A. Pendahuluan
Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di Indonesia tidak bisa
lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para advokat Indonesia terseret dalam arus
perubahan tersebut. Pada masa pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia merdeka,
secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama perjuangan
politik dan diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan pemimpin politik Indonesia memang
terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat, dokter, insinyur dan pamong peraja.
Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan etika berpikir Eropa Barat termasuk
Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat itu, maka perannya cukup signifikan
dalam menentukan sikap politik para pemimpin Indonesia pada masanya, seperti ikut
merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.[[2]]
Di era kemerdekaan, pada masa pemerintahan Sukarno dimana politik menjadi panglima, para
advokat diam tidak bisa ikut melakukan revolusi. Dimasa itu pula kita mencatat sejarah
peradilan yang relatif bersih dan berwibawa.
Bahkan dimasa pemerintahan Suharto yang represif menggunakan kekuatan militer, Persatuan
Advokat Indonesai (peradin) dengan berani dan terbuka membela secara probono para
politikus komunis dan simpatisannya yang diadili dengan tuduhan makar tehadap Negara
Republik Indonesia, dihadapan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Dari sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan bahwa sumbangan pemikiran
para advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923, adalah sangat
besar. Pada masa itu, advokat Indonesia pertama Mr. Besar Martokoesoemo, membuka kantor
advokat ditegal, selain pak Besar sendiri, ada Sartono, Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem,
Ko Tjang Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani
Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain dan generasi yang aktif sebelum dan sesudah
kemerdekaan sampai 1960-an dan beberapa diantaranya sampai 1980-an. [[3]]
Hanya saja, akibat ombang-ambing politik, sebagai profesi para advokat Indonesia mengalami
perubahan yang membingungkan. Kalau mereka bisa aktif dalam politik pada zaman
parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan.
Pada zaman Demokrasi Terpinpin sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal,
diisolasi sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa.
[[4]]
Pada permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang dimulai dari kantor
kejaksaan, dari situ kepengadilan dan pada akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela
kliennya kecuali ikut main dalam sistem birokrasi peradilan yang korup. Kondisi demikian,
hingga pasca lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat masih belum
berubah. Pada hal Pasal 5 undang-undang No. 18 Tahun 2003, ayat (1) menyatakan bahwa
Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. [[5]] Artinya
kedudukan advokat sama dengan penegak hukum lainnya yaitu polisi,
jaksa dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang
kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), namun dalam perkembangannya
di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI) malahan terjadi perpecahan, sehingga
muncul lagi organisasi advokat lain yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal itu tentunya
sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang mendalam, meskipun ada
adagium yang sudah diketahui secara luas Tegakkan hukum walaupun langit runtuh
nampaknya harapan itu sangat jauh dari kenyataan yang dihadapi.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis yuridis perkembangan
advokat di Indonesia dari masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18
Tahun 2003 Tentang Advokat, dari berbagai literatur serta analisa ringkas terhadap aspekaspek yang terkait dengan obyek kajian ini.
B. Kedudukan Advokat Pra Kemerdekaan
pengadilan pemerintah
jaksa
dan
hakim
tidak
sebagai
notaris
dan
advokat.
[[8]]
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli
menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para advokat
Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai advokat.
Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum
di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang
ke Indonesia.[[9]]
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia
adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat
yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor
advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik
adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda
mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan. [[10]]
Sebenarnya
transplantasi
sistem
peradilan
Barat
tidak
otomatis
dipusatkan
berwenang
pada
mengadili,
kewenangan
hakim
dalam
(diskresi)
HIR
hakim.
juga
diberi
Sebab
selain
kewenangan
yang
disyaratkan
harus
memiliki
keahlian
hukum
tertentu,
sementara fungsi jaksa cukup dilakukan oleh pejabat pamong praja, dan
nasehat hukum (jika bukan hakim yang melaksanakan) bisa diberikan oleh
siapa saja selama disetujui pihak berperkara.[[12]]
Justitie), dan secara kontras mengalami kemandegan di pengadilanpengadilan pribumi (Landraad). Jika bagi advokat Eropa dibuat pengaturan
lanjutan berupa Reglement op de Rechterlijk Organisatie (RO) yang
tujuannya mengintegrasikan fungsi advokat sebagai unsur penting dari
administrasi peradilan secara keseluruhan, maka orang-orang pribumi
yang memberikan nasehat hukum (lazim disebut "pokrol bambu") diatur
dengan ketentuan seperti Stbl. 1927-496. Dasar Stbl. 1927-496 adalah
pemikiran negatif tentang pokrol bambu dan bertujuan melindungi
masyarakat dari penipuan yang mungkin dilakukan pokrol bambu. [[14]]
Adapun pengaturan advokat dapat ditemukan diberbagai peraturan pada
masa pra kemerdekaan adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang
Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada
Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum
dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya
sebelum permulaan pemeriksaan.
d.
Bantuan
Hukum,
ditentukan
bahwa
pengawasan
mengatur
tentang
penasehat
hukum
yang
disebut
dengan
hukuman
mati,
maka
magistraat
hendak
atau
RIB
(Reglemen
Indonesia
yang
diperbaharui),
kolonial
Belanda.
Bahkan
pengaturan
profesi
advokat
sejak
arah
sesuai
tarik-ulur
kepentingan
politik
pemerintah
di
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman,
yang
bantuan
hukum,
maupun
tentang
profesi
advokat
yang
bertugas
menyediakannya.
Sementara akibat sengketa hukumnya seringkali harus diselesaikan secara
formal lewat mekanisme peradilan, sesungguhnya masyarakat mulai
merasakan kebutuhan akan fungsi advokat. Kebutuhan ini diindikasikan
dengan meluasnya peran pokrol bambu yang makin terasa akrab dan
terjangkau oleh masyarakat. Pada prakteknya pun, profesi advokat di
Indonesia terus berkembang. Di banyak kota besar mulai bermunculan
kantor-kantor hukum advokat profesional, menggantikan advokat-advokat
Belanda yang semakin berkurang jumlahnya menjelang dan sesudah
pembebasan Irian Barat. Berbagai organisasi yang menaungi para advokat
(Balie van Advocaten) pun banyak berdiri, termasuk Persatuan Advokat
Indonesia (Peradin) yang didirikan pada tahun 1963.[[17]]
Guna
mengisi
kekosongan
hukum
saat
itu,
akibat
tidak
kunjung
diikuti
oleh
berbagai
peraturan
Mahkamah
Agung
dan
profesinya. Pada kongres (Peradin) yang kedua tahun 1969, Peradin Jawa
Tengah mulai memperkenalkan naskah RUU Profesi Advokat.
Tetapi upaya para advokat di Peradin tersebut tidak sepenuhnya
berhasil. Dikatakan tidak sepenuhnya berhasil karena, walau RUU Profesi
Advokat yang muatannya mengusung isu kemandirian dan kejelasan
fungsi profesi tidak kunjung diakomodasikan oleh pemerintah dan DPR,
namun lewat pemberlakuan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981), sebagian
materi bantuan hukum diatur secara cukup komprehensif. Di dalamnya
dimuat antara lain: hak advokat (penasehat hukum) untuk menghubungi
tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat
pemeriksaan; hak untuk menghubungi dan berbicara dengan tersangka
pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu dalam rangka
pembelaan perkara; serta hak untuk mengirimkan dan menerima surat
dari tersangka setiap kali dikehendaki.[[20]]
Sayangnya, tidak begitu lama advokat menikmati dampak positif dari
ketentuan KUHAP, khususnya di lingkungan peradilan pidana, beberapa
undang-undang yang diberlakukan kemudian ternyata memberi pukulan
telak bagi kemandirian advokat secara lembaga. UU No. 14 tahun 1985
tentang
Mahkamah
Agung
misalnya,
semakin
menguatkan
fungsi
mensub-ordinatkan
advokat
berikut
organisasinya
terhadap
g.
Lahirnya undang-undang advokat, merupakan hasil perjuangan yang panjang sejak dulu,
selama ini advokat selalu menjadi anak bawang dalam sistem hukum dan sistem peradilan.
Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tentang peradilan tidak
mengakui secara tegas fungsi advokat di dalamnya. Bahkan sebagian produk perundangundangan tersebut justru mendatangkan intervensi eksternal atas advokat oleh pemerintah
dan birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam undang-undang
mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan diintrodusirnya prinsip-prinsip
peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya UU Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP
(yang umumnya lebih kuat disebabkan oleh desakan internasional). Namun karena diatur
secara simbolis, maka permasalahan tentang fungsi advokat tidak secara nyata diselesaikan,
sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian masalah-masalah yang menghambat terciptanya
fair trial. Oleh sebab itulah upaya mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat
dalam sistem peradilan harus sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya
kepentingan publik dalam pelaksanaan peradilan.
Memang secara garis besar, perjuangan advokat Indonesia untuk menggolkan undangundang tentang profesi advokat dilatari oleh faktor bahwa advokat dalam prakteknya sering
mendapatkan perlakuan tidak seimbang dari unsur peradilan formal (hakim, jaksa, polisi,
panitera) saat menjalankan profesinya. Namun ternyata dalam perkembangannya, bukan itu
faktor utama. Ketidakjelasan fungsi, ketidakpastian kebijakan baik tentang rekrutmen,
pengawasan, sampai ke penindakan, belakangan malah menjadi tambang emas bagi sebagian
advokat. Sebab sekalipun SKB tahun 1987 (yang sering dijadikan simbol intervensi
pemerintah dan peradilan terhadap urusan profesi) secara formal, pada realisasinya para
hakim di pengadilan-pengadilan tidak cukup waktu (sebagian barangkali "tidak cukup
moral") untuk menegakkan ketentuan SKB tersebut. Hasilnya, advokat dapat leluasa
menjalankan praktek profesinya dengan cara-cara tidak etis, bahkan kadang melanggar
kaedah hukum, tanpa pengawasan yang berarti.[[25]]
Berawal dari Kongres Peradin tahun 1969, perjuangan advokat untuk mengupayakan
undang-undang profesinya terangkat kembali ke permukaan pada Kongres Peradin tahun
1973. RUU Pokok Advokat yang dibicarakan dalam Kongres tersebut merupakan hasil
godokan Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan membandingkan undang-undang sejenis
yang ada di negara-negara lain seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai, termasuk juga
Belanda. Namun upaya ini terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun
berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin yang menolak usulan
tersebut. Diwakili oleh Yap Thiam Hien, mereka percaya bahwa keberadaan undang-undang
advokat malah potensial semakin membahayakan kemandirian advokat sendiri.[[27]]
Setelah terbentuknya Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun 1985, upaya mengusung
RUU Advokat kembali dilakukan. Namun kala itu political will pemerintah tidak cukup
memadai untuk membawa gagasan tersebut secara resmi dalam proses legislasi. RUU
Advokat bahkan sempat beberapa kali berubah, baik nama maupun konsep pengaturannya.
Hingga akhirnya pada tahun 2000, satu klausul dalam Letter of Intent antara pemerintah RI
dengan International Monetary Fund (IMF) menyerukan perlunya diajukan RUU tentang
Profesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang berpraktek di Pengadilan disyaratkan
untuk memiliki izin praktek, dan mentaati ketentuan kode etik profesi yang seragam.[[28]]
Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah akhirnya membentuk tim perumus
RUU tentang Profesi Advokat yang dipimpin oleh HAS Natabaya (mantan Kepala Badan
Pembinaan Hukum Nasional) sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution sebagai wakil
ketua, dengan merangkul perwakilan dari beberapa organisasi advokat yang ada, seperti
Ikadin, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan
Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya
pada bulan September 2000, dengan mengajukan RUU yang dibuat kepada pimpinan DPR
RI melalui surat No. R.19/PU/9/2000.[[29]]
Sebenarnya sampai saat ini pun belum pernah dicapai kesepakatan bulat dan tuntas di antara
para advokat mengenai perlu tidaknya profesi mereka diatur dalam undang-undang
tersendiri. Selalu terdapat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan pertama,
sebagai pandangan mayoritas di kalangan advokat, menyatakan bahwa undang-undang
profesi advokat mutlak diperlukan untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan
unsur-unsur peradilan lainnya (seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara,
advokat akan terus menjadi "anak bawang" dalam proses peradilan, dan selalu dipandang
sama swastanya dengan klien yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan
perannya secara optimal karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan represi
baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.[[30]]
1. Kronologi Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun
2003)
Berikut
ini
kami
sajikan
kronologis
perjalanan
Undang-undang
R.19/Pu/9/2000,
menyampaikan
RUU
tentang
Profesi
25-26
Februari
2002,
Panja
memulai
pembahasan
Daftar
23 Mei 2002, Tujuh organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI,
AKHI, HKHPM) menetapkan Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Profesi Advokat.
Lembaran
Negara,
tanpa
tanda
tangan
Megawati. [[31]]
Presiden
Menurut Ketua Mahkama Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie
SH, dapat disimpulkan bahwa undang-undang Advokat bermasalah,
baik
itu
dari
segi
isi
maupun
proses
pembentukannya
undang-undang
Advokat
yang
dikabulkan
Mahkamah
Konstitusi.
Meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonanpermohonan tersebut di atas, namun Mahkamah Konstitusi membuat
sejumlah pendapat yang penting dalam sebagian putusan atas
perkara-perkara tersebut. Dalam perkara Sudjono cs misalnya,
Mahkamah
Konstitusi
menyatakan
kedelapan
organisasi
pendiri
pendiri
PERADI
tetap
memiliki
kewenangan
selain
Dalam
putusan
perkara
No.014/PUU-IV/2006
itu,
secara
tegas
akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain
negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat
diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui
dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum.
Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki
akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya
juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru
menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33).
terhadap
isi
undang-undang
Advokat
maupun
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
negara
hukum
menuntut
antara
lain
adanya
jaminan
orang
berhak
atas
pengakuan,
jaminan,
perlindungan
dan
Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk
kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat
dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu
unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan
hak asasi manusia. [[38]]
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun 2003
diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang kemudian lahir
PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia).
Namun dalam perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI)
malahan terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat yaitu KAI (Kongres
Advokat Indonesia). Hal itu tentunya sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan
perenungan yang mendalam.
Sebenarnya pada dua dasawarsa 1980 hingga 1990, justru sudah timbul berbagai macam
pergeseran di kalangan intern organisasi advokat. Fenomena yang dapat diajukan adalah
munculnya asosiasi pengacara baru sesudah era PERADIN antara lain IKADIN Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia ( AAI), Serikat
Pengacara Indonesia (SPI) ,Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI),
Asosiasi
Adnan
Buyung
Nasution
akhirnya
menengahi
dengan
Akhirnya muncul perseteruan diantara kedua organsasi advokat tersebut. Reaksi PERADI
menilai KAI merupakan upaya beberapa advokat yang ingin menciderai, menentang dan
atau menolak eksistensi PERADI. Padahal, masih menurut iklan itu, para advokat yang
dimaksud adalah anggota PERADI. Sebagian diantaranya bahkan menjadi bidan lahirnya
PERADI dan sekarang duduk di kepengurusan.
PERADI mengklaim KAI tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat. KAI dinilai akan merugikan dan menafikan eksistensi sekitar 19.000
advokat yang terdaftar sebagai anggota PERADI. Soal keabsahan, PERADI menegaskan
merekalah organisasi profesi advokat yang diamanatkan UU Advokat. Pendiriannya pun
sudah sesuai mekanisme, delapan organisasi yang disebut UU Advokat bersepakat
mendirikan PERADI. [[39]]
F. Penutup
Dari sekilas uraian sejarah para advokat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat
yaitu sebagai berikut:
Pertanama, pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian yang
sangat penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi, politik hukum,
maupun etika profesi para penegak hukum;
Kedua, dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan organisasi masih mampu
berperan di dalam gerakan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia;
Ketiga, pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat sebagai individu
maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak mampu menolong dirinya
sendiri untuk berperan dalam menentukan politik hukum dan reformasi hukum (termasuk
institusi hukum), penegakkan hukum dan keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan
korupsi, yang menjadi agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa memperlihatkan
indikasi yang jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek koruptif di badan
peradilan; Keempat, walaupun pada mulanya kedudukan advokat dipinggirkan baik oleh
pemerintah penjajahan maupan pemerintahan Indonesia setelah merdeka, namun dalam
perkembangannya karena peranan advokat sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat
pencari keadilan maka diberbagai perundang-undangan diatur tentang kedudukan advokat,
puncaknya pengaturan advokat diatur khusus dalam undang-undang yaitu undang-undang no
18 tahun 2003 tentang advokat. Namun sayangnya pasca lahirnya undang-undang no 18
tahun 2003 tentang advokat, terjadi perpecahan di internal organisasi advokat itu sendiri yaitu
PERADI dan KAI yang masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi
advokat, hal itu sangat disayangkan karena advokat dianggap tidak dapat melaksanakan
amanah sebagaimana ketentuan pasal 28 undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat,
dan pada akhirnya akan merugikan bagi kalangan profesi advokat itu sendiri dan juga
masyarakat pada umumnya.
Daftar Pustaka:
1.
2. S.Lev Daniel, 2001, Kata Pengantar: Advokat Indonesia Mencari Legitimasi (PSHK)
3.
[1] .Makalah untuk tugas mata kuliah Sejarah Hukum, dosen Dr.Agus Raharjo,SH.Mhum, MH Unsued, Purwokerto,
2008.
[2] . Daniel S.Lev, Kata Pengantar, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi PSHK, 2001
[3] .Ibid
[4] .Ibid
[5] Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
[6] . Khaerul H. Tanjung, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum, hal.1
[7] . Ibid
[8] . Ibid
[9] . Ibid
[10] . Ibid
[11] . Binziad Hadfi, Ruu Tentang Provesi Advokat dan Sejarah Pengaturan Advokat di Indonesia, hal. 2
[12] . Ibid
[13] .Ibid
[14] . Ibid
[15] . Khaerul H. Tanjung, Op. Cit., hal.3
http://advokatgunawanrekan.blogspot.com/2009/02/sejarah-singkat-kedudukanadvokat-di.html