Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Ridho Ramadhani

Nim : 20190610044
Kelas : B
Tugas Resume Buku Pengantar Hukum Perdata Internasional

Dalam HPI ternyata tidak ada kata sepakat di antara para penulis mengenai berbagai
masalah. Selalu terdapat perbedaan paham. Oleh karena itu maka seringkali secara mengejek apa
yang dinamakan "conflict of laws" diganti menjadi "conflict of lawyers". Seolah-olah yang
berkonflik adalah para akhli hukumnya dan bukan sistim-sistim hukumnya. Menurut Schnitzer,
"Nicht das recht sondern der Tatbestand, ist international”, oa) berarti bukan hukumnya yang
Internasional melainkan materinya, feitencomplexnya, fakta-faktanya. Tatbestand-nya yang
internasional. Jadi jelas lagi apa yang dikatakan oleh Meijers, bahwa HPI adalah hukum perdata
untuk hubungan-hubungan Internasional. Yang internasional adalah hubungan-hubungannya,
tetapi kaidah-kaidah HPInya adalah Hukum Perdata Nasional belaka. "Het Internationaal
Privaatrecht is het privaatrecht voor de internationale gevallen". "Internationale gevallen"
berarti "peristiwaperistiwa internasional".

Jadi peristiwa-peristiwanya yang internasional, tetapi sumbernya tidak internasional.


Dengan lain perkataan, kita ini menganut HPI ini sebagai hukum yang nasional. Kita menolak
pandangan "internasionalistis" dari hukum perdata internasional. Memang kita harus mengakui
pada waktu dahulu aliran internasionalistis adalah aliran yang boleh dikatakan lebih banyak
penganutnya.

Keberatan terhadap istilah HPI : bukan "internasional tetapi "nasional” sifataya.

Sebenarnya hal ini merupakan salah satu keberatan terhadap istilah Hukum Perdata
Internasional. Yang sebenarnya dikatakan internasional" bukan antar-negara, tetapi nasional.
"Internasional" ini bukan diartikan sebagai "law of nations", bukan hukum antar negara tetapi
internasional ini kita harus artikan sebagai "ada unsur luar negerinya". Ada unsur dari luar, unsur
asingnya (foreign element). Ini adalah internasional, seperti kita bicara dalam perkataan sehari-
hari tentang suatu "international school" atau "international village", "international show”,
international market place". Jadi berarti, bukan sumber-sumbernya yang internasional 1etapi
hubungan-hubungannya adalah internasional. Ada hubungan luar negerinya, ada unsur asingnуа.
Perdata tapi internasional

Ada keberatan lain pada istilah HPI yakni penggabungan dari "perdata" dan
"internasional". Perdata tetapi mengapa "internasional? Perdata berarti "private" antara orang-
orang pribadi, mana bisa "internasional”. Jadi seolah-olah ada suatu contradictio in terminis,
suatu pertentangan dalam istilah, seperti orang bicara tentang suatu "zwarte schimmel”.
Schimmel ini adalah "kuda Sinterklaas”, berarti putih seperti salju. Schimmel itu istilahnya untuk
suatu kuda yang putih. Jadi suatu "zwarte schimmel" tidak mungkin ada. Begitu pula dirasakan
pada istilah "Hukum Perdata Internasional", "perdata" dan "Internasional", perdata yang private,
perdata antara pribadi dua orang-orang. mengapa disebut intemasional. Jadi di sini pun terlihat
semacam contradictio in terminis. Tetapi jika kita tidak lupakan bahwa dengan istilah
Internasional melulu diartikan bahwa yang internasional adalah "hubungan-hubungannya"
(internationale-verhoudingen, international relations), maka tidak ada lagi contradictio in
terminis itu. Unsur luar negeri ini terdapat karena adanya berbagai "faktor".

Istilah "Hukum Perselisihan".

Sekarang tentang istilah "Conflict of laws", "Hukum Perselisihan", atau "Hukum


Pertikaian” (conflicten-recht). Istilah ini juga kurang baik dan sebaiknya jangan dipergunakan
lagi. Sebaiknya diganti dengan istilah "Hukum Antar Tata Hukum", Istilah "Hukun Antar Tata
Hukum” memberi kesan tentang adanya suatu "Tata Hukum" di antara sistim-sistim hukum yang
bertemu pada satu ketika ini. Istilah Hukum Perselisihan adalah istilah yang menurut pandangan
kita kurang baik

Aneka ragam pandangan tentang luas bidang HPI.

1) HPI = rechtstoepassingsrecht
Istilah Hukum Perselisihan hanya terbatas pada masalah "hukum yang diperlakukan"
(rechtstoepassingsrecht). Ini adalah pandangan pertama tentang materi yang termasuk dalam
HPI. Pandangan ini misalnya berlaku di Jerman dan Nederland. Materi yang termasuk bidang
HPI sangat terbatas. Tetapi di sainping pandangan terbatas ini, masih terdapat lain-lain
pandangan yang beranggapan bahwa bidang HPI jauh lebih luas.
2) HPI = Choice of law + choice of jurisdiction.
Dalam sistim negara-negara Anglo Saxon dikatakan bahwa HPI ini bukan hanya terdiri dari
"conflict of laws", tetapi mencakup pula persoalan-persoalan "conflicts of jurisdiction" atau
lebih tepat "choice of jurisdiction", yakni persoalan tentang kompetensi wewenang Hakim.
Jadi bukan saja mengenai "hukum manakah yang berlaku", tetapi juga mengenai "Hakim
manakah yang berwenang". Menurut pandangan Anglo Saxon ini tidak mungkin seorang
hakim sampai pada pertanyaan "hukum mana yang kami harus pergunakan", sebelum ia
menjawab apakah ia sebagai Hakim berwenang. untuk mengadili peristiwa ini. Baru setelah
itu timbullah pertanyaan kedua, yakni : "Kalau saya anggap diri saya berwenang, hukum
manakah yang harus saya pakai ?" Jadi menurut konsepsi ini selalu harus dikaitkan pada HPI
ini, di samping pertanyaan-pertanyaan "choice of law" (pilihan hukum) juga pertanyaan-
pertanyaan "conflicts of jurisdiction, choice of jurisdiction" (pilihan Hakim). Jadi ini adalah
pandangan kedua tentang HPI, bahwa di samping "choice of law." juga ada "choice of
jurisdiction".
3) HPI = Choice of law + Choice of jurisdiction + condition des etrangers
Pandangan ketiga tentang HPI adalah yang lebih luas lagi yaitu seperti dikenal dalam negara-
negara Latin (Italia, Spanyol, Amerika Selatan). Masalah-masalah tentang status orang asing
(condition des étrangers, vreemdelingen-statuut) dianggap termasuk pula dalam HPI, di
samping masalah-masalah pilihan hukum dan pilihan Hakim.
4) HPI = Choice of law + Choice of jurisdiction + condition
Pandangan ketiga tentang HPI adalah yang lebih luas lagi yaitu seperti dikenal dalam negara-
negara Latin (Italia, Spanyol, Amerika Selatan). Masalah-masalah tentang status orang asing
(condition des étrangers, vreemdelingen-statuut) dianggap termasuk pula dalam HPI, di
samping masalah-masalah pilihan hukum dan pilihan Hakim.
5) HPI = Choice of law + Choice of jurisdiction + condition des étrangers + nationalité. Di
samping itu kita lihat sistim yang paling luas, yaitu seperti yang dikenal dalam HPI Perancis.
Di samping tiga macam yang disebut tadi sebagai bagian keempat dari HPI ditambahkan
masalah-masalah tentang kewarganegaraan (nationalité). Empat bagian HPI ini dalam
textbook-textbook HPI Perancis selalu diperhatikan. Dalam majalah-majalah yang terpenting
untuk HPI di Perancis, misalnya "Revue Critique de Droit International Privé" selalu
terdapat rubrik-rubrik tertentu mengikuti empat bagian bidang HPI menurut sistim Perancis
ini. Demikian pula textbook-textbook HPI Indonesia yang telah kami tulis menjadi demikian
karena di samping soalsoal masalah "conflicts of law" juga telah disinggung masalah
"Conflicts of jurisdiction" terutama tentang Hukum Acara Perdata Internasional, International
Civil Procedure, juga mengenai masalah-masalah kedudukan orang asing dan juga soal-soal
kewarganegaraan. Adanya empat macam bagian dari HPI kiranya tidak dapat dicakup dengan
baik dalam istilah "hukum perselisihan" karena masalah-masalah mengenai nasionalitas dan
status orang asing itu adalah di luar masalah "hukum manakah yang berlaku” saja. Oleh
karena itu terlalu sempitlah istilah "hukum perselisihan". Juga kurang baik istilah tersebut
karena asosiasi pada "bentrokan" dan "pertikaian" yang menjadi pembawaannya.

Pembagian HATAH.

HATAH dapat dibagi dalam bagian intern dan extern. Kita akan memberikan perumusan
daripada HATAH ini dengan memakai sebagai landasan apa yang dinamakan "Ilmu Lingkungan
Kekuasaan Hukum" atau "gebiedsleer". Istilah ini dalam bidang hukum Indonesia terutama
diperkembangkan oleh Logemann yang berbicara tentang "gebieden” atau lingkungan kekuasaan
hukum daripada "Ambten" (jabatan-jabatan). Hans Kelsen juga memakai istilah ini dan beliau
menggunakannya untuk "norma-norma hukum". Oleh karena HATAH ini bekerja juga dengan
norma-norma hukum, maka yang paling cocok dipakai sebagai landasan kita ialah gebiedsleer
seperti dikemukakan oleh Kelsen itu.

Titik Pertalian

Soal titik-titik pertalian merupakan suatu bagian yang penting dari HATAH oleh karena
titik pertalian inilah yang pertama-tama memberikan petunjuk kepada kita bahwa kita
menghadapi suatu masalah HATAH. Titik pertalian macam ini dinamakan "titik pertalian
primer". Jadi faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menciptakan bahwa suatu hubungan
menjadi hubungan HATAH dinamakan titik pertalian primer" (disingkatkan TPP) atau " titik taut
pembeda". Di samping itu kita mengenal”titik pertalian sekunder”, (disingkat TPS), "titik taut
penentu”, titik taut yang menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. Jika kita,
menemukan titik pertalian primer ini, maka masalah yang kita hadapi termasuk bidang HATAH.
Kalau tidak ada titik pertalian primernya, maka masalah yang kita hadapi ini tidak termasuk
HATAH. Karena ada titik taut primer yakni faktor-faktor dan keadaan yang menciptakan, yang
melahirkan hubungan HATAH,
Hubungan antara TPP dan TPS.

TPP adalah faktor-faktor dan keadaan yang menimbulkan, menciptakan suatu hubungan
HATAH. Setelah adanya salah satu TPP, maka kita mengetahui masalah ini adalah suatu
masalah HATAH hingga perlu dijawab pertanyaan lebih jauh, sekarang "Hukum mana yang
berlaku ?” Untuk menjawab pertanyaan ini, hukum mana yang berlaku kita mencari titik-titik
pertalian secunder-nya (TPS), karena TPS adalah "faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang
menentukan berlakunya suatu sistim Hukum tertentu". TPS baru timbul setelah adanya TPP. TPS
ini terutama dikedepankan dan dapat kita ketemukan dari yurisprudensi, Pembuat Undang-
Undang sendiri tidak banyak membikin TPS.

Prinsip kewarganegaraan dan prinsip domisili

Stelsel-stelsel HPI daripada negara-negara di dunia ini tidak sepaham tentang prinsip
manakah di antara kedua prinsip ini adalah yang terbaik untuk dipergunakan bagi penentuan
status, personil seseorang. Ada negara-negara yang memegang teguh kem pada prinsip
kewarganegaraan. Status personil dari seseorang (baik warganegara maupun asing) ditentukan
oleh hukum nasional mereka. Sebaliknya negara-negara yang menganut prinsip domisili
menggantungkan status personil seseorang daripada hukum yang berlaku di domisili-nya.

Negara-negara dengan prinsip nasionalitas.

Ketentuan yang mengatur pemakaian prinsip kewarganegaraan terdapat dalam Code Civil (pasal
3 ayat 3) Kemudian dapat disebut negara lain yang seringkali dipandang sebagai "pahlawan" di
antara negara-negara dengan prinsip nasionalltas ini, ialah Italia dan jajahan-jajahan.

Negara-negara dengan prinsip domisili.

Dalam kelompok ini dapat disebut : Semua negara-negara Inggris yang menganut sistim
"common law”. Juga Scotlandia, Afrika Selatan dan Quebec. Menurut sistim domisili yang
mengedepankan segi teritorialitas daripada hukum, maka semua hubungan-hubungan daripada
orang-orang yang berkenaan dengan soal-soal tentang perseorangan, kekeluargaan, warisan,
singkatnya : "Status pesonil”, ditentukan oleh domisili-nya. Lingkungan kuasa teritorial daripada
hukum sesuatu negara yang dikedepankan. Dengan demikian kita saksikan bahwa semua orang
yang berada di dalam wilayah sesuatu negara dianggap takluk di bawah hukum Negara itu.

Anda mungkin juga menyukai