Anda di halaman 1dari 16

MEWUJUDKAN CITA – CITA ADVOKAT DEMI TERCAPAINYA

RULE OF LAW
Oleh : Prof. Dr. OTTO HASIBUAN, SH, MM

Yang terhormat,
Bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,
Bapak Koordinator Kopertis Wilayah III DKI Jakarta,
Ibu Ketua dan Pengurus Yayasan Pendidikan Jayabaya,
Bapak Rektor/Ketua Senat Universitas Jayabaya,
Bapak/Ibu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jayabaya,
Bapak/Ibu Dekan Fakultas Hukum Universitas Jayabaya,
Bapak/Ibu Dosen dan Segenap Civitas Akademika Universitas Jayabaya,
Bapak/Ibu Para Advokat Indonesia dan Insan Hukum lainnya,
Bapak/Ibu Undangan yang terhormat,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan karuniaNya kita dapat berkumpul di tempat ini dalam acara
Penganugerahan Honorary Professor kepada saya.

Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Rektor / Ketua Senat Universitas Jayabaya dan juga kepada Ketua dan Pengurus
Yayasan Pendidikan Jayabaya, Senat Universitas Jayabaya dan seluruh Civitas
Akademika Universitas Jayabaya atas Penghargaan yang diberikan kepada saya saat
ini.

Hadirin yang saya muliakan,

Pada mulanya judul pidato yang ingin saya sampaikan adalah mengenai hak cipta,
yaitu bidang studi saya ketika meraih gelar doktor di Universitas Gadjah Mada,
dimana saya ingin mengajukan satu gagasan tentang “Perlunya Hak Cipta Dijadikan
Sebagai Agunan di Bank”. Tetapi teman-teman dan sahabat saya mengusulkan
kepada saya untuk mengganti judul dan tema pidato saya tersebut. Mereka meminta
saya untuk membuat kajian dan analisis saya tentang Advokat dan organisasi
advokat sebagai profesi yang sudah saya geluti selama hampir 32 tahun dan selama
30 tahun aktif sebagai pengurus di organisasi advokat secara terus menerus tanpa
henti. Saya dapat memahami dan mengerti usulan teman-teman tersebut, dan lagi
pula saya menyadari bahwa Penganugerahan Gelar Honorary Professor ini erat
kaitannya dengan pencapaian dalam Organisasi Advokat, sehingga saya mengganti
pidato saya dan saya beri judul “Mewujudkan cita-cita advokat demi tercapainya Rule
of Law”.

Kita tahu media massa sering memberitakan tentang perpecahan dalam organisasi
advokat dan para advokat juga demikian, tetapi belum pernah ada yang mencoba
mengkaji hal-hal apa yang melatar belakangi perpecahan tersebut. Oleh karena itu

1
pada kesempatan ini saya akan menyoroti perihal rentannya perpecahan Organisasi
Advokat, apa permasalahannya dan bagaimana solusinya

Hadirin yang saya muliakan,

Kita tahu advokat itu adalah profesi yang mulia “Officium Nobile” dan mutlak
diperlukan dalam sistem peradilan karena dengan adanya advokat maka diharapkan
tercapai peradilan yang jujur dan fair (fair trial). Dalam sidang pengadilan ada hakim,
ada jaksa yang melakukan penuntutan mewakili negara. Oleh karenanya agar terjadi
keseimbangan dalam peradilan yang fair tersebut diperlukan adanya advokat yang
jujur, berkualitas, dan independen. Tetapi dalam kenyataannya advokat dan
organisasi advokat rentan dengan perpecahan sehingga kalau advokat tidak bersatu,
maka advokat tersebut tidak menjadi kuat dan yang rugi adalah para pencari
keadilan karena rule of law menjadi tidak dapat ditegakkan. Untuk menjawab
permasalahan tersebut, saya menganalisanya berdasarkan data dan pengalaman
empiris dan kemudian mencoba mendekatinya dengan teori hukum yang ada.

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Kalau kita ingin mengkaji dan memahami persoalan advokat, terlebih dahulu kita
perlu mengetahui bagaimana sesungguhnya sejarah advokat itu dari waktu ke waktu,
apa cita-citanya dan bagaimana perannya selama ini. Sehingga dengan demikian kita
dapat menjiwai semangat dan cita-cita advokat untuk dapat diwujudkan diera
sekarang ini. Dan agar kita dapat mengangkat jiwa dan semangat advokat tersebut
dengan sengaja saya sampaikan sejarah advokat dengan metode reportase.

I.Sejarah Advokat

1.Bermula Dari Praetor

Kisah tentang advokat bukanlah hal yang baru dikenal di peradaban sekarang. Tapi
epos tentang advokat telah berkisah sejak peradaban Romawi berjaya. Kala era tahun
340 Sebelum Masehi, Romawi berbentuk republik. Era itu dikenal seorang pembela
yang melegenda. Cicero namanya. Dia dikenal sebagai peletak dasar hadirnya profesi
advokat, profesi yang berkembang sekarang ini. Cicero adalah seorang praetor muda
Romawi.

Dalam sebuah catatan yang dituliskan Robert S. Broughton, dalam bukunya The
Magistrates of the Roman Republic, yang diterbitkan American Philogocal Association,
kisah Cicero kala membela keadilan ditengahkan. Ketika itu, seorang anak muda
Romawi diadili. Namanya Caius Populius Laenas. Dia masih belia. Usianya sekitar
lima belas tahun saja. Caius diadili karena dituduh menikam mata ayahnya hingga
mati. Dia melakukannya dengan stilus logam.

Persidangan itu menyedot perhatian warga Romawi. Cicero saat itu bertindak sebagai
pedarius, jenjang sebelum praetor. Tapi Cicero bertekad membela si anak muda
Romawi itu. Jika Cicero gagal membela dan tak bisa memberi keyakinan pada juri,
anak muda Romawi itu bakal dihukum bersalah dan ditelanjangi. Dia bakal dihukum

2
cambuk hingga berdarah. Lalu dimasukkan ke kurungan yang didalamnya berisi
anjing, ular berbisa. Lalu dikurung dan dijahit rapat kemudian dilemparkan ke
sungai Tiberias. Begitulah gaya hukuman di era Romawi.

Cicero membuat gebrakan dalam pembelaan. Dia membacakan pembelaan untuk


anak muda Romawi itu. Cicero mengatakan di depan para senator, bahwasanya
menurut senat ini, pengajuan dakwaan dengan ancaman hukuman mati terhadap
orang yang tidak hadir di pengadilan, harus dilarang di semua provinsi. Cicero
berpanjang lebar menyampaikan alibi bahwa anak muda Romawi itu tak bersalah.
Dia difitnah.

Pembelaan Cicero ternyata mengguncang Romawi. Jagad imperium itu terkesima.


Enam ratus anggota Senat, terperangah dengan gaya pembelaan Cicero. Akhirnya
kemudian Cicero dikisahkan berhasil membebaskan anak muda itu dari hukuman.

Namun, kisah kehebatan Cicero juga pernah takluk di tangan praetor lainnya. Dialah
Julius Caesar, yang kemudian didaulat menjadi Kaisar Romawi. Caesar mengalahkan
Cicero dalam kasus , Conspiracy of Catiline, yang merupakan kasus politik upaya
kudeta terhadap kaisar Romawi.

Tapi Cicero dan Caesar mempertontonkan bagaimana menjadi praetor yang mulia.
Praetor berjuang demi menegakkan hukum, yang sudah disusun sebelumnya. Praetor
menjaga hukum agar tetap berjalan dan dipatuhi. Praetor menjaga kewibawaan
imperium di depan para rakyatnya. Praetor menjaga setiap orang Romawi cinta akan
negerinya karena keberadaban bisa terjaga tanpa takut akan ketertindasan dari sang
penguasa. Praetor tak bertugas membebaskan orang yang bersalah. Namun menjaga
agar orang yang bersalah itu diberikan sanksi sesuai dengan koridor kesalahannya.
Tidak menambahi maupun mengurangi. Peranan praetor membuat Romawi jadi
agung dan menjelma jadi imperium yang tangguh.

2. Advokat di era Hindia Belanda

Di abad 19, semangat Cicero sang pembela seolah hadir juga di nusantara. Jejaknya
berdengung kala nusantara tengah dijajah oleh Hindia Belanda. Seorang advokat
muda asal Belanda, membela para kuli-kuli pribumi yang ditindas rezim Hindia
Belanda. Advokat itu bernama Mr. J. Van Den Brand.

Dia orang Belanda asli. Masih muda. Belum lama lulus kuliah hukum di Universitas
Amsterdam, Belanda. Ketika itu, tahun 1898, sosok ini sengaja datang ke tanah Deli.
Karena tanah Deli dikenal sebagai pusat perdagangan kaum Belanda.

Kedatangan Van Den Brand di tanah Deli diketahui banyak orang. Dia sedikit
menjadi perbincangan, terutama di kaum pribumi. Karena profesi Van Den Brand
adalah seorang advokat.

Suatu ketika, di tahun itu juga, Van Den Brand kedatangan tujuh orang Melayu.
Mereka mengadu atas perkara yang dialaminya. Para pribumi itu meminta advis dari
Van Den Brand. Pimpinan dari mereka bernama Mangaraja Tagor. Dia yang
mengkomandani para pribumi itu.

3
Perkaranya bermula kala Mangaraja dan para orang Melayu itu diminta untuk pindah
dari rumah dan tanahnya.

Sang advokat itu pun beraksi. Dia menerima pengaduan kaum pribumi tadi. Van Den
Brand membela Mangaraja dan kawan-kawannya itu. Dia berpendapat bahwa mereka
tidak bisa dipaksa untuk pindah tanpa ganti rugi.

Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat


bangsanya sendiri. Van Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh
kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dikirimkannya
ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli).

Begitu beredar, karya Van Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan
di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Van Den
Brand dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap Van Den Brand,
membuat pemerintah Belanda beraksi.

Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli


contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.

Gara-gara Van Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di
Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta
perlindungan. Awal abad 20, di Medan, Raad van Justitie (Pengadilan Negeri) belum
didirikan. Lembaga ini baru ada di Batavia (Jakarta). Tetapi karenanya advokasi Van
den Brand, Hindia Belanda pun memutuskan mendirikan Raad Van Justitia di tanah
Deli. Mereka mulai mengadili pelanggaran hukum, seperti yang di urai Van Den
Brand.

3. Advokat di Zaman Kemerdekaan

14 April 1949. Tiga orang advokat duduk berhadap-hadapan dengan beberapa orang
berambut pirang. Mereka tengah bersidang. Tapi bukan di pengadilan. Melainkan
bertempat di hotel Des Indies, Batavia (kini kompleks Duta Merlin). Hadir juga
seorang utusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Karena ditempat itu tengah
digelar perundingan soal wilayah negara.

Pihak Indonesia diwakili beberapa orang. Tak ada Soekarno maupun Hatta. Karena
mereka lagi ditahan penjajah. Kaum Pribumi diwakili advokat dan sejumlah tokoh
lainnya. Ada Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Johanes Latuharhary,
Prof. Dr. Supomo, Leimena, dan A.K. Pringgodigdo. Dua nama didepan itulah advokat-
nya. Mereka berada digaris depan perundingan. Sementara Belanda tak mau kalah.
Sejumlah penjabatnya diturunkan ke Batavia. Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van
Royen dengan anggota-anggota Mr. N.S. Blom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde,
dan empat orang penasihat.

Belanda menuntut Indonesia berhenti bergerilya dan mengijinkan mereka masuk lagi.
Tapi Roem dan Sastroamidjojo, mementahkan tawaran itu. Pihak Indonesia meminta
Belanda mengakui pengembalian pemerintah RI disertai dengan pengakuan
kedaulatan atas wilayah tertentu dari mereka. Semula Belanda tak setuju. Tapi dalil
dan argumentasi Roem dan Sastroamidjojo tak bisa dikalahkan Belanda. PBB
menyetujui. Akhirnya Indonesia menoreh kemenangan dalam perundingan itu.
Sejarah kemudian mencatatnya sebagai “Perjanjian Roem-Royen”.

4
Kisah itu menunjukkan kehebatan advokat kita era dulu. Kepiawaian Roem dan
Sastroamidjojo sebagai advokat, dibaktikan untuk menyelamatkan republik.

Ternyata, jiwa perjuangan advokat ini diwarisi kepada advokat generasi kedua. Tak
heran, nama-nama seperti Suardi Tasrif, Yap Thian Hien, Ani Abbas Manoppo, Hasjim
Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Sukardjo, Harjono Tjitrosoebeno, Nani
Razak, tetap mengedepankan pengabdian kala sebagai advokat. Di generasi ini,
mereka tetap menunjukkan kegigihan membela keadilan.

Mereka mempertontonkan bagaimana menjadi advokat pejuang. Mereka kerap di


garis depan membela republik. Advokat berada di ujung garis perjuangan.
Kemampuan bersidang dan orasi, dimanfaatkan untuk berjuang membela
kepentingan bangsa.

4. Periode Advokat di Era Orde Baru

Di tahun 1960 mulailah dirancang pembentukan organisasi advokat yang berskala


nasional. Organisasi yang menjadi wadah pemersatu para advokat seantero
nusantara. Pada tanggal 14 maret 1963 barsamaan dengan berlangsungnya seminar
Hukum Nasional, Persatuan Advokat Indonesia (PAI) didirikan dengan diketuai oleh
Mr. Loekman Wiriadinata. Yang jadi Sekretaris Jenderal-nya adalah Sakti Hasibuan,
advokat asal Medan, Sumatera Utara.

Sejak itulah advokat Indonesia mulai bergelayut dalam organisasi yang utuh. Di Solo
itulah cita-cita membentuk organisasi advokat makin diwujudkan. Kemudian PAI
Cabang Solo membentuk panitia yang mengawali dibentuknya musyawarah nasional
advokat. Kepanitiaan itu dikomandani Mr Soewidji. Mereka sepakat untuk
menyebutkan ajang itu sebagai “musyawarah”.

Sewaktu sidang musyawarah advokat tanggal 30 Agustus 1964 itulah kemudian


secara aklamasi dideklarasikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).
Pergantian nama PAI ke PERADIN ini salah satunya disebabkan karena persoalan
bahasa. Dalam musyawarah itu diungkapkan bahwa nama “PAI” agak tak elok
digunakan karena kata itu bukanlah kata yang bagus bagi masyarakat di Palembang.
Karena itulah salah satu pertimbangan untuk merubahnya menjadi PERADIN.

Tapi sejak itulah kiprah PERADIN menghiasi sejarah nasional. PERADIN kemudian
men-declare menjadi organisasi perjuangan dalam menghadapi rezim Orde Lama dan
Orde Baru.

Suasana di era Orba memang sangat tak sehat dalam penegakan hukum (law
enforcement). Bahkan mulai sejak pembuatan hukum (law making process), sudah
terkooptasi dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Tak heran gebrakan advokat
dalam penegakan hukum juga terbatas. Dalam artian, rezim militeristik yang
diterapkan Orba sangat besar juga mempengaruhi dunia peradilan. Tak heran, kala
era itulah “backing” menjadi sangat penting dalam urusan untuk mengurus perkara.

Suasana di masyarakat juga demikian adanya. Masyarakat lebih memilih mencari


backing dalam menyelesaikan masalahnya. Jalan lewat pengadilan atau memakai jasa
advokat, itu bukanlah prioritas. Bahkan advokat sendiri, untuk bisa memenangkan

5
perkara, mesti mencari backing juga. Backing ini tentu pihak-pihak yang memiliki
afiliasi langsung dengan para penguasa. Disinilah para advokat banyak terkunci, baik
dari sisi pengembangan ilmu hukum maupun proses tegaknya profesi itu sendiri. Tak
heran peranan advokat banyak yang mengikuti arus jalur pihak berkuasa. Karena
elemen yudikatif bisa dibilang dikooptasi juga oleh eksekutif, selaku sang penguasa.

Dengan nuansa demikian, bisa dibilang, di era itu, profesi advokat selalu
dimarginalkan. Independensi advokat menjadi sesuatu yang mahal. Peranan advokat
sebagai penegak hukum, sering diabaikan. Karena penguasa Orba senantiasa
mengendalikan organisasi advokat dan tidak pernah setuju dengan konsep profesi
advokat yang bebas dan mandiri.

Walau memang organisasi advokat kala itu, tak pernah benar-benar bisa dikooptasi
oleh pemerintah, tapi eksesnya pemerintah berhasil membuat advokat terkotak-kotak
dalam beragam organisasi. Ini juga faktor yang membuat advokat menjadi lemah.
Mengapa lemah? Karena yang memberi izin advokat adalah pemerintah dan tidak ada
kewajiban advokat untuk menjadi anggota organisasi advokat. Pengawasan terhadap
kode etik advokat diletakkan pada pengadilan. Bukan pada tubuh advokat.

Kondisi inilah yang membuat advokat mulai terdikotomi. Ada yang berhasil melawan
arus, tapi tak sedikit yang memilih jalur untuk ikut pada kekuasaan.

5. Advokat di Era Reformasi

Paradigma dunia advokat kemudian berubah dahsyat kala era reformasi berlangsung.
Runtuhnya rezim Orde baru dan terbukanya informasi sebebas-bebasnya,
mempengaruhi juga dunia advokat. Reformasi di bidang politik, ekonomi, informasi
dan lainnya, membuat banyak perubahan penting. Tapi perubahan di bidang hukum,
bisa disebut sangat terlambat. Dr. Supandhi, SH, M.Hum, Hakim Agung pada
Mahkamah Agung Republik Indonesia menguraikan, reformasi hukum berjalan jauh
ketinggalan dengan bidang lainnya. Tradisi yang berlangsung dalam penegakan
hukum masih berada base on hard copy. Sementara tuntutan zaman sudah
menuntut diperlukan tradisi soft copy. Inilah yang mendesak perlunya reformasi
hukum berjalan seiring dengan bidang lainnya.

Tapi reformasi yang berlangsung merubah paradigma masyarakat dengan dahsyat.


Jika sebelumnya, di era Orde baru, banyak persoalan hukum diselesaikan tidak
dengan cara projustitia, tapi sekarang kemudian berlangsung sebaliknya. Backing-
backing menjadi tidak berdaya. Tidak ada lagi orang yang bermasalah, mencari
backing untuk menyelesaikan urusannya. Sekarang justru para backing-backing itu
yang terjerat kasus hukum. Dan, para backing itulah yang kini memerlukan advokat,
untuk membela kasus hukum mereka. Tidak terbayangkan sebelumnya, kini Presiden
sekali pun memerlukan advokat. Menteri-menteri, Kapolri, Jaksa Agung, Hakim
Agung, dan pejabat-pejabat, semuanya memerlukan advokat. Era inilah yang
membuat paradigma di dunia advokat berubah drastis.

Seiring dengan hal itu juga, globalisasi menjadi fenomena yang membuat banyak
perubahan, khususnya di abad 21 ini. Bernard Schwartz, seorang lawyer Amerika
Serikat, menceritakan dalam bukunya The Law in America, terbitan American
Heritage Publishing Co. Inc, New York, 1974. Globalisasi dalam bidang politik,
ekonomi, kebudayaan, informasi, mengiringi berlangsungnya internasionalisasi jasa

6
hukum (internationalization of legal services). Ini dampak dari munculnya praktek
bisnis transnasional dan kebutuhan akan “ekspor” legal services yang terus bergulir
seiring peningkatan dalam praktek bisnis.

Seperti pandangan Alan Dershowitz, dalam bukunya, Letters to a young lawyer, Basic
Book, terbitan Newyork, 2001 melukiskan bahwa kini berkembang pula adagium di
kalangan pebisnis, sebelum melakukan transaksi bisnis, maka disamping kiri perlu
ada advokat dan sebelah kanan seorang akuntan. Sehingga transaksi bisnis yang
dilakukan tak menyalahi hukum, dan terhindar dari kerugian.

Kondisi ini membuat jasa advokat berkembang pesat. Terutama konsultan hukum
perusahaan (coorporate legal consultant) menjadi fenomena baru dalam dunia advokat
sekarang. Ini menjadi trend baru yang sangat berkembang pesat.

Situasi ini pula yang membuat advokat tak lagi sekedar menerima honorarium.
Sejatinya honorarium itu berarti sebuah penghormatan. Asal katanya “honorus”, dari
bahasa Latin. Maknanya adalah penghargaan atau penghormatan. Di era Cicero,
Julius Caesar hingga Montesquei, mereka pembela menerima honorus. Mereka juga
menerima imbalan, tapi sifatnya hadiah sebagai penghormatan atas jasa hukum
mereka. Itu sebabnya didalam kode etik Indonesia, istilah “honorarium” yang
digunakan dan bukan istilah “legal fee” atau “professional fee”.

Kini, honorarium itu bukan berdiri sendiri. Melainkan ada pula dikenal legal fee,
success fee dan lainnya. Seiring dengan itu kondisi ini menimbulkan problematika
tersendiri. Lambat laun profesi advokat seolah dikenal hanya menguber materi dan
harta berlimpah semata. Seolah melupakan spirit perjuangan.

Memang bukan suatu masalah jika advokat menerima bayaran dan tidak ada yang
salah apabila seorang advokat menjadi kaya. Karena hal itu seiring juga dengan
hakekat dedikasi dari tegaknya keadilan masyarakat, demi membela hak-hak yuridis
kliennya. Ini sudah menjadi hukum universal yang berlaku di negeri manapun.

Seperti halnya dielabosari oleh Peter Schuck dalam bukunya The Limits of Law,
mengatakan:

“Some of the incentives that shape lawyers conduct, however, distinctive


to their professional milieus. For practicing lawyers, the decisive incentive
is the need, consistent with both self interest professional ethics, to
effectively represent the clien’s interest, what-ever those interest may be.
The Lawyer’s income (if not always her psichic well being) in enhanced
by her willingness to subordinate her personal policy views to those of
her client.

Hakekat keberadaan profesi advokat adalah penegakan kebenaran ilmu hukum dan
keadilan bagi masyarakat manusia. Timbulnya “fee” bagi jasa profesi advokat
merupakan ikutan atau konsekwensi logis dari adanya pengeluaran pikiran, tenaga,
moral dan komitment yang dikeluarkan dan dipergunakan oleh si advokat. Namun
demikian, perlu menjadi kehati-hatian kita karena komersialisasi profesi dapat
mengarah pada demoralisasi profesi. William H. Harbaugh dalam bukunya, Lawyer;s
Lawyer, The Life of John W. Davis, mengemukakan:

7
As early as1889, a wheeling judge criticired stare dicisis and rhe
professions disposition to put its faith in unchanging principles. The rules,
he declared, must be “just in them selves, just, not in any abstract sense,
but just, as being in accordonce with the common sentiment of mankind.
“Two decades later another judge qualed Cicero-“Lempora mulanlur et
mulamus in ils” – in support of the view that changed conditions often will
justify change of decision”. A few years before that a Martins burg
attorney categorycally assorted thet the general submission of the lawyers
to commercialism was “democratizing” the profession.”

Dalam konteks ini, patut kita simak pandangan William H. Harbaugh, dia
melukiskan:

“Other paper supported the legal formation on which Davis had been
nurtured. One assorted the police power was fostering “a law standard of
private morality” through poor debtars law, stay law, homested
exemptions, and the issuance of free school books. Another argued that to
change a rule of property by yudicial construction was to prepass on the
Legislative sphare. A third proposed that strate decisis be incorporated
into statutory law in order to prevent the overhern of estabilished
precedents. These doctrines were frequently and forcefully chalenged. As
early the general submission of the lawyer’s to commercialism was
“democratizing” the profession.

Strategically it can be very helpful for the plaintiff to have two or more
defendants. Although they will try to present a united front it is usually
possible to get at least a little finger pointing going. Defence lawyer A will
no be upset if dependent B Gets hit with a large verdict. This even makes
him look better in the eyes of his insurance company client.

6. Era Advokat Pasca Reformasi (setelah Undang-Undang Advokat No.18 /


2003)

Pada tahun 2003 lahirlah Undang-Undang Advokat No.18 / 2003 sebagai buah
perjuangan bersama para advokat. Sebelumnya, 7 organisasi advokat, telah berjuang
bersama-sama untuk menggol-kan UU Advokat itu. Ketujuh organisasi advokat itu
adalah IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, dan HKHPM. Sebelum UU Advokat
disahkan, para organisasi advokat ini telah bekerjasama dalam bingkai Komite Kerja
Advokat Indonesia (KKAI) yang berada dalam beberapa fase. Fase KKAI jilid I,
memperjuangkan terbentuknya UU Advokat. Fase KKAI Jilid II bekerja untuk
membentuk Organisasi Advokat seperti yang diamanatkan oleh UU Advokat itu.
Selain itu, pasca lahirnya UU Advokat, muncul pula organisasi advokat baru yakni
Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Alhasil, lengkaplah ada 8 organisasi
advokat yang berkiprah di Indonesia, sebelum lahirnya UU Advokat Tahun 2003.

Kemudian, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat memerintahkan:

“Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan
mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud
dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”.

8
Seiring dengan itu, Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat menyebutkan:

(3) Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia
(IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI),
Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI),
Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasal Modal
(HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

(4) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini,
Organisasi Advokat telah terbentuk.

Seiring dengan amanat UU Advokat inilah kemudian pada tanggal 21 Desember 2004,
8 Organisasi Advokat tersebut mendeklarasikan berdirinya Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI) di Jakarta. Deklarasi itu dilakukan oleh 8 pengurus Organisasi
Advokat yang sifatnya mewakili advokat Indonesia yang tergabung dalam IKADIN,
AAI, IPHI, AKHI, SPI, HAPI, HKHPM, dan APSI. PERADI inilah kemudian menjadi
wadah tunggal bagi advokat Indonesia sejak tahun 2004. Kemudian 30 Mei 2008,
berdiri pula Kongres Advokat Indonesia (KAI) di Balai Sudirman, Jakarta. Kini
keberadaan KAI terbelah menjadi 3 organisasi yang masing-masing memiliki
kepemimpinan sendiri. Lalu muncul pula sejumlah advokat yang “menghidupkan”
lagi PERADIN, yang kini terbelah menjadi dua pula.

Kemudian kita ketahui bahwa PERADI bukan sekedar wadah tunggal bagi advokat
semata. Tapi juga merupakan organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara No. 014/PUU-
IV/2006, tanggal 30 November 2006 menyebutkan demikian.

“......organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya


adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ)
yang juga melaksanakan fungsi negara”.

7. “Advokat Pejuang”, bukan karena “siapa” yang dibela tetapi bagaimana


“cara” membela

Terbukanya iklim bisnis yang berkembang pesat ini menuntut pula profesi advokat
untuk mengiringinya. Pelaksanaan hukum juga ikut berpengaruh besar. Advokat juga
terbawa pada arus transaksional bisnis yang berkembang pesat ini. Firma-firma
hukum meledak hadir menjamur. Ini terasa pasca era reformasi berlangsung. Bahkan
firma-firma hukum di luar negeri sudah ada yang mendeklarasikan go public.

Begitu pentingnya peran advokat, sampai-sampai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


memberikan atensi khusus terhadap hal ini.

In 1990, the eight United Nations Conggres on the Prevention of Crime and
Treatment of Offenders was held in Havana, Cuba; the result was the UN
basic Principles on the Role of Lawyers. The goal of the Basic Principles is
to serve as aguide for member states of the United Nations as the promote
and develop the proper role of lawyers. The Basic Principles addresses
such topic as citizen access to lawyers, qualification and training, duties

9
and responsibilities, independence from interference, freedom of
expression and association, freedom to depelop professional (bar)
associations, and methods for disciplinning lawyers who fail to act in
accordance with any ethical standarts.

Advokat pun kemudian menjadi dunia bisnis tersendiri. Selain dia sebagai penegak
hukum, tapi juga memiliki sisi persaingan bisnis juga. Advokat pun memiliki seni
tersendiri untuk bisa eksis dalam menjalankan profesi ini. Pelaksanaan profesi
hukum adalah menyangkut cara-cara yang dapat dilakukan oleh advokat dalam
melaksanakan profesinya. Antara lain menyangkut: cara mendapatkan klien, cara-
cara pembelaan, honorarium, hubungan dengan teman sejawat, hubungan dengan
lawan perkara dan lain sebagainya.

Di titik ini, advokat tentu tak lagi perlu terlena romantisme sejarah. Karena
perjuangan advokat sekarang berbeda dengan era Mr. Roem atau Mr.
Alisastroamidjojo. Berbeda pula lapangan tanding-nya dengan era Mr. Van Den Brand
atau Cicero sekalipun. Karena identifikasi terhadap advokat pejuang, tidak lagi bisa
distigma dari siapa yang dia bela. Tapi advokat pejuang era sekarang adalah diukur
dari bagaimana cara dia membela. Jika advokat berjuang membela klien dengan cara-
cara yang benar, tentu itu juga sebuah perjuangan. Kala advokat membela tersangka
kasus korupsi, tentu tak bisa distigmasisasi advokat itu sebagai koruptor. Kala
advokat itu membela terdakwa kasus teroris, tentu advokat tak bisa diindetikkan
sebagai pelaku teroris pula. Tapi advokat pejuang adalah bagaimana membela
kliennya agar mendapatkan status hukum yang sesuai dengan rule of law. Karena
dari kacamata advokat, membela si miskin dan si kaya, adalah equality before the
law. Semua posisinya sama di depan hukum. Advokat juga sama saja, kala membela
si miskin dan si kaya. Bukan pula karena advokat membela si miskin, lantas dia
disebutkan pejuang. Bukan begitu lagi ukurannya. Sekarang, ukuran perjuangan
dititikkan pada bagaimana “cara” dia membela. Sekali lagi, bukan terletak pada siapa
yang dia bela.

8. Advokat Penegak Hukum

Pasal 5 Undang-undang Advokat no 18 tahun 2003 menyebut Advokat adalah


penegak hukum yang setara dengan penegak hukum yang lainnya (setara dengan
Jaksa, Hakim, dan Polisi).

Pada mulanya saya tidak setuju advokat itu sebagai penegak hukum. Kenapa?
Karena terlalu berat sekali bebannya menjadi penegak hukum. Tapi kemudian saya
berpikir, di Indonesia ini perlu advokat itu dijadikan sebagai penegak hukum demi
perlindungan kepada pencari keadilan.

Karena sejatinya advokat itu memiliki dua kontrak, satu kontrak publik dan satu lagi
kontrak privat. Di satu sisi advokat itu harus mengedepankan hukum agar tegak
sesuai dengan rule of law, tapi satu sisi advokat harus membela kepentingan kliennya
karena dia dibayar oleh kliennya. Apapun yang terjadi, advokat dituntut untuk
menegakkan hukum. Tapi ini tidak mudah. Karena di satu sisi advokat itu memiliki
kewajiban untuk melindungi kliennya dan ia juga sudah dibayar.

Masalahnya, jika advokat itu sebagai penegak hukum, mungkinkah di pengadilan


seorang advokat mengatakan:

10
“Pak Hakim, meskipun dakwaan Penuntut Umum ini lemah dan bukti-buktinya
tidak kuat, tapi karena saya tahu klien saya ini bersalah, maka hukumlah dia.”

Sebagai penegak hukum, tentu advokat harus begitu. Sangat boleh advokat
melakukan itu. Tapi sebagai advokat yang terikat kontrak privat dengan kliennya, hal
itu menjadi tidak mungkin. Karena ada kewajiban advokat untuk menjaga
kerahasiaan kliennya. Jika itu dilanggar, tentu sanksi kode etik siap menerpa sang
advokat.

Jadi bagi saya, demi tegaknya hukum, maka sangat pantas advokat itu dijadikan
penegak hukum. Justru jika saja advokat tidak dilekatkan pada dirinya sebagai
penegak hukum, bisa akan menjadi seenaknya saja. Advokat akan terus hanya
membela kepentingan kliennya saja tanpa mempedulikan hukum itu tegak atau
tidak. Disitulah potensi komersialisasi profesi advokat benar-benar tercipta. Dan ini
pula tantangan paling berat bagi advokat.

Dalam hubungan ini, George Gordon Coughlin, mantan ketua American Bar
Association (ABA), menggambarkan:

“The term Legal Etics has been defined as that branch of moral science
which treats of the duties which a member of the legal profesion owes to
the public, the court, his professional brethern, and his client.

Jadi nyata sekali adanya keterkaitan kode etik profesi dengan tanggungjawabnya
terhadap masyarakat, pengadilan, profesi (hukum) dan kliennya. Disinilah peran
organisasi advokat menjadi sangat penting. Organisasi advokat menjadi satu-satunya
penghubung antara tanggungjawab advokat dengan masyarakat, dengan pencari
keadilan. Karena organisasi advokat menjadi satu-satunya wadah bagi masyarakat
(pencari keadilan) untuk mengontrol apakah advokat menjalankan profesinya itu
dengan benar atau menyimpang. Organisasi advokat menjadi garda terdepan penjaga
etika advokat. Tidak ada lembaga lain.

Oleh karena itu diperlukan advokat dan Organisasi Advokat yang independen, bebas
dan mandiri yang berbentuk single bar. Kalau tidak ada organisasi advokat yang kuat
dan independen yang mampu mengawasi advokat dan melakukan rekruitment
Advokat yang bermutu dan Zero KKN, dapat dipastikan advokat akan berkembang
seperti binatang buas yang lepas di hutan yang tidak ada aturan dan etika dan siapa
yang kuat dialah yang menang. Karena hukum rimbalah yang berlaku.

Hal itu tentunya akan merugikan pencari keadilan (justice seekers). Karena advokat
akan dapat memperlakukan kliennya sewenang-wenang tanpa ada yang dapat
mengawasinya. Oleh karena itu dibutuhkan advokat yang jujur dan berkualitas,
sebab kalau advokat jujur tetapi tidak pintar, itu akan berbahaya dan kalau ada
advokat yang pintar tetapi tidak jujur, itu lebih berbahaya lagi.

Untuk menjadi advokat yang pintar dan jujur, dibutuhkan Pendidikan Advokat dan
rekruitment advokat yang bermutu dan zero KKN serta pengawasan advokat yang
ketat. Dan, karenanya dibutuhkan pula suatu organisasi advokat yang kuat agar
dapat menjamin tercapainya standarisasi profesi advokat. Kalau organisasi yang
memiliki wewenang melakukan fungsi advokat lebih dari pada satu (multibar), maka

11
cenderung mutu advokatnya tidak terjamin karena tidak ada standarisasi advokat
yang pasti dan pengawasannya pun tidak bisa diandalkan.

Tentu gambaran itu menunjukkan betapa Organisasi Advokat yang kuat dan tunggal
merupakan syarat mutlak yang diperlukan bagi tegaknya kode etik advokat, yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari adanya malpraktek terhadap profesi ini.
Terlebih seiring dengan maraknya komersialisasi profesi advokat ini.

9. Mengenai Rentannya Perpecahan Advokat

Selama ini sering terjadi perpecahan di tubuh organisasi advokat. Ada yang
menyatakan bahwa advokat tidak mungkin bersatu dan perpecahan itu timbul karena
adanya Wadah Tunggal Advokat. Pendapat tersebut adalah tidak tepat, karena dari
sejarah advokat dan organisasi advokat yang sudah saya jelaskan sebelumnya,
terbukti bahwa perpecahan organisasi advokat itu sudah terjadi jauh sebelum adanya
Wadah Tunggal (PERADI) dan bahkan organisasi diluar PERADI pun pecah juga.
Artinya sekiranya sistim yang digunakan adalah Multi Bar, tetap tidak ada jaminan
bahwa organisasi tersebut tidak pecah lagi.

Kalau demikian halnya mengapa Organisasi Advokat rentan dengan perpecahan, apa
sebabnya dan bagaimana solusinya.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas maka saya mencoba mendekatinya


dengan teori Lawrence M. Friedman sosiolog hukum dari Stanford University yang
menyatakan bahwa elemen utama tegaknya sistim hukum adalah struktur hukum
(legal structure), substansi hukum (legal substance) dan kultur hukum (legal culture)
dan juga pendapat dari Antropolog Koentjaraningrat dalam bunga rampainya,
Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (1980), dengan istilah bahwa bangsa
Indonesia memiliki mental “menerabas”. Menurutnya, ada beberapa mentalitas
buruk, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-
temurun kepada generasi selanjutnya. Beberapa mentalitas buruk itu antara lain
suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin
semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab.

Selanjutnya Prof. Dr. Achmad Ali, SH, MH, menyebutkan kultur hukum ini sebagai
ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, harapan-harapan, dan opini-opini
tentang hukum.

Friedman lebih defenitif lagi dalam menggambarkan pentingnya kultur hukum demi
tegaknya supremasi hukum itu. Dia mengulas:

“Social forces are constantly at work on the law –destroying here,


renewing there, choosing what parts of ‘law’ will operate, which parts will
not; what substitutes, detours, and bypasses will spring up; what changes
will take place openly or secretly. For want of a better term, we can call
some of these forces the legal culuture. It is the element of social attitude
and value. The phrase ‘social forces’ is itself and abstraction; in any event,
such forces do not work directly on the legal system. People in society have
needs and make demands; these sometimes do and sometimes do not
invoke legal process –depending on the culuture—The values and attitude
held by leaders and members are among these factors, since their
behavior depends on their judgment about which options are useful or

12
correct. Legal culuture refers, then, to those parts of general culuture –
customs, opinions, ways of doing and thinking—that bend social forces
toward or away from the law and in particular ways” (Friedman,
1987:15).

Kemudian Friedman menambahkan lagi,

“We define legal culture to mean attitude, values, and opinions held in
society, with regard to law, the legal system,and its various parts. So
defined, it is the legal culture which determines when, why, and where
people use law, legal institutions, or legal process; and when they use
other institutions, or do nothing. In other words, cultural factors are an
essential ingredient in turning a static structure and a static collection of
norms into a body of living law. Adding the legal culture to the picture is
like winding up a clock or plugging in a machine. It sets everything in
motion.” (Friedman, 1977:76)

Dari gambaran Friedman itu menunjukkan betapa pentingnya kultur hukum


untuk mengubah unsur esensial dalam suatu struktur statis dan suatu
kumpulan norma-norma statis menjadi suatu kumpulan hukum yang hidup.
Friedman juga menegaskan, menambahkan kultur hukum pada gambaran ini
adalah seperti memutar sebuah jam atau menghidupkan sebuah mesin. Kultur
hukum itu menggerakkan segala sesuatunya.

Di titik itulah organisasi advokat perlu berupaya membangun kembali kultur


hukum. Tentu di tengah iklim dunia advokat kita yang sudah sedemikian
komersial, upaya-upaya Organisasi Advokat itu—seperti dikatakan Friedman—
seperti memutar sebuah jam dan menghidupkan sebuah mesin. Itu bukanlah
langkah yang mudah. Bukan pula upaya yang mustahil.

Kita mengetahui bahwa dalam masyarakat terdapat banyak jenis norma yang bekerja
secara bersama-sama, yaitu norma adat istiadat, moral, agama, dan hukum, Kalau
didalam suatu masyarakat yang masih tradisional, diantara norma-norma tersebut,
belum tampak kesenjangan yang besar, Sebaliknya didalam masyarakat modern,
perbedaan tajam diantara norma-norma tersebut semakin mengenal, terutama
tampak adanya perbedaan tajam antara norma hukum disuatu pihak, dengan
“norma-norma non hukum” dipihak lain. Dengan kata lain, terjadi suatu perbedaan
yang juga tajam tentang konsep “keadilan” antara konsep “common sense”, konsep
moral atau bahkan konsep ilmiah rasional, berhadapan dengan konsep keadilan
formal dari pemerintah, atau penegak hukum. (Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H,
Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence).

Merujuk kepada pendapat tersebut diatas, kita dapat mengetahui mengapa sepanjang
sejarah advokat itu seolah-olah berkelahi terus soal organisasi? Kultur hukum (legal
culture) itulah penyebabnya. Aktor-aktor advokat masih banyak yang belum siap
dengan kemajuan di era ini.

Kalau kita terapkan teori-teori diatas ini ke dunia advokat maka dapat kita lihat
bahwa struktur hukum sudah berubah, dimana sudah ada PERADI sebagai Wadah
Tunggal Advokat, sudah ada Komisi Pengawas, Dewan Kehormatan dan struktur
organisasi lainnya. Kemudian substansi hukumnya juga sudah berubah (legal

13
substance) dimana dalam hal ini sudah ada Undang-Undang Advokat No.18 Tahun
2003, ada Peraturan-peraturan organisasi dan anggaran dasar, ada peraturan
tentang magang, dan lain-lain semuanya itu tentu mengarah dan mendukung
perubahan yang lebih baik kepada peningkatan kualitas advokat. Jadi kalau struktur
dan substansi sudah berubah mengapa masih ada perpecahan? Ternyata hal itu
terjadi karena kultur advokat belum berubah, karena apa? Jawabnya karena
Advokat-advokat datang dari budaya yang berbeda dan dari jaman yang berbeda-
beda. Kemudian dengan perintah UU Advokat, dituntut untuk berada dalam satu
Organisasi Advokat, yang menuju pada cita-cita yang sama. Jadi ketika advokat itu
masuk dalam dunia baru yaitu dunia komunitas advokat dalam suatu organisasi
advokat, terjadilah benturan-benturan itu. Ketika terjadi interaksi budaya dalam
Organisasi Advokat itu, maka berlangsung gesekan-gesekan antara para advokat.
Itulah yang menyebabkan potensi perpecahan dan menyebabkan perpecahan di
kalangan advokat itu sendiri. Hal ini memang tak bisa dihindari. Tapi memerlukan
waktu untuk menerapkan agar persatuan advokat itu terwujud. Dan solusinya adalah
konsistensi. Organisasi advokat harus tetap konsisten untuk menegakkan aturan-
aturan organisasi, harus tetap konsisten dengan pendidikan, rekruitmen dan
pengawasan advokat yang bermutu dan Zero KKN. Kalau organisasi advokat tetap
konsisten menjalankan semuanya itu maka suatu saat nanti akan terjadi perubahan
pada kultur advokat, dimana advokat akan sampai pada suatu kesadaran dan cita-
cita yang sama untuk bersama-sama meningkatkan kualitas advokat tersebut. Hal ini
mulai berhasil dilaksanakan oleh PERADI, dimana dulu pada saat PERADI
melaksanakan ujian advokat, banyak yang minta tolong agar lulus, tetapi karena
PERADI menerapkan Zero KKN maka banyak yang tidak lulus. Akibatnya PERADI
banyak di demo dan dimusuhi. Tetapi karena PERADI konsisten melaksanakan
rekruitmen advokat dengan Zero KKN maka sekarang hampir tidak ada lagi yang
minta tolong agar lulus dan tidak ada lagi yang unjuk rasa kalau tidak lulus.
Akhirnya mereka bisa mentaati aturan-aturan yang dibuat PERADI dan tidak
mengurangi minat mereka untuk ikut ujian PERADI. Inilah salah satu bukti
sederhana bahwa konsistensi dapat merubah kultur.

Oleh karena itu Organisasi Advokat itu yang harus diperkuat. Organisasi advokat
harus terus ditopang, dibantu oleh semua pihak termasuk jajaran pemerintah. Tentu
ini untuk membangun kultur hukum agar tak ada lagi perpecahan advokat di
kemudian hari.

Jika kultur hukum itu tak dibangun, sampai kapan pun, perpecahan Organisasi
Advokat ini tak akan berubah. Organisasi itu harus dikuatkan dan didukung untuk
tetap menjadi wadah tunggal.

Dengan begitu, profesi advokat kembali akan menemukan jatidirinya. Advokat


Pejuang bisa terjaga kualitasnya. Seperti yang diungkapkan pula dalam Editorial
harian kesohor di Amerika Serikat, The New York Times tanggal 30 Juli 1967,

“Law and order are essential to civilized society and they must and will be
preserved. But it would be futule to focus exclusively on law and order and
the means of violence that are its ultimate guarantors while ignoring the
legitimate grievances and brutal injustices that pose the fundamental
threat to civil peace and national unity”.

14
Oleh karena itu, spirit advokat pejuang mesti kembali didengungkan untuk mencapai
cita-citanya menegakan rule of law. Karena para advokat mesti menyadari, profesi ini
begitu mulia untuk menjaga berjalannya demokrasi dan mengawal konsitusi (The
Guardian of Constitution). Kemuliaan itu ditancapkan begitu rupa oleh penyair
Inggris, Shakespeare. Di abad pertengahan, kala era Monarkhi menyeruak, kala
maachstaat membahana, Shakespeare mengumandangkan, kalau ada pemerintah
yang mau bertindak lalim atau diktator, maka bunuh dulu para advokat. “Let’s kill all
the lawyers”.

Sudah saatnya kita membangun kultur hukum yang sama. Organisasi Advokat harus
diperkuat bersama-sama untuk menopang lahirnya advokat-advokat yang dicita-
citakan itu. Untuk mengembalikan roh advokat pejuang. Untuk melahirkan lagi
Cicero-Cicero di abad sekarang hingga tercapai tegaknya Rule of Law.

Ucapan Terima Kasih

Saya sangat menyadari bahwa kehormatan ini sesungguhnya bukan milik saya
pribadi tetapi juga kehormatan yang harus diterima oleh teman-teman dan sahabat-
sahabat saya yang bersama saya berjuang selama ini di organisasi advokat
khususnya di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Ikatan Advokat
Indonesia (IKADIN) karena disamping pencapaian akademik yang saya peroleh saya
menyadari bahwa penghargaan ini erat kaitannya dengan pencapaian di bidang
organisasi advokat khususnya PERADI, organisasi mana yang saya ikuti sejak
berdirinya organisasi tersebut sampai sekarang. Oleh karena itu izinkanlah saya
untuk mengucapkan terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada seluruh
teman-teman dan sahabat-sehabat saya advokat indonesia yang berjuang bersama-
sama saya untuk memperkuat organisasi advokat indonesia khususnya PERADI
sebagai satu-satunya organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Advokat tahun 2003. Dan tentunya tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada
isteri saya yang saya cintai Normawaty Damanik serta anak-anak dan menantu saya
yang saya sayangi Putri Lihardo Hasibuan, Lioni Patricia Hasibuan, Natalia Octavia
Hasibuan, Yakup Putra Hasibuan, Firmanto Laksana Pangaribuan, Andra Reinhard
Pasaribu yang selalu setia mendukung saya hingga sampai pada pencapaian ini. Saya
ucapkan juga terima kasih kepada saudara saya, kakak dan abang saya yang tetap
menyemangati saya selama ini. Dan akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang turut mendukung
saya untuk pencapaian ini. Dan tak lupa salam hangat saya untuk cucu saya, Marko
Brandon Pangaribuan, Manuello Salvatore Pangaribuan dan Madeline Pangaribuan.
Kiranya Penghargaan ini dapat mendorong saya untuk dapat berbuat lebih baik lagi
di masa-masa yang akan datang.

15
Sekian dan terima kasih,

Jakarta, 14 Oktober 2014

Prof. Dr. OTTO HASIBUAN, SH, MM

16

Anda mungkin juga menyukai