Anda di halaman 1dari 63

RESUME PERKULIAHAN PERADILAN DI INDONESIA Pengertian Peradilan Peradilan adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang mengenai perkara tertentu yang tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Produk-produk pengadilan sebagai bentuk penyelesaian perkara yang diperoleh dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan oleh hakim. Dari apa yang telah dipaparkan maka yang akan menjadi bahan pembahasan selanjutnya adalah tentang produk-produk hukum peradilan yang ada di Indonesia yaitu peradilan agama, peradilan tata usaha Negara, peradilan militer dan peradilan umum. Lembaran Sejarah Dalam tingkat permulaan manusia hidup bergaul, segala perselisihan yang timbul karena pertentangan kepentingan, diselesaikan dengan mengambil tindakan sendiri. Manusia bertindak sebagai hakim sendiri terhadap perlakuan-perlakauan yang diderita dari pihak sesamanya, yang dianggap merugikan kepentingannya atau yang ynag menodai rasa kehormatannya. Didalam tingkatan kehidupan orang seperti dikatakan tadi, dimana orang bertindak sebagai hakim sendiri, maka kebenaran selalu berada di fihak yang terkuat. Selain lingkungan pergaulan hidup semakin teratur dan manusia sudah membiasakan diri hidup di dalam batas-batas tempat kediaman yant tertentu serta berpedoman kepada tata cara yang dianggap baik menurut keyakinan bersama, maka nafsu kepentingan masyarakat. Tata cara pergaulan hidup memberikan petunjuk siapa yang berhak memberikan keputusan, apabila terjadi perselisihan atau bentrokan kepentingan di antara anggota masyarakat itu atau menjatuhkan hukuman terhadap barang siapa yang melanggar adat istiadat. Kepala suku, kampong, desa atau apa juga namanya sesuatu kesatuan hukum, yang merupakan bingkaian di dalam pergaulan hidup manusia di sesuatu daerah tertentu, berjewajiban dan berkuasa mendamaikan perselisihan dan menjatuhkan hukuman, pada umumnya didampingi oleh beberapa orang yang disegani, sebagai penasehat. Penyelesaian perselisihan atau penghukuman pelanggaran itu di dalam tingkatan hidup yang masih primitip, tidak dapat dipisahkan dari dasar pandangan hidup yang diliputi kepercaraan, bahwa kelakuan seseorang membawa akibat baik atau buruk pada daya kesaktian masyarakat. Tiap-tiap peristiwa yang bertentangan dengan adat istiadat, dapat merugikan daya kesaktian masyarakat itu dan yang harus betulkan dengan diambil keputusan, bukanlah 1

semata-mata kepentingan perseorangan, melainnkan daya kesaktianmasyarakat yang telah dicemarkan karena perbutan seseorang itu. Barangsiapa yang hendak mempelajari lebih jauh tentang hal ini, jalannya perkembangan pergaulan hidup yang merupakan kesatuan-kesatuan hokum itu sudah tentu yang satu dengan yang lain tidak sama, berbeda-beda dari daerah ke daerah, masing-masing membawa bakat dan kidratnya serta tergantung dari rupa-rupa faktir dari yang mempengaruhi dan memberikan corak kepadanya. Adat-istiadat di masing-masing lingkungan hidup itu sudah tentu menunjukan perbedaan-perbedaan yang spesifik oleh van Vollenhoven buat seluruh Indonesia hokum adat disusun-pisahkan dalam 19 lingkungan akan tetapi di atas perbedaanperbedaan itu ada pula persamaan pandangan di dalam beberapa segi hukum, yang terdapat di seluruh Indonesia, di antaranya: 1. Rukun yang menentukan, bahwa masyarakat seluruhnya harus bertanggung jawab jika kalau di daerahnya ada terjadi pelanggaran dan tidak diketahui siapa yang berdosa atau ia tidak dapat tertangkap. 2. Di dalam hal-hal yang tertentu, apabila tidak cukup bukti untuk menetapkan kesalahan yang disangka melakukan sesuatu perbuatan terlarang, maka tersangka harus menjalani suatuperbuatan yang bera dan berbahaya, dan dari hasil percobaan itu akan terlihat apakah terdakwa bersalah atau tidak. 3. Pemisahan perkara sipil dan kriminil tidak ada. Didalam perputaran roda sejarah, dari abad ke abad, Indonesia mengalami bangkit jatuhnya beberaopa kerajaan di atas muka buminya. Dari hal susunan dan bentuk pengdilan dari kerajaan-kerajaan dijaman puurbakala, tidak banyak kita mengetahui. Akan tetapi, bahwa juga di zaman itu di kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia. Telah ada pengadilan, bagaimana pun juga wujudnya, tidak usah disangkakan, karena di man sugash terbentuk suatu masyarakat, di situ ada hokum dan di mana ada hokum harus ada hakim. Dari zaman susudah Indonesia muncul di gelananggang sejarah dunia, tidak banyak bahan-bahan yang dapat dijadikan sumber pengetahuan tentang hal ikhwal pengadilan di Negara-negara pada zaman itu. Yang dapat diterima sebagai suatu kenyataan ialah bahwa, oleh karena dikerajaankerajaan di Indoesia itu yang berdaulat adalah raja, yang berkuasa sendiri secara mutlak, dan soal hidup dan mati dari rakyatnya ada pada tangannya, maka kekuasaannya mengadili pun ada pada raja sendiri. Akan tetapi, tidak dapat disangkal pula, bahwa di Indonesia tidak semua

perkara diadili oleh raja dan bahwa di tiap-tiap kesatuan hukum tiap-tiap kepala adat atau daerah menjadi hakim perdamaian. Dalam pada itu perlu dikemukakan, bahwa di zaman kuno itu itu pengetahuan hokum sudah mencapai suatu taraf yang tidak dikatakan rendah. Ini dapat dibuktikan dari isinya sebuah Jayapatra atau piagam keputusan pengadilan dari tahun Saka 849. Di dalam Tijdschrift voor Ind. Taal-Land-en Volkenkunde jilid ke XXXII ada terjemahan dari bunyinya jayapatra itu ke dalam bahasa Belanda dari tangan Dr. J. Brandes. Secar ringkas dan diambil pokoknya, duduknya perkara yang disebut dalam Jayapattra itu seperti dibawah ini: Seorang perempuan bernama Campa, istri dari Pu Tabwel, mempunyai hutang kepada seorang yang bernama Dharma. Perempuan itu kemudian meninggal dunia sebelum utangnya terbayar kembali. Oleh karena itu maka Pu Tabwel dituntut di muka hakim oleh Dharma supaya ia membayar utang mendiang Campa itu. Guna pandangan yang baik tentang sejarah peradilan di Indonesia yang hanya meliputi abad-abad terakhir saja, maka ikhtisar kami bagi dalam beberapa tingkatan waktu: I. II. III. IV. V. Jangka waktu sebelum dan sesudah kumpeni datang di Jawa. Jangka waktu masa Belanda meletakan pengaruhnya di didalam tata pengadilan di daerah kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Jangka waktu sesudah Indonesia menjadi koloni kerajaan Belanda dengan akibatakibatnya mengaenai tata pengadilan. Masa pendudukan Jepang (1942-1945). Masa setelah pemulihan kedaulatan. Dengan masuknya peradaban Hindu ke Indonesia, sudah tentu ini membawa pengaruh juga ke dalam tata hokum di Indonesia. Akan tetapi, pengaruh itu tidak begitu dalam, sampai ia dapat mematikan atau menghalang-halangi pertumbuhan hokum Indonesia asli, yang tetap menjadi dasar pegangan di dalam kehidupan rakyat purba. Seperti telah dikatakan diatas, penyelidikan sarjana-sarjana, terutama bangsa Belanda, telah berhasil menunjukan kepada adanya suatu garis pemisahan di antara peradilan raja dengan peradilan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tertentu. Perkara-perkara yang menjadi urusan peradilan raja disebut perkara Pradata. perkara-perkara yang tidak menjadi urusan peradilan raja disebutnya perkara Padu. Yang menjadi perkara Pradata pada umumnya adalah perkara-perkara yang dapat membahayakan mahkota, yang membahayakan keamanan dan ketertiban Negara, yang misalnya membuat kerusuhan di di dalam negeri, pembunuhan, penganiayaan, perampokan, 3

Jangka waktu sebelum dan sesudah kumpeni datang di Jawa

pencurian(dalam keadaan tertentu) dan sebagainya. Perkara-perkara semacam diadili oleh raja pribadi. Apa yang disebut perkara Padu, pada umumnya yaitu perkara-perkara yang berkenaan mengenai kepentingan rakyat perseorangan, seperti perselisihan-perselisihan di antara rakyat, yang tidak dapat didamaikan secara kekeluargaan oleh hakim perdamaian di masing-masing tempat. Perkara-perkara serupa itu diadili oleh pejabat Negara, yang disebut jaksa. Namun ini berasal dari India dan diberikan kepada pejabat yang dimasa sebelum ada pengaruh Hindu biasa menjalankan pengadilan. Prapanca menulis dalam Negarakertagama, bahwa di Mojopahit di diantara rupa-rupa pejabat Negara ada dua orang pejabat yang menjadi ketua pengadilan, yang didalam menjalankan tugasnya dibantu oleh tujuh orang anggota. Bilangan tujuh akan kita jumpai kembali didalam Pepakem Cirebon, dimana terdapat susunan pengadilan, yang disebut, jaksa pepitu. Mengenai pemisahan diantara perkara Pradata dan perkara Padu, harus dijaga jangan ada anggapan bahwa pemisahan itu bersifat mutlak. Ada kalanya, suatu perkara yang biasanya termasuk perkara Padu, didalam keadaan tertentu menjadi berubah sifatnya, dianggap seperti perkara pradata dan oleh karenanya harus diadili oleh pengadilan raja. Misalnya, jikalau seorang pencuri tertangkap seketika itu atau segera ia sesudahnya ia melakukan perbuatannya, maka perkaranya merupakan perkara Padu dan si pencuri itu diadili oleh jaksa. Akan tetapi, jikalau si pencuri itu tidak segera tertangkap, maka perkaranya menjadi perkara Pradata. sebabnya ialah dengan tidak segera tertangkapnya si pencuri, ia dapat terus melakukan perbuatan mencuri itu, sehingga keamanan Negara akan terganggu. Jikalau si pencuri itu akhirnya tertangkap, maka ia harus dihadapkan ke muka pengadilan Pradata dan diadili oleh raja pribadi. Dilihat dari sudut asalnya, hokum Pradata itu bersumber pada hokum Hindu, sedangkan hokum Padau adalah berdasarkan pada hokum Indonesia asli. Diantara kedua macam hokum itu tidak saja ada perbedaan didalam sumbernya. Melainkan juga ada perbedaan didalam lingkungan berlakunya. Selain dari itu hokum dari Pradata dilukiskan didalam berbagai Pepakem atau kitab hokum. Dalam pada itu perlu dikemukakan, bahwa walaupun ketentuan-ketentuan di dalam kitab-kitab hokum atau pepakem-pepakem berasal dari dunia hokum Hindu, akan tetapi didalam menggunakan ketentuan-ketentuan itu, ahli-ahli hokum di Jawa pada dewasa itu memakai tafsir yang berdasara pada faham dan anggapan bangsa Indonesia sendiri, dan didalam pelaksanaannya pun disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan di Indonesia. 4

Mataram Di Mataram buat pertama kali diadakan perubahan di dalam tata hokum di bawah pengaruh Islam oleh Sultan Agung, yang yang terkenal sebagai seorang raja alim dan menjunjung tinggi agamanya. Perubahan itu pertama-pertama diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata, yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan ini diubah namanya menjadi pengadilan Surambi, oleh karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat di Sitinggil, melainkan di serambi mesjid agung. Perkaraperkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan ini dinamakan kisas, padahal istilah ini tidak sesuai dengan arti kata yang sebenarnya didalam hokum islam.(lihat Dr. juynbollHandleiding tot de kennis van de Mohammedaansche wet). Pimpinan pengadilan, meskipun di dalam prinsipnya masih berada ditempat raja, beralih ke tangan Penghulu, yang dibantu dengan beberapa alim ulama sebagai anggota. Ini adalah menyimpang dari bentuk mengadilan menurut bentuk Islam, yang hanya mengenai figur hokum sorang diri, yang dinamakan Kadhi. Pengadilan Surambi sebaliknya merupakan suatu majelis, di mana segala keputusan diambil dengan musyawarah. Pengadilan Pradata, dimana perkara-perkara diadili oleh raja sendiri, hanya diadakan di negaragung, yaitu pusat pemerintahan, ibu kota Negara. Juga perkara-perkara Pradata daei daerah-daerah, bekas Negara-negara, yang telah takluk pada Mataram, ditarik ke ibu kota, sehingga Pengadilan Pradata di Negara agung itu merupakan pula pusat pengadilan buat Negara-negara petaklukan itu di dalam perkara-perkara Pradata. Perkara-perkara Padu di Negara petaklukan itu tetap diadili oleh jaksa di masing-masing daerah itu. Mataram di dalam hal ini memperlihatkan dua macam peraturan. Di Negara-negara petaklukan yang secara intensip ditaruh dibawah kekuasaan pemerintahan dari Pusat, diangkat seorang wakil Pemerintah Agung, disamping bekas kepala Negara yang ditaklukan itu. Wakil Pemerintah Pusat inilah yang menjalankan perkara Padu di daerah itu dengan bantuan jaksa, yang dibawah perintahnya. Di Negara-negara petaklukan yang jauh-jauh letaknya, bekas kepala pemerintahan di daerah itu dibiarkan menjalankan terus pemerintahan di daerahnya, atas nama Susuhunannya, dengan tidak didampingi oleh wakil Pemerintah Pusat. Tahun 1677 adalah titik permulaan jatuhnya kekuasaan Mataram sebagai Negara yang berdaulat penuh. Pada tahun itu Kumpeni mulai memasukan jarum pengaruhnya yang mendalam ke dalam tubuh Negara. Untuk dapat mematahkan perlawanan Trunojoyo, Amangkurat ke II mengadakan perjanjian dengan Kumpeni, yang pada hakekatnya menempatkan Mataram dalam kedudukan daerah protektorat dari Kumpeni. 5

Keadaan serupa yang lebih Nampak, setelah kekuasaan Mataram dengan wakfatnya Sultan Agung dan Amangkurat ke I semakin lama semakin merosot. Pada waktu Kumpeni mengadakan penyelidikan tentang keadaan peradilan di tanah Priangan, maka didapat olehnya, bahwa ada tiga macam pengadilan, yaitu: 1. 2. 3. Pengadilan Agama Pengadilan Drigama Pengadilan Cilagama

Kedalam kekuasaan Pengadilan Agama termasuk juga perkara-perkara, yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati, yaitu perkara-perkara yang tadinya termasuk pengadilan Pradata dan harus diadili di Mataram. Seperti tadi dikatakan, pada dewasa itu perkara-perkara yang demikian itu sudah tidak lagi dikirimkan ke Mataram, sebagai akibat merosotnya kekuasaan Pemerintah di Mataram. Pengadilan Drigama mengadili segala perkara, sepanjang tidak termasuk perkaraperkara yang tidak dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati, dan terkecuali perkaraperkara tentang perkawinan dan waris, perkara-perkara yang mana masuk kompetensi pengadilan Agama juga. Pengadilan Agama mengadili perkaranya atas dasara hokum Islam dan berpedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan oleh para penghulu. Pengadilan Drigama bekerja dengan memakai pedoman menurut hokum Jawa kuno, sudah tentu disesuaikan dengan hokum adat setempat. Adapun yang disebut Pengadilan Cilaga ialah semacam pengadilan wasait (scheidsgercht) khusus untuk orang-orang yang berniaga. Perkara-perkara yang termasuk golongan ini diurus dan diselesaikan oleh suatu badan, terdiri dari beberapa utusan kaum berniaga. Badan inilah yang disebut Pengadilan Cilaga itu. Suatu hal yang perlu dikemukakan, bahwa rupanya di Priangan orang mengenal juga pengadilan, yang menggantungkan keputusannya kepada hasil suatu percobaan yang diberatkan kepada terdakwa, dari hasil percobaan mana akan diputuskan apakah terdakwa itu berdosa atau tidak (godsgericht). Di dalam buku Mantri jero karangan almarhum R. Memed Sastrahadiprawira, keluaran Balai Pustaka, ada diceriterakan jalannya pengadilan yang dipimpin oleh Bupati dari daerah yang disebut Negara Tengah. Oleh karena tidak ada bukti atas kesalahan yang menjadi terdakwa, maka jaksa meminta supaya terdakwa atas dasar hukum Drigama dibebaskan dari segala dakwaan. Akan tetapi, Penghulu mngusulkan, supaya terdakwa atas dasar hukum adat disuruh melakukan percobaan menyelam, yang akan dilakukan suatu kali yang akan ditentukan oleh pengadilan. Penghulu itu menjelaskan usulnya lebih lanjut, dengan keterangan, bahwa, meskipun benar menurut hukum drigama tidak dapat dibuktikan kesalahan 6

terdakwa itu, akan tetapi di dalam mata sebagian rakyat namanya akan tetap ternodai karena dakwaaan yang telah diajukan terhadapnya. Sebagian dari rakyat akan percaya kebenarannya, sebagian lagi akan tetap menyangsikan kebenaran itu. Setelah kota Banten, salah satu kota pelabuhan dari kerajaan Pakuan Pajajaran dapat direbut oleh Faletehan, yang setelah wafatnya dikenal denga nama Sunan Gunung Jati, segeralah Faletehan membentuk pemerintahan ats nama Sultan Demak. Tidak lam kemudian maka Sunda Kelapa, juga salah satu kota pelabuhan dari Pakuan Pajajaran, jatuh pula di tangan Faletehan, tempat mana Jayakarta dan dijadikan wilayah dari kesultanan Banten. Sebagai tindakan terakhir, Faletehan kemudian menduduki daerah Cirebon. Tindakan-tidakan Faletehan tersebut diatas dilakukan olehnya sebagai abdi dari Sultan Demak, yaitu guna menyebarkan Agama Islam, sehingga dengan demikian Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon itu menjadi daerah-daerah petaklukan kesultanan Demak. Di dalam tahun 1552 Faletehan berpindah ke Cirebon dan terus memrintah daerah ini, pemerintahan di Banten diserahkan kepadaanak sulungnya, yaitu Hasanudin. Sejak Hasanudin bertindak sebagai sultan Banten, ternyatalah ia tidak puas dengan keadaan, yang mengharuskan ia tunduk kepada Demak. Mengingat jiwanya yang segan tunduk itu, tidaklah mengherankan, bahwa di didalam tahun 1568 Hasanudin menyatakan kesultanan Banten sebagi negara yang merdeka, bebas dari kekuasaan dari Demak. Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam sebelum tahun 1600 pernah juga ada bentuk-bentuk pengadilan yang berdasar pada hukum Hindu, seperti yang mungkin pernah ada di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran, maka di waktu Sultan Hasanudin memegang kekuasaan sudah tidak nampak bekas-bekasnya. Bagaimanapun juga, pada abad ke 17 di Banten itu hanya ada suatu macam pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh kadhi sebagi hakim seorang diri. Untuk dapat mengerti tata pengadilan di Cirebon diwaktu itu, perlu diperingatkan dahulu kepada pembaca sebagian dari sejarah Cirebon. Pada tahun 1662 Pangeran Girilaya mangkat, akan tetapi sebelum wafat ia telah membagi kerajaan Cirebon dalam dua bagian, yang masing-masing dipegang oleh dua orang putranya setelah panembahan girilaya wafat, seorang putra lagi dilahirkan, sehingga kerajaan Cirebon terbagi menjadi tiga bagian. Kontrak dengan Kumpeni pada tahun 1688 tersebut diatas, dengan mana Cirebon mengakui ada di bawah perlindung Kumpeni (dalam hubungan protekorat), dari pihak Cirebon ditanda tangani oleh ketiga sultan itu, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon.

Meskipun Cirebon dibagi menjadi 3 bagian (beberapa tahun kemudian menjadi empat bagian), akan tetapi, keluar, tetap merupakan suatu kerajaan yang tak terpisah. Jikalau ada halhal yang mengenai kepentingan kerajaan seluruhnya atau rakyat Cirebon seumumnya, maka ketiga Sultan itu bermusyawarat di bawah pimpinan Sultan Sepuh. Akan tetapi didalam hal-hal yang biasa, yang tidak memerlukan keputusan bersama dari ketiga sultan itu, maka segala sesuatunya diurus dan diselesaikan oleh mejelis materi, yaitu materi-materi yang menjadi wakil dari masing-masing Sultan itu, banyaknya tujuh orang. Sidang menteri yang 7 orang inilah pula yang menjalankan pengadilan. Menurut kebiasaan, majelis menteri itu bersidang di alun-alun. Adapun menteri yang tujuh itu, terdiri dari 3 orang menteri wakil dari Sultan Sepuh, 2 orang menteri dari Sultan Anom dan 2 orang menteri lagi wakil dari Panembahan Cirebon. Segala perkara, yang menjadi acara sidang menteri itu diputuskan menurut undang-undang Jawa. Di dalam hal-hal yang tertentu ada kemungkinan untuk meminta keputusan yang lebih tinggi, yaitu rapat raja. Peradilan kumpeni di Batavia Setelah Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619 berhasil merebut kota Jacatra dengan kekerasan, dan Sultan Banten terpaksa oleh keadaan menyerahkan daerah ini kepada Kumpeni, maka J.P. Coen segera mulai dengan mendirikan benteng Batavia. Setahun setelah itu maka dengan resolusi tanggal 26 Maret 1620 diangkat seorang baljuw, yaitu opsir justisi sekalian kepala kepolisian buat Dari Utara Dari Tumur Dari Selatan seluruh daerah bekas Jacatra, yang batas-batasnya, bertentangan dengan segala riwayat, ditetapkan sebagai berikut: : pulau-pualau di Laut Jawa; : kali Citarum; : Samudra Indonesia

Dengan resolusi tanggal 24 Juni 1620 dibentuk suatu majelis pengadilan di bawah pimpinan Buljuw, yang dinamakan College van Schepenen. Selain dari urusan pengadilan, maka College van Schepenen itu diserahi juga pemerintahan dan kepolisian di dalam Kota. Sebagai badan pengadilan, Majelis itu disebut schepenbank mula-mula hanya mengadili perkara-perkara sipil saja, akan tetapi tidak lama kemudian ditugaskan juga buat mengadili perkara-perkara kriminil. Schepenbank merupakan suatu badan pengadilan untuk segala penduduk kota yang merdeka (bukan budak) dari bansa apapun, kecuali pegawai-pegawai Kumpeni dan serdadu-soldadu Kumpeni. Schepenbank itu tersusun dari 2 orang pegawai Kumpeni, 3 orang penduduk kota yang merdeka dan seorang Tionghoa.

Pegawai-pegawai Kumpeni dan serdadu-serdadu Kumpeni diadili oleh suatu badan pengadilan, yang mula-mula Ordinaris luyden van den gerechte in het Casteel, kemudian di dalam tahun 1626 diubah namanya menjadi Ordinaris Raad van Justitie binnen het Casteel Batavia. Raad van Justitie ini merupakan: a. Badan pengadilan dalam tingkat pertama dan terakhir untuk pegawai-pegawai Kumpeni dan serdadu-serdadu Kumpeni. b. Badan pengadilan appel buat penduduk kota yang minta bandingan atas keputusan-keputusan dari Schepenbank. Dalam perkara pidana menjadi penuntut umum, akan tetapi di dalam perkara sipil bertindak seperti anggata biasa. Selain dari itu ada juga seorang adpokat Fisikal-Perairan. Tugasnya harus memberantas penyelundupan, terutama madat yang diselundupkan oleh orang-orang Tiongoa yang datang, ke Jakarta. Didalam tahun 1651 kepada College van schepenen yang tersebut diatas, ditambahkan seorang landdrost. Landdrost harus bertindak sebagai penuntut umum dalam perkara pidana untuk daerah sekitara kota Jakarta, akan tetapi perkaranya harus diajukan kepada Schepenbank di kota Jakarta. Susunan pengadilan dari Kumpeni itu didasarakan atas rukun persamaan (concordantiebeginsel) dan bepangkal kepada hukum Belanda. Pengadilan-pengadilan tadi mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya menurut ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam plakkaat-plakaat dan undang-undang dari Pemerintah Kumpeni di Indonesia. Dimana sumber-sumber hukum itu tidak cukup menuhi kebutuhan, maka diikutinya hukkum Belada-kuno dan hukum Roma. Malah sampai tahun 1648 pengadilan-pengadilan kumpeni di kota Jakarta berpedoman juga kepada tulisan-tulisan dari Hugo de groot dan lainlain ahli hukum dari Negeri Belanda (juristenrecht). Dengan instruksi tanggal 4 Maret 1621 pengurus V.O.C di Negara Belanda telah menetapkan, bahwa di daerah yang dikuasai oleh Kumpeni harus diperlakukan hukum sipil Belanda, diantaranya hukum waris menurut pengumuman Raada van State Propinsi Holland tanggal 13 Mei 1594 yaitu maklukat perihal pewarisan, jika tak ada surat wasiat tanggal 18 Desember 1599. Peradilan kumpeni di periangan

Sebagiamana telah dikatakan, di dalam resolusi tanggal 29 Maret 1920 Kumpeni menetapkan bahwa, batas-batas bekas kerajaan Jacatra itu, adalah: Dari Barat: kali Cisadane; Dari Utara: pulau-pulau di laut Jawa; Dari Tumur: kali Citarum; Dari selatan: samudra Indonesia. Pada dasarnya untuk daerah inipun berlaku hukum Belanda, akan tetapi kumpeni Terpaksa membiarkannya tetap berjalannya pengadilan-pengadilan asli, yang dijalankan oleh kepala-kepala bangsa Indonesia di daerah-daerah itu, berhubung dengan kesukaran-kesukaran untuk memeriksa perkara orang-orang Indonesia yang berumah jauh dari Jakarta, tidak adanya jalan-jalan, sehingga orang-orang yang berperkaranya kepada pengadilan Kumpeni di kota Jakarta, lagi pula banyak kesukaran-kesukaran terhadap saksi-saksi yang harus mengadap ke kota tersebut. Dalam tahun 1677 Amangkurat I menyerahkan sebagian dari daerahnya ke Jawa Barat, yaitu yang beralaku di sebelah barat Cipamanukan, ditarik terus ke Selatan menurut garis lurus. Dengan dengan demikian, maka sejak tahun 1677 itu, Kumpeni mempunyai daerah kekuasaan di luara daerah Jakarta yang meliputi wilayah Kabupaten-kabupaten Tangerah dan Grendeng, Kampung Baru (Bogor), Cianjur, Jampang, Cibalagung, Cikalong, Bandung, Karangwang, wanyasa, Adiarsa, Ciasem, Pamanukan, Pagaden, Timbanganten, Parankanmuncang, dan mungkin juga Sumedang, Limbangan, dan Sukapura. Dengan rosolusi tanggal 31 Mei 1686 Kumpeni menetapkan, bahwa kekuasaan hukum badan-badan pengadilan Belanda di kota Jakarta meliputi juga daerah Priangan Tengah, yaitu Kabupaten-Kabupaten Bandung, sumedang dan Parakanmuncang. Dalam tahun 1705 Priangan Timur (Kabupaten galuh) jatuh di tangan Kumpeni sehingga sejak itu seluruh tangan Priangan berada di bawah pemerintahan Kumpeni. Juga Kesultanan Cirebon. Oleh karena Kumpeni pada waktu itu belum sanggup mengatur suatu pemerintahan yang langsung di bawah penilikan Kumpeni, maka penilikan atas pemerintahan daerah Priangan, diserahkan kepada Pangeran Aria Cirebon. Sebagai pedoman untuk Pangeran Aria Cirebon dalam menjalankan pemerintahan itu, maka kepadanya diberikan suatu instruksi tanggal 22 Maret 1706, dimana diantaranya ditetapkan, bahwa Bupati Priangan tetap melakukan peradilan di masing-masing daerahnya, hanya tidak berhak mengadili orang-orang yang bukan penduduk daerahnya dan tidak termasuk rakyatnya. Peradilan Kumpeni di Cirebon 10

Sejak perjanjian de Hartogh dalam tahun 1688 yang telah disebut di atas, maka pengadilan di Cirebon hingga tahun 1806 tidak banyak mengalami perubahan. Yang menjadi dasar semata-mata ialah apa yang ditentukan di dalam perjanjian de Hartogh itu, untuk mana pada pokoknya diambil sebagai pedoman perjanjian yang dibuat terdahulu oleh Tak, yang tidak pernah dikuatkan oleh Kumpeni itu. Juga dengan keluarnya resolusi tanggal 21 desember 1708, yang telah disebut dibagian Priangan, susunan pengadilan di Cirebon tidak berubah, selain dari pada ditentukan, bahwa residen harus meneliti supaya segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya menurut undangundang Jawa dan adat serta kebiasaan rakyat di Cirebon. Dalam tahun 1758 Mr. P.C. Hasselaar, yang menjadi residen di Cirebon di tahun 1757-1765 telah membuat kitab hukum yang disebut Pepakem Cirebon, yang membawa perubahan dalam tata pengadilan di cirebon. Pepakem Cirebon tiada lain dari sekumpulan macam-macam ketentuan dari hukum Jawa-kuno, diambil dari beberapa kitab hukum Jawa, seperti kitab hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengakara, Kontra Manawa dan Adilulah, juga disebut Surya Alam. Ketentuanketentuan dari kitab-kitab hukum tersebut diatas disalin ke dalam Pepakem Cirebon secara teratur. Kitab demi kitab dengan disebutkan namanya masing-masing kitab itu. KEKUASAAN DAN WEWENANG PM DAN PTUN Kekuasaan & Wewenang 1. Kompetensi Pengadilan Militer : Kompetensi absolut peradilan militer dijelaskan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pada pokoknya menyatakan : 1. Mengadili Tindak Pidana Militer Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang pada waktu melakukan adalah : a. Prajurit ; b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit; c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang ; d. Seseorang yang tidak termasuk prajurit atau yang ber-dasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit atau anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit ber-dasarkan undang-undang; tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 2. Tata Usaha Militer.

11

Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Wewenang ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding 3. Peradilan militer juga memiliki kompetensi absolut untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana bersangkutan atas permintaan dari pihak dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan. Kompetensi relatif merupakan kewenangan pengadilan sejenis untuk memeriksa suatu perkara. Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer : Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang : a. Tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau b. Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya. Pasal 11 menegaskan : Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dulu harus mengadili perkara tersebut. 2. Susunan Peradilan Militer Susunan peradilan dalam lingkungan peradilan militer dijelaskan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terdiri dari Pengadilan Militer; Pengadilan Militer Tinggi; Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran. Kekuasaan Pengadilan Militer dijelaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer : Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah : a. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; b. Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten ke bawah; dan c. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer. Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer : 1. Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama : Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah : 12

a. Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas; b. Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b atas; dan c. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. 2. Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. 3. Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya . Kekuasaan Pengadilan Militer Utama telah diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pasal 42 menjelaskan : Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding. Pasal 43 menjelaskan : 1. Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili : a. Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan; b. Antar Pengadilan Militer Tinggi; dan c. Antar Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer. 2. Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi : a. Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama; b. Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama; 3. Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Mayor ke

13

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum. A. Kewenangan Dan Susunan Peradilan Tata Usaha Negara 1. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Menurut Friedrich Julius Stahl (dalam Siti Soetami, 2005: 9) bahwa di negara hukum segala perbuatan yang merugikan setiap orang ataupun hak-hak setiap orang dapat diawasi pengadilan, sedangkan review-nya (peninjauan kembali) dapat disalurkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sarana control on the administration. Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara. Dengan demikian, maka wewenang PTUN dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Memeriksa, 2. Memutus, dan 3. Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara. Ketiga kewenangan ini merupakan Kekuasaan Absolut (Kompetensi Absolut) dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak semua Sengketa Tata Usaha Negara menjadi tugas dan wewenang PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, karena dari ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa PTUN tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. 1. Susunan Pengadilan dan Tempat Kedudukan Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan dalam 3 (tiga) tingkatan peradilan, yaitu: 1. Makhamah Agung; sebagai pengadilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman, yang berfungsi untuk memeriksa di tingkat kasasi perkara yang telah diputus oleh pengadilan ditingkat bawahnya. Mahkamah Agung mempunyai tempat kedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia, yaitu Jakarta. 14

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; yang mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu: 1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding. 2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. 3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. 4) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi. Dari uraian pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 3 (tiga) tugas pokok Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yaitu: 1. Memeriksa dan memutus di tingkat banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. 2. Memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir apabila ada sengketa kewenangan untuk mengadili. 3. Memeriksa, memutus dan menyelesaikan pada tingkat pertama terhadap Sengketa Tata Usaha Negara yang telah menempuh upaya administrasi berupa banding administrasi atau keberatan dan banding administrasi (Pasal 48 dan Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991). Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di tingkat propinsi yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pertama kali dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1990 adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang. BERACARA DI PN DAN PTUN A. Tata Cara tentang Beracara di Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara pidana untuk orang sipil, perdata

15

untuk rakyat Indonesia, dan kekeluargaan untuk orang-orang non-muslim, demi terciptanya keadilan pada umumnya. Dalam peradilan Negeri, itu terkait pada perkara-perkara pidana dan perkara-perkara perdata. 1. Beracara mengenai Perkara Perdata di Muka Pengadilan Negeri Dalam beracara mengenai perkara perdata di muka pengadilan negeri, yang pertama ialah penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal. Kemudian penggugat membayar biaya perkara 2/3 verscort. Setelah itu penggugat menerima nomor perkara (roll). Sambil penggugat menunggu kapan terlaksananya sidang, Kepala Pengadilan Negeri menunjuk Majlis Hakim, Menunjuk Panitetera, dan menentukan hari sidang. Dalam beracara di Pengadilan Negeri, khususnya perkara-perkara perdata, dalam sidang yang pertama apabila penggugat dan tergugat hadir, maka akan dilakukan mediasi terlebih dahulu. Mediasi bisa dikatakan sebagai proses perdamaian yang dilakukan oleh mediator kepada penggugat dan tergugat, sebelum terjadinya putusan dari Majlis Hakim. Apabila dalam proses mediasi ini berhasil, maka akan dibuatkan akta perdamaian. Apabila proses ini gagal atau tidak berhasil, maka pengadilan akan dilanjutkan kembali. Dalam pengadilan, tergugat akan memberikan jawabannya mengenai gugatan yang diberikan si penggugat. Apabila dikehendaki, jawaban yang diajukan secara tetulis, dapat dijawab kembali secara tertulis pula oleh pihak Tergugat, yaitu dengan mengajukan Replik. Selanjutnya Replik ini dijawab kembali oleh pihak Tergugat dengan Duplik. Setelah itu, Majlis Hakim mengadakan pembuktian, yang mana pembuktian itu menurut pasal 164 HIR terdiri atas : surat/tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam pembuktian ini, semua alat bukti harus dilaksanakan. Di luar alat bukti terdapat yurisprudensi atau bisa disebut dengan kebiasaan di pengadilan, diantaranya yaitu pengetahuan hakim / pemeriksaan setempat serta keterangan saksi. Hal itu tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, akan tetapi hanya dijadikan sebagai pertimbangan Majlis Hakim untuk memutuskan suatu perkara. Setelah pembuktian semua dilakukan, maka akan ada konklusi terakhir, dan sampailah pada putusan Majlis Hakim tentang suatu perkara. Dalam putusan ini, terdapat dua macam putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela terdiri dari : 1. Putusan Praeparatoir, merupakan putusan yang ditujukan untuk mempersiapkan perkara atau menggabungkan dua perkara.

16

2.

Putusan interlacutoir, ialah suatu putusan dimana Hakim sebelum akhir, memerintahkan kepada salah satu pihak supaya

memberi keputusan 3. 4.

membuktikan sesuatu hal, atau putusan yang memerintahkan penyelidikan setempat. Putusan Insidentil, merupakan Putusan yang diberikan oleh hakim Putusan Provisional, merupakan putusan yang diberikan oleh hakim berkaitan dengan gugatan insidensil . Contoh : Tussenkomst dimana hakim memerintahkan putusan tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu. Sedangkan putusan akhir terdiri dari : 1. Putusan Provisional. merupakan putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. 2. Putusan Constitutif, merupakan putusan yang meniadakan atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya, suatu putusan tentang perceraian. 3. Putusan Comdenatoir, merupakan putusan yang menetapkan bagaimana hubungannya suatu keadaan hukum disertai dengan menetapkan penghukuman kepada salah satu pihak. Misalnya, Tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah atau membayar hutangnya. Bagi pihak yang tidak sependapat dengan Putusan PN, dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan PN diberitahukan secara sah. 1. Perkara Pidana Di Muka Pengadilan Negeri Menurut pasal 831 HIR maka jika menurut pendapat jaksa perkara sudah diperiksa dengan cukup dan dalam kekuasaan pengadilan negeri, maka surat pemeriksaan pendahuluan yang biasa disebut berkas perkara itu diserahkan kepada ketua pengadilan negeri yang dianggapnya berkuasa untuk mengadili perkara itu dan menuntut bersama itu supaya perkara itu diajukan ke persidangan, dengan keterangan sejelas-jelasnya dan penjelasan tentang hal-hal untuk penuntutan itu diajukan. Ayat(2) pasal ini mewajibkan kepada ketua pengadilan negeri untuk mempelajari dan mempertimbangkan isi tuntutan jaksa itu segera setelah ia menerima berkas perkara yang diajukan oleh jaksa itu. a. Proses Beracara Perkara Pidana di Pengadilan Negeri Pada dasarnya, dalam proses beracara perkara pidana, terbagi menjadi tiga, yaitu perkara pidana biasa (pid.b), perkara pidana singkat (pid.s), dan perkara pidana cepat. Dalam pemeriksaan perkara pidana biasa di persidangan, pada hari persidangan yang telah ditentukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua PN, Majelis Hakim pun memasuki ruang 17

persidangan dengan semua yang terlibat didalamnya, seperti terdakwa dan/atau pengacara, Jaksa Penuntup Umum (JPU), dan penonton (psl. 218 ayat (1) jo 232 ayat (2), (3) KUHAP). Setelah mereka semua memasuki ruang persidangan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan ia wajib menyatakan bahwa persidangan ini dibuka dan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara pidana yang menyangkut kesusilaan atau dimana terdakwa masih anak-anak, maka persidangan demikian dinyatakan sebagai sidang tertutup (psl. 153 ayat (3) KUHAP). Haruslah diingat bahwa peranan hakim ketua sidang dan dua orang anggota lainnya adalah aktif, dalam arti mereka memimpin persidangan dan menjaga serta memelihara agar ketentuanketentuan dalam beracara tidak dilanggar ataupun dikurangi hak dan kewajiban pihak-pihak, yakni JPU maupun terdakwa. Kemudian, hakim ketua menanyakan kepada terdakwa tentang nama, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal terakhir, agama, pekerjaan serta memberikan peringatan kepada terdakwa untuk memperhatikan segala sesuatu yang didengar ataupun dilihat di persidangan (psl. 155 KUHAP). Selanjutnya hakim ketua memerintahkan JPU untuk membacakan surat dakwaan dan jika terdakwa belum mengerti isi dan maksud surat dakwaan tersebut, maka JPU atas permintaan hakim ketua memberikan penjelasan (psl. 155 ayat (2) butir a dan butir b KUHAP). Atas isi surat dakwaan tersebut, terdakwa atau pengacara dapat memberikan eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili atau dakwaan harus dibatalkan (obscure libel) atau surat dakwaan tidak dapat diterima. JPU diminta untuk memberikan tanggapan atas eksepsi (tangkisan) tersebut dan terakhir hakim ketua akan mempertimbangkan untuk selanjutnya mengambil keputusan (psl. 156 ayat (1) KUHAP). Terhadap putusan eksepsi tersebut, baik JPU ataupun terdakwa dapat mengajukan verzet (perlawanan) kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri. Perlawanan dimaksud dapat diajukan bersama-sama dengan permintaan banding (psl. 156 ayat (3), (4), (5) KUHAP). Jika perlawanan yang diajukan oleh terdakwa tidak diterima oleh hakim, maka sidang dilanjutkan dengan mendengar keterangan saksi dan/atau saksi ahli. Perlulah diingat bahwa arti dari saksi itu sendiri adalah seseorang yang menerangkan suatu peristiwa yang ia alami, ia lihat, dan ia dengar dengan mata kepala sendiri (psl. 1 butir 27 KUHAP). Yang pertama - tama harus didengar kesaksiannya ialah korban yang menjadi saksi (psl. 160 ayat (1) butir b KUHAP). Semua saksi yang hendak didengar keterangannya di muka persidangan, wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama masing - masing bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (psl. 160 ayat (3) KUHAP). Pada tiap kali selesai mendengarkan keterangan saksi, maka hakim selalu 18

menanyakan kepada terdakwa atau pengacara tentang pendapatnya mengenai kesaksian tersebut dan memberikan kesempatan untuk bertanya kepada saksi dan/atau saksi ahli. Kemudian terdakwa memberikan keterangannya di muka persidangan setelah semua saksi dan/atau saksi ahli didengar keterangannya di persidangan. Setelah terdakwa menguraikan segala sesuatu dengan selesai, barulah Hakim Ketua sidang dengan tanya-jawab mendengar keterangan terdakwa, lalu setelah hakim ketua kemudian mendapat giliran hakim - hakim anggota, kemudian JPU, dan kesempatan terakhir diberikan kepada pengacara dari si terdakwa (psl. 160 jo 155 ayat (2) butir b KUHAP). Pasal 170 KUHAP memberikan kemungkinan kepada terdakwa untuk tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dan atas sikap terdakwa ini, hakim ketua menganjurkan agar terdakwa menjawab. Jika terdakwa tetap bersikap "kepala batu" dan tidak mau menjawab pertanyaan pertanyaan, sidang dilanjutkan (tidak ada sanksi). Dan proses selanjutnya adalah memperlihatkan barang bukti kejahatan, seperti misalnya alat yang dipakai untuk kejahatan, barang yang diperoleh dari kejahatan, barang yang dicipta dari kejahatan dan barang yang menjadi obyek atau sasaran kejahatan. Barang bukti ini diperlihatkan oleh JPU kepada terdakwa di dalam persidangan dengan ditanyakan apakah terdakwa mengenalnya atau tidak, dan jika perlu juga dapat diperlihatkan kepada saksi (psl. 181 KUHAP). Setelah pemeriksaan sidang seperti yang telah diutarakan diatas selesai, hakim ketua selalu masih harus menanyakan kepada JPU dan terdakwa atau pengacaranya, apakah ada yang diperlukan untuk diutarakan lagi, dan jika mereka ini menjawab tidak, maka hakim ketua sidang mengganggap bahwa pemeriksaan perkara pidana sudah cukup dan mempersilahkan kepada JPU untuk membacakan Surat Tuntutan (requisitoir) dan menyerahkannya kepada hakim ketua dalam bentuk harus tertulis. Hakim ketua kemudian akan mempersilakan kepada terdakwa atau pengacara untuk mengajukan pleidooi (pembelaan). Berkenaan dengan (pembelaan) terdakwa atau pengacaranya, JPU diberikan kesempatan untuk memberikan replik (tanggapan), kemudian terdakwa atau pengacara diberikan kesempatan lagi untuk mengajukan duplik (bantahan), demikian seterusnya. Jika semua ini telah selesai, maka proses akhir dari beracara perkara pidana di pengadilan adalah mendengarkan putusan hakim pada hari sidang yang telah ditentukan sebelumnya. Putusan selalu diucapkan oleh hakim ketua dengan sidang terbuka dan dinyatakan terbuka untuk umum (psl. 182 KUHAP). Terhadap putusan hakim ini, jika tidak puas, terdakwa atau pengacara dapat melakukan upaya hukum berupa banding kepada Pengadilan Tinggi.

19

Demikianlah proses beracara pidana dalam acara pemeriksaan perkara pidana biasa. Dalam perkara pidana singkat, berdasarkan pasal 203 ayat (1) KUHAP, maka yang diartikan dengan perkara-perkara dengan acara singkat adalah perkara-perkara pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut Umum ke persidangan dapat dilakukan pada hari-hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dalam acara singkat ini, maka setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis Hakim dan setelah pertanyaan formil terhadap terdakwa diajukan, maka penuntut umum dipersilahkan menguraikan tentang tindak pidana yang didakwakan secara lisan dan dicatat dalam Berita Acara Sidang sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat (3) KUHAP). Tentang hal registrasi atau pendaftaran perkara-perkara pidana dengan acara singkat ini, baru didaftarkan oleh Panitera/Panitera Muda Pidana setelah Hakim memulai dengan pemeriksaan perkara. Kemudian, dalam perkara pidana cepat, yang diartikan sebagai perkara-perkara pidana yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) bulan penjara atau denda Rp. 7.500,- (pasal 205 ayat (1) KUHAP). Yang mencakup tindak pidana ringan ialah pelanggaran lalu lintas (pasal 211 KUHAP beserta penjelasannya) juga kejahatan "penghinaan ringan" yang dimaksudkan dalam pasal 315 KUHP dan diadili oleh Hakim Pengadilan Negeri dengan tanpa ada kewajiban dari Penuntut Umum untuk menghadirinya kecuali bilamana sebelumnya Penuntut Umum menyatakan keinginannya untuk hadir pada sidang itu. Jadi pada pokoknya yang dimaksud perkara-perkara semacam tersebut diatas ialah antara lain perkara-perkara pelanggaran Lalu Lintas, pencurian ringan (pasal 364 KUHP), penggelapan ringan (pasal 373 KUHP), penadahan ringan (pasal 482 KUHP), dan sebagainya. Semasa Pemerintah Hindia Belanda perkara-perkara dengan acara cepat ini diperiksa dan diadili oleh "Landgerecht" yang acara pemeriksaannya diatur oleh "Reglement untuk Landgerecht" (Stbl. 1914-317). b. Tata Cara tentang Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) a. Karakteristik Hukum Acara di Peradilan Tata Usaha Negara. Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun 20

sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut : Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55). Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53). Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62). Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63). Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103). Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya konpensasi perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik. Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107). Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67). Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundangundangan. Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga bagi pihakpihak lainnya yang terkait. Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan. b. Tahapan pemeriksaan: Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke PTUN yang berwenang untuk mengadilinya.Penyelesaian sengketa di PTUN tahapannya sebagai berikut : a. Penelitian Administrasi 21

Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara. UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tidak menentukan secara tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi terhadap gugatan yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di Pengadilan, akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahukan dan diperingatkanDalam Surat Edaran MA No.2/1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun1986 diatur mengenai Penelitian Administrasi : a. b. Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian administrasi adalah Panitera, Pada setiap surat gugatan yang masuk haruslah segera dibubuhi stempel dan tanggal Diterimanya surat gugatan yang bersangkutan. Setelah segala persyaratan dipenuhi dilakukan pendaftaran nomor perkaranya setelah membayar panjar biaya perkara. Perbaikan formal surat gugatan (jika memang ada). Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel, karena hal tersebut tidak disyaratkan oleh UU. Nomor Register perkara di PTTUN harus dipisahkan antara perkara tingkat banding dan perkara yang diajukan ke PTTUN sebagai instansi tingkat pertama (vide Pasal 51 ayat 3 UU No. 5 Tahun1986). Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau PTTUN harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin kotanya berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan No di Sidoarjo Kode Pos Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960, Keppres No. 52 tahun 1990. b. Proses Dismissal Setelah Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal, berupa prosses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal, dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat 22 Wakil Panitera, Panitera Muda Perkara sesuai pembagian tugas yang diberikan. pada sudut kiri atas halaman pertama yang menunjuk mengenai :

menunjuk seorang hakim sebagai reporteur (raportir). Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang perlu. Dalam praktek, adanya perbaikan gugatan dalam pemeriksaan persiapan. Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera (wakil ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal dalam hal ketua berhalangan). c. Pemeriksaan Persiapan Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk: Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari. Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru. d. Persidangan Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat (Pasal 98 dan 99 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004). Ketua Majelis/Hakim memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk pemeriksaan persidangan dengan surat tercatat. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat. Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis. 23

e.

Putusan Pengadilan

Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan. Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Tidak diucapkannya putusan dalam sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan pengadilan harus memuat dan memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Kepala putusan yang berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; 2. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kedudukan para pihak; 3. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas; 4. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; 5. alasan hukum yang menjadi dasar putusan; 6. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; 7. hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan hadir atau tidak hadirnya para pihak. (Pasal 109 UU No.5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004). BERPERKARA DI PERADILAN AGAMA A. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105. 24

Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama. Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Oleh karena itu, dalam makalah ini dijelaskan terlebih dahulu tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku juga untuk Pengadilan Agama dan Hukum Acara khusus tetang ceai talak, cerai gugat dan cerai karena alasan zina. B. Permohonan Dan Gugatan Di dalam Hukum Acara Perdata, kita mengenal adanya permohonan dan gugatan. Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah dalam suatu gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka telah ada yang melanggar, tetapi orang yang dirasa melanggar hak tersebut tidak mau meyerahkannya secara sukarela. Gugatan ini harus diajukan kepada dimana si tergugat itu tinggal. Dalam bahasa latin hal ini disebut dengan Actor Sequitur Forum Rei. Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugat harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Oleh karena gugat harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan pasal 12 HIR akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud. Surat gugat ini isinya harus memuat tanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat lengkap dengan alamatnya. Selanjutnya, bagian yang disebut dengan posita, yang mana isinya adalah memuat alasan-alasan berdasarkan kedaan dan bagian yang memuat alasanalasan yang berdasar hukum. Bagian akhir harus ada petitum. Petitum ini merupakan bagian yang terpenting karena merupakan yang diinginkan, ditetapka, diputuskan, atau diperintahkan oleh hakim. C. Perihal Acara Istimewa Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara tertentu, salah satu pihak atau semuanya, baik itu penggugat maupun tergugat atau tidak menyuruh wakilnya untuk 25

menghadap pada sidang yang telah ditentukan maka berlakulah acara istimewa yang diatur diatur dalam pasal 124 dan 125 HIR. Apabila penggugat yang tidak hadir dan tidak mengirimkan wakilnya secara syah dan telah dipanggil dengan patut maka gugat digugurkan, sedangkan apabila tergugat yang tidak hadir maka berlakulah perstek. Untuk putusan perstek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 125 ayat 1 HIR; 1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak dating pada haris sidang yang telah ditentukan 2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk menghadap 3. Ia atau mereka telah dipanggil dengan patut 4. Petitum tidak melawan hak 5. Petitum beralasan D. Perihal Pemeriksaan Dan Pembuktian Dalam Sidang Pengadilan Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara secara umum, terutama perkara gugatan dalam perkara persdangan itu adalah sebagai berikut; 1. Mediasi Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak. Mediasi ini dipimpin oleh seorang mediator yang sudah memiliki sertifikat mediator yaitu pihak yang bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan 26

upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara. Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir. 27

Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. 2. Tahapan replik dan duplik Dalam tahapan ini dilakukan pembacaan surat gugatan/permohonan, tanggapan atas gugatan yang diajukan, kemudian jawaban atas tanggapan tergugat (replik), selanjutnya, replik itu dijawab kembali oleh tergugat (duplik). Dalam tanggapan atas gugatan yang diajukan ada dua macam, yaitu; a) Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale) b) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara (tangkisan atau eksepsi) Tentang tangkisan atau eksepsi, H.I.R hanya mengenal satu macam eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim. Eksepsi ini terdiri dari dua macam yaitu eksepsi kekuasaan absolute dan kekuasaan relatif. Eksepsi kekuasaan absolute adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang dalam perkara tersebut yang mana merupakan wewenang pengadilan lain dalam berbeda pengadilan. Eksepsi kekuasaan absolute dapat disampaiakan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung. Eksepsi kekuasaan relative adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang dalam menangani kasus tersebt tetapi merupakan wewenang pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan yang sama. Eksepsi ini diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara secara lisan maupun tertulis. Selain 2 jenis eksepsi diatas masih ada eksepsi yang sering kita dengar misalnya eksepsi dilatoir adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan. Eksepsi peremptoir adalah eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan. 3. Pembuktian Pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan Majelis Hakim terhadap kebenaran dalildalil yang dikemukakan dalam gugatan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak tergugat untuk menyanggah dalil-dalil yang diajukan oleh pihak penggugat.

28

Dalam ketentuan pasal 125 H.I.R disebutkan bahwa alat-alat bukti yang sah itu ada 5 macam, yaitu; 1. Bukti surat 2. Saksi-saksi 3. Persangkaan 4. Pengakuan 5. Sumpah Bukti surat. Dalam proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang utama dan penting. Hal ini sesuai dengan tujuan Hukum Acara Perdata untuk mencari kebenaran formil. Bukti surat ini dikelompokkan menjadi tiga kelomok yaitu surat biasa, akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta otentik menurut pasal 165 H.I.R adalah surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, misalnya adalah akta pernikahan. Sedangkan, akta dibawah tangan adalah akta yang tidak dibuat secara sedemikian. Saksi-saksi. Saksi adalah yang melihat, mendengar dan yang dirasakan sendiri olehnya. Lalu siapa yang dapat diajukan sebagai saksi? Tidak semua orang dijadikan saksi oleh kita. Pasal 145 H.I.R memberikan jawaban bahwa yang tidak dapat didengar kesaksiannya adalah keluarga yang sedarah dan semenda. Tetapi, ada juga yang dapat didengarkan kesaksiannya yaitu anak-anak atau orang gila yang kadang-kadang ingat. Selain itu, ada saksi yang disebut dengan testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain tanpa ia mendengarnya atau mengalaminya sendiri. Memang sebagai kesaksian, tidak mempunyai nilai pembuktian sama sekali, namun, dapat digunakan untuk menyusun persangkaan atau untuk melengkapi keteranga saksi-saksi yang dapat dipercayai. Persangkaan. Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi yang mendengar, melihat atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaan-persangkaan. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal kearah peristiwa yang belum terbukti. Persangkaan terdiri dari dua jenis, yaitu persangkaan berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang berupa kesimpulan hakim. Persangkaan berdasarkan berdasarkan merupakan merupakan kesimpulan yang ditarik oleh hakim karena telah ditentukan oleh dan di dalam undng-undang. Sedangkan, persangkaan yang berupa kesimpulan hakim adalah merupakan kesimpulan hakim yang ditarik sebagai hasil dari pemeriksaan dalam persidangan. Pengakuan. Pengakuan merupakan suatu pernyataan dari salah satu pihak tentang kebenaran suatu peristiwa, keadaan atau suatu hal terhadap hal yang disidangkan dalam persidangan. 29

Dalam H.I.R yang mengatur tentang pengakuan ini diatur dalam pasal 174. 175 dan 176. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam pengakuan yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang dan pengakuan yang dilakukan di luar persidangan. Kedua macam pengakuan itu berbeda dalam hal nilai pembuktiannya. Pengakuan yang dilakukan di depan hakim menjadi bukti yang kuat untuk memberatkan salah satu pihak. Sedangkan, pengakuan yang dilakukan di luar persidangan diserahkan kepada hakim untuk menilainya, ia tidak mengikat dan bukan alat bukti yang sempurna. Pengakuan ini dikenal dengan pengakuan murni dan pengakuan yang ada embel-embelnya. Pengakuan murni adalah pengakuan yang mana semua dalil-dalil yang disampaikan phak lawannya dibenarkan sepenuhnya. Sedangkan, pengakuan dengan embelembel itu ada dua jenis yaitu pengakuan dengan klausula dan dengan kwalifikasi. Contoh untuk pengakuan dengan klausula adalah benar saya telah memukul istri saya, tetapi bukan dengan bambu tetapi dengan kursi yang terbuat dari plastik. Sedangkan, untuk contoh pengakuan dengan kwalifiksi adalah benar saya memberikan nafkan kepadanya, tetapi bukan 5 juta perbulan sebagaimana istri saya katakana tetapi 12 juta perbulan. Sumpah. Sumpah merupakan pernyataan yang diucapkan secara resmi dan dengan menyebut nama Allah. Sumpah dalam Hukum Acara Perdata dikenal tiga macam, yaitu; Sumpah pelengkap (suppletoir) adalah sumpah yang diperintahkan oleh Majelis Hakim kepada salah satu pihak karena jabatannya untuk melengkapi alat bukti yang lain. Sumpah penaksir (aestimatoir) adalah sumpah yang diperintahkan oleh Majelis Hakim karena jabatannya untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan. Sumpah pemutus (decissoir) adalah sumpah yang dibebankan kepada salah satu pihak yang merupakan permintaan dari phak lain, karena tidak adanya bukti. Penyusunan kesimpulan Putusan. Dalam tahapan ini para pihak diperkenankan untuk menyampaikan kesimpulan mereka masing-masing. Pengucapkan keputusan. Putusan harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini apabila tidak dilakukan maka putusan tersebut tidak mempunya kekuatan hukum dan batal demi hukum. E. Keputusan Pengadilan Keputusan pengadilan pada dasarnya merupakan penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, dalam hal ini pekara yang memerlukan penyelesaian melalui kekuasaan Negara. Putusan ini terdiri dari dua jenis yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela dilakukan apabila tergugat melakukan eksepsi relative pada hari sidang pertama, oleh kerena itu Majelis Hakim 30

wajib memmutuskan terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada pemeriksaan pokok perkara. Putusan sela ini ada bermacam-macam. Diantaranya adalah sebagai berikut; 1. Putusan prepatoir 2. Putusan insidenti 3. Putusan provisional Putusan akhir ini terdiri dari 3 macam, yaitu; 1. Putusan declatoir adalah putusan yang hanya bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya adalah sekelompok ahli waris datang ke pengadilan agar mendapat ketetapan mereka masing-masing menurut Hukum Islam. Dalam hal ini maka putusannya adalah putusan declatoir. 2. Putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan suatu kedaan hukum atau menimbulkan keadaan hokum yang baru. Misalnya, adalah putusan perceraian. 3. Putusan comdemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman. Misalnya, adalah harus member nafkah. PERADILAN MILITER A. Pelaksanaan Peradilan Militer Pelaksanaan peradilan militer dilaksanakan dari mulai penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan dan eksekusi berbeda dengan peradilan umum, tidak hanya secara teknis melainkan aparat penegak hukum yang ikut dalam proses penyelesaian perkara di lingkungan peradilan militer. Dengan Ankum, Polisi Militer dan Oditur sebagai penyidik, serta Oditur sebagai penuntut, dan Hakim yang ditunjuk sebagai Hakim Militer. Tingkatan Peradilan dalam lingkup peradilan militer yakni Peradilan Militer, Peradilan Militer Tinggi, Peradilan Militer Utama dan berakhir pada Mahkamah Agung. Beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan Peradilan Militer yang pertama faktor perundang-undangan. Adanya perbedaan asas keseimbangan antara kepentingan militer dengan kepentingan hukum sebagaimana kita ketahui bahwa kepentingan hukum antara lain berfungsi menjamin adanya kepastian hukum, yaitu adanya kepastian dalam hubungan-hubungan subyek hukum yang dijamin oleh ketentuan-ketentuan hukum, oleh karena itu tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang membatasi pelaksanaan peradilan militer,, yang kedua faktor penegak hukum yang kurang maksimal dalam melaksanakan tugas sesuai dengan semestinya dan kurang aktif dalam melaksanakan penegakan hukum di lingkungan militer. B. Penerimaan Berkas Perkara Pidana Militer, Penetapan Pengadilan dan Kewenangan Pengadilan :

31

a. Berkas perkara yang diterima dari Oditurat Militer dicatat oleh Kataud dalam agenda surat masuk, selanjutnya berkas perkara digabungkan dengan surat-surat lain yang terkait dengan perkara tersebut, kemudian diberi lembar disposisi dan segera diajukan kepada Kadilmil. b. Kadilmil selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada Katera melalui Kataud untuk dicatat dalam register perkara. c. Kadilmil segera meneliti dan mempelajari berkas perkara berikut lampirannya yang telah diterima dari Oditurat Militer untuk mengetahui apakah berkas perkara itu telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. d. Dalam hal Kadilmil berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak ber-wenang memeriksa perkara tersebut karena Terdakwa telah berubah kepangkatan atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan Terdakwa bukan merupakan yustisiabel Peradilan Militer, maka segera mengembalikan berkas perkara tersebut ke Oditurat Militer dengan suatu penetapan. e. Dalam hal Kadilmil berpendapat bahwa pengadilan yang dipimpinnya tidak berwenang memeriksa perkara tersebut karena Terdakwa telah berpindah tugas ke tempat lain di luar wilayah hukum pengadilan yang dipimpinnya, maka ia segera mengembalikan berkas perkara tersebut ke Oditurat Militer dengan perintah agar perkara tersebut dilimpah kan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tugas Terdakwa dengan suatu penetapan pelimpahan. f. Dalam hal Kadilmil berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk dalam kewenangan pengadilan yang dipimpinnya, maka ia segera menunjuk Hakim Militer yang nantinya akan menyidangkan perkara tersebut. g. Kadilmil selanjutnya mengeluarkan Penetapan Penunjukan Hakim (Tapkim) dengan menunjuk Hakim Militer untuk menangani perkara tersebut sebagai Majelis Hakim. C. Persiapan Hakim : Hakim Ketua dan kedua Hakim Anggota yang telah ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut segera mempelajari berkas perkara, selanjutnya Hakim Ketua menetapkan hari sidang (Tapsid). Perkara yang Terdakwanya berada dalam tahanan didahulukan penyidangannya. Surat Penetapan Hari Sidang harus memuat perintah kepada Oditur Penuntut Umum supaya memanggil Terdakwa dan para Saksi untuk datang serta menghadapkan barang bukti ke ruang sidang. 32

Setelah Kaotmil menerima surat penetapan hari sidang, Kaurdak menyerahkan Tapsid dan berkas perkara beserta lampirannya kepada Oditur Penuntut Umum yang akan bertindak selaku Penuntut Umum. Kaotmil mengeluarkan Surat Panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang mencantumkan waktu dan tempat sidang serta dalam apa mereka dipanggil. Surat Panggilan harus diterima oleh Terdakwa dan Saksi selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang. Cara pemanggilan terhadap Terdakwa dan Saksi terhadap Terdakwa dan Saksi anggota TNI menggunakan surat pemanggilan dengan disampaikan kepada Ankum dengan tembusan Papera. Dalam surat panggilan dicantumkan kewajiban Terdakwa dan Saksi untuk datang dalam sidang pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. D. Pemeriksaan / Sidang dengan Acara Pemeriksaan Biasa : Dalam acara persidangan Acara Pemeriksaan Biasa ini sama dengan acara pada sidang di Pengadilan Negeri pada umumnya, yaitu dimulai dari : Pembukaan sidang dan pembacaan surat dakwaan. Pemeriksaan Saksi-saksi. Pemeriksaan Terdakwa. Pemeriksaan barang bukti. Kemudian setelah selesai lalu Hakim Ketua menanyakan apakah Oditur/Jaksa sudah siap dengan tuntutannya. Kemudian Terdakwa diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan/permohonannya atas tuntutan Oditur tersebut. Kemudian persidangan ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim untuk bermusyawarah untuk mengambil putusan, Kemudian pengucapan putusan Pengadilan Militer. E. Acara Pemeriksaan Khusus, yaitu : Acara pemeriksaan khusus dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana dalam tingkat pertama dan terakhir. Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI di daerah pertempuran. Terhadap putusan pada Pengadilan Pertempuran, Terdakwa atau Oditur hanya dapat mengajukan kasasi. 33

F. Penyelesaian Perkara Pidana Koneksitas : Penyelesaian perkara pidana koneksitas dilaksanakan dengan melihat dimana dari titik berat pihak yang dirugikan. Apabila diperiksa dan diadili di Peradilan Umum, maka Hakim Ketua adalah Hakim dari peradilan umum dan salah satu Hakim anggota adalah Hakim Militer yang sudah diangkat menjadi Hakim Koneksitas Apabila diperiksa dan diadili di peradilan militer, maka Hakim Ketua adalah Hakim Militer dan salah satu Hakim Anggota dari Pengadilan Negeri yang telah diangkat menjadi Perwira Tituler. Hakim Militer/Tinggi yang memeriksa dan mengadili perkara pidana koneksitas di Pengadilan Negeri/Tinggi memakai pakaian sipil dan memakai toga. Hakim Pengadilan Negeri/Tinggi yang memeriksa dan mengadili perkara pidana koneksitas di Pengadilan Militer/Tinggi memakai seragam PDU IV yang disediakan oleh Pengadilanyang bersangkutan. Pakaian seragam PDU-IV hanya boleh dipakai oleh Hakim Pengadilan Negeri/ Tinggi pada saat sidang, tidak dibenarkan dipakai diluar acara sidang. G. Pemeriksaan dan Pembuktian Perkara Pidana : Bahwa Pengadilan Militer sebelum membuat putusan apakah itu nantinya berupa pe-midanaan atau pembebasan selalu berpegang pada fakta-fakta perbuatan dan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Pemeriksaan Terdakwa : a. Pemeriksaan Terdakwa dimulai setelah semua Saksi selesai didengar keterangannya. b. Apabila dalam suatu perkara terdapat lebih dari seorang Terdakwa maka Hakim Ketua dapat mengaturnya menurut cara yang dipandangnya baik, yaitu : 1. Memeriksa Terdakwa seorang demi seorang dengan dihadiri oleh Terdakwa lainnya, 2. Memeriksa seorang Terdakwa tanpa dihadiri Terdakwa lainnya, Terdakwa yang tidak sedang didengar keterangannya diperintahkan untuk dibawa keluar sidang. c. Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa segala hal yang dipandang perlu untuk memperoleh kebenaran materiil. d. Setelah Hakim Ketua selesai mengajukan pertanyaan-pertanyaan, ia memberikan kesempatan kepada Hakim-Hakim Anggota, Oditur Penuntut Umum dan Penasihat Hukum secara berturut-turut untuk mengajukan pertanyaan kepada Terdakwa. 34

e. Hakim Ketua menjaga supaya tidak diajukan pertanyaan yang tidak dibenarkan kepada Terdakwa seperti : 1. Pertanyaan yang menjerat ; 2. Pertanyaan yang bersifat sugestif ; 3. Pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan. 4. Pertanyaan yang tidak patut. Pemeriksaan barang bukti 1. Setelah pemeriksaan semuai Saksi dan Terdakwa selesai, Hakim Ketua memperlihatkan kepada Terdakwa semua barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu serta menanyakan sangkut paut benda itu dengan perkara untuk memperoleh kejelasan tentang peristiwanya 2. Bila dipandang perlu barang bukti dapat juga diperlihatkan sebelum pemeriksaan semua Saksi dan Terdakwa selesai. 3. Jika ada sangkut pautnya dengan Saksi tertentu, barang bukti itu diperlihatkan juga kepada Saksi yang bersangkutan. Alat bukti yang sah sesuai dengan pasal 172 UU No.31 tahun 1997 adalah : 1. Keterangan Saksi. 2. Keterangan Ahli. 3. Keterangan Terdakwa. 4. Surat, dan 5. Petunjuk. H. Musyawarah Hakim dan Putusan Pengadilan : 1. Musyawarah Hakim : Setelah semua acara pemeriksaan selesai, maka Hakim Ketua menyatakan pemeriksaan tertutup, kemudian menunda sidang untuk memberi kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah guna mengambil putusan. Pada dasarnya putusan dalam musyawarah Majelis Hakim merupakan hasil permufakatan secara bulat. Dalam pelaksanaan musyawarah Majelis Hakim, Hakim Anggota yang termuda (dalam kepangkatan) memberikan pandangan, pendapat dan saran urutan pertama disusul oleh Hakim Anggota yang lain, dan Hakim Ketua memberikan pandangan, pendapat dan saran urutan terakhir.

35

Pelaksanaan pengambilan putusan dalam musyawarah Majelis Hakim dicatat dalam Buku Himpunan Putusan. Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat yang berbeda dari salah seorang Hakim Majelis dicatat dalam Berita Acara Musyawarah Majelis Hakim.

2. Putusan Pengadilan : Apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka Pengadilan menjatuhkan pidana. Apabila ternyata Terdakwa tidak terbukti bersalah sebagaimana didakwakan kepadanya, maka Pengadilan memutus bebas dari segala dakwaan. Apabila ternyata Terdakwa terbukti bersalah tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada Terdakwa, maka Pengadilan memutus lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pada waktu putusan pemidanaan diucapkan, harus diikuti dengan ketukan palu satu kali Besarnya biaya perkara yang dibebankan kepada Terdakwa hendaknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981. Apabila Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan kepada negara dengan kata lain Terdakwa tidak dipungut biaya perkara. Dalam hal Terdakwa dan atau Oditur Penuntut Umum mengajukan permohonan banding, Panitera membuat Akte permohonan banding. Apabila sidang Pengadilan akan ditutup karena pemeriksaan dan proses pengadilan telah selesai, Hakim Ketua mengucapkan putusan. Petikan putusan diberikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya segera setelah putusan dijatuhkan. Salinan putusan diberikan kepada Oditur sedangkan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya diberikan atas permintaan. Petikan putusan dan salinan putusan dikirimkan kepada Babinkum TNI dan Kadilmiltama pada kesempatan pertama. Panitera membuat Berita Acara Sidang yang memuat segala kejadian di sidang yang ber-hubungan dengan pemeriksaan itu, juga memuat hal-hal yang penting dari keterangan Terdakwa, saksi dan ahli, kecuali jika Hakim ketua menyatakan bahwa ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara pemeriksaan permulaan dengan menyebutkan perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan yang lainnya. Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, Panitera membuat Akte putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, disampaikan kepada Terdakwa dan

36

Oditur serta yang berkepentingan. Akte tersebut dan petikan putusan merupakan dasar pelaksanaan putusan Hakim. 3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan : Bahwa putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan oleh Oditur yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya. Mendahului salinan putusan sebagaimana yang dimaksud diatas, Oditur melaksananakan putusan pengadilan berdasarkan petikan putusan. Pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka umum. Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau ditempat lain menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal Terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut mulai dijalan kan dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Apabila Terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana (sudah BHT) sebagaimana dimaksud diatas dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum. Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undangundang Nomor 31 tahun 1997. PRODUK PERADILAN A. Definisi Peradilan adalah sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Sedangkan kekuasaan kehakiman tersebut adalah kekuasaan negara yg merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya negara hukum RI Peradilan tersebut di Indonesia diselenggarakan oleh: MA dan badan peradilan dibawahnya yaitu: 1. Peradilan Umum yang terbagi menjadi: a) Pengadilan Umum menagani kasus pidana dan perdata b) Pengadilan Niaga menangani sengketa komersial tertentu (misal Hak atas kekayaan intelektual dan kepailitan) c) Pengadilan Hubungan Industrial 37

d) Pengadilan Anak e) Pengadilan HAM f) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 2. Peradilan Agama menangani sengketa perdata tertentu untuk yg beragama islam (Perkawinan, warisan, hibah dan wasiat), missal 1) Pengadilan Agama 2) Mahkamah Syariah (di NAD) 3. Peradilan Militer menangani tindak pidana yg dilakukan oleh oknum militer 4. Peradilan Tata Usaha Niaga: menangani sengketa putusan Pejabat Tata Usaha Niaga yg bersifat konkrit individual dan final II) MK guna utk uji materiil UU, sengketa pemilu dsb III) selain itu ada peradilan di luar peradilan negara yg disebutkan diatas yaitu lembaga perdamaian dan arbitrase. Sedangkan Pengadilan adalah institusi yang berwenang untuk melaksanakan dan menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut. B. Produk peradilan. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian : (1) Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). (2) Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair), Sedangkan (3) Akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan. Suatu putusan atau penetapan harus dikonsep terlebih dahulu paling tidak 1 (satu) minggu sebelum diucapkan dipersidangan untuk menghindari adanya perdebatan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis (Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1/1962 tanggal 7 Maret 1962). Putusan sebagai salah satu produk pengadilan agama yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil pemeriksaan perkara di persidangan mesti memperhatikan yang sangat fundamental dan essensial. Akta Perdamaian 38

Dibuat berdasarkan pasl 154 R.Bg/130 HIR. Dengan judul AKTA PERDAMAIAN dan dengan nomor yang sama dengan nomor perkara. Ditulis hari dan tanggal sidang perdamaian, dimana para pihak menghadap. Ditulis identitas dan kedudukan para pihak. Ditulis bahwa mereka bersepakat mengakhiri sengketa secara damai. Ditulis lengkap dan rinci isi perdamaian. Isi perdamaian dinyatakan sebagai putusan hakim, dengan judul PUTUSAN dan kalimat Basmalah serta title Demi Keadilan. Ditulis amar putusan MENGADILI Menyatakan bahwa telah tercapainya perdamaian antara kedua pihak. Menghukum kedua belah pihak untuk mentaati persetujuan yang telah dimufakati tersebut diatas atau Menghukum kedua belah pihak untuk membayar ongkos perkara Ditulis hari, tanggal dijatuhkannya putusan, serta majelis yang memutuskan.. Diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh majelis tersebut dan para pihak. Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis yang dihariri oleh majelis tersebut dan para pihak. Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis yang bersidang dengan bermaterai Rp. 2.000,-. Kekuatan hukum Akta Perdamaian sama dengan putusan. C. Kekuatan Putusan hakim Putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan: Kekuatan mengikat Kekuatan pembuktian Kekuatan eksekutorial 1. Kekuatan Mengikat 39

Artinya putusan hakim itu mengikat para pihak yang berperkara dan yang terlibat dalam perkara itu. Para pihak tunduk dan menghormati putusan itu Terikatnya para pihak kepada putusan hakim itu, baik dalam arti positif maupun negative (pasal 197, 1920 BW, 134 Rv) Mengikat dalam arti positif, yakni bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Res judicara preveritate habetur), dan tidak dimungkinkan pembuktian lawan Mengikat dalam arti negative, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama =nebis in indem, (pasal 134 Rv) Putusan hakim yang telah memperoleh kakuatan hokum tetap tidak dapat dirubah, sekalipun dengan upaya hokum luarbiasa (yaitu Request civil dan derdent verzet) Segala pertimbangan hakim yang dijadikan dasar putusan serta amar putusan (dictum) merupakan suatu kesatuan dan mempunyai kekuatan mengikat. Sedang mengenai hasil konstatiring hakim (penetapan) mengenai kebenaran peristiwa tertentu dengan alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan. 2. Kekuatan Pembuktian Artinya dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu Putusan hakim menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat didalamnya Putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap dapat menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu (tindak pidana) pasal 1918 dan 1919 BW. Demikian pula putusan perdata menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu Apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pila (nebis idem) 3. Kekuatan Eksekutorial Yakni kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara

40

Setiap putusan harus memuat title eksekutorial, yaitu kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7/1989 maka Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri tindak eksekusi atas putusan yang dijatuhkannya itu. Tidak diperlukan lagi lembaga pengukuhan dan fiat eksekusi oleh Pengadilan Negeri Sesuatu putusan akan mempunya kekuatan hokum tetap apabila, terhadap putusan tersebut, masa upaya hokum yang ditetapkan menurut undang-undang telah habis dan tidak dimintakan upaya hokum dalam masa tersebut Yang dimaksud upaya hokum disini ialah upaya hokum biasa yaitu verzet, banding, atau kasasi. Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah sebagai berikut: 1.Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaa Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu : 1. putusan gugur 2. putusan verstek yang tidak diajukan verzet 3. putusan tidak menerima 4. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain. 2. Putusan Sela putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang

41

Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sh dari putusan itu dengan biaya sendiri. Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, maka putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis 1. Putusan gugur a) putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan b) putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan c) putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat : penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah Tergugat/termohon hadir dalam sidin Tergugat/termohon mohon keputusan o o perkara o baru lagi 2. Putusan Verstek Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan Verstek artinya tergugat tidak hadir tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya maka dapat pula diputus gugur

42

Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau

sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut a) itu Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah b) c) d) Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan Penggugat hadir dalam siding Penggugat mohon keputusan Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat : Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari

3. Putusan kontradiktoir putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding. penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam siding Dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut: a. Putusan tidak menerima : Putusan tidak menerima adalah Putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam hal verstek yang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban 43

Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa. Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu perkara merupakan suatu putusan akhir. b. Putusan menolak gugatan penggugat putusan ini yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili c. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya Putusan ini merupakan putusan akhir Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga : Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan Dalil gugat yang tidak terbukti maka tuntutannya ditolak Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima d. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya. a) putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti b) Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti c) Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat. Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan dibagi sebagai berikut : 1. Putusan Diklatoir 44

yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum a) semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk penetapan atau besciking b) putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan c) putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi d) putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada 2. Putusan Konstitutif Yaitu suatu pitusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan perkawinan, dan sebagainya Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan huum tetap. 3. Putusan Kondemnatoir Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius Putusan kondemnatoir sekaku berbunyi menghukum dan memerlukan eksekusi Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela, maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta) Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk 1. menyerahkan suatu barang 45

2. membayar sejumlah uang 3. melakukan suatu perbuatan tertentu 4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan. UPAYA HUKUM Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap keputusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan (Sudikno Mertokusumo, 1982:232). Dalam hukum acara perdata terhadap upaya hukum dapat di bagi menjadi upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet), banding (revisi) dan kasasi (cassatie) dan upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjauan kembali (PK) dan derden verzet (verzet door darden). A. BANDING 1. Landasan Hukum Banding Sebenarnya banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. Acara banding dalam perkara pidana pada awalnya diatur dalam pasal 350-356 HIR yang kemudian dicabut oleh Stb. 1932 No. 460 jo 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op java en het hooggerechtshof van indonesia (pasal 282 dst.) serta Rbg pasal 660. Sekarang hal banding dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67, 87, 233-243 KUHAP. Sedangkan banding dalam perkara perdata diatur dalam pasal-pasal 188-194 HIR. Tetapi dengan adanya pasal 3 jo 5 UU darurat no. 1 tahun 1951 pasal-pasal itu sudah tidak berlaku lagi dan yang sekarang berlaku ialah undang-undang RI tahun 1947 no. 20 untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura ialah Rbg pasal 199-205. Jadi dasar hukumnya adalah UU no. 4/2004 tentang perubahan atas undang-undang pokok kekuasaan dan UU no.20/1947 tentang peradilan ulangan. B. Alasan Permohonan Banding

Adapun alasan-alasan seseorang dapat mengajukan permohonan banding diantaranya adalah: a. Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima putusan pengadilan

tingkat pertama karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu. 46

b.

Menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil.

Asas peradilan ini bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pada tingkat pertama belum tentu tepat atau benar sehingga perlu pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi. Dalam hal ini yang berwenang adalah pengadilan tinggi untuk menelitti apakah pemeriksaan perkara tersebut telah dilakukan menurut cara yang ditentukan UU dengan cukup teliti, dan juga pengadilan tinggi berwenang untuk memeriksa putusan dan mengambil sikap atas putusan-putusan tersebut seperti: a. Dalam hal putusan dianggap telah benar, putusan pengadilan tingkat pertama akan

dikuatkan. b. Dalam hal putusan dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan pengdailan tinggi akan

memberi putusan lain. c. Dalam hal putusan yang kurang tepat, maka pengadilan tinggi akan memperbaiki

putusan sebelumnya. C. Prosedur Pengajuan Banding

Putusan yang bisa dimintakan banding hanya putusan pengadilan negeri mengenai perkara yang harga gugatnya hanya lebih dari Rp.100,- saja. Hal ini sesuai pasal 6 UU 1947 no. 20 bahwasannya dari putusan-putusan pengadilan negeri di jawa dan madura tentang perkara perdata, yang diternyata bahwa besarnya harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak (partizen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan pertama diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing (komentar HIR, 2005:170). Jadi dapat dikatakan hampir semua putusan (bukan declaratoir) Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding. Maksud pihak yang berkepentingan adalah pihak yang oleh putusan pengadilan tingkat pertama dikalahkan dan juga jika ada gugat asal dan gugat balik yang di dalamnya ada pihak yang dikalahkan maka pihak tersebut dapat mengajukan permohonan banding (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:151). Sedang dalam perkara pidana, permintaan banding dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penunttut umum (pasal 67 KUHAP). Permintaan banding dalam perkara pidana ini dapat diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaiman dimaksud dalam pasal 196 ayat 2 KUHAP.

47

Permohonan banding dapat diterima jika diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai berkutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat 1 UU no. 20 tahun 1947 permintaan untuk pemeriksaan ulangan harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh peminta atau wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk mengajukan permintaan itu, kepada panitera pengadilan negeri, yang menjatuhkan putusan dalam empat belas hari, terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Untuk mengajukan permohonan banding pihak yang bersangkutan terlebih dahulu harus membayar biaya permohonan banding kepada pengadilan negeri. Besarnya biaya tersebut ditaksir oleh panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Jika pemohon banding adalah orang yang tidak mampu maka harus dibuktikan dengan surat dari kepala desa. Hal ini sesuai dengan pasal 7 (3) UU no. 20 tahun 1947 bahwasannya jika ada permintaan akan pemeriksaan ulangan tidak dengan biaya maka tempo itu dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan pengadilan tinggi atas permintaan tersebut kepada ketua pengadilan negeri. Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui bank pemerintah atau kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan. Dalam menentukan biaya banding harus diperhitungkan: a. b. c. d. e. (1) (2) (3) (4) (5) Biaya pencatatan pernyataan banding, Besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh ketua pengadilan tinggi, Biaya pengiriman uang melalui bank/kantor pos, ongkos kirim berkas, biaya pemberitahuan berupa: Biaya pemberitahuan akta banding. Biaya pemberitahuan memori banding. Biaya pemberitahuan kontra memori banding. Biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding dan terbanding. Biaya pemberitahuan bunyi putusan bagi pembanding dan terbanding.

Pasal 10 uu no. 20 tahun 1947 menyatakan (1) permintaan pemeriksaan ulangan yang dapat diterima, dicatat oleh panitera pengadilan negeri di dalam daftar. (2) panitera memberitahukan hal itu kepada pihak lawan yang minta pemeriksaan ulangan. Jadi sudah jelas dalam hal ini panitera harus memberitahu pihak terbanding supaya siap-siap juga menyiapkan kontra memori bandingnya. Begitupun KUHAP mengatur tentang kewajiban

48

panitera perkara pidan untuk memberitahukan kepada pihak-pihak terkait tentang adanya permintaan banding yang diatur dalam pasal 233. D. Putusan Peradilan Tingkat Banding Putusan yang dapat diajukan permohonan banding adalah putusan Pengadilan Negeri/Agama bukan penetapan, yaitu putusan declaratoir yang diberiakan hakim pengadilan negeri atas suatu surat permohonan, seperti penetapan ahli waris. Terhadap putusan seperti ini tidak dapat diajukan banding akan tetapi langsung mengajukan kasasi (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:149). Jika putusannya berbentuk verstek maka harus diajukan verzet dulu di tingkat peradilan pertama. Namun seperti dijelaskan dalam ayat 2 pasal 8, jika untuk kedua kalinya tergugat kalah dengan putusan verstek, maka tergugat dapat mengajukan banding namun harus menunggu sampai putusan verstek diputus oleh pengadilan negeri. Ketentuan pasal 9 mengemukakan (1) dari putusan pengadilan negeri yang bukan putusan penghabisan dapat diminta pemeriksaan ulangan hanya bersama-sama dengan putusan penghabisan. (2) putusan dalam mana pengadilan negeri menganggap dirinya tidak berhak untuk memeriksa perkarannya, dianggap sebagai putusan penghabisan. Dari pasal satu kita tahu bahwa apabila dalam suatu perkara telah dijatuhkan suatu putusan provisionil, insidentil ataupun putusan sela lainnya, dan pihak yang dikalahkan mengajukan permohonan banding, permohonannya dicatat oleh pengadilan negeri akan tetapi berkasnya baru akan dikirim ke pengadilan tinggi setelah putusan final ada. Pengadilan tinggi juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan dalam memutus perkara jika menganggap bahwa pemeriksaan semula belum cukup bukti. Karena dalam taraf banding asasnya bahwa perkara mentah kembali dan kedudukan pengadilan tinggi sebagai judex factie, yaitu hakim yang memeriksa dan mengadili perkara baik mengenai fakta maupun mengenai hukumnya, dan wewenang yang dipunyai pengadilan tinggi dalam pemeriksaan perkara yang sama dengan wewenang hakim pengadilan negeri, sebelum pemeriksaan tambahan, pengadilan tinggi harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa (Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, 2009:160) B. KASASI 1. Pengertian dan Landasan Hukum Kasasi Upaya hukum kasasi (cassatie/appeal in cassation) merupakan lembaga hukum yang dilahirkan di prancis dengan istilah cassation dan berasal dari kata kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung Repulik Indonesia (MA RI) sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan 49

lain, tetapi tidak berarti merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi hanya diperiksa masalah-masalah hukumnya/penerapan hukumnya. Sehingga yang dapat mengajukan permohonan kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-pihak berperkara atau wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 44 ayat (1) huruf a UU no 3 tahun 2009). Pada asasnya, landasan hukum kewenangan kasasi diatur dalam ketentuan pasal 24 A ayat (1) perubahan ke-3 UUD 1945, pasal 20 ayat (2) UU no. 48 tahun 2009, penjelasan umum angka 2, pasal 28 dan 30 UU no. 48 tahun 2009. 2. Prosedur Permohonan Kasasi Menurut Mahkamah Agung RI pada hakikatnya prosedural administrasi permohonan kasasi adalah bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan. Senada dengan pasal 245 KUHAP yang menyatakan tenggang waktu selama 14 hari untuk mengajukan permohonan. Prosedural berikutnya adalah apabila biaya kasasi telah dibayar lunas semuanya, pengadilan wajib membuat akta pernyataan kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register kasasi, kemudian akta ini diberitahukan kepada lawannya dalam waktu 7 hari. Perlu juga disampaikan dalam kontek ini bahwa dalam mengajukan kasasi, pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi dan berdasarkan ketentuan pasal 12 ayat (1) UU no. 37 tahun 2004 menentukan bahwa, Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitra Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Tanggal penerimaan memori kasasi tersebut, harus dicatat dalam suatu surat keterangan panitera yang ditandatangani oleh panitera. Yang dimaksud sebagai tanggal permohonan kasasi adalah tanggal pada waktu biaya perkara diterima oleh panitera yang bersangkutan. Sedangkan apabila biaya perkara yang diterima melampaui tenggang waktu, maka permohonan kasasi dianggap tidak ada. Dalam pidana juga pemohon harus menyerahkan memori kasasi dan alasan mengajukan kasasi yang sesuai dengan pasal 248 dan 253 KUHAP. Kemudian berdasarkan Ketentuan pasal 12 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004: Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada Panitra Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi dan panitra Pengadilan wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima. Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004: Panitra wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas

50

perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi di daftarkan. Dalam praktik, berkas perkara dikirim kepada MA RI berupa bundel A dan bundel B. Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, barkas kasasi berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung. Pada dasarnya, bundel A merupakan surat-surat perkara diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan/proses penyidangan/pemeriksaan perkara tersebut dan selalu di simpan di Pengadilan Negeri/Niaga serta terdiri atas: Surat permohonan; Penetapan Penunjukan Majelis Hakim; Penetapan hari sidang; Relaas-relaas panggilan; Berita acara sidang (jawaban/tanggpan dan bukti-bukti surat dimasukan dalam Surat kuasa khusus dari kedua belah pihak yang berperkara; Tanda bukti pengiriman biaya perkara kasasi; Penetapan-penetapan lainnya yang berkaitan dengan perkara (bila ada); Berita Acara Sita Jaminan/Penyegelan (bila ada); Lampiran-lampiran surat yang dimajukan oleh kedua belah pihak (bila ada) Surat-surat bukti Pemohon; Surat-surat bukti Termohon; Surat-surat lainnya; Naskah Asli Putusan.

berita acara);

Sedangkan bundel B merupakan himpunan surat-surat perkara dan kasasi serta semua kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan kasasi dan akhirnya menjadi arsip perkara MA RI, yang terdiri atas: Relaas-relaas pemberitahuan isi putusan Pengadilan Niaga kepada kedua belah Akta permohonan kasasi; Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi; Memori kasasi dan/atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak Tanda terima memori kasasi; 51 pihak yang berperkara;

mengajukan memori kasasi;

dan

Relaas pemberitahuan kasasi kepada Termohon Kasasi; Kontra memori kasasi; Salinan putusan Pengadilan Niaga dan penetapan-penetapan Pengadilan Niaga; Surat-surat lain yang sekiranya ada.

Dalam menaksir biaya kasasi diperhitungkan dengan besarnya biaya kasasi yang ditentukan oleh Ketua Muda. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya pemberitahuan, berupa : Biaya pemberitahuan pernyataan kasasi. Biaya pemberitahuan memori kasasi. Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi. Biaya pemberitahuan bunyi kasasi.

Foto copy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, dikirim ke Mahkamah Agung. Permohonan kasasi yang melampaui tenggang waktu atau penerimaan memori kasasi yang melempaui tenggang waktu, harus dinyatakan tidak dapat diterima. Mengajukan memori kasasi yang disertai dengan alasan-alasan merupakan syarat mutlak. Didalam risalah kasasi harus dimuat keberatan-keberatan atau alasan-alasan kasasi yang berhubungan dengan pokok persoalan perkara, jika tidak mengajukan risalah kasasi sudah tentu akan menyebabkan tidak diterimanya permohonan kasasi. 3. Tugas Pengadilan Tingkat Kasasi dan Alasan Pengajuan Kasasi Tugas pengadilan kasasi adalah menguji dan meneliti putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. Oleh karena itu, maka dasar dari pembatalan suatu putusan yang oleh pengadilan kasasi dianggap salah adalah pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh pengadilan yang bersangkutan. 4. Putusan peradilan tingkat kasasi Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi dan membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi tersebut, maka akan terjadi dua kemungkinan, yakni : 1) Kalau pembatalan itu didasarkan pada tidak berwenangnya pengadilan yang telah mengambil putusan yang dimohonkan kasasi, maka berkas perkara akan dikirimkan kepada pengadilan yang oleh Mahkamah Agung yang dianggap berwenang, untuk diperiksa dan diputusi. 52

2)

Kalau pembatalan didasarkan pada kesalahan dalam penerapan hukum, maka

Mahkamah Agung akan memutusi sendiri perkara itu. Dengan sendirinya putusan yang akan diambil oleh Mahkamah Agung itu adalah final. Disini dikatakan bahwa hakim kasasi dalam memutusi perkara tersebut duduk di atas kursi judex facti karena ia memutusi apa yang biasanya menjadi wewenang judex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi). Menurut ketentuan hukum yang berlaku dan yurisprudensi konstan Mahkamah Agung Republik Indonesia, peradilan kasasi dalam putusannya terbatas memeriksa perkara terhadap aspek yuridis semata-mata yaitu apakah benar yudex facti telah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Konkritnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia memeriksa terhadap penerapan hukumnya dan tidak terhadap peristiwa dan pembuktian sehingga kedudukannya sebagai yudex yuris. Dengan demikian, aspek peristiwa dan penilaian mengenai hasil pembuktian yang bersifat penghargaan terhadap suatu kenyataan tidak dapat dipertimbangkan/tidak tunduk dalam pemeriksaan kasasi sebagaimana ditegaskan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2650 K/Sip/1982 tanggal 20 September 1983. Putusan peradilan tingkat kasasi ini pada asasnya dapat di klasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu : 1. Permohonan kasasi tidak dapat diterima Hakikat permohonan kasasi haruslah didasarkan kepada ontvankelijkeheid (dapat diterimanya) permohonan kasasi. Apabila suatu permohonan kasasi tidak memenuhi syarat formal (formalitas) untuk mengajukan kasasi seperti dilampauinya tenggang waktu melakukan kasasi, surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi syarat, tidak ada/terlambat mengajukan memori kasasi, dan lain sebagainya, sehingga hal demikian dapat diklasifikasikan bahwa permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima. Adapun mengenai bunyi amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam aspek ini hakikatnya dapat berbunyi, sebagai berikut: Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ................... Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara dalam Peradilan tersebut tidak dapat diterima; Kasasi ini sebesar Rp ................ (..............) 2. Permohonan kasasi ditolak

53

Permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat disebabkan bahwa yudex facti tidak salah menerapakan hukum, bahwa pemohon kasasi dalam memori kasasi mempersoalkan tentang kejadian atau hal yang tidak merupakan wewenang hakim kasasi, misalnya tentang penilaian hasil pembuktian, penghargaan atas suatu fakta dan lainnya. Dapat pula permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia karena pemohon kasasi dalam mengajukan memori kasasi tidak relevan (irrelevant) dengan pokok perkara. Apabila permohonan kasasi ditolak, ammar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada pokoknya, dapat berbunyi sebagai berikut: Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ... tersebut; Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam peradilan

kasasi ini yang ditetapkan sebesar Rp ...... 3. Permohonan kasasi dikabulkan Permohonan kasasi dikabulkan berarti bahwa alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan pemohon kasasi dalam memori kasasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia karena yudex facti dianggap telah salah atau tidak benar dan tepat dalam penerapan hukum atau karena alasan-alasan hukum lain (Pasal 30, 52 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009). Dalam hal permohonan kasasi dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau karena alasan hukum lain, Mahkamah Agung Republik Indonesia akan membatalkan putusan yudex facti. Terhadap hal ini ada 2 (dua) kemungkinan sikap dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu: Mahkamah Agung Republik Indonesia menyerahkan perkara tersebut ke pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutuskannya. Aspek ini didasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 yaitu mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf a Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 bahwa pembatalan itu didasarkan kepada tidak berwenang/ melampaui batas wewenangnya yudex facti yang dimohonkan kasasi, berkas perkara oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia akan dikirim kepada yudex facti yang dianggap berwenang untuk diperiksa dan diputus. Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu Apabila permohonan kasasi dikabulkan dan putusan yudex facti dibatalkan karena alasan Pasal 30 huruf b dan c Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 dan menurut 54

ketentuan Pasal 51 ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia memutus perkara yang dimohonkan kasasi itu. Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah final, yang menurut istilah R. Subekti disini dikatakan bahwa Hakim Kasasi dalam memutus perkara tersebut duduk diatas kursi yudex facti karena ia memutusi apa yang biasanya wewenang yudex facti (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi). C. PENINJAUAN KEMBALI 1. Prosedur Administrasi Peninjauan Kembali Pada dasarnya prosedural administrasi pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum bisa ditemukan, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memounyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan alasannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 2 huruf (b) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi, dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini senada dengan pasal 69 Undang-undang No. 14 tahun 1985 yang mengatur tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kembali. Pasal tersebut menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan berdasarkan alasan harus diajukan dalam tenggang waktu 180 hari untuk : (a) Yang tersebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berpekara. (b) Yang disebut pada huruf b sejak diketemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal diketemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat berwenang. (c) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan meperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. Kemudian, pernyataan peninjauan kembali dapat diminta apabila panjar perkara yang ditaksir dalam SKUM oleh meja pertama Panitra Muda Perdata yang telah dibayar lunas. Dalam 55

menaksir biaya peninjauan kembali ini, ditentukan dengan besarnya biaya peninjauan kembali yang ditentukan oleh ketua Pengadilan pertama dan ongkos pengiriman uang ke Mahkamah Agung ditambah dengan biaya berupa: Biaya registrasi (pencatatan) Biaya pemberitahuan adanya peninjauan kembali Ongkos pengiriman (pengiriman uang dan pengiriman berkas) dan Biaya pengiriman jawaban peninjauan kembali ke Mahkamah Agung Republik

Indonesia Prosedural selanjutnya apabila biaya peninjauan kembali telah dibayar lunas, Panitra Muda Perdata wajib membuat Akta Peninjauan kembali dan mencatat permohonan tersebut ke dalam register induk perkara peninjauan kembali. 2. Alasan-alasan Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali Hakikat principal dari permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan secara tertulis atau apabila permohonan tidak dapat menulis diajukan dengan dengan lisan dan menyebut alasanalasan yang dijadikan dasar permohonan dan dimasukan di Kepanitraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama ( Pasal 71 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009). Terhadap diajukan Peninjauan Kembali, secara limitative dalam perkara perdata pada umumnya Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pasal 266 KUHAP dengan menyebutkan alasan-alasan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan yang berkekuatan hokum tetap adalah: a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan. Pada asasnya, Aspek ini lazim disebut dengan istilah Novum, dan mengenai tenggang waktunya adalah 180 hari (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 296 ayat 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 dengan hari dan tanggal ditemukan Novum dibuat dibawah sumpah serta disahkan pejabat berwenang (Pasal 69 huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009). b. Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata Pada dasarnya, pembentuk Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak menyebutkan bagaimana dimensi dari ketentuan Pasal 295 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang, dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Dikaji dari praktik peradilan, hakikat kekeliruan yang nyata diartikan secara 56

letterlijke tentang kekeliruan yang nyata sebagaimana bunyi Undang-Undang dan kemudian di implementasikan sebagai kesalahan berat dalam penerapan hukum. 3. Putusan Peradilan Peninjauan Kembali Pada dasarnya, putusan peradilan terhadap Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: a. Putusan yang menyatakan bahwa permohona peninjauan kembali tidak dapat diterima Suatu permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karenan pemohon terlambat mengajukan Peninjauan Kembali sebagaimana ditentukan Pasal 69 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, permohonan Peninjauan Kembali Tanpa adanya surat kuasa, atau surat kuasa tidak khusus dibuat untuk Peninjauan Kembali, atau dapat juga disebabkan Peninjauan Kembali diajukan untuk kedua kalinya, serta Peninjauan Kembali dimohonkan terhadap Putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hokum tetap ( inkracht van gewisjde ). Tegasnya, permohonan Peninjauan Kembali dilakukan tidak memenuhi syarat formal (formalitas) sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang. b. Putusan yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali ditolak Permohonan Peninjauan Kembali dinyatakan ditolak apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pemohon tidak beralasan (Pasal 74 ayat 2 Undang-undang nomor 3 Tahun 2009). Alasan ini dapat disebabkan permohonan Peninjauan Kembali tidak didukung oleh fakta atau keadaan yang merupakan alasan dan menjadi dasar permohonan Peninjauan Kembali, atau dapat pula disebabkan alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali tidak sesuai alasan-alasan yang ditetapkan secara limitative sebagaimana ketentuan Pasal 67 huruf a Undang-undang nomor 3 Tahun 2009 atau juga dapat disebabkan putusan yudex facti yang dimohonkan Peninjauan Kembali tidak melanggar alas an-alasan permohonan Peninjauan Kembali. c. putusan yang meyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dikabulkan Suatu Permohonan Peninjauan Kembali akan dikabulkan apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia membenarkan alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali karena sesuai dengan ketentuan Pasal 67 Undang-undang nomor 3 Tahun 2009. Dalam hal Mahkamah Agung Republik Indonesia mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung akan membatalkan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri Perkaranya (Pasal 74 ayat 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. YURISPRUDENSI 57

A. PENGERTIAN YURISPRUDENSI
Istilah Yurisprudensi, berasal bahasa Latin, yaitu dari kata jurisprudentia yang berarti pengetahuan hukum. Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis peradilan sama artinya dengan kata jurisprudentie dalam bahasa Belanda dan jurisprudence dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan. ( Purnadi Purbacaraka , dkk, 1995: 121 ) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2001:1278 ) kata yurisprudensi diartikan : 1. 2. ajaran hukum melalui peradilan, himpunan putusan hakim.

Menurut istilah, terdapat berbagai definisi yang dikemukakan pada Ahli Hukum. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa variasi definisi yurisprudensi : a. Menurut Kansil ( 1993: 20 ) yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. b. Menurut Sudikno Mertokusumo ( 1991 : 92 ) yurisprudensi adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Secara ringkas singkat, menurut Sudikno, yurisprudensi adalah putusan pengadilan. c. Menurut Subekti ( 1974 : 117 ) yurisprudensi adalah putusan Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Sebagai salah satu sumber hukum, yurisprudensi dapat dimanfaatkan oleh : a) b) c) d. e. Hakim-hakim lainnya dalam mengadili perkara yang sama; Pembentukan Pemerintah; Dunia ilmu pengetahuan (pendidikan hukum). Masyarakat luas. peraturan perundang-undangan dalam membentuk atau

menciptakan hukum tertulis (Undang-undang);

B. YURISPRUDENSI PERADILAN DI INDONESIA


1. Yurisprudensi Pengadilan Agama a. Yurisprudensi Pengadilan Agama.

58

Di daerah Aceh sebelum perkara mengenai hak milik antara para akhli waris dapat diperiksa oleh Pengadilan Umum haruslah diputus terlebih dahulu keahli-warisannya serta bagian-bagian yang menjadi hak dari masing-masing akhli waris oleh Pengadilan Agama (berdasarkan P.P. No. 45/1957). b. Yurisprudensi Pengadilan Agama. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung: Mengingat akan P.P. No. 45/1957 dan Keputusan Bersama Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh dan Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Propinsi Daerah Istimewa Aceh tgl. 7 Desember 1971 mengenai penegasan wewenang antara Pengadilan Negeri sebagai Peradilan Umum dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Dalam Perkara waris mal waris dan sebagainya. Pengadilan Negeri i.c. pada pokoknya hanyalah berwenang untuk mengadili gugatan tentang penentuan hak milik, yaitu harta peninggalan dan alm. Jusuf dan Tjupolan, sedang gugatan tentang memparailkan harta-harta tersebut dan membatalkan surat hibbah serta penyerahan bagian (portie) masing-masing pihak, termasuk wewenang Pengadilan Agama /Mahkamah Syariah. Putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa harta-harta sengketa, termasuk rumah dan tanah pekarangannya, adalah harta peninggalan alm. Jusuf dan Tjupolan dapat dikuatkan; sedang putusan Pengadilan Negeri tentang memparail harta-harta sengketa (putusan alinea ke 3) dan membatalkan surat-surat hibbah (putusan alinea ice 4) serta menghukum tergugattergugat menyerahkan harta-harta sengketa yang menjadi bagian (portie) penggugat, harus dibatalkan. c. Yurisprudensi Pengadilan Agama. Berdasarkan pasal 4 (1) P.P. No. 45 tahun 1957 gugatan mengenai hibah termasuk wewenang Pengadilan Agama/Mahkamah Sjariah dan Pengadilan Umum tidak berwenang mengadilinya. (daerah Banda Aceh). (i.c. penggugat menuntut pengesahan penghibahan sawah~sawah dan kebun tersengketa serta menuntut penyerahan tanah-tanah itu kepadanya). d. Yurisprudensi Pengadilan Agama. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung : Karena di daerah Kabupaten Pare-Pare, khususnya di daerah tempat tinggal kedua pihak, perihal warisan Hukum Islam sangat kuat dan nyata pengaruhnya dikalangan mereka yang beragama Islam, berdasarkan P.P. No. 45/1957 penentuan siapa-siapa yang menjadi akhli waris dan beberapa bagian masing-masing akhli waris adalah wewenang Pengadilan 59

Agama/Mahkamah Syariah. 2. Yurisprudensi Pengadilan Negeri a. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli.

Terhadap perjanjian yang diadakan antara orang-orang Indonesia asli, sekalipun barang-barang yang diperjanjikan (i.c. rumah dan tanah) tunduk pada hukum Barat, haruslah diperlakukan hukum Adat. b. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli. Lembaga geijkstelling dalam zaman penjajahan dimaksudkan untuk memperlakukan Hukum Eropah kepada seseorang, tetapi geijkstelling dari almarhum Dr. Marzuki, berdasarkan faktatakta: bahwa perkawinan antara almarhum dengan Ny. Otoh Arwati dilangsungkan secara perkawinan Islam dimuka penghulu kota Sukabumi yang kemudian baru dicatatkan di BS. Batavia tanggal 14-12-1949. bahwa almarhum telah melakukan ibadah naik Hadji dan pernah menjadi Ketua bahwa almarhum dalam melangsungkan pernikahan putra-putrinya selalu D.P.R.D. Kota Bogor mewakili Partai Masyumi. menempuh tata cara Islam dan dalam menyelesaikan persoalan warisan almarhum Ny. Otoh Arwati, almarhum telah memanggil Ketua Pengadilan Agama Bogor dan beberapa orang lain; tidak dapat dianggap menimbulkan akibat yang dimaksudkan oleh tata hukum zaman penjajahan tersebut karena almarhum dalam tata hidupnya sehari-hari tidak pernah meninggalkan lingkungan hidupnya semula sebagai orang Indonesia asli. dan dapat pula dianggap bahwa almarhum sebagai orang Indonesia asli yang telah dipersatukan dengan golongan Eropa telah meleburkan diri kembali kedalam golongan penduduk Indonesia asli,sehingga terhadapnya berlaku Hukum Adat. c. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Arab. Mahkamah Agung anggap tepat bahwa untuk orang.orang Arab tidak diperlakukan B.W. dalam hal warisan. d. Hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Arab. Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung: Dalam hal pembagian warisan S. Umar Alatas ini diikuti hukum Islam sesuai dengan Jurisprudensi Mahkamah Agung bahwa terhadap orang-orang keturunan Arab berlaku hukum Islam, dan sesuai dengan kehendak peninggal warisan sebagaimana 60

tertera dalam akte notaris tersebut; sebagai pedoman dalam pembagian ini Pengadilan Negeri mengikuti pembagian dalam surat ketetapan/ fatwa waris dari Pengadilan Agama Tangerang tgl. 24 Mei 1973 No. 38/1973. e. Hukum yang berlaku bagi orang asing. Peraturan yang harus dilakukan terhadap hibah wasiat yang dilakukan oleh orang bangsa Asing yang berasal dari Saudi Arabia adalah peraturan yang berlaku di negara itu, sedang menurut peraturan termaksud adalah syarat mutlak bahwa pewaris dalam wasiatnya dengan tegas dan terang menyatakan kehendaknya yang terakhir itu. f. Peraturan yang berlaku. berdasarkan azas umum dalam hukum perdata, dalam hal ada dua peraturan yang mengatur hal yang sama dan memuat ketentuan yang berlainan, maka demi kepastian hukum berlakulah peraturan yang terbaru, kecuali kalau ditentukan lain dengan undang-undang. g. Hukum antar golongan. Hukum yang mengatur hubungan hukum antar seorang Indonesia asli dan seorang Tionghoa, yang kedua-duanya adalah pedagang di kota Medan, karena perjanjian pemberian kuasa yang telah mereka adakan. menurut Mahkamah Agung adalah hukum yang terdapat dalam titel Ke XVI K.U.H. Perdata, karena kedua pihak dalam hal ini dianggap tidak asing terhadap hukum perdata Barat. h. Hukum yang harus diperlakukan. Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung: bahwa karena pihak-pihak yang melakukan jual beli adalah orang-orang yang tidak sama status penggolongan rakyatnya, maka ada hubungan hukum antar golongan sehingga harus ditentukan sistim hukum manakah yang harus diperlakukan. bahwa karena persetujuan jual beli dilakukan dengan akte notaris, maka ternyata ada pilihan hukum untuk memperlakukan sistim hukum perdata Barat yang diatur dalam B.W. i. Pihak-pihak Dalam Perkara. Karena Tatsuhiko Matsuda/tergugat asal adalah wakil sah dari Shin Asahigawa Co Ltd., ia sebagai representatieve dapat digugat. Yang digugat Dalam Perkara ini adalah Tatsuhiko Matsuda sebagai kuasa dari dan atas nama Shin Asahigawa Co Ltd. yang berkedudukan di Jln. Kramat Raya 94-96 yang oleh Shin Asahigawa Co. Ltd. Tokio diakui sebagai kantomya di Jakarta. 61

oleh Pengadilan Negeri dengan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi telah diputuskan: Menyatakan gugatan penggugat yang ditunjukkan kepada tergugat pribadi tidak dapat diterima. 3. Yurisprudensi Pengadilan Tata Usaha Negara Putusan Mahkamah Agung RI No. : 01 K/TUN/1996 Tanggal 28 Mei 1998 Kaidah Hukum Walaupun putusan PTUN antara lain amarnya mengangkat sita jaminan, akan tetapi karena penggugat menyatakan banding maka status sita jaminan tersebut masih tetap melekat pada tanah tersebut; Penggugat sebagai pemegang hak dan menguasai tanah tersebut secara pisik seharusnya mendapat prioritas hak guna bangunan, karena pengurus yayasan al ihsan yang menjual tanah tersebut kepada Andrianto Gunawan keabsahan kepengurusannya masih sedang disengketakan dipengadilan tata usaha negara dan masih dalam taraf pemeriksaan tingkat banding; Putusan Mahkamah Agung RI No. 01 P/TN/1992. Tgl. 4 Juni 1993 Pengujian materiil peraturan Perundang-undangan. Permohonan agar Mahkamah Agung RI Menguji secara materiil dan menyatakan bahwa Penetapan No. Ol/Per/Menpen/1984 bertentangan dengan Undang-undang Pokok Pers dan karenanya harus dianggap batal demi hukum, tidaklah dapat dinilai, karena Menteri Penerangan tidak diikut sertakan sebagai pihak termohon untuk mengemukakan pendapatnya dan menjelaskan motivasi hukum yang relevan, yang menjadi dasar diterbitkannya peraturan tersebut. Oleh karena prosedur pengajuan perkara hak uji materiil belum diatur dengan Undang-undang, sesuai pasal 79 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung akan mengatur lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah. Putusan Mahkamah Agung RI No. 5 K/TUN/1992. tgl. 21 Januari 1993 SuratPerkara dan Tenggang Waktu untak mengajukan gugatan. Jangka waktu termaksud dalam pasal 55 UU No. 5 tahun 1986, harus dihitung sejak Penggugat mengetahui adanya keputusann yang merugikannya Pihak dalam Perkara dan Pihak tergugat. Penyebutan turut Tergugat oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan turut Tergugat I/ Pembanding Intervensi II dan turut Tergugat IMembanding Intervensi III oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta adalah tidak tepat karena tidak memenuhi isi 62

ketentuan pasal 83 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 juncto penjelasan resmi dari pasal tersebut. Dari ketentuan pasal 83 beserta penjelasan resminya, tak dimunglinkan untak atas prakarsa Penggugat sendiri menarik seseorang atau badan hulum perdata menjadi Tergugat (vide pasal 1 ayat 6 Undang-undang No. 5 tahun 1986) baik sebagai turut Tergugat ataupun Tergugat Intervensi Hubungan putusan dengan petitum Mahkamah Agung berpendapat, bahwa walaupun Penggugat-penggugat asal tidak mengajukan dalam petitum, MahLamahAgung dapat mempertimbanghan dan mengadili semua keputusan atau penetapan-penetapan yang bertentangan dengan tatanan yang ada Adalah tidak pada tempatnya bila hak menguji Hakim hanya pada objek sengheta yang telah dinjukan oleh para pihak, karena sering objek sengleta tersebut harus dinilai dan dipertimbanghan dalam kaitannya dengan bagian-bagian penetapan-penetapan atau keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak dipersengketakan antara kedua belah pihak (ultra pelita). Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor : 09 PK/TUN/1994 Tanggal : 13 Oktober 1994 Kaidah Hukum : Permohonan pembatalan surat pengosongan ruangan/toko. Bahwa dalam suatu perjanjian pemberian Hak Guna Penuh suatu bangunan/toko dimana pihak ke II menyerahkan kepada pihak lain (ke-III) dan pihak lain (ke-III) tersebut tidak melakukan kewajiban untuk membayar uang sewa, maka sesuai dengan pasal 14 (1) huruf a PP No. 55/1981 jo Kep. Mensos No. 18/Huk/Kep/V/1982, IV butir 6, hak untuk melakukan dan menerbitkan surat perintah pengosongan yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta; Referensi : M. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad By: Wahidabdulrahman

63

Anda mungkin juga menyukai