terancam sekali
oleh adanya “haatzaai-artikelen” (pasal-pasal pencegah penyebaran
rasa benci), oleh adanya “hak pendigulan” dan sebagainya itu. Kalau
“haatzaai-artikelen” itu sudah tersohor dengan nama “aturan karet
yang kelewatan kekaretannya”, nama apakah yang harus diberikan
kepada misalnya pasal 153 bis itu? Tiada salahnya, kalau Tuan
Mendels di dalam Tweede-Kamer Staten-Generaal,9 -dalam
pemandangan umum mengenai anggaran belanja Hindia Belanda
1926-, menyebutkan pasal ini “satu pasal undang-undang pidana yang
mendirikan bulu roma”, yang ia “di dalam tahun-tahun yang akhir
ini belum pernah jumpai”. Ia mengatakan : tapi kalau begitu,
janganlah orang omong, bahwa di sini ada aturan hukum”, ia
mengatakan:
“ini berarti tidak ada aturan hukum sama sekali”, ya, ia
mengatakan:
“ini adalah kesewenang-wenangan dengan mempergunakan
undang-undang sebagai senjata”

Keyakinan kami harus diingat

Tuan-tuan Hakim, kami harap, kami percaya, bahwa di dalam


Tuan-tuan punya tangan, pasal ini tidak dibikin sewenang-wenang.
Meskipun demikian berhubung dengan kekaretan pasal-pasal
yang diancamkan atas diri kami itu, berhubung pula dengan soal,
yang oleh Prof. Simons disebutkan :
“sampai berapa jauh dan cara bagaimana hukum pidana
itu harus mengingat keyakinan terdakwa”,

4
atau berhubung dengan apa yang diperingatkan oleh Mr. Dr.
Schumann, bahwa hakim harus
men gingat berbagai-bagai keadaan, makmur
kurang makmurnya pendudukan, banyak atau sedikitnya
sebab-sebab yang memaksa”,10
maka perlu sekali kami uraikan kepada Tuan-tuan segala bagian
kami punya keyakinan politik yang terpenting, beserta segala
bagian pergerakan PNI yang perlu-perlu, -supaya Tuan-tuan
segera bisa, mengerti, bahwa PNI dan kami ora-ng tidak bersalah
atas hal-hal yang dituduhkan semua.
Maaflah Tuan-tuan Hakim, kalau kami di dalam pidato ini
minta Tuan-tuan punya perhatian sampai berjam-jam lamanya.
Maaflah pula, kalau kami di sana-sini mendalilkan beberapa dalil dari
beberapa buku. Sebab, dalil-dalil itu perlu sekali untuk membuktikan
kepada Tuan-tuan, bahwa apa yang kami ucapkan, -terutama yang
pahit dan getir,- bukan isapan jempol kami sendiri, tetapi bersendi
atas pengetahuan orang-or-ang bijaksana dan tulus hati.
Atas salah satu pertanyaan Tuan Ketua di dalam pemeriksaan,
kami menjawab, bahwa kami dengan sikap sama tengah yang
bagaimanapun juga, sebagai kaum kiri melihat lebih banyak
kejelekan daripada kebagusan di dalam nasib negeri dan rakyat
Indonesia sekarang ini. Kami terkenal sebagai pengeritik nasib negeri
dan rakyat yang jelek itu. Kami memang sering menjatuhkan kritik
di atasnya. Tetapi kami tak pernah mengucapkan kritik yang palsu,
kami tak pernah meninggalkan sikap yang adil. Sikap kami yang adil
itu, akan mendapat bukti-bukti pula di dalam dalil-dalil itu, akan
mendapat bukti-bukti di dalam sedikit angka-angka yang nyata.
Dengan permintaan maaf yang demikian itu, sekarang kami
mulailah pembelaan diri kami.

Catatan kaki
1
Gubernur Jenderal dimaksud ialah Jhr. B.C. de Jonge, yang menjalankan tugasnya
di Hindia Belanda (Indonesia) dari tahun 1930-1936.

5
2
Bung Karno ditangkap tanggal 29 Desember 1929 di rumah Mr. Soejoedi di
Yogyakarta, setelah beliau malam sebelumnya mengucapkan pidato tentang
perang di Pasifik.
3
Afdeling B. ialah sayap lain dari Sarikat Islam, di bawah pimpinan Semaun, yang
mengadakan serikat-serikat buruh. Sejak tahun 1920 serikat buruh itu
bergabung ke dalam PKI, lalu tahun 1926 melakukan pemberontakan terhadap
Belanda.
4
Proses PKI, dimaksud di sini ialah perlakuan pemerintah Belanda terhadap
pemberontakan PKI tahun 1926 di Jawa dan 1927 di Sumatra. Waktu itu sekitar
15.000 orang ditangkap. Kemudian PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
5
AID de Preangerbode, ialah surat kabar Belanda di Indonesia, berbahasa Belanda,
sudah lebih dahulu menyalahkan Bung Karno sebelum proses peradilan
berlangsung.
6
Dalam buku “Pleidooi Indonesische Studenten”, (Pembelaan Mahasiswa
Indone-sia) karangan Duys, mengenai mahasiswa Indonesia yang diadili di
Nederland (Hatta, Ali Sastroamidjojo, dll) dikutip pendapat-pendapat ahli
hukum tersebut, seperti Schumann, Molengraaf, van Houten.
7
Tim pembela Bung Karno di Landraad Bandung itu, ialah : Mr. Sartono, Mr.
Sastromuljono, Mr. Soejoedi, dan R. Idih Prawiradiputra.
8
Dalam KUHP jaman kolonial itu ada diberi tambahan pasal 135 bis dan 161 bis,
yang digunakan untuk menghadapi mereka yang disebut sebagai penghasut atau
pemberontak, disertai exorbitante rechten (hak-hak luar biasa) dari gubernur
jenderal.
9
Parlemen Belanda mengenal 2 majelis, yaitu Majelis Rendah (Tweede Kamer)
dan Majelis Tinggi (Berste Kamer), Gabungan kedua majelis ini adalah Staten-
Generaal.
10
Duys dalam “Pleidooi Indonesische Studenten”.

6
Kami memang sering
menjatuhkan kritik di atasnya.
Tetapi kami tak pernah
mengucapkan kritik yang palsu,
kami tak pernah meninggalkan
sikap yang adil.

7
IMPERIALISME dan
KAPITALISME
Artinya

Tuan-tuan Hakim yang terhormat!


Di dalam aksi kami sering-sering kedengaran kata-
kata “kapitalisme” dan “imperialisme”. Di dalam proses ini, dua
perkataana inipun menjadi penyelidikan. Kami antara lain dituduh
memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau
umpamanya kami berkata “kapitalisme harus dilenyapkan”.
Kami dituduh membahayakan pemerintah kalau kami berseru
“rubuhkanlah imperialisme”. Ya, kami dituduhkan berkata bahwa
kapitalisme = bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa
imperialisme = pemerintah yang sekarang!
Adakah bisa jadi benar tuduhan ini? Tuduhan ini tidak bisa
jadi benar. Kami tidak pernah mengatakan, bahwa kapitalisme =
bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme =
pemerintah. kami pun tidak pernah memaksudkan bangsa asing
kalau berkata; kapitalisme, tidak pernah memaksudkan pemerintah
atau ketertiban umum atau apa saja kalau kami berkata
imperialisme. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata
kapitalisme; kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata
imperialisme!
Maka apakah artinya kapitalisme? Tuan-tuan Hakim, di dalam
pemeriksaan sudah kami katakan, Kapitalisme adalah sistem
pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan

8
kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari ini cara
produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai-lebih1 tidak
jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan
kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan
akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi kapital, dan
industrieel Reserve-armee 2. Kapitalisme mempunyai arah kepada
Verelendung3.
Haruskah kami di dalam pidato ini masih lebih lebar lagi
menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan
manusia, bukan suatu bangsa,–tetapi ialah suatu faham, suatu
pengertian, suatu sistem? Haruskah kami menunjukkan lebih lanjut,
bahwa kapitalisme itu ialah sistem cara produksi, sebagai yang kami
telah terangkan dengan singkat itu? Ah, Tuan-tuan Hakim, kami rasa
tidak. Sebab tidak ada satu intelektuil yang tidak mengetahui artinya
kata itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang sudah begitu banyak
diselidiki dari kanan-kiri, luar dalam, sebagai kapitalisme itu. Tidak ada
satu hal di dunia ini, yang begitu luas perpustakaannya, sebagai
kapitalisme itu, –hingga berpuluh-uluh jilid, berpuluh-puluh ribu
studi dan buku-buku standar dan brosur-brosur tentang itu.
Tetapi apa arti perkataan imperialisme? Imperialisme juga
suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan
sebagai yang dituduhkan kepada kami itu. Ia bukan ambtenaar
binnenlandsch bestuur4, bukan pemerintah, bukan gezag,5 bukan
badan apapun jua. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai
atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri,–suatu
sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa
lain. Ini adalah suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang
timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi
sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Selama ada “ekonomi
bangsa”, selama ada “ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat
imperialisme. Ia kita dapatkan dalam nafsu burung Garuda Rum
terbang ke mana-mana, menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di
luar Lautan Tengah. Ia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol
menuduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris, ia kita
dapatkan di dalam nafsu kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan negeri
9
semenanjung Malaka, menaklukkan kerajaan Melayu, mempengaruhi
rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Ia kita dapatkan di dalam
nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua
kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera
sampai Maluku. Ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Jepang
menduduki semenanjung Korea, mempengaruhi negeri Mancuria,
menguasai pulau-pulau di Lautan Teduh. Imperialisme terdapat di
semua zaman “perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa
yang ekonominya sudah butuh pada imperialisme itu. Bukan pada
bangsa kulit putih saja ada imperialisme; tapi juga pada bangsa kulit
kuning, juga pada bangsa kulit hitam, juga pada bangsa kulit merah
sawo sebagai kami, –sebagai terbukti di zaman Sriwijaya dan zaman
Majapahit; imperialisme adalah suatu “economische
gedetermineerde noodwendigheid”, suatu keharusan yang
ditentukan oleh rendah tingginya ekonomi sesuatu pergaulan
hidup, yang tak memandang bulu.

10
Tetapi apa arti perkataan
imperialisme?

Ia adalah suatu nafsu, suatu


sistem menguasai atau
mempengaruhi ekonomi
bangsa lain atau negeri,–suatu
sistem merajai atau
mengendalikan ekonomi atau
negeri bangsa lain.

11
Dan sebagai yang tadi kami katakan, –imperialisme bukan
saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi
imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi
negeri dan bangsa lain! Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau
bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa
“perluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata” sebagai
yang diartikan oleh van Kol6 –tetapi ia bisa juga berjalan hanya
dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga
berjalan dengan cara “penetration pacifique”.
Terutama dalam sifatnya mempengaruhi rumah tangga bangsa
lain, imperialisme zaman sekarang sama berbuahkan “negeri-negeri
mandat” alias “mandaatgebieden”,
daerah-daerah pengaruh” alias
“invloedssferen” dan lain-lain sebagainya, sedang di dalam
sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuah
negeri jajahan, –koloniaal-bezit.

Imperialisme Tua dan Modern

Dan bukan saja di dalam dua macam itu imperialisme bisa kita
bagikan,–imperiaisme juga bisa kita bagikan dalam imperialisme-tua
dan imperialisme-modern. Bukankah besar bedanya imperialisme-tua
bangsa Portugis dan Spanyol atau East India Company Inggris atau Oost
Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, 17 dan 18—dengan
imperialisme-modern yang kita lihat dalam abad ke-19 atau 20,
imperialisme-modern yang mulai menjalar ke mana-mana sesudah

12
kapitalisme-modern bertakhta kerajaan di benua Eropa dan di benua
Amerika Utara?
Imperialisme-modern, –imperialisme-modern yang kini
merajalela di seluruh benua dan kepulauan Asia dan yang kini kami
musuhi itu,– imperilisme-modern itu adalah anak kapitalisme-modern.
Imperialisme-modern pun sudah mempunyai perpustakaan,–tetapi
belum begitu terkenal di dalam arti-artinya dan rahasia-
rahasianya sebagai soal kapitalisme. Imperialisme-modern itu, oleh
karenanya, Tuan-tuan Hakim, mau kami dalilkan artinya agak lebar
sedikit dari buku-buku satu dua. Kami tidak akan mendalilkan buku
Sternberg “Der-Imperialismus” yang walau sangat menarik hati dan
tinggi ilmu toh roda “kering” untuk mendengarkannya, –kami
mendalilkan Mr. Pieter Jelles Troelstra, pemimpin Belanda yang
baru wafat, yang menulis: 7
“Yang saya artikan dengan imperialisme ialah kejadian,
bahwa kapital besar sesuatu negeri yang sebagian besar
dikuasai bank-bank, mempergunakan politik luar negeri dari
negeri itu untuk kepentingannya sendiri.
Perkembangan ekonomi yang cepat dalam abad
kesembilanbelas itu, menimbulkan suatu persaingan hebat
di lapangan pertanian dan industri.
Salah satu akibat persaingan ini, ialah bahwa pada
penghabisan abad itu, politik proteksi (melindungi negara
sendiri) dengan cepat menjadi pegangan.

Lahirlah industri besar yang modern, tenaga produksi


industri besar itu sangat diperbesar, tapi kemungkinan-
kemungkinan untuk menjualkan di negeri sendiri
terbatas dan timbullah kemustian mencari pasar di luar
batas negeri sendiri.
Caranya industri besar mengatur kesukaran ini dengan
tidak mengurangi untungnya ialah: meninggikan harga di
pasar dalam negeri yang dilindungi dan menjalankan
13
taktik dumping di luar negeri (yakni menjual barang-
barang dengan harga yang lebih murah dari harga biasa di
situ). Politik “perlindungan yang agresif” ini saja sudah
membikin tambah panasnya perhubungan internasional.
Di samping itu dengan cepat bertambah subur bank-bank
yang besar, kapitalnya tambah besar dan industri dan
perdagangan dalam negeri tidak cukup lagi untuk
menanamkan kapital itu.
Akibatnya mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke
negeri-negeri yang belum maju ekonominya dan miskin
akan modal. (Misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke
Rusia dan kapital Belanda ke Timur).

Aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja.


Negeri-negeri yang mengeluarkan kapital itu juga
mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik,
membikinkan jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-
pelabuhan, dan lain-lain. Dalam banyak hal bagi
penanam modal lebih menguntungkan memasukkan
uangnya dalam onderneming-onderneming di negeri-
negeri yang terkebelakang ekonominya, di mana tenaga
buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh
undang perburuhan dan sebagainya.”

Begitulah keterangan Mr. Pieter Jelles Troelstra. Marilah kita


sekarang mendengarkan seorang sosialis lain, yakni H. N. Brailsford,
pengarang Inggris yang termashur itu.8

“Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan kekayaan itu


ialah pertama-tama kesempatan menanamkan modal dengan
untung luar biasa. Penaklukan dalam pengertian yang lama
sudah tidak berlaku lagi… Memburu konsesi-konsesi di luar
negeri dan membuka kekayaan-kekayaan terpendam dari
negara-negara yang lemah dan kerajaan-kerajaan yang

14
setengah mati, makin menjadi suatu pekerjaan resmi, suatu
peristiwa nasional.
Dalam fase ini bagi kaum berkuasa jadi lebih penting dan
menarik hati mengalirkan modal keluar negeri dari
mengekspor barang-barang.
Imperialisme adalah semata-mata penglahiran politik dari
kecenderungan yang bertambah besar dari modal, yang
bertimbun-timbun di negeri-negeri yang lebih maju
industrinya, untuk diperusahakan ke negeri-negeri yang
kurang maju dan kurang penduduk”.
Bukankah dengan dua contoh ini nyata dengan sejelas-
jelasnya, bahwa sangkaan imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa
kulit putih, atau pemerintah, atau “gezag” apada umumnya, adalah
salah sama sekali? Tapi marilah kita mendengarkan satu kali lagi
uraian seorang sosialis lain, yakni Otto Bauer9 yang mashur itu, yang
melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik meluaskan
daerah, suatu expansie politiek yang :
“Senantiasa mengusahakan tercapainya maksud menjamin
supaya kapital mendapat lapangan menanaman dan pasar-
pasar penjualan. Di dalam perekonomian negeri kapitalis
setiap waktu sebagian dari modal uang perusahaan
ditarik dari peredaran kapital pabrik… Jadinya, setiap waktu
sebagian dari modal perusahaan dibekukan, setiap waktu
menjadi “bero” (Jawa, maksudnya tanah kosong yang tidak
dimanfaatkan).

Apabila banyak modal uang dibekukan, apabila pecahan-


pecahan kapital yang lepas ini hanya lambat mengalirnya
kembali ke perusahaan-perusahaan produksi, maka yang
pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat
produksi dan tenaga-tenaga kerja. Ini berarti segera
merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam
industri alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan

15
serikat sekerja, turunnya upah-upah kaum buruh. Tapi
kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri,
yang membikin barang-barang keperluan sehari-hari.
Permintaan kepada barang-barang yang langsung
dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang, berkurang,
pertama oleh karena kaum kapitalis yang mendapat
penghasilannya dari industri-industri alat produksi, lebih
sedikit mendapat untung, dan kedua karena bertambah
besarnya pengangguran dan turunnya upah-upah,
mengurangi tenaga pembeli golongan buruh. Oleh karena
itu, juga dalam perusahaan-perusahaan barang-barang
keperluan hidup, harga-harga, keuntungan-keutungan, upah-
upah buruh merosot pula; demikianlah penarikan sebagian
besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri
umum, berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-
keuntungan, upah-upah, serta bertambah banyaknya
pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita
penting sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti
maksud-maksud politik kapitalis untuk menguasai (negeri
lain). Politik ini bergiat mencari lapangan untuk
menanaman kapital dan pasar-pasar buat penjualan
barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini bukan
soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya
adalah satu soal saja”.
Sekianlah dalil-dalil kami tentang arti kata imperialisme, dari pena
orang-orang sosialis. Marilah kita sekarang mendengarkan keterangan
orang yang bukan sosialis, yakni keterangan Dr. J.S. Bartstra di dalam
bukunya “Geschiedenis van het moderne imperialisme”10, dimana nanti
akan tampak juga perkataan kami, bahwa imperialisme itu bukan
pemerintahan, bukan suatu anggota pemerintah, bukan suatu bangsa
asing, -tetapi suatu kehausan, suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau
mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain. Berkata Dr.
Bartstra:

16
“Perkataan “imperialisme” pertama kali sekali dipakai di
Inggris kira-kira tahun 1880. yang dimaksud orang dengan
perkataan itu, ialah usaha untuk mengeratkan kembali
perhubungan dengan Inggris dari daerah-daerah jajahan
yang memerintah sendiri11 dan pertaliannya dengan negeri
induknya sudah agak kendur dalam “masa liberal” yang
lampau. Yang menarik hati ialah bahwa perkataan itu
sudah lama hilang sama sekali maknnya yang mulia-mulai
itu.”

“….Lama-kelamaan perkataan itu mendapat isi-pengertian


yang lain: maknanya sekarang ialah usaha bangsa Inggris,
yang hendak memberi kepada “kerajaan” pengluasan
daerah jajahan yang lebih besar, baik dengan jalan
menaklukkan negeri-negeri yang oleh karena letaknya dalam
ilmu bumi mungkin membahayakan jika berada dalam
tangan saingan, maupun dengan jalan merampas daerah-
daerah, yang bisa dijadikan pasar penjualan yang baik atau
tempat-tempat orang bias mendapatkan bahan-nahan pokok
untuk pertukangan dalam negeri, yang justru waktu itu mulai
makin menderita oleh saingan luar negeri.”

“Dalam arti pengluasan daerah jajahan dengan tidak terbatas,


pengertian itu segera juga menjadi umum…..”

Maka sesudah itu, Dr. J.S. Bartstra lalu memberi keterangan


lebih lanjut tentang penglihatan kaum sosialis terhadap
imperialisme itu, demikian:
“Sebabnya perkataan itu menjadi sangat populer, ialah
karena propaganda kaum sosial-demokrat, yang menganggap
peristiwa itu sebagai konsekuensi dari sistem produksi
kapitalis. Memang yang memberikan perkataan itu
pengertian yang lebih dalam dan luas ialah pengarang-
pengarang Marxis, seperti Rudolf Hilferding12, Karl Renner
dan juga H.N. Brailsford yang terkenal itu. Menurut mereka,
17
imperialisme itu adalah politik luar negeri yang tidak bias
dielakkan dari negara-negara yang mempunyai “kapitalisme
keliwat matang”. Yang dimaksud mereka ialah suatu
kapitalisme dengan pemusatan perusahaan-perusahaan dan
bank-bank yang dijalankan sampai sejauh-jauhnya. Oleh
karena itu, dan tidak sedikit pula oleh karena fungsi
proteksionisme yang sudah berubah –dulu suatu cara untuk
mempertahankan diri terhadap luar negeri, sekarang
menjadi “sistem dumping”13- maka imperialisme itu tidak
puas lagi dengan pikiran-pikiran liberal yang tradisional
mengenai tidak ikut campurnya Negara (dengan urusan
partikelir), persaingan bebas dan pasifisme.

Paham-paham kemudian ini seolah-olah sudah terbalik


menjadi yang sebaliknya, yakni menjadi usaha
mempergunakan alat-alat kekuasaan Negara yang melulu
bersifat politik untuk maksud-maksud ekonomi, yakni:
mempengaruhi dan merampas daerah-daerah pasaran dan
daerah-daerah bahan pokok, pun juga menjamin
pembayaran rente kapital-kapital yang ditanam di negeri-
negeri terbelakang ekonominya.

Mengenai soal belakangan ini, yakni yang disebut “ekspor


kapital”, oleh pengarang-pengarang tersebut istimewa sekali
ditunjukkan betapa pentingnya. Disebabkan karena usaha
kerajinan lebih sungguh-sungguh dikerjakan, oleh
pemusatan-pemusatan bank-bank dan oleh “sistem
dumping”, maka –demikian kata mereka- bukan main
banyaknya kapital bertimbun-timbun, yang seringkali di
dalam negeri tidak cukup bias dipergunakan. Itulah sebabnya
maka makin lama makin terasa perlunya untuk menanam
kapital besar-besar di negeri-negeri yang terbelakang
ekonominya, tentu saja dengan bunga yang setinggi-
tingginya. Lagi pula dengan demikian didapatlah pesanan-
pesanan besar jalan kereta-api, mesin-mesin, dan lain-lain
18
pada industri sendiri. Akibat segalanya itu pula:
Perhubungan dengan luar negeri menjadi runcing, bahaya
perang, ekspedisi-ekspedisi militer, “daerah-daerah
pengaruh” di daerah-daerah seberang lautan, pengawasan
atas uang masuk dan uang keluar dari negeri-negeri asing
oleh perkumpulan-perkumpulan banker Eropa,
pemburuan mencari jajahan. Itulah imperialisme!”

Akhirnya Dr. Bartstra sekali lagi mengatakan dengan saksama


apa yang disebutnya imperialisme-modern, katanya :
“ Yang disebut imperialisme-modern ialah usaha meluaskan
milik jajahan dengan tidak terbatas, seperti cita-cita
demikian itu menjadi pendorong dalam masa ± 1880 sampai
sekarang bagi politik luar negeri hampir semua negeri-negeri
kebudayaan yang besar, terutama untuk keuntungan
industri dan kapital bank mereka sendiri.14
Imperialisme ini bukan sekali-kali satu-satunya tenaga
penggerak, bahkan tidak setiap saat yang paling kena dari
tenaga-tenaga penggerak yang sangat beragam-ragam dari
jangka waktu itu, tapi dalam akibat-akibatnya itulah salah
satu yang menjadi sangat penting, oleh karena panggung
sejarah bertambah luas karenanya, buat pertama kali dan
buat selama-lamanya, di seluruh muka bumi.”

Imperialisme-tua dalam hakikatnya tak beda

Bagitulah artinya imperialisme-modern.


Dan artinya imperialisme-tua?
Imperialisme-tua sebagai yang kita alami dalam abad-abad
sebelum bagian kedua abad ke-19-, imperialisme-tua dalam
hakikatnya adalah sama dengan imperialisme-modern: nafsu,
keinginan, cita-usaha, kecenderungan, system untuk menguasai atau
mempengaruhi rumah tangga negeri lain atau bangsa lain, nafsu untuk

19
melancarkan tangan ke luar pagar negeri sendiri. Sifatnya lain, asas-
asasnya lain, penglairannya lain, - tapi hakikatnya sama.
Di dalam abad-abad yang pertama atau di dalam abad ke-19,
di dalam abad ke-16 atau ke-20, -kedua-duanya adalah
imperialisme! Imperialisme, - begitulah kami katakan tadi -, terdapat
pada semua jaman! Ya, sebagai Prof. Jos Schumpeter katakan :
“Sama tuanya dengan dunia, -nafsu yang tiada terhingga
dari suatu Negara untuk meluaskan daerahnya dengan
kekerasan ke luar batas-batasnya menurut alam”15.
Imperialisme mana juga yang kita ambil, imperialisme-tua
atau imperialisme-modern, -bagaimana juga kita bolak-balikkan,
dari mana juga kita panddang,- imperialisme tetap suatu paham,
suatu nafsu, suatu kecenderungan, suatu keinginan, suatu kesukaan,
suatu cita-usaha, suatu sistem,- dan bukan ambtenaar BB, bukan
pemerintahan, bukan gezag, bukan bangsa Belanda, bukan bangsa
asing manapun jua,- pendek kata bukan badan, bukan manusia,
bukan benda atau materi!

Asas imperialisme urusan rezeki

Nafsu kecenderungan, keinginan atau sistem ini sejak


jaman purbakala menimbulkan politik luar negeri, menimbulkan
perseteruan dengan negeri lain, menimbulkan perlengkapan senjata
darat dan senjata armada, menimbulkan perampasan-
perampasan negeri asing, menimbulkan jajahan-jajahan yang
diambil rezekinya,- dan di dalam jaman modern ia menimbulkan
“Bezuglander”, yakni tempat mengambil bekal industri,
menimbulkan daerah-daerah pasaran bagi hasil-hasil industri itu,
menimbulkan lapangan bergerak bagi modal yang tertimbun-timbun
… menimbulkan “daerah pengaruh”, menimbulkan protektorat-
protektorat, menimbulkan “negeri-negeri” dan “tanah jajahan”
dan bermacam-macam “lapangan usaha yang lain, sehingga
20
imperialisme adalah juga suatu bahaya bagi negeri-negeri yang
merdeka.16
Baik “daerah-daerah pengaruh”, maupun “negeri-negeri
mandate”, baik “protektorat” maupun “tanah jajahan”, -semua
terjadinya begitu, sebagai ternyata pula dari dalil-dalil kami tadi, untuk
mencari rezeki atau untuk menjaga pencarian rezeki, semuanya
ialah hasil keharusan-keharusan ekonomi. Partai Nasional Indonesia
menolak semua teori yang mengatakan bahwa asal-asal penjajahan
dalam hakikatnya bukan pencarian rezeki, menolak semua teori yang
mengajarkan, bahwa sebab-sebab rakyat Eropa dan Amerika
mengembara di seluruh dunia dan mengadakan tanah-tanah jajahan
di mana-mana itu, ialah oleh keinginan mencari kemashuran, atau oleh
keinginan kepada segala yang asing, atau oleh keinginan
menyebarkan kemajuan dan peradaban. Teori Gustav Klemm yang
mengajarkan bahwa menyebarnya “bangsa menang” ke mana-mana
itu selain oleh nafsu mencari kekayaan ialah terdorong pula oleh “nafsu
mencari kemashuran”, nafsu mencari keakuran”, “nafsu melihat
negeri asing”, “nafsu mengembara merdeka”, atau teori Prof. Thomas
Moon yang mengatakan, bahwa imperialisme itu selain berasas
ekonomi juga berasas nasionalisme dan lain-lain, sebagai diuraikan
dalam bukunya “Imperialism and World-politics”17 teori-teori itu buat
sebagian besar kami tolak sama sekali. Tidak! Bagi Partai Nasional
Indonesia penjajahan itu asal-asalnya yang dalam dan asasi, ialah
nafsu mencari benda, nafsu mencari rezeki belaka.
“Asal penjajahan yang pertama-tama hampir selalu ialah
tambah sempitnya keadaan penghidupan di negeri sendiri”,
begitu Prof. Dietrich Schafer menulis18 dan Dernburg, Kolonial-
direktor negeri Jerman sebelum perang, dengan terus terang mengakui
pula :
“Penjajahan ialah usaha mengolah tanah, mengolah harta-
harta di dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah
hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk, untuk

21
keuntungan keperluan ekonomi dari bangsa yang
menjajah”...19
O memang, Tuan-tuan hakim, penjajahan membawa
pengetahuan, penjajahan membawa kemajuan, penjajahan
membawa kesopanan. Tetapi maksud yang sedalam-dalamnya ialah
urusan rezeki, atau sebagai Dr. Abraham Kuyper menulis dalam
bukunya “Antirevolutionaire staatkunde”; -”suatu urusan
perdagangan”, “een mercantiele betrekking”!
Pemimpin besar ini menulis sebagai berikut: “Jajahan-
jajahan dengan tiada pembentukan keluarga sendiri yang
menetap, memberi kesempatan menyuburkan
penghasilan negeri Bumiputra, menggali tambnag-
tambang, menjualkan barang kita di situ da sebaliknya
mencarikan pasar di negeri kita buat barang-barang dari
tanah jajahan itu, tapi perhubungan adalah tetap
perhubungan ekonomi. Yang dipentingkan ialah
pembukaan tambang-tambang, pembikinan barang-
barang, perhubungan pasar dan perdagangan seberang
lautan, tapi bahkan dalam hal bahasa dan adat istiadat, da
terutama dalam hal agama, bangsa yang menjajah itu bias
mengasingkan diri sama sekali dari rakyat yang dijajahnya.
Perhubungannya adalah perhubungan perdagangan dan
tetap demikian sifatnya, yang mengayakan negeri yang
menjajah atau tidak jarang membikin miskin negeri yang
dijajah”20. Dan Brailsford di dalam bukunya yang paling
baru21 berkata: “Imperialisme itu telah mamahatkan
sejarahnya yang indah tentang keberanian dan
kehebatannya dalam hal organisasi di dalam kulit bumi
sendiri, dari Siberia yang ditutupi es sampai ke gurun-gurun
pasir di Afrika Selatan.

Tapi hadiah-hadiah pendidikan rangsang-


rangsang kecendekiaan dan pemerintahan yang
lebih ber-perikemanusiaan yang turut dibawanya,
senantiasa hanyalah barang-barang sisa dari kegiatannya
yang angkara murka. Menganugerahkan hadiah-hadiah ini,
22
jarang-jarang, barangkali juga tidak pernah, menjadi alas an
pionir-pionirnya yang kuat-kuat itu. Kalaupun mereka itu
mempunyai alasan, yang agak luhur dari keuntungan
kebendaan, maka alasan itu ialah untuk kemuliaan dan
kebesaran negeri induk.
Tapi nafsu yang mendorong mereka pergi ke “tempat-
tempat yang bermandikan cahaya matahari” itu,
biasanya ialah keinginan untuk memonopoli suatu pasar
bahan-bahan mentah, atau perhitungan yang lebih rendah
lagi, bahwa di situ banyak terdapat tenaga buruh yang
murah dan tidak tersusun dalam organisasi, sedia untuk
dipergunakan. Kalau bukan semua ini yang menjadi alas
an, maka yang menjadi alas an ialah perhitungan yang
bersumber kepada saling pengaruh antara kepentingan
kebendaaan dan keadaan-keadaaan ilmu bumi……
Kesopanan menghasilkan suatu keenakan, yang jelas sekali
mengabdi kepada maksud-maksud kita sendiri.”
Tidakkah karena itu, benar sekali kalau Prof. Anton Menger
menulis:
“Tujuan penjajahan yang sesungguhnya ialah
memeras keuntungan dari suatu bangsa, yang lebih
rendah tingkat kemajuannya; di masa orang rajin beramal
ibadat, tujuan ini dibungkus dengan perkataan untuk
“agama Kristen” dan di zaman kemajuan dengan
perkataan untuk “kesopanan” orang Inlander,”
atau kalau Friedrich Engels bersenda gurau:
“Bangsa Inggris selamanya mengatakan agama Kristen, tapi
maksudnya ialah kapas?”
Nafsu akan rezeki, Tuan-tuan Hakim, nafsu akan rezekilah
yang menjadi pendorong Columbus menempuh Ssamudra Atlantik
yang luas itu; nafsu akan rezekilah yang menyuruh Bartholomeus Diaz
dan Vasco da Gama menentang hebatnya gelombang Samudra
23
Hindia; pencarian rezekilah yang menjadi “noordster” dan
“kompasnya Admiraal Drake, Magelhaens, Heemskerck atau Cornelis
de Houtman. Nafsu akan rezekilah yang menjadi nyawanya kompeni di
dalam abad ke-17 dan ke-18; nafsu akan rezekilah pula yang menjadi
sendi-sendinya balapan cari jajahan dalam abad ke-19, yakni sesudah
kapitalisme-modern menjelma di Eropa dan Amerika.

Lapangan imperialisme-tua

Sebelum zaman kapitalisme-modern itu, bahasa Inggris


sudah menguasai sebagian dari Amerika, sebagian dari India,
sebagian dari Australia dan lain-lain, yakni sudah menaruh sendi-
sendi “British Empire” nantinya, –sudahlah bangsa Prancis
menguasai sebagian pula dari Amerika dan sebagian juga dari
India,–sudahlah bangsa Portugis mengibarkan benderanya di
Amerika Selatan dan di beberapa tempat di seluruh Asia,–sudahlah
bangsa Spanyol menguasai Amerika Tengah dan kepulauan Filipina,–
sudahlah bangsa Belanda menduduki Afrika Selatan, beberapa bagian
kepulauan Indonesia, terutama Maluku, Jawa, Sulawesi Selatan dan
Sumatera. Sudahlah di zaman itu kita melihat hebatnya tenaga
berusaha dari nafsu mencari rezeki tadi, yakni tenaga berbuat yang
kuat dari imperialisme-tua!

Balapan cari jajahan di zaman imperialisme-modern

Dan tatkala kapitalisme-modern beranak imperialisme-modern,


maka kita menjadi saksi atas “balapan cari jajahan” yang seolah-olah
tiada berhingga! Kini orang Inggris sudah bisa mengusir bangsa Prancis
dan Protunis dan Belanda dari India. Tiada musuh besar-besar lagi yang
menghalang-halangi menjalarnya imperialismenya, tiada hingganya lagi
bendera Inggris ditanam di mana-mana, tidak puas-puasnya kehausan
kapitalisme Inggris mencari dan meminum sumber-sumber kekayaan di
luar pagar dari “the Empire” sendiri, tiada suatu benua yang tak
mendengar dengungnya pekik perjuangan imperialisme Inggris:
24
“Tatkala Inggris demi sabda Gusti
Menjelma dari samudera biru
Itu memanglah haknya negeri
Dan bidadari menyanyikan
lagu:
Perintahlah, Inggris, Perintahlah
ombak! Bangsa Inggris tak kan
menjadi budak!”

“When Britain first on Heaven’s command


Arose from out the azure main
This was the charter of the land And
angelic voices sang this strain: Rule,
Britannia, rule the waves! Britons never
shall be slaves!”

India takluk, Singapur dan Malaka diduduki, Tiongkok direbut


haknya menetapkan beya dan hak-hak exterritorial, dan dibikin
“daerah pengaruh” dengan jalan keras dan jalan “halus”, Mesir
“dilindungi”, Mesopotamia “dimandati”,–Hongkong, kepulauan
Fiji, India Barat, kepulauan Malvinas22, Gibraltar, Malta, Cyprus,
Afrika. ... imperialisme Inggris seolah-olah tidak puas-puasnya! Dan
negeri-negeri lain? Negeri-negeri lain pun ikut dalam balapan ini:
Prancis menjejakkan kakinya di Afrika Utara, di Indo-China, di
Martinique, di Guadeloupe, di Reunion, di Guyana, di Somali, di
Nieuw Caledonia,–Amerika merebut Cuba, Portoriko, Filipina,
Hawaii, dll.,– Jerman melancar-lancarkan tangan imperialisme ke
pulau Marshall, ke Afrika Barat-Timur, ke Togo, ke Kamerun, ke
pulau-pulau Karolina, ke Kiautsjau, ke kepulauan Mariana, geer
perkara Marokko dll.,–Italia sibuk memperusahakan daerah
pendudukannya Assab dekat selat Bab El Mandeb, mengatur
kekuasaannya di Afrika Utara, mengambil Kossala, mencoba
menaklukkan Abessinia, mengaut-ngaut di Tripoli dan lain-lain pula.
Bahwasanya, balapan mencari jajahan yang kita alami dalam
zaman kapitalisme-modern itu, yang mengaut-ngaut ke kiri dan ke
25
kanan dan memasang mulut serta mengulur-ngulur kukunya sebagai
Maha-Kala yang angkara murka,–balapan mencari jajahan ini tidak ada
bandingannya di seluruh riwayat manusia.

Jepang

Dan di Asia sendiripun, imperialisme-modern itu membuktikan


asal-turunannya: asal-turunan dari kehausan-kehausan ekonomi, anak
dari kapitalisme, yang di dalam lingkungan rumah tangga sendiri
kekurangan lapang usaha. Di atas sudah kami katakan, bahwa
imperialisme itu bukan tabiat bangsa kulit putih saja, bukan “kejahatan
hati” kulit putih saja:–Bukan saja imperialisme-modern, tapi juga
imperialisme-tua kita dapati pada bangsa manapun juga. Kita ingat akan
imperialisme bangsa Tartar yang di dalam abad ke-13 dan ke-14
sebagai “angin simun” menaklukkan sebagian besar benua Asia; kita
ingat akan imperialisme bangsa-bangsa Aria, Machmud Gazni dan
Barber yang memasuki negeri India; kita ingat akan imperialisme
Sriwijaya yang menaklukkan pulau-pulau sekelilingnya; kita ingat
akan imperialisme Majapahit, yang menguasai hampir semua
kepulauan Indonesia beserta Malaka. Tetapi imperialisme-modern
Asia baru kita lihat pada negeri Jepang tempo akhir-akhir ini;
imperialisme-modern di Asia adalah suatu “barang baru””, suatu
unicum, suatu nieuwigheid. Memang hanya negeri Jepang saja dari
negeri-negeri Asia yang sudah masuk ke dalam kapitalisme-
modern itu. Kapitalisme-modern Jepang yang butuh akan minyak
tanah dan arang batu, kapitalisme-modern Jepang yang juga
membangkitkan tambahnya penduduk yang deras sekali sehingga
melahirkan nafsu mencari negeri-negeri emigrasi23, –kapitalisme-mod-
ern Jepang itu membikin rakyat Jepang lupa akan kesatriaannya dan
menanamkan kuku-kuku cengkramannya di semenanjung Sachlin dan
Korea dan Mancuria.
Julukan “kampiunnya bangsa-bangsa Asia yang diperbudak”,
nama itu adalah suatu barang bohong, suatu barang dusta, suatu impian
kosong bagi nasionalis-nasionalis kolot, yang mengira bahwa Jepanglah
yang akan membentak imperialisme Barat dengan dengungan suara:
26
“Berhenti!”— Bukan membentak “Berhenti!”, tetapi dia sendirilah ikut
menjadi belorong imperialisme yang angkara murka! Dia sendirilah
yang ikut menjadi hantu yang mengancam keselamatan negeri
Tiongkok, dia sendirilah yang nanti di dalam pergaulan mahahebat
dengan belorong-belorong imperialisme Amerika dan Inggris ikut
membahayakan keamanan dan keselamatan negeri-negeri sekeliling
Lautan Teduh, dia sendirilah salah satu belorong yang nanti akan
perang tanding di dalam Perang Pasifik24.

Wujud balapan sekarang

“Wujud cari jajahan” di dalam bagian kedua dari abad ke-19,


mula-mula adalah suatu balapan antara negeri-negeri Eropa saja.
Tetapi sesudah di dalam balapan ini negeri Inggris menjadi yang paling
depan, sesudah kapitalisme Inggris di dalam
imperialismenya bisa membelakangkan sekalian musuh-musuhnya,
sesudah John Bull boleh berjanji “Perintahlah, Inggris, perintahlah
ombak”, sesudah itu masuklah dua kampiun baru di dalam gelanggang
imperialisme dan menjadilah balapan ini di dalam abad ke-20 suatu
balapan baru antara Inggris, Amerika dan Jepang, suatu balapan baru
untuk mengejar kekuasaan di atas negeri mahakaya yang sampai
sekarang belum bisa “terbuka” seluas-luasnya itu, yakni negeri
Tiongkok!
Perebutan kekuasaan di Tiongkok inilah kini menjadi nyawa
persaingan antara belorong-belorong imperialisme yang tiga itu,
perebutan kekuasaan di Tiongkok kini menjadi pokok politik luar
negeri Jepang, Amerika dan Inggris. Siapa kuasa di tiongkok, dialah
akan kuasa pula seluruh daerah Pasifik. Siapa yang menggenggam
rumah tangga Tiongkok, dialah yang akan menggenggam pula
segala urusan rumah tangga seluruh dunia Timur, baik tentang
ekonomi maupun tentang militer. Oleh karena itu, Tuan-tuan
Hakim, negeri Tiongkok itu akan diperebutkan mati-matian oleh
belorong-belorong tadi, diperjuangkan mati-matian di peperangan
Lautan Teduh!

27
Tentang propaganda kami berhubung dengan bahaya perang
Lautan Teduh itu, akan kami uraikan lebih lebar di lain tempat.

Catatan kaki :
1
Nilai lebih (merrwarde) = kelebihan hasil yang diterima majikan, dari produksi
kaum buruh.
2
Industrieel Reserve-armee = barisan penganggur
3
Verelendung = Memelaratkan kaum buruh.
4
ambtenaar BB (Binnenlandsch Bestuur) = pegawai pamong pemerintahan Belanda
5
gezag = kekuasaan.
6
van Kol Henri Hubert (1852-1925) = seorang sosialis Belanda yang turut
mendirikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dan pernah jadi
Menteri Jajahan. Kata-kata ini diucapkan van Kol dalam sidang Tweede Kamer,
22 November 1901.
7
Pieter Jelles Troelstra (1860-1930) = seorang sosialis Belanda, pendiri
SDAP bersama van Kol. Ia menulis buku “Gedenkschriften”.
8
H.N. Brailsford, seorang Inggris yang bukunya disalin oleh van Revestein
dengan
judul “De Oorlog van Staal en Goud” (perang baja dan emas), hal. 22, 51, 68.
9
Otto Bauer (1882-1938) = seorang social-demokrat bangsa Austria, dalam
bukunya Die Nationalitat enfrage und die Sozialdemokratie hal. 461 dan
seterusnya.
10
Dr. J.S. Bartstra penulis buku “Geschiedenis van het moderne
imperialisme” (sejarah imperialisme modern).
11
Kanada, Australia, yang waktu itu dikenal dengan pemerintahan sendiri di
bawah lindungan Inggris atau disebut Dominion Status.
12
Rudolf Hilferding dalam bukunya “Das Finanzkapital, eine Studie uber die
jeugste Envolklung der Kapitalismus”
13
Sistem dumping ialah menjual barang di dalam negeri lebih mahal daripada
di luar negeri. Ini pertama kali dilakukan oleh Jepang pada waktu
menghadapi persaingan dari kapitalis-kapitalis Eropa dan Amerika.
14
Perkembangan industri yang semakin maju di Eropa sekitar tahun 1880
itu, mendorong sesame Negara Eropa meluaskan daerah jajahan, yang nanti
terbentur dan melahirkan Perang Dunia I pada tahun 1914-1918.
15
Prof. Jos Schumpeter, penulsi buku “Zur Soziologie der Imperialismus”.
16
Perang terbuka (perang dunia) atau perang local yang diprakarsai oleh
negara-negara imperialisme itu menjurus ke panguasaan daerah dan negeri
lain dengan cara seperti protektorat oleh Inggris terhadap Mesir dari

28
tahun 1923-1952, Mesopotamia lewat Volkenbond dijadikan daerah mandat
bagi Inggris.
17
Seperti lazimnya, kaum imperialisme itu menyediakan ahli-ahli yang
membela tindak-tanduk mereka, termasuklah Guistav Klemm, Thomas
Moon, yang menyatakan bahwa imperialisme itu bertujuan memperbaiki
nasib rakyat jajahan.
18
Prof. Dietrich Schafer dalam “Kolonial Geschichte” (Risalah penjajahan) hal 12
19
Dernburg, mengutip dari buku Douwes Dekker (Multatuli) “Kolonial Ideal”
(cita-cita penjajah).
20
Dr. Abraham Kuyper “Antirevolutionaire staatkunde” yang dikutip oleh
Snouck Hurgronje dalam bukunya “Colijn over Indie” (Colijn tentang
Indonesia).
21
Brailsford dalam buku “Hoe long nog?” (berapa lama lagi) hal 221 dst, 24.
22
Kepulauan Falkland (malvinas) yang sejak April 1982 menjadi sengketa
antara
Argentina dan Inggris, oleh Bung Karno sejak tahun 1931 telah dipastikan,
bahwa
kepulauan itu diduduki Inggris dalam rangka penjajahan.

23
Sejak tahun 1834 Jepang turut dalam balapan imperialisme, menduduki wilayah
Tiongkok, Korea dan Rusia (Sakhalin)
24
Pada waktu itu (tahun 30-an) ada juga di atara pemimpin Indonesia yang
berilusi, bahwa Jepang akan menghempang imperialisme Barat. Tapi Bung Karno
melihat, bahwa balapan sesame kaum imperialisme akan bertabrakan, hingga
pada akhir Desember 1929, Bung Karno telah meramalkan akan datangnya
perang di Lautan Pasifik.

29
IMPERIALISME
di INDONESIA

Zaman Kompeni

Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah gambar imperialisme


di Asia di luar Indonesia.
Dan keadaan di Indonesia? Ah, Tuan-tuan Hakim, kita
mengetahuinya semua. Kita mengetahui bagaimana didalam abad-abad
ke-17 dan ke-18 Oos-Indische Compagnie (VOC), terdorong oleh
persaingan hebat dengan bangsa-bangsa Inggris, Portugis dan Spanyol,
menanam sistem monopolinya. Kita mengetahui, bagaimana di
Kepulauan Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan, kerajaan-kerajaan
dihancurkan, jutaan tanaman-tanaman cengkeh dan pala saban tahun
dibasmi (hongitochten). Kita mengetahui, bagaimana, untuk menjaga
monopoli di kepulauan Maluku itu, kerajaan Makassar ditaklukkan,
perdagangannya dipadamkan, sehingga penduduk Makassar itu ratusan,
ribuan yang kehilangan pencarian-rezekinya dan terpaksa menjadi bajak
laut yang merampok kemana-mana. Kita mengetahui, bagaimana di
tanah Jawa dengan politik “divide et impera”, yakni dengan politik
“memecah belah”, seperti dikatakan Prof. Veth atau Clive Day atau
Raffles1, kerajaan-kerajaannya satu persatu diperhamba, ekonomi
rakyat oleh sistem monopoli, contingenten2 dan leverantien3 sama
sekali disempitkan, ya sama sekali didesak dan dipadamkan. Kita
mengetahui….tetapi cukup Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Caranya Oost-Indische Compagnie menanamkan monopolinya,
caranya Oost-Indische Compagnie mengekalkan monopolinya,
caranya Oost-Indische Compagnie memperteguh monopolinya, tidak
asing lagi bagi siapa yang suka membaca.
Tetapi, maafkanlah Tuan-tuan Hakim, bahwa kami di sini
mau bercerita sedikit lebar tentang zaman Oost-Indische Compagnie
30
itu dan juga tentang zaman cultuurstelsel, yakni oleh karena bekas-
bekas VOC dan cultuurstelsel itu sampai kini hari masih tampak di
dalam susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga sifat-sifat PNI
terpengaruh pula oleh karenanya.
Maafkanlah jika terhubung dengan itu kami sependapat dengan
Prof. Snouck Hurgronje yang menulis:4
“Orang bisa berkata, bahwa tidak ada gunanya
membongkar-bongkar dosa lama yang bukan salahnya
keturunannya sekarang, tapi…..akibat dua abad
pemerintahan yang jelek itu atas sikap jiwa rakyat bumiputra
terhadap dunia barat, sama sekali tidak boleh diabaikan
dalam menyelediki soal-soal itu”.
Oleh karena itu, sekali lagi, maafkanlah berhubung dengan
cultuurstelsel itu, kami mengulangi pendapat-pendapat satu dua kaum
intelektual Eropa yang ternama:
“Kompeni itu mengusai raja-raja dan kaum bangsawan
dan membebaninya dengan kewajiban-kewajiban, yang
oleh mereka itu dijatuhkannya lagi diatas pundak rakyat.
Kompeni itu lebih rendah serakah daripada kejam, tetapi
akibatnya adalah sama: Penindasan!”,
begitulah Prof. Colenbrander menulis5 dan Prof. Veth berkata:
“Kekejaman tidak menjadi sifat jeleknya yang biasa tetapi……
keserakahannya yang picik barangkali lebih banyak merusak
daripada kekejamannya. Bahkan kebuasan Nero hanya
mencelakakan sedikit orang yang berdekatan dengan dia,
kesejahteraan propinsi-propinsi tidak diganggu-gugatnya; tapi
suatu pemerintahan yang jelek peraturannya, adalah suatu
bencana umum6
Jadi, tidak selamanya “kejam”, tidak selamanya “wreed”? Tetapi
toh sering kejam dan buas.
Marilah kita bacakan lagi Colenbrander tentang penamanan
monopoli di Ambon dan Banda:

31
“Coen (Jan Pieterszoon Coen, Sk.) didalam seluruh perkara
ini, yang menodai namanya, telah bertindak dengan
kelemahan yang meluar batas kemanusiaan, kekejaman
yang kelewatan bahkan dalam mata hamba-hamba
Kompeni sendiri…….
Sampai-sampai Kuasa-kuasa Kompeni pun sama
terkejut membaca cerita-cerita hukuman mati yang
diceritakan dengan tenang oleh Coen didalam surat-
suratnya….”Itu benar membikin takut, tapi tidak
menerbitkan kasih”……..
demikianlah kata mereka sendiri, yang untuk keperluan
labanya, suatu bangsa yang makmur…….hampir tumpas
sama sekali7
Dan Prof. Kielstra8 menceritakan:
“Monopoli dagang itu harus diperjuangkan oleh orang-
orang kita dan apabila sudah didapat, maka dengan
tidak pikir panjang, dipergunakan tiap cara untuk
mempertahankannya. Kepentingan-kepentingan
penduduk sama sekali tidak diperdulikan oleh kuasa-
kuasa kita; kaum Islam dan kaum heiden9 dalam mata
orang Kristen kurang harganya; menurut faham-faham
zaman itu, mereka–orang gemar memakai istilah Injil–
adalah keturunan yang palsu dan sesat” yang apabila
berani melawan kompeni, jika perlu boleh dibinasakan”.

Lagi satu dalil dari seorang Jerman, Prof. Dietrich Schafer, yang
berbunyi:
“Percobaan-percobaan mereka, memasukkan juga pulau-
pulau Australia yang dekat-dekat ke dalam lingkungan
kegiatannya, sudah kami ceritakan. Tatkala ternyata,
bahwa disini tidak ada hasil apa-apa untuk perusahaan
mereka waktu yang sudah dikenal lebih dulu. Caranya hal

32
ini terjadi, bukan tidak beralasan orang menyebutnya
yang pal-ng kejam dalam riwayat penjajahan10
Sebagai penutup, pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, yang
berkata:
“Bagian pertama dari dukacita Hindia-Belanda, namanya
Kompeni dan mulai hampir sama dengan abad ke-17.
Pelakon-pelakon utamanya berhak atas rasa hormat
kita, karena energinya yang hebat, tapi maksud yang mereka
kejar dan cara-cara yang mereka pergunakan, demikian
rupa, sehingga seringkali kita sukar menahan-nahan rasa
jijik kita, meskipun kita mengingat sepenuhnya akan kaidah,
harus mengukur laku perbuatan mereka dengan ukuran
zaman mereka. ‘Percobaan’ itu mulai dengan perkenalan
penduduk Hindia dengan kotoran dari bangsa Belanda, yang
memperlakukan penduduk asli itu dengan penghinaan yang
sangat besar, yang mungkin mereka tanggungkan;
kewajiban mereka ialah berusaha sekuat tenaga untuk
memperkaya suatu golongan pemegang andil di negeri
Belanda. Ambetenaar-ambetenaar kompeni ini, yang
oleh majikan-majikannya digaji sangat sedikit, tapi tidak
kurang dari majikannya juga suka sekali beroleh laba,
memperlihatkan suatu masyarakat penuh korupsi, yang
melebihi kejelekan sejelek-jeleknya yang dituduhkan kepada
bangsa-bangsa Timur.11

Zaman Cultuurstelsel

Begitulah gambaran imperialisme-tua dari Oost-Indische


Compagnie. Sesudah Oost-Indische Compagnie pada kira-kira tahun
1800 mati, maka tidak ikut mati sistem monopoli, tidak ikut mati
sistem mengaut untung bersendi pada paksaan.
Malahan…….sesudah habis zaman komisi-komisi dan pemerintahan
Inggris, yang mengisi tahun-tahun 1800-1830; sesudah habis zaman
“tergoyang-goyang” antara ideologi-tua dan ideologi-baru, sebagai
33
yang disebar-sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah habis “tijdvak
van den twijfel”12 ini, maka datanglah sistem kerja paksa yang lebih
kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi, –
yakni sistem kerja paksa dari cultuurstelsel, yang sebagai cambuk
jatuh di atas pundak dan belakangnya rakyat kami! Juga cultuurstelsel
ini, Tuan-tuan Hakim, tidak usah kami beberkan panjang lebar
kekejamannya; juga cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir
setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang
mempelajari riwayatnya.
Tetapi, juga tentang cultuurstelsel ini, yang bekas-bekasnya
sampai hari ini belum juga hilang dan mempengaruhi susunan PNI itu
(sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangi satu dua
pendapat ahli-ahli itu.
“Pemerasan penduduk, yang tiada batasnya lagi selain
tahan tidaknya badannya, berjalan dengan tiada alangan
apa-apa,” begitu kata Prof. Gonggrijp13.
Dan di lain tempat pujangga ini menulis pula:
“Jadi sistem ini tidak hanya bersendikan paksaan; paksaan
itu, di dalam dua puluh tahun pertama yang gelap dari
jangka waktu yang dibicarakan di sini, lebih berat dari
beban contingenten yang penagihannya terutama
diserahkan kepada Kepala-kepala Bumiputra. Cultuurstelsel
menjadi lebih berat oleh kegiatan Ambtenaar Eropa: ini
berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan
berarti pula perbaikan teknis dan keuntungan besar.”

“Tidak ada tanaman yang begitu menjadi gangguan seperti


nila.14 Tatkala nila ini akan dalam tahun 1830 dengan cara
yang sembrono dimasukkan di tanah Priangan, maka
tanaman itu sungguh-sungguh menjadi bencana bagi
penduduk. Di dalam distrik Simpur di daerah itu, orang laki-
laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun
nila, 7 bulan lamanya dengan tidak putus-putusnya, jauh
dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari

34
makanannya sendiri. Tatkala mereka kembali ke rumahnya,
didapatinya tanaman padinya sudah rusak. Selama lima
bulan yang pertama dari tahun 1831, 5000 orang laki-laki
dan 3000 kerbau dari distrik itu juga, dipaksa mengerjakan
tanah untuk suatu pabrik yang telah didirikan. Sesudah
pekerjaan itu selesai, batang-batang nila tidak ada. Dua bulan
kemudian, sesudah alang-alang, rumput yang ditakuti itu,
tumbuh di atas lapangan yang telah dikerjakan itu, baru
diterima untuk mengolah sekali lagi ladang-ladang itu. Kerap
kali terjadi bahwa perempuan-perempuan yang hamil
melahirkan anak waktu bekerja keras”………
Dan Stokvis menceritakan:15

“Sampai-sampai tahun 1886 masih ada daerah-daerah,


dimana si penanam kopi mendapat 4-5 sen sehari,
sedang ia memerlukan 30 sen buat hidup. Di dalam
perkebunan nila kerap kali dibayarkan f 816 setahun……..Di
dalam perkebunan kopi ada pembayaran f4,50 setahun buat
satu keluarga,jadi 90 sen buat satu orang…..”Penulis (Vitalis)
itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang tersebut
kelaparan seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung
sepanjang jalan. Beberapa orang begitu letih, sehingga
mereka tidak bisa makan makanan yang diberikan
kepada mereka sebagai persekot; mereka
meninggal….”

……….”pengungsian penduduk banyak juga kejadian


di perkebunan-perkebunan itu dan dengan cara besar-
besaran. Inilah jalan satu-satunya untuk keluar dari
kesengsaraan. “ Pukulan dengan pentungan dan labrakan
dengan cambuk terjadi sehari-hari dan di banyak ladang
nila biasa saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa
orang.” “Di sini kita melihat suatu bangsa yang tidak
secara undang-undang hidup dalam perbudakan tapi
secara kenyataan. Ketakutan kepada para bangsawannya
35
telah merasuk ke dalam jiwa mereka; para bangsawan
itu belajar pula takut kepada kaum penjajah. Segala
keberanian dan semangat merdeka yang tadinya masih
hidup dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini hilang lenyap
oleh laku Kompeni yang kasar dan kesalahan yang fatal
dari Van den Bosch17 ialah, bahwa ia menghisap lagi rakyat
yang sudah rusak itu, penghisapan yang pada hakikatnya
sama betul dengan sistem Kompeni. Malahan lebih jahat
dan lebih salah lagi! Kompeni tidak harus memikul
tanggungjawab dan tidak pernah mau memikul
tanggungjawab itu, Kompeni berdagang dengan cara-cara
orang dagang yang keras. Van den Bosch mewakili negara
sendiri, negara induk, yang begitu banyak masih yang
harus diperbaikinya. Segala cara yang membikin
perhubungan jajahan lebih memuakkan lagi dari yang sudah
menjadi sifatnya, telah dipergunakan olehnya dan
oleh penggantinya-penggantinya. Memaksakan suatu
cara produksi Barat, jadi suatu cara produksi yang lebih
banyak syarat-syaratnya, kepada suatu masyarakat negeri
panas yang hidup bertani, sudah merupakan suatu
tekanan, tapi lebih berat lagi dukacita yang dibawa oleh
nafsu kuasa si bangsa asing”…….
Dua dalil lagi, Tuan-tuan Hakim, lantas kami tutup kami punya
dalil-dalil berhubung dengan cultuurstelsel ini: dua dalil lagi dari Prof.
Kielstra dan Prof. Veth:
“Di negeri Belanda orang tidak tahu, atau pura-pura tidak
tahu, bahwa di Hindia semua pengeluaran buat
pengajaran, pekerjaan umum, polisi dan sebagainya itu,
selalu dikecilkan sampai-minimum yang paling kecil, supaya
“keuntungan bersih” bisa bertambah besar; dan, yang lebih
jahat lagi, oleh paksaan yang dibebankan kepada mereka,
penduduk begitu terhalang-alangi dalam memelihara
sawah dan ladangnya sendiri, sehingga dalam
beberapa daerah timbul kemiskinan dan kesengsaraan,
bahaya kelaparan dan pengungsian. 18 dan “bahkan buat
36
mereka yang melihat dalam cultuurstelsel itu suatu
kebaikan buat Jawa dan juga buat negeri Belanda;– buat
Jawa oleh karena mengajar orang Jawa bekerja, buat
negeri Belanda oleh karena kas negeri jadi berisi–, bahkan
buat mereka saya kira kemunafikan yang menjadi
alasan untuk memasukkannya, mestinya menjijikkan, 19
begitulah kedua profesor itu menulis.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Oost-Indische Compagnie
mengocar-ngacirkan rumah tangga Indonesia, cultuurstelsel mengocar-
ngacirkan rumah tangga Indonesia. Tuan-tuan barangkali bisa juga
lantas mempunyai pikiran: “Benar VOC dan cultuurstelsel jahat, benar
VOC dan cultuurstelsel memasukkan rakyat Indonesia ke dalam
kesengsaraan dan kehinaan, tetapi buat apa membongkar-bongkar
hal-hal yang sudah kuno?”
Betul Tuan-tuan Hakim, kejahatan VOC dan kejahatan
cultuurstelsel adalah kejahatan kuno, tetapi hati-nasional tak gampang
melupakannya.
“Ingatan orang kepada kelaliman yang dideritanya
lama hilangnya; kelaliman yang orang lakukan, lekas lupa
olehnya,”
begitulah Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi telah kami katakan,
sebagai pula telah dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang kami
kutip tadi, –akibat-akibat VOC dan cultuurstelsel itu, naweeen20 VOC
dan cultuurstelsel itu, yang keduanya bersistem monopoli, sampai ini
hari belum hilang, sampai ini hari masih terbayang dalam wujud
susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga politik dan gerakan Partai
Nasional Indonesia, sebagai nanti akan kami terangkan,
terpengaruh oleh karenanya!
Pada pertengahan abad ke-19 “kapitalisme-modern” yang
bersendi kepada “bisnis liberal” dan “persaingan liberal”, di negeri
Belanda mulai timbul. Toh…… cultuurstelsel yang bersendi kepada
“kerja paksa” dan yang terutama memberi untung kepada negara
Belanda itu, yang telah begitu menggemukkan kantong kapitalis
Belanda partikelir itu, cultuurstelsel itu tidak lekas-lekas

37
dihapuskan. Bukan oleh karena negara Belanda tak mempedulikan
kepentingan kaum pemodal partikelirnya, bukan oleh karena
kepentingan negara itu lebih ditinggikan dari kepentingan borjuis,
tetapi tak lain tak bukan ialah karena borjuis Belanda pada masa itu
butuh pada cultuurstelsel itu sebagai pembayar segala yang perlu
diadakan lebih dulu bagi suburnya kapitalisme di negeri Belanda
sendiri! Henriette Roland Holst 21 di dalam bukunya “Kapital en
Arbeid in Nederland” menuliskan seperti berikut:
“Perbuatan kaum borjuis disekitar tahun lima puluh22
adalah praktis dan menunjukkan kesadaran kelas yang
sehat, yakni perbuatan mereka tidak melemparkan
cultuurstelsel ke sudut, sebelum mereka mengambil
daripadanya segala yang bisa diambilnya….. Ada bahaya,
bahwa orang-orang yang tidak sabar dan lekas mau maju,
terlalau lekas mau memberikan orang Jawa berkah-berkah
pekerjaan liberal dan menggantikan cultuurstelsel,
warisan otokrasi itu, dengan inisiatif pertikelir. Tetapi
mungkin beberapa orang berpendapat demikian, –
borjuis pada umumnya mengetahui. Sebagai golongan,
mereka itu terutama merasa berkepentingan dalam hal,
pertama, pelunasan utang. Kedua, liberalisasi
perdagangan dan perusahaan dengan mengurangi bea-
bea dan pajak-pajak, yang hanya bisa terlaksana oleh yang
tersebut di bawah! Ketiga, pembikinan jalan-jalan kereta-
api dan jalan-jalan airm dengan tidak membebani rakyat
dengan ongkos-ongkos yang besar, suatu hal yang
tentu akan mengobarkan semangat konsevatisme
pada orang-orang Belanda yang selalu hemat itu. Semua ini
perlu, sebelum bisa dimulai eksploitasi pertikelir di Hindia,
sebab kredit nasional, jalan-jalan kereta-api dan
pelabuhan-pelabuhan di negeri Belanda, harus
menjadi tumpuan eksploitasi itu. Semua hal yang baik-baik
itu didapat dari keuntungan-keuntungan Hindia, jadi
keuntungan-keuntungan Hindia buat sementara harus
tetap ada.”23
38
Imperialisme-modern

Tetapi, sesudah syarat-syarat kapitalisme-modern semua


selesai terurus, sesudah kredit nasional kokoh dan sesudah jalan-
jalan kereta api, terusan-terusan, pelabuhan-pelabuhan telah
rampung, sesudah kapitalisme modern menjadi subur, maka kapital
surplusnya, mulai ingin orang hendak memasukkannya ke Indonesia,
imperialisme modern lahirlah. Tak berhenti-hentinya kapitalisme
modern itu lantas memukul-mukul di atas pintu gerbang Indonesia
yang kurang lekas dibukakan, tak berhenti-hentinya kampiun-kampiun
imperialisme-modern itu dengan tak sabar lagi menghantam-hantam
di atas pintu gerbang itu, tak berhenti-hentinya penjaga-penjaga
pintu itu saban-saban sama gemetar mendengar dengungnya
pekik “naar vrijheid!” (ke arah liberalisasi), “naar vrijl arbeid” (ke arah
bisnis liberal) dari kaum kapitalisme liberal, yang ingin lekas-lekas
dimasukkan. Dan akhirnya, kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu
gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin keras bertiup,
sebagai aliran sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai
gemuruh tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, –
maka sesudah Undang-undang Agraris dan Undang-undang Tanaman
Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten-Generaal
di negeri Belanda,24 masuklah, modal partikelir itu di Indonesia,
mengadakan pabrik-pabrik gula di mana-mana, kebun-kebun teh,
onderneming-onderneming tembakau dan sebagainya ditambah lagi
modal partikelir yang membuka macam-macam perusahaan
tambang, macam-macam perusahaan kereta-api, trem, kapal, atau
pebrik-pabrik yang lain. Imperialisme tua makin lama makin
layu, imperialisme-modern menggantikan tempatnya,– cara
pengedukan harta yang menggali untung bagi negara Belanda itu,
makin lama makin berubah, terdesak oleh cara pengedukan baru yang
mengayakan modal partikelir.
Caranya pengeduk berubah,- tetapi banyaklah perubahan
bagi rakyat Indonesia? Tidak, tuan-tuan Hakim yang terhormat,–banjir

39
Jakarta yang keluar dari Indonesia malahan makin besar,
“pengeringan” Indone-sia malahan makin menghebat!
“Di dalam perbantahan tentang jajahan tahun 1848-1870
yang menjadi soal semata-mata ialah kerja paksa dan bisnis
liberal; kita lihat berulang dengan sengitnya perselisihan
pendapat dari masa keraguan sesudah jatuhnya Kompeni;
juga kini nyata jelas pendirian kaum kolot dan kesamaran
pendirian oposis. Kaum konservatif tetap menganggap
milik jajahan sebagai sumber keuntungan negara, kaum
oposisi jijik dengan eksploitasi tanah jajahan itu sebagai
“daerah sumber keuntungan”. Suci dan penuh
kemanusiaan cita-cita mereka hendak mencapai suatu
negeri Hindia yang bekerja merdeka dan diperintahi dengan
hati yang bersih, penuh harapan berkembang; tapi
seperti juga pelopor-pelopor mereka yang terbaik,
mereka mempunyai persangkaan salah yang hampir-
hampir simpatik, seolah-olah kapital liberal hanya cukup
dimasukkan saja ke negeri Hindia, niscaya lepaslah negeri
ini dari keadaannya menjadi daerah sumber keuntungan.
Bukankah, buat rakyat yang sudah letih itu, hanya ada
peralihan pengeduk kekayaan negerinya? Memang
berhentilah kejelekan mencampurbaurkan
kapitalisme negara dan pemerintahan negara, dalam
keadaan perhubungan di negeri Belanda, yang tak memberi
hak kepada rakyat untuk ikut bicara; tapi sejarah penjajahan
yang lebih baru telah mengajarkan, bahwa hilangnya
cultuurstelsel hanya berarti kemenangan pengeduk yang
satu atas yang lain. Daerah sumber keuntungan mendapat
pemegang-pemegang andil yang baru. Kapital partikelir
lebih besar pengaruhnya kepada negara dan tentunya juga
kepada daerah negara yang dijajah. Dan tidak pernah begitu
banyaknya “keuntungan bersih” mengalir justru seperti di
bawah pimpinan si pengeduk baru itu; hanya jalannya lebih
tenang”……begitulah gambaran Stokvis.25

40
Dan tidaklah “kena” sekali perbandingan Multatuli yang
membandingkan cultuurstelsel itu dengan:
“Suatu kumpulan pipa-pipa yang bercabang-cabang
tidak terhitung banyaknya dan terbagi-bagi menjadi
jutaan pembuluh-pembuluh kecil, semuanya bermuara
dalam dada jutaan orang Jawa, semuanya berhubungan
dengan induk pipa yang dipompa oleh satu pompa kuat
yang digerakkan oleh uap; sedangkan dalam
pengusahaan partikelir setiap pengejar untung bisa
berhubungan dengan semua pipa dan bisa
mempergunakan mesin pompanya sendiri untuk
mengeduk sumber.”26
Tidakkah kena sekali perbandingan itu?
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan dua kutipan ini, maka
sifat umum imperialisme-modern di Indonesia itu sudah cukup
tergambar.
Memang, bagi rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870
itu hanya perubahan cara pengedukan rezeki; bagi rakyat
Indonesia, imperialisme-tua dan imperialisme-modern kedua-
duanya tinggal imperialisme belaka, kedua-duanya tinggal
pengangkutan rezeki Indo-nesia keluar, kedua-duanya tinggal
drainage!27
“Peradaban”; keamanan, tambah penduduk, alat-alat lalu
lintas, dan sebagainya.
O, memang, zaman imperialisme modern mendatangkan
“peradaban”, zaman imperialisme modern mendatangkan peri-
kehidupan damai dan “tenteram”, yakni mendatangkan
keamanan. Zaman imperialisme-modern mendatangkan tambahnya
jumlah rakyat yang deras. Zaman imperialisme-modern
mendatangkan jalan-jalan yang menggampangkan perhubungan
antara tempat-tempat di Indonesia, mendatangkan jalan-jalan
kereta-api, mendatangkan pelabuhan-pelabuhan dan perhubungan-
perhubungan kapal yang sempurna. Tetapi, adakah itu semua dalam
hakikatnya, ditinjau dari pergaulan hidup nasional, suatu
41
kemajuan yang setimbang dengan bencana yang disebarkan
oleh usaha-usaha partikelir itu?
Ah, Tuan-tuan Hakim, berapakah tidak banyaknya orang
yang menjadi silau matanya oleh banyaknya modal dan hasil-hasil
peradaban barat yang masuk di negeri kami dan lantas mengira
bahwa imperialisme-modern itu mendatangkan kemajuan belaka.
Berapakah tidak banyaknya orang yang terbeliak matanya oleh
bayangan belaka, terbeliak matanya oleh sariat keadaan, yang
didatangkan oleh imperialisme-modern itu dan lantas memanggut-
manggutkan kepala sambil berkata: “Memang, memang
sekarang sudah lain sekali dengan zaman Kompeni atau
cultuurstelsel!
O, memang, sariatnya memang memperdayakan.
Bayangannya memang membeliakkan mata! Imperialisme-modern
itu, menurut kata Kautsky, adalah: “berlainan dengan politik tua
terhadap jajahan-jajahan perasan, yang hanya melihat dalamnya
barang-barang untuk dirampok, kekayaan untuk dikumpulkan dan
diangkut ke negeri induk sebagai kapital. Sebaliknya imperialisme-
modern adalah suatu politik, yang justru memasukkan kapital-kapital
ke tanah jajahan, mendirikan bangunan-bangunan budaya di
negeri-negeri ini. Jadi, nampaknya tidak lagi membinasakan, tapi
justru memajukan budaya”.28
Tetapi hakikatnya, bagaimanakah hakikatnya! “budaya”
atau “cultuur” yang didatangkan imperialisme-modern itu!
Berkata J.E. Stokvis menutup pemandangannya atas Oost-
Indische Compagnie:
“tapi keamanan dan kedamaian itu berarti suatu
perjuangan yang sia-sia, kadang-kadang suatu perjuangan
satria………untuk merebut kemerdekaan nasional;
tambahnya jumlah jiwa yang pesat ialah berkembang
biaknya rakyat katulistiwa yang korat-karit dan
diperlakukan tidak semena-mena”29

42
dan tiap-tiap perkataan dalam kalimat ini boleh kita pakaikan untuk
zaman imperialisme-modern itu. Lagi pula, tambahnya
penduduk tidak selamanya berarti kemakmuran, tambahnya
penduduk tidak selamanya berarti kesejahteraan umum, sebagai
diuraikan oleh Peter Maszlow di dalam bukunya “Die Agrarfrage in
Ruszland”.
Di dalam kalangan kaum proletar di Eropa, tambahnya jumlah
manusia lebih besar dan lebih cepat dari di dalam kalangan kaum
pertengahan dan kaum atasan,– adakah ini berarti bahwa kaum
proletar itu lebih nyaman hidupnya dari kaum borjuis? Bahwasanya,
tambahnya penduduk di Indonesia itu tak lain daripada “voortplanting
van ontwrichte en misbruikte tropenvolken”, yakni “berkembang
biaknya rakyat katulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak
semena-mena”, sebagai Stokvis mengatakan tadi!
Dan itu jalan-jalan lorong, itu jalan-jalan kereta-api, itu
perhubungan-perhubungan kapal, itu pelabukan-pelabuhan,- tidakkah
itu bagus sekali bagi rakyat Indonesia?
O, memang, kami mengakui faedahnya alat-alat pengangkutan,
yakni faedahnya alat-alat lalu-lintas modern itu, mengakui
pengaruhnya yang baik atas perhubungan dan kemajuan rakyat, kami
mengakui bahwa, jikalau umpamanya rakyat Indonesia itu sekarang
kehilangan semua itu, niscaya ia merasa rugi,– tetapi tak dapat
disangkal bahwa alat-alat lalu lintas modern itu, menggampangkan
geraknya modal partikelir. Tak dapat disangkal, bahwa alat-alat lalu
lintas itu menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang
perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana,
sehingga rezeki rakyat menjadi kocar-kacir oleh karenanya!
Karl Kautsky di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik”
menulis (hal. 41):
“perbaikan alat-alat perhubungan dan alat-alat produksi itu
sesungguhnya bisa memperbesar tenaga produksi negeri-
negeri yang terbelakang ekonominya, jikalau tidak sejalan
dengan itu terus-menerus bertambah besar pula bea-bea
kemiliteran dan utang-utang luar negeri. Olah adanya faktor-
faktor ini perbaikan itu hanya menjad jalan untuk memeras
43
lebih banyak dari biasa hasil-hasil dari negeri-negeri yang
miskin, begitu banyaknya sehingga bukan saja produksi
lebih -jika ada- yang lahir dari perbaikan-perbaikan teknis,
oleh karenanya terisap habis, tapi juga begitu banyaknya,
sehingga banyaknya hasil-hasil yang tinggal di dalam
negeri untuk keperluan kaum produsen, berkurang. Dalam
keadaan yang demikian itu, kemajuan teknis menjadi suatu
jalan untuk pertanian besar-besaran yang sembrono dan
kemiskinan.”
Begitulah pendapat “kaum merah”. Tetapi juga Kolonial-Direktor
Dernburg, pemimpin imperialisme Jerman sebelum perang besar,
seorang yang karena itu bukan kaum “penghasut”, -Kolonial-Direktor
Dernburg yang di muka sudah kami dalilkan kalimatnya yang begitu
terus terang tentang asas-asas penjajahan yang sebenarnya,– Kolonial-
Direc-tor Dernburg itu dengan terus terang lagi berkata:
“ Tapi semua bangsa yang mempunyai tanah jajahan,
telah mengalami, bahwa daerah-daerah jajahan yang luas
dengan tiada jalan-jalan kereta api, tetap menjadi harta
milik tertutup yang tidak memberikan jaminan keuntungan
ekonomi”.30
Dan keadaan di negeri kami? Bukti-bukti di negeri kami?
Bekas Assisten-Residen Schmalhansen yang terkenal itu
menulis:
“ Tanah Jawa mempunyai jalan-jalan kereta api dan trem,
banyak sekali tanah-tanah erfpacht telah dibuka dan
diusahakan, banyak pabrik-pabrik gula dan nila sudah
berdiri,……tapi apakah semua ini bisa mencegah
keadaan bahwa kesejahteraan bukannya maju, malah
menjadi mundur?”31
Dan Prof. Gonggripj menulis:

44
“Pelengkapan Hindia dengan alat-alat lalu lintas yang
modern ini adalah suatu keperluan yang mutlak dalam
perkembangan perusahaan partikelir, yang hasil-hasilnya
yang besar-besaran harus didagangkan di pasar-pasar
dunia…. Pengaruh besar dan nyata kelihatan atas
kesejahteraan orang banyak dari penduduk bumiputra,
disebabkan oleh alat-alat lalu lintas yang modern
itu….belum lagi ada.”32

“Keperluan-keperluan mutlak” yang lain

“Keperluan mutlak dalam perkembangan perusahaan partikelir!”


Dan berapakah “keperluan mutlak” yang tidak ditemukan.
Ada aturan erfpacht yang bersendi atas “gewetenstopper”33,
domeinverklaring34 buat onderneming-onderneming di pegunungan,
ada aturan menyewa tanah bagi onderneming tanah datar yang
banyak penduduk; ada aturan kontrak buruh dengan poenale
sanctie35 bagi onderneming-onderneming yang kekurangan kuli; dan
“ketertiban dan keamanan” dan lapangan usaha
di mana-mana dengan
“staatsafronding”36 yang memusnahkan kemerdekaan negeri-negeri
Aceh, Jambi, Kurinci, Lombok, Bali, Bone dan lain-lain; ada sistem
pengajaran yang menghasilkan kaum buruh “halusan”; ada pasal 161
bis Undang-undang Hukum Pidana yang meniadakan hak mogok,
sedang undang-undang pelindung buruh tidak ada sama sekali,
sehingga nasib kaum buruh boleh dipermainkan semau-maunya,-
sungguh benar kapital partikelir tak kekurangan “keperluan mutlak”,
kaum imperialisme-mod-ern berada di surga!

Empat sifat imperialisme-modern

Hebatlah melarnya perusahaan imperialisme itu menjadi raksasa


yang makin lama makin bertambah tangan dan kepala! Imperialisme-
tua yang dulunya terutama hanya sistem mengangkuti bekal-bekal

45
hidup saja, kini sudah melar jadi raksasa imperialisme-modern yang
empat macam “shakti”nya:
Pertama : Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal
hidup
Kedua : Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal
untuk pabrik-pabrik di Eropa
Ketiga : Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-
barang hasil dari macam-macam industri asing
Keempat : Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang
ratusan, ribuan-jutaan rupiah jumlahnya.

-bukan saja modal Belanda, tetapi sejak adanya “Opendeur-politiek”37


juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal
lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi internasional
karenanya.
Terutama “shakti” yang keempat inilah, yakni “prinsip” yang
membikin Indonesia menjadi daerah eksploitasi dari kapital-lebih asing,
menjadi lapang usaha bagi modal-modal kelebihan dari negeri-negeri
asing, adalah yang paling hebat dan makin lama makin bertambah
hebatnya!
Dalam tahun 1870 jumlah tanah erfpacht ada 35.000 bahu, dalam
tahun 1901 sudah 622.000 bahu, dalam tahun 1928 sudah 2.707.000
bahu, –kalau dijumlahkan juga dengan konsesi-konsesi pertanian,
jumlah ini buat tahun 1928 menjadi 4.592.000 bahu! Jumlah tanah
yang ditanami karet kini tak kurang dari ± 488.000 bahu, hasil ±
141.000 ton jumlah kebun teh ± 132.000 bahu, hasilnya ± 73.000 ton:
jumlah kebun kopi ± 127.000 bahu, hasilnya ± 55.000 ton; jumlah
kebun tembakau ± 79.000 bahu, hailnya ± 65.000 ton; jumlah kebun
tebu ± 275.000 bahu, hasilnya 2.937.000 ton.38
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, jutaan, tidak terbilang milyar
rupiah kapital imperialis yang kini mengeduk kekayaan Indonesia!
Dr.F.G. Waller, di muka rapat anggota dari Verbond van
Nederlandsche Wetgevers39, antara lain berpidato demikian:

46
“Menurut taksiran majelis majikan, keuntungan bersih
dari perusahaan-perusahaan Hindia: gula, karet,
tembakau, teh, kopi, kina, minyak tanah, hasil tambang,
bank-bank, dan beberapa perusahaan kecil yang lain,
dalam tahun 1924, 490 juta rupiah, tahun 1925, 540 juta
rupiah. Menurut taksiran bolehlah ditentukan, bahwa 70%
dari jumlah ini jatuh di tangan pihak Belanda, jadi kira-
kira 370 juta rupiah. Kalau kita perhitungkan jumlah ini
dengan bunga yang tinggi 9 atau 10%, maka harga
perusahaan-perusahaan itu sekarang mencapai angka luar
biasa, yakni 3700 hingga 4100 juta rupiah. Angka ini tentu
saja bukan angka yang teliti, tapi cukup memberikan
gambaran berapa harga milik Belanda di Hindia-Belanda
dan kepada saya terbukti, bahwa perhitungan yang
dilakukan dengan jalan lain sampai kepada angka yang
demikian juga. Kekayaan yang di negeri Belanda terkena
pajak kekayaan ialah 12 milyar, sehingga milik kita yang
ada di Hindia tidak kurang dari 1/3 kekayaan rakyat kita
semua.”
Lebih dari 4000 juta rupiah kapital Belanda saja, Tuan-tuan Hakim
yang terhormat, tetapi jumlah semua modal asing yang berusaha di In-
donesia adalah lebih besar lagi,– yakni jikalau kita hitung dengan
memakai asas perhitungan Dr. Waller itu juga:– kurang lebih 6000 juta
rupiah!40
Enam milyar rupiah dengan untung setahun rata-rata sepuluh
persen! Tetapi berapa perusahaan asingkah yang untungnya tidak
berlipat-lipat ganda lagi. Berapa perusahaan asingkah yang
dividenya sering kali lebih dari 30, 40, ya kadang-kadang sampai lebih
dari 100%! Kita mengetahui dividen tembakau Sumatra yang besarnya
35% dalam tahun 1924, kita mengetahui dividen kina yang berlipat-
lipat lagi, kita kenal akan dividen-dividen yang sampai 170%! Kami,
oleh karenanya, tidaklah heran kalau seorang sebagai Colijn
mengatakan, bahwa modal asing harus terus mengerumuni

47
Indonesia itu sebagai semut mengerumuni wadah-gula, sebagai
“de mieren den suikerpot”!41

Ekspor, impor, kelebihan ekspor

Memang milyunan rupiah harganya hasil-hasil perusahaan kapital


asing itu yang saban tahun diangkut dari Indonesia, milyunan rupiah
besarnya harga pengeluaran hasil-hasil itu saban tahun. Di dalam tahun
1927 pengeluaran kopi adalah seharga f 74.000.000,-; pengeluaran teh f
90.000.000,-; pengeluaran tembakau f 107.000.000,-; pengeluaran
minyak f 155.000.000,-; pengeluaran gula f 360.000.000,- (malahan
sebelum hebatnya persaingan dari Kuba, kadang-kadang lebih
dari f 400.000.000,0); pengeluaran karet f 417.000.000, jumlah semua
barang keluar tak kurang dari f 1.600.000.000,-42
Pendek kata, saban tahun kekayaan yang diangkut dari Indonesia,
sedikit-dikitnya f 1.500.000.000,-!
Dan harga impor? Harga barang-barang yang masuk Indonesia?
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, Indonesia adalah suatu tanah
jajahan, di mana, sebagai tadi telah kami katakan, prinsip
imperialisme yang nomor empatlah yang paling hebat. Semua tanah
jajahan yang terutama ialah jadi lapangan usaha modal asing yang
kelebihan, suatu daerah pengusahaan surplus kapital di luar negeri.
Suatu jajahan yang demikian itu, ekspornya selamanya melebihi impor,
kekayaannya yang diangkut ke luar selamanya lebih banyak dari harga
barang yang dimasukkan.
Inilah yang menjadi sifat rumah tangga kami yang miring itu,
kelebihan ekspor, dan bukan kelebihan impor,– lebih banyak
kekayaan yang keluar dan bukan lebih banyak barang yang masuk,
bahkan bukan pula “les produits se changent contre les produits”,
yakni bukan pula barang yang keluar sama dengan barang yang masuk.
Kelebihan ekspor di Indonesia makin lama makin besar. Di dalam
tahun delapan puluhan kelebihan ekspor itu = f 25.000.000,-; di dalam
tahun sembilan puluhan sudah menjadi ± f 36.000.000,-; di dalam
tahun-tahun penghabisan abad ke-19 sudah bertambah menjadi ± f
48
45.000.000,-; di dalam tahun sekitar 1910 sudah menjadi f
145.000.000,-; di dalam tahun akhir-akhir ini sudah menjadi f
700.000.000,-43. Ya, di dalam tahun 1919 mencapai rekor f 1.
426.000.000,-44
Bahwasanya,– Indonesia bagi kaum imperialisme adalah suatu
surga, suatu surga yang di seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada
bandingan kenikmatannya:
“Kalau kita bandingkan dengan angka-angka internasional
….. nyatalah bahwa tidak satu negeri lain persentase
kelebihan ekspornya begitu tinggi seperti Hindia-Belanda,”
begitu Prof, Van Gelderen, kepala Centraal Kantoor voor de
statistiek di sini, berkata.

Nasib Rakyat
Dan bangsa Indonesia? Bagaimanakah nasib bangsa Indonesia?

Menjawab Mr. Brooshooft, seorang yang bukan sosialis, di dalam


bukunya “De Ethisce Koers in de koloniale Politiek”:
“Jawabnya singkat aja, kita jerumuskan dia ke dalam
jurang!” “Kita jerumuskan dia ke dalam lumpur
kesengsaraan, yang di dalam pergaulan hidup Barat
menenggelamkan jutaan manusia sampai ke batang
lehernya: pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain
tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital, yakni
menggenggam kekuasaan.”45
Ah, Tuan-tuan hakim, begitu banyak orang bangsa Belanda yang
tidak mengetahui kesengsaraan rakyat Indonesia. Begitu banyak bangsa
Belanda yang mengira, bahwa rakyat Indonesia itu senang
kehidupannya.
Meskipun demikian….tidak kurang pula orang-orang pandai
bangsa Belanda yang menunjukkan kesengsaraan ini dalam buku-buku,
karangan-karangan atau pidato-pidato, –tidak kurang kaum terpelajar
bangsa kulit putih yang mengakuinya! Kesengsaraan rakyat Indonesia
49
harus diakui oleh siapa saja yang mau menyelidikinya dengan hati
yang bersih; kesengsaraan rakyat itu bukan “omong-kosong” atau
“hasutan kaum penghasut”. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan
atau realiteit yang gampang dibuktikan dengan angka-angka. Lagi
pula, tuan-tuan hakim, adanya kelebihan-kelebihan ekspor itu saja,–
yang juga bukan “omong-kosong”, melainkan suatu barang yang nyata
oleh adanya angka-angka statistik -adanya hal bahwa negeri Indonesia
itu lebih banyak diangkuti kekayaan keluar daripada dimasukkan.
Adanya hal itu saja, sudah cukup bagi siapa yang mempunyai sedikit
pengetahuan tentang ekonomi, bahwa di sini keadaan adalah “miring”,–
bahwa di sini tidak ada “keseimbangan”. Dan bukan saja keadaan itu
“miring”, bukan saja ada “tidak seimbang”-tetapi (oleh sebab
kelebihan-kelebihan ekspor itu makin lama makin besar), keadaan
“miring” itu makin lama juga makin “miring”, “tidak seimbang” itu
makin lama juga makin tidak seimbang!
Tatkala membicarakan kelebihan-kelebihan ekspor ini, berkata
D.M.G.Koch:
“ Tentu saja pengambilan yang teratur dan saban
tahun bertambah besar dari jumlah-jumlah uang dari
negeri Hindia, berarti hilangnya kekayaan-kekayaan
yang mungkin bisa dipergunakan untuk perkembangan
ekonominya.”46
Lagi pula tuan-tuan Hakim, tidakkah pemerintah sendiri mengakui
adanya “kekurangan kesejahteraan” itu, tidakkah pemerintah sendiri
mengakui adanya “mindere welvaart” itu, tatkala pemerintah beberapa
tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaartscommissie” (komisi
untuk menyelidiki kekurangan kesejahteraan). Tidakkah Menteri
Idenburg47 sendiri dua puluh lima tahun yang lalu telah menyebutkan
chronischen nood, suatu “kesengsaraan yang terus-menerus”, “yang
sekarang berjangkit di sebagian besar tanah Jawa”, tidakkah menteri itu
mengakui pula adanya suatu “kemelaratan yang sudah mendalam”,
suatu “ingevreten armoede”,48 sehingga “keadaan ekonomi dari
sebagian besar penduduk, sangat jeleknya”?

50
Tidakkah menteri jajahan itu juga mengakui pula adanya
“penyerotan rezeki keluar”, yakni adanya “drainage”, walaupun ia
berpendapat bahwa:
“menunjukkan penyakit ini lebih gampang dari
mendapatkan obat untuk menyembuhkannya”?49

Dan tidak kurang pula orang-orang Belanda lain yang mengakui


keadaan ini pada zaman itu; Tuan Pruys v.d. Hoeven, bekas Anggota
Dewan Hindia, di dalam bukunya “Veertig Jaren Indische Dienst”,50
menulis:
“Nasib orang Jawa dalam empat-puluh tahun yang akhir ini,
tidak banyak diperbaiki. Di luar golongan kaum ningrat dan
beberapa hamba negeri, masih tetap hanya ada satu kelas
saja yang hidupnya sekarang makan besok tidak. Suatu kaum
yang agak berada, belum lagi bisa terbentuk, sebaliknya
dalam tahun-tahun belakangan ini kita lihat terakhir suatu
kelas proletar, yang terdahulu hanya terdapat di ibukota-
ibukota.”
H.E.B. Schmalhausen, bekas asisten residen, di dalam bukunya, Over
Java en de Javanen, bercerita:
“Saya sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana
orang-orang perempuan,–sesudah berjalan beberapa jam
lamanya, sampai di tempat yang dituju dan mengalami
peristiwa, bahwa mereka tidak bisa ikut mengetam padi,
karena kebanyakan pekerja. Maka ada yang menangis
tersedu-sedu lalu duduku di tepi jalan, putus asa. Keadaan-
keadaan yang demikian itu baru bisa kita mengerti, sesudah
hidup lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup punya
perhatian kepada negeri dan penduduk dan senantiasa
membuka mata!” “Kami membikin …… perhitungan…..
menurut keterangan-keterangan yang benar dan hasilnya
ialah, bahwa harga padi yang mereka terima (sebagai
upah) sebanyak-banyaknya f 0.09 sehari.”

51
Untuk mencari upah 9 sen yang menyedihkan ini dengan
kerja berat di panas matahari yang terik, seperti kita
katakan tadi, perempuan-perempuan kadang-kadang
harus berjam-jam lamanya berjalan kaki dan kadang-
kadang ditolak pula. Kenyataan-kenyataan seperti itu lebih
membukakan mata bagi keadaan-keadaan yang sebenarnya
dari banyak perslah-perslah dan pidato-pidato yang mengenai
luarnya saja.” (hal. 14).

Dan Mr. Brooshooft menulis kalimatnya yang termashur: “Kita


jerumuskan dia ke dalam jurang”, Wij duwen hem ini den afgrand”,
sedang di dalam Staten-Generraall perkara inzinking (kejatuhan) ini
ramai dibicarakan. Terutama van Kol tidak berhenti-hentinya
membongkar keadaan-keadaan ini, tidak berhenti-hentinya
membicarakan :negeri yang tiada sumsum lagi” atau “uitgemergelde
gewesten” itu, tidak berhenti-hentinya menggambarkan nasib “jajahan
sengsara” atau noodlijdende kolonie” ini, tidak berhenti-hentinya
menangiskan “kemunduran manusia dan ternak” itu. Yakni “physieke
achteruitgang van menschen en vee”.51
Begitulah keadaan beberapa tahun yang lalu, Adakah keadaan
sekarang berbeda? Adakah keadaan hari ini lebih baik?
Tuan-tuan hakim yang terhormat, tadi sudah kami buktikan
dengan angka-angka, bahwa drainage Indonesia tidak makin surut,
tidak makin kecil, melainkan makin besar, makin membanjir,
mendahsatkan, bahwa kelebihan-kelebihan ekspor makin tak
berhingga,–bahwa ketidakseimbangan makin menjadi tidak seimbang!
Bagi siapa yang mau mengerti, maka tidak boleh tidak, drainage yang
makin membanjir itu pasti berarti rakyat makin sengsara, pasti
berarti rakyat itu, dengan perkataan Mr. Brooshooft, makin
terjerumus ke dalam “jurang”! Jikalau di zaman Pruys v.d. Hoeven kita
sudah melihat “suatu kelas proletar, yang dahulu hanya terdapat di
ibukota-ibukota”, kalau di zaman Mr. Brooshooft kita sudah melihat
“pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga kerjanya,
oleh orang yang memegang kapital”.

52
Jikalau kita di zaman itu sudah melihat daya
yang “memproletarkan”, yakni proletariseeringstendens dengan
senyata-nyatanya,– bagaimanakah kerasnya proletariseeringstendens
itu di zaman kita sekarang ini, di mana pengedukan kekayaan secara
imperialistis itu makin lama makin mengaut, kapital asing makin lama
makin bertambah banyak dan bertambah besar “shaktinya”!
Di dalam buku Dr. Huender “Overzicht van den Econ. Toestand
der Inheemsche Bevolking van Java en Madoera”, kita membaca:
“Sedang di tahun 1905 jumlah penduduk dewasa yang bekerja
tani, ada 71%, menurut maklumat-maklumat yang akhir di
Dewan Rakyat……sekarang ini hanya 52% saja yang semata-
mata mempunyai penghasilan dari pertanian”….52
dan Prof, van Gelderen dari Centraal Kantoor Voor de Siatistiek
menulis:
“ Perkembangan perusahaan asing dengan sendirinya
cenderung kepada usaha untuk senantiasa dan berangsur-
angsur secara lebihh besar-besaran melaksanakan per-
bandingan pokok ini: majikan dan kapital, jadi juga
keuntungan, bagi bangsa asing; dan kaum buruh, jadi juga
upah, bagi bangsa bumiputra. Memang dengan demikian
bertambah besar permintaan kepada tenaga buruh dan
bertambah besar jumlah penduduk yang mendapat
penghasilan berupa upah. Tapi hal ini terjadi secara sangat
berat sebelah seperti berikut. Penduduk bumiputra menjadi
suatu bangsa yang terdiiri dari kaum buruh belaka dan
Hindia menjadi buruh antara bangsa-bangsa.”53
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” dan “menjadi
buruh antara bangsa-bangsa”, Tuan-tuan Hakim,—itu bukan nyaman!
Itu bukan memberi harapan besar bagi hari kemudian! Itu
bukan memberi perspektif pada hari kemudian itu, jikalau terus-
terusan begitu! Tidakkah oleh karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis
mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja
sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan?
53
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” -amboi, dan
berapa besarkah upah yang biasanya diterima oleh Kang Kromo
atau Kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya, besarnya
upah di dalam perusahaan yang terpenting, yakni perusahaan gula,-
perusahaan gula yang terdiri di tengah-tengah pusat pergaulan hidup
Bumiputra, di tengah-tengah ulu hati pergaulan hidup itu? Menurut
Statistisch Jaaroverzicht : rata-rata hanya f 0,45 seharu bagi orang laki-
laki dan f 0,35 sehari bagi perempuan!54
Sesungguhnya, Dr. Huender tak salah kalau ia menulis:
“Perusahaan gula buat orang Indonesia yang berhak atas
tanah, adalah merugikan: upah-upah yang dibayarkan
kepada orang-orang Indonesia yang bekerja padanya, jika
tidak terlalu rendah untuk menolak maut, setidak-tidaknya
adalah upah minimum, yakni upah yang paling rendah”
Dan bukan di dalam perusahaan gula saja kita dapatkan “Upah
yang paling rendah” atau “minimumloonen” itu! Upah minimum di
Indonesia kita dapat dimana-mana. Selama rumah tangga rakyat
Bumiputra masih suatu rumah tangga yang kocar-kacir, selama rakyat
Bumiputra masih “minimumlijdstef”55, sebagai dikatakan Dr.Huender
selama itu pula upah-upah dimana-mana tentulahberwujud upah-upah
minimum,–selama itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksa
menerima saja upah-upah yang bagaimanapun juga rendahnya, “buat
menolak maut”, “om er het leven bij te houden”.56 Prof, van
Gelderen di dalam bukunya dengan seterang-terangnya
menunjukkan perhubungan sebab akibat antara rumah tangga kami
yang kocar-kacir ini dengan rendahnya upah-upah di dalam pergaulan
hidup kami, -upah-upah di dalam pergaulan hidup kami yang
menurut pendapatnya, bukan “Ertragslohn” 57 tetapi
“Erhaltungslohn”58 yakni upah yang “sekedar supaya jangan sampai mati
kelaparan”- upah yang “sekedar sama dengan ongkos-ongkos hidup
yang paling rendah”!
Dan hidupnya, bestaannya rakyat umum? Bagaimanakah
hidupnya rakyat umum? Di atas sudah kami katakan, bahwa Dr. Huender

54
menyebut rakyat Bumiputra itu “minimumlijdster” (penderita
minimum).
“Yang paling sukar dan paling mengkhawatirkan
berhubung dengan keadaan ekonomi di Jawa dan
Madura, ialah bahwa penduduk yang telah dibebani
sampai batas kesanggupannya itu rupanya adalah
“penderita minimum” dan bagi mereka ternyata
beberapa peraturan yang diadakan pemerintah untuk
memperbaiki kehidupan mereka, tidak mempan……,59

begitulah kesimpulan Dr. Huender. Dan Prof. Boeke di dalam


bukunya “Het zakelijke en persoonlijke element in de koloniale
welvaartspolitiek”, berkata:
“Si tani kecil, pak tani Jawa yang miskin itu …. bukan saja
melarat hidupnya, tapi tidak bisa pula mempengaruhi
apa-apa kesejahteraan sekelilingnya; sisa-sisa yang
sedikit dari perusahaannya, tidak memungkinkan dia, di
luar keperluan-keperluannya yang paling penting sehari-
hari, memenuhi keperluan-keperluan lain yang agak
berarti juga, yakni keperluan-keperluan yang bisa diadakan
oleh lain-lain golongan masyarakat, yang menunggu-nunggu
apa yang akan diminta dan ditawarkannya. Yang terutama
bisa dikerjakannya dalam masyarakat, ialah menekan
tingkat upah.”60
“Hidup yang melarat”, “een Ellendig bestaan” Tuan-tuan! Hakim,
begitulah pendapat Prof. Boeke, seorang yang toh bukan bolsyewik atau
“penghasut”, -melainkan seorang ahli ekonomi yang ternama! Angka-
angka, Tuan-tuan Hakim? Menurut perhitungan Dr. Huender,
penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun ialah
rata-rata f 161,-, jumlah beban rata-rata/22.50,- jadi bersih penghasilan
setahun adalah f 161,- -f 22.50 = f 138.50, (seratus tiga puluh delapan
rupiah lima puluh sen!), Tuan-tuan Hakim, di dalam dua belas bulan!
Yakni, belum sampai f 12,- sebulan; yakni belum sampai f 0.40 sehari

55
yakni, kalau dimakan lima orang (besarnya sama rata), belum sampai
f 0.08 sehari seorang! 61 Sesungguhnya, sejak kalimatnya Pruys v.d.
Hoeven yang berbunyi bahwa kebanyakan rakyat hidupnya
“sekarang makan besok tidak” sejak perkataannya Mr. Brooshooft
bahwa rakyat terjerumus ke dalam “jurang”, sejak dengungnya suara
van Kol yang mendakwa atas adanya “negeri-negeri yang tiada
sumsum lagi”, atau “jajahan yang sengsara” atau “ kemuduran
manusia dan ternak”, — sejak zaman itu tetaplah bangsa kami hidup
“sekarang makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup dalam
“jurang”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jajahan yang sengsara”!
Bahwasanya,–drainage yang kami derita dengan tiada berhentinya
itu, tak luput menunjukkan pengaruhnya,–imperialisme-modern tak
luput menunjukkan kejahatan shakti-shaktinya!
Orang bisa berkata: “Adakah imperialisme modern itu
berkejahatan? Gula “memasukkan” uang ke dalam pergaulan hidup In-
donesia dengan upah-upah dan penyewaan tanah; karet, teh, kopi, kina,
hanya membuka tanah-tanah hutan yang jauh dari rakyat; minyak tanah
keluarnya dari sedalam-dalamnya tanah, — semua memberi “berkah”
pada rakyat dan kesempatan berburuh!
O, memang, -memang gula “memasukkan” uang; memang
onderneming erfpacht tidak begitu “mengenai” rakyat; memang minyak
dibor dari sedalam-dalamnya tanah;- memang semua memberi
kesempatan berburuh. Tetapi marilah kita membaca pemandangan Prof.
Snouck Hurgronje, bagaimana macamnya “berhak” (kalau ada “berhak”),
yang modal asing itu berikan kepada kami dan sebagaimana macamnya
kaum modal asing itu “memelihara” kesejahteraan kami:
“Manfaat-manfaat yang diterima oleh penduduk
Bumiputra dari modal Eropa itu, hanya sisa-sisa hasil
pekerjaan kaum majikan, bukan dimaksud dan sekali-kali
tidak dimaksud terutama untuk mereka. Tujuan mereka
ialah…..cari duit….. Seandainya “wadah gula’ tadi – untuk
memakai perbandingan Colijn –mulai kosong, oleh karena
satu atau lebih hasil-hasil bumi mengalami krisis harga,
maka segeralah semut-semut itu menyusup lagi ke dalam
tanah, dengan tidak memperdulikan sedikit juga nasib
56
rakyat yang 35 atau 50 juta, yang tadinya senantiasa
mengisi wadah gula itu. Selama, seperti sekarang ini, semut-
semut itu berdesak-desak mengerumuni wadah gula
itu, artinya, selama onderneming-onderneming Eropa
itu beroleh untung, maka kepentingan-kepentingan orang
Bumiputra terhadap usaha mereka yang sewajarnya
untuk mencapai untung yang lebih besar lagi, tidak aman,
jika tidak ada alat penjagaan yang kuat…. Orang tidak usah
seorang antikapitalis untuk mengerti betapa berbahayanya
kapital Barat mengancam penduduk Bumiputra dari suatu
tanah jajahan.”

Marilah kita juga ingat akan kenyataan, sebagai yang


diterangkan oleh Prof. Van Gelderen di dalam bukunya tadi, bahwa
tinggi-rendahnya upah itu adalah ditetapkan oleh “tenaga produksi”
pergaulan hidup umum, -bahwa jikalau pergaulan hidup itu kocar-
kacir, upah pasti kocar-kacir dan serendah-rendahnya pula:- bahwa
jikalau pergaulan hidup umum itu suatu
“Ernahrungswirtschaft” 62 upah pasti hanya “Erhaltungslohn”
saja! Marilah kita ingat, bahwa keadaan rakyat Indo-nesia yang
sebenarnya, memang membenarkan kenyataan ini, -yakni, bahwa,
di mana rakyat Bumiputra itu umumnya adalah
“minimumlijdster”, upah yang biasa diterimanya juga memang hanya
“minimumloonen”, “Erhaltungslohnen” belaka! Marilah kita ingat,
bahwa industri imperialisme yang cita-citanya membikin untung
setinggi-tingginya itu, dan yang karena itu, mempunyai kepentingan
atas adanya upah-upah yang serendah-rendahnya (yakni mempunyai
kepentingan atas adanya loonen yang “minimumloonen”)- oleh
karenanya, mempunyai kepentingan pula atas tetapnya pergaulan
hidup kami ini dalam keadaan yang kocar-kacir, mempunyai belang
atas tetapnya kami punya rumah tangga atau Wirtschaft itu bersifat
“Ernahrungswirtschaft” adanya!
Prof. Van Gelderen menulis:
“Apabila tenaga produksi dari penghasil Bumiputra
bertambah besar dan oFdan sileh karenanya harga sewa
57
tanahnya jadi lebih tinggi, maka dalam suatu cara
perkebunan tertentu dari pengusaha-pengusahaEropa,
bertambah kurang keuntungan
perusahaannya. Ini suatu pertentangan kepentingan yang
tidak bisa dimungkiri, dan sekali-sekali terasa benar”.
“Perbedaan hasil pekerjaan dalam hal dipergunakan
pekerjaan orang Bumiputra dan dalam hal dipergunakan
pekerjaan orang asing, buat sebagian besar menguntungkan
pengusaha asing. Makin kecil perbedaan ini, disebabkan
karena tenaga produksi pekerja Bumiputra dalam lingkungan
sendiri bertambah besar (ini pada hakekatnya berarti
tenaga produksi dalam pertanian Bumiputra), maka
makin kecil pula sumber keuntungan yang lain dari
perusahaan besar asing ini.”
Dan di dalam buku Prof. Schrieke “The effect of Western
Influence on native civilizations in the Malay Archipelago”, kita
membaca kalimat Tuan Meyer-Ranneft yang sekarang menjadi Ketua
Dewan Rakyat:
“Jumlah yang diterima oleh kaum modal dan
perusahaan industri, menjadi sebanding lebih besar
dengan bertambah jeleknya tingkat kehidupan Bumiputra,”
sedang Prof. Boeke dengan lebih terus-terang lagi berpidato:
“Mereka,– (kaum modal asing, Sk), terutama menjalankan
rol ekonomi yang diharapkan oleh dunia dari tanah jajahan,
mereka pandai mengeduk kekayaan dari Hindia pada
umumnya dan dari bumi Hindia pada khususnya dan
membikin negeri itu memberikan keuntungan-
keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, mereka itu
terutama menghasilkan barang-barang yang diperlukan di
pasar dunia dan mereka mengharap dan menuntut dari
Hindia tidak lebih dari tanah yang baik dan tenaga buruh
yang murah; penduduk bagi mereka tidak lebih dari suatu
alat (ini yang mengenai penduduk tanah Jawa) atau
58
penyakit yang perlu (ini yang mengenai penduduk di
tanah seberang).63 Buat mereka yang penting hanya…
penawaran tenaga buruh dan harga tanah; apa yang
menambah banyak penawaran dan menurunkan harga,
menguntungkan bagi mereka. Mereka itu adalah, mereka
harus jadi, apa yang disebut oleh orang Jerman dengan
tepatnya “Real-politiker”, harus mendahulukan kenyataan
dan kesoalan, anasir cita-cita dan perseorangan buat
mereka itu tidak sehat atau lebih lagi.”
Dengan lain perkataan: Kaum modal partikelir mempunyai
kepentingan atas rendahnya tenaga produksi dan rendahnya tingkat
pergaulan hidup kami, imperialisme-modern karena itu, mengalang-
alangi kemajuan sistem sosial kami itu, imperialisme-modern karena itu
suatu rem bagi kami punya kemajuan ekonomi sosial!
Benar sekali, — imperialisme-modern “membikin
rakyat Bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh
belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan
bangsa-bangsa”!
Dan si buruh yang bagaimana, Tuan-tuan Hakim!, — si buruh
yang loonen-nya. minimumloonen, si buruh yang
Wirtschaft-nya Minimumwirtschaft!, si buruh yang upahnya upah
Kokro! Hati nasional tentu berontak atas kejahatan imperialisme-
modern yang demikian itu!! Lagi pula, — siapakah nanti yang bisa
mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia yang diambil oleh
mijnberdrijven partikelir, yakni perusahaan-perusahaan tambang
partikelir, sebagai timah, arang batu, minyak! Siapakah nanti yang bisa
mengembalikan lagi kekayaan-
kekayaan tambang itu?
Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-
lamanya bagi kami, musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan
hidup Indo-nesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil
belaka!64

59
“…….Perusahaan hasil tambang, yang lama-kelamaan
menghabiskan kekayaan-kekayaan tambang itu,” begitulah Prof,
Van Gelderen menulis.
“Juga di dalam hal ini, yang tinggal di dalam negeri hanya
ongkos-ongkos produksi saja. Hasil bersihnya jatuh ke
tangan pemilik modal asing.
Di dalam hasil bersih ini termasuk bukan saja bunga dan
keuntungan pengusaha, tapi juga apa yang dinamakan
“bunga pertambangan”, yakni pembayaran bagian monopoli
yang tidak bisa diganti, bagian yang ada dalam
penghasilan segala perusahaan tambang, yang mempunyai
tenaga produksi yang lebih dari ‘batas tenaga produksi’.
Dengan jalan penghapusan dan pencadangan jumlah
kapital yang ditanam dalam pertambangan bisa tetap
dalam tangan si pemilik. Tapi barang yang dikerjakan ini,
yakni batu arang, minyak tanah, timah, musnah buat
selama-lamanya”!
“Musnah buat selama-lamanya!” “Onkerroepelijk verloren!”
Bahwasanya, “bangsa kaum buruh”,
“minimumloonen”, minimumlijdster”, kemajuan ekonomi sosial
direm”, “kekayaan tambang musnah buat selama-lamanya”,
semua perkataan-perkataan itu tidak menggembirakan!
Dan toh…..apakah hak-hak bangsa kami, yang kiranya boleh jadi
“imbangan” dari keadaan ekonomi yang menyedihkan itu? Apakah
hak-hak bangsa kami yang boleh dipakai sebagai obat di atas luka hati
nasional yang perih itu? Pengajaran? Oh, di dalam “abad kesopanan” ini
di dalam “eeuw van beschaving” ini, menurut angka-angka Centraal
Kantoor voor dee Sfatistiek, orang laki-laki yang bisa membaca dan
menulis belum ada 7%, orang perempuan belum ada….1/2%. Dan toh,
Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee 65 memajukan usul
memberhentikan penambahan Hollandsch-Inlandsch-Onderwijs! -Pajak-
pajak enteng? Laporan Meyer-Ranneft-Huender menunjukkan, bahwa
Kang Marhaen yang pendapatnya setahun rata-rata hanya f 160.- itu,
harus membayar pajak sampai kurang lebih 10% dari pendapatannya;
60
bahwa bagi bangsa Eropa pajak yang setinggi itu baru dikenakan
kalau pendapatannya tak kurang dari f 8.000,- sampai dengan f 9.000,-
setahun!; bahwa pajak yang istimewa mengenai Kang Marhaen, yang
pada tahun 1919 sudah mencapai jumlah f 86.900.000,-itu, di bawah
pemerintahan Gubernur-Jenderal Fock66 dinaikkan lagi menjadi f
173.400.000,- setahun!; bahwa teristimewa beban-beban desa sering
berat sekali adanya!
Kesehatan rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanya
ada 343 rumah sakit gubernemen, kematian bangsa Bumiputra
setahun tak kurang dari ±20%, ya, di dalam kota-kota besar sampai
kadang-kadang 30, 40, 50%67, seperti di betawi, di Pasuruan, di
Makassar! Kesempatan bekerja di pulau-pulau luar tanah jawa? Soal
kontrak dan poenale sanctie, perbudakan zaman baru atau moderne
slavernij itu, seolah-olah takkan habis-habisnya di-”pertimbangkan”
dan sekali lagi dipertimbangkan”,–
Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan yang
melindungi kaum buruh tak ada sama sekali, arbeidsinspectie tinggal
namanya saja, hak mogok, yang di dalam negeri-negeri yang sopan sudah
bukan soal lagi itu, dengan adanya pasal 161 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, musnah sama sekali dari realiteit, terhalimunkan sama
sekali menjadi impian belaka!—kemerdekaan cetak-mencetak dan
hak berserikat dan berkumpul?…68
Tuan-tuan hakim, marilah kita dengan hati yang tenang dan
tulus bertanya lagi: Adakah di sini bagi kami bangsa Indonesia
kemerdekaan cetak, adalah di sini hak, yang dengan sebenarnya
boleh kita namakan hak berserikat dan berkumpul? Amboi,– adakah
di sini hak-hak itu, di mana Kitab Undang-undang Hukum Pidana
masih saja berisi itu pasal-pasal mengenai penyebaran –rasa
kebencian (haatzaaiartikelen) yang bisa diulur-ulur sebagai karet, itu
haatzaaiartikelen yang hampir zonder perubahan diambil dari
“gewrocht der duisternis”69 sebagai Thorbecke menyebut peraturan
cetak-mencetak, di mana “horribel starfwetartikel”70 153 bis-ter yang
lebih-lebih elastis lagi mengancam keselamatan tiap-tiap pemimpin
sebagai kami ini hari, dimana hak pendigulan memberi keuasaan yang
hampir tak terhingga kepada pemerintah terhadap tiap-tiap

61
pergerakan dan tiap-tiap manusia yang ia tak sukai? Adakah di sini
hak-hak itu, dimana kritik di muka umum gampang sekali mendapat
teguran atau sopan, di mana tiap-tiap rapat penuh dengan spion-
spion polisi, di mana hampir tiap-tiap pemimpin dibuntuti reserse di
dalam gerak-geriknya ke mana-mana, di mana gampang sekali
diadakan “larangan berapat”, di mana rahasia surat seringkali
dilanggar diam-diam sebagai kami lihat dengan mata sendiri? Adakah
di sini hak-hak itu, di mana laporan spion-spion itu saja atau tiap-tiap
surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat membikin penggerebekan
di mana-mana, mengunci berpuluh-puluh pemimpin di dalam
tahanan, yang menjerumuskan pemimpin-pemimpin itu ke dunia
pembuangan?
Tuan-tuan Hakim, marilah sekali lagi kita bertanya dengan hati
yang tenang dan tulus: adakah di sini bagi bangsaku kemerdekaan
cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul, dimana
menjalankan “kemerdekaan” dan “hak” itu dialang-alangi oleh macam-
macam alangan, diranjaui oleh macam-macam ranjau yang demikian
itu???
Tidak! Di sini tidak ada hak-hak itu! Dengan macam-macam
halangan dan macam-macam ranjau demikian itu, maka “kemerdekaan”
itu tinggal namanya saja “kemerdekaan” “hak” itu tinggal namanya saja,
“hak”, dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka
“kemerdekaan cetak-mencetak” dan “hak berserikat dan berkumpul” itu
lantas menjadi suatu omong-kosong, suatu paskwil! Hampir tiap-tiap
jurnalis sudah pernah merasakan tangan besinya hukum, hampir tiap-
tiap pemimpin Indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap
bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan radikal lantas saja
dipandang “berbahaya bagi keamanan umum”!
Sesungguhnya: Tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat
Indonesia untuk jadi “imbangan” kepada bencana pergaulan hidup dan
bencana kerezekian yang ditebar-tebarkan oleh imperialisme-modern
itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat kami yang cukup
nikmat dan menggembirakan untuk dijadikan pelipur hati
nasional yang mengeluh melihat kerusakan sosial dan ekonomi yang
disebabkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang
62
orang berikan pada rakyatku yang boleh dijadikannya sebagai
peganganm sebagai penguat, sebagai sterking untuk
memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak-abrik
kerezekian dan pergaulan hidup kami itu!

Catatan kaki
1
Sir Thomas Stanford Raffles yang pernah menjadi Letnan Gubernur Jenderal
selama Inggris berkuasa di Indonesia (1811-1816).
2
Contingenten= pajak yang dibayar dengan barang-barang hasil bumi oleh
kepala-kepala.
3
Leverantien- Kepala-kepada dipastikan setor barang-barang hasil bumi yang
dibeli oleh kompeni. Tetapi banyaknya dan harganya barang itu
kompenilah yang menetapkan.
4
Prof. Snouck Hurgronje (1857-1936) sarjana Belanda yang pernah
bermukim 2 tahun di Mekah dengan nama samaran Abd-Al-Gaffar.
Sekembalinya dari Mekah, ia bersikap oposan terhadap pemerintah Belanda,
tercemin dalam bukunya “Colijn Over Indie”.
5
Prof. Colenbrander dalam buku “Kolonial Geschichte” Jilid II hal. 252
6
Prof. J. Pieter Veth (1814-1895) seorang ahli etnologi dan bahasa Indonesia,
dengan karangan utamanya, “Java, geographisch, ethnologisch, historisch”.
7
Dari buku “Kolonial Geschichte” II, hal. 117
8
Prof. Kiestra dalam bukunya “De vestiging van her Nederlandsch gezag in den
Indisctieri Archtpel” (Membangun kekuasaan Belanda di Kepulauan Indonesia).
9
heiden= penyembah berhala (animisme)
10
Prof. Dietrich Schafer, dari buku “Kolonial Geschichte” I hal. 82
11

11
Snouck Hurgronje dalam “Colijn over Indie, hal. 32.
12
tijdvak van den twijfei=masa ragu-ragu
13
Prof.Gonggrijp dalam bukunya “Economische Nederlandsch Indie” hal.123.
14

nila= sejenis tanaman yang daunnya dibikin cat warna (disebut juga
indigo).
15
H.J Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur In Nederlandsch
Indische” (Dari daerah rampasan ke pemerintah sendiri) hal. 27
16
f= rupiah zaman Belanda dulu, disebut juga gulden.

63
17
Van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1830-1833, perencana
cultuuralstelsel. Menjadi menteri jajahan 1835-1837.
18
Prof. Kielstra dalam “De Vestiging”,
hal.38 19 19
Prof. Veth dalam “Java” II,
hal.410.
20
naweeen=akibat
21
Henriette Roland Holst, seorang penyair wanita Belanda yang berjuang di sayap
sosialis.
22
Lima puluh, maksudnya di sini adalah tahun 1850.
23
Yang dimaksud di sini adalah modal lebihan dari keuntungan yang ditanam di
Indonesia.
24
Undang-undang Agraria dan Undang-undang Tanaman Tebu, dibuat oleh
Staten General yang berkedudukan di Belanda, bukan oleh Raad van Indie,
karena Raad ini baru ada tahun 1918.
25
Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur” hal. 92.
26
Multatuli alias Dowes Dekker dalam bukunya yang terkenal “Max Havelaar
yang; dikutip oleh Roland Holst dalam bukunya “Kapitaal en Arbeld in
Nederland” hal. 150
27
Drainage= penyedotan sampai kering
28
Karl Kautsky (1854-1938): Seorang bangsa Austria penganut aliran sosial
demokrat, dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” hal. 43.
29
J.E. Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur” hal.12-13
30
Parvus, dalam bukunya “Die Kolonial Politik und der Zusammenbruch” hal.15.
31
H.E.B. Schmalhausen, bekas Asisten Residen di Jawa, dalam bukunya “Over
Java en de Javanen” (Tentang Jawa dan orang Jawa) hal. 169.
32
Prof.Gonggrijp, dalam bukunya “Ekonomische Geschiedenis Nederlandsch
Indie”, hal.190.
33
Gewetenstopper = pendiaman tuntutan hati
34
Domeinverklaring = tanah yang diakui milik negara
35
Ponale sanctie = mulai berlaku 1881, yaitu peraturan yang
membolehkan perusahaan perkebunan menangkap buruh bila keluar
sebelum masa kontrak berkahir.
36
Staatsafronding= pembulatan wilayah jajahan.
37
Opendeur-politiek= politik pintu terbuka, yang berlaku sejak 1905. Sejak
itu masuklah modal asing lainnya, selain Belanda.
38
Bandingkan statist, Jaaroverz. 1928.
39
Verbond van Nederlandsche Wetgever, ialah Perkumpulan Pembuat
Undang-Undang Belanda, di mana dr.F.G. Waller menyampaikan makalah
pada tanggal 30 September 1927, hal. 16.

64
40
Di masa itu 1 kg beras = f 0,07 (7 sen).
41
Hendrikus Colijn (1869-1944): Pernah menjadi letnan dalam perang
Aceh, kemudian menjadi Perdana Menteri Belanda tahun 1925-1939. Buku
yang dikutip “koloniale vraagstukken van heden en morgen” hal. 124
42
Bersumber dari “Jaaroverzicht”
43
Data ini dibuat van Gelderen, kepala Kantor Pusat Statistik di Jakarta
dalam bukunya “Voorlezingen”. Ternyata di masa malaise (1930) ekspor dari
Indonesia mencapai 700 juta gulden
44
Ekspor di tahun 1919 mencapai puncak, sebelum datangnya zaman malaise.
Data ini diambil dari tulisan D.M.G.Koch “Vakbeweging 1927”, hal. 570.
(vakbeweging= gerakan buruh)
45
Mr. Brooshoft, dalam bukunya “De Etische Koers in de Koloniale Politiek” hal.
65 (Arah etika dalam politik Kolonial).
46
D.M.G. Koch dalam “Vakbeweging 1927” hal. 570.
47
Alexander W.F. Idenburg (1861-1935), seorang tokoh dari partai And
revolusioner, menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda pada tahun 1909-
1916, kemudian menjadi menteri jajahan tahun 1918.
48
Van kol dallam bukunya “Nederlandsch Indie in de Staten General” hal.
112. 49
Ibid hal. 1007.
50
“Veertig Jaren Indische Dienst”= Empat puluh tahun berdinas di Hindia.
51
Apa yang diuraikan oleh Mr. Brooshooft ini, terdapat juga dalam buku Van Kol
“Nederlandsch-indie in de Staten General”
52
Dr. Huender dalam bukunya “Overzicht van den Economischen Toestand
der Inheemsche Bevolking van java en Madoera” (Risalah keadaan ekonomi
penduduk pribumi di jawa dan Madura) menulis bahwa tahun 1905 ada 71
petani di antara penduduk. Sekitar tahun 1930 berkurang menjadi 52%. Hal ini
akibat banyaknya tanah yang diambil perkebunan asing, selain banyak yang
pindah ke kota karena sempitnya tanah garapan.
53
Prof. Van Gelderen, kepala kantor Pusat Statistik di Jakarta, dalam bukunya
“voorlezingen” hal. 116.
54
Dari statistik tahun 1928 itu diketahui, upah buruh laki-laki satu hari f 0,45, dan
upah buruh wanita f 0,35. Bandingkan dengan harga beras waktu itu f 0,07 (7
sen) 1 kg dan upah terendah buruh menurut Pemda Jabar tahun 1982 Rp. 850,-
satu hari.
55
Minimumlijdster = Penderita paling parah.
56
Bandingkan dengan keadaan masyarakat kita sekarang (1982) karena tidak ada
pilihan lain, orang mau saja bekerja di pabrik, walau dengan upah Rp. 200,- sehari
(pabrik rokok) atau Rp. 500,- sehari (buruh tani) di Jawa.
57
Ertragslohn = upah terendah
58
Erhaltungslohn = upah sekedar tidak sampai mati kelaparan

65
59
Walau ada usaha-usaha dan pemerintah Belanda memperbaiki kehidupan kaum
tani, tapi perbaikan itu tidak menyentuh perombakan “kemiskinan
strukturalnya”.
60
Prof; Kees Boekc (1884-19):
61
Bandingkan dengan kehidupan kaum Marhaen tahun 1930 dengan pendapatan
8 sen sehari per jiwa, dengan upah Rp 850,- sehari dengan 5 orang (bapak,
istri, dan 3 orang anak) di tahun 1982.
62
Ernahrungswirtschaft= susunan masyarakat yang kocar-kacir.
63
Pernyataan Prof.Boeke ini sekaligus membuyarkan teori, bahwa kedatangan or-
ang Eropa ke Indonesia untuk “misi suci”.
64
Sejak tahun 1931, Bung karno sudah mengingatkan akan musnahnya kekayaan
yang tersimpan dalam bumi (tambang, minyak) oleh pengusaha-pengusaha
tambang swasta.
65
Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee= Komisi pengajaran Indonesia
Belanda (sekolah-sekolah HIS, MULO dan AMS waktu itu).
66
Fock, Gubernur Jenderal Hindia belanda, pada tahun 1919 menambah
pendapatan bagi kas negara menaikkan lagi pajak, termasuk dari rakyat miskin.
67
Dikutip dari statistik “Jaaroverzicht” 1928
68
Negeri-negeri yang sopan dan mengenai paham demokrasi, kesopanan
dan kedemokrasiaannya tercermin adanya hak mogok bagi kaum buruh,
kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan pers.
69
gewrocht der duisternis= perangkap terselubung
70
horribel starfwetartikel= pasal-pasal 153 bis, begitu mengerikan, merupakan
pasal yang menaikkan bulu roma.

PERGERAKAN di
INDONESIA

Pergerakan tentu lahir

Toh……..diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi


pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi
penguat, -tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak
boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti
66
akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali
merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara
murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa,– walau cacing pun
tentu bergerak berkeluget-berkeluget kalau merasakan sakit!
Seluruh riwayat dunia adalah riwayat golongan-golongan manusia
atau bangsa-bangsa yang bergerak menghindarkan diri dari suatu
keadaan yang celaka; seluruh riwayat dunia, menurut perkataan
Herbert Spencer,1 adalah riwayat “reactief verzet van verdrukte
elementen”!2 Kita ingat pergerakan Yesus kristus dan agama Kristen
yang menghindarkan rakyat-rakyat Yahudi dan rakyat-rakyat Lautan
Tengah dari bawah kaki burung garuda Roma; kita ingat
perjuangan rakyat Belanda yang menghindarkan diri dari bawah
tindasan Spanyol; kita ingat pergerakan-pergerakan demokrasi
kewargaan (burgerlijke democretie) yang menghindarkan rakyat-
rakyat Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dari bawah
tindasan autokrasi dan absolutisme, kita menjadi saksi atas hebatnya
pergerakan-pergerakan sosialisme yang mau menggugurkan
takhta kapitalisme; kita mengetahui pergerakan rakyat Mesir di
bawah pimpinan Arabi dan Zaglul Pasha3 beserta pergerakan rakyat
India dibawah pimpinan Tilak4 atau gandhi melawan ketamakan asing;
kita mengetahui perjuangan rakyat Tiongkok menjatuhkan
absolutisme mancu dan melawan imperialisme Barat; kita telah
bertahun-tahun melihat seluruh dunia Asia bergelora sebagai lautan
mendidih menentang imperialisme asing, — tidakkah ini memang
sudah terbawa oleh hakikat keadaan, tidakkah ini memang sudah
terbawa oleh nafsu mempertahankan dan melindungi diri atau nafsu
zelfbehound5 yang ada pada tiap-tiap sesuatu yang bernyawa,
tidakkah ini memang sudah “reactief verzet van verdrukte
elementen” itu?
Rakyat indonesia pun sekarang sejak 1908 sudah berbangkit;
nafsu menyelamatkan diri sekarang sejak 1908 sudah menitis juga
kepadanya! Imperialisme-modern yang mengaut-ngaut di
Indonesia itu, imperialisme-modern yang menyebarkan
kesengsaraan di mana-mana itu, — imperialisme-modern itu sudah
menyinggung dan membangkitkan musuh-musuhnya sendiri. Raksasa
67
Indonesia yang tadinya pingsan seolah-olah tak bernyawa, raksasa
Indonesia itu sekarang sudah berdiri tegak dan sudah memasang
tenaga! Saban kali ia mendapat hantaman, saban kali ia rebah, tetapi
saban kali pula ia tegak kembali! Sebagai mempunyai kekuatan
rahasia, sebagai mempunyai kekuatan penghidup, sebagai
mempunyai aji-pancasona dan aji-candrabirawa, ia tidak bisa
dibunuh dan malah makin lama makin tak terbilang pengikutnya!
Amboi,– di manakah kekuatan duniawi yang bisa memadamkan
semangat suatu bangsa, di manakah kekuatan duniawi yang bisa
menahan bangkitnya suatu rakyat yang mencari hidup, dimanakah
kekuatan duniawi yang bisa membendung banjir yang digerakkan
oleh tenaga-tenaga pergaulan hidup sendiri! Di manakah kebenaran
jerita anggota-anggota dan sahabat-sahabat imperialisme yang
mengatakan ini ialah bikinan beberapa kaum “penghasut”, yakni
kaum “opruiers”6 kaum “raddraaiers”,7 kaum “ophitsers”8 dan lain
sebagainya dan yang oleh karenanya sama mengira bahwa
pergerakan itu bisa dibunuh kalau “penghasutnya” semua
dimasukkan bui, dibuang atau digantung? Puluhan, ratusan, ya,
ribuan “penghasutnya” “opruiers” dan “ophitsers” sudah dibui atau
dibuang, –tetapi adakah pergerakan itu berhenti, adakah pergerakan itu
mundur, tidakkah pergerakan yang umurnya baru ± 20 tahun itu
malahan semakin menjadi besar dan semakin menjadi umum? “Man
totet den Geist nicht”, begitulah Freiligrath menyairkannya,–” orang tak
bisa membunuh semangat”! Di dalam tahun 1900, yakni sebelum di
sini ada “ophitsers”, sebelum di sini ada “raddraaiers”, Ir. van Kol sudah
mendengungkan peringatannya di dalam Tweede Kamer demikian:
“Teruslah……..sampai sekali waktu tiba akhirnya; sekali
waktu, siapa tahu entah kapan, pasti meledak kekuatan
rahasia”
Dan sesungguhnya, “kekuatan rahasia” itu sudah meledak!
Seluruh dunia sekarang melihat bangkit dan bergeraknya kekuatan
rahasia itu!
Seluruh dunia yang tidak sengaja membuta-tuli, mengertilah,
bahwa kekuatan rahasia itu bukan bikinan manusia, tetapi bikinan
68
pergaulan hidup yang mau mengobati diri sendiri. Seluruh dunia yang
tulus hati mengertilah, bahwa pergerakan ini ialah antitesa
imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri. Bukan bikinan
“penghasut” bukan bikinan “opruiers”, bukan bikinan “raddraaiers”,
bukan bikinan “ophitsers”-pergerakan ini ialah bikinan kesengsaraan
dan kemelaratan rakyat! Ir. Albarda di dalam Tweede Kamer
memperingatkan:9.
“Di antara mereka, yang berwajib atau merasa wajib
membicarakan peristiwa-peristiwa zaman di muka umum,
ada yang senang menggambarkan pergerakan Bumiputra
dan perkembangannya sebagai hasil pikiran-pikiran
revolusioner Barat dan yang mengira bahwa pergerakan itu
bisa ditindas dengan jalan menghadapinya dengan
kebijakan pemerintah yang keras dan dengan mengerahkan
polisi dan justisi melawan propagandis-propagandisnya.
Pemandangan dan taktik yang demikian itu sangat dangkal
dan menunjukkan bahwa mereka tidak punya pengertian
sejarah dan tidak punya pengertian politik…. Pergerakan
yang demikian itu terlahir dari keadaan-keadaan
masyarakat dan dari perubahan-perubahan yang
dialaminya. Pergerakan demikian itu juga akan lahir dan
juga akan tumbuh, meskipun tidak pernah seorang Eropa
yang revolusioner menjejakkan kakinya di Hindia.
Pergerakan demikian itu, tumbuh terus, meskipun semua
pemimpin dan propagandisnya dibasmi.
Seperti juga dalam abad ke-16 pergerakan
kerkhervorming10 tidak terhenti dengan memburu-buru
kaum bid’ah, seperti juga dalam abad ke-19 demokrasi-
sosial tidak bisa dihancurkan oleh politik penindasan dengan
kekerasan oleh Bismarck, begitu juga dalam abad ke-20
pergerakan Bumiputra tidak bisa didorong ke belakang,
bahkan tidak bisa diberhentikan oleh
kebijaksanaan pemerintah yang reaksioner. Pergerakan
itu tumbuh terus dan tidak usah diragu-ragukan, bahwa ia

69
akan mencapai cita-citanya, yakni memerdekakan
penduduk Hindia dari penjajahan asing!….”
Tuan-tuan Hakim barangkali berkata, “O, itu pemandangan kaum
sosialis!”
Jika demikian, marilah kita dengarkan Dr. Kraemer, seorang yang
bukan sosialis, menulis dalam Koloniale Studien11
“Di sinilah juga letaknya keterangan, mengapa orang
salah sangka sama sekali, apabila orang menyangka, bahwa
apa yang disebut kebangunan dunia Timur itu atau di dalam
lingkungan kita sendiri: pergerakan Bumiputra itu, hanya
menjadi soal suatu lapisan Intelektuan yang tipis dan
jumlahnya sangat kecil. Mau tidak mau “rakyat murba
yang diam itu” juga ikut mendidih dalam kancah
pergolakan itu”,

dan Prof. Snouck Hurgronje, yang juga bukan kaum dogma, yang toh
juga bukan kaum pembuta-tuli mengikuti sesuatu kepercayaan,
tempo hari berkata:
“ Sumbernya”……dulu dan sekarang, bukan pemupukan
beberapa ribu kaum intelektual, yang terlampau banyak
mendapat pendidikan Barat dan tidak bisa ditampung oleh
masyarakat Bumiputra, tapi rasa perlawanan di mana-mana
terhadap penjajahan oleh orang-orang dari bangsa lain, rasa
perlawanan yang kadang-kadang tampak keluar dan kadang-
kadang tinggal terbenam……”12
Bahwasanya, matahari bukan terbit karena ayam jantan
berkokok, ayam jantan berkokok karena matahari terbit! Dan
dengan sedikit perubahan, maka kami dari sini, bagi kaum-kaum yang
masih saja mengira bahwa pergerakan itu bikinan “penghasut”
mengobarkan lagi api pidato Jean Jaures, kampiun buruh Prancis yang
termashur itu, di dalam dewan rakyat Prancis terhadap wakil-wakil
kaum modal:

70
“Ah, Tuan-tuan, alangkah anehnya Tuan-tuan sampai
tersilaukan mata, dan mengatakan bahwa evolusi
universal ini terjadi karena perbuatan beberapa orang saja!
Tidakkah terkena hati Tuan-tuan oleh luasnya pergerakan
kebangsaan sehingga terdapat di seluruh muka bumi?
Dimana-mana, di semua negeri yang tidak merdeka, ia muncul
pada waktu yang sama, semenjak sepuluh tahun yang
kemudian ini, tidak mungkin lagi menggambarkan
sejarah Mesir, India, Tiongkok, Filipina dan Indonesia
dengan tidak juga menceritakan riwayat pergerakan nasional!
… Dan di hadapan pergerakan umum yang menghela rakyat-
rakyat Asia ini, rakyat-rakyat yang sangat berbeda satu sama
lain, dalam iklim manapun mereka itu hidup, termasuk
bangsa apa pun mereka itu,– di hadapan pergerakan yang
demikian itulah Tuan-tuan bicara tentang beberapa orang
Penghasut yang berti ndak sendiri-sendiri. Tapi dengan
menuduh seperti itu Tuan-tuan terlalu memberi
penghormatan kepada orang-orang yang tuan tuduh, Tuan-
tuan menganggap terlalu berkuasa orang-orang yang Tuan-
tuan sebut penghasut itu. Bukanlah pekerjaan mereka sendiri
meletuskan pergerakan yang demikian hebatnya; tarikan
nafas lemah dari beberapa mulut manusia tidak cukup
untuk meletuskan tofan bangsa-bangsa Asia ini!
T idak, Tuan-tuan, yang sebenarnya ialah: pergerakan ini
timbul dari pusat kejadian-kejadian sendiri; ia timbul dari
penderitaan-penderitaan yang tidak terhitung
banyaknya dan sampai sekarang tidak menghubungkan
diri satu sama lain, tapi mendapatkan kata semboyannya
dalam semboyan menyerukan merdeka. Yang sebenarnya
ialah, bahwa juga di Indonesia pergerakan nasional itu
terlahir dari imperialisme yang didewa-dewakan oleh Tuan
dan tidak kurang-kurangnya dari sistem drainage
ekonomi yang semenjak berabad-abad bekerja di negeri
itu….. Imperialisme itulah penghasut yang besar,

71
imperialisme itulah penjahat besar yang menyuruh
berontak: karena itu bawalah imperialisme itu ke
depan polisi dan hakim!”13
Benar sekali! “Bawalah imperialisme itu ke depan polisi
dan hakim!”……
Toh….bukan imperialisme, bukan anggota-anggota imperialisme,
bukan sahabat-sahabat imperialisme, bukan Treub, bukan Trib, bukan
Colijn, bukan Bruineman, bukan Fruin, bukan Ali Musa, bukan Wormser,
yang kini berada di muka mahkamah tuan-tuan Hakim,– tetapi kami:
Gatot Mangkoepradja, Maskoen, Soepriadinata, Soekarno!
Apa boleh buat, biarlah nasib pemimpin begitu! Kami tidak
merasa salah. Kami merasa bersih, kami tidak merasa melanggar
hal-hal yang dituduhkan, sebagai nanti akan lebih jelas kami
terangkan. Kami oleh karena itu, memang mengharap-harap dan
menunggu-nunggu Tuan-tuan punya putusan bebas, mengharap-
harap moga-moga Tuan-tuan mengambil putusan vrijspraak14
adanya!
Tetapi, tuan-tuan Hakim, marilah kami melanjutkan kami punya
pidato pembelaan.

“Ratu Adil”, “Heru Cakra”, dan lain sebagainya

Pergerakan rakyat indonesia bukanlah bikinan kaum


“penghasut”. Juga sebelum ada “penghasut” itu, juga zonder ada
“penghasut” itu, udara Indonesia sudah penuh dengan hawa kesedihan
merasakan kesengsaraan dan oleh karenanya, penuh pula dengan hawa
keinginan menghindarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak berpuluh-
puluh tahun udara Indonesia sudah penuh dengan hawa-hawa yang
demikian itu. Sejak berpuluh-puluh tahun rakyat Indonesia itu
hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis menunggu-
nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan di
dalamnya, menunggu-nunggu datangnya mantra yang bisa
menyanggupkan sesuap nasi dan sepotong ikan dan sepotong ikan
kepadanya. Haraplah pikirkan, Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya

72
rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu
Adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini hari
masih terus menyalakan harapan rakyat,–apakah sebabnya seringkali
kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu telah muncul
seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”, atau turunan seorang dari
Wali-Sanga. Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang
menangis itu,” tak berhenti-hentinya, tak habis-habisnya
menungu-nunggu atau mengharap-harapkan “datangnya
pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak
berhenti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik,
menunggu-nunggu dan mengharap-harap: “kapan, kapankah matahari
terbit?”
O, siapa yang mengerti akan sebab-sebab yang lebih dalam ini,
siapa yang mengerti akan diepere ondergrond15 dari kepercayaan rakyat
ini, sebagaimana yang diterangkan pula oleh Prof. Snouck Hurgronje
di dalam brosurnya “Vergeten Jubiles”16 , tentu sedih dan ikut
menangislah hatinya, kalau ia saban kali mendengar suara rakyat
meratap: “Kapan, kapankah Ratu Adil datang?”—tentu sedih dan
menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia saban kali
melihat lekasnya dan setianya rakyat menyerahkan diri ke dalam
tangan seorang kyai atau dukun yang menyebutkan diri “Heru Cakra”
atau “Ratu Adil”!
“Selama kaum intelek Bumiputra belum bisa
mengemukakan keberatan-keberatan bangsanya, maka
“perbuatan-perbuatan yang mendahsyatkan” itu (yakni
pemberontakan, Sk) adalah peledakan yang sewajarnya
dari kemarahan yang disimpan-simpan dan perlawanan
yang ditekan-tekan terhadap usaha yang bodoh untuk
memerintah rakyat dengan tidak memperhatikan
dengan sungguh-sungguh keinginan dan kepentingan-
kepentingan mereka dan membikinnya jadi pedoman.
Sebagaimana sekarang golongan-golongan besar dari
bangsa Bumiputra senantiasa bersedia untuk dengan
terus terang memihak kepada salah seorang intelektual
bangsanya sendiri, yang dirasanya memperjuangkan
73
kepentingannya, meskipun mereka itu “belum matang”
untuk mengerti semua teori-teorinya, demikianlah mereka
seringkali suka mengikuti pemimpin-pemimpin yang
menjanjikan kepada mereka kemerdekaan yang bisa
diperoleh dengan jalan rahasia dan dengan cara-cara
rahasia, atau yang dengan cara sembunyi mengerahkan
tentara untuk perang sabil dengan kaum kafir, bilamana
ada kesempatan baik. Bahwa percobaan-percobaan yang
demikian itu sia-sia saja, karena alat-alat untuk membuka
jalan sama sekali tidak cukup, mereka tidak mengerti,
dan demikianlah mereka menganggap setiap orang
yang menjanjikan kepada mereka Ratu Adil, atau
Mahdi atau pemerintahan yang adil, adalah nabi. Syarat-
syarat hidup yang perlu, yang menurut perasaannya tidak
diberikan kepadanya oleh alam, o;eh jalannya keadaan
yang biasa, atau oleh penjajahan asing, mereka coba
mencapainya dengan jala gaib yang luar biasa…dengan
kepercayaan akan mendapat pertolongan Tuhan,”

begitulah kata Prof. Snouck Hurgronje.


Dan sebagaimana sang kiai atau sang dukun itu bukan pembikin
dari kepercayaan umum dan harapan umum atas kedatangan ratu
Adil atau Heru Cakra itu, sebagaimana mereka mendapat pengaruh itu
ialah, hanya oleh karena rakyat umum hatinya memang menangis
mendoa-doa dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil atau Heru
Cakra itu, maka kami yang disebut “penghasut” bukanlah pula pembikin
pergerakan rakyat sekarang ini dan bukanlah pula pengaruh kami itu
terjadinya ialah oleh karena licinnya kami punya lidah atau tajamnya
kami punya pena.
Pergerakan rakyat adalah bikinan kesengsaraan rakyat,
pengaruh kami diatas rakyat adalah pula bikinan kesengsaraan
rakyat! Kami hanyalah menunjukkan jalan; kami hanyalah
mencarikan bagian-bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran
yang makin lama makin membanjir itu;– kami hanyalah menunjukkan
tempat-tempat yang harus dilalui oleh banjir itu, agar supaya banjir itu

74
bisa dengan sesempurna-sempurnanya mencapai Lautan Keselamatan
dan Lautan Kebesaran adanya…..

Catatan kaki
1
Herbert Spencer (1820-1893); Seorang filusuf Inggris penganut empirisme.
2
reactief verzet van verdrukte elementen= perlawanan terhadap elemen yang
menindas.
3
Arabi dan Zaglul Pasha, adallah pendiri partai Wafd di Mesir tahun 1918,
diteruskan Mustafa Nahas Pasha dari 1927.
4
Tilak, Bal Gangdhar (1956-1920): Politikus India yang bersama-sama Gandhi
memimpin Partai Kongres, kemudian diteruskan oleh nehru.
5
Zelfbehound= menolong diri sendiri (mandiri).
6
Opruiers= penghasut-penghasut
7
Raddraaiers= biang keladi
8
Ophitsers= penghasut-penghasut
9
Ir. Albarda, seorang sosialis Belanda di Tweede kamer, memberi peringatan
kepada pemerintahnya pada tanggal 19 desember 1919.
10
Kerkhervorming= pembaharuan gereja (Protestan)
11
Dr.Kraemer (1888-19-) seorang ahli orientalis yang berada di Indonesia
antara tahun 1921-1937, kemudian menulis buku “Koloniale Studien”, hal.5.
12
Dikutip dari ;Colijn over Indie” hal.12.
13
Dikutip dari pidato Jean Jaures (1859-1914) di Parlemen Prancis, tanggal 23
Sep-tember 1903, “Rapport Jean Jaures” hal. 25, dengan sedikit perubahan.
14
Vrijspraak= bebas dari tuntutan
15
diepere ondergrond= rahasia yang lebih dalam
16
Vergeten Jubile’s= peringatan ulang tahun yang dilupakan

75
PARTAI NASIONAL
INDONESIA

Kami punya asas tentang “Kemerdekaan Indonesia”

Tempat yang harus dilalui? Manakah tempat-tempat yang harus


dilalui? Partai Nasional Indonesia dengan sepenuh-penuhnya keyakinan
menjawab: tempat-tempat yang berjajar-berjajar menuju ke arah Indo-
nesia Merdeka! Sebab dibelakang Indonesia Merdeka itulah tampak
kepada mata PNI keindahan Samudra Keselamatan dan samudra
kebesaran itu, di belakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada
mata PNI sinar hari kemudian yang melambai-lambai!
Inilah pokok keyakinan PNI, sebagai yang tertulis di dalam buku
keterangan asasnya: “Partai Nasional Indonesia berkeyakinan,
bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua
susunan pergaulan hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan nasional.
Oleh karena itu, maka semua bangsa Indonesia terutama haruslah
ditujukan ke arah kemerdekaan nasional itu.”
Dengan bahasa Belanda: de nationale vrijhed als zeer belangrijke
voorwaarde tot de nationale reconstructie!
Berlainan dengan banyak partai-partai politik lain, yang
mengatakan “perbaikilah dulu rumah tangga, nanti kemerdekaan dating
sendiri”;– berlainan dengan partai-partai lain, yang menganggap
kemerdekaan itu sebagai buahnya pembaikan rumah tangga, — maka
PNI berkata: “Kemerdekaan nasional usahakanlah, sebab dengan
76
kemerdekaan nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki rumah
tangganya dengan ti dak terganggu,yakni dengan sesempurna-
sempurnanya”, –PNI berkata, “De-volkomen nationale reconstructie
allen mogelijk na wederkomst der nationale onafhankelijkkheid”.
Tuan-tuan Hakim, sepanjang keyakinan kami, asas PNI yang
demikian ini dalam hakikatnya tidak beda dengan asas perjuangan kaum
buruh di Eropa dan Amerika, tidak beda dengan asas yang mengatakan
bahwa untuk melaksanakan sosialisme, kaum buruh itu harus lebih dulu
mencapai kekuasaan pemerintahan.
“Kaum proletar hanya bisa mematahkan perlawanan
kaum modal terhadap usaha membikin alat-alat perusahaan
partikelir menjadi milik umum, dengan mengambil
kekuasaan politik. Untuk maksud ini, kaum buruh
seluruh dunia, yang telah menjadi insaf akan
kewajibannya dalam perjuangan kelas, menyusun diri,”
begitulah bunyi paragraf 11 dari keterangan asas Sociaal Democratische
Arbeiders Partij.1
Nah, buat suatu rakyat jajahan, buat suatu rakyat yang di bawah
imperialisme bangsa lain, hakikat perkara sepanjang keyakinan kami,
tidaklah lain. Buat suatu rakyat yang dibencanai oleh imperialisme, buat
usaha rakyat itu melawan bencana imperialisme itu, perlu sekali pula
“kekuasaan politik” dicapainya. Buat rakyat yang demikian itu, kalimat
tadi mendapat variasi:
“Rakyat yang dijajah hanya bisa mematahkan perlawanan
kaum imperialisme terhadap pekerjaan memperbaiki
kembali semua susunan pergaulan hidup nasionalnya,
dengan mengambil kekuasaan pemerintahan, yakni
dengan mengambil kekuasaan politik.”

Dan apakah artinya “kekuasaan politik” bagi suatu rakyat jajahan?


Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan”, apakah artinya “mengambil
kekuasaan pemerintahan” bagi suatu rakyat jajahan? Mencapai
Kekuasaan politik bagi suatu rakyat jajahan adalah berarti mencapai

77
pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional, — mencapai
hak untuk mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan aturan-
aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri!
Nah, Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat Indonesia bisa
mencapai kekuasaan politik itu, Partai Nasional Indonesia tidak tedeng
aling-aling mengambil kemerdekaan nasional itu sebagai maksudnya
yang tertentu. Partai Nasional Indonesia mengerti, -atau lebih benar:
kami mengerti,- bahwa mengejar kekuasaan politik, jadi,
mengejar kemerdekaan nasional itu, adalah konsekuensi dan
voorwaarde,2 buntut dan syarat, bagi suatu perjuangan kontra
imperialisme itu adanya.
Sebagai di negeri barat kaum kapitalis mengusahakan
kekuasaan politiknya mempengaruhi rumah tangga negara menurut
mereka punya kepentingan, sebagaimana kaum kapitalis itu
mengusahakan kekuasaan politiknya untuk mengadakan aturan-aturan
rumah tangga negara yang menguntungkan mereka punya
kepentingan dan meniadakan aturan-aturan yang merugikan mereka
punya kepentingan, –sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan
mereka punya kekuasaan politik untuk menjaga dan memelihara
kapitalisme–, maka di suatu negeri jajahan, kaum imperialisme
mengusahakan kekuasaan politiknya pula untuk mempengaruhi
rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan,
yakni menurut kepentingan sistem imperialisme! Olah karena
pengaruh itu, maka hampir tiap aturan yang penting di dalam suatu
negeri jajahan bersifat menguntungkan kepentingan kaum
imperialisme itu, sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme itu.
Hampir tiap-tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan
adalah bersifat untuk penjajahan itu, untuk imperialisme itu.
Oleh sebab itu, maka, selama suatu negeri masih bersifat jajahan,
ya, lebih jauh lagi: selama suatu negeri masih bersifat “protektorat”
ataupun “daerah mandat”, -pendek kata selama suatu negeri masih
belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan rumah tangga
sendiri,-maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah tangganya,
mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama rakyat
belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian
78
atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun
sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepenti ngan-
kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan
dengan kepentingannya. Ia adalah seolah-olah terikat kaki dan
tangannya, tak bisa leluasa berjuang melawan daya-daya imperialisme
yang membencanainya, tak bisa leluasa berjuang mengalang-alangi
syarat-syarat hidupnya diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain, tak
bisa leluasa berusaha memperuntukkan syarat-syarat hidupnya itu
bagi perikehidupan ekonominya sendiri, perikehidupan
kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa berusaha melawan dan
memberhentikan imperialisme, tak bisa pula leluasa menyubur-
nyuburkan badan sendiri3
Rakyat jajahan adalah rakyat yang tak bisa “menemukan diri
sendiri”, suatu rakyat yang tak bisa “zichzelf” (berpribadi sendiri), suatu
rakyat yang hampir semua apa-apanya kena “cap” yang imperialistis itu,
— “cap” yang terjadinya ialah oleh pengaruh besar dari kaum
imperialisme adanya. Tidak ada persamaan kepentingan antara kaum
imperialisme dan kaum yang di bawah imperialisme; tidak ada
belangengetneenschap4 antara kedua pihak itu. Antara kedua pihak itu
ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan kebutuhan, -ada
tegenstelling van belangen 5 ada conflict van behoeften. 6 Semua
kepentingan kaum imperialisme, baik ekonomi, maupun sosial, baik
politik maupun yang berhubungan dengan kebudayaan umumnya,
semua kepentingan kaum imperialisme itu, adalah bertentangan,
tegengesteld dengan kepentingan Bumiputra. Kaum imperialisme
sebisa-bisanya mau meneruskan adanya penjajahan,- orang Bumiputra
sebisa-bisanya mau memberhentikan penjajahan itu. Aturan-aturan
yang diadakan di bawah pengaruh kaum imperialisme, adalah karena
itu bertentangan dengan kepentingan Bumiputra itu adanya.
Meskipun demikian, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu?
Meskipun demikian Bumiputra menghormati aturan-aturan itu? O,
memang, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu, Bumiputra
menghormati aturan-aturan itu. Tetapi mereka menerimanya dan
menghormatinya itu, ialah hanya oleh karena Bumiputra kalah, hanya

79
oleh karena Bumiputra terpaksa menerimanya dan terpaksa
menghormatinya!
Bukankah justru kekalahan ini sebabnya maka mereka dijajah?
Bukankah justru kekalahan yang memaksa mereka menjadi rakyat,
jajahan? Jules Harmand, Ambassadeur Honoraire dan ahli jajahan bangsa
Prancis, dalam bukunya yag termashur “Domination et Colonisation”,
menulis dengan terang-terangan:
“ Tentu saja bisa kejadian, bahwa kepentingan orang
Bumiputra kebetulan sama dengan kepentingan si penjajah;
tapi ini jarang sekali kejadian. Biasanya…. kepentingan-
kepentingan itu bertentangan satu sama lain.” “Kedua
pikiran “penjajahan” dan “kekerasan” atau sekurang-
kurangnya “paksaan”, adalah bergandengan satu sama
lain, atau isi-mengisi. Tergantung kepada tempat, keadaan
dan tingkah laku, kekerasan itu boleh nyata atau kurang
nyata, atau sedang saja, terang-terangan atau sembunyi-
sembunyi, —tapi penggunaannya tidak pernah bisa
dihilangkan. Pada hari paksaan hilang, berakhirlah pula
penjajahan.”7
Adakah pengakuan yang lebih terang-terangan, adakah ketulusan
hati yang lebih tulus? Sesungguhnya kita tidaklah berdiri sendiri, kalau
kita mengatakan bahwa oleh adanya pertentangan kepentingan itu,
tiap-tiap sistem atau aturan jajahan, adanya diterima dan dihormati
rakyat jajahan itu, hanya karena mereka terpaksa menerima dan
terpaksa menghormatinya belaka,–terpaksa, yakni tidak dengan senang
hati, tidak dengan rela hati, tidak dengan kemufakatan yang sebenar-
benanrnya, tidak dengan persetujuan yang sepenuh-penuhnya!

Tiap-tiap rakyat jajahan ingin merdeka

Oleh karena itulah, Tuan-tuan Hakim, maka tidak ada satu rakyat
negeri jajahan yang tidak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan
yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan. Jikalau Partai
Nasional Indonesia mendengung-dengungkan semboyan “mencapai
80
kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengobar-
ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia hanyalah
mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan adalah syarat
yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan
memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya.
Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan
kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan,
suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.
Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi
kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik
bangsa timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun
bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa mencapai kebesaran zonder
kemerdekaan nasional, tidak ada satu negeri bisa menjadi teguh dan
kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya, tiada satu negeri jajahan
yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri jajahan yang bisa
mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap-tiap bangsa jajahan
ingin akan kemerdekaan itu, ingin supaya bisa mencapai kebesaran itu.
Tiap-tiap rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang karena
itu, tak bisa dan tak boleh mengatur rumah tangga sendiri secara
kepentingan dan kebahagiaan sendiri, adalah hidup di dalam suasana
yang rusuh, yakni hidup di dalam suasana yang kami sebutkan tadi,
hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan yang terus-
menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang saling
bertentangan itu, -suatu keadaan yang tidak boleh tidak menimbulkan
pula keinginan keras akan hilangnya pertentangan-pertentangan itu,
yakni keinginan keras akan berhentinya ketidak-merdekaan itu tadi.
Dari Maroko sampai Filipina, dari Korea sampai Indonesia melancar-
lancar kemana-mana melalui gunung dan samudra, terdengarlah
suara yang memanggil-manggil kemerdekaan itu,– bukan saja dari
mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan pengaruh
imperialisme, tetapi juga, ya, malahan terutama, dari mulut
bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad tak menerima cahaya
matahari kebesaaran.
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah…… begitulah
Jules Harmand menulis lagi:
81
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah….., adalah
suatu kebodohan apabila si penjajah itu sudah menyangka
bahwa ia dicintai, -butalah ia apabila menyangka bahwa
masyarakat yang dijajah itu merasa senang mengalami
penjajahannya”…. ”Bagaimanapun juga lemahnya atau
merosotnya, bagaimanapun juga biadabnya disangka orang
bangsa yang terjajah itu,- bagaimanapun juga jahatnya
kaum ningratnya, atau sebaliknya, bagaimanapun juga
beradabnya mereka itu dalam tingkah lakunya dan
bagaimanapun juga tajam otaknya dianggap orang……mereka
itu akan memandang kepergian atau hilangnya penjajahan
asing selalu sebagai suatu pembebasan”.8
Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang
menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad-abad dalam
hati rakyat? Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya di dalam tiap-
tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat bangsa Indonesia, -
juga kalau kami yang disebut “penghasut” tidak menghadirinya!-,
sebentar-sebentar terbaca atau terdengar perkataan “merdeka”?
mengertikah orang sekarang, apa sebabnya sampai partai-partai politik
yang paling sabar atau sedangpun, misalnya Budi Utomo dan
Pasundan, yang toh terang sekali bukan perkumpulan kaum
“penghasut”, juga sama mengambil cita-cita Indonesia Merdeka,
sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan menjadi anggota PPPKI?
Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan
cita-cita itu; Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih tentu
mengutamakan kemerdekaan nasional itu, menjunjung
kemerdekaan nasional itu sebagai syarat yang amat penting bagi
pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia yang
sekarang kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya perjuangan
menghentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang kami
terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia mengambil soal jajahan itu
di dalam hakikat yang sedalam-dalamnya, mengambil soal jajahan itu
terus ke dalam pokok-pokoknya, -mengambil soal jajahan itu di
dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yakni filsafat,– kami

82
ulangi lagi–, bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan adalah
pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum
Bumiputra; bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan umumnya,
keadaan-keadaan adalah dipengaruhi, di-”cap”-kan,
diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis; —
bahwa karena itu, di dalam sistem jajahan mana pun juga,
kepentingan Bumiputra tak bisa terpelihara sesempurna-sempurnanya.

Dalil-dalil pemimpin-pemimpin negeri lain

Dan juga dalam keyakinan ini, Partai nasional Indonesia tidak


berdiri sendiri. Juga di dalam keyakinan ini, Partai Nasional Indonesia
mendapat pembenaran di dalam ujaran-ujaran pemimpin besar di
negeri-negeri lain. Jikalau Mustafa kamil9 dari Mesir menulis, bahwa
“suatu bangsa yang tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa
yang tak hidup”, jikalau Manuel Quezon10 dari Filipina berkata bahwa
“lebih baik zonder Amerika ke neraka daripada dengan Amerika ke
surga”, jikalau Patrick Hendry dari Amerika duluu berteriak:
“Berikanlah padaku kemerdekaan, atau berikanlah padaku maut saja”
– maka itu bukanlah jerit budi pekerti yang “panas” belaka, tetapi di
dalam hakikatnya mereka tidak lain daripada mengutamakan
kemerdekaan nasional itu. Jikalau kita membaca pemimpin Irlandia,
Michael Davitt, menulis:
“Baik keselamatan, baik bujukan maupun undang-undang
yang menguntungkan, tidak akan memuaskan bangsa ini,
jika kami tidak mendapat hak untuk memerintah negeri
kami sendiri”,11.

Ya, jikalau kita membaca bahwa seoarang pemimpin Irlandia lain


Erskine Childers, menolak tingkat free-state dan menuntut kemerdekaan
sepenuh-penuhnya dengan perkataan:
“Kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar,
kemerdekaan adalah sebagai maut: dia ada atau dia tidak

83
ada. Kalau orang menguranginya, maka itu bukan
kemerdekaan lagi”,12
–tidakkah itu dalam hakikatnya suatu pembenaran pula dari kami punya
pendirian itu? Tetapi, perhatikanlah perkataan-perkataan Jozef Mazzini,
Bapak Rakyat Italia, yang lebih terang lagi:
“ Membangunkan tanah air ini, malahan adalah suatu
kemustian. Penguatan hati dan jalan-jalan yang saya
bicarakan tadi itu, hanya bisa datang dari suatu tanah air
yang bersatu padu dan merdeka. Keadaan masyarakat
kamu hanya bisa menjadi baik, apabila kamu ikut serta
dalam kehidupan politik bangsa-bangsa.” Janganlah tertipu
oleh pikiran, bahwa keadaan kebendaanmu akan menjadi
baik, dengan tidak menyelesaikan lebih dulu soal nasional;
kamu tidak akan berhasil dalam hal itu.”13
dan perhatikanlah pula perkataan-perkataan Sister Nivedita, yang
mengutamakan kemerdekaan nasional itu buat suburnya hidup
kebatinan dan hidup kesenian, di dalam buku Okakura: “Die Ideale des
Ostens”:
“Seni hanyalah bisa berkembang pada bangsa-bangsa yang
hidup merdeka. Dia, sebenarnya adalah alat yang hebat dan
buah Rasa-Suci dari kemerdekaan, yang kita sebut keinsafan
kebangsaan”.14
Ini adalah ucapan-ucapan belaka. Prakteknya?
Marilah kita misalnya mendengarkan pidato Dr. Sun Yat Sen
tentang San Min Chu I, di mana Bapak Rakyat Tiongkok ini, sudah
menunjukkan bahwa Tiongkok sebenarnya tidak mempunyai
kemerdekaan nasional yang sejati, melainkan malahan adalah suatu
“hypo-colony”15 meng-gambarkan terganggunya rumah tangga
Tiongkok itu dengan kata-kata:
“ Tatkala Tiongkok berdiri atas dasar politik yang sama
dengan lain-lain bangsa, ia bisa bersaingan dengan merdeka
di lapangan ekonomi dan sanggup dengan tidak
84
membuat kesalahan mempertahankan dirinya sendiri.
Tetapi baru saja bangsa-bangsa asing mempergunakan
kekuasaan politik sebagai tameng bagi maksud-maksud
ekonomi, maka tiongkok pun kehilangan kemampuannya
untuk mempertahankan diri atau bersaingan dengan
mereka dengan berhasil.”16
Dan sekarang, sesudah kemerdekaan nasional negeri Tiongkok
itu makin lama makin teguh, maka ahli pikir Inggris H.C. Wells,
menulis:
“Pada zaman sekarang ini bisa jadi, bahwa lebih banyak
tenaga otak yang baik dan lebih banyak orang yang
sungguh hati bekerja untuk membikin modern dan
menyusun kembali peradaban Tiongkok, daripada yang
demikian itu kita jumpai di bawah pimpinan bangsa Eropa
mana pun juga”.17
Dan prakteknya di Indonesia? Adakah prakteknya di
sini membenarkan keyakinan PNI, bahwa negeri yang tak
merdeka itu memang segala atau sebagian daripada aturan-aturan
dan syarat-syarat hidupnya dipengaruhi, di-capkan, diperuntukkan
bagi kepentingan-kepentingan imperialistis, yang bertentangan
dengan Bumiputra itu? Prakteknya di sini membenarkan dengan
sepenuh-penuhnya! Kita lihat, bahwa untuk sempurnanya usaha
imperialisme-perindustrian di sini, masyarakat kita diproletarkan,
kita dijadikan “rakyat kaum buruh”; kita mengetahui, bahwa kaum
imperialisme yang butuh akan tanah murah dan kaum buruh murah
itu, sebagai diterangkan oleh Prof. Van Gelderen, mempunyai
kepentingan di dalam rendahnya tenaga produksi kita punya
pergaulan hidup, jadi, dengan sengaja pula merendahkan tenaga
produksi itu dan melawan keras tiap-tiap usaha bangsa Bumiputra
yang mau menaikkan tenaga produksi itu. Lihatlah, –jikalau kita
mau memajukan perusahaan kita, kebun teh dan pabrik teh, jikalau
kita mendirikan Bank Nasional 18 di Surabaya, jikalau kita mau
mendirikan suatu maskapai perkapalan Indonesia, maka kaum

85
imperialisme itu menjadi geger perkara “gerakan elit” itu, geger
perkara niat pemerintah mau memberikan hak hubungan kredit
pada Bank Nasional itu, geger memaki-maki di dalam pers dan di
kalangan pelayaran atas maksud mendirikan maskapai
perkapalan itu. Dan kita lihat kaum imperialisme itu, sebagai yang
kami telah kemukakan di dalam pemeriksaan, menjalankan
pengaruhnya, invioed-nya, ya tiraninya atas pemerintahan, sebagai
yang dimarahkan oleh Prof. Snouck Hurgronje, dengan kata-kata:
“…..perlulah, bahwa kekuasaan yang tertinggi itu dihormati
oleh mereka (oleh kaum majikan, Sk.), sama dihormati
mereka seperti pangreh praja Bumiputra
menghormatinya, yang menurut kata Colijn, senantiasa
mengarahkan satu mata ke Bogor. Memang, dalam waktu
yang akhir-akhir ini kebanyakan mereka mengarahkan kedua-
dua matanya ke sana, akan tetapi bukan untuk menuruti
petunjuk-petunjuk, tapi untuk mengemukakan mereka
punya tuntutan-tuntutan, yakni supaya susunan dan
kerjanya mesin pemerintahan sesuai dengan mereka
punya kemauan. Ini juga suatu macam revolusi.”19
Kita lihat kaum imperialisme itu mempengaruhi pemerintah
mengadakan politik tarip yang menguntungkan baginya, sebagai
tertulis dala AID de Preangerbode beberapa bulan yang lalu di bawah
kepala: “Vrijhandelbinnen het rijk is instrijd met het belong van
Nederland en van Indie”; kita lihat bagaimana di sini ada suatu
aturan pajak, yang sebagai ditunjukkan oleh komisi Meyer-Ranneft-
Huender, enteng sekali bagi kaum Eropa dan berat sekali bagi
kaum Indonesia; kita lihat bagaimana di sini ada bea karet, yang
mengenai karet Bumiputra saja, sehingga suburnya mendapat
rintangan besar; kita lihat bagaimana di sini ada itu aturan kuli
kontrakan beserta poenale sanctienya, yang sama sekali hanya
menguntungkan kaum modal belaka! Kita lihat adanya suatu undang-
undang pelindung kaum buruh dan adanya pasal 161 bis Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, yang juga melulu berarti untungnya
kaum kapital, celakanya kaum buruh; kita lihat adanya macam-macam
86
aturan yang mengalangi pergerakan rakyat apa saja, yang
memusuhi imperialisme itu; kita lihat suatu politik pengajaran yang
membunuh rasa kebangsaan dan mendidik pemuda-pemuda kam
menjadi pennelikkers20 dan tidak menjadi manusia-manusia yang tabiat
semangatnya merdeka; kita melihat suatu keadaan, sebagai De Stuw
mengatakannya, bahwa rakyat
“makin lama makin jadi tergantung kepada pihak asing
dan dengan demikian juga makin lama makin jauh dari
cita-cita Hindia buat bangsa Hindia”;
kita melihat…….. tetapi cukup, Tuan-tuan hakim, cukup
untuk membuktikan kebenaran keyakinan PNI itu! PNI memang
adalah suatu partai yang tidak mau ngelamun, suatu partai yang
tidak mau terapung-apung di atas awan angan-angan; PNI adalah
suatu partai yang dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas
keadaan-keadaan yang sebenarnya, dengan kedua-dua kakinya
berdiri di atas realiteit. Ia melihat, bahwa imperialisme adalah
bertentangan keyakinan dengan kita, ia melihat bahwa kaum
imperialisme itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk menjaga
dan memelihara kepentingannya, — jadi, ia mengatakan bahwa kita
barulah bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu seluas-
luasnya, kalau kekuasaan politik itu sudah di dalam tangan kita,
bahwa kita barulah bisa mengusahakan pembaikan kembali kita
punya pergaulan hidup dengan sesempurna-sempurnanya, kalau kita
sudah merdeka, — jadi, ia memujikan rakyat Indonesia mengejar
kemerdekaan itu! “Terang benderang sebagai kaca”, — “zoo helder
als glas”, begitulah orang Belanda berkata!

Percaya pada usaha sendiri

Dan mendatangkan Indonesia merdeka itu? Juga di


dalam menjawab soal ini, maka PNI dengan kedua-dua kakinya
berdiri di atas realiteit. Ia menjawab soal itu dengan yakin: “dengan
usaha rakyat Indo-nesia sendiri!” la. tak mau mengikuti
pengelamunan setengah orang yang mengira, bahwa adanya
87
sistem imperialisme di sini itu ialah untuk mendidik kita dibikin
“matang” atau “rijp” dan bahwa jikalau nanti kita sudah cukup
“matang”, jikalau kita nanti sudah cukup “rijp”, sistem
imperialisme itu lantas akan “berhenti sendiri”, —
“memberikan” kemerdekaan kepada kita sebagai suatu
“anugerah yang berharga”, sebagai suatu “kostbaar geschenk”!
Amboi, alangkah baiknya imperialisme kalau memang begitu;
alangkah benarnya kalau begitu perkataan perjanjian Volkenbond
pasal 22, bahwa politik jajahan itu ialah suatu “mission sacree”, suatu
“misi yang suci” dari bangsa-bangsa kulit putih untuk bangsa-
bangsa kulit berwarna!
Tidak, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, pengelamunan yang
demikian itu adalah pengelamunan yang kosong sama sekali!
Pengelamunan yang demikian itu adalah pengelamunan yang sama
sekali terapung-apung di atas awan, pengelamunan yang tidak berdiri
di atas kenyataan sedikit jua pun adanya! Tidak, sistem imperialisme
tidak akan mendidik kita menjadi “matang”; sistem imperialisme
tidak akan membikin kita menjadi “rijp”; sistem imperialisme tidak
akan meng-”anugerahi” kita dengan kemerdekaan, tetapi malahan
sebaliknya akan bertambah-tambah mengokohkan penjajahan dengan
pelbagai tali-tali wadag dan tali-tali yang halus. Sebab kenyataan yang
sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu tidaklah buat “misi yang
suci”, tidaklah buat sesuatu “mission sacree.” Kenyataan yang
sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu adalah untuk
kepentingan-kepentingan imperialisme sendiri! Imperialisme adalah
bertentangan kepentingan dengan kita: bukan kepentingan
imperialismelah me-”matang”-kan kita atau me”rijp”-kan kita; bukan
kepentingan imperialismelah “menganugerahkan” kemerdekaan
kepada kita. Kepentingan imperialisme adalah meneruskan,
mengekalkan, mengokohkan penjajahan itu buat selama-lamanya!
O..memang, imperialisme datangnya ialah dari bangsa-bangsa
yang lebih pandai dari kita; imperialisme datangnya ialah dari negeri-
negeri yang mempunyai kebudayaan lebih modern dari kita;
imperialisme datangnya ialah dari dunia yang lebih tinggi teknik dan
ilmu pikirannya dari kita, imperialisme datangnya ialah dari kalangan
88
yang lebih pandai menjalankan “struggle for life” dari kita. Kita
mengakui hal ini semua. Tetapi kita tidak mau mengakui, bahwa
sistem imperialisme itu, karena itu, mendidik kita ke arah
ke”matang”-an! Karl Kautsky, ahli teori Demokrasi Sosial yang
termashur itu, di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” bab
III, menulis:
“ Tetapi pemerasan kapitalisme itu bukan saja berdasar
kepada kekerasan terang-terangan, kepada hak siapa yang
lebih kuat, juga bukan kepada perbedaan golongan-
golongan, tapi kepada kemerdekaan dalam pergaulan
hidup dari individu, yang menjadi tidak-merdeka, oleh
karena pihak yang satu tidak mempunyai apa-apa sedang
pihak yang lain memiliki semua alat-alat produksi
untuknya sendiri. Tetapi orang yang tidak punya apa-apa
dengan sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban,
jadi juga kekurangan peradaban. Maka peradaban ini
kelihatannya hanya terbatas kepada kelas yang berkuasa
saja. Demikianlah kelihatannya seolah-olah buat yang
kemudian ini, kekuasaannya atas proletariat, adalah
kekuasaan peradaban atas kebiadaban, kekuasaan kaum
intelektual yang terpilih atas rakyat banyak yang tidak
terpelajar, the great unwashed21 sebagai orang Inggris
menyebutnya. Dari kaum pemilik memegang keras
pandangan yang salah ini…..Bukan untuk keuntungan
mereka, bukan untuk mendapat laba mereka itu, menurut
pandangan yang salah ini, memeras kaum proletar itu,
mereka hanya memerintahi kaum proletar untuk
kepentingan umum dari masyarakat. Di dalam lingkungan
bangsa sendiri kesusilaan seperti ini berarti
membenarkan hak yang lebih tinggi dari orang yang punya
terhadap orang yang tidak punya. Terhadap bangsa-
bangsa lain kesusilaan ini….. dalam prakteknya
menyatakan tidak lain dari paham, bahwa bangsa-bangsa
kapitalistis berhak menguasai seluruh dunia manusia!”22

89
Tuan-tuan hakim yang terhormat, itulah dasar semua omongan
tentang “semboyan perwalian” dari sistem imperialisme atas kami,
bangsa yang “sekarang bodoh”, dasar semua omongan tentang
pendidikan dari “tidak matang” dijadikan “matang”.
Tidak, tidak, -perwalian itu tidak ada, didikan itu omong
kosong belaka,– didikan itu “mere phrase”. Kalau bangsa
Indonesia ingin mencapai “kekuasaan politik, yakni ingin merdeka,
kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri,
maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri
sendiri berusaha dengan kebisaan dan tenaga sendiri! Dari sistem
imperialisme ia tidak mendapat pertolongan; dari sistem imperialisme
ia malahan hanya akan mendapat rintangan!
Sudah semestinya kaum imperialisme itu merintangi-rintangi tiap-
tiap usaha kami ke arah kedewasaan. Sudah semestinya kami dialang-
alanginya di dalam kami punya perwalian atas diri sendiri, dimaki-maki,
dimintakan hukuman, dimintakan pembuangan, dimintakan tiang
penggantungan sebagai dulu Nieuws van den dag memintakannya. Oleh
karena itulah, Tuan-tuan hampir saban minggu, saban hari membaca
cacian dan makian dari pihak AID de Preangerbode, atau Java Bode atau
De Locomotief, atau Soerabajaasch Handelsblad23 kepada alamat kami,
membaca hasutan-hasutan yang sampai mencoba mempengaruhi
keadilan putusan Tuan-tuan di dalam proses ini!
Ah, Tuan-tuan hakim, itu begitu logis, itu begitu vanzelf-
sprekend,24 itu memang semustinya: Tuan-tuan mengetahui,
bahwa AID de Preangerbode adalah surat kabar kaum karet, kaum
kina, kaum teh di seluruh Priangan; Tuan-tuan mengetahui,
bahwa Soerabajaasch Handelsblad adalah surat kabar kaum gula;
Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag adalah surat kabar
kaum gula; Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag adalah
surat kabar kaum dagang di Kali Besar; Tuan-tuan mengetahui bahwa
semua surat kabar yang reaksioner itu adalah surat kabar kaum
imperialisme yang kami musuhi itu, bahwa jeritan-jeritan yang
mencaci maki kaum pergerakan itu ialah jeritan orang-orang yang
takut akan kebakaran gedung hartanya, takut terancam dividennya,
takut terancam keselamatan perusahaannya yang menghasilkan
90
kekayaan berjuta-juta itu! Tuan-tuan mengetahui hal itu semuanya!
Dan oleh karenanya, tidak khawatirlah kami akan apa yang dituliskan
oleh Mr.Hitter dalam buku “Drukpersvrijheid” serie pro en con-tra,25 ,
tentang:
“Kemungkinan, bahwa kekuasaan hakim kena pengaruh
oleh pendapat umum, adalah suatu kemungkinan yang
berbahaya”,
dan percayalah kami, bahwa Tuan-tuan akan menjalankan
keadilan dengan tidak kena pengaruh hasutan-hasutan surat-surat
kabar yang benci kepada pergerakan itu tadi.
Ah, Tuan-tuan Hakim, kami sudah biasa lagi akan makina-
makian yang memang sudah logis itu. Kami tak heran lagi
tentang itu; – kepentingan mereka terancam oleh usaha kami,
mereka tentunya menjadi geger!
Prof. Snouck Hurgronje menulis:
“Kaum majikan telah mengadakan organisasi yang kuat
dan mendapatkan jaminan bantuan dari orang-orang
yang licin lidahnya dan tajam penanya, untuk dengan jalan
propaganda yang luas, bukan saja menghilangkan segala
keragu-raguan terhadap berkah-berkah (yakni berkah-
berkah kapital partikelir, Sk.), tapi juga untuk memerangi
dengan hebatnya orang-orang yang ragu-ragu itu. Sekalian
surat kabar Eropa di Hindia sekarang berdiri di belakang
mereka, juga koran-koran yang dulu dengan senang hati
membuka kolom-kolomnya untuk ratapan hati dari dunia
Bumiputra. Tidak, keberanian adalah…. perlu, untuk
melawan pasukan-pasukan yang diperlengkapi dengan
segala macam alat peperangan itu”.26
Dan Tuan Lievegoed, bekas redaktur De Locomotief, seorang
Lib-eral yang tulus hati, yang karena itu dikeluarkan dari De
Locomotief,27 sudah dalam tahun 1925 menulis bahwa kegegeran
kaum imperialisme itu, adalah:

91
“suatu ekstremisme-kanan zonder cita-cita, yang
menjalankan politik duit secara membuta-tuli, dengan
semboyan-semboyan yang memekakkan telinga,” dan
bahwa: “tidak ada golongan yang lebih merugikan
kekuasaan Hindia-Belanda di Indonesia dari golongan yang
gembar-gembor ini, yang dengan pura-pura menyokong
pemerintah, memukul kanan-kiri untuk merebahkan
segala yang mengancam kepentingannya yang sempit”.
(Locomotief, 5 November 1925).
Benar! Benar sekali, Tuan-tuan Hakim: “pura-pura menyokong
pemerintah”, “onder het voorwendsel vangezagsschraging”, mereka
minta kami dihukum, dibuang, atau digantung, tetapi sebenarnya ialah
oleh karena kantongnya dan dividennya terancam! Untuk keselamatan
kantong dan untuk keselamatan dividen ini juga, mereka kalau perlu, tak
segan pula melanggar kekuasaan pemerintah itu, sebagai misalnya AID
de Preangerbode tak segan sebentar-sebentar melanggar kekuasaan itu,
atau sebagai misalnya Nieuws van den Dag, yang dulu pernah menghina
Gubernur Jenderal de Graeff28 dengan penghinaan:
“Pergilah, enyahlah, Hindia butuh kepada orang-orang yang
lebih keras!”
Kantongnya terancam! Tuan-tuan Hakim, kantongnya terancam! -Untuk
melindungi kantong ini, maka mereka mengabui mata umum,- untuk
menjaga kepentingan ini maka mereka mengadakan pers yang tiada
moral melainkan moral duit, tiada kesusilaan melainkan kesusilaan fulus!
“Juga negeri Belanda,” – begitulah Tuan Vleming, bekas kepala dinas
akuntan pajak di sini, berpidato,
‘Juga negeri Belanda masih tetap suatu negeri yang
diperintah secara kapitalistis, di mana kapital besar yang
disusun dalam organisasi yang kuat itu, dan tidak kurang-
kurang pula kapital besar yang mempunyai kepentingan-
kepentingan di Indonesia, bukan saja mempunyai kekuasaan
ekonomi yang besar sekali, tetapi juga bisa menjalankan

92
pengaruh yang hebat atas pemerintah dengan segala alat-
alat yang ada padanya. Dan alat-alat ini bukan sedikit.
Kapital besar ini berhubungan rapat dengan kapitalis-
kapitalis besar Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis,
dan lain-lain yang oleh adanya apa yang disebut politik
pintu terbuka, juga mempunyai kepentingan-
kepentingannya di Indonesia dan yang tergabung dengan
kapitalis-kapitalis besar Belanda dalam organisasi
“Dewan Majikan untuk Hindia-Belanda, yang didirikan
dalam tahun 1921. Dengan langsung atau tidak
langsung dewan majikan ini mempunyai pers dan
dinas penerangan pers yang luas, sedang anggota-
anggotanya yang berkepentingan mempunyai pula
hubungan dengan dua surat kabar yang terbit di luar
negeri, yakni “The New World” dan “Le Monde
Nouveau”. Dengan kebohongan, penipuan,
perampasan makanan orang,– dan di mana perlu
untuk kepentingannya dan jika bisa mencapai
maksudnya mereka bersedia berlaku lebih kejam lagi—
maka kapital besar yang tersusun dalam organisasi itu,
melakukan perjuangan untuk kepentingannya di tiap
negeri, jadi juga di Indonesia, sekali-sekali mengubah
haluan dimana perlu.”29
Lebih terang dari tuan Vleming itu tak bisalah digambarkan asal-
usul moral duit dan kesusilaan duit dari pers imperialisme di Indonesia
itu. Oleh karena itu, tak haruslah kita heran atau marah atas kegegeran
surat-surat kabar ala AID de Preangerbode atau ala Soerabajaasch
Handelsblad itu. Biar mereka gembar-gembor, biar mereka berpikir ke
kanan dan ke kiri, biar mereka jengkelitan berdiri di atas kepalanya, —
kami tak akan ambil pusing, kami tak akan ambil mumet, kami akan
bekerja terus!
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, marilah kami mengulangi lagi:
kekuasaan politik, kemerdekaan, hanyalah bisa didatangkan oleh usaha
rakyat Indonesia sendiri! Kaum imperialisme sudah semesti nya
93
mengalang-alangi kami; dari sistem imperialisme, yang hidupnya
daripada penjajahan itu, kami tak harus mengharap sokongan
memberhentikan penjajahan itu. Nasib kami adalah di dalam genggaman
kami sendiri; keselamatan kami adalah di dalam kemauan kami sendiri,
di dalam tekad kami sendiri, di dalam kebisaan kami sendiri, di dalam
usaha kami sendiri. Semboyan kami tidaklah “minta-minta”,
tidaklah “mengemis”, tidaklah “mendicancy” sebagai Tilak
mengatakannya,– tetapi semboyan kami haruslah “noncooperation”,
lebih benar: “selfhelp”, “zelfver-werkelijking”, “selfreliance”!, sebagai
yang kami lambangkan dengan perlambang kepala banteng!
Siapa yang masih mengharap-harap pertolongan dari sistem
imperialisme, siapa yang masih percaya akan “anugerah” yang nanti
akan di-”anugerah”-kan olehnya, siapa yang masih menggugu akan
omongan “mission sacree”, siapa yang masih mengarahkan muka ke
Barat, ia adalah sama sekali buta akan kenyataan yang sebenarnya, buta
akan realiteit.
Sebab kenyataan yang sebenarnya ialah, sebagai tertulis di dalam
keterangan asas kami, bahwa negeri Belanda peri kehidupannya sangat
tergantung kepada penjajahan Indonesia. Kenyataan yang sebenarnya
menyebabkan Mr. Dijkstra di dalam “Indische Gids”30 1914 menulis:
“Penduduk di dalam seratus dua ratus tahun ini tidak bisa
mengharapkan dari imperialisme kebudayaan kita, bahwa
kekuasaan dan pengetahuan kita akan kita pergunakan
untuk memajukan peradaban dan kesehatan mereka.”
Kenyataan yang sebenarnya menyebabkan Tuan Vleming
berpidato:
“bagi kesejahteraan umum penduduk yang hampir 7½ juta
dari negeri kita yang kecil……….besar sekali faedahnya, bahwa
saban tahun mengalir ke negeri Belanda suatu saldo ekspor
yang besar jumlahnya, artinya suatu jumlah harga barang
ekspor Hindia yang jauh lebih besar dari jumlah harga impor,
berupa dividen, bunga, tantieme, gaji-gaji, pensiun, gaji-
perlop, dan lain-lain.31

94
Kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa, sebagai Prof.
Moon menuliskan, kebesaran negeri Belanda sekarang ini adalah oleh
karena negeri Belanda itu mempunyai negeri jajahan Indonesia yang
luas dan banyak penduduk itu. Kenyataan yang sebenarnyalah menjadi
sebab Dr. Sandberg tempo hari geger membikin buku yang istimewa
bernama: “Indie verloren, rampspoed geboren”,32 Indonesia merdeka,
Belanda pun bangkrut”, menjadi sebab Komisi untuk Pertahanan
Hindia-Belanda menulis:
“Juga dipandang dari sudut ekonomi, lepasnya Hindia
akan berarti bencana nasional yang sehebat-hebatnya
bagi negeri Belanda.”33
Kenyataan yang sebenarnya adalah, bahwa sudah zaman dulu pun
menteri Baud sudah pernah berkata, “Indie is de kurk waarop Nederland
drijft,” “ Hindia adalah gabus di atas mana negeri Belanda terapung-
apung,” bahwa de Kat Angelino di dalam bukunya “Staatkunding beleid
en bestuurrszorg in Ned.-Indie 34 (buku standar yang penerbitannya
mendapat sokongan dari Kementerian Daerah Jajahan, Tuan-tuan
Hakim), dengan terus terang menulis:
“Dunia Barat yang penuh industri itu, tidak bisa hidup
dengan tiada hasil-hasil daerah-daerah pertanian beriklim
panas dan setengah panas, yakni daerah-daerah
yang terutama menjadikan dunia jajahan.
Masyarakatnya terikat teguh oleh banyak tali-temali
ekonomi kepada daerah-daerah itu dan masa depannya.”
Tidakkah ini berarti, bahwa dunia Barat itu seperti bunuh diri,
kalau dengan kemauan sendiri memberi kemerdekaan kepada dunia
Timur? Bahwa sesungguhnya: siapa yang dengan keadaan yang
semacam itu masih berani mengharapkan pertolongan dari dunia
Barat di dalam usahanya memerdekakan negeri dan bangsanya,– ia
adalah menutupkan mata. PNI tidak mau menutupkan mata, PNI tidak
mau mimpi, PNI tidak mau ngelamun, — PNI bangun sebangun-
bangunnya!

95
Banyak orang yang mengatakan, bahwa politik PNI yang bersendi
kepada “percaya diri sendiri itu”, adalah disebabkan karena pemerintah
tidak memenuhi ia punya “janji-janji bulan November” tahun 1918,35
yang menyanggupkan perluasan hak-hak bagi rakyat Indonesia. Sangkaan
yang demikian ini adalah salah: Asas PNI “percaya pada diri sendiri”
bukanlah disebabkan karena tidak dipenuhi janji-janji November itu;
asas PNI itu, sebagai tadi kami terangkan, adalah keluar dari analisa
keadaan jajahan di dalam hakikatnya,-yakni dari analisa hakikat
imperialisme sendiri. Asas “percaya pada diri sendiri” itu, tidaklah
buat Indonesia saja, tetapi sebenarnya dipakai untuk perjuangan
tiap-tiap rakyat jajahan yang mengejar kemerdekaan. Ia boleh
dipakai oleh bangsa India, bangsa Indocina, bangsa Filipina, bangsa
Korea, bangsa Mesir, –pendek kata oleh tiap-tiap bangsa yang berkeluh
kesah memikul beban imperialisme asing. Asas kami tidaklah terikat
kepada batas-batas negeri kami sendiri saja,– asas kami adalah
“supranational”, oleh karena hakikatnya imperialisme adalah
supranasional pula. Imperialisme di dalam hakikatnya di mana-mana
adalah sama; di mana-mana imperialisme adalah: nafsu menguasai dan
mempengaruhi negeri orang lain untuk keuntungan sendiri; di mana-
mana imperialisme adalah bertentangan kepentingan dengan rakyat
yang didudukinya! Di mana-mana sistem imperialisme tidak
akan me-”matang”-kan dan memerdekakan jajahannya dengan
kemauan sendiri!
Tidak dipenuhinya janji-janji November itu tidaklah membikin
keingkaran kami. Politik Gubernur Jenderal Fock yang mencederai kata
kehormatan yang oleh pemerintah van Limburg Stirum disanggupi itu.
Politik Gubernur Jenderal Fock yang malahan memberatkan nasib kami
dengan penghematan, dengan istilah kebanyakan pegawai, dengan
cabutan tunjangan kemahalan, dengan tambahan pajak, dengan surat
edaran pembungkeman, dengan larangan berapat, dengan pasal 161 bis
dan sebagainya; politik Gubernur Jenderal Fock yang sama sekali suatu
penghinaan atas semangat janji-janji bulan November itu, politik yang
demikian itu tidak menjadi asal kami punya asas, tetapi hanya
menambah teguhnya kami punya kepercayaan di dalam kebenaran kami
punya asas itu saja, menambah teguhnya kami punya kepercayaan
terhadap kebenaran kami punya analisa: yakni analisa, bahwa kaum
imperialisme yang sesudah perang besar itu malahan makin butuh akan
96
Kekayaan In-donesia, harus menjalankan pengaruhnya atas
pemerintahan! Janji-janji bulan November yang toh diberikan juga,
tidak karena sekonyong-konyong kami dipandang lebih “matang”
sedikit, tetapi hanya karena keadaan politik sangat mengkhawatirkan,
yakni karena pada masa itu perhubungan Belanda-Indonesia menjadi
sangat tipis sekali, pergerakan rakyat makin membanjir, sedang keadaan
di negeri Belanda sendiri sangat berbahaya,– janji-janji bulan November
yang oleh karenanya, toh sudah mempunyai sifat “janji-janji karena
takut” alias “angstbeloften” itu, janji-janji November itu, sesudah bahaya
hilang, oleh kaum imperialisme tidak boleh tidak harus dipaksakan
mencederainya!
“Ketika itu adalah memuncaknya kejadian-
kejadian internasional, tatkala pecahan-pecahan
singgasana-singgasana yang dihancurkan mendesing-desing
melintasi kuping-kuping rakyat Belanda dan guntur
revolusi-revolusi di luar negeri menggemuruh di atas
padang-padangnya,”
-begitulah Troelstra menggambarkan keadaan tatkala janji-janji Novem-
ber itu perlu diucapkan, tetapi, sesudah bahaya hilang, tatkala janji-janji
November itu perlu dicabut lagi, maka segeralah kita mengetahui
“rahasia” sebabnya, yakni “rahasia” yang dibukakan oleh Prof, Treub di
dalam rapat Dewan Majikan tanggal 21 Juni 1923, -yang bunyinya:
“Salah satu kesan yang sudah ada pada saya, lama sebelum
saya datang ke Hindia, bertambah keras waktu saya berada
di sana, yakni bahwa disebabkan karena peperangan,
Hindia menjadi jauh lebih penting lagi buat negeri Belanda
dari dulu!”
“Rahasia!”…tetapi “rahasia” yang buat kami kaum PNI bukan
“rahasia” lagi, – “rahasia” yang gemerincing dengan ringgit, “rahasia”
yang berbau gula, “rahasia” yang berbau karet, “rahasia”, yang berbau
minyak, berbau teh berbau tembakau dan lain-lain. Sedang di zaman
perang, kelebihan ekspor “hanya” kurang lebih f 300.000.000,-setahun,
sedang di zaman perang itu persentase kelebihan ekspor “hanya” rata-
rata 40% dari ekspor seluruhnya, maka di dalam tahun 1919 menjadilah
97
ia lebih dari f 1.400.000.000,-, menjadilah ia lebih dari 70% dari jumlah
ekspor!36
Oleh sebab itu, ini “rahasia” adalah “rahasia” yang tidak
mengherankan kami lagi, janji-janji bulan November harus dicederainya,
harus digantinya dengan politik yang sangat reaksioner!
Di dalam buku peringatan lima belas tahun
berdirinya Indonesische Vereeniging, halaman 25-26, kami baca:
“Dan tatkala sesudah damai, oleh kerja pembinasaan besar-
besaran itu, keadaan ekonomi menjadi kacau-balau…maka
eropa menjadi berlipat ganda memerlukan ‘daerah-daerah
terbuka’ di timur, dimana ibunda alam dengan sabarnya
yang tak terhingga memberikan kekayaan-kekayaannya.
Maka perlulah suatu politik negara yang tujuannya ialah
pelaksanaan kekuasaan yang seluas-luasnya, sebab jika tiada
demikian, tidak dapat dilakukan pengedukan sebanyak-
banyaknya. Politik Inggris yang reaksioner segera sesudah
perang selesai terhadap India; adalah suatu akibat yang tidak
bisa dielakkan dari hal ini. Tapi juga, Amerika, yang
terutama masih bisa hidup dari kekayaan sendiri, melepas
politik isolemen-nya yang terpuji itu dan bertindak sebagai
kekuasaan imperialis di timur. Jika tidak, apakah sebabnya
keterangan-keterangan pemerintah berbeda satu sama
lain….yakni bahwa Filipina mula-mula dianggap ‘matang’,
kemudian pula tidak ‘matang’ untuk kemerdekaan, yang
dijanjikan dalam Jones Act tahun 1916? Negeri belanda, yang
karena sikap netralnya di masa perang, terpelihara dari
kerusakan-kerusakan harta benda, tetapi mengalami juga
sedikit-banyaknya krisis di benua eropa, berusahalah
sekuat-kuatnya untuk menggerakkan kembali tali-tali ekonomi
dengan Hinda-Belanda yang oleh peperangan telah
menjadi longgar”……………..
dan Gubernur Jenderal Fock dikirimlah kemari, janji-janji November
musnahlah menjadi kabut atau halimun di dalam ingatan belaka,–lebih
teguh lagilah oleh karenanya keyakinan kami akan azas “selfhelp” dan

98
“selfreliance” itu, lebih insyaf lagilah kami, bahwa kemerdekaan adalah
hasil peruangan kami sendiri.

Pembentukan tenaga, pembentukan kekuasaan


atau machtsvorming.

Bahwasanya, sebagaimana kaum buruh negeri Belanda berjuang


untuk hak pemilihan umum (algemeen kiesrecht) dengan nyanyian:
“Wathelpen ons gebeden, voor het kiesrecht dient
gestreden!”, “Tiada guna meminta sayang, buat hak pilih
harus berjuang!”,
maka kami juga mendengungkan kami punya semboyan:
“Tiada guna meminta sayang, buat kemerdekaan
harus berjuang!”-
“Whathelpen ons gebeden, voor de vrijheid dient gestreden!”
Berjuang! Dengan apa berjuang? Dengan pedang? Dengan
bedil? Dengan bom? Dengan merusak keamanan umum? Dengan
menjalankan kejahatan? Amboi, tidak! Tidak dengan pedang, tidak
dengan bedil, tidak dengan bom, tidak dengan melanggar pasal 153
bis atau 169, tidak dengan melintasi batas undang-undang kami
berjuang, –kami berjuang ialah dengan “pembentukan tenaga”
yang halal, dengan suatu modern georganiseerde
machhtsvorming di dalam lingkungan undang-undang,
sebagaimana kaum buruh di negeri Belanda berjuang
melawan kapitalisme dan “mengambil” kekuasaan politik itu juga
tidak memakai cara-cara yang diharamkkan oleh hukum, melainkan
juga hanya dengan pembentukan tenaga yang halal belaka.
Pembentukan tenaga yang halal, pembentukan kekuasaan di dalam
lingkungan undang-undang, itulah yang PNI maksudkan, Tuan-tuan
Hakim, dan bukan pembentukan tenaga yang diharamkan oleh
undang-undang itu, — bukan pembentukan kekuasaan dengan
serdadu-serdadu rahasia, bukan pembentukan kekuasaan ala
nihilisme, bukan pula pembentukan kekuasaan yang bermaksud

99
membahayai “keamanan umum”, melanggar pasal 153 bis dan
pasal 169 undang-undang hukum pidana.
Jadi buat apa pembentukan kekuasaan! Buat apa machtsvorming!
Kami dengar orang bertanya. Machtsvorming, pembentukan
kekuasaan, oleh karena soal jajahan adalah soal kekuasaan, soal macht!
Pembentukan kekuasaan oleh karena seluruh riwayat dunia
mengatakan bahwa perubahan-perubahan besar hanya diadakan
oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan akan untung rugi
menyuruhnya, atau kalau suatu kekuasaan menuntutnya. “Tak
pernahlah suatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan kemauan
sendiri,” begitulah Marx berkata. Seluruh riwayat dunia adalah
riwayat pergerakan-pergerakan kekuasaan ini. Seluruh riwayat
dunia, terutama sesudah lahirnya faham demokrasi pada fajar abad
ke-19, adalah menunjukkan pembentukan kekuasaan itu; tiap-tiap
partai politik, tiap-tiap serikat pekerja, tiap-tiap perkumpulan adalah
suatu pembentukan kekuasaan, suatu pembentukan kekuatan.
Orang seorang-seorang tidaklah bisa mengembangkan kekuasaan yang
besar. Maka manusia seorang-seorang itu lantas berkumpul,
menggabungkan diri satu sama lain,– suatu perkumpulan lahirlah ke
dunia. Kalau misalnya orang-orang Eropa di sini mengadakan suatu
perkumpulan PEB,37 kalau orang-orang Eropa di sini mendirikan
Vaderlandsche Club, kalau sebagian orang Tionghoa membangunkan
Chung Hwa Hui, kalau orang-orang Bumiputra berserikat dalam
“Wargi Bandung” atau “Tulak Bahla Tawil Oemoer”, maka mereka
hanyalah mendirikan badan-badan pembentukan kuasa belaka.
O, memang, pembentukan kekuasaan PEB, pembentukan
kekuasaan Vaderlandsche Club, pembentukan kekuasaan “Tulak
Bahla Tawil Umur” tidaklah sama sifat tabiatnya dengan
pembentukan kekuasaan PNI. Sedang P E B mengejar kepentingan-
kepentingan yang sesuai dengan kepentingan imperialisme, sedang
Vaderlandsche Club mau meneruskan penjajahan Indonesia itu sampai
kiamat, sedang T B T O percaya pula dalam kebahagiaan
penjajahan itu, — sedang perkumpulan-perkumpulan itu adalah
partai-partai reaksi atau partai-partai konservatif, maka PNI adalah
mengejar kepentingan-kepentingan yang sama sekali bertentangan
100
dengan kepentingan imperialisme, PNI adalah partai perlawanan,
partai oposisi. Pembentukan kekuasaan PNI sebagai yang tadi kami
katakan, pembentukan kekuasaan PNI adalah timbul dari keyakinan,
bahwa soal jajahan adalah soal kekuasaan. Selama rakyat Indonesia
belum menjadi suatu kekuasaan yang mahasentosa, selama rakyat itu
masih saja tercerai-berai dengan tiada kerukunan satu sama lain,
selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua
kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun,–
selama itu maka kaum imperialisme yang mencari untung sendiri
itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang
menurut dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya.
Sebab tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia adalah merugikan bagi
imperialisme; tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia tidaklah akan
diturutinya, kalau kaum imperialisme itu tidak terpaksa
menurutinya. Tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia atas kaum
imperialisme dan pemerintah adalah buah desakan yang rakyat itu
lakukan, — tiap-tiap kemenangan rakyat Indo-nesia itu adalah suatu
konsesi yang dipaksakan!
Sosialis Cramer pada 10 Juni 1925 berkata dalam Tweede Kamer:
“Walaupun diselimuti dengan kata-kata manis, dari sini
nyata sekali, bahwa…..kepentingan-kepentingan Belanda,
atau lebih benar, kepentingan-kepentingan kapital
besar,senantiasa lebih dulu harus dijamin keselamatannya;
kepentingan-kepentingan rakyat Hindia baru diperhatikan
dalam tingkat kedua, ketiga atau keempat.
Tuan Ketua!
Rakyat Hindia tentulah tak urung menarik satu-
satunya kesimpulan yang benar, bahwa dari suatu kamer
yang disusun seperti sekarang ini, tidak bisa dan tidak usah
diharapkan apa-apa dan bahwa mereka, jika hendak
mencapai sesuatu harus memperhadapkan kekuasaan
dengan kekuasaan. Sebab bukankah seluruh soal
matang atau tidak matang untuk ikut memerintah itu,
terutama adalah soal kekuasaan?”
101
“Memperhadapkan kekuasaan dengan kekuasaan”,
“macht tegenover macht”, begitulah nasihat Cramer. Meskipun
demikian, Cramer bukan bolsjewik Cramer bukan sosialis kiri! Cramer
bukan orang yang mau main bedil-bedilan atau bom-boman,
bukan orang yang mau “membahayai keamanan umum”, bukan
orang yang mau “menyerang” atau “merobohkan” kekuasaan
pemerintah. Cramer adalah sosialis yang “kutuq”, seorang “warga yang
tulus”. Anggota partai oposisi SDAP yang tenang itu!
Bahwasanya, pembentukan kekuasaan suatu partai perlawanan
tidaklah selamanya harus pembentukan kekuasaan yang melewati
batas hukum! Sebagaimana SDAP dengan jalan pembentukan
kekuasaan yang halal itu, dari suatu golongan kecil yang dihina-hina
dan dimaki-maki bisa menjadi suatu kekuasaan yang ditakuti
orang, karena sekarang mempengaruhi orang ratusan ribu;
sebagaimana SDAP itu, dengan pergerakan puluhan ribu kaum
rakyat, dengan mendirikan serikat-serikat kaum buruh, dengan
mengadakan koperasi-koperasi, dengan mengeluarkan
berpuluh-puluh surat kabar, bisa mendesak dan memaksa kepada
musuhnya mengadakan konsesi-konsesi yang berharga;
sebagaimana SDAP atau kaum buruh di Eropa Barat dengan
pembentukan kekuasaan yang mahahebat tetapi halal itu, mau
mencapai kekuasaan politik dan lantas memberhentikan kapitalisme, -
maka PNI dengan jalan pembentukan kekuasaan pula, ingin menjadi
kekuasaan yang ditakuti, yang akhirnya bisa menuntun rakyat
Indonesia ke atas “kekuasaan politik juga,- kekuasaan politik
kemerdekaan, yang menurut penglihatan kami, adalah syarat yang
terpenting untuk memberhentikan imperialisme sama sekali.

Tiap partai Kemerdekaan mau berontak?

“Mencapai kekuasaan politik! Mendatangkan Indonesia merdeka!


Ya, benar, mendatangkan Indonesia merdeka! Jadi PNI mau berontak,
kalau kemerdekaan itu tidak diberikan! –begitulah orang bisa berkata.
Amboi, aneh benar “logika” yang demikian ini! Kalau memang benar
“logika” yang demikian itu, orang lantas boleh me-”logika”-kan pula:
102
jadi, PSI yang bercita-cita pemerintahan Islam itu, juga mau
berontak! Atau orang boleh me-”logika”-kan pula: jadi, Budi Utomo,
jadi, Pasundan, jadi kaum Betawi, jadi Sarekat Madura, jadi semua
anggota PPPKI yang juga mau mendatangkan kemerdekaan itu,
juga mau membikin huru-hara! Ya, orang boleh me-”logika”-kan pula:
jadi SDAP, jadi ISDP, jadi Albarda c.s. dan Stokvis c.s. yang bersemboyan
“mencapai kekuasan politik!, nyah dengan kapitalisme!” itu, juga mau
mengamuk dengan bom dan dinamit! :
Amboi, kocak benar kalau begitu: Orang tua Stokvis mengamuk
dengan bom dan dinamit! Padaha, — bagaimanakah aksi ISDP?
Bagaimanakah aksi SDAP? Bagimanakah Stokvis c.s. dan Albarda c.s. itu
mau mencapai kekuasaan politik itu?
“Bagaimanakah jalannya mengambil kekuasaan politik?”
begitulah kami itu menjawab di dalam buku kecil mereka tentang asas
dan tujuan SDAP:
“Kami sedang melakukan yang demikan itu pada tiap-tiap keping
organisasi, yang kami dirikan dan luaskan. Kami bekerja untuk itu pada
tiap pemilihan, pada tiap perjuangan untuk hak memilih, pada tiap aksi
besar terhadap kaum borjuis. Ini bukan pemberontakan satu hari, tapi
adalah pekerjaan perlawanan kami bertahun-tahun…..alat-alat yang
kelihatan, yang dipergunakan oleh proletariat dalam perjuangannya,
disesuaikan dengan syarat-syarat dan kemungkinan-kemungkinan
perjuangan itu dan dengan senjata-senjata yang diberikan oleh
masyarakat kapitalis itu sendiri kepada kami. Sebab itulah terutama
kami pergunakan parlemen, sebab itulah pula gerakan sekerja memakai
senjata mogok –di negeri Belanda adalah hak mogok, Tuan-tuan
Hakim- yang bisa dipergunakannya oleh karena tenaga buruh tidak
bisa ditiadakan dalam proses produksi. Tapi senjata itu pula yang
dipergunakan oleh pro-letariat juga untuk tuntutan-tuntutan politik
umum dan tuntutan-tuntutan kelas, apabila dianggapnya bisa
mendatangkan manfaat….kekerasan menurut pengalaman kami,
ternyata adalah suatu senjata yang jelek, boleh bilang tidak perlu
kalau kekuasaan ada pada kita, merugikan selama kita tidak
mempunyai kekuasaan….Tapi aksi apa pun yang hendak kita
lakukan, -senjata apa pun hendak kita pakai,- dasar yang tidak
103
bisa ditiadakan dari segala, ialah: adanya suatu organisasi yang
tahan lama, kuat susunanya dan tumbuh terus, suatu organisasi yang
mempunyai hak susila dan kekuasaan, untuk memegang pimpinan
kelas kaum buruh dalam perjuangan kelas-kelas”.38
Sesungguhnya, kocak betullah “logika” yang me-”logika”-kan,
bahwa karena itu, PNI akan membikin huru-hara. Tetapi, juga
dengan tidak menertawakan “logika” yang kocak itu, maka tiap-tiap
orang yang mau mengakui bahwa sedikitnya otak kami toh masih belum
terganggu, tiap-tiap orang yang tidak memandang
kami orang yang gila atau orang idioot, tentulah mengerti, bahwa
kami mustahillah tak menge00tahui bahwa kemerdakaan itu hanya
bisa tercapai dengan suatu usaha susunan dan usaha kekuasaan yang
maha sukar dan mahaberat adanya, dan bahwa mustahillah pula kami
misalnya bisa berkata, bahwa kemerdekaan itu akan datang dalam
tahun ‘30! Sebagaimana kekuasaan politik tidak bisa dicapai oleh kaum
buruh Eropa di dalam satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh tahun, maka
kemerdekaan pun tak bisa diperoleh rakyat Indonesia dalam satu
helaan nafas saja!39
Ai, ai, “kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30!”
Kami dikatakan pernah bilang, bahwa kemerdekaan akan
datang dalam tahun ’30! Sesungguhnya, kalau memang benar
begitu, perlu sekalilah kami dengan segera dikirimkan ke rumah sakit
gila Ciikeumeuh, bagian “pasien-pasien yang tidak sembuh lagi”,
bersama-sama dengan saudara Mr. Sartono, yang juga dikatakan
pernah berpidato kemerdekaan akan datang tahun ini.
Dalam Bintang Timur, edisi bahasa Belanda, 4 januari yang lain
kami baca:
“Atas pertanyaan Mr. Sartono apakah bukti-bukti
pendakwaan, polisi menjawab, bahwa pemerintah
mendapat kabar dari seluruh Indonesia, bahwa PNI mau
mengadakan revolusi dan juga bahwa – ini pun berita-berita
dari mata-mata juga – Mr. Sartono di dalam suatu rapat
terbuka (???) mengatakan, bahwa tahun 1930 negeri ini
akan mendapat kembali kemerdekaannya….Mr.

104
Sartono lantas menjawab dengan tepatnya, bahwa pucuk
Pimpinan tidak pernah merancang maksud seperti itu.
Sebab jika benar demikian, tentulah Pucuk Pimpinan
mengeluarkan suatu keputusan beserta petunjuk-petunjuk!
Dan lagi pula, jika sekiranya sungguh-sungguh mereka itu
mempunyai maksud jahat itu, tentulah mereka semuanya
menyimpan senjata-senjata atau sekurang-kurangnya golok di
dalam rumah, sedangkan sekarang, tatkala dilakukan
penggeledahan besar-besaran tidak didapati satu pisaupun
atau senjata lain pada pemimpin-pemimpinnya. Dia ingat,
bahwa di dalam suatu rapat umum dia pernah
menerangkan bahwa dalam tahun 1930 saudara-saudara
kita bangsa Tionghoa disamakan haknya dengan bangsa
Eropa. Berhubung dengan itu ia berkata, bahwa konsekuensi
penyamaan hak itu, orang Indonesia juga berhak mendapat
hak-hak yang timbul dari undang-undang penyamaan hak
itu. Dia selalu menerangkan, bahwa dia ingin sekali Indonesia
merdeka. Dalam hampir saban rapat umum dia menerangkan
yang demikian itu dengan tidak ada pembatasan. Tapi dia
tidak pernah mengatakan, bahwa In-donesia mulai 1 Januari
1930 akan merdeka, dan bahwa menjelang waktu itu, di
sini kan meletus revolusi. Jikalau dia pernah berkata begitu,
dia merasa heran mengapa dia tidak ditangkap waktu itu
juga.
Benar sekali! Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa kami
mengejar kemerdekaan. Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa PNI
punya idam-idaman ialah Indonesia merdeka! Tetapi kami tidak begitu
tolol untuk mengira atau mengatakan bahwa kemerdekaan itu dalam
satu helaan nafas saja akan datang!
O, memang, kalau umpamanya kemerdekaan itu bisa jatuh dari
langit ini hari, kalau umpamanya bisa datang seorang malaikat manis
menghadiahkan kemerdekaan itu ini hari, maka kami, dari Partai
Nasional Indonesia, kami tidak akan menolaknya, tetapi
sebaliknya akan bersukaria. Kami di dalam hal itu akan
mengucap syukur dan alhamdulillah, oleh karena sepanjang
105
keyakinan kami kemerdekaan adalah kunci pintu gerbang surga
kebesaran kami. Kami memandang kemerdekaan ini hari itu sebagai
suatu cita-cita yang seindah-indahnya, dan oleh karena itu, tidak adalah
bagi kami kemerdekaan yang datangnya terlalu pagi.
Kami tidak mau bersikap sebagai kaum setengah sosialis, yang
sudah lebih dulu – apriori- menyembunyi-nyembunyikan asasnya sendiri
dengan menolak tuntutan merdeka ini hari. Menolak cita-cita merdeka
ini hari. Tetapi,…..kemerdekaan tidak akan datang ini hari atau besok
pagi! Kemerdekaan hanyalah hasil suatu usaha susunan dan usaha
persatuan yang sesuatu rakyat harus kerjakan tak berhenti-hentinya
dengan habis-habisan mengeluarkan keringat , membanting tulang,
memeras tenaga. Kemerdekaan, menurut perbandingan pemimpin
India Surendra Nath Banneryee, adalah:
“laksana dewi yang cemburu, yang minta dipuja-puja
dengan teliti sekali dan menuntut dari pemuja-pemujanya
pembaktian yang rajin dan tiada hentinya.”
Kemerdekaan, begitulah kami sering-sering terangkan di dalam
rapat-rapat umum, kemerdekaan tidaklah bagi kami. Kemerdekaan
adalah buat anak-anak kami, buat cucu-cucu kami, buat buyut-buyut
kami yang hidup di kelak kemudian hari!
Tidak! Untuk mencapai kemerdekaan itu, PNI tidak bermaksud
pedang-pedangan atau golok-golokan atau bom-boman, tidak pula
bermaksud menyindir atau memujikan pengrusakan keamanan umum
atau pelanggaran kekuasaan pemerintah atau menjalankan hal-hal lain
sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini, tetapi PNI
mengerjakan pembentukan kekuasaan yang halal itu, mengerjakan
pembentukan kekuasaan itu menurut contoh organisasi modern, dan
sebagaimana kaum buruh di Eropa yang juga memandang kekuasaan
politik dan lenyapnya kapitalisme sebagai kunci satu-satunya bagi
kebahagiaan yang sejati itu, dalam sementara menumpuk-numpuk
pembentukan kekuasaan itu sudah mencoba-coba meringankan
nasibnya dengan pelbagai aturan dan kemenangan-kemenangan yang
bisa tercapai ini hari; sebagaimana kaum buruh Eropa itu dalam
sementara mengejar maksud yang tertinggi itu, tak emoh akan
106
keuntungan-keuntungan yang langsung, maka PNI pun dalam
sementara mengejar kemerdekaan itu, sudah pula berjuang secara
halal bagi keuntungan-keuntungan ini hari yang demikian itu juga
adanya. PNI pun dalam sementara mengejar In-donesia merdeka itu,
sudah pula berusaha di atas lapangan ekonomi, sosial dan politik
sehari-hari, ya malahan memandang keuntungan-keuntungan ini hari
itu sebagai syarat-syarat pula bagi kemerdekaan itu. Ia mencoba
mendirikan sekolah-sekolah, membangunkan rumah-rumah sakit,
melawan riba, menyokong bank-bank nasional, membuka koperasi-
koperasi, memajukan serikat-serikat sekerja dan perserikatan-
perserikatan tani. Ia mencobba menghilangkan pasal-pasal pencegah
penyebaran kebencian (haatzaai-artikelen) beserta pasal-pasal 153 bis-
ter dan pasal 161 bis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
menghilangkan hak-hak exorbitante40 dari gubernur jenderal. Ia
mencoba jadi penyokong rakyat yang sengsara itu di dalam
kebutuhannya sehari-hari. Dan jika PNI pada saat ini belum banyak hasil
di atas lapangan itu; jika PNI belum banyak sekolah-sekolahnya,
belum banyak poliklinik-polikliniknya, belum banyak koperasi-
koperasinya; jika PNI belum dapat menghapuskan ranjau-ranjau politik
yang kami sebutkan tadi, maka itu
adalah oleh karena PNI baru berumur dua tiga tahun saja!

“Aksi Dengan Perbuatan”

Di dalam makna inilah kongres PNI di Jakarta tahun yang


lalu mengambil putusan akan mengadakan “aksi dengan perbuatan”
dalam tahun 1929-1930.
Di dalam makna “berusaha secara halal mendatangkan
perbaikan-perbaikan yang bisa tercapai sekarang”, begitulah perkataan
“aksi dengan perbuatan” itu harus diartikan. Sebelum kongres di
Jakarta itu, sebelum Mei 1929 itu, maka PNI masih dalam zaman
propaganda. Segala rapat-rapat, segala ucapan-ucapan, gerak-
bangkitnya, sebelum kongres di Jakarta itu, terutama hanyalah untuk
memperkenalkan diri belaka kepada rakyat Indonesia,
mempropagandakan azas-azas dan tujuan-tujuannya, agar rakyat
107
Indonesia mengetahui dan menjadi tertarik dengan kebenaran azas-
azasnya itu. Hampir ditiap-tiap rapat umum yang diadakan oleh PNI di
dalam fase yang pertama ini, kami hanya berpidato menerangkan
panjang lebar kami punya keterangan azas belaka, sebagai yang
terletak dalam buku anggaran dasar PNI itu. Hampir tiap-tiap rapat
umum di dalam fase ini adalah rapat umum mendirikan cabang baru,
atau rapat umum buat menambah terkenalnya diri dan azas PNI di
tempat cabang yang sudah ada. Di dalam fase propaganda ini,
maka PNI belumlah mengadakan “aksi”; ia belum mengusahakan
organisasinya untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan yang
termaktub dalam daftar usahanya. Di dalam fase itu PNI hanyalah
mempropagandakan dasar-dasarnya belaka, –belumlah ia
“berusaha”, belumlah ia beraksi untuk melaksanakan rencana
kerjanya!
Nah, tatkala di dalam permulaan tahun 1929 PNI semakin banyak
anggotanya, tatkala pada permulaan tahun 1929 itu PNI sudah semakin
banyak mempunyai tenaga, –tatkala pada saat itu PNI sudah cukup
agaknya dipropagandakan,– maka pucuk pimpinan memandang perlu
mengerjakan apa yang tertulis dalam daftar usahanya, pucuk pimpinan
memandang perlu menginjak lapangan perbuatan, lapangan aksi. Azas
dasar sudah cukup dipropagandakan, nah, rencana kerja sekarang harus
dikerjakan, “aksi dengan perbuatan” sekarang harus dijalankan! Dan atas
usul pucuk pimpinan itu, maka Kongres Jakarta mengambil putusan
untuk menjalankan aksi dengan perbuatan itu tentang pasal I d dan III
d dari daftar usaha, yakni pasal-pasal “menghapus alangan-alangan
yang merintangi kemerdekaan diri, kemerdekaan bergerak,
kemerdekaan cetak-mencetak, kemerdekaan berserikat dan
kemerdekaan berkumpul”, beserta “memajukan serikat-serikat
sekerja dan perserikatan-perserikatan tani”. Sejak Kongres Jakarta
itu maka fase propaganda sudah tertutup,–mulailah fase baru, mulailah
fase pembangunan yang nyata, yakni fase bekerja, fase aksi.
Caranya beraksi? Caranya beraksi dengan perbuatan? Bom, bedil,
dinamit? –Tidak, caranya aksi dengan perbuatan tidaklah dengan bom,
tidaklah dengan bedil, tidak dengan dinamit, tidak pula dengan apa-apa
yang dilarang hukum. Caranya tak lain dari mengadakan rapat-rapat
108
umum di mana-mana untuk mempengaruhi, menggugahkan,
membangkitkan pendapat umum, menulis karangan-karangan di dalam
surat-surat kabar, mengadakan kursus-kursus kepada anggota-anggota
sendiri tentang pasal-pasal itu tadi. Caranya tak lain adalah
menggerakkan kekuasaan kami secara halal, membesar-besarkan
kekuasaan itu. Caranya tak lain dari menggerakkan kamu punya
kekuasaan secara halal, meluaskan kami punya pembentukan
kekuasaan itu, tak lain dari sebagaimana SDAP beraksi, sebagaimana
partai Sarekat Islam beraksi, – yakni menggerakkan semangat sendiri
dan menggerakkan semangat pendapat umum sehebat-hebatnya,–
mengeluarkan tenaga bekerja ke dalam untuk melahirkan badan-
badan organisasi yang perlu, misalnya serikat-serikat sekerja dan tani
itu tadi, mengeluarkan tenaga bekerja keluar untuk mengadakan
desakan yang sekuat-kuatnya agar supaya tuntutan-tuntutannya bisa
terlaksana adanya. Bukan desakan dengan bom, bukan desakan
dengan dinamit, bukan desakan dengan apa-apa yang dilarang oleh
hukum!—tetapi desakan hahal, desakan yang sebagaimana kami
katakan di dalam pemeriksaan, oleh Dr. Ratulangi, tatkala ia masih
radikal dan belum lunak seperti sekarang, disebutkan “desakan
semangat”, “moreel geweld”.
Ah, tuan-tuan hakim, adakah perkataan-perkataan “aksi dengan
perbuatan” tentu berarti pemberontakan, barrikaden41, perkosaan,–
adakah perkataan-perkataan itu tentu berarti kekerasan, atau setidak-
tidaknya, pelanggaran hukum? Kaum sosialis Eropa toh sering juga
menganjurkan “aksi dengan perbuatan” itu, sering juga menganjurka
“aksi langsung”,–dan mereka bukankah juga tidak memaksudkan
pelanggaran hukum, perkosaan atau bom-bom dengan “aksi langsung”
itu?
“Oleh karena kekuasan kapital besar justru tidak
terutama duduk dalam parlemen, tapi diluarnya, maka
kaum buruh tidak bisa membatasi perjuangannya kepada
parlemen saja. Sebab itu kaum buruh, disamping senjata
aksi di dalam parlemen, harus mempergunakan pula, di

109
saat-saat perjuangannya yang besar, senjata aksi yang
langsung, yakni aksi politik dari serikat-serikat sekerja”…42
begitulah misalnya pemuka SDAP berpidato,–dan semua orang
mengetahui, bahwa dengan aksi langsung diluar parlemen itu, tidaklah
dimaksudkan pelanggaran hukum atau perkosaan, atau pemberontakan!
Tidak, tuan-tuan Hakim, sekali lagi kami ulangi: tidak dengan
maksud membikin huru-hara, tidak dengan maksud membikin putsch43,
tidak dengan maksud melanggar pasal 153 bis atau lain-lain hal yang
dituduhkan di dalam proses ini, PNI mau menjalankan aksinya mengejar
kemerdekaan, –tetapi PNI mau mencapai maksudnya dengan
mengorganisasi dan menggerakkan suatu organisasi kekuasaan yang sah,
suatu organisasi kekuasaan nasional modern, suatu massa-aksi nasional
yang menolak tiap-tiap cara yang tidak nasionalistis adanya.

Revolusioner, revolusi

Tetapi perkataan “revolusioner”! Tetapi halnya PNI


menyebutkan diri suatu partai “revolusioner”! Tidakkah itu berat bahwa
PNI bermaksud mengadakan pemberontakan, atau setidak-
tidaknya bermaksud melanggar kekuasaan pemerintah, mengganggu
keamanan umum?
O, memang, kami sering mengatakan bahwa kami adalah kaum
revolusioner, kami sering menyebut PNI itu suatu partai
revolusioner! PNI memang sedari mulanya adalah suatu partai
revolusoner! Kalimat di dalam surat pendakwaan, bahwa PNI
adalah kemudian menjadi revolusioner, kalimat itu adalah salah
sama sekali. PNI tidak kemudian menjadi revolusioner, PNI adalah
revolusioner sejak hari lahirnya! Tetapi kata revolusioner dalam
makna kami, sama sekali tidak berarti “mau membikin
pemberontakan” atau “menjalankan sesuatu pelanggaran hukum”.
Kata revolusioner di dalam makna kami adalah berarti “radikal”,
“mau mengadakan perubahan dengan lekas”, “omvormend in
snel tempo”. Kata revolusioner di dalam makna kami haruslah diambil
sebagai kebalikan kata “sabar”, kebalikan kata “sedang”. Kami, kaum
PNI, kami memang bukan kaum sabar, kami memang bukan kaum
110
sedang, kami memang bukan kaum “uler kambang”, yang
selamanya kami sebut “kapuk”; kami adalah kaum “radikal”, kaum
yang ingin mengadakan perubahan selekas-lekasnya, — kami adalah
kaum “Kepala Banteng”.
Ah, tuan-tuan Hakim, perkataan “revolusioner” toh tidak di dalam
makna kami saja berarti “ingin perubahan dengan lekas”, yakni
“omvormend in snel tempo”. Kalau orang berkata “mesin uap itu
mengadakan revolusi di dalam cara produksi”, kalau orang berkata,
“Prof. Einstein sudah merevolusikan segenap ilmu alam”, kalau
orang menyebutkan “Yesus kristus seorang revolusioner yang terbesar
di seluruh riwayat dunia”, kalau pasifis Tolstoyanis44 Ds. B. de Light
menulis buku “Christen revolutionnair”, -ya, kalau kaum Marxis,
berhubung dengan hukum evolusi di dalam pergaulan hidup (sebagai
variasi atas Heraclitus “panta rei”) berkata : “kita hidup di dalam
revolusi terus-terusan, yakni di dalam Revolution im Permanenz”,-
adalah itu semua mengingatkan akan pedang, akan bedil, akan bom,
akan dinamit, barrikaden, darah manusia dan hawa maut?
PNI adalah “revolusioner”, oleh karena PNI ingin mengadakan
perubahan yang lekas dan radikal. Prof. Bluntschli, ahli hokum kerajaan
yang termashur dan yang sama sekali bukan “kaum merah”, mengatakan
bahwa revolusi umumnya berarti: “umgestal-tung van Grund aus”, yakni
perubahan yang radikal, perubahan yang sedalam-dalamnya.
Sebagaimana tiap-tiap partai yang mau mengadakan perubahan yang
radikal adalah suatu partai revolusioner, makas PNI adalah pula suatu
partai yang revolusioner, PSI adalah revolusioner, ISDP adalah
revolusioner, sebagai Tuan Koch mengakui sendiri, segenap perjuangan
kelas dari kaum buruh adalah revolusioner.

“Bukan bentuk-bentuk tertentu dari perjuangan kelas yang


revolusioner, tetapi perjuangan kelas itu sendiri yang
pada hakikatnya revolusioner, meskipun kebanyakan
orang menganggap keributan dan pemogokan, itulah “yang
disebut revolusioner,”

111
begitulah Stenhuis berkata45. Dengarkannlah pula bagaimana sosial
demokrat Liebknecht yang tersohor itu menerangkan perkataan
“revolusioner”:
“kita mengalami “revolusi terus-terusan”, Revolution
im Permanenz. Sejarah dunia adalah satu revolusi yang
terus-menerus. Sejarah dan revolusi adalah sama. Proses
perubahan yang revolusioner dalam masyarakat dan Negara
tak pernah terhenti sekejap mata pun, sebab Negara dan
masyarakat adalah barang-barang yang hidup,– dan akhir
proses perubahan, proses pembaharuan ini, adalah maut.
Kami, kaum sosial demokrat, mengerti akan hal itu dan
itulah sebabnya kami membentuk suatu partai revolusioner,
yakni suatu partai yang bermaksud menghilangkan
rintangan-rintangan bagi perkembangan sewajarnya dari
masyarakat dan Negara!”,
dan dengarkanlah apa sebabnya Karl Marx menyebut kaumnya itu
kaum revolusioner:
“Kaum sosialis adalah revolusioner, bukan karena
mereka bertingkah laku keras, tapi karena anggapan
mereka tentang tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam
pertumbuhan itu harus ditimbulkan pengertian-pengertian
dan bentuk-bentuk baru tentang milik dan produksi.
Sebaiknya dari anggapan or-ang sekarang, mereka itu
revolusioner karena cita-cita dan usahanya menyusun dan
membikin matang untuk itu, kelas yang harus akan
melaksanakan system baru itu”.46

Sesungguhnya, jitu sekalilah perkataan Karl Kautsky:


“Sosial-demokrasi adalah suatu partai yang revolusioner,
tapi bukan suatu partai yang bikin revolusi-revolusi!”47
Tidakkah ternyata sekarang kebenaran perkataan kami, bahwa
SDAP adalah revolusioner, bahwa ISDP adalah revolusioner, bahwa
Albarda cs. Adalah revolusioner, bahwa Stokvis, bahwa de Dreu, bahwa
112
Middendorp adalah revolusioner? Tidakkah PNI revolusioner juga,
tidakkah kami kaum revolusioner juga, -PNI dan kami, yang juga
bermaksud “menghilangkan rintangan-rintangan bagi perkembangan
sewajarnya dari masyarakat dan Negara”, juga bermaksud “menyusun
dan membikin matang rakyat untuk itu”? Oleh karena itu, sekali lagi,
memang PNI adalah revolusioner, kami adalah kaum revolusioner,–
tetapi tidak karena apa-apa, melainkan hanya karena PNI ingin
perubahan yang lekas dan radikal, ingin “omvorming in snel tempo”,
ingin “Umgestaltung von Grund aus” itu. PNI dan kami adalah
revolusioner, tidak karena PNI dan kami mau golok-golokan atau bom-
boman atau dinamit-dinamitan, tidka karena PNI (dengan perkataan
Kautsky) adalah “suatu partai yang bikin revolusi-revolusi”,— tetapi
hanya karena PNI ingin menghilangkan segala hal yang merintangi dan
memundurkan suburnya pergaulan hidup Indonesia dan mengorganisir
rakyat untuk menghilangkan rintangan-rintangan itu.

Kekuasaan semangat

Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan,


bom-boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih
tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata
yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal
udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada
senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan
berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari
seribu bedil dan seribu meriam, ya, seribu armada laut dan seribu
tentara yang lengkap alat dan lengkap senjata! Seperti kami tak
mengetahui akan kekuasaan semangat rakyat yang bisa dibikin
mahasakti dan mahaadigjaya itu. Or-ang menuduh kami mau membikin
ramai-ramai dengan Mercon sumet dan mercon banting! Seperti
tidak ada ilmu ketimuran lagi, yang dinyanyikan dalam buku
Bagawad Gita dan yang mengajarkan kekuatan semangat itu!
“Ketahuilah, senjata tiada menyinggung hidup;
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
Tiada angus oleh angin yang panas.
113
Tiada tertembusi,
Tiada terserang, tiada terpijak dan merdeka
Kekal abadi, di mana-mana, tetap tegak,
tidak nampak, terucapkan tiada,
Tiada terangkum oleh kata, pikiran, senantiasa pribadi tetap
–Begitulah disebut jiwa!”
Tidak, PNI tidak mencari kekuasaan dalam ribut-ribut atau
bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidak pula mencari tenaga dalam
sengaja melanggar undang-undang sebagai dituduhkan disini. PNI
mencari kekuasaan pembentukan tenaga dalam organisasi sosial dan
organisasi semangat rakyat yang sedar dan bangkit, mencari
kekuasaan pembentukan tenaganya dengan lebih lagi menghidup-
hidupkan dan menyusun semangat rakyat yang oleh pengaruh
imperialisme turun-temurun, kemarin sudah hampir padam, tetapi
kini mulai menyala lagi. PNI mengetahui, PNI insaf, PNI yakin, bahwa
jika semangat rakyat itu sudah tersusun serta menyala-nyala
berkobar-kobar, tidak ada satu kekuasaan duniawi yang bisa
membinasakannya, PNI yakin bahwa, jika ia sudah menggenggam
senjata semangat yang sedemikian itu, ia tentu mencapai segala apa
yang dimaksudkan, zonder pedang, zonder bedil, zonder bom,
zonder meriam, ya, zonder “kocak-kocakan” sengaja melanggar
pasal 153 bisa dan 169 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai
yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini. Dengan senjata
semangat yang demikian itu, maka ia dengan sebenar-benarnya
menggenggam senjata yang mahasakti, dengan sebenar-benarnya
beraji candrabirawa dan pancasona,–mahhakuasa, kekal abadi,
tiada terkalahkan!
“Siapa bisa merantai suatu bangsa, kalau semangatnya tak
mau dirantai? Siapa bisa membinasakan sesuatu
bangsa, kalau semangatnya tak mau dibinasakan?”
Begitulah Sarojini Naidu, Srikandi India, berpidato
tatkala membuka Kongres Nasional India yang ke-4048 dan Mac
Swiney, pendekar Irlandia yang termashur itu, di dalam bukunya
“Principes de la Liberte” menulis:,
114
“Sebab seorang yang dirampas senjatanya, tidak bisa
melawan orang banyak, satu tentara tak bisa
mengalahkan tentara-tentara yang tak terpermanai
banyaknya, — tapi semua tentara dari semua negara di
seluruh dunia bersama-sama, tidak kuasa menundukkan
satu jiwa, yang telah bertekad untuk berjuang
mempertahankan hak.”49
Sesungguhnya, buat apa bom-boman atau dinamit-dinamitan,
buat apa kocak-kocakan sengaja melanggar pasal 153 bis dan 169 – kalau
kami dengan pembentukan kekuasaan organisasi semangat itu saja
sudah mempunyai kepastian akan mencapai semua maksud?

Nasionalisme nyawanya pembentukan kekuasaan

PNI oleh karenanya, tak berhenti-hentinya menyubur-nyuburkan


semangat rakyat itu. Semangat tiap-tiap rakyat yang disengsarakan oleh
suatu keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri, maupun
rakyat di tanah-tanah jajahan, adalah semangat ingin merdeka: Nah,
kami menyuburkan semangat ingin merdeka itu pada rakyat
indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama dengan
keinsafan kelas sebagai pergerakan kaum buruh umumnya, tetapi
terutama dengan keinsafan bangsa, dengan keinsafan nasionaliteit,
dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat yang dikuasai oleh bangsa
lain, tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban
jam, merasakan imperialisme bangsa lain, — tiap-tiap rakyat yang
diperintahi secara jajahan demikian itu, adalah berbudi akal
nasionalistis. Rasa pertentangan, yang di Eropa atau di Amerika,
berwujud rasa pertentangan kelas, oleh karena kaum yang berkuasa
dan kaum yang dikuasai di sana terdiri dari satu bangsa, satu kulit, satu
rasa, — rasa pertentangan itu di suatu negeri jajahan adalah menyatu
dengan pertentangan nasionalistis. Bukan terutama rasa
pertentangan si buruh terhadap si kapilistis, bukan terutama rasa
pertentangan kelas yang kita alami dalam suatu negeri jajahan, tetapi,

115
rasa pertentangan si hitam terhadap si putih, si Timur terhadap si Barat,
si terjajah terhadap si penjajah.
PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam
kesadaran nasioanlistis, di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang
nanti bisa membuka kenikmatan hari kemudian. PNI oleh karenanya,
menyubur-nyuburkan dan memelihara nasionalisme itu, dari
nasionalisme yang kurang hidup dibikin jadi nasionalisme yang hidup,
dari nasionalisme yang instinktif jadi nasionalisme yang sadar, dari
nasionalisme yang statis jadi nasionalisme yang dinamis, – pendek kata:
dari nasionalisme yang negatif jadi nasionalisme yang positif. Dibikin jadi
nasionalisme positif, Tuan-tuan Hakim, dibikin nasionalisme positif,
sebab dengan nasionalisme yang hanya rasa protes atau rasa dendam
saja terhadap imperialisme, kami belumlah tertolong. Kami punya
nasionalisme haruslah suatu nasionalisme yang positif, suatu
nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang mencipta,
suatu nasionalisme yang “mendirikan”, suatu nasionalisme yang
“mencipta dan memuja”. Dengan nasionalisme yang positif itu maka
rakyat Indonesia bisa mendirikan syarat-syarat hidup merdeka yang
bersifat kebendaan dan kebatinan. Dengan sekarang sudah menghidup-
hidupkan nasionalisme yang positif itu, maka ia bisa menjaga, jangan
sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang benci kepada bangsa
lain, yakni jangan sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang
chauvinistis atau jingo-nasionalisme yang agresif, sebagai yang kita
alami jahatnya dalam perang dunia yang lalu, — suatu jingo-
nasionalisme “of gain and loss” – sebagai kata C.R. Das – yang agresif,
yakni suatu jingo-nasionalisme yang bersemboyan “untung atau rugi”
dan menyerang kian kemari. Dengan nasionalisme yang positif itu,
maka rakyat Indonesia merasai kebenaran kalimat-kalimat Arabindo
Chose, yang mengatakan bahwa nasionalisme yang demikian itu adalah
sebenarnya Allah sendiri. Dengan nasionalisme yang demikian itu, maka
rakyat kami tentulah melihat hari kemudian itu sebagai fajar yang
berseri-seri dan terang cuaca, tentulah hatinya penuh dengan
pengharapan-pengharapan yang menghidupkan. Tidakkah lagi hari
kemudian itu dipandang olehnya sebagai malam yang gelap-gulita,
tidaklah lagi hatinya penuh dengan syak dan dendam belaka. Dengan
116
nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan rida dan suka hati
menjalankan segala pengorbanan untuk membeli hari kemudian yang
indah yang menimbulkan hasrat itu. Pendek kata: dengan nasionalisme
yang demikian itu rakyat kami akan bernyawa, akan
hidup, dan tidak laksana bangkai sebagai sekarang!
“Oleh karena rasa kebangsaanlah,” begitu pemimpin Mesir yang
termashur, Mustafa Kamil, menggambarkan nasionalisme positif itu:
“Oleh karena rasa kebangsaanlah, maka bangsa-bangsa
yang terkebelakang lekas mencapai peradaban,
kebesaran dari kekuasaan. Rasa kebangsaanlah yang
menjadi darah yang mengalir dalam urat-urat bangsa-
bangsa yang kuat dan rasa kebangsaanlah yang memberi
hidup kepada tiap-tiap manusia yang hidup”.50
Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada
bangsa. “Nasionalisme adalah-milik yang berharga yang memberi
kepada suatu negara tenaga untuk mengejar kemajuan dan memberi
kepada suatu bangsa tenaga untuk mempertahankan hidupnya,”51
begitulah Dr. Sun Yat Sen berkata.

Membangkitkan Nasionalisme:
Hari dulu, hari sekarang, hari kemudian

Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya


menghidupkannya? Jalannya adalah tiga:
Pertama : kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia
punya hari dulu, adalah hari dulu yang indah;
Kedua : kami menambah keinsafan rakyat, bahwa ia
punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang
Ketiga gelap;
: Kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya
hari kemudian yang berseri-seri dan terang
cuaca, beserta cara-caranya
mendatangkan hari kemudian yang penuh

117
dengan
janji-janji
itu.

118
Dengan lain perkataan, PNI membangkitkan dan menghidupkan
keinsafan rakyat akan ia punya “masa silam yang indah”, “masa yang
gelap gulita” dan; “janji-janji suatu masa depan yang melambai-
lambai, berseri-seri”. PNI mengetahui, bahwa hanya trimurti inilah
yang akan bisa menjadikan kembang Jayakusuma yang
menghidupkan kembali nasionalisme rakyat yang layu.
Kami punya hari dulu yang indah, kami punya masa silam
yang gemilang! Ah, Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang
tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang
keindahan itu, siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya
kebesaran-kebesarannya! Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup
semangat nasionalnya, kalau mendengarkan riwayat tentang
kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya, tentang kebesaran Mataram
yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga dan Kediri dan
Singasari dan Majapahit dan Pajajaran, – kebesaran pula dari
Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung! Siapakah
orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan
benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di
Madagaskar, di Persia dan di Tiongkok! Tetapi sebaliknya, siapakah
tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang
demikian kebesarannya hari dulu itu, pasti cukup kekuatan untuk
mendatangkan hari kemudian yang indah pula, pasti masih juga
mempunyai kebiasaan-kebiasaan menaik lagi di atas tingkat kebesaran
di kelak kemudian hari? Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat
nyawa baru dan tenaga baru, kalau ia membaca riwayat zaman dulu
itu! Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu
itu, lantas hiduplah rasa nasionalnya, lantas menyala lagilah api
harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu
nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.
O, memang, zaman dulu zaman feodal, zaman sekarang
zaman modern. Kami bukan mau menghidupkan lagi zaman feodal
itu; kami bukan pula mufakat dan cinta kepada aturan-aturan feodal

119
itu. Kami mengetahui kejelekan-kejelekannya bagi rakyat. Kami
hanyalah menunjukkan kepada rakyat, bahwa feodalisme kami hari
dulu itu adalah feodalisme yang hidup, feodalisme yang tidak sakit-
sakitan, feodalisme yang sehat dan bukan feodalisme yang
penyakitann, – feodalisme yang penuh dengan kemungkinan-
kemungkinan berkembang dan yang, umpamanya tidak diganggu
hidupnya oleh imperialisme asing, niscaya bisa “meneruskan
perjalanannya”, bisa “menyelesaikan evolusinya”, yakni niscaya bisa
hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan hidup mod-ern yang
sehat pula!52
Tetapi bagaimana pergaulan hidup kami hari sekarang ini?
Bukan sehat, bukan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan
berkembang, tetapi sakit-sakitan, “kosong”. Pada permulaan,
tatkala kami menggambarkan nasib rakyat Indonesia pada masa
ini, tatkala kami menceritakan caranya imperialisme mengobrak-
abrik pergaulan hidup kami itu, maka Tuan-tuan sudah mendapat
sedikit pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu, maka tuan-
tuan sudah mendapat sedikit pemandangan tentang keadaan hari
sekarang itu. Berhubung dengan sempitnya waktu, cukuplah sekian
saja, tak perlulah kami tambah-tambahi. Tetapi perlu sekalilah kami
terangkan di sini, bahwa keinsafan akan jeleknya nasib hari sekarang
inilah yang paling menghidupkan rasa nasional rakyat.
Memang bukan saja bagi rakyat kami, tetapi bagi tiap-tiap
rakyat lain dan tiap-tiap manusia, ti ap-tiap makhluk yang
bernyawa, pengetahuan akan suatu nasib yang jelek adalah sumber
keinginan akan nasib yang lebih nyaman baginya. Tidak ada keinginan,
tidak ada harapan, tidak ada nafsu, kalau tidak ada rasa tak puas
dengan keadaan yang ada. Itulah sebabnya, maka tiap-tiap
perkumpulan atau tiap-tiap surat kabar di tiap-tiap negeri dan di tiap-
tiap zaman, suka sekali “membongkar keadaan”, yakni suka sekali
membeber-beberkan keadaan-keadaan yang ia tidak sukai. Jikalau AID
de Preangerbode mengamuk perkara politik pemerintah sekarang
atau perperkara pergerakan rakyat yang ia takuti, jikalau PEB geger
120
membicarakan bahaya yang mengancam kepentingan imperialisme,
jikalau Vaderlandsche Club memaki-maki ke kanan dan ke kiri, maka
semua itu adalah oleh karena mereka tak senang akan keadaan
sekarang dan oleh karena mereka dengan menyiarkan mereka
punya ketidakpuasan atau ketidaksenangan itu, bermaksud
membangunkan atau mengeraskan lagi keinginan, harapan, nafsu
kaumnya akan keadaan yang lebih nyaman baginya. Begitu pula PSI,
Budi Utomo, Pasundan dan perkumpulan atau surat kabar Indonesia
mana pun juga, dengan mereka punya propaganda atau protes-
protes tak lain daripada bermaksud menyebarkan mereka punya
ketidaksenangan dan membesarkan lagi keinginan dan nafsu mereka
punya kaum.
Nah, kalau PNI lebih menginsafkan lagi rakyat Indonesia
akan kepahitan nasibnya hari sekarang itu, maka ia tak lain-pula dari
bermaksud memperkeraskan lagi keinginan dan harapan rakyat itu
akan keadaan-keadaan yang lebih layak. PNI mengetahui, bahwa
keinginan dan harapan inilah yang menjadi pendorong nafsu
berusaha, pendorong “nafsu mendirikan”, pendorong “nafsu
mengadakan”. PNI mengerti, bahwa makin mendalam keinsafan
rakyat akan getirnya nasib hari sekarang itu, membikin pula makin
rajin dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang
dan memeras tenaga untuk terkabulnya kesanggupan-
kesanggupan hari kemudian yang indah itu, – mengerti, bahwa
makin merasuk keinsafan akan perihnya hari sekarang itu di dalam
daging dan sumsum rakyat, membikin lebih hidupnya rasa nasional,
lebih berkobar-kobarnya nasionalisme positif yang memang sudah
menyala!
Orang boleh menamakan ini menyebarkan
“ketidaksenangan”, orang boleh menamakan ini “membikin pahit hati
dan dendam hati pada rakyat”, orang boleh mengatakan kami
penghasut, pembakar nafsu, ophitser, opruier – kami menjawab:
apa bedanya perbuatan kami itu sebagai tadi kami terangkan, dengan
perbuatan AID dna VC dan PEB dalam hakikatnya, apa bedanya dengan

121
perbuatan PSI, BU, Pasundan dan lain-lain? Lagi pula: kami tidak
pernah meninggalkan obyektivitas, kami tidak menyebarkan yang
dinamakan “keti daksenangan” itu untuk “ketidaksenangan”,
kami tidak “membikin pahit hati dan dendam” untuk membangkitkan
rasa kebencian dan rasa kedengkian atau nafsu-nafsu lain yang
rendah, – kami menyebarkan yang dinamakan
“ketidaksenangan” itu hanyalah untuk lebih menghidupkan dan
lebih mengeraskan lagi keinginan rakyat akan keadaan yang lebih
nyaman, lebih membesarkan kemuannya berusaha, lebih
menyuburkan nasionalisme positif adanya.
Kami di sini ingat akan pidato Dr. Sun Yat Sen yang
berkata: “Jikalau keadaan yang tadi saya gambarkan
itu….benar, maka haruslah kita menanam di dalam
ingatan kita, bagaimana berbahayanya kedudukan
kita sekarang ini dan betapa gentingnya waktu yang
sekarang kita jalani, barulah kita bisa mengetahui,
bagaimana caranya menghidupkan kembali
nasionalisme kita yang telah padam itu.” “jikalau kita
mencoba menghidupkan kembali dengan tidak mengerti
betul keadaan, maka akan hilangla segala harapan buat
selama-lamanya dan bangsa Tionghoa akan binasa.” “kita
sendiri harus mengetahui dulu keadaan-keadaan, kita
harus mengerti bahwa bencana-bencana ini sangat
mengancam, kita harus mendengungkannya ke mana-mana
sehingga tiap orang menjadi insaf betapa besar kesedihan
kita, jikalau bangsa kita sampai jatuh”.
“Apabila kita hendak mengobarkan nasionalisme,
maka haruslah lebih dulu kita insafkan bangsa kita yang
400 juta itu, bahwa saat matinya sudah dekat!”53

122
Artinya: membikin rakyat insaf akan keadaannya yang sengsara
itu, agar supaya nasionalismenya bangun dan ia mau bergerak, –
itulah pengajaran pemimpin besar ini. Itulah yang kami kerjakan pula.
Ketidaksenangan yang memang ketidaksenangan,
bukanlah bikinan kami; ketidaksenangan yang tulen dan asli itu,
adalah bikinan imperialisme sendiri!
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah bagian yang
pertama dan bagian yang kedua dari usaha PNI menyuburkan
semangat nasional itu: membangunkan keinsafan akan hari dulu dan
hari sekarang. Tentang bagian yang ketiga, yakni bagian
menunjukkan keindahan sinar hari kemudian beserta cara-cara
mencapainya, tentang bagian yang ketiga itu, kami, juga oleh
sempitnya tempo, tak usahlah panjang kata: sebab, segenap usaha
PNI akan pembentukan kekuasaan, segenap aksi PNI keluar dan ke
dalam, segenap gerak-bangkitnya, ya, segenap jiwa raganya PNI,
adalah cara-cara mendatangakan dan melaksanakan kesanggupan-
kesanggupan hari kemudian itu. Dan akan bisanya rakyat
Indonesia mencapainya, buat kami kaum PNI bukanlah teka-teki lagi:
rakyat Indo-nesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi
kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir sebagai bangkai,
rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan
mendirikan gedung kebesaran pula di kelak kemudian hari, pasti
bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya,
melebihi lagi ketinggian tingkat itu!
Tetapi wujudnya hari kemudian?
Bagaimana wujudnya hari demikian
itu?
Tidak ada satu manusia yang bisa menggambarkan hari
kemudian dengan seksama. Tidak ada satu manusia yang bisa
menetukan lebih dulu wujud hari kemudian menurut kemauannya.
Tidak ada satu manusia yang bisa mendahului riwayat. Kita hanya bisa
menetapkan ancer-ancerannya saja, kita hanya bisa mempelajari
tendensinya. Misalnya kaum Marxis pun tak bisa menunjukkan
123
wujudnya pergaulan hidup sosialistis dengan saksama, melainkan juga
hanyalah bisa mengetahui garis-garisnya yang besar dan tendensnya
belaka. Hari kemudian Indonesia kini hanyalah tampak sinarnya
saja yang indah sebagai sinar fajar yang akan menyingsing,
hanyalah kedengaran janji-janjinya saja sebagai merdunya gamelan
pada malam terang bulan yang kedengaran dari jauhan. Sebagai di
dalam cerita wayang sebelum ksatria Dananjaya datang, kita lebih dulu
sudah melihat sinar tejanya dan sudah mendengar nyanyian
burung-burung yang mengantarkan dan mengikutinya, –
begitulah pula datangnya hari kemudian yang indah itu kini sudah
dialamatkan lebih dulu kepada kita, yang menunggu-nunggunya
dengan hati yang mengharap-harap. Kita sudah mendengar janji-
janjinya akan rezeki berjuta-juta yang tidak diangkuti ke negeri
lain, akan peri kehidupan rakyat yang karena itu, senang dan
selamat, akan keadaan sosial yang sesuai dan memenuhi
kebutuhannya, akan susunan hidup politik yang secara kerakyatan
longgar, akan kemajuan seni, ilmu kebudayaan yang tak teralang-
alang. Kita dengar janjinya akan datang suatu Republik In-donesia
Serikat, yang hidup di dalam persobatan dan kehormatan dengan
bangsa-bangsa lain, akan suatu bendera Indonesia yang
menghiasi angkasa Timur. Kita mendengar janjinya akan suatu
bangsa yang teguh dan sehat, ke luar dan ke dalam….

Urat saraf pembentukan kekuasaan : Empat Macam

Tuan-tuan hakim yang terhormat, dengan menggambarkan


tiga bagian tentang hari dulu, hari sekarang dan hari kemudian itu,
maka kami sudahlah dengan singkat sekali menunjukkan usaha
PNI tentang nyawanya pembentukan kekuasaan, yakni nasionalisme,
kecintaan pada tanah air dan bangsa, rasa gembira atas
kebahagiaannya, rasa mengeluh atas kemalangannya. Marilah kami
sekarang menjawab pertanyaan, apakah urat-urat dan saraf-saraf
pembentukan kekuasaan PNI itu. Urat-urat dan saraf-saraf
124
pembentukan kekuasaan PNI adalah bertentangan dengan urat-urat
dan saraf-saraf sistem imperialisme di sini. Urat-urat dan saraf-saraf
sistem imperialisme yang terpenting adalah empat rupa:
Pertama : sistem imperialisme melahirkan politik divide
et impera, yakni politik memecah-mecah;
Kedua : sistem imperialisme menetapkan rakyat
Indonesia di dalam kemuduran;
Ketiga : sistem imperialisme membangunkan
kepercayaan di dalam hati dan pikiran rakyat,
bahwa bangsa kulit berwarna itu memang
bangsa yang kurang “karat”nya, dan bahwa
bangsa kulit putih memang “adhi-adhining”
bangsa;
Keempat : Sistem imperialisme membangunkan
kepercayaan di dalam hati dan pikiran rakyat
pula, bahwa kepentingan-kepentingan rakyat
itu adalah sesuai dan sama dengan kepentingan-
kepentingan kaum imperialisme itu, sehingga
rakyat itu jangan menjalankan politik
selfhelp dan politik ingin merdeka, tetapi
haruslah memeluk politik bersatu dengan kaum
pertuanan, yakni politik asosiasi54

Nah, sama sekali bertentangan dengan politik divide et


impera inilah, sama sekali bertentangan dengan politik yang
menetapkan rakyat di dalam kemunduran; sama sekali berhadap-
hadapan dengan politik yang bermaksud “memasukkan pikiran
tentang kurang harganya bangsa berwarna dan tinggi harganya
bangsa kulit putih”, sama sekali kontra politik asosiasi itulah urat-
urat dan saraf-saraf pembentukan kekuasaan PNI.

a. Kontra politik memecah belah

125
PNI menjawab politik divide et impera itu dengan
mendengungkan tekad persatuan Indonesia, menjawab politik yang
memecah belah itu dengan dayanya mantram nasionalisme
Indonesia yang merapatkan barisan. Dari zaman dulu sampai zaman
sekarang, beradab-adablah rakyat kami itu kemasukan baji pemecah
tak berhenti-hentinya, baik di zaman kompeni maupun di zaman
modern. Memang di dalam perceraian dan di dalam
ketidakrukunan itulah letaknya kelemahan kami, di dalam
perceraian kami itulah letaknya kemenangan musuh. “Verdeel en
heers”,55 — itulah mantram tiap-tiap rakyat yang mau mengalahkan
rakyat lain, mantram imperialisme di mana-mana zaman dan di
mana-mana negeri. “Verdeel en heers” adalah mantram bangsa Roma
yang memang penemu mantram itu, adalah mantram bangsa Spanyol
dan Portugis di zaman dulu yang mengibarkan benderanya di
negeri-negeri orang lain, adalah mantram bangsa Inggris
mendirikan ia punya kerajaan dunia “British Empire”.
Dengarlah bagaimana Prof. Seeley di dalam bukunya
yang termashur “The Expansion of England” menceritakan “politik
divide et impera” di India:
“Jikalau Inggris, yang bukan negeri militer itu,
dengan sesungguhnya harus menguasai penduduk yang
beberapa juta jumlahnya dengan suatu kekuatan militer
Inggris, tak perlu dikatakan, bahwa beban yang sebesar
itu melebihi kekuatan kami. Tapi tidaklah demikian
halnya, oleh karena Inggris menaklukkan India dan
tetap menguasainya terutama dengan bantuan pasukan-
pasukan India dan dengan uang India…. Jika sekiranya di
India bisa timbul suatu gerakan nasional, seperti yang kita
lihat di italia dulu, maka kekuasaan Inggris belum lagi akan
bisa memberikan perlawanan sekuat perlawanan Ustria di
Italia, tapi segera tentu roboh”. “Suatu kumpulan orang
seorang-seorang, yang tidak terikat oleh perasaan-

126
perasaan dan kepentingan-kepentingan yang sama, mudah
ditaklukkan, oleh karena mereka bisa diadu-dombakan.”
“Seperti Tuan lihat, pemberontakan itu sebagian besar
bisa dipadamkan dengan jalan mengadu-dombakan
rakyat India yang satu dengan yang lain.”56
Dan di Indonesia pun imperialisme-tua dan imperialisme-
modern tak lupa akan kemajuan mantram itu; di Indonedia pun baji-
pemecah tak berhenti-hentinya bekerja:
“- musuh-musuhnya yang paling berbahaya
dilumpuhkannya sehingga hampir-hampir tidak bertenaga
apa-apa lagi dengan menjalankan politik “divide et
impera”;……..kemenangan-kemenangan yang paling
gemilang didapatnya dengan senjata orang yang lemah,
perhitungan yang licik dan tipu daya”-
begitulah Prof. Veth menggambarkan politik imperialisme-tua di
Indo-nesia itu dan Clive Day menulis:
“Divide et impera”, itulah peribahasa asli yang dituruti
apabila berhubungan dengan kerajaan-kerajaan anak negeri
dan itulah asas yang dipakai buat sebagian besar oleh orang
Belanda untuk mencapai hasil yang baik,”57
Imperialisme tua kini sudah mati; tetapi tidak matilah warisan
yang diberikannya kepada imperialisme-modern, yakni warisan japa-
mantram “divide et impera” yang ampuh, yang bertuah itu. Tidak
sebagai dulu, dipakai menakluk-naklukkan dan melebar-lebarkan
jajahan, -kini semua pulau sudah takluk, “pembulatan batas negara”
(staatsafronding) sudah selesai,- tidak sebagai dulu dibarengi dengan
gemerincingnya pedang, detusnya bedil dan gunturnya meriam, tetapi
dipakai untuk mengekalkan apa yang sudah tercapai dengan melalui

127
(menurut kata Stokvis) “jalan-jalan yang lebih sunyi”, “stillere
wegen”.
Memang, semua kepulauan sudah takluk, “pembulatan
batas negara” sudah selesai, –lahirnya Indonesia dibikin sau, lahirnya
diikat di dalam satu persatuan, tetapi persatuan” ini, menurut
perkataan seorang sosialis adalah suatu:
“persatuan yang ditaklukkan, yang hanya persatuan
ketaklukkan belaka,”58
dan amboi…..janganlah batinnya menjadi satu,
janganlah semangatnya kemasukan nasionalisme dan menjadi
semangat bangsa! Sebab kaum imperialisme tahu, bahwa suatu
rakyat yang tiada nasionalisme dan tiada semangat bangsa adalah
sebagai Dr. Sun Yat Sen mengatakan, hanya “a sheet of loose sand”
belaka, sebagai pasir yang meluruh dan ngeprul dan tiada
hubungan satu sama lain, yang bisa ditiuptiupkan ke mana-mana
dan bisa dikorek semau-maunya….,
Semangat, semangatlah yang terutama oleh sistem
imperialisme-modern itu dijatuhi mantram, di-”pecah-pecah” supaya
sistem itu bisa “memerintah” selama-lamanya. Semangatlah yang
terutama dimasuki baji-pemecah agar supaya tidak bisa menjadi
semangat nasionalisme yang masuk sebagai semen di dalam pasir
yang ngeprul itu dan membikin daripada satu blok beton
mahabesar yang tak bisa hancur walaupun dimeriam.
Kaum imperialisme-modern tak lupa akan wejangan
karuhun-karuhunnya itu. Japamantram “divide et impera” tak lupa
saban hari, saban jam dikemah-kemihkan. Bilamana India
menyatakan diri adalah suatu bangsa yang ditaklukkan, “begitulah
Prof. Seeley mengajarkan padanya,59
“Bilamana India menyatakan diri adalah….suatu bangsa
yang ditaklukkan, kita pun segeralah tahu bahwa kita tidak
mungkin akan bisa mempertahankannya”… “Apabila, oleh
128
suatu sebab, penduduk mulai merasa tergolong dalam
satu kebangsaan, maka saya tidak akan berkata ada
alasan kita khawatir akan keselamatan pemerintahan kita;
tidak, saya akan berkata: kita harus segera melepaskan
segala harapan!”
“Segera melepaskan segala harapan!” “Onmiddellijk alle
hoop opgeven!” Sesungguhnya, suatu ajaran yang mendahsyatkan!
Tetapi, tidak, tidak usah dahsyat dan kurang tidur! Sebab tidakkah
cukup surat-surat kabar sebagai AID de Preangerbode, Java Bode,
Nieuws van den Dag, de Locomotief, Soerabajaasch Hahdelsblad, dan
lain-lain yang saban minggu, saban hari, biasa menebar-nebarkan
benih pemecahan itu, berisi caci-maki atas tiap usaha persatuan dan
atas tiap usaha membangunkan nasionalisme dari pihak “inlander”
(bumiputra)? Tidakkah bahasa Indo-nesia, yakni bahasa persatuan
akan lekas dihapuskan dari sekolah-sekolah dan tidakkah sistem
pendidikan di sekolah-sekolah itu sudah membunuh tiap-tiap rasa
kebangsaan?60 Tidakkah masih ada seorang Colijn, yang dengan
bukunya “Koloniale Vraagstukken van Heden en Morgen”
mencoba mewujudkan asas divide et impera itu di dalam suatu
susunan administrasi pemerintahan yang bernama
“eilandgouvernementen” -pemerintahan sepulau-sepulau–, masih ada
seorang De Kat Angelino yang membikin tebal yang penuh dengan
lafal-lafal pembunuh nasionalisme Indonesia itu? Tidakkah masih ada
seorang Couvreur, yang di dalam suatu nota memujikan kepada
pemerintah:
“ pembukaan Pulau Bali untuk missi dan
pengkristenan penduduknya. Dengan begitu di masa depan
akan didapat suatu pulau Bali yang beragama Room-Katolik,
yang akan merupakan baji antara Jawa dan pulau-pulau di
sebelah timur. Baji seperti itu sudah ada antara Aceh dan
Minangkabau, yakni: negeri Batak yang sudah
dikristenkan”,61
129
–tidakkah masih ada seorang Couvreur yang memujikan baji
yang demikian itu, sehingga dari kalangan bangsa Indonesia-Kristen
terdengar protes yang berbunyi:
“Astaga, suatu baji Kristen! Haruskah kita, bangsa
Indonesia Kristen, yang meskipun berbeda agama dengan
orang lain bangsa kita, adalah putra-putra Ibu Indonesia
juga, — haruskah kita membiarkan agama kita yang suci itu
dipakai buat maksud itu? Haruskah kita membiarkan agama
Kristen yang luhur itu dipakai sebagai alat untuk mencegah
persatuan kebangsaan kita dan untuk mengasingkan putra-
putra Ibu Indonesia yang satu dari yang lain?”62
Pendek kata, tidakkah di mana-mana masih ada sistem,
yang menjaminkan padamnya semangat itu dan menjaminkan
kekalnya perceraian antara “Inlander” dengan “Inlander” itu?
Tetapi kami, yang ingin kuasa, kami pun tak usah kurang tidur!
Kami pun kini mempunyai japa-mantram yang malahan nantinya
tentu lebih ampuh daripada mantram divide et impera itu, kami
pun tak sia-sia berguru di dalam pertapaan Sanghyang Merdeka,
yang mewejangkan pada kami saktinya ilmu “bersatu kita teguh,
bercerai kita jatuh!’ Kami pun memperhatikan, pula pengajaran Prof.
Seely tadi itu, tetapi di dalam kami punya arti, di dalam kami punya
makna!
Persatuan Indonesia, Tuan-Tuan Hakim, persatuan Indonesia,
yang menggabungkan segenap rakyat Indonesia itu menjadi satu
umat, satu bangsa, itulah urat dan saraf pembentukan kekuasaan
PNI yang pertama.

b. Kontra kemunduran, yakni kontra dekadensi akal budi


Dan yang kedua? Urat saraf pembentukan kekuasaan kami
yang kedua adalah kontra urat saraf sistem imperialisme yang
kedua pula. Sistem imperialisme mau menetapkan rakyat kami di
130
dalam kemunduran, –wahai, kami mau menjunjung rakyat kami
daripada kemunduran itu! Kami mengetahui: kemunduran budi-akal
rakyat adalah kepentingan sistem imperialisme di sini. Sebab
imperialisme di sini bukanlah terutama imperialisme dagang:
imperialisme di sini adalah sebagai kami terangkan di muka, yang
paling hebat terutama di dalam saktinya yang keempat, yang paling
hebat di dalam mengusahakan Indonesia sebagai daerah
pengusahaan dari kapital lebih. Ia adalah paling hebat di dalam
usahanya sebagai industri-industri pertanian, industri pertambangan,
industri biasa dan perusahaan lain-lain,– yakni semua perusahaan
yang butuh akan kaum buruh murah, akan penyewaan tanah
murah, akan kebutuhan-kebutuhan rakyat yang murah. Untuk
kemurahan hal-hal ini, maka rakyat kami dibikin rakyat yang
“hidup kecil” dan “nrima”, rendah pengetahuannya, lembek
kemaluannya, sedikit nafsu-nafsunya, padam kegagahannya,– rakyat
“kambing” yang bodoh dan mati energinya!
Di muka sudah kami beberkan penyelidikan Prof. Van
Gelderen yang membuktikan kepentingan imperialisme ini atas
kemunduran sosial-ekonomi rakyat; nah, kemunduran budi-akal pun,
adalah kepentingannya!
Di dalam Welvaartsverslag 63 deel IX b 2, halaman 172,
kami membaca:
“Rakyat desa dan kepalanya dan kampungnya dari
dulu merupakan “si orang kecil”, si rendah bakti,….
yang oleh karenanya harus ditetapkan rendah
selamanya, -pembayar pajak yang paling setia. Sebaliknya
kaum priayi termasuk kaum yang memerintah dan untuk
kepentingan umum perbedaan ini harus dibikin seterang-
terangnya. Seluruh pergaulan hidup di sini berdiri atas
dasar ini….Meskipun untung sekali orang makin baik
memelihara kepentingan si kecil,…… ia harus tetap kecil!”

131
“Ia harus tetap kecil”, Tuan-tuan Hakim, — dia harus
tetap “hidup kecil” dan “nrima”, tetap rakyat “kambing”
yang harus menurut saja! Berpuluh tahun sistem ini
bekerja, ya, berabad-abad sistem ini menjalankan
pengaruhnya. Herankah Tuan-tuan, kalau Ny. Augusta
de W it di dalam bukunya “ Natuur en Menschen In
Indie”’ menulis:
“Ketidakadilan sudah berjalan terlalu lama; akalbudi
orang sudah tumbuh sesuai dengan itu, tumbuh kerut
merut. Akal pikiran sudah menjadi bengkok dan kerdil,
kemauan lemah terkulai.”64
Herankah Tuan-tuan, kalau PNI menuliskan perlawanan
kepada dekadensi akal budi ini di atas panji-panjinya? Kami, kaum
PNI, kami mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan
lebih banyak pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat,
mengurangi buta huruf di kalangan rakyat. Kami mencoba
membangkit-bangkitkan dan membesar-besarkan kemauan rakyat
akan nasib yang lebih mirip nasib manusia, menyalakan lebih banyak
nafsu-nafsu di dalam kalbu rakyat. Kami berusaha menghidup-
hidupkan lagi kegagahan rakyat, tenaga kemauan rakyat, energi
rakyat sebagai sediakala, –rakyat yang kini “sudah mati kutunya”’ itu,
“rakyat kambing” yang menurut Prof. Veth:
“semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-
kutunya”, karena “tak luput dari bekerjanya obat tidur
penjajahan yang lama di bawah bangsa asing yang lebih
kuat”!65
Energi rakyat inilah salah satu urat saraf pembentukan
kekuasaan kami, — salah satu urat saraf penolak daya imperialisme,
tetapi terutama sekali ialah urat saraf pendorong rakyat ke depan!

132
c. Kontra penamaan kepercayaan, bahwa kami bangsa kelas kambing
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo memaksa kami
membicarakan urat saraf pembentukan kekuasaan PNI yang nomor
tiga dengan cara yang sesingkat-singkatnya pula.
Urat saraf yang nomor tiga ini adalah bergandengan sekali
dengan urat saraf nomor dua itu, yakni bergandengan sekali dengan
urat saraf penolak daya yang mengambing-ngambingkan itu.
Sebab sistem imperialisme di sini tidaklah berkepentingan saja atas
kemunduran sosial ekonomi dan kemunduran akal budi rakyat
kami itu, — sistem imperialisme di sini adalah pula berkepentingan
atas halnya rakyat itu percaya, bahwa ia memang suatu rakyat kelas
kambing.
Di atas sudah kami tunjukkan, bahwa kaum imperialisme
itu, sebagai kaum imperialisme di mana-mana saja, adalah
menutupi-maksudnya yang sebenar-benarnya. Mereka menutupi
dengan macam-macam teori yang manis, mereka mengatakan
bahwa maksudnya bukanlah urusan rezeki, bukanlah urusan yang
begitu “kasar” – tetapi maksudnya adalah “mendidik” kami dari
bodoh ke arah kemajuan, dari “tidak matang” dijadikan “matang”,
pendek kata, mereka mau memenuhi suatu “suruhan suci”, yakni
suatu “mission sacree”.
Mereka mengatakan, bahwa mereka itu tidaklah
mendapat keuntungan apa-apa, tidaklah mendapat manfaat apa-
apa, melainkan malahan mendapat rugi belaka, malahan mendapat
beban belaka, — yakni malahan mendapat “burden”, “white man’s
burden”66 menjunjung dan memikul kami ke atas kemajuan!
Maka untuk “lakunya” teori “mission sacree” ini, untuk
“lakunya” teori ‘white mans’burden” itu, perlu sekalilah kaum kulit
coklat itu dimasukkan ke dalam kepercayaan, bahwa mereka dalam
hakikatnya memang suatu bangsa inferieur atau “kurang karatnya”,
bahwa sebaliknya bangsa kulit putih adalah bangsa yang memang
133
superieur, bangsa yang memang “adhi adhining” bangsa, — dan
bahwa karena itu sudah semestinya bangsa yang “inferieur” ini harus
“dituntun” oleh bangsa yang “superieur” itu dengan
…….imperialismenya!
“Itu Tuan-tuan rambut jagung,” – begitulah Karl Kautsky di
dalam bukunya tentang suku bangsa dan bangsa Yahudi
menggambarkan pendirian bangsa “rambut jagung” itu terhadap
bangsa Yahudi:
“Itu Tuan-tuan rambut jagung mengunggul-unggulkan
diri sendiri sebagai orang yang paling budiman, paling
mulia hati dan paling kuat, kepada siapa orang lain harus
mengabdikan diri”,67
dan adakah pendiriannya terhadap bangsa-bangsa Asia berbeda,
adakah pendiriannya terhadap bangsa kami berlainan? Tidak, tidak
berbeda, tidak berlainan, -tidak kurang kerasnya di Indonesia
bekerja sistem menanamkan kepercayaa dalam hati kalbu
rakyat, bahwa mereka memang superieur, kam memang inferieur,-
tidak kurang kerasnya di sini menyala kesombongan si kulit putih,
tidak kurang kerasnya di sini merajalela rasa “Iyeu aing uyah kidul!”
Pastor van Lith, orang alim yang tulus hati itu, belum lama
berselang di dalam buku kecilnya yang termashur68, menulis:
“Tetapi, walaupun mereka itu sama sekali tidak
termasuk golongan pencuri-pencuri cengkeh pada waktu
dulu, mereka ikut menerima warisannya. Mereka semua
menerima bagian dari warisan kompeni yang termashur itu.
Mereka itu datang di Hindia sebagai turunan Tuan-tuan
yang XVII yang mahakuasa itu, sebagai putra-putra
yang memerintah, dengan kesombongan turunan
yang memerintah terhadap yang diperintah.
Barangkali mereka itu tidak sadar akan
kesombongannya, tetapi mereka mempunyai sifat
itu. Barangkali mereka tidak sombong tatkala berangkat dari
134
negeri Belanda, mungkin sekali; tapi apabila mereka sudah
tiba di Hindia, maka mereka tidak luput dari
kesombongan itu. Keadaan di sekitarnya mempengaruhi
mereka. Yang seorang banyak, yang lain kurangan, tapi
semua mereka terjangkiti sebagian oelh penyakit
kesombongan bangsa itu. Pergaulan hidup Belanda seperti
yang sekarang hidup terus di….Hindia, adalah penerusan
perusahaan dagang kompeni dulu, dan tiap orang Belanda,
biarpun dia katolik, ….hidup dalam suasana kedai
rempah-rempah yang besar itu…..dan hidup untuk
keperluan perusahaan yang besar itu, hidupnya sendiri
dan keselamatannya sendiri tergantung kepada terus
hidupnya dan suburnya perusahaan itu.”
Lebih terang sebagai di sini, tidak bisalah dinyatakan, bahwa
rasa keunggulan itu adalah salah satu urat saraf dari perusahaan besar
“reuzen-onderneming” itu. Memang, tidak kurang-kuranglah kita
mendengar cacian “Inlander seperti kerbau”, “inlander goblok”,
“inlander bodoh, kalau nggak ada kita modar lu”, beserta lain-lain
“pujian” lagi yang “segar”! Tetapi, walaupun begitu, bukan terutama
dalam ucapan-ucapan sombong orang Eropa itu letaknya bahaya yang
terbesar buat kami, bukan terutama di dalam ketinggian hati suatu
bangsa kulit putih itu letaknya bencana batin dari rakyat kami, —
bahaya yang paling besar dan bencana yang paling merusak adalah
sistem yang tak pedot-pedot, yang tak terhambat-hambat
menginjeksikan kepada rakyat kami racun kepercayaan “kamu
Inlander bodoh, kamu modar kalau tidak kita tuntun” itu. Sebab injeksi
ini lama-lama “makan”! Berabad-abad kami mendapat cekokan
“inlander bodoh”, berabad-abad kami diinjeksi rasa kurang karat;
turun temurun kami menerima sistem ini, ketambahan lagi
kami ditetapkan “rendah” dan ditetapkan “kecil” sebagai laporan
tentang kemakmuran itu tadi mengatakan , dipadam-padamkan
segenap energi kami, sekarang percayalah kebanyakan bangsa

135
kami, bahwa kami, sesungguhnya , memang adalah bangsa kurang
karat yang tak bisa apa-apa! Hilanglah tiap-tiap kepercayaan atas
kebisaan sendiri, hilanglah” tiap-tiap rasa kegagahan, hilanglah tiap-
tiap rasa percaya pada diri sendiri dan keperwiraan. Kami, sediakala
adalah bangsa yang ikut menjunjung tinggi obor kebudayaa Timur
dan kebesaran Timur, yang dulu begitu insaf akan kebisaan diri dan
kepandaian diri, kami sekarang menjadi rakyat yang sama sekali
hilang keinsafan itu. Kami menjadilah kini rakyat yang mengira, ya,
percaya, bahwa kami memang adalah rakyat yang “inferieur”.
Kini di mana-mana terdengarlah kesah: “yah, kami memang bodoh
kalau tidak ada bangsa Eropa, bagaimana kami bisa hidup!”
O, Tuan-tuan Hakim, bagaimana baiknya kalau kami
bisa membongkar bencana batin yang demikian ini! Bagaimana
baiknya kalau kami bisa menanamkan lagi dengan sekejap
mata saja “wahyu Cakraningrat” yang meniadakan rantai roh yang
mengikat itu! Tuan-tuan tentu mengerti bahwa perasaan “memang
kurang karat” atau perasaan inferioriteit itu adalah racun bagi
kemajuan tiap-tiap bangsa, rem yang sejahat-jahatnya bagi gerak
suburnya atau evolusi tiap-tiap rakyat.
Herankah Tuan-tuan , kalau Tuan melihat PNI membanting
tulang memberantas perasaan inferioriteit, memeras keringat dan
tenaganya memberantas segala perasaan “ini tak bisa itu tak bisa” ini,
memboongkar teori “mission sacree” dan “white man’s burden”
dengan akar-akarnya, — mengembalikan lagi kepercayaan di dalam
kalbu rakyat, bahwa bangsa kami, asal saja diberi kesempatan,
mempunyai kebisaan-kebisaan yang tak kalah dengan kebisaan-
kebisaan bangsa lain? Herankah Tuan-tuan, kalau melihat PNI
membongkar-bongkar kebohongan kata, bahwa dunia Timur akan
menjadi biadab sama sekali, kalau tidak ada dunia Barat? Tidak, bagi
kami kaum Partai Nasional Indonesia bagi kami tidaklah syak wasangka
lagi, bahwa “inferioriteit” atau “kebodohan” kami itu bukanlah
“inferioriteit’ dan kebodohan” yang memang sifat hakikat asli
bangsa kulit berwarna, tetapi hanyalah “inferioriteit” dan
136
kebodohan” yang terbikin dan terinjeksikan belaka, — tidaklah pula
kami syak wasangka lagi atas kebenaran kalimat Karl Kautsky yang
memang kami sudah dalilkan itu yakni kalimat:
“tetapi orang yang tidak punya apa-apa dengan
sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga
kekurangan peradaban,”
dan bahwa teori “mission sacree” itu hanyalah benar di dalam
lahirnya saja, hanya. “Seolah-olah saja peradaban berkuasa atas
kebiadaban!”69 Lahirnya saja, Tuan-tuan Hakim, lahirnya!
Lahirnya saja kami bangsa yang kurang karat, lahirnya saja
kaum imperialisme kaum yang lebih superieur di dalam
hakikatnya. Memberantas pandangan yang salah ini, memberantas
rasa kurang karat, itulah kami punya urat saraf pembentukan
kekuasaan yang ketiga. Dengan memberantaas rasa kurang karat itu,
maka PNI menaruh salah satu syarat yang terpenting bagi politiknya
“percaya pada diri sendiri”, “bekerja sendiri untuk sendiri”, —
yakni syarat bagi politiknya “self-reliance” atau “self-help”!

d. kontra politik persatuan dengan kaum sana


Marilah kami sekarang membicarakan urat saraf
pembentukan kekuasaan kami yang keempat. Juga di sini kami bisa
singkat kata. Sebab tadi sudah kami terangkan, bahwa di dalam tiap-
tiap negeri jajahan ada pertentangan kepentingan antara kaum
imperialisme dan Bumiputra, di atas tiap-tiap lapangan, baik lapangan
ekonomi, maupun lapangan sosial, baik lapangan politik maupun
lapangan apa saja pun. Tak benarlah ajaran kaum imperialisme
bahwa kedua pihak itu mempunyai persamaan kepentingan, dan
oleh karenanya, tak benarlah pula ajarannya, bahwa sebab itu,
jajahan harus selamanya bersatu dengan “negeri induk” dan bahwa
sebab itu, kami harus menjalankan politik bersatu dengan kaum sana,
yakni politik asosiasi.

137
Tidak, PNI tidak mau mengakui persamaan kepentingan itu,
tidak mau menjalankan politik asosiasi itu. PNI adalah teguh di
dalam keyakinanny, bahwa di sini ada pertentangan kepentingan, ada
antitese kepentingan, sebagaimana pula diakui oleh banyak kaum
Eropa yang tulus hati. PNI teguh di dalam keyakinannya, bahwa
dengan adanya pertentangan kepentingan itu tidak ada satu
jajahan yang bisa membereskan semua pergaulan hidupnya
dengan sempurna, kalau pertentangan kepentingan itu belum
berhenti adanya,– yakni kalau jajahan itu belum berhenti menjadi
jajahan! PNI adalah karena partai kemerdekaan,– partai
kemerdekaan nasional. Dan kemerdekaan tidak akan
“dihadiahkan” oleh imperialisme yang sekarang berusaha
“mematangkan” kami dulu, sebab kemerdekaan adalah
ruginya imperialisme itu. Kemerdekaan adalah hasil yang kami
sendiri harus usahakan, yang kami sendiri harus lahirkan, yang
kami sendiri harus ciptakan dan pujikan! Politik asosiasi adalah
bertentangan dengan faham kepribadian ini, politik asosiasi adalah
mengeruhkan keadaan. Di dalam suatu jajahan ada antitesa
kepentingan, – nah, politik kami haruslah berdiri, di atas antitese itu
juga. Siapa orang Indonesia yang tidak berdiri di atas antitesa ini di
dalam politiknya, ia adalah ngelamun! PNI tidak mau ngelamun, PNI
tidak mau terapung-apung di atas awan angan-angan, – PNI mau
berdiri di atas keadaan yang sebenarnya, di atas realiteit. Tidak, bukan
politik asosiasi, tetapi politik antitesalah yang menjadi urat saraf
pembentukan kekuasaan PNI yang keempat. Dengan politik antitesa
ini, maka ia menarik garis yang terang antara sini dan sana,
memisahkan golongan sini dari golongan sana, — menjernihkan
keadaan menjadi sejernih-jernihnya!

Badan Lahirnya Pembentukan Kekuasaan

Tuan-tuan Hakim, kami sekarang tinggal menerangkan satu hal


lagi dari pembentukan kekuasaan kami. Kami sudah menerangkan,
138
nyawa pembentukan kekuasaan kami, yakni nasioalisme. Kami
sudah menerangkan pula urat-urat dan saraf-saraf pembentukan
kekuasaan itu, yakni persatuan Indonesia, memerangi kemunduran
akal budi rakyat, memberantas perasaan rendah diri, menjalankan
politik antitesa. Kami sekarang harus menerangkan anggota-anggota
pembentukan kekuasaan kami itu, – badan lahirnya, badan wadagnya.
Badan lahirnya pembentukan kekuasaan PNI?
Badan lahir pembentukan kekuasaan PNI sebagai
yang diinginkannya, adalah massa.70 Idam-idaman PNI bukanlah satu
partai dari puluhan atau ratusan orang saja, bukanlah perkumpulan
segundukan kaum “politikus salon” saja yang pekerjaannya
sehari-hari hanya menggurutu saja, -idam-idaman PNI ialah suatu
pergerakan massa yang sehebat-hebatnya, suatu massa-aksi, yang
membangkitkan ribuan, laksaan, ketian, ya, milyunan rakyat tua
muda, laki-perempuan, pandai-bodoh, menak dan somah! Hanya
dengan massa-aksi yang demikian itulah, menurut keyakinannya,
pembentukan kekuasaannya bisa menjadi sempurna. Hanya dengan
massa-aksi yang sebagai banjir yang mahakuasa dan tak dapat dicegah
majunya., massa-aksi yang sebagai gelombang melimpahi seluruh
Indonesia, dari Aceh sampai ke Fak-fak, hanya dengan massa-aksi
yang begitu, pembentukan kekuasaannya bisa menjadi kekuasaan
yang sebenar-benarnya. Air-air Indonesia yang tenag sejak
berwindu-windu, air-air Indonesia itu PNI ingin mengalirkannya,
sumber sambung sumber, sungai sambung sungai, samudra sambung
samudra, sehingga kahirnya menjadi aliran yang mahalebar dan
mahatinggi, bergelombang-gelombang menuju ke satu arah. Dengan
badan lahir yang sebagai raksasa itu, dengan urat saraf empat shakti
sebagai yang tadi tadi kami terangkan, dengan nyawa nasionalisme
yang berkobar-kobar di dalam kalbu maka sepanjang idam-
idaman PNI pembentukan kekuasaannya menjadilah sebagai
Krishna Tiwikrama,–hebat, tidak teralahkan!

Massa-aksi
139
Krishna Tiwikrama! Jadi toh revolusi, jadi toh hamuk
sebagai “hamuk Jayabinangun”, jadi toh huru hara atau setidak-
tidaknya menjungkirkan hukum?
Bukan, sekali lagi bukan!
Bukan pelanggaran hukum atau revolusi, — tetapi suatu
massa-aksi yang aman tetapi hebat, suatu massa-aksi yang teratur
tetapi dahsyat, sebagai misalnya massa-aksi SDAP “tatkala dua puluh
tahun yang lalu, berjuang merebut hak pilih umum. Adakah di dalam
massa-aksi SDAP pada waktu itu, tatkala puluhan, ratusan ribu
manusia bergerak, bom-boman atau dinamit-dinamitan,
pengrusakan keamanan umum, pelanggaran kekuassan
pemerintah? Adakah SDAP di dalam massa-aksi untuk hak pilih itu
mengalirkan darah, adakah pemimpin-pemimpinnya kena hukuman
lantaran melanggar pasal ini atau pasal itu?
Tuan-tuan Hakim, rakyat Belanda sekarang merasa besar
hatilah atas kemenangan demokrasi itu; kami pun ikut mengucap
syukur atasnya, kami pun ikut berseru: “bahagia, bahagialah kamu
dengan hak pilih umum itu, hai, bangsa Belanda!” – Tetapi……
marilah kita ingat sebentar, bagaimana rakyat Belanda itu caranya
mendatangka hak pilih umum itu, bagaimana caranya kemenangan
demokrasi itu didatangkan! Tak lain tak bukan,–dengan massa aksi!
Dengan massa-aksi yang bergelombang-gelombang melimpah
seluruh negeri Belanda, membangkitkan seluruh energinya rakyat,
mengelektrisasi sekujur badannya bangsa, -massa aksi yang hebat dan
kini tertulis dengan huruf emas di dalam buku riwayat bangsa
Belanda dan mendatangkan aturan pemerintah yang modern!
Massa-aksi yang demikian hebatnya itulah yang diidam-
idamkan oleh PNI, massa-aksi yang hebat dan mahakuasa, yang juga
menggetarkan seluruh tubuhnya rakyat dan juga mengelektrisasi
sekujur badannya bangsa,–massa aksi yang bergelombang-
gelombang menuju ke arah maksudnya, tidak dengan bermaksud –
iseng-iseng langgar-langgaran undang-undang sebagai yang
140
dituduhkan kepada kami dalam proses ini, tidak pula dengan senjata
bom atau bedil atau gas racun atau “ramai-ramaian” apapun juga,
melainkan hanyalah dengan senjata semangat yang berupa
nasionalisme beserta empat urat saraf itu tadi saja, sebab senjata
semangat ini, asal sudah cukup mengasahnya, sudah bisalah
membikin kami mahasakti dan tak dapat ditundukkan, yakni
bisa membangkitkan desakan “kekerasan batin”, moreel geweld,
yang mahabesar, sehingga maksud kami tentu dapat tercapai!
Kami kembali lagi: badan lahirnya pembentukan kekuasaan
PNI kami cari di dalam rakyat murba yang berjuta-juta itu, di dalam
masa yang berkerumun-kerumun sebagai semut.
Aha! AID sering menulis atau saksi Albreghs ala Colijn berkata-
jadi, gantinya PKI, jadi, gantinya, Gombinis”!! Satu “logika” lagi yang
kocak, Tuan-tuan Hakim!
“Logis”, bukan? PNI didirikan tidak lama sesudah PKI mati PNI
sering menunjukkan sikap anti-imperialisme sebagai PKI,
PNI mau menggerakkan massa sebagai PKI, jadi PNI sama dengan PKI,
jadi, merah putih kepala banteng sama dengan merah martil arit, jadi,
nasionalis Indonesia sama dengan “Gombinis”!
Walaupun begitu, -walaupun “logika” yang begitu “logis” itu,–
PNI bukan “Gombinis”! PNI memang didirikan di dalam tahun 1927,
memang anti-imperialisme, memang suatu partai massa, memang
suatu partai yang kromoistis dan marhaenistis, memang
dikhawatirkan oleh dr. Cipto akan lekas dituduh dan ditindas
sebagai gantinya PKI, tetapi bukan “Gombinis”, PNI bukan
“heimelijke opvolgster”71 dari Partai Komunis In-donesia!
PNI adalah suatu partai nasionalisme revolusioner sebagai
yang kami terangkan tadi, dan massaisme, kromoisme,
marhaenisme PNI tidakklah karena faham “Gombinis”, melainkan
ialah karena susunan pergaulan hidup Indoesia yang memang
menyuruh PNI memeluk kromoisme dan marhaenisme itu!

Marhaenisme
141
Menyuruh memeluk kromoisme? Tuan-tuan Hakim,
menyuruh memeluk kromoisme, sebagaimana susunan pergaulan
hidup Eropa menyuruh kaum sosialis memeluk proletarisme pula!
Sebab susunan pergaulan hidup Indonesia sekarang adalah
pergaulan merk Kromo, pergaulan hidup merk Marhaen, -pergaulan
hidup yang sebagian besar sekali adala terdiri dari kam tani kecil, kaum
buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata:
……. kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil!
Suatu golongan borjuis nasional72 yang kuasa sebagai di India, suatu
golongan borjuis yang tenaganya bias dipakai di dalam perjuangan
melawan imperialisme itu dengan; politik “selfcontaining 73” di sini
boleh dikatakan tidak ada. Banyak kaum nasionalis bangsa
Indonesia, yang mengatakan, bahwa pergerakan ndonesia harus
meniru pergerakan India dengan mengadakan pula boikot ekonomi
atau swadhesi sebagai di India itu. Kami menjawab: kalau bias
memang bagus, tetapi pergerakan Indonesia tidak bias meniru
pergerakan India, tidak bias ikut-ikut mengadakan swadhesi, tidak
bisa memakai tenaga suatu golongan borjuis nasional, oleh karena di
Indonesia tidak ada golongan borjuis nasional yang kuasa itu.
Pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang mencari
tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen saja,
oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai kaum Kromo
dan kaum Marhaen belaka! Di dalam tangan kaum Kromo dan kaum
Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam
organisasi kaum Kromo dan kaum Marhaen itu terutama harus
dicari tenaganya. Siapa dari kaum pergerakan Indonesia menjauhi
atau tak ma bersatu dengan saudara-saudara “rakyat rendah” yang
sengsara dan berkeluh kesah itu, siapa yang menjalankan politik
“salon-salonan” atau menak-menakan”, siapa yang tidak
memperusahakan marhaenisme atau kromoisme, -walaupun ia
seribu kali sehari berteriak cinta bangsa cinta rakyat, ia hanyalah
manjalankan politik yang …. cuma “politik-politikan” belaka!
142
Kekromoan dan kemarhaenan!, -itulah kini gambar
susunan pergaulan hidup kami. Sebab sistem imperialisme di
Indonesia adalah dari sejak mulanya, dari jama Kompeni sampai ke
jaman cultuurstelsel, dari jaman cultuurstelsel sampai ke jaman
modern, merebut dan membasmi tiap-tiap perusahaan besar
daripada rakyat kami dengan sulur-sulurnya dan akar-akarnya,
mengalang-alangi dan membikin tidak bisa lebih hidup suatu
perusahaan kerajinan atau industri atau onderneming
Indonesia apapun juga. Perdagangan, pelayaran, pertukangan,
-semua matilah oleh pengaruh imperialisme-tua dan imperialisme-
modern yang kedua-duanya monopolistis itu!
Kini tinggallah perdagangan kecil belaka, pelayaran kecil
belaka, pertukangan kecil belaka, pertanian kecil belaka,
ketambahan lagi milyunan kaum buruh yang sama sekali tiada
perusahaan sendiri, -kini pergaulan hidup Indonesia itu hanyalah
pergaulan hidup kekromoan dan kemarhaenan saja!
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo mengalang-alangi
kami menguraikan dan membuktikan keadaan yang penting ini
lebih luas, tetapi satu dua dalil dari bangsa Eropa yang terpelajar,
tak bisa kami tinggalkan, misalnya dari Raffles, Prof. Veth, Prof.
Kielstra, Prof. Gonggrijp, Prof. v. Gelderen, ataupun Schmalhausen,
Rouffaer, dan lain-lain yang semuanya adalah membuktikan
kebenaran kata kami itu!
Di dalam buku Raffles yang termashur tentang tanah Jawa,
kami membaca tentang imperialisme-tua:
“Begitu sukarnya menggambarkan dengan panjang
lebar, luasnya perdagangan di tanah Jawa pada saat
orang Belanda mulai berdiam di laut-laut Timur, begitu
pula menyedihkan hati membuktikan dengan cara
bagaimana perdagangan itu oleh perbuatan bangsa asing
dialang-alangi, diubah sama sekali dikecil-kecilkan, oleh
kekuasan monopoli yang bobrok, oleh ketamakan dan

143
keserakahan akan duit dibarengi kekuasaan, dan oleh
kelaliman yang picik dari suatu pemerintah saudagar”…
“Demikianlah pasal-pasal yang terpenting dari tiga puluh
satu pasal mengenai pembatasan, yang membelenggu
tiap gerak perdagangan dan mamadamkan bara yang
penghabisan dai semangat berusaha, untuk
memuaskan pemandangan-pemandangan picik
angkara murka, yang bisa disebut kefanatikan akan
keserakahan kepada harta.74
Tuan-tuan Hakim, Raffles adalah terkenal sebagai pembenci
bangsa Belanda! Karena itu, marilah kita menyelidiki pendapat
pujangga-pujangga Belanda sendiri dan kita akan mendengar
penddapat yang tida berbeda. Tidakkah Prof. Veth tentang
imperialisme-tua itu mengatakan, bahwa bangsa kami,
“dalam abad ke-16, seperti juga di jaman Majapahit,
terutama terkenal sebagai kaum saudagar yang bsar
usaha, kaum pelaut yang gagah, kaum perantau yang
berani, dan bahwa mereka umumnya…. telah harus
mengalami perubahan yang besar untuk menjadi
petani-petani yang diam dan damai seperti sekarang
ini”, dan bahwa :
“nyata” sekali, bahwa semangat hariamunya sudah
dijinakkan sampai kutu-kutunya dan bahwa (mereka)
tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang
lama di bawah bangsa asing yang lebih kuat”!75

Tidakkah Prof. Kielstra menulis :


“Politik perdagangan bangsa Belanda menyebabkan
banyak sumber-sumber penghidupan menjadi tertutup
atau kering sama sekali; tetapi perduli apa! Tidakkah orang
… mengajarkan, bahwa orang tak boleh menyimpang dari
144
pendirian, bahwa rakyat yang miskin paling gampang bisa
diperintah!76
Dan haraplah perhatikan perkataan Prof. Gonggrijp yang
berbunyi:
“Usaha yang hebat untuk mengekalkan monopoli itu
sudah membinasakan kesejahteraan pulau-pulau
Maluku dan menindas semangat dagang dan nafsu
berusaha yang (masih) ada sdikit pada penduduk
bumiputra”!77
haraplah memperhatikan pula pendapat Prof. Van Gelderen yang
menulsi di dalam buku pidato-pidatonya:
“Dengan adanya perpustakaan yang luas, kini tak bisa
disangkal lagi, sudah ada permulaan perdagangan yang aktif
dan teratur, lalu-lintas tukar-menukar dengan seberang
lautan dengan alat-alat yang ada waktu itu …..oleh adanya
system contingenten dan leverantien 78 kemudian oleh
adanya sistem tanaman paksaan, maka produsen
Bumiputra didesak dari pasar dunia dan dialang-alangilah
tumbuh suburnya suatu kelas majikan dan kelas saudagar
bangsa sendiri”!79
Orang bisa membantah, “O, itu keadaan tempo dulu,
keadaan sekarang sudah lain!”
O, memang, -itu keadaan tempo dulu, itu jahatnya
imperialisme-tua! Tetapi keadaan sekarang, di bawah imperialisme
modern, tidak lain halnya! Keadaan sekarang masih tetap mengalang-
alangi timbulnya suatu kaum perusahaan besar di Indonesia, tetap
“mengkromokan”, tetap “memarhaenkan” di dalam tendesnya, -
walau, dengan meminjam lagi perkataan Stokvis, “melalui jalan-jalan
yang lebih sunyi”, “langs stillere wegen”. Keadaan sekarang tetap
menunjukkan suatu pergaulan hidup tani kecil, pedagang kecil,

145
pelayar kecil, segalanya kecil, beserta berjuta-juta kaum yang tak
mempunyai suatu milik atau perusahaan sendiri yang bagaimana
kecilnya pun, proletar, yang (terbawa oleh tendens
imperialisme-modern yang menurut Prof. van Gelderen membikin
kami menjadi “rakyat kaum buruh”, dan “si buruh antara bangsa-
bangsa”), makin lama makin bertambah.
Dalil-dalil? Haraplah memperhatikan perkataan bekas
Asisten Residen Schmalhausen, yang atas laporan Bu Dus yang
berbunyi:
“Hal yang sama, dan malahan lebih-lebih lagi, terjadi
dengan barang tenunan. Jawa di jaman dulu mengambil
kain-kain yang agak halus dari pesisir, tapi yang untuk
keperluan sehari-hari dibikinnya sendiri untuk
kebutuhan tanah Jawa dan buat sebagian besar juga
untuk Kepulauan Hindia. Berkapal-kapal kain-kain itu
meninggalkan tanah Jawa dan disebarkan ke pulau-pulau
sekitarnya. Sekarang kita memasukkan di tanah Jawa dan
Kepulauan Hindia kita punya kain-kain Belanda…. Di
dalam pertentangan itu perusahaan Bumiputar menjadi
mundur dan pabrik-pabrik kita di negeri Belanda ada
harapan akan bisa menggantikannya sama sekali dalam
waktu yang pendek”.
menulis komentar buat jaman sekarang yang mengatakan:
“Sedangkan Bu Dus menyebutkan di antara sebab-sebab
maka keadaan jelek, ialah hilangnya beberapa banyak
barang-barang ekspor yang lain, di samping tertahan-
tahannya pengeluaran beras, maka kita di jaman ini bisa
pula mengatakan, bahwa banyak indutri-industri
Bumiputra binasa atau merana hidupnya!80
Dan adakah beda tulisan G.P. Rouffaer yang berbunyi:

146
“ Dalam keadaan demikian itu, maka tidak boleh
ti dak perusahaan kain Bumiputra… makin lama makin
tertindas oleh banyaknya impor dari luar negeri.”81

Tidak, tidak ada bedanya. Dan tidak bedalah pula


nasib perusahaan-perusahaan Indonesia yang lain. Di manakah
sekarang kami punya pelayaran? Di manakah kami punya perusahaan
besi dan kuningan, kami punya kaum pedagang? Sesungguhnya,
benarlah tulisan Prof. van Gelderen yang berbunyi:
“….. suburnya industri-industri modern ini, sudah
mendesak usaha-usaha industri rumahan yang agak maju.
Perdagangan ekspor Bumiputra binasa dan industri
setempat-setempat hilang tersapu oleh gelombang
barang-barang impor yang murah, hasil bikinan berbanyak-
banyak”.82 “….Begitulah maka, juga di dalam jaman tanaman
merdeka, yang datang sesudah jaman cultuurstelsel, berlaku
terus perpisahan antara di tani Jawa, -dan dengan ini
sebenarnya segenap penduduk Bumiputra, - dan pasar
dunia jaman sekarang.”83
Tuan-tuan hakim, dengan pergaulan hidup yang demikian
ini, dengan pergaulan hidup yang tiada kelas perusahaan besar ini,
dengan pergaulan hidup yang hamir penuh dengan kaum Kromo
dan kaum Marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia,
yang selamanya berdiri di atas realiteit itu, kami harus menjalankan
politik yang Kromoistis dan Marhaenistis pula. Tidak bisalah kami
mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesaknya
ke luar dengan kekuatan persaingan ekonomi, tidak bisalah kami
mencoba melemahkan dayanya dengan daya “selfcontaining” yang
nasional-ekonomis sebagai di India itu. Kami hanya bisa
mengalahkannya dengan aksi Kang Kromo dan Kang marhaen, dengan
massa-aksi kebangsaan yang sebesar-besarnya. Kami mencoba

147
menyusun-nyusun energi massa yang berjuta-juta itu, mencoba,
membelokkan energi segenap kaum intelektual Indonesia ke
arah susunan massa ini; kami mencoba, -dan kami yakin akan
bisa-, kami mencoba memberi keinsafan pada kaum intelektual
Indonesia itu, bahwa di dalam kalangan massa inilah mereka harus
terjun dan berjuang di dalam kalangan mssa inilah mereka harus
mencari kekuasaan bangsa, -jangan lebih dulu hanya menjalankan
politik “salon-salonan” saja, menggerutu sendiri-sendiri atau marah-
marah di dalam kalangan sendiri saja.
Tidak! “Di dalam massa, dengan massa, untuk massa!” –
itulah harus menjadi semboyan kami dan semboyan tiap-tiap
orang Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah air
dan bangsa!

Aksi pembentukan kekuasaan. Kursus dan “aksi”

Tuan-tuan Hakim, kami sekarang sudah menerangkan


wujudnya pembentukan kekuasaan PNI itu: nyawanya nasonalisme,
urat syarafnya empat macam, badannya massa dan murba!
Marilah sekarang kami menerangkan dengan singkat
bagaimana geraknya pembentukan kekuasaan itu, bagaimana
pembentukan kekuasaan itu menjalankan aksinya.
Geraknya pembentukan kekuasaan PNI adalah ditetapkan
oleh karakternya, adalah ditentukan oleh sifatnya pergerakan kami.
Karakter pergerakan kami adalah “nationale bervrijidings-
beweging en hervormingsbeweging tegelijk”, yakni pergerakan
yang berusaha untuk kemerdekaan Indonesia dan untuk perbaikan-
perbaikan yang kiranya bisa tercapai sekarang juga.

148
149
Di dalam massa, dengan massa,
untuk massa!

itulah harus menjadi semboyan


kami dan semboyan tiap-tiap
orang Indonesia yang mau
berjuang untuk keselamatan
tanah air dan bangsa!

“Dalam pada itu, “ –begitulah Ir. Albarda di dalam Tweede


Kamer berkata:84
“Dalam pada itu, maka pergerakan Bumiputra, seperti
juga sosial demokrasi, mempunyai sifat yang bercabang
dua. Dalam pada ia mengejar cita-citanya di kemudian
hari, ia mencoba mengadakan pula perbaikan-perbaikan

150
pada hari sekarang di dalam nasib rakyat murba yang ia
mau laksanakan cita-citanya itu. Seperti juga sosial-
demokrasi ia mengharapkan dari per-juangan mencapai
perbaikan nasib dengan segera itu, kecuali perbaikan
nasib itu sendiri, juga bertambah tingginya akal-pikiran
dan pengolahan tenaga rakyat yang dipimpinnya, supaya
mereka lebih lekas dan lebih baik bisa mewujudkan cita-
citanya”.

Artinya, pergerakan kami adalah pergerakan, yang dalam


pada berusaha mengejar kemerdekaan, sudah pula berusaha
mendatangkan perbaikan-perbaikan yang kiranya bisa tercapai pada
hari sekarang. Ia adalah suatu pergerakan yang bukan saja menulis
di dalam anggaran dasarnya perkataan-perkataan “Kemerdekaan
Indonesia”, -ia sudah pula menuliskan di dalam anggaran dasar itu
“bekerja untuk Indonesia merdeka” dan mempunyai pula daftar
usaha yang berisi macam-macam pasal “perbaikan hari sekarang” itu
tadi. Dan sebagai Ir. Albarda tadi mengatakan, maka perjuangan dan
aksi untuk pasal-asal daftar usaha itu adalah pula sebagai suatu
tempat mengolah tenaga dan mengasah hati, suatu schooling, suatu
training, bagi cita-cita yang lebih tinggi dan lebih sukar lagi, yakni
kemerdekaan tanah air dan bangsa. Aksi untuk mendirikan sekolah-
sekolah sendiri, aktif untuk mendirikan rumah-rumah sakit sendiri,
aksi untuk memberantas riba dan buta huruf, aksi untuk
membangunkan koperasi-koperasi, aksi menuntut hapusnya pasal
153 bis-ter atau pasal-pasal tentang penyebaran benci atau hak
pendigulan, aksi menuntut perluasan hak berserikat dan berkumpul
pada umumnya beserta kemerdekaan surat kabar, -”aksi sehari-hari”
itu semuanya adalah mempunyai “faedah mendidik”, yakni
mempunyai “nilai paedagogid” yang tinggi sekali bagi rakyat dan
bagus sekali pula untuk memberi rakyat keinsafan dan kepercayaan
akan tenaganya, akan kekuatannya, akan kekuasaannya yang
sebenarnya.
151
Dan bersamping-sampingan dengan aksi sehari-hari
ini, bersamping-sampingan dengan apa yang kami sebutkan “aksi-aksi
dengan perbuatan” ini, maka kami memberikan pada rakyat itu
macam-macam teori beserta pengajaran-pengajaran pergerakan-
pergerakan di negeri-negeri lain, -yakni kami memberi kepada
rakyat itu kursus-kursus dan majalah-majalah, agar supaya rayat
itu mengetahui seluk beluk perjuangannya, mengetahui apa
sebabnya ia harus berjuang, buat apa ia harus berjuang, dngan apa ia
harus berjuang, artinya: agar supaya rakyat tidak menginjaki jalan-
jalan yang salah dan tidak pula sebagai kambing mengikuti saja
kepada tuntunan dengan tidak ikut memikir. Kursus-kursus, brosur-
brosur dan majalah-majalah partai dan perkumpulan, -itulah hal-hal
yang tak dapat dipisahkan dari suatu massa-aksi yang insaf atau sadar,
suatu massa-aksi yang mempunyai pandangan ke depan …”
Massa-aksi zonder teori kepada yang menjalankannya, massa-
aksi zonder kursus-kursus, brosur-brosur dan surat-surat kabar, adalah
massa-aksi yang tak hidup dan tak bernyawa, -massa aksi yang oleh
karenanya, tak mempunyai kemauan, tak mempunyai wil. Padahal,
hanya kemauan inilah yang bisa menjadi motor-tenaga massaak-aksi
itu yang sebenar-benarnya! Karl Kautsky, teoritikus massa-aksi kaum
buruh Eropa yang termashur itu, di dalam bukunya “Der Weg zur
Macht” mengajarkan kepada kita:
“Kemauan sebagai kesenangan berjuang, ditentukan oleh:
1. upah perjuangan yang memanggil para pejuang, 2.
Perasaan kuat, 3. tenaga yang sesungguhnya. Makin tinggi
upah, makin keras kemauan, makin banyak orang berani,
makin giat orang mempergunakan tenaganya untuk
memperoleh upah itu. Tapi ini hanya berlaku, kalau orang
yakin ada mempunyai tenaga dan kepandaian yang perlu
untuk mencapai upah itu. kalau or-ang tidak mempunyai
kepercayaan yang perlu dalam dirinya sendiri, maka
biarpun tujuan perjuangan itu sangat menarik, -ia tidak

152
akan membangkitkan suatu kemauan, tapi hanya suatu
keinginan, suatu hasrat yang keras, yang boleh jadi
berkobar-kobar, tapi tidak melahirkan suatu
perbuatan dan dalam prakteknya tidak berguna sama
sekali.- Perasaan kekuatan adalah sama jahatnya dan
tiada faedahnya, apabila tidak berdasarkan pengetahuan
yang sesungguhnya tentang tenaga sendiri dan tenaga
lawan, tapi hanya berdasarkan impian yang kosong belaka.
Tenaga dengan tiada perasaan bertenaga tetap mati, tidak
menunjukkan kemauan. Perasaan bertenaga dengan tiada
tenaga, dalam beberapa keadaan mungkin melahirkan
perbuatan-perbuatan yang membikin kaget lawan
dan mengecilkan hatinya, menundukkan
kemauannya atau melumpuhkannya. Tapi hasil-hasil
yang langgeng tidak bisa tercapai dengan tiada tenaga
yang sungguh. Perjuangan yang mendatangkan
kemenangan bukan dengan tenaga yang
sesungguhnya, tapi hanya dengan mengabui mata
musuh tentang tenaga sendiri, cepat atau lambat
senantiasa akan binasa lagi dan meninggalkan suatu rasa
putus asa yang makin keras, semakin gemilang hasil-
hasil yang pertama kalinya.

….Kewajiban kita yang pertama dan yang paling penting


ialah menambah tenaga kaum proletar. Ini tentu saja
tidak bisa kita besarkan sesuka hati kita sendiri. Tenaga-
tenaga kaum proletar, buat suatu keadaan tertentu dari
pergaulan hidup kapitalisme, ditentukan oleh
perbandingan-perbandingan ekonominya, dan tidak bisa
ditambah begitu saja. Tapi orang bisa memperbesar hasil
gerak tenaga-renaga yang ada dengan menjaga jangan
sampai terbuang percuma. Proses-proses di dalam alam
yang tidak sadar, berarti pemborosan tenaga yang tidak
153
terhingga, apabila kita memandangnya dari sudut maksud
dan tujuan kita. Alam itu malahan tidak punya suatu
maksud yang ditujunya. Kemauan yang sadar dari manusia,
memberinya maksud tujuan, memberinya pula jalan-jalan
untuk mencapai maksud tujuan itu dengan tidak
memboroskan tenaga dan dengan sedikit-dikitnya
pemakaian tenaga.
Ini berlaku juga buat perjuangan kaum proletar. Memang
kaum proletar dari dulu juga bukan dengan tidak sadar
berjuang, tapi kemauannya yang sadar dalam hal itu
hanya mengenai keperluan-keperluan mereka sendiri-
sendiri yang dekat.
Perubahan-perubahan pergaulan hidup yang timbul
dari perjuangan ini, muka-mula tetap tersembunyi bagi
para pejuang. Oleh arena itu, sebagai kejadian
kemasyarakatan, perjuangan kelas itu adalah lama sekali
suatu kejadian yang tidak sadar dan oleh karenanya penuh
dengan kekurangan-kekurangan pemborosan tenaga, yang
terdapat dalam segala kejadian yang tidak sadar.
Hanyalah pengetahuan tentang proses pergaulan hidup,
tentang tendens-tendensnya dan maksud-maksudnya, bisa
mengakhiri pemborosan tenaga ini, memusatkan tenaga-
tenaga kaum proletar, mempersatukan tenaga-tenaga itu
dalam organisasi-organisasi besar, yang dipersatukan pula
oleh maksud-maksud yang besar dan yang dengan cara
teratur membelakangkan segala aksi-aksi
perseorangan dan aksi kecil-kecil terhadap
kepentingan-kepentingan kelas yang tetap, kepentingan-
kepentingan kelas mana diperhambakan pula kepada
kemajuan pergaulan hidup bersama. Dengan lain perkataan;
teori adalah factor yang sangat sekali meninggikan
kemungkinan perkembangan tenaga kaum proletar,
154
sedangkan teori itu mengajarkan orang pula
mempergunakan dengan cara yang paling berfaedah
tenaga-tenaga yang diberikan oleh perkembangan
ekonomi dan mencegah orang untuk memboroskannya.
Tetapi karena teori itu tidak hanya memperbesar tenaga
aktif dari kaum proletar, tapi juga kesadarannya akan
tenaganya. Dan itu pun tidak kurang perlunya.85
Tuan-tuan Hakim, dengan dalil ini maka tergambarlah
dengan seterang-terangnya bagaimana besar faedahnya pemimpin
memberikan teori kepada kaum yang ia tuntun. PNI memberi teori itu.
ia mengadakan kursus-kursus dan koran-koran partai. Ia memberi
teori tentang seluk beluk imperialisme, teori tentang soal-soal
pergerakan sendiri, teori tentang ajaran-ajaran pergerakan-
pergerakan di negeri lain. Tetapi, bukan hanya teori saja yang
menambah kekuatan rakyat; bukan hanya kursus-kursus dan brosur-
brosur dan koran-koran partai saja yang membesarkan kemauan
rakyat. Rakyat haruslah dituntun dan diolah pula kemauan dan
tenaganya di lapangan perbuatan, -di”train” kemajuan dan tenaganya
di atas lapangan “aksi dengan perbuatan”, yakni di”train” bekerja
untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan hari sekarang sebagai
yang kami sebutkan tadi itu. di sinilah rakyat out bisa dioalh kemauan
dan tenaganya, diukur-ukur dan ditakar-takar kekuatannya,
dipelihara dan dibesar-besarkan kekuasaannya, digembleng
kekerasan hati dan energinya! Karl Kautsky, tentang aksi dengan
perbuatan itu mengajarkan dalam bukunya “Der Weg zur Macht”, -
yang tertulis hampir 30 tahun yang lalu, Tuan-tuan Hakim yang
terhormat,- seperti berikut :
“Apa yang tidak ada pada kaum proletar, ialaha
kesadarannya akan kekuasaannya... Apa yang bisa
dilakukan oleh sosial-demokrasi. Dilakukannya, yakni
memberi kesadaran itu kepada kaum proletar. Juga di sini

155
dengan penerapan teori, tapi bukan ini saja. Lebih
berpengaruh buat pembentukan kesadaran akan kekuatan;
dari segala teori, senantiasa adalah perbuatan.
Kemenangan-kemenangannya dalam perjuangan
melawan musuhnya itulah yang dikemukakan oleh sosial-
demokrasi kepada kaum proletar untuk membuktikan
tenaganya dengan cara yang sejelas-jelasnya dan
kemenangan-kemenangan itulah yang membesarkan rasa
kuatnya sebesar-besarnya. Tetapi kememangan-
kemenangan itu mereka dapat pula oleh karena mereka
dipimpin oleh suatu teori, yang memungkinkan kepada
bagian-bagian kaum proletar yang insaf dan disusun di
dalam organisasi, untuk setiap saat mempergunakan
sebanyak-banyaknya dari tenaga-tenaga yang ada.
Sepak terjangnya serikat-serikat pekerjan di luar negeri
angio-saxon, dari semula dilahirkan dan diwahyui oleh
pengetahuan sosial-demokrasi. Di samping kemenangan-
kemenangannya yang berhasil di sekitar dan di dalam
parlemenlah yang membesarkan sekali rasa bertenaga
dan kekuatan kaum proletar, bukan saja oleh keuntungan-
keuntungan kebendaan yang dalam hal itu jatuh kepada
beberapa lapisan kaum proletar, tetapi berlebih-lebih juga
oleh karena rakyat banyak yang tidak punya dan sampai
sekarang dibikin takut dan putus asa itu, sekarang melihat
suatu tenaga yang dengan berani berjuang melawan
semua kaum-kaum yang berkuasa, mendapat
kemenangan demi kemenangan, sedang kekuatan itu tidak
lain dari suatu organisasi orang-orang yang tidak punya itu
sendiri.

Di sinilah letaknya arti yang besar dari pesta-pesta bulan


Mei86, arti yang besar dari perjuangan-perjuangan
pemilihan dan arti yang besar dari perjuangan-perjuangan
156
untuk hak pilih. Tidak selalu perjuangan-perjuangan itu
membawa keuntungan-keuntungan kebendaan bagi
kaum proletar, seringkalai keuntungan-keuntungan itu
tidak sebanding dengan korban-korban dalam
perjuangan tapi biarpun begitu, jika mereka mendapat
kemenangan, senantiasa perjuangan-perjuangan itu berarti
bertambah banyaknya tenaga-tenaga yang aktif dari
kaum proletar, oleh karena perjuangan-perjuangan itu
dengan hebatnya membangkitkan rasa kuatnya dan
dengan itu energi kemauannya di dalam perjuangan
kelas. Tapi tidak ada yang lebih ditakuti oleh musuh-
musuh kita dari tumbuhnya perasaan kuat ini. Mereka
tahu bahwa si raksasa bagi mereka tidak berbahaya,
selama ia tidak menjadi sadar akan kekuatannya.
Menjaga supaya perasaan kuatnya tetap kecil, itulah
yang menjadi soal paling besar bagi mereka; malahan
konsesi-konsesi kebendaan tidak begitu dibenci oleh
mereka seperti kemenangan-kemenangan bati n
dari kaum proletar, kemenangan-kemenangan
batin yang menambah rasa kuatnya.”

Cacian dan provokasi

Tuan-tuan Hakim, Indonesia juga merupakan suatu raksasa


yang tidak ditakuti oleh kaum imperialisme, selama ia belum
insaf akan tenaganya. Tetapi kami, dari Partai Nasional Indonesia,
kami berusaha memberi kepada raksasa itu dengan teori dan aksi-
aksi dengan perbuatan, keinsafan akan tenaganya yang maha
besar itu. kami berusaha menggugahkan dan
membesarkan rasa kuatnya raksasa itu, menghidupkan ia
punya kesadaran dan kekuatannya dengan surat-surat kabar,
dengan kursus-kursus, dengan rapat-rapat, dengan demonstrasi-

157
demonstrasi, dengan usaha mendirikan sekolah-sekolah, dengan
aksi mengadakan koperasi-koperasi, dengan perjuangan buat
hapusnya pelbagai ranjau di dalam kitab-kitab undang-undang
hokum pidana, dan dengan jalan lain-lain lagi.
Raksasa kekuasaan, yang bernyawa nasionalisme, berurat
saraf empat rupa, berbadan rakyat murba itu, raksasa itu kini
makin lama memang sudah makin tergugah keinsafan akan
tenaganya! Herankah Tuan-tuan Hakim, bahwa kaum imperialisme
makin lama makin marah dan geger pula? Herankah Tuan-tuan
Hakim, bahwa surat-surat kabar kaum imperialisme itu, sebagai
misalnya AID de Preangerbode, Nieuws van den Dag, Java Bode, de
Locomotief, Soerabajaasch Handelsblad dan lain sebagainya, makin
lama makin keras pekiknya “hukumlah Soekarno c.s.!, “buanglah
Soekarno c.s.!”, “laranglah PNI hidup terus!”? Herankah Tuan-tuan,
bahwa kaum kita sampai mencoba mempengaruhi Tuan-tuan punya
pengadilan?
Kami tidak heran. Kami tidak heran pula, kalau kaum yang
benci kepada pergerakan kami, supaya pergerakan itu gampang dan
ada jalan buat menindasnya, menjalankan provokasi. Provokasi
sering sekali dicobakan pada pergerakan kaum buruh di Eropa,
provokasi sering pula kami alami di negeri kami. Provokasi terutama
sebelum pergerakan itu menjadi sentosa betul, yakni supaya ada jalan
sah menindas pergerakan itu, selagi pergerakan itu belum kuat
sekali,87 provokasi itu sering kami temuti. Kami sering dicoba
diprovokasi melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan bajingan-
bajingan “Sarekat Hejo” atau “Pamitran” sebagai sering terjadi di
daeah Cianjur atau di selatan Bandung, dengan rojokan akan
penumpahan darah sebagai di desa Cikeruh daerah Rancaengkek
atau di desa Penyairan sebelah utara Bandung,
dengan pengrusakanlubhuis sebagai di Gadongbangkong.
Dengan diminta meneken atau mengisi daftar-daftar pemberontakan
sebagai di bengkel S S bulan Desember 1929, -dengan macam-macam
jalan lain yang rendah dan keji. Tetapi kami tak mau diprovokasi,
158
kami tak berhenti-hentinya mendidik anggota-anggota tinggal aman,
jangan mau diprovokasi! sebab kami mengetahui, -kalau kami kena
provokasi, maka kamilah yang dijatuhi palang pintu!

Konsesi-konsesi

Tidak, Tuan-tuan Hakim, kami tak mengambil pusing akan


maki-makian dan hasut-hasutan kaum atau surat-surat kabar
imperialisme yang sudah semetinya itu, kami tak memberi jalan bagi
provokasi. Kami dengan tenang hati terus bekerja sepanjang jalan
yang halal dan yang tak melanggar hokum, membesar-besarkan
kekuasaan rakyat, menggugah-gugah dan menghidup-hidupkan
keinsafan rakyat akan kekuasaannya itu; kami dengan kepala dingin
terus berusaha secara halal menyusun kekuatan rakyat dan
membangunkan perasaan kekuatan rakyat. Satu kali sadar, maka
kesadaran akan kekuatan itu tak akan tidur lagi. Dengan gerak
kekuasaan rakyat dan dengan hidupnya keinsafan akan kekuasaannya
itu, maka pemerintah dan kaum imperialisme terpaksalah
menuruti kehendaknya satu per satu. Sepuluh tahun yang lalu
Albarda bercerita :
“……politik pembaruan di Hindia-Belanda ini bukan lagi
soal kebijaksanaan pemerintah yang mau bermurah hati
atau akibat dari suruhan hati yang merdeka dan mulia,
politik itu sekarang adalah hasil tumbuhnya
kekuasaan penduduk, yang mengemukakan
kesukaran-kesukarannya dan memajukan tuntutan-
tuntutannya. Politik itu sekarang menjadi politik
memberikan konsesi-konsesi kepada kekuasaan gerakan
rakyat yang tumbuh,”88
Dan sekarang, sepuluh tahun kemudian raksasa Indonesia
sudah lebih kuasa, dan lebih insaf akan kekuasannya! Segera akan
datanglah saat-satt di mana pemerintah dan kaum imperialisme itu
159
harus lebih banyak lagi tunduk kepada tuntutannya, harus lebih
banyak lagi melepaskan konsesi-konsesi, harus lebih banyak lagi
memberikan hak-hak dan perbaikan-perbaikan kepadanya.
Bahwasanya, zonder geger berdebat-debatan dengan wakil-wakil
imperialisme itu di dalam dewan rakyat sebagai misalnya Fruin c.s.
atau Bruineman, dan sebagainya, zonder pula bom-boman atau
dinamit-dinamitan, zonder kocak-kocakan sengaja melanggar
pasal 153 bis dan 169 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai
dituduhkan kepada kami dalam proses ini, -dengan kekuasaan yang
nyata dan perasaan kuasa yang hidup itu, kami akan mencapai juga
konsesi-konsesi yang penting!
Sebaliknya, zonder kekuasaan dan zonder perasaan
kekuasaan, maka kami, walaupun dengan politik lidah yang
bagaimanapun juga licinnya, tidak akan mendapat kemenangan yang
besar-besar!
T idakkah benar pertanyaan Albarda yang berbunyi:
“Apakah kiranya dewan rakyat tatkala itu diadakan juga,
jika di Hindia tidak timbul suatu gerakan rakyat yang kuat,
yang menghendaki pengaruh atas pemerintahan bangsa
sendiri? Saya hendak bertanya lagi: Tidakkah janji-janji
November tahun 1918 yang terkenal itu dan diadakannya
komisi peninjauan kembali Carpentier-Alting, 89 harus
dipandang sebagai bukti-bukti kekaguman, barangkali
juga ketakutan orang, kepada gerakan rakyat muda itu di
dalam tahun-tahun yang menggegerkan itu?”90
Tidakkah benar pula, kalau kami, walaupun kami di
dalam pemeriksaan mengatakan bahwa PNI belum mencapai
konsesi-konsesi yang besar, mengatakan bahwa diadakannya
“suara terbanyak buat Bumiputra” (Inlandsche meerderheid) di
dalam dewan rakyat dan diadakannya dua anggota Abumiputra di
dalam Dewan Hindia, adalah sebenarnya konsesi pula terhadap
pergerakan kami nasional Indonesia yang makin mendapat
160
kekuasaan itu? Bahwasanya dengan kekuasaan mendapat konsesi-
konsesi yang besar, zonder kekuasaan tidak mendapat konsesi-konsesi
yang besar itu!

Indonesia merdeka oleh revolusi?

“Baik” orang sekarang berkata, “konsesi-konsesi yang penting


dapat
tercapai dengan jalan yang halal itu! Tetapi kemerdekaan
Indonesia, kemerdekaan Indonesia! Tidakkah itu harus direbut oleh
rakyat Indone-sia dengan pemberontakan, dengan revolusi darah?”
Tuan-tuan Hakim, di dalam pemeriksaan kami telah
menerangkan dengan tulus hati: kami tidak tahu bagaimana langkah
yang penghabisan itu. Ya, kami tidak “memikir-mikirkan” akan soal
langkah penghabisan itu. Kami tidak tahu akan perbandingan-
perbandingan di kelak kemudian hari itu, sebagaimana kami tadi juga
tidak tahu dengan seksama akan wujudnya kami punya pergaulan
hidup di kelak kemudian hari. Kami misalnya tidak tahu apakah
negeri Belanda pada saat penghabisan tidak lantas mengerti, lebih
baik memberhentikan penjajahannya dengan damai. Kami pun tidak
tahu, apakah misalnya di jaman itu kapitalisme Barat tidak sudah
roboh, imperialisme diganti dengan perhubungan ekonomi Eropa-
Asia dengan jalan merdeka, yakni dengan jalan lalu lintas tukar-
menukar yang bebas. Pendek kata, bagi kami, bagi siapapun juga, bagi
tiap-tiap manusia, hari kemudian itu adalah suatu buku yang
tertutup: Tertutup tentang soal bagaimana wujudnya langkah rakyat
In-donesia yang penghabisan, tertutup tentang soal kapan terjadinya
langkah penghabisan itu.
Kami sekarang ini hanya mengetahui, bahwa tiada
kemerdekaan zondernasionalisme, karena itu, kami menghidup-
hidupkan nasionalisme; bahwa tiada kemerdekaan zonder persatuan
bangsa, karena itu, kami mengusahakan adanya persatuan bangsa;
bawah tiada kemerdekaan zonder kekuasaan, karena itu kami
161
menyusun kekuasaan; bahwa tiada kemerdekaan zonder keinsafan
akan kekuasaan, karena itu, kami menggugah-gugah keinsafan
akan kekuasaan itu. Kami hanyalah mengetahui, bahwa
kemerdekaan itu adalah minta syarat-syarat, karena itu, PNI bekerja
untuk terlaksananya syarat-syarat itu. Dan kami hanyalah
mengetahui pula, bahwa kemerdekaan tidaklah jatuh dari langit
besok pagi atau lusa, tetapi bahwa ia addalah hasil kerja berat
yang melalui berpuluh-puluh konsesi politik, sosial dan ekonomi yang
semuanya tidak jatuh dari langit, melainkan harus kami desakkan
satu per satu dengan desakan “kekerasan batin” kami.
Jalan yang melalui berpuluh-puluh konsesi inilah, Tuan-tuan
Hakim, yang kami maksudkan degan kata-kata, bahwa langkah
penghabisan itu masih ada di dalam “masa depan yang jauh”, -tidak
sebagai kepintaran putar lidah AID de Preangerbode, yamg
menerangkan bahwa kami mengatakan, bahwa langkah penghabisan
itu masih “melalui berabad-abad” lagi baru terjadi.
Tidak! Jikalau kami berkata bahwa terjadinya langkah
penghabisan itu masih ada “begitu jauh di masa depan, sehingga
orang belum mengetahui apa-apa tentang itu,” maka kami
tidaklah bermaksud mengatakan apa-apa tentang tempo, atau
kronologi langkah penghabisan itu terjadi. Tentang tempo langkah
penghabisan itu terjadi, tentang apabilanya langkah penghabisan itu
terjadi, kami tak bisa mengetahui suatu apa, dan kami di dalam
pemeriksaan pun telah menerangkan “bahkan secara kira-kira pun
tidak mengetahui”.
Sesungguhnya, Tuan-tuan Hakim, entah kapan terjadinya
langkah penghabisan itu! Entah hanya tahunan lagi, entah puluhan
tahun lagi, entah ratusan tahun lagi! Kami dengan kata-kata “masa
depan yang jauh” itu bermaksud mengatakan, bahwa antara hari
sekarang dan hari kemudian itu, adalah lapangan yang luas,
lapangan berpuluh-puluh konsesi yang semuanya satu per satu,
harus kami capai dengan usaha massa-aksi nasional yang mahahebat
tetapi halal itu. Lama-sebentarnya kami melalui lapangan ini, lama-
162
sebentarnya tempo kami bisa mencapai konsesi-konsesi ini, -itu
adalah tergantung dari kekuatan dan kesempurnaan kami
punya organisasi, tergantung dari lemah kuatnya “kekerasan batin”
yang kami bisa bangkitkan. Makin sempurna kami punya
orgaanisasi, makin besar tenaganya kami punya “kekerasan batin”, -
makin lekaslah konsesi-konsesi itu bisa tercapai, makin lekaslah
hari kemerdekaan itu mendekat!
Nah, Partai Nasional Indonesia ingin bisa menambah-
nambah besarnya “kekerasan batin” yang ia keluarkan, ingin lekas bisa
mencapai semua konsesi-konsesi itu di dalam tempo yang secepat-
cepatnya oleh karenanya. Inilah sebabnya Partai Nasional Indonesia
adalah suatu partai yang revolusioner, suatu partai yang ingin
mendatangkan perubahan- perubahan itu dengan lekas, suatu
partai yang ingin mengadakan “omvorminginsnletempo”.
Tuan-tuan Hakim, kami mengulangi lagi: tentang soal
bagaimana wujudnya langkah yang penghabisan, dan tentang soal
apabila langkah yang penghabisan itu, kami tak mengetahui
suatu apa. Kami hanya mengetahui, bahwa PNI tak ada maksud
menyimpang dari jalan yang sah belaka. Kami hanya mengetahui,
bahwa kami dan PNI, tidak ingin atau tidak mau membikin
pemberontakan, baik sekarang maupun di kemudian hari, bahwa
kami dan PNI siang dan malam adalah mengharap-harap dan
mendoa-doakan jangan sampai ada pertumpahan darah, bahwa
kami dan PNI sepanjang kekuatan kami akan berusaha
menghindarkan tiap-tiap pertumpahan darah!
Kami dan PNI, Tuan-tuan Hakim, kami dan PNI!, -entah
kaum imperialisme sendiri! Kepada kaum imperialisme itu, kami tak
akan puas-puas memberi ingat dengan kesucian hati:
Janganlah menyengsarakan sekali kepada rakyat,
janganlah membakar kemarahan rakyat, janganlah mengabaikan
tuntutan-tuntutan rakyat. Sebab, revolusi bukanlah bikinan
manusia, bukanlah bikinan beberapa penghasut, bukanlah
bikinan beberapa samenzweeders,91 -revolusi adalah bikinan
163
pergaulan hidup yang hamper tenggelam tertutup jalan nafasnya di
dalam kesengsaraan, yakni sistim sosial yang kepepet. Manusia
tidak bisa membikin revolusi semau-maunya, manusiapun tidak bisa
mencegah revolusi kalau sudah terlambat, kalau sudah kasip.
“Kami, kaum Partai Nasional Indonesia, kami betul
kaum revolusioner, tetapi kami bukan kaum yang membikin
pemberontakan. Bumi dan langit akan kami panggil mencegah
tiap-tiap pertumpahan darah! Tetapi, -hai kaum imperialisme,
kamu senantiasa menebar-nebarkan benih kesengsaraan itu, kamu
senantiasa memepet-mepetkan pergaulan hidup itu, kamu
senantiasa menebar-menebarkan benih revolusi itu.
Bagi kamu adalah cocok sekali tulisan Dr. van den Bergh van
Eysinga yang berbunyi:

“Pembikin yang sebenarnya dari revolusi….dalam


perjalanan sejarah sekarang ini, adalah orang-orang yang
disebut warga-warga yang “hidup teratur”, mereka itulah
yang membikin sakit tubuh pergaulan hidup dan kebudayaan
yang menakjubkan itu dan mereka itu melakukan yang
demikian, oleh karena mereka hanya mengingat diri sendiri
dan mereka punya kepentingan dan keuntungan”.92
“Sebelum terlambat, lekaslah hentikan usahamu
menyengsarakan rakyat, lekaslah perhatikan keinginan dan tuntutan
rakyat. Sebab jikalau oleh perbuatanmu itu hantu pemberontakan
nanti mengaut-ngaut, jikalau oleh angkara murka itu revolusi nanti
melahirkan diri sendiri, maka seribu Partai Nasional Indonesia tidak
akan bisa mencegahnya, seribu macam usaha manusia tidak akan bisa
menolaknya. “Kita,” begitulah Karl Kautsky menulis:
“Kita tahu, ….. bahwa kita tidak kuasa membikin revolusi
ini, seperti juga musuh-musuh kita tidak kuasa
untuk mencegahnya!”93

164
Perhatikanlah peringatan Prof. Bluntschli yang berkata:
“satu-satunya jalan yang baik untuk menghindarkan
revolusi, ialah mengadakan perbaikan yang cepat dan
sampai ke akar-akarnya…. Segera apabila hilang
pengharpan suatu bangsa yang kuat akan mendapat
perbaikan, pada saat itu mulailah menyala api putus asa
revolusi. Yang paling bersalah ialah kaum berkuasa,
…..bukan bangsa-bangsa yang salah diperintahi, yang
menuntut suatu keadaan hukum yang sewajarnya dan
lebih baik. Sebab itu dungulah paham yang
senantiasa membayangkan, seolah-olah revolus-revolusi
dalam abad kita ini adalah bikinan gerombolan penjahat-
penjahat”.94
Tuan-tuan Hakim, moga-moga kaum imperialisme
suka memperhatikan peringatan ini. Kami, kaum nasionalis
Indonesia, kami selamanya akan menjunjung tinggi perdamaian dan
keamanan. Kami tak mempunyai keinginan atau niat menumpahkan
darah; kami malahan tak akan puas-puasnya berusaha, supaya hari
kemudian itu hanya membawa keamanan dan perdamaiaan
belaka. Tetapi kami tak mempunyai kekuasaan menetapkan
gambaran hari kemudian itu. Kekuasaan itu adalah pada kaum
imperialisme sendiri. Merekalah yang akhirnya menggenggam
ketentuan atasnya, merekalah yang bisa menetapkan gambarnya
sudah dari sekarang, merekalah yang bisa menghindarkan huru-hara
itu.
Indonesia akan bebas. Tentang soal ini, tentang halnya
Indoensia akan menjadi merdeka, tentang halnya Indonesia akan
lepas dari negeri Belanda di kelak kemudian hari, tentang soal ini
bagi kami tidaklah teka-teki lagi. Tiadalah teka-teki pula akan
bebasnya negeri kami itu bagi tiap-tiap manusia yang mau mengerti
akan riwayat, bagi tiap-tiap manusia, baik bangsa Indonesia maupun
bangsa Belanda, yang mau bertulus hati. Seluruh riwayat dunia,

165
seluruh riwayat manusia yang berpuluh-puluh abad itu, tidak ada
menunjukkan satu rakyat yang terjajah selama-lamanya.
Seluruh riwayat manusia itu malahan saban-saban kali
menunjukkan jadi merdekanya rakyat-rakyat dan negeri-negeri
yang tadinya terkungkung.
Oleh karena itu, jikalau rakyat Indonesia
mengusahakan berhentinya penjajahan itu, jikalau Partai Nasional
Indonesia mengejar kebebasan itu, maka rakyat Indonesia, maka
Partai Nasional Indonesia, maka kami orang hanyalah memenuhi
“keharusan-keharusan riwayat” belaka, -menjalankan “kewajiban
sejarah” tiap-tiap bangsa dan tiap-tiap negeri,- “kewajiban sejarah”
yang tidak boleh tidak pasti terjadi, pasti terlaksana.
Tetapi caranya Indonesia akan merdeka, caranya tali
penjajahan akan terlepas, adalah sama sekali menurut kehendak
kaum imperialisme sendiri, -adalah di dalam genggaman kaum
imperialisme sendiri.
Bukan kepada kami, bukan kepada rakyat Indonesia, tetapi
kepada imperialisme dan kaum imperialisme sendirilah kata yang
penghabisan!

Catatan kaki
1
Paragraf 11 itu adalah leidsch program (program dasar) dari Sociaal
Democratische Arbeiders Partij.
2
Voorwaarde= syarat
3
Menurut keyakinan kami, hilangnya pemerintahan asing dan Indonesia,
belum tentu juga dibarengi oleh hilangnya imperialisme asing sama sekali.
Imperialisme yang “overheersen (memerintah) hilang, tetapi imperialisme
yang beheersen (menguasai), lenyapnya baru kemudian. (lihat Tiongkok).
4
Belangengetneenschap= persamaan kepentingan.
5
tegenstelling van belangen=pertentangan kepentingan
6
conflict van Behoeften= pertentangan kebutuhan.
7
Jules Harmand, duta besar kehormatan dan ahli jajahan bangsa Prancis
dalam bukunya yang termashur “Domination et Colonisation” hal. 122,
(terbitan E. Flammarion, Paris 1910).
166
8
Ibid hal 154
9
Mustafa Kamil (1857-1908) seorang pemimpin nasionalis Mesir yang besar
jasanya bagi perjuangan kemerdekaan.
10
Manuel Quezon (1878-1944), salah seorang pejuang kemerdekaan Filipina,
dan penulis buku “The Good Fight”.
11
Michael daviit, seorang pemimpin Irlandia, dikutip dari buku Yann Morvran
Gob-let “L’Irlande dans la Crise Universalle” hal. 45 (terbitan F.Alcan, Paris 1918),
hal.45.
12
Erskine Childers, seorang pemimpin Irlandia lainnya, dikutip dari buku Simon
Tery “En Irlande de la guerre” hal.101
13
Guiseppe Mazani (1805-1872) pemimpin pemersatu Italia bersama Cavour
dan Garibaldi. Buku yang dikutip “De Plichten Van den Mensch” hal. 171-179.
14
Sister Nivedita, seorang penyair wanita Jepang. Ia menulis buku “Kaka-su
Okakura” “Die Ideale des Osten” hal.8
15
hypo-colony= negeri yang lebih jajahan dari jajahan.
16
Sun Yat Sen (1866-1925) Bapak Kemerdekaan Tiongkok, pendiri Partai Kuo
Min Tang dan pencetus “Trisila” (San Min Chu I) yang dibukukan dengan
judul “San Min Chu I”. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia.
17
H.G. Wells dalam bukunya “The Outline of History” hal. 464.
18
Bank Nasional, salah satu aksi menolong diri sendiri, yang menjadi pendirian
dr. Sutomo telah didirikan di Surabaya di bawah panji-panji Parindra (Partai
Indone-sia Raya)
19
“Colijn over Indie”. Hal. 41.
20
Pennelikkers= penjilat melalui tulisan.
21
The great unwashed= kaum yang tidak tercuci
22
Karl Kautsky dalam “Sozialismus und Kolonial-politik” bab III hal.19.
23
Nieuws van den Dag, A ID de Preangerbode, adalah surat-surat kabar
Belanda berbahasa Belanda di Indonesia tahun tiga puluhan.
24
Vanzelfspreken= masuk akal
25
Menjelang proses peradilan Bung Karno di Landraad Bandung, telah
banyak komentar pers yang pro dan kontra, kemudian komentar itu oleh
Mr. Ritter dibukukan dengan judul “Drukpersvrijheid” (kebebasan pers)
26
“Colijn over Indie” hal. 39.
27
Ternyata kebijaksanaan memberhentikan wartawan yang dianggap
mengganggu ketertiban, telah berlaku juga di masa itu, walau terhadap
orang Beland sendiri.

167
28
Jhr. Andries C.D. de Graeff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1926-
1931, menteri luar negeri dalam kabinet Colijn 1933-1937.29
Vleming dalam bukunya “Intern. Soc. Dem, Kol. Pol”, hal.82
30
“Indische Gids” sebuah penerbitan Belanda yang mengutamakan
pemuatan penelitian ilmiah. Buku yang dikutip terbitan tahun 1914, No. 36
II, hal. 1240.
31
Vleming, Ibid hal.72
32
Dr. Sandberg, dalam bukunya, “Indie verloren, rampspoed geboren”
diterbitkan D.A. Daamen,‘s-Gravenhage, 1914.
33
Pledoi Sneevliet di pengadilan Belanda (1917) yang mengakibatkan
Sneevliet (1883-1942) diinternir. Sneevliet adalah orang Belanda yang
mendirikan Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) tahun 1914 di
Indonesia.
34
De Kat Angelino dalam “Staatkunding beleid en bestuurzorg in Ned Indie”
hal.89 (kebijaksanaan ketatanegaraan dan pembinaan pegawai di Hindia
Belanda).
35
Janji-janji bulan November tahun 1918, atau lebih terkenal “November
belofte”, adalah janji yang diucapkan oleh Gubernur Jenderal Limburg Stirum
di Volksraad (Dewan Hindia) bulan November 1918, bahwa Regerings-
reglement (aturan pemerintahan) segera akan diubah, supaya diperlukan
pemindahan hak-hak pemerintahan dari Nederland ke Indonesia. Janji ini
tidak pernah ditepati, maka Fock dikirim menggantikan Limburg Stirum
(mulai tahun 1919).
36
Bandingkan Koch “Vakbeweging”, 1927 hal.570, dan van Gelderen,
“Voorlezingen”, ’hal. 98 dan seterusnya.
37
P.E.B. (Politiek Economische Bond) adalah satu perkumpulan
pengusaha-pengusaha Belanda di Indonesia, yang selalu berusaha
mengajukan kepentingan mereka untuk dijadikan kebijaksanaan pemerintah
Hindia Belanda.
38
Troelstra, dalam risalah SDAP “Wat zij is en Wat zij Will” Cetakan VIII hal. 54.
39
Sekitar tahun 1930 ada issue yang mengatakan “Indonesia akan merdeka
pada tahun 1930”. Sebagai sumber issue diarahkan oleh pemerintah kolonial,
seolah-olah dari Bung Karno.
40
Hak exorbitante, ialah hak istimewa Gubernur Jenderal mengasingkan
tokoh pergerakan yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum.
41
Di Eropa, kalau kaum pemberontak membikin pemberontakan di kota-kota,
maka mereka mendirikan barikade di jalan-jalan di dalam kota itu, yakni
rintangan-rintangan dari meja, kursi, lemari, karung berisi tanah, dan lain-lain.

168
42
Troelstra dalam bukunya, “DeSoc. Dem . na den oorlog” 1921 hal.
17 43 Putsch= pemberontakan kecil.
44
Pasifis Tolstoyanis= orang yang cinta damai, seperti tercermin dari roman
Tolstoy “War and Peace”
45
Stenhuis dalam pidato 3 Oktober 1928 di hadapan Development Assocation
di Amsterdam (lihat AID de Preangerbode 4-8-1930)
46
Fenderik Peter Godfriend Quack dalam “De Socialisten” Jilid V, hal.
327. 47 Karl Kautsky dalam “Der WEg zur Macht” hal. 57.
48
Sarojini Naidu (1879-1949) pejuang dan pujangga wanita India, pengikut
M.K. Gandhi, dalam buku “Asia”.
49
Mac Swiney dalam buku. “Principes de la liberte” dikutip dari “Intery, en
Irlande”, hal. 40.
50
Mustafa Kamil dalam “The New World of Islam” terbitan Lothrop Stoddard,
hal. 151.
51
Sun Yat Sen dalam bukunya “San Min Chu I” (telah ada terjemahan bahasa
Indo-nesia).
52
Untuk mengerti kalimat-kalimat ini, orang harus ingat, pergaulan hidup itu
“tidak diam”. Tetapi senantiasa hidup, senantiasa maju, senantiasa ber-evolusi.
53
Dalam buku “San Min Chu I”.
54
Bandingkan dengan pikiran-pikiran kami dengan pikiran-pikiran Moh.Hatta
di dalam bukunya “Indonesia Vrij” (menuju Indonesia Merdeka) dan juga
pikiran-pikiran Dr. Sun Yat Sen.
55
Verdeel en heers= pecahkanlah, dan kuasai
56
Sir John Robert Seeley dalam bukunya “The Expansion of England”
terjemahan Steinmetz, hal.175, 204.
57
Clive Day, dalam bukunya yang diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh
Bosboom dengan judul “Nederlandsch Beheer”, hal.29.
58
Daan van der Zee dalam buku “De SDAP en Indonesiee” hal.
29. 59 John R. Seely, ibid, hal. 204, 209.
60
Melalui pendidikan pun kaum imperialis berusaha membunuh rasa
kebangsaan, seperti usaha mereka di tahun tiga puluhan , setelah Kongres
Pemuda 1928. Maka pemerintahan Belanda berusaha melarang
penggunaan bahasa Indonesia, termasuk di sekolah swasta.
61
Untuk memecahkan bangsa Indonesia, kaum imperialis menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan, bahkan agama pun mereka peralat.
62
Suluh Indonesia Muda, terbitan September-Oktober 1929 hal. 274/275.

169
63
“Welvaartsverslag” Laporan mengenai Kemakmuran. Bab II b.a, hal. 172.
Terbitan Lendgedrukrij 1905-1914, Batavia
64
August de Wit (Ny) dalam buku Natuur en Menschen in Indie hal. 90,
terbitan Goede en Goedkoope Lectuur, Amsterdam 1914,
65
Veth dalam “Java” I, hal. 209.
66
White man’s burden = beban si kulit putih
67
Karl Kautsky dalam proses pengadilan Sneevliet tahun 1917.
68
F. Van Lith dalam bukunya “De Politiek Van Nederland ten opzichte
van Nederlandsch-Indie” Ibid hal. 11.
69
Karl kautsky dalam “Sozialismus und Kolonial-politik” hal.
19.
70
Yang dimaksud massa, yakni rakyat jelata yang berjuta-juta itu.
71
Pemerintah Belanda memang selalu menuduh PNI adalah lanjutan dari PKI,
seperti surat pendakwaan terhadap Bung Karno di sana tertulis bahwa
PNI adalah “helmeyke opvolgster” dari PKI, artinya bahwa PNI adalah
gantinya PKI dengan sembunyi-sembunyi.
72
Golongan borjuis nasional = kaum modal bangsa sendiri
73
Politik selfcontaining ialah politik membikin sendiri kebutuhan rakyat, jadi
tidak membeli barang bikinan kaum imperialis, melainkan segala kebutuhan
itu dibikin oleh perusahaan bangsa sendiri.
74
Sir Thomas S. Raffles, dalam buku “Geschiedenis van Java terjemahan van
de Stuler1836, hal. 116, 140
75
Veth dalam “Java” I hal. 299
76
E.B. Kielstra dalam “De vestiging….” Hal. 19
77
George Gonggrijp dalam “Schets ener economische gescftiedenis” hal 122.
78
Lihatlah buat maknanya, catatan kaki no. 36, 37
79
Prof. van Gelderen, dalam “Voorlezingen….” hal 122
80
Schmalhausen, dalam buku “Over Java” hal 139
81
Gerret Piete Rouffaer, dalam buku “De Voornaamste Industrieen” hal. 2
82
Dr. Schrieke dalam “Western Influence etc” hal 99
83
van Gelderen “Voorlezingen” hal 123
84
Pidato Ir. Albarda di Majelis Rendah Belanda 19 Desember 1919
85
Karl Kautsky dalam “Der Weg zur Macht” hal. 49-51
86
Pesta-pesta bulan Mei, ialah perayaan ban buruh yang jatuh pada tanggal 1
Mei, seperti pernah juga dulu diperingati di Indonesia.
170
87
Cara provokasi, yaitu cara pemerintah kolonial dulumemancing supaya
kaum pergerakan terjebak melakukan pekerjaan criminal, seperti apa yang
dilakukan komplotan “Sarekat Hejo”, yang waktu itu memang terkenal pelaku
tindakan crimi-nal. Bila kaum pergerakan terpancing, maka pergerakan
nasional akan ditindas seperti menindas penjahat biasa.
88
Ir. Albarda dalam pidatonya di Majelis Rendah Belanda, 19 Mei 1919.
89
A.S. Carpentier-Alting. Seorang wanita Belanda, tokoh politik, yang
mendirikan perguruan swasta “Melsjes HBS” 3 tahun. Usaha ini kemudian
dilembagakan menjadi “Carpentier-Alting Stichting” (stichting = yayasan).
90
Ir. Albarda dalam pidato di Majelis Rendah Belanda, 21
Desember 91 Samenzweerders =persekongkolan penjahat (sindikat
penjahat)
92
Dr.H.W.Ph.E. van den Bergh van Eysinga, dalam bukunya “Revolutionnaire
Cultuur”, Leiden 1919, hal 17.
93
Karl Kautsky dalam “Der Weg Sur Macht” hal. 57
94
Prof. Johann Casper Bluntschi (1808-1881) seorang warga Swiss yang ahli
hukum tata negara

171
PELANGGARAN PASAL-
PASAL 169 dan 153 bis
adalah MOKAL1

Tuan-tuan Hakim yang terhormat!

Bagian yang pertama dari kami punya pidato sekarang sudah


habis. Tuan-tuan sudah mengetahui sekarang segala asas dan sifat-sifat
aksi PNI beserta segala keyakinan-keyakinan kami di dalam garis-
garisnya yang besar.
Pada awal kami punya pidato, kami sudah menerangkan
kepada Tuan-tuan, bahwa maksud kami menceritakan PNI beserta
keyakinan kami itu dengan singkat, ialah bukan mempropagandakan
hal-hal itu kepada Tuan-tuan, melainkan hanyalah untuk menunjukkan
kepada Tuan-tuan asas dan sifat PNI itu agar supaya Tuan-tuan bisa
mengerti asal-usul dan sebab-sebabnya kami punya perkataan-
perkataan atau tindakan-tindakan yang menjadi penyelidikan proses
ini.
Maka dengan apa yang kita uraikan tadi itu, nyatalah dengan
senyata-nyatanya, bahwa PNI adalah partai yang halal belaka, - partai
yang tidak mempunyai maksud sebagai yang dituduhkan itu. Tidak
adalah dimaksudkannya pemberontakan tidak adalah
dimaksudkannya menyuruh orang supaya berontak, tidak adalah
dimaksudkannya pemogokan-pemogokan, tidak adalah
dimaksudkannya pelanggaran-pelanggaran menurut pasal 171 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai nanti kami uraikan lebih
lebar. Oleh karena itu, bagian yang pertama dari pendakwaan, hilang
sama sekali kekuatannya. Lagi pula; pasal 169 Kitab Undang-Undang

172
Hukum Pidana, menurut keputusan Hooge Raad2 3 Desember 1984,
W R 6586 dan juga menurut buku Prof. Simons II, hal. 217 dan Noyon,
catatan 3 ad pasal 140, hanyalah mengenai perhimpunan-
perhimpunan yang didirikan dengan maksud tertentu untuk
menyuruh anggota-anggotanya menjalankan kejahatan-kejahatan. Dan
Partai Nasional Indonesi tidaklah didirikan dengan maksud-maksud
yang termaktub di dalam tuduhan itu.
Partai Nasional Indonesia adalah jauh dari maksud yang demikian
itu tatkala dilahirkan di dunia, - dan memang adalah pula jauh
daripadanya selama ia hidup dan bergerak di dunia dua tiga tahun ini.
Partai Nasional Indonesia adalah partai yang lahirnya sampai hari
sekarang halal belaka, sah belaka.
Tetapi bukan itu saja yang ternyata dari pidato kami bagian
pertama itu. Dari pidato kami bagian pertama itu adalah ternyata
pula, bahwa kami mustahil bisa bersalah menjalankan hal-hal yang
dituduhkan itu; mustahil kami, yang mengetahui bahwa dengan
pembentukan kekuasaan nasional itu saja, sudah bisa membikin
kemungkinan-kemungkinan yang luas, - yang mengetahui bahwa kami
harus menjauhi segala hal yang perlu yang bisa menyebabkan jatuhnya
palang pintu di atas pundak kami, - yang mengetahui bahwa
kemerdekaan tidaklah tercapai dengan satu tarikan nafas, - mustahil
kami, yang mengetahui hal-hal itu semuanya, bisa “berkocak-
kocakan” atau “iseng-isengan” segala melanggar pasal 153 bis dan 169
itu!
Tidak, Tuan-tuan Hakim, kami tidak usah berkocak-kocak
demikian itu, supaya maksud-maksud kami bisa tercapai. Kami
hanyalah harus bekerja serajin-rajinnya buat suatu pembentukan
kekuasaan secara mod-ern yang teguh dan sentosa, suatu
pembentukan kekuasaan yang terang-terangan, sebagai misalnya
pembentukan kekuatan kaum proletar di Eropa.
Sebab dengan pembentukan kekuasaan yang demikian itu,
dengan suatu kekuatan yang nyata dan hebat serta diinsafi oleh
anggota-anggotanya, dengan suatu kekuatan yang bernyawa
173
nasionalisme, berurat saraf empat prinsip itu, berbadan lahir massa
yang berkerukunan itu, dengan kekuasaan yang demikian itu, kami toh
sudah bisa menjadi maha sakti dan maha kuasa,. – amboi
sesungguhnya, zonder bom-boman atau dinamit-dinamitan, zonder
kocak-kocakan sengaja membahayai keamanan umum atau
melanggar kekuasaan pemerintah atau ikut pada perkumpulan yang
bermaksud jahat, zonder menjalankan barang sesuatu yang dilarang
oleh hukum!

“Ketidaktenteraman” dan ramalan ‘30

Tuan-tuan sekarang bisa membantah: “Massa rakyat tidak Tuan


hasut menurut pasal 153 bis, massa Tuan tidak bersalah menurut
pasal 169, toh semua orang tahu, bahwa rakyat setahun yang lalu
ternyata tak aman dan tak tenteram! Massa Tuan tidak bersalah, toh
dimana-mana rakyat, berbisik-bisik, bahwa tahun ini akan ada apa-apa!
Itu semua toh mesti ada sebabnya!”
O, memang, Tuan-tuan Hakim, kalau rakyat memang tak
tenteram, kalau memang ada bisik-bisikan tahun ’30 akan ada apa-
apa, itu harus dan mesti ada sebabnya! Tiada suatu keadaan zonder
sebab, tiada suatu kejadian zonder hubungan sebab akibat dengan
suatu kejadian yang lain! Tetapi, - di dalam hal yang diselidiki
sekarang ini, adakah kami yang menjadi sebabnya? Dengan tetap
kami menjawab: tidak! Bukan kami yang menjadi sebabnya!....
Banyak saksi-saksi menerangkan, bahwa kami selamanya mendidik
kepada keamanan. Orang yang selamanya mendidik kepada keamanan,
mustahillah sengaja melanggar pasal 153 bis dan 169 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana itu, mustahail menjadi sebabnya rakyat tak
tenteram atau bisik-bisikan rakyat itu tadi.
Jadi, apakah sebabnya? Sebabnya adalah banyak; sebabnya
adalah sebagian terletak di dalam kepercayaan rakyat umum, - juga
sebelum kami bergerak!, - bahwa di dalam tahun ini memang akan ada
“apa-apa”; sebabnya adalah sebagian pula terletak di dalam usaha

174
kaum yang benci kepada pergerakan dan mau membencanai
pergerakan itu dengan pelbagai ancaman kepada orang desa, bahwa
toh pergerakan di dalam tahun ini akan diributkan; sebabnya
adalah pula terletak di dalam kesengsaraan rakyat, yang sebagai
kami terangkan di muka, membikin rakyat itu gampang sekali percaya
akan ramalan-ramalan yang kosong; sebabnya bisa juga sebagian
terletak di dalam ancaman kaum Komunis, yang tatkala organisasinya
dihancurkan beberapa tahun yang lalu, sama mengancamnya “Awas
nanti ‘30"! Sebabnya....tetapi cukup, Tuan-tuan Hakim.
Cukuplah kalau kami kemukakan, bahwa juga sebelum kami
bergerak, juga zonder kami bergerak, ketidaktentraman itu sudah ada!
Haji Agus Salim, menurut surat kabar Sin Po tanggal 13 Januari
yang lalu menerangkan, bahwa: “di Kudus ada seorang kiai dan ia
punya 50 murid yang jual jimat dan ramalkan bahwa pada tahun
1930 bakal ada kejadian penting.” Pujangga Jawa yang termashur, Kiai
Ronggowarsito pun pernah membikin ramalan, bahwa dalam tahun
1930 bakal ada kejadian luar biasa, sebagaimana diperingati pula
oleh surat kabar Darmokondo tanggal 8 Januari yang lalu.
Ya, suatu surat kabar perintah sendiri, yakni Poesaka Soenda,
keluaran Bureau Voor de Volkslectuur,3 beberapa bulan yang lalu
berisi suatu advertensi yang berbunyi:

KEANEHAN TAHUN 1930!!!


Ti tahun pungkur keneh jalma-jalma satanah Pasundan guyur
ibur, pada mereunang beja yendina tahun 1930 bakal aya kejadian anu
aneh. Sarerea pada samar kama pijadieunana sarta taya nu terang.
Ayeuna nembe kahartos, sihoreng nu matak ngageunjleung-keun
teh buku kaluaran Bale Pustaka, carios: Pangeran Kornel, nya eta
menak Sunda anu linuhung, luhung elmuna, gede wawanenna,
saincak-incakna tuladeun wungkul.
Ku margi eta sadaya urang Sunda perlu karagungan iyeu buku,
komo ari urang Sumedang mah, wantu Pangeran Kornel teh beunang

175
disebutkeun pupunjunganana. Dalah sanes urang Sumedang oge
sami bae perluna mah, sugan jadi pitulung ngaluhungkeun budina.
Iyeu buku sanes mung sae rupina bae, nanging basane ge teu
kinten maherna, perlu diaraos ku sugri anu keur ngarulik basa.
Pangaosna sahiji mung f 0.70

Surat kabar pemerintah sendiri, Tuan-tuan Hakim, surat kabar


pemerintah sendiri memuat perkataan-perkataan begitu, memberi
makanan pada kepercayaan rakyat-rakyat itu!
Tuan-tuan bisa membantah: “O, itu Cuma suatu advertensi saja!”
“Baik, - tetapi tidakkah mengenai perhatian Tuan-tuan bahwa
advertensi itu termuat di dalam surat kabar pemerintah, dan tidakkah
mengenai perhatian Tuan-tuan perkataan-perkataan di dalam
advertensi itu yang berbunyi: “Ti tahun pungkur keneh, jalma-
jalma satanah Pasundan guyur ibur, pada mereunang beja yendina
tahun 1930 bakal aya kejadian anu aneh, yakni bahwa “dari sejak tahun
dulu mula, orang-orang setanah Pasundan sama ramai, mendapat
kabar, bahwa di tahun
1930 akan ada kejadian yang aneh”?
Tidakkah saat ini suatu bukti, bahwa ramalan dan kepercayaan
tentang 1930 itu di dalam kalangan rakyat memang sudah tak aneh
lagi, dan memang sudah sebagai “keadaan biasa” belaka? Herankah kita
kalau “ketidaktenteraman” itu semakin meluas?
Tetapi kami, apakah yang kami katakan kepada rakyat? Apakah
yang kami ajarkan berhubung dengan kepercayaan rakyat tentang
tahun ’30 itu? Bukan memberi makanan, bukan menambah-
nambahi atau membesar-besarkan kepercayaan itu, tetapi
membantah, menjustakan, membohongkan ramalan itu! Sebab kami
mengerti: Tak baiklah rakyat mempunyai harapan yang kosong, dan
kami tahu: kaum yang benci pada pergerakan itu, sengaja
mempergunakan habis-habisan kepercayaan rakyat itu untuk
membencanai pergerakan, segala mengeksploitir kepercayaan
rakyat itu untuk mencobakan provokasi-provokasi yang rendah. Dan
176
jikalau provokasi itu berhasil, - kamilah yang nanti diingkel-ingkel!
Kamilah yang dijadikan anjing belang! Kamilah yang mendapat palang
pintu!!
Sesungguhnya, Tuan-tuan Hakim, “ketidaktenteraman” rakyat
dan “bisikan-bisikan tentang tahun ’30 tadi itu bukanlah kami
yang menyebabkan, bukanlah kami yang menghasutkan:
“ketidaktenteraman” dan “bisikan-bisikan” itu hanyalah suatu keadaan
yang memang sudah tertanam di dalam budi-akal rakyat sejak
sebelum kami bergerak; kami punya pergerakan hanyalah kebetulan
berjatuh sama dengan kepercayaan rakyat itu! Dan bukan saja berjatuh-
sama: kami punya pergerakan adalah malahan secukupnya
membantah dan membohongkan padanya, memberi peringatan
dan didikan para rakyat, bahwa ramalan-ramalan tentang tahun ’30
itu, adalah kosong belaka! Sangkaan bahwa kamilah yang
menghasutnya, sangkaan itu haruslah kami tolak dengan seyakin-
yakinnya dan sekeras-kerasnya!

Soal Perang Pasifik

Tetapi soal Perang Pasifik, soal bakal datangnya Perang Pasifik,


tidakkah itu suatu bukti bahwa kami dengan menyebarkan kabar
bohong sengaja membikin rakyat jadi tak tenteram, - suatu bukti,
bahwa kami benar-benar menjalankan kejahatan yang dimaksudkan
oleh pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana?
Memang, Tuan-tuan Hakim, memang: kami memang
membicarakan soal Lautan Teduh itu, kami mengatakan bahwa
Perang Pasifik itu akan datang. Kami tidak menyangkal hal itu,
kami tidak memungkirinya. Kami hanyalah menyangkal orang yang
mengatakan bahwa kabar Perang Pasifik adalah “kabar bohong”,
kami hanyalah menyangkal, bahwa maksud kami dengan
menyebarkan kabar Perang Pasifik itu ialah sengaja merusak
ketenteraman rakyat. Kabar Perang Pasifik adalah mula-mula
keluarnya dari pena kaum-kaum Eropa yang terpelajar tinggi dan
177
bijaksana sebagai nanti kami ternagkan, - kabar itu kami sebarkan
tidaklah untuk sengaja merusak ketenteraman, tetapi ialah supaya
rakyat segera sentosa, segera menjadi bangsa!
Di dalam permulaan kami punya pidato, kami sudah
menceritakan, bahwa balapan cari jajahan pada zaman sekarang ini
adalah balapan mati-matian antara belorong-belorong imperialisme
Inggris, Amerika dan Jepang. Kami disitu menceritakan, bahwa nyawa
persaingan antara tiga belorong ini, ialah perebutan negeri Tiongkok.
Kami menceritakan, bahwa siapa yang bisa berkuasa di Tiongkok, dialah
yang bisa berkuasa di seluruh daerah Pasifik, bahwa siapa yang
menggenggam ruam tangga Tiongkok, dialah yang bisa menggenggam
rumah tangga seluruh dunia Timur, ekonomis dan militer. Kami
menceritakan, bahwa untuk merebut upah yang sebegini tingginya
itulah, belorong-belorong tiga macam itu, adalah suatu peperangan
untuk soal “to be or not to be”, - suatu peperangan untuk soal “er op
of er onder”, suatu soal “hidup atau mati”. Oleh karena itulah, maka
Perang Pasifik ini tidak akan berupa perang kecil-kecilan saja, tetapi
akan berupa perang yang menggegerkan seluruh dunia manusia,
menggenjlongkan seluruh daerah Lautan Teduh.
Kami sebagai rakyat yang negerinya dekat sekali pada Lautan
Pasifik itu, yang tinggal di pinggir Lautan Teduh itu, kami harus
mengerti, bahwa hebatnya Perang Pasifik ini tentu akan terasa pula
pengaruhnya di negeri kami, bahwa api yang akan menyala-nyala di
Lautan Teduh itu tentu akan terasa pula panasnya di lingkungan
negeri kami sendiri. Kami harus mengerti, bahwa jikalau rakyat
Indonesia tidak segera menjadi suatu bangsa yang teguh dan sentosa,
jikalau susunan pergaulan hidup Indo-nesia itu tidak sudah diperteguh
sedikit-sedikit, kami bisa juga tidak tahan atau tidak cukup kekuatan
untuk menderitakan pengaruh peledakan itu, bisa juga tidak tahan
berdiri kalau umpamanya buntut salah satu belorong ini menyabet
mengenai diri kami. Oleh karena itu, maka kami sering-sering
memperingatkan rakyat Indonesia itu akan bahaya yang
mengancam dirinya dari arah Lautan Teduh itu, bukan dengan
178
maksud merusak ketenteraman rakyat, bukan dengan
maksud jahat menggegerkan rakyat, tetapi ialah untuk menggugah
keyakinan rakyat Indonesia itu akan perlunya lekas-lekas menjadi
bangsa!
Kami tidak pernah mengatakan, ya, kami tidak mengetahui,
kapan Perang Lautan Teduh itu akan meledak; kami tidak pula
mengetahui, akan dimana pusat peledakannya; kami hanyalah
mengetahui, bahwa jikalau tanda-tanda yang sekarang tampak itu
tidak menyalahi perhitungan manusia, Perang Pasifik itu satu ketika
tentu akan meledak! Sebagaimana tiap-tiap manusia yang jauh
penglihatannya sudah bisa merasakan lebih dulu akan datangnya
perang besar 1914-1918 itu sebelum perang ini terjadi, sebagaimana
misalnya penulis H.N. Brailsford dengan bukunya “The War of Steel
and Gold” sudah bisa lebih dulu menujumkn akan datangnya perang
besar itu sebelum perang ini menggemuruhkan meriamnya, maka
tiap-tiap manusia pun yang memperhatikan jalannya imperialisme-
imperialisme Amerika, Inggris dan Jepang itu di dalam tempo yang
akhirakhir ini, tentulah mendapat keyakinan bahwa tabrakan
Pasifik itu satu ketika, entah kapan, pasti terjadi. Sebagaimana perang
besar 1914-1918 itu mempunyai penujum-penujum yang lebih dulu
sudah menujumkan dia akan terjadi, - misalnya penulis buku “The War
of Steel and Gold” itu tadi, - maka Perang Lautan Teduh pun sekarang
juga sudah mempunyai penujum-penujumnya, misalnya, sebagaimana
kami terangkan di dalam pemeriksaan, Ernst Reinhard dengan
bukunya “Die Imperialistische Politik im fernen Osten”, Karl
Haushofer dengan bukunya “Geopolitik des Pazifischen Ozeans”,
Hector C. Bywter dengan buku-bukunya “Seapower in the Pacific” dan
“The Great Pacific War”.
Benar, - orang bisa berkata -, Perang Pasifik mempunyai
penujum-penujumnya, Perang Pasifik mempunyai nabi-nabinya, - itu
semua kaum Bolsyewik yang selamanya menyebar-nyebarkan kabar
bohong!

179
Maaf! Ernst Reinhard bukan Bolsyewik, Karl Haushofer bukan
komunis, Hector Bywater bukan anggota Internationale ke-3 atau
Komite Eksekutif Sovyet!
Ernst Reinhard adalah seorang “warga yang lurus” negeri Swiss,
yang duduk dalam Nationalrat, Karl Haushofer adalah profesor
tentang Geopolitik pada Universiteit Munchen yang termashur itu,
Hector Bywater adalah anggota marinir Inggris! Pengiraan bahwa
nujuman akan terjadinya Perang Pasifik itu hanyalah buah otak kaum
Bolsyewik yang sakit demam saja, pengiraan itu adalah salah sama
sekali. Bukan kaum Bolsyewik yang dikatakan demam otak itu, bukan
kaum “Gombinis” atau kaum pelempar bomlah yang mengadakan
pustakan Pasifik yang berharga, tetetapi kaum netral yang
obyektif, kaum netral yang mendasarkan segala ucapannya pada
bukti-bukti atau bahan-bahan kejadian yang nyata dan besar
jumlahnya.
Sesungguhnya, siapa yang membaca bahan-bahan kejadian itu di
dalam buku Reinhard “Imperialistische Politik im fernen Osten”, di
dalam buku Houshofer “Geopolitik ddes Pazifischen Ozeans”, atau di
dalam buku Bywter “Seapower in the Pacific” itu tadi, siapa yang
membaca di dalam buku-buku itu bagaimana Amerika, Inggris dan
Jepang bersedia-sedia melengkap-lengkapkan senjatanya masing-
masing; siapa yang membaca di dalam buku-buku itu uraian penulis-
penulis yang sukar disangkal karena berdasarkan bukti-bukti yang
nyata;...siap yang memperhatikan nujuman-nujuman penulis-penulis
itu, dia tentulah mendapat keyakinan bahwa suatu hari, entah kapan
Perang Pasifik itu pasti terjadi!
K ita baca di situ bagaimana Jepang merebut konsesi-konsesi
minyak di Sakhalin buat keperluan armadanya; kita baca di situ
bahwa yang dinamakan “konferensi perlucutan senjata” di
Washington itu hanyalah suatu akal Amerika belaka mengikat kaki
Jepang yang makin lama makin menakutkan itu dengan perdaiaman,
bahwa armadanya tidak boleh lebih dari 315.000 ton kapal perang dan
81.000 ton kapal pembanttu, sedang kapal-kapal masing-masing pihak
180
tidak boleh lebih besar dari 40.000 ton satu-satunya, meriam-meriam
masing-masing pihak tidak boleh lebih besar dari 406 mm kalibernya.
Kita baca disitu bagaimana cerdik muslihat masing-masing pihak,
yang toh membesar-besarkan kekuasaannya dengan membikin
banyak kapal-kapal perang kecilan tapi lebih cepat, beserta membikin
banyak kapal-kapalselam, - kapal-kapal perang kecilan dan kapal-kapal
selam yang di dalam Perang Dunia 1914-1918 terbukti lebih “efisien”
dari kapal-kapal perang yang terlalu besar. Kita baca di situ bahwa di
dalam beberapa tahun saja sesudah sandiwara konferensi itu, Jepang
seperti terjangkit setan bekerja membikin 30 kapal perang kecil yang
baru, 77 destroyer (kapal perusak) baru, 73 kapal selam bru, -Inggris
sibuk membanting tulang mengadakan 13 kapal perang kecil baru, 4
kapal perusak baru, 6 kapal selam baru, - Amerika sebagai kemasukan
iblis darahnya geger menyelesaikan 19 kapal perang kecil baru, 106
kapal perusak baru dan 48 kapal selam baru.4
Kita baca disitu, apa sebabnya Inggris mau memindahkan
pangkalan angkatan lautnya dari Malta ke timur, yakni ke Singapura
di pinggir daerah Pasifik, - dan apa sebabnya Amerika tak berhenti-
hentinya membujuk-bujuk Prancis menjual Kepulauan Oceania
kepadanya, yakni supaya ia bisa menambah lagi benteng-benteng
lautnya yang kini sudah banyak itu. Kita baca di situ, bagaimana
Amerika sebentar-sebentar mencoba kekuatannya dengan perang-
perangan terutama di daerah pimpinan sekretaris marine Wilbur,
perang-perangan mencoba kekuatan pangkalan Panama dlam tahun
’23, mencoba kekuatan pangkalan Antillen dan Virginia dalam tahun
’24, mencoba kekuatan pangkalan Pearl Harbour dan Hawaii dalam
tahun ’25; dan bagaimana kemudian daripada itu, Amerika lantas
mengadakan pelayaran Pasifik umum dengan disaksikan oleh wakil-
wakil 40 surat kabar Amerika yang terbesar, yakni supaya semangat
publik Amerika bisa dipengaruhi dengan semangat
imperialisme. Pendek kata: Kita baca disitu, bagaimana tiga negeri ini
sebagai kena penyakit anjing gila sama melengkap-lengkapkan
senjatanya! Dan siapa yang suka menghargakan bahan-bahan
181
kejadian dan isi buku-buku itu tadi sebagai kami menghargakannya, dia
tentulah, tidak boleh tidak, mendapat pula keyakinan bhwa satu
hari pastilah datang saatnya air Samudra Pasifik itu menjadi kawah
neraka yang tiada bandingannya di seluruh riwayat dunia, - menjadi
kawah neraka yang mendidih seolah-olah besok pagi akan kiamat!
Sebagai tiga maharaja singat yang sudah berhadap-hadapan
mau menerkam satu sama lain dengan sudah meringiskan giginya dan
sudah mengulurkan kuku-kukunya, sebagai tiga ular belorong yang
sudah memasang-masangkan mulutnya mau menelan satu sama lain,
sebagai tiga ikan octopus atau cumi-cumi mahabesar yang sudah
menggeloget-gelogetkan tangan-tangan penyerotnya akan
membinasakan musuhnya, maka kini Inggris bersiap di Singapura,
Jepang menyedia-nyediakan senjatanya di Jepang sendiri beserta di
Kepulauan Mariana, Marshall dan Bonin, - Amerika berbenteng di
Dutch Harbour, di Hawaii, di Tutuila, di Guam dan di Manila!
Tuan-tuan Hakim, siapakah yang tidak percaya bahwa Perang

Pasifik itu akan datang, kalau ia melihat bukti-bukti


perlengkapan; senjata yangn demikian ini? Siapakah yang bisa
menjustakan, perhitungan akan pecahnya perang ini, dengan bukti-
bukti kejadian-kejadian sebagai yang ditunjukkan oleh Reinhard, oleh
Prof. Haushofer, oleh Bywater itu? Siapakah yang bisa mengatakan
bahwa akan datangnya Perang Lautan Teduh itu adalah “kabar
bohong”, - “kabar bohong” sebagai yang dimaksudkan oleh pasal
171 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana -, kalau ia melihat bahwa
kaum terpelajar yang bernama sebagai Reinhard dan Profesor
Haushofer, ahli marine yang terkenal sebagai Hector Bywater, sama
menujumkannya sesudah penyelidikan yang teliti?
Dan bukan menujumkan saja akan datangnya, Tuan-tuan
Hakim! Hector Bywater di dalam bukunya “The Great Pacific War”
malah bisa menyebutkan jalannya perang itu satu per satu, gerak
bangkitnya pergelutan belorong-belorong imperialisme itu hampir
dengan seksama. Ia mengatakan, bahwa meledaknya Perang Pasifik

182
itu ialah oleh karena Jepang mau membelokkan anggapan umum di
Jepang yang terjangkit pergerakan revolusioner. Ia menujumkan,
bahwa pada permulaan peperangan itu, Amerika bisa dipukul
lemah oleh karena suatu kapal Jepang bisa menghancurkan Terusan
Panama dengan peledakan dinamit yang mahahebat, - bahwa Manila
dan Kepulauan Filipina bisa direbut oleh musuh, - bahwa suatu
armada Amerika bisa dibinasakan sama sekali. Ia lantas meramalkan,
bahwa sesudah kena pukulan-pukulan itu, rakyat Amerika bangkit
semangat kemarahannya, bahwa segenap armada Amerika yang
masih ada lantas mengamuk membasmi armada Jepang di dalam
suatu pertempuran mati-matian di dekat Guam, - dan bahwa baru
kemudian daripada itu perdamaian terjadi. Atas gambaran tabrakan
yang dibikin oleh Hector Bywater ini. Ernst Reinhard memberi
komentar:
“Ia terlalu kecil menaksirnya, kalau ia mengiri bahwa
tabrakan ini hanya suatu perkelahian antara dua negara
saja. Ini sudah tentu tidak demikian halnya”.5
Amboi, “ini sudah tentu, tidak demikian halnya”! Perang
Pasifik menurut Reinhard akan lebih besar lagi dari nujuman Bywater
itu ! O, tidakkah wajib rakyat Indonesia lekas-lekas menjadi kuat,
lekas-lekas memperteguh pergaulan hidupnya, lekas-lekas menjadi
bangsa, agar supaya cukup kesentosaan menolak pengaruh perang
besar ini, pengaruh yang tidak boleh tidak tentu kami deritakan, kami
yang hidup di pinggir Lautan Teduh itu!
S ayang Tuan-tuan Haki, sayang kami tak cukup tempo
buat membeberkan disini semua isi buku tiga penulis itu tadi, tetapi
di sini kami sediakan salah satu daripadanya, - kalau Tuan-tuan
timbang perlu, bolehlah Tuan-tuan buktikan sendiri.6
Meskipun demikian, marilah kami di sini mengambil satu
dua kutipan daripadanya, marilah kita mendengarkan cerita Reinhard
yang demikian bunyinya:

183
“Jepang mau menyelesaikan soal Timur Jauh itu menurut
dia punya kemauan. Tetapi apa yang dikehendaki “kaum-
kaum kuasanya, apa yang dikehendaki trust-trustnya,
ti dak menyenangkan hati Amerika dan Morgan.
Perjuangan berebutan mangsa tetap ada. Kapan akan
meledak? Inilah pertanyaan yang harus dijawab Amerika”.
(hal.215)7 ....Amerika mempersenjatai diri.... Ia bukan saja
menyelesaikan angkatan lautnya, tetapi juga pangkalan-
pangkalannya di Lautan Teduh. Dari Dutch Harbour di
Kepulauan Aleoeten melalui Hawaii ke Tutuila dan Guam
sampai ke Filipina, terbentang suatu lengkungan yang
luas dari benteng-benteng Amerika, suatu lengkungan yang
menggigit Jepang di utara dan selatan seperti tang. Jepang
tahu gigitan tang baja ini. Pun Inggris
mengetahuinya.” (hal.224).
“Tekanan makin keras. Tidak ada pentil terbuka. Sekarang
ketel yang terlalu panas itu, masih bisa menahan tekanan
yang keras itu. Tetapi persaingan trust-trust Amerika
dan Jepang di Tiongkok terus menerus menambahkan
bahan bakar baru, saban hari melemparkan minyak ke
dalam api. Satu ketika pasti datang wktunya, tekanan uap
itu akan meledakkan ketel itu dengan kekuatan yang
hebat!” (hal.223)
“Apabila karena Tiongkok, timbul perang, maka tentulah
itu jadi perang dunia yang sesungguhnya.... Kita semua
harus ikut menari apabila hantu maut
memperdagangkan lagu mati Tionghoa,” (hal.227).
Tuan-tuan Hakim, begitulah bunyi nujuman orang-orang
bijaksana itu. Kami, kaum Partai Nasional Indonesia, kami mengerti
akan bahaya yang mengancam rakyat dari peperangan hebat ini.
Kami merasa wajib memperingatkan rakyat tentang bahaya itu, kami
merasa wajib memuji-mujikan kepada rakyat supaya lekas-lekas
184
menjadi teguh, lekas-lekas menjadi bangsa. Sebab kami, sekali lagi
kami katakan kami insaf, kami yakin, bahwa rakyat kami dan negeri
kami, yang diam di pinggir samudra peperangan itu, niscaya
akan mendapat pengaruh pula yang membencanai ekonomi
dan pergaulan hidup.
Kami tidak mengatakan, bahwa Perang Pasifik itu tahun ini
akan pecah. Kami tidak pula mengatakan, bahwa ia sebentar lagi
akan meledak. Kami hanyalah memperingatkan, bahwa dengan
adanya persaingan Amerika, Jepang dan Inggris itu, peperangan itu
akan terjadi.
Ah, Tuan-tuan Hakim, di Indonesia Ini, toh bukan kami saja
yang mengatakan akan datang perang itu, toh bukan kami
saja yang mengumumkan kabar itu, yang memang bukan kabr
bohong. Dr. Ratulangi8 di dalam rapat Dewan Rakyat 14 Juni
1928, jadi, lebih dulu dari kami, membicarakan akan datangnya
Perang Pasifik itu juga, dan belakangan ini AID de
Preangerbode dan Java Bode pun ikut menceritakannya!
Adakaha mereka menyebrkan “kabar bohong”? Adakah mereka
bermaksud merusak ketenteraman rakyat?
“Dalam pada itu”, begitulah Dr. Ratulangi berpidato,
“Dalam pada itu, di dalam perjuangan adu tenaga antara
golongan sini dan sana, oleh golongan-golongan Barat
terlampau dilupakan, bahwa keadaan politik Indonesia di
kelak kemudian hari, adalah juga, dan buat sebagian
besar, akan dikuasai oleh evolusi selanjutnya dari
keadaan internasional di daerah yang disebut Timur
Jauh.... Secara psikologis bisa dikatakan, bahwa orang
dengan begitu saja menekan kenyataan, bahwah soal
jajahan Indonesia adalah suatu bagian dari soal Pasifik
yang besar dan bahwa negeri ini tidak bisa melepaskan
diri dari nasibnya, barangkali secara aktif, tapi pasti
secara pasif, akan terlibat dalam pertikaian di Pasifik,
dalam mana kekuasaan-kekuasaan yang hebat akan
185
tabrakan. Marilah kita coba menginsafi keadaan ini; di
seluruh Asia Timur, telah jalin-berjalin kegiatan ekonomi,
politik, dan strategi: Alasan-alasan angkara murka dan
alasan-alasan ekonomi di muka, seperti biasa, dan
di belakangnya berkapal-kapal semboyan-semboyan
kemanusiaan dan kesusilaan tentang membawa
peradaban dan sebagainya.
“Tiga hal,” kata Max Reinhard (sebetulnya Ernst Reinhard,
Tuan-tuan Hakim), “yang dicari oleh kapital asing di
Tiongkok: pasaran buat barang-barangnya, bahan mentah
buat keperluan bahan pokoknya dan tenaga buruh yang
murah buat pabrik-pabriknya”,... apa yang dikatakan
tentang Tiongkok, mutatis mutandis berlaku juga buat
banyak daerah-daerah Pasifik yang lain. Hanya, pusat soal
Pasifik ini adalah Tiongkok, karena soal-soal di situ adalah
soal-soal besar dan oleh karena disitu, seolah-olah kita
melihat sendiri berlaku duka-carita suatu negeri yang
merdeka menjadi korban makanan kesarakahan yang
tidak kenal ampun dari berbagai gabungan kekuasaan.
Tetapi jelaslah, bahwa semua ini, daerah-daerah
sewaan, daerah-daerah pengaruh dan kepentingan atau
politik pintu terbuka....tidak bisa tidak tentu menyebabkan
suatu keadaan yang panas dalam makna yang diberikan
oleh Van den Bergh van Eysinga.
Hubungan-hubungan moril yang berat sebelah ini, yang
kata orang hanya bisa dipertahankan selama bangsa-bangsa
asing itu cukup kuat untuk mempertahankannya, semua
cara-cara campur tangan itu, adalah sarang-sarang atas
mana akan tumbuh pertikaian-pertikaian, yang akan
berkobar sampai jauh di luar batas negeri Tiongkok. Sebab di
dalam persaingan untuk mendapatkan keuntungan-
keuntungan ekonomi sekarang ini, dunia Barat tertumbuk
186
pada perlawanan, pasif dan aktif. Pasif dari tenaga-tenaga
pembaruan dunia Timur sendiri dan aktif dari suatu saingan
bangsa Timur.... yakni jepang. Dalam keadaan seperti ini,
pertentangan dan permusuhan akan tumbuh dan
meruncing, sehingga suatu ketika tentu akan
ditemui penyelesaian yang bisa dalam pertikaian yang
membawa bencana, dalam mana diplomasi dan kepintaran
ahli negara harus menarik diri di belakang mulut meriam
dan mitraliur. Pendahuluan penyelesaian yang membaca
bencana ini sudah kelihatan dan tanda-tandanya tidak bisa
salah lagi diartikan, asal saja orang mau melihat dan tidak
membiarkan dirinya diakali dengan pidato-pidato omong
kosong dan pidato-pidato gembira yang tidak berisi sedikit
juga.....
............Asia Timur sudah menjadi papan catur politik
penetrasi ekonomi dan militer internasional; kita lihat
buah catur demi buah catur dikedepankan dan kemudian
ditarik mundur; Jerman menarik diri dari Kiauchau, Jepang
menaruh di situ salah satu buah caturnya. Amerika
melepaskan Yap, pusat pertemuan kawat-kawat telegrap,
Jepang menaruh pula di sana buah catur yang lain. Jepang
menambah kekuatan angkatan perangnya semenjak
perletakkan senjata tahun 1918 dengan 19 kapal perang
kecil, 54 kapal perusak dan 45 kapal selam, sedang
Inggris membikin suatu pangkatan angkatan laut di
Singapura dan Amerika menambah kekautan angkatan
lautnya dengan jumlah kapal perang yang lebih besar lagi,
serta memperkuat pangkalan-pangkalan Hawaii, Tutuila,
dan Guam. Dan di bawah ini semua, tidak keliahtan oleh
pengawasan publik, bekerja spion-spion, buah catur
rendahan, mereka itulah yang menganyamkan jaring,
di atas mana nanti akan dimainkan perkelahian besar-

187
besar......Tetapi dalam pada itu, besok atau lusa tengah-
tengah usaha yang saling bertentangan di atas Bumi Asia
Timur itu bisa meledak dan mendidihlah kawah mereka,
juga atas negeri-negeri ini juga dengan tiada kemauan
kami. Dan bagaimana jadinya? Bagaimanakah kedudukan
Indonesia dalam pertikaian yang membawa bencana itu,
yang pasti akan terjadi”......
Tuan-tuan Hakim, Dr. Ratulangi bukanlah komunis,
bukanlah sosialis, bukanlah nasionalis kiri sebagai kami. Dr.
Ratulangi adalah seorang yang sekarang terkenal sabar sekali, yakni
seorang yang terkenal sangat “lunak”nya dan sangat “kapuk”nya. Dari
Dr. Ratulangi karena itu orang tidak gampang mengatakan, bahwa ia
“omong kosong”, sebagai yang sering dituduhkan kepada kaum
radikal. Meskipun demikian, Dr. Ratulangi berpidato juga, bahwa
Perang Pasifik akan meledak, bahwa “kawah neraka” dan
“pertikaian yang membawa becana” itu “pasti akan terjadi”, akan
membakar dunia Timur “besok atau lusa”! Sesungguhnya, adakah
kabar Perang Pasifik itu, kalau kami yang mengabarkannya kepada
rakyat, sekonyong-konyong menjadi “Kabar bohong”? adakah kabar
itu, kalau kami yang mengabarkan, sekonyong-konyong berarti, bahwa
kami sengaja mau merusak ketentraman umum? Adakah kabar itu,
kalau kami yang mengucapkannya, sekonyong-konyong menjadi
alasan untuk menuduhkan pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana?
Toh tidak, Tuan-tuan Hakim!
Tapi biarpun begitu......kami berdiri di muka Tuan-
tuan Hakim........terdakwa melanggar pasal 171 itu!
O, nasib! Sedang kami di Landraad berhubung dengan soal
Pasifik ini, sedang kami menjadi pesakitan di hadapan mahkamah
Tuan-tuan berhubungn dengan soal Pasifik itu, maka pada
pertengahan bulan Oktober yang lalu diadakan perang-perangan oleh

188
angkatan laut Jepang yang mahahebat, dan AID de Preangerbode pada
ketika itu memuat suatu kabar Associated Press yang berbunyi:
“Persediaan-persediaan sudah dimulai tanggal 7 bulan
ini......tatkala satuan-satuan armada biru berangkat ke tempat
pusatnya di Kure dan kapal-kapal musuh dengan rahasia
bergerak di perairan selatan, sampai-sampai di dekat Formosa.
Agak jauh sedikit dari Formosa......adalah Kepulauan Filipina,
tapi tidak seorang pun yang begitu tidak diplomatiknya untuk
menyindir-nyindirkan sekalipun, bahwa serangan itu datangnya
dari sana!”
Sedang kami di Landraad berhubung dengan soal Pasifik itu,
maka AID de Preangerbode 6 Oktober 1930 membicarakan akan
terpecahnya soal Pasifik itu sebagai suatu soal aktual dan praktis
di dalam tajuk rencananya, yang berkepala: De Vlootwet
(Undang-Undang Angkatan Laut), - yakni menganjurkan supaya
diterima anggaran belanja pembesaran armada Hindia Belanda
guna menjaga kenetralan di dalam Perang Pasifik yang
dipastikan olehnya akan meledak itu! Sedang kami di Landraad
berhubung dengan soal pasifik itu, maka Java Bode
mengumumkan artikel bersambung-sambung dari pena “Ob-
server” yang mengatakan, bahwa keadaan di dunia Pasifik
“sudah begitu panas, sehingga sebab yang sekecil-kecilnya pun
sudah cukup buat meledakkan Perang Pasifik itu.9
Dan kami bertanya lagi: Adakah kami harus dihukum, kalau
kami ikut-ikut membicaran soal pilitik itu, adakah kami sekonyong-
konyong menjadi penyebar kabar bohong guna merusak ketentraman
umum, kalau kami ikut-ikut meramalkan Perang Pasifik itu, - Perang
Pasifik, yang di Indonesia juga diramalkan oleh Dr. Ratulangi, jug
diramalkan oleh AID de Preangerbode, juga diramalkan oleh Java Bode
itu?
Tetapi hasutan harus berontak atau mogok kalau perang itu
sudah datang! Kami tidak pernah menghasut demikian itu. Kamipun
189
tidk pernah menyindir atau memujikan dengan tertutup akan
perbuatan-perbuatan yang demikian itu, atau perbuatan apa saja
yang dilarang oleh hukum. Kami, sebagai tadi kami terangkan,
hanyalah memujikan supaya rakyat lekas menjadi bangsa, agar kuat
menolak pengaruh perang pasifik itu (terutama pengaruh ekonomi),
- pengaruh yang tentu kami deritakan oleh karena kami hidup
dipinggir Lautan Pasifik! Lebih dari 10 saksi membuktikan hal-hal
ini, Tuan-tuan Hakim. Dan lagi, - mana boleh jadi kami menghasut
mogok, mana boleh jadi kami menyuruh atau memujikan staking,10
dimana kami tidak berdiri di muka perserikatan sekerja atau tidak
berdiri di muka kaum buruh yang tersusun di dalam serikat sekerja;
mana boleh jadi kami memujikan pemogokan-pemogokan,
dimana pendirian kami terhadap pemogokan itu ternyata – dengan
seterang-terangnya di dalam manifes pengurus PNI yang termuat
di dalam “Banteng Periangan” No. 9-10, yang kami serahkan kepada
Tuan-tuan Hakim itu? Mana boleh jadi kami berkata bahwa Perang
Pasifik akan terjadi dalam tahun 1930 atau lekas-lekas, dan
bahw pada saat pemecahnya itu kami akan merebut kemerdekaan,
dimana ternyata tidak ada satu anggota PNI yang terdapat
mempunyai senjata apa saja yang pantas dipakai berontak, yakni di
mana tidak terdapat satu bedil atau satu pistol atau satu pedang
tatkala diadakan penggeledahan di mana-mana?

Niat merobohkan imperialisme, kekuasaan pemerintah, dan


sebagainya

Tetapi perkataan-perkataan “robohkanlah imperialisme


memeras kita”, “kapitalisme menindas kita”, tidakkah yang demikian
itu bukti-bukti bahwa kami bersalah melanggar pasal 153 bis atau 169?
Kami menjawab: kami mustahil sengaja melanggar pasal-pasal
itu. Kami bukankah sebagaimana banyak saksi menerangkan
kepada Tuan-tuan Hakim, selamanya mendidik ke arah keamanan,
selamanya mendidik kepada kesabaran. Kami bukankah selamanya
190
menghubukum anggota-anggota yang membahayai keamanan umum
itu. Adakah bisa jadi bahwa orang yang senantiasa mendidik ke arah
keamanan, latas sengaja melanggar pasal 153 bis atau 169? Adakah
bisa jadi, adakah mungkin bagi Tuan-tuan Hakim, bahw orang yang
tak henti-hentinya mengharuskan “harus mejauhi segala hal yang teu
puguh”, yakni “harus mejauhi segala yang tidak senonoh”,
mengancam tiap-tiap anggota yang melanggar keamanan dengan
royeman (pemecatan), membohongkan bisikan-bisikan akan ada apa-
apa tahun ’30 – adakah mungkin bagi Tuan-tuan, bahwa orang yang
demikian itu lantas mempunyai niat, membahayai keamanan umum
atau melanggar kekuasaan pemerintah menjalankan hal-hl lain
yang dituduhkan dalam proses ini?
O, memang, kami memang pernah mengatakan
“robohkanlah imperialisme!”, “robohkanlah kapitalisme!”, - kami
memang pernah mengatakan “imperialisme jahat, kapitalisme
angkara murka, imperialisme mencelakakan kita, kapitalisme
merusak rakyat”, dan lain-lain sebagainya, - tetapi adakah bisa jadi,
bahwa kami memaksudkan dengan perkataan imperialisme itu
pemerintah yang sekarang atau keamanan umum, adakah bisa jadi
bahwa kami memaksudkan dengan kapitalisme itu bangsa Belanda
atau bangsa asing yang lain?”
Kapitalisme dan imperialisme, Tuan-tuan Hakim, kapitalisme
dan imperialisme, sebagai kami uraiakan di awal kammi punya pidato
dengan disokong dalil-dalil orang-orang yang ternama, bukanlah
bangsa Belanda, bukanlah bangsa asing yang lain, bukanlah kaum
Binnenlandsch Bestuur, bukanlah kekuasaan pemerintah, bukanlah
suatu badan atau materi, -kapitalisme dan imperialisme, sebagai
tiap-tiap perkataan yang berakhiran “isme”, adalah suatu faham,
suatu pengertian, suatu sistem! Sistem ini yang mencelakakan, sistem
ini yang merusak, sistem ini yang jahat, sistem ini yang harus
“dirobohkan”, - bukan bangsa asing, bukan pemerintah, bukan
kekuasaan pemerintah! Amboi, adakah kami begitu goblok, adakah
kami kering otak atau barangkali miring otak, mengira bahwa
191
imperialisme = kekuasaan pemerintah, kapitalisme = bangsa asing.
Kami, yang toh setidak-tidaknya boleh dinamakan orang terpelajar?
Adakah kami sia-sia, lebih dari 20 tahun duduk di atas bangku
sekolahan11 lebih dari 10 tahun membaca buku-buku sosial,
mempelajari ilmu pengetahuan sosial, - yang kami tidak tahu
bedanya antara imperialisme-kapitalisme dengan kekuasaan
pemerintah beserta bangsa asing?
Ah, Tuan-tuan Hakim, di dalam salah satu dari hasil-hasil
yang diserahkan oleh saksi Albreghs, bukankah dengan seterang-
terangnya tertulis, bahwa yang kami orang musuhi itu ialah suatu
sistem, dan bahwa “kami tidak menyalahkan negeri Belanda”, dan
bahwa “tidak semua or-ang Belanda jahat!” Di dalam catatan-catatan
kursus pemimpin bukankah tertulis dengan seterang-terangnya,
bahwa imperialisme adalah suatu faham atau tabiat, dan di dalam
keterangan banyak saksi bukankah ternyata juga, bahwa yang kami
orang empat terdakwa maksudkan dengan kata imperialisme itu
ialah suatu faham atau suatu nafsu, sedang di dalam keterangan saksi-
saksi Doelhadi, Entjo, Soemarta, H. Mansoer,12 yang sama
menerangkan, bahwa kata imperialisme terjadinya ialah dari kata
imperium, ternyata pula dengan senyata-nyatanya bahwa kami or-ang
empat terdakwa sebelum membicarakan imperialisme itu, lebih dulu
adalah memberi keterangan yang jelas tentang faham dan arti-
artinya!
Lagi pula tidakkah kami punya penglihatan politik
mengatakan bahwa dengan berhentinya kekuasaan pemerintah di
sini, imperialisme itu belum tentu berhenti sama sekali, yakni bahwa
dengan berhentinya kekuasaan pemerintah itu, Indonesia buat
sementara waktu masih menjadi lapangan imperialisme, masih
belum terhindari dari pengerukan kapital surplus asing, masih ada
kaum gula, kaum minyak, kaum tembakau, dan lain-lain, sebagai
misalnya sekarang negeri Tiongkok atau Persia yang merdeka itu,
kedua-duanya bongkok menderitakan pengerukan imperialisme
asing! Tidakkah kami punya penglihatan politik itu mengatakan, bahwa
pemerintahan nasional itu, - jadi, kalau kekuasaan pemerintah asing di
192
sini sudah tidaka da! – selain buat rekonstruksi nasional, adalah
suatu syarat untuk melawan imperialisme dengan leluasa dan
memberhentikannya sama sekali, sebagaimana juga misalnya kaum
sosialis memandang kekuasaan politik sebagai suatu syarat
untuk memberhentikan kapitalisme! Tidakkah dengan kami punya
penglihatan politik itu, ternyata dengan seterang-terangnya, bahwa
di dalam kami punya penglihatan imperialisme dan kekuasaan
pemerintah bukanlah satu, bukanlah identik!
Lagi pula, tidakkah kami sering-sering menerangkan di
dalam kursus-kursus atau rapat umum, bahwa imperialisme di
Indonesia adalah internasional, yakni bahwa kami rakyat Indonesia
sejak adanya politik pintu terbuka adalah dihinggapi pula oleh
imperialisme Amerika, imperialisme Inggris, imperialisme Jepang dan
lain-lain, - imperialisme Belanda dengan modal kurang lebih f
4.000.000.000, - imperialisme asing yang lain-lain dengan modal
kurang lebih / 2.000.000.000.- , sedang kekuasaan pemerintah di
Indonesia toh hanya kekuasaan Belanda saja! Tidakkah di dalam
keterangan asas PNI tertulis dengan seterang-terangnya apa yang
bernama imperialisme itui, dan bahwa imperialisme di sini itu bersifat
internasional, - keterangan asas PNI yang kami menjadi penulisnya!
Tidakkah kami, kalau kami membicarakan imperialisme itu di kursus
atau di rapat umum, biasa sekali lantas membikin suatu analisa
daripadanya, - analisa di dalam empat sifat yang kami sebutkan di
awal pidato ini dan yang juga tertulis di dalam keterangan asas PNI -,
yakni pertama sifat pengambilan bekal-bekal hidup, kedua sifat
pengambilan bekal-bekal pokok untuk industri di negeri asing,
ketiga sifat memperusahakan Indonesia menjadi pasar penjualan
barang-barang dari negeri asing, keempat sifat memperusahakan
Indonesia menjadi daerah pengerukan kapital surplus asing, - sambil
selamanya menyebutkan angka-angka hasil “gula kurang lebih f
400.000.000.- setahunnya”, “karet kurang lebih f 400.000.000.-
setahunnya”, “minyak kurang lebih f 150.000.000.- setahunnya”

193
dan seterusnya, sehingga ternyata bahwa yang kami namakan
imperialisme itu ialah bukan kekuasaan pemerintah!
Sesungguhnya, Tuan-tuan Hakim, jika dikatakan bahwa
kekuasaan pemerintah! Bedanya imperialisme dengan kekuasaan
pemerintah, itu adalah suatu hal yang tidak masuk akal, suatu hal yang
mokal, suatu hal yang mustahil!
Tetapi Tuan-tuan barangkali membantah: “Betul Tuan tahun
bahwa imperialisme bukan kekuasaan pemerintah, Tuan tahu bahwa
kapitalisme bukan bangsa asing, - tetapi tatkala Tuan berseru
“robohkanlah imperialisme dan kapitalisme!” Tuan maksudkan
kekuasaan pemerintah; dan bangsa asing!

Ini juga mustahil, Tuan-tuan Hakim!

Kami bukankah, kepada semua anggota baru, kalau


kami menerangkan asas PNI dengan panjang lebar, senantiasa
menerangkan juga panjang lebar arti dua perkataan imperialisme dan
kapitalisme itu, sifat-sifatnya dan keinternasionalan imperialisme itu,
sebagai yang kami uraikan tadi. Kami bukankah spesial
mengadakan kursus sambung-bersambung tentang hal bagaimana
kapitalisme-kapitalisme di Eropa atau Amerika memberi “cap” sendiri-
sendiri atas imperialisme-kapitalismenya di Asia, - dari imperialisme
rampk cara biadap Spanyol zaman dulu sampai imperialisme monopoli
Belanda di Indonesia, dari imperialisme setengah monopoli Inggris di
India sampai imperialisme liberal Amerika di Filipina! Kami bukankah
spesial mengadakan kursus-kursus tentang fasal kapitalisme,
kursus-kursus buat menerangkan arti dan faktor-faktornya, yakni
kursus-kursus tentang teori nilai lebih tentang akumulasi kapital,
tentang konsentrasi kapital, tentang sentralisasi kapital, tentang
tentara pengangguran industri dan lain-lain!
Pendek kata, Tuan-tuan Hakim, perkataan imperialisme
dan kapitalisme seringlah kami terang-terangkan maknanya,
perkataan-perkataan itu, kalau kami ucapkan, mustahillah kami lantas

194
sebenarnya memaksudkan kekuasaan pemerintah atau bangsa asing.
Apalagi.....jika dituduhkan bahwa kami pernah mengatakan bahwa
imperialisme = kekuasaan pemerintah, bahwa kami pernah
mengatakan bahwa imperialisme = bupati, wedana, camat,
kopral, bahwa kami pernah mengatakann bahwa kapitalisme =
bangsa asing, - itu adalah lebih mustahil lagi, lebih lagi sama sekali
tidak ada mirip-miripnya!
Amboi, umpama kami dengan kata imperialisme itu
memaksudkan kaum BB atau pemerintah, bukankah barangkali lebih
baik sama sekali kami berkata: imperialisme = gubernur jenderal,
imperialisme = residen, imperialisme = hopkomisaris polisi, dan
seterusnya.
Tidak! Kalau kami berkata imperialisme, maka kami
bermaksud juga imperialisme, kalau kami berkata kapitalisme, maka
kami bermaksud juga kapitalisme. Memang imperialisme dan
kapitalisme ini yang jahat, memang imperialisme dan kapitalisme
ini yang harus dirobohkan, memang imperialisme dan kapitalisme
ini yang kami musuhi. Kami adalah ingin merobohkan suatu nafsu
atau sistem, bukan kekuasaan pemerintah atau suatu bangsa!

Bahasa Radikal

Tetapi perkataan-perkataan yang tajam-tajam itu! – Buat


apa memakai perkataan yang tajam-tajam itu, buat apa memakai
perkataan “merobohkan”, “menghancurkan”, “mencelakakan”,
“merusak” dan lain sebagainya, kalau tidak buat menghasut dan buat
menganggu keamanan umum – buat merusak ketentraman rakyat?
O, memang, Tuan-tuan Hakim, kami punya bahasa adalah
bahasa yang radikal. Kami punya bahasa bukanlah bahasa nenek-
nenek yang sudah jatuh pingsan kalau mendengar kata
“kemerdekaan”, kami punya pidato-pidato bukankan pidato paderi di
dalam gereja atau pidato juru khotbah di dalam mesjid. Kami adalah
nasionalis revolusioner, nasionalis yang radikal, nasionalis kepala
195
banteng! Kami punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu
yang berkobar-kobar dengan semangat nasional, berkobar-kobar
dengan rasa-kecewa atas celaka dan sengsara rakyat. Siapakah tidak
pedih dan dendam hati, siapakah tidak kecewa hati kalau ia
mengetahui celaka dan sengsara rakyat sebagai yang kami gambarkan
di muka tadi, kalau memang ia mau bertulus hati! Sebagai pidato-
pidato hampir semua pemimpin nkaum celaka dan kaum sengsara di
mana-mana negeri, sebagai bahasa semua pemuka kaum terpepet,
hatinya penuh dengan rasa pedih dan rasa kecewa, sebagai bahasa
semua kaum radikal dan revolusioner yang semangatnya berkobar-
kobar, maka pidato-pidato kami dan bahasa kami penuh dengan kata-
kata yang radikal dan tandes, penuh dengan gambar-gambar tamsil-
tamsil, babasan dan seloka yang berisi semangat yang berkobar-kobar
pula. Tetapi tidak adalah pidato-pidato kami dan bahasa kami itu berisi
niat melanggar pasal 153 bis, tidak adalah ia berisi maksud
menjalankan kejahatan-kejahatan yang dituduhkan dengan pasal 169!
Jikalau Mr. Pieter Jelles Troelstra di dalam api pidatonya
berkata: “hantamkanlah kita punya palu godam di atas
singgasana kaum kapitalisme!”, jikalau Jean Jaures menggetarkan
hati dan semangat pendengar-pendengarnya dengan perkataan: “ini
kesengsaraan sekarang sudah menjadi bangun dan menuntut dengan
menggenggam pisau belati ia punya tempat di bawah matahari”;
jikalau pemimpin-pemimpin proletar mendengungkan “majulah
perang menghancurkan kapitalisme, majulah perang melawan kaum-
kaum yang kuasa”; jikalau di dalam parlemen atau rapat partai apa
saja kita sebentar-sebentar mendengar seruan “rapatkanlah barisan”,
“luruglah bentengnya musuh”, “asahlah senjatamu yang paling tajam
untuk melebur pengkhiatan-pengkhiatan kita secindil abangnya”;
jikalau Pastor van Lith berseru pada rakyat Indo-nesia:
“………biarlah mereka dengan cara yang lalim
mempergunakan kekuasaannya, kalau mereka mau, -
kamu akan tumbuh meskipun ditindas seperti baja

196
menjadi keras di dalam api, menambah tenaga dengan
mempertahankan diri, belajar mengetahui tenaga
berkelahi musuhmu, dan mahakuasa oleh tenaga
jumlahmu, tergembleng dengan kerja sama dan
berkelahi sama yang tabah, akhir-akhirnya tentu kamu
akan keluar dari gelanggang sebagai pemenang”,13
jikalau kita mendengar perkataan-perkataan yang demikian itu,
adakah kita lantas harus ingat akan palu godam yang sebenarnya,
akan tahta kerajaan yang sebenarnya, akan pisau belati yang
sebenarnya, akan perang yang sebenarnya, akan pedang, akan bom,
akan dinamit, akan meriam, serdadu, darah, dan lain-lain? Adakah
mereka mau merusak keamanan umum atau melanggar
kekuasaan pemerintah atau menjalankan suatu kejahatan yang
dilarang oleh hukum di negerinya masing-masing?
Jikalau Prof. Boeke14 berkata, bahwa “bapak tani bangsa
Jawa adalah hidup kelewat sengsara”, jikalau Dr. Huender15 menulis,
bahwa keadaan di sini sudah membikin rakyat menjadi “penderita
minimum”; jikalau van Kol16 mendengungkan protesnya tentang
adanya “drainage” (pengeringan) yang merusak negeri kami menjadi
“negeri yang habis terhisap sumsumnya”; jikalau Mr. Brooshooft17
mengatakan:

“kita jerumuskan rakyat Bumiputra itu ke dalam jurang,


ke dalam lembah kesengsaraan yang juga
menenggelamkan milyunan orang di dunia Barat sampai
ke batang lehernya,” dan berkata, bahwa di sini adalah:
“penghisapan terhadap orang yang tidak punya apa-apa
kecuali tenaga kerjanya, oleh pemilik kapital, yakni pemilik
kekuasaan”,
“adakah mereka bermaksud menghasut atau
sengaja melanggar hukum?

197
Tidak, tuan-tuan Hakim, mereka tidak ada maksud yang
demikian itu; mereka hanyalah menulis atau mengucapkan pidato
yang penuh dengan perkataan-perkataan yang berapi-api, mereka
hanyalah menulis atau membeberkan oratoris talent, kepandaian
berpidato, yang penuh dengan keyakinan bicara dan penuh dengan
gambar-gambar, babasan dan seloka yang mengagumkan. Begitupun
kami, dimana kami dengan semangat yang berkobar-kobar berseru
“robohkanlah imperialisme!”, dimana dari mulut kami keluar api
perkataan-perkataan “hancurkanlah itu nafsu angkara murka”,
“lawanlah kapitalisme-imperialisme yang menghisap kita itu dengan
segenap kita punya tenaga”, maka kami tidak ada satu kejap mata
sengaja membahayai keamanan umum, sengaja menjalankan apa-
apa yang dilarang oleh hukum di sini! Kami, sebagai disaksikan oleh
banyak sksi, adalah senantiasa mendidik akan keamanan dan
menjunjung tinggi akan keamanan itu, kami adalah malahan
mengancam royemen18 dan menjatuhkan royemen pada siapa saja
yang merusak keamanan itu!
Ah, Tuan-tuan Hakim, mana boleh jadi kami sengaja
menjalankan perbuatan-perbuatan atau sengaja mempunyai
maksud-maksud yang dituduhkan kepada kami itu, mana boleh jadi
kami bisa bersalah menurut pasal 153 bis atau 169 itu, dimana kami di
dalam kursus pemimpin yang tertutup dan rahasia itu sampai
mengadakan teori anti-revolusi dan anti-putsch dan mendidik kepada
pemimpin-pemimpin itu supaya selamanya menjunjung tinggi
keamanan, mana boleh jadi dimana kami di dalam kursus pemimpin
yang rahasia itu, - zonder takut telinga cucunguk atau coro alias spion,
zonder takut telinga polisi!, - senantiasa mendidik kepada pemuka-
pemuka muda itu menginjak jalan yang halal agar supaya kami punya
pembentukan kekuasaan tidak mendapat gangguan yang bisa
melahirkan suatu kekuasaan yang sekuasa-kuasanya, sebagai terbukti
dari persaksian beberapa pemimpin yang Tuan-tuan dengar itu?
Kalau kami memang senang kepada pengrusakan
keamanan umum, kalau kami memang ingin akan pelanggaran
198
kekuasaan pemerintah, kalau kami memang bermaksud pula
hal-hal yang dituduhkan dengan pasal 169 itu, maka di sinilah
tempatnya, di dalam kursus pemimpin inilah tempatnya kami
mengajarkan hal itu kepada pemimpin bagian, agar supaya
pemimpin-pemimpin bagian itu, kalau berpropaganda ke desa dan ke
kampung, bisa menyebarkan “benih racun” kami itu ke mana-mana,
sehingga sempurnalah “keamanan umum terusak”, sempurnalah
“kekuasaan pemerintah terlanggar”, sempurnalah “kejahatan-
kejahatan dari pasal 169 itu terjadi!” Tapi meskipun demikian,
bagaimanakah kenyataan! Kenyataan adalah menunjukkan
sebaliknya, kenyataan membuktikan bahwa kami di dalam kami
punya “sarang” kursus pemimpin itu, bukan bertelur racun, tetapi
bertelur barang, yang walaupun pahit rasanya bagi kaum
imperialisme, sepanjang undang-undang, adalah halal belaka!
O, memang, kami tidak tedeng aling-aling, - telur yang
kami jatuhkan di dalam kursus pemimpin dan kursus-kursus biasa itu,
adalah pahit sekali rasanya bagi kaum yang berkepentingan atas
terusnya keadaan-keadaan yang sekarang. Kami di mukapun tidak
tedeng aling-aling, bahwa maksud PNI adalah berusaha serajin-
rajinnya menyusun suatu organisasi kekuasaan nasional, suatu raksasa
kekuasaan yang insaf akan kekuasaannya, suatu raksasa mahasakti
ibarat shaktinya Krishna Tiwikrama! Kami tidak tedenga aling-aling
bahwa PNI hanyalah percaya kepada kekuasaan yang demikian itu
saja, untuk mendatangkan konsesi-konsesi dan perbaikan-perbaikan di
dalam kami punya pergaulan hidup yang dikungkungi oleh
pertentangan-pertentangan kepentingan itu!
Tetapi kami pun sudah menerangkan, bahwa pembentukan kekuatan
dan kekuasaan ini sama sekali tidaklah memeluk faham bom atau
dinamit, sama sekali tidaklah memeluk pula faham yang dilarang oleh
pasal 153 bis atau yang dituduhkan dengan pasal 169 dari kitab
Undang-undang Hukum Pidana itu.
Sekali lagi memang: telur PNI adalah telur yang pahit sekali
bagi kaum imperialisme; dan kaum imperilisme pun tak lupa mencaci
199
maki dan menjelek-jelekann kami sepuas-puasnya di dalam surat-
surat kabar dan perkumpulan-perkumpulannya, menuntutkan
hukuman atau pembuangan atas diri kami, menuntutkan larangan
atas aksi PNI, - tetapi tak bisalah disangkal oleh siapa juga bahwa
telur PNI itu adalah telur yang halal.
Tuan-tuan Hakim, oleh karenanya, kembali lagi kami
bertanya: adakah boleh jadi, adakah mungkin, bahwa kami
mempunyai niat yang dimaksudkan oleh pasal 153 bis atau bahwa
kami melanggar pasal 169, -kami yang menurut persaksian banyak
saksi itu senantiasa mendidik kepada keamanan, kami yang sering
memperingatakan jangan kena provokasi, kami yang membohongkan
ramalan tetang tahun 30, kami yang mengancamkan dan
menjatuhkan royemen kepada tiap-tiap anggota yang melanggar
keamanan itu, kami yang menurut persaksian enam pemimpin
bagian di dalam kursus pemimpin seringkali mendidik
menjunjung tinggi akan keamanan, agar supaya pembentukan
kekuatan tidak terganggu, dan mengajarkan teori anti-revolusi, anti-
putsch, anti-kekerasan, anti golok-golokan yang bagaimana juga?

Buat apa spesial mendidik keamanan

Adakah hal-hal ini semua belum cukup untuk meyakinkan


Tuan-tuan Hakim atas ketidaksalahan kami orang? Adakah barangkali
timbul pertanyaan pada Tuan-tuan, buat apa kami spesial mendidik
kepada keamanan itu, buat apa kami spesial mendidik kepada anti
golok-golokan itu, kalau keamanan tidak memang terancam bahaya
dan kami tidak takut akan buah propaganda kami sendiri?
Tuan-tuan Hakim, tidak benarlah pikiran yang demikian itu.
Ketahuilah, bahwa PNI adalah hidup di dalam suatu zaman di
man
udara Indonesia, memang penuh dengan kepercayaan rakyat
tentang “akan ada apa-apa” di dalam tahunn ’30 itu, dimana ingatan
rakyat akan cara-cara PKI dan SR19 yang belumn selang lama mati itu
200
masih belum hilang sama sekali, dimana kaum reaksi tak berhenti-
hentinya mencoba menjatuhkan PNI dengan pelbagai provokasi yang
rendah dan kecil. Di dalam waktu yang demikian itu, PNI yang
memang sebenarnya partai keamanan dan menjunjung tinggi akan
keamanan, di dalam waktu yang demikian itu PNI haruslah lebih-lebih
dari mestinya menanamkan faham keamanan itu di dalam otak, hati,
tulang sumsum dan darah daging rakyat. Sebab, selain PNI memang
tak mau merusak keamanan, sebagai tadi sudah beberapa kali kami
katan, PNI pun bahwa dialah yang mendapat palang pintu kalau ada
apa-apa!
Sebab PNI di dalam mata kaum reaksioner memang sudah
sedari lahirnya adalah dicap domba hitam atau anjing belang,
memang sudah sedari lahirnya dicap zondebok20 yang hanya bisa
menjalankan kejahatan belaka! Tanyakan hal ini kepada Mr. Wormser,
Tuan-tuan Hakim, ia tentu bakal membetulkannya…..

Rapat-rapat umum di Pekalongan, Solo, dan lain-lain

Belum juga cukup membuktikan kemokalan kami bersalah,


Tuan-tuan Hakim? Nah, haraplah tanyakan kepada Tuan Datoek
Toemenggoeng dari Kantoorvoor Inlandsche Zaken21, apakah tidak
benar kami di dalam suatu rapat umum PNI di Pekalongan telah
menerangkan, bahwa PNI tak akan menginjaki jalan yang tak aman.
Haraplah baca perslah rapat umum PPPKI di Solo sebentar sebelum
kami ditangkap, rapat mana dihadiri jug oleh Tuan-tuan Gobee dan
Van der Plas22 dari kantor tadi, - haraplah baca perslah di dalam “de
Locomotief” tanggal 28 Desember 1929, dimana tertulis bahwa kami
mencela pemberontakan-pemberontakan dengan kata-kata:
“Percobaan-percobaan dulu untuk menimbulkan
“revolusi” di Sumatra, Borneo, Sulawesi dan lain-lain,
semuanya adalah tanda-tanda kesengsaraan kaum tani,
yang berusaha mencari perbaikan nasibnya.

201
Sekarang kita harus mencari jalan-jalan lain untuk
mencapai perbaikan yang kekal”,
“ haraplah baca perslah dalam surat kabar “Bintang Timoer”, 30
Desember 1929, dimana tertulis bahwa kami berpidato:
“Itu pemberontakan dari tempo hari di Sumatra, Java,
Selebes, Borneo dan lain-lain, itu semua disebabkan karena keadaan
rakyat sangat jelek dan oleh karen rakyat adakan gerakan buat
memperbaiki dan minta perbaiki nasib yang jelek itu….
Kita sekarang tidak ambil jalan sedemikian. Kita sekarang
adakan aksi yang sah buat mendatangkan kebaikan rakyat
seumumnya.”
Haraplah kalau Tuan-tuan Hakim tidak percaya pada perslah
koran, haraplah menanyakan kebenaran perslah-perslah ini pada
Tuan-tuan Gobee dan Van der Plas itu tadi, atau kepada wakil
pemerintah siapa saja yang menghadiri rapat PPPKI itu!
Sesungguhnya, sudah nyatalah senyata-nyatanya, bahwa tidak
bisa jadi, tidak ada miripnya, tidak waarschijnlijk23, ya, tidak mogelijk24,
mokal, mustahil kami bisa bersalah atas apa-apa yang dituduhkan
dalam proses ini, - kami yang begitu banyak bukti-bukti atau petunjuk-
petunjuk, bahwa kami selamanya adalah mendidik kepada keamanan
itu!

Mr. Ir. Kiewiet de Jonge

Meskipun demikian……barangkali Tuan-tuan Hakim masih


belum juga yakin? Baik! Tetapi apakah Tuan-tuan Hakim masih
juga syak wasangka, kalau Tuan-tuan mengingat hal kami di dalam
bulan Desember tahun yang lalu menemui wakil pemerintah Tuan Mr.
Ir. Kiewiet de Jonge dengan permintaan supaya Tuan itu suka
memintakan izin bagi kami kepada Residen Priangan Tengah untuk
mengadakan rapat-rapat umum, dimana kami di muka seluruh

202
dunia mau membohongkan ramalan tentang tahun ’30 itu, dan mau
mendidik seluruh rakyat, terutama yang belum masuk PNI, agar
tinggal tenteram dan menjunjung tinggi keamanan.
Izin buat rapat umum? Ya, Tuan-tuan Hakim izin buat rapat
umum, - tetapi bukan izin buat rapat umum biasa, melainkan izin
buat rapat umum dimana kami akan membantah bisik-bisikan itu, dan
dimana kami akan membeberkan teori tentang masasa-aksi yang PNI
maksudkan!
Sebab, sebagai yang sudah kami terangkan di dalam
pemeriksaan, pada suatu hari sebelum Desember itu, Residen Priangan
Tengah merasa kecewa hati atas hal Saudara Gatot Mangkoepradja
dalam suatu rapat terbuka mengatakan, bahwa PNI mengusahakan
kemerdekaan itu dengan tidak mau mengalirkan darah setetes pun
jua, - pada suatu hari, Tuan Kuneman telah memperingatkan pula
kepada kami, bahwa tiap-tiap pidato yang ada perkataan “darah”
dalamnya, walaupun melarang mengalirkan darah, akan ditegur oleh
polisi atau distop sama sekali!
Ya, Tuan-tuan Kamin sampai ini hari kami belum mengerti
apa jeleknya melarang meneteskan getih walau hanya setetes, sampai
ini hari masih suatu teka-teki bagi kami jahatnya propaganda sayang
akan darah manusia!
Tetapi, bagaimanapun juga, kami di dalam bulan Desember
itu memandang perlu sekali membantah di dalam rapat umum
omong kosong tentang tahun ’30 itu dan memandang perlu sekali
mendidik keamanan dan ketentraman pada rakyat. Bukan terutama
kepada rakyat di dalam kalangan PNI, Tuan-tuan Hakim, - rakyat di
dalam PNI sudah cukup mendapat didikan yang demikian itu di dalam
kursus-kursus yang tertutup! Tetapi kepada rakyat di luar kalangan
PNI, rakyat di luar organisasi yang masih kegelapan itu, kepada
rakyat yang masih bodoh ini, yang gampang diabui matanya oleh
kaum provokateur, yang gampang ditipu oleh kaunm Sarekat Hejo
atau Pamitran, yang tampang dibodohi oleh kaum jahat hati yang lain-
lain, - kepada rakyat di luar PNI inilah kami mau mengarahkan kata.
203
Bagi kaum di luar PNI inilah kami butuh akan rapat umum itu, -
hanya di dalam rapat umum itulah kami akan bisa berjumpa dan
memberi didikan kepadanya!
Dan bahwasanya, didikan itu pada waktu itu adalah perlu
sekali, sebab dengan makin mendekatnya tahun ’30, ramalan tadi
makin mempan, kaum provokateur makin rajin mengabui mata
rakyat yang belum masuk PNI, kaum Pamitrn makin merajalela,
kaum polisi desa makin bertambah jumlahnya yang ikut kena
terjangkit penyakit “akan ada apa-apa” itu, - pendek kata dengan
mendekatnya tahun ’30 udara di luar kalangan PNI makin getar dan tak
tenteram adanya. PNI memandang perlu sekali ikut berusaha
mengembalikan ketentraman itu. PNI memang tak suka akan
keadaan rakyat yang tak tenteram itu. PNI lagi pula mengetahui,
sebagai beberapa kali sudah kami katakan tadi, bahwa: -kalau ada
apa-apa di luar kesalahannya dan di luar tanggungannya, toh dia
yang paling dulu mendapat sangkaan, toh dia yang paling dulu
dianjingbelangkan, toh dia yang paling dulu dijatuhi palang pintu!
Nah, kami minta perantaraan Mr. Ir. Kiewiet de Jonge untuk
hal yang kami katakan tadi itu. Mr. Ir. Kiewiet de Jonge pergi ke
Tuan Kuneman; Mr. Ir. Kiewiet de Jonge sesudah itu lantas
mengabarkan kepada kami dengan surat, bahwa kami harus
menemui Tuan Kuneman, yakni kalau kami sudah pulang dari
Kongres PPPKI di Solo dan dari turne ke Jawa Tengah.
Tetapi, Tuan-tuan Hakim, tetapi…….turne belum habis, kami
belum kembali di Bandung – di Mataram pada 29 Desember
kami sudah ditangkap, ditahan di kantor Polisi, dimasukkan di dalam
bui, dikunci di belakang pintu besi dan terali besi, - sampai hari
sekarang!.............Yah, begitulah nasib pemimpin, kami pikul nasib itu
dengan senantiasa ingat akan Ibu Indonesia, - tetapi kami bertanya
kepada Tuan-tuan pejabat pengadilan dan penjunjung keadilan:
Adakah bisa jadi, adakah masuk akal, bahwa kami yang mempunyai
permintaan yang demikian itu pada Mr. Ir. Kiewiet de Jonge, bisa
bersalah atas hal-hal yang dituduhkan pada kami di dalam proses ini?
204
Adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk adakah masuk di akal bahwa
kami yang mau mengadakan rapat umum di mana-mana untuk
mendidik kepada keamanan itu, bisa mempunyai niat melanggar
keamanan yang dilindungi oleh pasal 153 bis dan 169 itu?

Perslah spion-spion. Minta spion intelektual

O, memang, polisi sekarang sering menerima perslah yang


“kocak” dari spion-spionnya, polisi sering mendapat laporan yang
“penuh sensasi” dari mata-matanya, polisi sendiri sering mengirimkan
perslah saringan kabar-kabar spion kepada parket pokrol jenderal25
yang “mengagumkan”. Tetapi, - spion adalah spion, mata-mata budi
pekertinya tinggal budi pekerti mata-mata, cucunguk moralnya
tinggal moral cucunguk! Mereka selamanya mempunyai nafsu
“mengocakkan” perslahnya, menambah-nambahi laporannya, - dan
amboi, berapa tinggikah pengetahuan atau pendidikannya?
Kami mengetahui adanya ikhtisar-polisionil-politik yang
menyebut kami menghasut mengadakan pemogokan pada perusahaan
pos!, sedang sebenarnya kami hanya membicarakan hak mogok di
tiap-tiap negeri yang beradab dan memujikan supaya dicabut pasal
161 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kami mengetahui
adanya ikhtisar-polisionil-politik yang mengatakan, bahwa kami
menujumkan pertolongan dari Jepang, sedang tiap-tiap hidung
mengetahui, bahwa barangkali tidak ada satu orang Indonesia yang
begitu anti kepada Jepang sebagai kami.26 Kami mengetahui pula
adanya ikhtisar-polisionil-politik, yang dengan “stolen gezicht” alias
“muka kayu” memberitakan bahwa Mr. Iskaq sudah bicara di dalam
suatu rapat PNI di Malang, sedang Mr. Iskaq itu seumur hidup belum
pernah menginjak Malang buat urusan politik, ya barangkali
seumur hidup belum pernah menginjak Malang sama sekali!!!.........

205
Memang, Tuan-tuan Hakim, ini semua “kocak”, ini semua
sangat “mendirikan bulu roma”, - tetapi juga ini semua adalah
tragis, adalah menyedihkan!
Tragis, tragis sekali, tragis setragis-tragisnya, sebagai terbukti
tahun yang lalu, tatkala kabar spion yang “jempol-jempol” itu
mengatakan dengan banyak kekocakan bahwa PNI tanggal 1
Januari 1930 akan mengadakan revolusi, - revolusi yang akhirnya
…….mengkerut menjadi perkara di dalam proses ini!
Herankah Tuan-tuan Hakim, bahwa misalnya Mr. Van Helsdingen di
dalam

Dewan Rakyat sampai memintakan:


“ pengawasan yang lebih keras atas spion-spion,
yang membawakan kabar-kabar tidak benar dan
menggemparkan, jika perlu dengan memecat orang-orang
begitu dengan tidak kenal ampun”?27
Herankah Tuan-tuan, bahwa kami, yang mengetahui akan
bahaya yang datang dari spion yang jahat hati atau bodoh otak itu,
sudah pernah meminta: Mr. Ir. Kiewiet de Jonge meneruskan
harapan kami kepada pemerintah, supaya lebih banyak mengadakan
spion intelektual yang bisa mengerti akan makna pidato-pidato kami,
yakni supaya laporan-laporan kepada dan dari polisi tidak
mengacau sebagai sekarang? Tetapi sebaliknya juga, tidakkah
Tuan-tuan mendapat satu petunjuk lagi akan mokal dan mustahilnya
kami bisa sengaja bersalah atas hal-hal yang dituduhkan pada kami
di dalam proses ini, kimi sempurna bisa diamati-amati, - kursus-kursus
kami dan aksi kami, yang memang tak pernah berisi satu apa saja yang
harus kami sembunyikan!
Setengah orang barangkali heran, melihat seorang pemimpin
partai revolusioner dan non koperator bermusyawarat dengan
wakil pemerintah. Lahirnya saja hal ini mengherankan, lahirnya saja
hal ini sebagai bertentangan dengan kami punya asas. Tetapi di
206
dalam hakikatnya, di dalam sejatinya perkara, asas kami itu tidaklah
terlanggar sedikitpun jua: pertemuan kami dengan wakil
pemerintah bukanlah timbul dari keinginan bekerja bersama,
melainkan hanyalah timbul dari hal aksi PNI dan nonkoperasi PNI itu,
bukanlah aksi dan nonkoperasi yang sembunyi-sembunyian,
bukanlah aksi dan nonkoperasi yang seselumputan, bukanlah
aksi dan nonkoperasi ala nihilisme, - tetapi ialah aksi dan nonkoperasi
yang terang-terangan! Kami berjuang dengan zonder tedenga aling-
aling membukakan dan menunjukkan kami punya dada, kami
berjuang dengan ketulusan ksatria, kami berjuang dengan open vi-
zier.28 dan oleh karena perjuangan kami yang dengan open vizier
inilah, oleh karena aksi yang tiasa suatu hal yang harus kami
sembunyikan itulah, maka kami tak takut akan mata-mata atau spion-
spion, asal saja spion-spion itu spion yang intelektual, yang mengerti
akan segala apa yang ia dengarkan!
Dan sekali lagi kami bertanya: adakah bisa jadi,
adakah waarschijnlijk, kami bersalah tentang hal-hal yang
dituduhkan kepada kami itu, kami yang minta diamat-amati oleh
sebanyak-banyaknya spion intelektual?
Moga-moga sekarang Tuan-tuan, sesudah mendengar segala
hal-hal yang kami beberkan itu, mendapat keyakinan akan
ketidaksalahan kami orang itu adanya!

Ringkasan, resume

Tuan-tuan Hakim yang terhormta!, - kami sekarang


mengulangi, kami membikin resume; sudah terlampau lamalah kami
meminta Tuan-tuan punya perhatian.
Imperialisme yang kami musuhi itu, adalah suatu faham,
suatu pengertian, suatu nafsu, suatu usaha, suatu sistem, suatu
politik menaklukkan atau mempengaruhi negeri orang lain atau
ekonomi bangsa lain. Imperialisme, dan juga kapitalisme bukanlah
pemerintah, bukanlah bangsa asing, bukanlah kaum ambtenaar,
207
bukanlah badan atau materi apapun juga, - imperialisme dan
kapitalisme adalah nafsu dan sistem belaka. Indonesia sudah lebih
dari 300 tahun menderitakan imperialisme itu, lebih dari 300 tahun
dipengaruhi, diduduki, dieksploitir oleh imperialisme, - dulu
imperialisme-tua, kini imperialisme-modern.
Baik imperialisme-tua, maupun imperialisme modern, -
kedua-duanya bagi negeri Indonesia dan rakyat Indonesia adalah
membikin melesetnya dan kocar-kacirnya susunan pergaulan
hidup, keduanya adalah pengedukan rezeki, eksploitasi, drainage yang
sangat. Oleh karena itu, kehidupan rakyat Indonesia kini adalah
kehidupan “penderita mini-mum”, pergaulan hidup Indonesia adalah
pergaulan hidupa “rakyat kaum buruh”, rakyat Indonesia menjadilah
rakyat yang celaka. Maka kecelakaan rakyat ini, kesengsaraan rakyat
ini, air mata rakyat ini, dan bukan hasutan kami orang, bukan hasutan
“opruiers”, bukan hasutan manusia manapun juga, melainkan suatu
pergerakan rakyat, yang bermuara di dalam pergerakan PNI itu, -
di dalam suatu pergerakan yang berkeyakinan bahwa, oleh adanya
pertentangan kepentingan antara sana dan sini, syarat yang amat
penting bagi pembaikan segala susunan pergaulan hidupa dan bagi
memberhentikah imperialisme, ialah kekuasaan politik, -
kemerdekaan nasional. Pertentangan kepentingan inipun memberi
keyakinan kepadanya, bahwa umumnya segala perbaikan yang
penting-penting hanyalah bisa datang, kalau diusahakan oleh kami
sendiri dengan kebisaan kami sendiri, dengan kekuasaan kami sendiri.
Sebab soal-soal jajahan bukanlah soal hak, bukanlah soal recht, - soal-
soal jajahan adalah soal kekuasaan, soal macht. Partai Nasional
Indonesia oleh karenanya, mau menyusunkan kekuasaan ini: ia mau
mengorganisasikan rakyat In-donesia dengan jalan yang halal
dijadikan suatu organisasi kekuasaan yang sentosa, - ia dengan rajin
mengusahakan pembentukan kekuasaan yang halal itu. Ia
mendapatkan nyawa baginya di dalam nasionalisme yang hidup dan
berkobar-kobar, ia mendapatkan urat saraf baginya di dalam shakti-
shakti empat rupa yang tadi kami terangkan, ia mencarikan badan
208
wadagnya di dalam massa, di dalam rakyat murba yang ribuan,
ketian, milyunan itu. Dengan nyawa yang demikian, dengan urat
syaraf yang demikian, dengan badan wadag yang demikian maka
organisasi rakyat itu menjadilah nanti kekuasaan yang maha hebat,
menjadilah nanti raksasa yang maha sakti.
PNI memberi raksasa kekuasaan ini kesadaran akan
kekuatannya, memberi padanya perasaan berkuasa dan kesadaran
berkuasa dengan jalan teori serta perbuatan, dengan jalan kursus-
kursus dan surat-surat kabar kepartaian beserta aksi-aksi dengan
perbuatan bermacam-macam, - aksi-aksi dengan perbuatan yang juga
untuk mengusahakan fasal-fasal daftar usahanya. Dengan kekuasaan
dan kesadaran akan kekuatannya itu, maka raksasa Indonesia tidak
boleh tidak tentu, pasti bisa mendatangkan perbaikan-perbaikan atau
konsesi-konsesi yang penting dan berharga, yang akhirnya di kelak
kemudian hari mendatangkan Indonesia merdeka! Dengan ini semua,
maka nyatalah bahwa aksi PNI itu adalah aksi yang tak melanggar
hukum, - nyatalah bahwa kami tak melanggar hal-hal yang
dituduhkan dengan pasal 169 itu.
O, memang, aksi PNI adalah merugikan sekali pada
imperialisme dan kaum imperialisme, membahayai kantong
mereka dan dividen mereka, tetapi tidak adalah hal-hal di
dalamnya yang bertentangan dengan hukum. Tidak adalah kami
orang yang pernah sengaja berbuat barang sesuatu yang dilarang
oleh hukum itu, tidak adalah kami orang pernah bersalah atas hal
yang apa saja yang dituduhkan dalam proses ini.
Ketidaktenteraman pada waktu akhir-akhir itu bukanlah
bikinan kami atau karena kami, bukanlah melentungnya benih-benih
yang kami tebar-tebarkan, bukanlah bekerjanya “nafas racun” yang
keluar dari mulut kami orang, - ketidaktenteraman temto yang akhir-
akhir itu memang sudah terjadi oleh kepercayaan rakyat akan
ramalan tahun ’30 yang bukan-bukan, oleh perbuatan-
perbuatan kaum-kaum pembenci pergerakan yang jahat hati dan
rendah budi, oleh sebab-sebab yang semua di luar tanggungan
209
PNI adanya. Kami, semua pemimpin-pemimpin PNI kami
malahan senantiasa mendidik kepada keamanan dan mendidik anti
kekerasan, sebagaimana disaksikan oleh banyak saksi biasa dan oleh
enam saksi pemimpin yang dulu menghadiri kursus pemimpin.
Kami malahan senantiasa mendidik jangan kena provokasi,
mengancamkan dan menjatuhkan royemen pada, tiap-tiap anggota
yang melanggar keamanan. Kami malahan membohongkan ramalan
tentang ’30, memerangi kepercayaan yang mengganggu keamanan
itu, - kami malahan berpidato di dalam rapat umum dimana-mana, di
Pekalongan , di Solo dan lain-lain tempat, mengatakan bahwa jalan
yang diinjaki harus jalan yang sah belaka. Kami malahan memajukan
permintaan pada Mr. Ir. Kiewiet dan mendidik rakyat di luar
PNI supaya mencintai ketenteraman, - memintakan lebih banyak
spion intelektual agar supaya aksi dan kursus-kursus kami bisa diamat-
amati dan dipersalahkan kepada dan oleh polisi dengan baik dikocak-
kocakkan. Kami pendek kata, kami senantiasa menjunjung tinggi akan
ketentraman dan menjunjung tinggi akan segala larangan-larangan
hukum!
o, memang, di muka kami tak mungkir dan kami
mengakui:
pembentukan kekuatan PNI adalah pembentukan kekuatan
yang mendirikan bulu kuduk kaum imperialisme, bahasa kami adalah
bahasa radikal yang bernyala-nyala dengan api kekecewaan
hati atas kesengsaraan rakyat dan berkobar-kobar dengan semangat
nasional yang hurung – kami adalah kaum nonkoperator dan
revolusioner, - tetapi walaupun begitu, adakah bisa jadi, adalah
waarschijnlijk, adalah masuk akal, bahwa kami bersalah, atas hal-hal
yang dituduhkan dalam proses ini, kami yang begitu banyak bukti dan
banyak petunjuk akan sebaliknya, kami yang berniat dan bertindak
sebagai yang kami tuturkan tadi itu, kami, pencinta keamanan dan
pencinta ketertiban itu? Adakah bisa jadi, Tuan-tuan Hakim yang
terhormat, adakah bisa masuk akal, bahwa kami sekonyong-konyong
bisa mempunyai niat membahayai keamanan umum, melanggar
210
kekuasaan pemerintah atau menjalankan hal-hal yang
dimaktubkan dalam pasal 169; kami yang berbuat dan bertindak
sebagai kami ceritakan itu?
Dengan seolah-oleh tiada keadilan lagi maka kami, yang
senantiasa mendidik keamanan itu, yang mempunyai niat yang begitu
suci sebagai yang kami beritahukan pada Mr. Ir. Kiewiet de Jonge itu,
dilemparkan ke dalam bui, dikunci dan digregel di dalam sel yang
hanya 1 ½ x 2 ½ meter, tiga ratus tiga puluh hari lamanya,29 mula-
mula dibolehkan melihat matahari hanya dua kali dua jam sehari,
ditaruh di pinggir kebinasaan ekonomi dan kebinasaan pencarian
hidup!...Meskipun begitu….berapa lamakah berselang, yang kami,
juga via Mr. Ir. Kiewiet de Jonge, pada permulaan tahun 1929
menyampaikan kata pada pemerintah yang berbunyi :”Berikanlah
kami kesempatan untuk menyusun tenaga rakyat, kalau ada apa-apa,
kamilah yang sanggup diasingkan ke dalam rimba dan rawa
pembuangan!”?
Berapa lamakah berselang, yang kami dengan kata-kata
ini menunjukkan pula bahwa kami memang hanya berniat
mengorganisasi rakyat belaka, dijadikan suatu kekuatan yang
mahakuasa dan mahasakti, zonder niat melanggar hukum! Dan
buat sekian kalinya lagi kami bertanya : adakah bisa jadi, adakah
waarschijnlijk, bahwa orang yang menyerahkan diri untuk
dimasukkan ke dalam kesengsaraan hidup pembuangan kalau ada
apa-apa yang menyimpang dari hukum – adalah bisa jadi bahwa
orang yang demikian itu, bisa mempunyai niat menjalankan hal-
hal yang dituduhkan dalam proses ini?

Penutup

Tuan-tuan Hakim, sekarang Tuan-tuanlah yang akan


mengangkat kita, sekarang Tuan-tuanlah yang akan melahirkan
pendapat. Sekarang pengadilan dan penjunjung keadilan, yang akan
mengambil keputusan. Kami menunggu Tuan-tuan punya putusan
211
itu, yang tentu tak lupa mempertimbangkan segala apa yang kami
uraikan tadi. Kami tidak merasa salah. Kami tidak memajukan hal-hal
yang meringankan, kami tidak memajukan alasan-alasan buat
mengentengkan kesalahan, kami hanyalah membuktikan bahwa kami
tidak bersalah, menunjukkan mokalnya kami bisa sengaja
menjalankan hal-hal yang dituduhkan itu. Kami oleh karenanya,
memang mengharap dan menunggu putusan bebas. Seluruh rakyat
Priangan, seluruh rakyat Indonesia, seluruh dunia manusia yang tulus
hati dan cinta pada keadilan mengharap dan menunggu pula
putusan bebas itu.
Moga-moga demikianlah adanya. Tetapi, jikalau seandainya
Tuan-tuan Hakim toh memandang kami bersalah, jikalau seandainya
Tuan-tuan Hakim toh menjatuhkan hukuman, jikalau seandainya
kami orang toh harus menderita lagi kesengsaraan penjara, wahai
apa boleh buat, moga-moga pergerakan seolah-olah mendapat
wahyu baru dan tenaga baru oleh karenanya, moga-moga Ibu
Indonesia suka menerima nasih kami itu sebagai korban yang kami
persembahkan di atas haribaannya, moga-moga Ibu Indonesia suka
menerimanya sebagai bunga-bunga yang harum dan cantik yang
bisa dipakai menghiasi sanggul kondenya yang manis itu. Memang
rohani kami tak adalah merasa masygul, rohani kami adalah berkata,
bahwa segala apa yang kami tindakan itu, adalah hanya kami punya
kewajiban, kami punya plicht.
Pimpinan India Bl Gangadhar Tilak yang besar itu, di
muka mahkamah berkata :

“Barangkali sudah kemauan Yang Mahasuci, bahwa


pergerakan yang kami pimpin itu akan lebih maju
dengan kami punya kesengsaraan dari kami punya
kemerdekaan”
Perkataan Tilak ini kami jadikan perkataan kami sendiri. Juga
kami menyerahkan segenap raga dengan serela-relanya kepada tanah
air dan bangsa, juga kami menyerahkan segenap jiwa kepada Ibu
212
Indonesia dengan seiklas-ikhlasnya hati. Juga kami adalah mengabdi
kepada suatu cita-cita yang suci dan luhur, juga kami adalah
berusaha ikut mengembalikan hak tanah air dan bangsa atas peri
kehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu
tahunpun, tidaklah bisa menghilangkan hak negeri Indonesia
dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu. Untuk
terlaksananya hak ini maka kami rela menderitakan segala
kepahitan yang dituntutkan oleh tanah air itu, rela menderitakan
kesengsaraan yang dimintakan oleh Ibu Indonesia itu setiap hari.
Memang tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu
Indonesia, adalah mengharap dari semua putra-putra dan
putri-putrinya pengabdian yang demikian itu, penyerahan jiwa-raga
yang tiada batas, pengorbanan diri walau yang sepahit-pahitnya pun
kalau perlu, dengan hati yang suci dan hati yang iklas. Putra-putra
dan putri-putri Indonesia haruslah merasa sayang, bahwa mereka
untuk pengabdian ini, masing-masing hanya bisa menyerahkan satu
bdan saja, satu roh saja, satu nyawa saja, dan tidak lebih.
Sebab, tiada kkorban yang hilang terbuang, tiada korban yang
sia-sia, “no sacrifice is wasted” begitulah Sir Oliver Lodge berkata.
Dengan pengorbananya sekarang, maka hari kemudian akan
menjadi lebh bercahaya, lebih berseri, lebih berkilau-kilau lagi
daripada segenap kebesaran hari yang sediakala. Fajar kebesaran
baru, fajar kemuliaan hari kemudian bagi kita itu, kini sudahlah
menyising, - fajar itu makin lama makin terang, dan walau dialang-
alangi oleh kekuatan manusia yang bagaimanapun juga, walau
dicegah oleh kegiatan wadag dari manapun jua, walaupun dicegah
oleh segenap kekuatan duniawi daripada segenap negeri di atas
segenap muka bumi ini, ia tak boleh tidak harus, tentu, pasti akan
diikuti oleh terbitnya matahari yang menghidupkan segala sesuatu
yang harus hidup dan mematikan segala sesuatu yang harus mati.
Segala daya-dayanya kegelapan akan hancur-carilah sebagai salju
di hadapan sinar matahari ini. Segala awan-awan gelap yang

213
menyuramkan angkasa akan musnahlah tertiup oleh angin
hangat yang keluar daripadanya.
Rakyat Indonesia sudah bersedia dengan hati yang memukul-
mukul akan menghormati terbitnya matahari itu. Dengan rakyat
Indonesia itu kami menderita kesengsaraan, dengan rakyat
Indonesia itu kami menunggu putusan Tuan-tuan Hakim.
Memang kami berdiri di hadapan Mahkamah Tuan-tuan
ini bukanlah sebagai Sekarno, bukanlah sebagai Gatot
Mangkoepradja, buknalah sebagai Maskoen atau Soepradinata, kami
orang beridri di sini ialah sebagai bagian-bagian daripada rakyat
Indonesia yang berkeluh-kesah itu, sebagai putra-putra Ibu
Indonesia yang setia dan bakti kepadanya. Suara yang kami
keluarkan di dalam gedung mahkamah sekarang ini, tidaklah tinggal
di antara tembok dan dinding-dindingnya saja, suara kami itu adalah
didengar-dengarkan pula oleh rakyat yang kami abdi,
mengumandang ke mana-mana, melintasi, tanah datar dan gunung
dan samudra, ke Kota Raja sampai ke Fak-fak, ke Ulu Siau dekat
Manado sampai ke Timor. Rakyat Indonesia yang mendengarkan
suara kami itu, adalah merasa mendengarkan suaranya sendiri.
Putusan Tuan-tuan Hakim atas usaha kami orang, adalah
putusan atas usaha rakyat Indonesia sendiri, atas usaha Ibu
Indonesia sendiri. Putusan bebas, rakyat Indonesia akan bersukur,
putusan tidak bebas, rakyat Indonesia akan tafakur.
Kami memujikan Tuan-tuan mempertimbangkan sagla hal-hal
ini. Dan sekarang di dalam bersatu hati dengan rakyat Indonesia itu, di
dalam bakti dan bersujud kepada Ibu Indonesia yang kami cintai itu,
di dalam kepercayaan bahwa rakyat Indonesia dan Ibu Indonesia akan
terus nanti menjadi mulia, nasib yang bagaimanapun juga mengenai
kami, maka kami siap sedia mendengarkan putusan Tuan-tuan Hakim!
Rohani kami adalah berkata, bahwa segala apa, yang
kami tindakkan itu, adalah hanya kami punya kewajiban, kami punya
plicht.

214
Catatan kaki
1
Mokal = mustahil
2
Hooge Read = Mahkamah Agung
3
Bureau Voor de Volkslectuur = Biro Perpustakaan Rakyat
4
Bandingkan dengan buku Reinhard “Dia Imperlalistisohe Politik Imfernen
Osten”.
5
Reinhard ibid, hal. 224.
6
Salah satu dari 3 buah buku itu, dipersilakan Bung Karno untuk dibaca oleh
para hakim7 Reinhard, Ibid, hal.215.
8
Dr. Sam Ratulangi adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat) waktu itu,
seperti juga M. Husni Thamrin, Sukardjo Wirjopranoto, dll.
9
Koran Java Bode yang menyiarkan tulisan itu, tertanggal 3 Desember 1930 10

Staking = Mogok
11
Kami mulai sekolah di desa
12
Nama-nama dalam proses peradilan Bung Karno, saksi-saksi seluruhnya lebih
10 orang, termasuk saksi yang memberatkan dari pihak PID, seperti Albreghs.
13
van Lith, ibid, hal 32.
14
Prof. K. Boeke dalam bukunya “Net Zakelijkeen persoonlijke element in de
koloniale welvaartspolitiek”.
15
Dr. Huender dalam bukunya “Overzicht van den Economischen Toes-(and
der Inheemsche Bevolking van Java en Madqera”,
16
Van Kol dalam bukunya “Nederlandsch-Indie in Stolen General”.
17
Mr. Brooshooft dalam bukunya “DeEtische Koers in de Koloniale Polities 18

royemen = pemecatan
19
S.R. adalah Syarekat Rakyat, bagian dari PKI yang turut memberontak tahun
1926 20 Zondebok = biang keladi
21
Kantoor voor Inlandsche Zaken = Kantor urusan dalam negeri
22
Van der Plas, seorang Belanda ahli adat-istiadat Indonesia pernah jadi
Residen pada masa kolonial di Jawa Timur.
23
waarschijnlijki = masuk akal
24
mogelijk = boleh jadi
25
pakrol jenderal = jaksa agung

215
26
Sikap anti terhadap Jepang, lebih tandas dapat terbaca dalam tulisannya
“Impor dari Japan suatu rahmat bagi Marhaen?” dalam “Pikiran Rakyat” 1933.
27
Mr. Van Heldingen salah seorang Dewan Rakyat atau Volksraad, orang
Belanda pun mengkritik kekonyolan spion-spion P.I.D. itu.
28
open vizier = wajah terbuka
29
Bung Karno menghitung lamanya beliau dalam tahanan, sebelum diajukan
ke pengadilan, yang hampir 1 tahun.

Kronologi peristiwa penangkapan dan pengadilan atas Ir. Sukarno.

29 Desember 1929
Bersama-sama Gatot Mangkoepradja, Maskoen Sumadiredja,
dan Soepriadinata, Ir. Soekarno ditangkap oleh Pemerintah Hindia
Belanda.

18 Agustus 1930
Ir. Soekarno diadili di depan Pengadilan Kolonial Belanda. Pada
waktu diadili inilah Bung Karno mengucapkan pembelaannya yang
terkenal In-donesia Menggugat yang merupakan dokumen
bersejarah.

22 Desember 1930
Vonis dijatuhkan; Ir. Soekarno dihukum empat tahun penjara
melanggar pasal-pasal 169 dan 153 bis menurut KUHP (Wetboek van
Strafrecht).

216
31 Desember 1931
Ir. Soekarno dibebaskan dari penjara tepat pada akhir
pemerintahan Gubernur Jenderal de Graeff.

217

Anda mungkin juga menyukai