Anda di halaman 1dari 27

SEJARAH SINGKAT KEDUDUKAN ADVOKAT DI INDONESIA

SEJARAH SINGKAT KEDUDUKAN ADVOKAT DI INDONESIA[[1]]


(Setudi tentang Kajian Historis Yuridis)

Ditulis Oleh: GUNAWAN,S.H.

A. Pendahuluan

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi sejarah kedudukan advokat di


Indonesia, menguraikan perkembangan advokat secara yuridis di Indonesia dari masa pra
kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di Indonesia tidak bisa
lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para advokat Indonesia terseret dalam arus
perubahan tersebut. Pada masa pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia merdeka,
secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama perjuangan
politik dan diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan pemimpin politik Indonesia memang
terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat, dokter, insinyur dan pamong peraja.
Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan etika berpikir Eropa Barat termasuk
Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat itu, maka perannya cukup signifikan
dalam menentukan sikap politik para pemimpin Indonesia pada masanya, seperti ikut
merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.[[2]]
Di era kemerdekaan, pada masa pemerintahan Sukarno dimana politik menjadi panglima, para
advokat diam tidak bisa ikut melakukan revolusi. Dimasa itu pula kita mencatat sejarah
peradilan yang relatif bersih dan berwibawa.
Bahkan dimasa pemerintahan Suharto yang represif menggunakan kekuatan militer, Persatuan
Advokat Indonesai (peradin) dengan berani dan terbuka membela secara probono para

politikus komunis dan simpatisannya yang diadili dengan tuduhan makar tehadap Negara
Republik Indonesia, dihadapan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Dari sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan bahwa sumbangan pemikiran
para advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin politik dan sosial sejak 1923, adalah sangat
besar. Pada masa itu, advokat Indonesia pertama Mr. Besar Martokoesoemo, membuka kantor
advokat ditegal, selain pak Besar sendiri, ada Sartono, Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem,
Ko Tjang Sing, Muh Yamin, Iskaq Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani
Abbas Manoppo, Yap Thiam Hien, dan lain-lain dan generasi yang aktif sebelum dan sesudah
kemerdekaan sampai 1960-an dan beberapa diantaranya sampai 1980-an. [[3]]
Hanya saja, akibat ombang-ambing politik, sebagai profesi para advokat Indonesia mengalami
perubahan yang membingungkan. Kalau mereka bisa aktif dalam politik pada zaman
parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam sistem peradilan.
Pada zaman Demokrasi Terpinpin sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga formal,
diisolasi sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa.
[[4]]
Pada permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang dimulai dari kantor
kejaksaan, dari situ kepengadilan dan pada akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela
kliennya kecuali ikut main dalam sistem birokrasi peradilan yang korup. Kondisi demikian,
hingga pasca lahirnya undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat masih belum
berubah. Pada hal Pasal 5 undang-undang No. 18 Tahun 2003, ayat (1) menyatakan bahwa
Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. [[5]] Artinya
kedudukan advokat sama dengan penegak hukum lainnya yaitu polisi,
jaksa dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang
kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), namun dalam perkembangannya
di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI) malahan terjadi perpecahan, sehingga

muncul lagi organisasi advokat lain yaitu KAI (Kongres Advokat Indonesia). Hal itu tentunya
sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang mendalam, meskipun ada
adagium yang sudah diketahui secara luas Tegakkan hukum walaupun langit runtuh
nampaknya harapan itu sangat jauh dari kenyataan yang dihadapi.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis yuridis perkembangan
advokat di Indonesia dari masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang No. 18
Tahun 2003 Tentang Advokat, dari berbagai literatur serta analisa ringkas terhadap aspekaspek yang terkait dengan obyek kajian ini.
B. Kedudukan Advokat Pra Kemerdekaan

Jika ditilik sejarahnya, fungsi advokat sebenarnya tidak lahir secara


genuine dari kultur hukum masyarakat Indonesia. Fungsi ini baru muncul
sejalan dengan ditransplantasikannya sistem hukum dan peradilan formal
oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang
berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi
pengadilan tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi wewenang
residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan
pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua,

pengadilan pemerintah

untuk orang bukan golongan eropa, pengadilan agama Islam, dan


pengadilan adat. [[6]]
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan
yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah
yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938,
putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar
hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an
beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat

sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan


hukum acara yang dikenal Herziene Inlandse Reglement (HIR).[[7]]
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja
sebagai advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool
di Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang
pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan
kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150
orang rechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi
panitera,

jaksa

dan

hakim

tidak

sebagai

notaris

dan

advokat.

[[8]]
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli
menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para advokat
Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai advokat.
Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum
di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi advokat sepulang
ke Indonesia.[[9]]
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia
adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat
yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor
advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi advokat Indonesia asli memulai praktik
adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena advokat Belanda
mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan. [[10]]
Sebenarnya

transplantasi

sistem

peradilan

Barat

tidak

otomatis

mengintrodusir fungsi advokat di dalamnya. Sebagai bukti, pemerintah


Hindia Belanda sengaja memberlakukan Herziene Indonesisch Reglement
(HIR) sebagai hukum acara bagi kalangan pribumi yang tidak mengenal
fungsi advokat, bukannya Reglement op de Strafvordering (SV) dan

Reglement op de Rechtsvordering (RV) yang memang dikhususkan buat


masyarakat Eropa di Hindia Belanda. [[11]]

HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dibentuk dengan cara pandang


yang "menggampangkan" permasalahan hukum masyarakat pribumi,
karena itu aturannya dibuat sangat sederhana. Semua proses beracara
juga

dipusatkan

berwenang

pada

mengadili,

kewenangan
hakim

dalam

(diskresi)
HIR

hakim.

juga

diberi

Sebab

selain

kewenangan

menyusun surat dakwaan (bukan jaksa), serta memberi nasehat hukum


kepada terdakwa atau pihak-pihak yang berperkara (bukan advokat atau
ahli hukum lain yang kompeten). Hal ini diperburuk oleh kualifikasi para
pelaku peradilan di HIR yang tidak ditentukan secara memadai. Hanya
hakim

yang

disyaratkan

harus

memiliki

keahlian

hukum

tertentu,

sementara fungsi jaksa cukup dilakukan oleh pejabat pamong praja, dan
nasehat hukum (jika bukan hakim yang melaksanakan) bisa diberikan oleh
siapa saja selama disetujui pihak berperkara.[[12]]

Sebagai perbandingan, pemberlakuan SV dan RV didasarkan pada


penghargaan akan kultur hukum masyarakat Eropa yang sudah maju.
Kedua ketentuan hukum acara tersebut cukup gamblang menjabarkan
prinsip-prinsip peradilan yang baik. Hakim, jaksa, dan advokat harus
berasal dari mereka yang menyandang status sarjana hukum, serta
masing-masing diberi fungsi yang jelas untuk saling mengawasi dan saling
mengimbangi. [13]

Akibatnya profesi advokat berkembang maju di pengadilan-pengadilan


yang menyelesaikan sengketa hukum masyarakat Eropa (Raad van

Justitie), dan secara kontras mengalami kemandegan di pengadilanpengadilan pribumi (Landraad). Jika bagi advokat Eropa dibuat pengaturan
lanjutan berupa Reglement op de Rechterlijk Organisatie (RO) yang
tujuannya mengintegrasikan fungsi advokat sebagai unsur penting dari
administrasi peradilan secara keseluruhan, maka orang-orang pribumi
yang memberikan nasehat hukum (lazim disebut "pokrol bambu") diatur
dengan ketentuan seperti Stbl. 1927-496. Dasar Stbl. 1927-496 adalah
pemikiran negatif tentang pokrol bambu dan bertujuan melindungi
masyarakat dari penipuan yang mungkin dilakukan pokrol bambu. [[14]]
Adapun pengaturan advokat dapat ditemukan diberbagai peraturan pada
masa pra kemerdekaan adalah sebagai berikut:
a.

Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57


tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de
justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192
mengatur tentang advocaten en procureurs yaitu penasehat hukum
yang bergelar sarjana hukum.

b.

Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de


Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad
van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang
advokat atau procureur.

c.

Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang
Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada
Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum
dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya
sebelum permulaan pemeriksaan.

d.

Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang


Memberikan

Bantuan

Hukum,

ditentukan

bahwa

pengawasan

terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang

yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh


diperintah memberi bantuan.
e.

Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan


en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de
landraden,

mengatur

tentang

penasehat

hukum

yang

disebut

zaakwaarnemers atau pada masa tersebut dikenal dengan pokrol.


f.

Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch


Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika
seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat
dihukum

dengan

hukuman

mati,

maka

magistraat

hendak

menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilan oleh


seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam
persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh
pembela untuk mempertahankan dirinya.
g.

Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch


Reglement

atau

RIB

(Reglemen

Indonesia

yang

diperbaharui),

menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara


untuk diwakili oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa
pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan
tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan
advokat Indonesia pada masa selanjutnya. [[15]]

C. Kedudukan Advokat Pasca Kemerdekaan


Perkembangan pengaturan profesi advokat di Indonesia dilanjutkan pada
masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan
perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor

Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat


pengaturan tentang kedudukan advokat dan procureur dan orang-orang
yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai
ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada
masa

kolonial

Belanda.

Bahkan

pengaturan

profesi

advokat

sejak

proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini


ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain
yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS
1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.
Memang pada pasca-kemerdekaan satu-persatu undang-undang organik di
bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman diberlakukan, lengkap dengan
fluktuasinya. Kadang menunjukkan pergerakan positif, kadang justru
berbalik

arah

sesuai

tarik-ulur

kepentingan

politik

pemerintah

di

dalamnya. Mulai dari UU No. 1 tahun 1950 tentang Susunan dan


Kekuasaan Jalannya Mahkamah Agung Indonesia yang mengakui hak
pemohon kasasi untuk mendapatkan bantuan hukum, hingga UU No. 13
tahun 1965 tentang hal sama yang membenarkan intervensi langsung
Presiden sebagai pemimpin besar revolusi ke dalam jalannya peradilan.
Padahal satu tahun sebelumnya, baru diberlakukan UU No. 19 tahun 1964
tentang

Ketentuan-Ketentuan

Pokok

Kekuasaan

Kehakiman,

yang

mengintroduksi hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi masyarakat


walau dengan batasan-batasan tertentu.[[16]]
Namun yang jelas, materi pengaturan tentang bantuan hukum yang
berarti juga menyinggung fungsi advokat pada perundang-undangan di
atas, hanya dilekatkan secara simbolis, dan tidak pernah diturunkan dalam
ketentuan yang lebih operasional. Sehingga tidak keliru jika dikatakan
bahwa pada masa tersebut, tidak ada kebijakan yang pasti tentang

bantuan

hukum,

maupun

tentang

profesi

advokat

yang

bertugas

menyediakannya.
Sementara akibat sengketa hukumnya seringkali harus diselesaikan secara
formal lewat mekanisme peradilan, sesungguhnya masyarakat mulai
merasakan kebutuhan akan fungsi advokat. Kebutuhan ini diindikasikan
dengan meluasnya peran pokrol bambu yang makin terasa akrab dan
terjangkau oleh masyarakat. Pada prakteknya pun, profesi advokat di
Indonesia terus berkembang. Di banyak kota besar mulai bermunculan
kantor-kantor hukum advokat profesional, menggantikan advokat-advokat
Belanda yang semakin berkurang jumlahnya menjelang dan sesudah
pembebasan Irian Barat. Berbagai organisasi yang menaungi para advokat
(Balie van Advocaten) pun banyak berdiri, termasuk Persatuan Advokat
Indonesia (Peradin) yang didirikan pada tahun 1963.[[17]]
Guna

mengisi

kekosongan

hukum

saat

itu,

akibat

tidak

kunjung

diperjelasnya fungsi advokat dalam perundang-undangan di bidang


peradilan sementara praktek pemberian bantuan hukum secara empirik
terus dijalankan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman
RI No. 1 tahun 1965 tentang Pokrol sebagai acuan awal. Pengaturan ini
kemudian

diikuti

oleh

berbagai

peraturan

Mahkamah

Agung

dan

Pengadilan-pengadilan Tinggi di bawahnya tentang pendaftaran advokat


dan pengacara.[[18]]
Memasuki tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi kejelasan
fungsi iadvokat. Lewat pemberlakuan UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah membuka
lebih luas pintu bagi advokat untuk memasuki sistem kekuasaan
kehakiman. Selain menjamin hak setiap orang yang berperkara untuk
mendapatkan bantuan hukum, Pasal 38 UU tersebut juga mengamanatkan
diaturnya undang-undang tersendiri mengenai bantuan hukum. [[19]]
Amanat UU itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan advokat
Indonesia untuk menggolkan undang-undang khusus yang mengatur

profesinya. Pada kongres (Peradin) yang kedua tahun 1969, Peradin Jawa
Tengah mulai memperkenalkan naskah RUU Profesi Advokat.
Tetapi upaya para advokat di Peradin tersebut tidak sepenuhnya
berhasil. Dikatakan tidak sepenuhnya berhasil karena, walau RUU Profesi
Advokat yang muatannya mengusung isu kemandirian dan kejelasan
fungsi profesi tidak kunjung diakomodasikan oleh pemerintah dan DPR,
namun lewat pemberlakuan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981), sebagian
materi bantuan hukum diatur secara cukup komprehensif. Di dalamnya
dimuat antara lain: hak advokat (penasehat hukum) untuk menghubungi
tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat
pemeriksaan; hak untuk menghubungi dan berbicara dengan tersangka
pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu dalam rangka
pembelaan perkara; serta hak untuk mengirimkan dan menerima surat
dari tersangka setiap kali dikehendaki.[[20]]
Sayangnya, tidak begitu lama advokat menikmati dampak positif dari
ketentuan KUHAP, khususnya di lingkungan peradilan pidana, beberapa
undang-undang yang diberlakukan kemudian ternyata memberi pukulan
telak bagi kemandirian advokat secara lembaga. UU No. 14 tahun 1985
tentang

Mahkamah

Agung

misalnya,

semakin

menguatkan

fungsi

pembinaan dan pengawasan terhadap advokat oleh Mahkamah Agung dan


pemerintah. Ditambah dengan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang menundukkan organisasi-organisasi advokat yang
ada saat itu ke dalam wilayah pembinaan pemerintah, sehingga setiap
saat dapat dibekukan jika dinilai oleh penguasa telah melakukan kegiatan
yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Akibatnya Peradin
yang pernah menandai masa kejayaan advokat di Indonesia terus
dilemahkan, sampai akhirnya tenggelam sama sekali.[[21]]
Prosedur pengawasan terhadap advokat sendiri kemudian dirinci dalam UU
No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Bahkan materi pengaturannya

diperluas hingga ke tingkat penindakan dengan melibatkan para Ketua


Pengadilan Negeri yang melaksanakan pengawasan secara operasional.
Materi pengaturan inilah yang kemudian menimbulkan tidak sedikit
benturan antara advokat dengan hakim di lapangan. Salah satunya
benturan antara advokat Adnan Buyung Nasution dengan majelis hakim
dalam perkara HR Dharsono. Kejadian tersebut memicu lahirnya SKB Ketua
Mahkamah Agung RI No. KMA/005/SKB/VII/1987, No. M.03-PR.08.95 tahun
1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri
Penasehat Hukum, yang secara signifikan mereduksi kemandirian advokat
dengan

mensub-ordinatkan

advokat

berikut

organisasinya

terhadap

pengadilan dan pemerintah. Malah SKB tersebut secara sepihak dijadikan


salah satu pranata hukum bagi contempt of court di Indonesia. [[22]]
Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir berikutnya, relatif
tidak membawa perubahan penting bagi kebutuhan advokat. UU No. 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan UU No. 4 tahun 1998
tentang Kepailitan, kesemuanya secara sporadis menyinggung fungsi
advokat. Berbeda dengan UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang
berkontribusi penting dalam menguatkan pelembagaan profesi advokat di
bidang non-litigasi.
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur
secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya,
padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya
menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut
profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of
law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini
juga terbawa arus kemerosotan.

Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang


mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai
berikut :
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan
Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau
wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela
atau penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42
memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c.

UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara


Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat
ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.

d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang


kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan
bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan
UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum
adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat
hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f.

UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan


69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum
berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.

g.

UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui


keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum
kepada tersangka atau terdakwa.

h. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan


Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 197[23], telah
mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri.
Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya
tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi
advokat. Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. [[24]]

D. Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun 2003)

Lahirnya undang-undang advokat, merupakan hasil perjuangan yang panjang sejak dulu,
selama ini advokat selalu menjadi anak bawang dalam sistem hukum dan sistem peradilan.
Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tentang peradilan tidak
mengakui secara tegas fungsi advokat di dalamnya. Bahkan sebagian produk perundangundangan tersebut justru mendatangkan intervensi eksternal atas advokat oleh pemerintah
dan birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam undang-undang
mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan diintrodusirnya prinsip-prinsip
peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya UU Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP
(yang umumnya lebih kuat disebabkan oleh desakan internasional). Namun karena diatur
secara simbolis, maka permasalahan tentang fungsi advokat tidak secara nyata diselesaikan,
sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian masalah-masalah yang menghambat terciptanya
fair trial. Oleh sebab itulah upaya mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat
dalam sistem peradilan harus sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya
kepentingan publik dalam pelaksanaan peradilan.

Memang secara garis besar, perjuangan advokat Indonesia untuk menggolkan undangundang tentang profesi advokat dilatari oleh faktor bahwa advokat dalam prakteknya sering

mendapatkan perlakuan tidak seimbang dari unsur peradilan formal (hakim, jaksa, polisi,
panitera) saat menjalankan profesinya. Namun ternyata dalam perkembangannya, bukan itu
faktor utama. Ketidakjelasan fungsi, ketidakpastian kebijakan baik tentang rekrutmen,
pengawasan, sampai ke penindakan, belakangan malah menjadi tambang emas bagi sebagian
advokat. Sebab sekalipun SKB tahun 1987 (yang sering dijadikan simbol intervensi
pemerintah dan peradilan terhadap urusan profesi) secara formal, pada realisasinya para
hakim di pengadilan-pengadilan tidak cukup waktu (sebagian barangkali "tidak cukup
moral") untuk menegakkan ketentuan SKB tersebut. Hasilnya, advokat dapat leluasa
menjalankan praktek profesinya dengan cara-cara tidak etis, bahkan kadang melanggar
kaedah hukum, tanpa pengawasan yang berarti.[[25]]

Agaknya faktor yang paling menentukan perjuangan mendapatkan undang-undang Advokat,


adalah polarisasi di kalangan advokat yang semakin kuat. Konflik internal di tubuh organisasi
advokat menyeruak silih berganti, bersamaan dengan terus bermainnya kepentingan
pemerintah untuk melemahkan organisasi advokat. Sehingga komunitas profesi yang kuat
yang mampu meletakkan fungsi profesi dalam kerangka sistem peradilan tidak pernah
terwujud di Indonesia. Dan akhirnya mereka mulai mencari bantuan pihak luar untuk ikut
menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan jatuh pada negara.[[26]]

Berawal dari Kongres Peradin tahun 1969, perjuangan advokat untuk mengupayakan
undang-undang profesinya terangkat kembali ke permukaan pada Kongres Peradin tahun
1973. RUU Pokok Advokat yang dibicarakan dalam Kongres tersebut merupakan hasil
godokan Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan membandingkan undang-undang sejenis
yang ada di negara-negara lain seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai, termasuk juga
Belanda. Namun upaya ini terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun
berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin yang menolak usulan
tersebut. Diwakili oleh Yap Thiam Hien, mereka percaya bahwa keberadaan undang-undang
advokat malah potensial semakin membahayakan kemandirian advokat sendiri.[[27]]

Setelah terbentuknya Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun 1985, upaya mengusung
RUU Advokat kembali dilakukan. Namun kala itu political will pemerintah tidak cukup
memadai untuk membawa gagasan tersebut secara resmi dalam proses legislasi. RUU
Advokat bahkan sempat beberapa kali berubah, baik nama maupun konsep pengaturannya.
Hingga akhirnya pada tahun 2000, satu klausul dalam Letter of Intent antara pemerintah RI
dengan International Monetary Fund (IMF) menyerukan perlunya diajukan RUU tentang
Profesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang berpraktek di Pengadilan disyaratkan
untuk memiliki izin praktek, dan mentaati ketentuan kode etik profesi yang seragam.[[28]]

Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah akhirnya membentuk tim perumus
RUU tentang Profesi Advokat yang dipimpin oleh HAS Natabaya (mantan Kepala Badan
Pembinaan Hukum Nasional) sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution sebagai wakil
ketua, dengan merangkul perwakilan dari beberapa organisasi advokat yang ada, seperti
Ikadin, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan
Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya
pada bulan September 2000, dengan mengajukan RUU yang dibuat kepada pimpinan DPR
RI melalui surat No. R.19/PU/9/2000.[[29]]

Sebenarnya sampai saat ini pun belum pernah dicapai kesepakatan bulat dan tuntas di antara
para advokat mengenai perlu tidaknya profesi mereka diatur dalam undang-undang
tersendiri. Selalu terdapat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan pertama,
sebagai pandangan mayoritas di kalangan advokat, menyatakan bahwa undang-undang
profesi advokat mutlak diperlukan untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan
unsur-unsur peradilan lainnya (seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara,
advokat akan terus menjadi "anak bawang" dalam proses peradilan, dan selalu dipandang
sama swastanya dengan klien yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan

perannya secara optimal karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan represi
baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.[[30]]
1. Kronologi Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun
2003)

Berikut

ini

kami

sajikan

kronologis

perjalanan

Undang-undang

No.18/2003 tentang Advokat. Untuk mengetahui lebih jauh sikap


masing-masing fraksi mengenai pembahasan undang-undang ini saat
dibahas pada September 2000, sebagai berikut:

28 September 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, lewat surat


bernomor

R.19/Pu/9/2000,

menyampaikan

RUU

tentang

Profesi

Advokat ke DPR. Isinya berjumlah 35 pasal;

28 Oktober 2000 , Pemerintah, lewat Menteri Kehakiman Moh.


Machfud MD, menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU Profesi
Advokat di depan Rapat Paripurna DPR;

15 November 2000, Fraksi-fraksi yang ada di DPR menyampaikan


pemandangan umum terhadap usulan Pemerintah

21 November 2000, Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum


Fraksi-Fraksi terhadap RUU Profesi Advokat. Saat itu Pemerintah
sudah diwakili Menteri Kehakiman baru Prof. Yusril Ihza Mahendra.

27 Februari 2001, Badan Musyawarah DPR menugaskan Komisi II


untuk membahas RUU tentang Profesi Advokat.

05 Februari 2002, Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Kehakiman


dan HAM membahas materi RUU secara umum.

25-26

Februari

2002,

Panja

memulai

pembahasan

Daftar

Inventarisasi Masalah (DIM).

27 Februari 2002, Panja mengundang organisasi advokat yang


tergabung dalam KKAI untuk membahas organisasi profesi dan kode
etik advokat.

23 Mei 2002, Tujuh organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI,
AKHI, HKHPM) menetapkan Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Profesi Advokat.

17 Februari 2003, Rapat Panja memutuskan untuk membentuk dan


menugaskan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk merumuskan

substansi RUU Profesi Advokat yang sebelumnya sudah disepakati


Panja. Tim langsung dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR Agustin Teras
Narang.

20-21 Februari 2003, Pembahasan di Tim Perumus.

25 Februari 2003, Laporan Tim Sinkronisasi RUU Advokat dalam


Rapat Panja Komisi II DPR

05 Maret 2003, Rapat kerja kembali dengan Menteri Kehakiman


untuk mendengarkan laporan Panja dan kemudian disempurnakan
untuk dibawa ke pembicaraan tingkat dua.

06 Maret 2003, Laporan Komisi II yang kemudian dilanjutkan


pendapat akhir Fraksi-fraksi. Pada hari yang sama Rapat Paripurna
DPR menyetujui RUU Profesi Advokat untuk disahkan menjadi
Undang-Undang.

05 April 2003, RUU Profesi Advokat diundangkan Mensesneg ke


dalam

Lembaran

Negara,

tanpa

tanda

tangan

Megawati. [[31]]

2. Uji Materil Undang-undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi

Presiden

Menurut Ketua Mahkama Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie
SH, dapat disimpulkan bahwa undang-undang Advokat bermasalah,
baik

itu

dari

segi

isi

maupun

proses

pembentukannya

(hukumonline.com, 1/12/06). Meski sejauh ini hanya satu permohonan


pengujian

undang-undang

Advokat

yang

dikabulkan

Mahkamah

Konstitusi.

Pada 2006 silam, ada tiga permohonan pengujian undang-undang


Advokat ke Mahkamah Konstitusi, sedang sisanya di tahun 2004 dan
2003. Satu-satunya permohonan judicial review undang-undang
Advokat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi pada 9 Desember
2004 adalah yang diajukan oleh Tongat dkk yang berakhir dengan
Pasal 31 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (No.
006/PUU-II/2004). Putusan ini tergolong berat bagi profesi advokat
karena Pasal 31 adalah satu-satunya ketentuan pidana dalam
undang-undang Advokat yang diharapkan dapat melindungi publik
dari praktik advokat gadungan.[[32]]

Meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonanpermohonan tersebut di atas, namun Mahkamah Konstitusi membuat
sejumlah pendapat yang penting dalam sebagian putusan atas
perkara-perkara tersebut. Dalam perkara Sudjono cs misalnya,
Mahkamah

Konstitusi

menyatakan

kedelapan

organisasi

pendiri

PERADI tetap eksis namun kewenangannya sebagai organisasi profesi


advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji,
mengawasi, dan memberhentikan Advokat, secara resmi kewenangan
tersebut telah menjadi kewenangan PERADI.[[33]]

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa kedelapan Organisasi


Advokat

pendiri

PERADI

tetap

memiliki

kewenangan

selain

kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak


dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan
eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip
kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945.
[[34]]

Dalam

putusan

perkara

No.014/PUU-IV/2006

itu,

secara

tegas

menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat


pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat
mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara yang
dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi , dengan merujuk pada putusan
atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat
pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua
orang. [[35]]

akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain
negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat
diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui
dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum.
Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki
akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya
juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru
menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33).

Demikian bunyi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam


perkara No. 006/PUU-II/2004.[[36]]

Maraknya judicial review yang mendera undang-undang Advokat


tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh kritik yang ada terhadap
undang-undang Advokat. Advokat secara umum memiliki kritik
tersendiri

terhadap

isi

undang-undang

Advokat

maupun

pelaksanaannya. Dalam berbagai kesempatan misalnya, PERADI


kerap mengeluhkan belum adanya pengakuan yang tulus akan status
advokat sebagai penegak hukum dari unsur penegak hukum lain.
Peran advokat hingga kini cenderung masih dianggap berada di luar
sistem penegakan hukum. [[37]]

E. Wadah Tunggal Advokat di Indonesia

Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia

Tahun

1945

menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.


Prinsip

negara

hukum

menuntut

antara

lain

adanya

jaminan

kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the


law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa
setiap

orang

berhak

atas

pengakuan,

jaminan,

perlindungan

dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan


hukum.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan
bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi
penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan,

Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk
kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat
dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu
unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan
hak asasi manusia. [[38]]
Sebagai organisasi profesi, advokat melalui pasal 28 undang-undang No. 18 Tahun 2003
diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang kemudian lahir
PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia).
Namun dalam perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri (PERADI)
malahan terjadi perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat yaitu KAI (Kongres
Advokat Indonesia). Hal itu tentunya sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan
perenungan yang mendalam.
Sebenarnya pada dua dasawarsa 1980 hingga 1990, justru sudah timbul berbagai macam
pergeseran di kalangan intern organisasi advokat. Fenomena yang dapat diajukan adalah
munculnya asosiasi pengacara baru sesudah era PERADIN antara lain IKADIN Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia ( AAI), Serikat
Pengacara Indonesia (SPI) ,Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI),

Asosiasi

Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar


Modal (HKHPM), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan
Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara No.014/PUU-IV/2006 itu,
secara tegas menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi
Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang
bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara
yang dimaksud oleh MK, dengan merujuk pada putusan atas perkara No.
006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat pada umumnya untuk
memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.

MK juga menyatakan bahwa kedelapan Organisasi Advokat pendiri


PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah
menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa
Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan
organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan
berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945.

Namun dalam perjalanannya organisasi advokat PERADI terpecah oleh


karena adanya ketidak puasan dari anggota PERADI itu sendiri yang
menganggap pendirian organisasi advokat Peradi sebagai wadah tunggal
organisasi advokat sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang
Advokat tidak demokratis sehingga muncul gagasan untuk membentuk
organsasi advokat yang baru yang lebih demokratis yaitu KAI (Kongres
Advokat Indonesia), setelah sempat diwarnai beberapa interupsi, advokat
senior

Adnan

Buyung

Nasution

akhirnya

menengahi

dengan

memunculkan nama KAI (Kongres Advokat Indonesia).

Akhirnya muncul perseteruan diantara kedua organsasi advokat tersebut. Reaksi PERADI
menilai KAI merupakan upaya beberapa advokat yang ingin menciderai, menentang dan
atau menolak eksistensi PERADI. Padahal, masih menurut iklan itu, para advokat yang
dimaksud adalah anggota PERADI. Sebagian diantaranya bahkan menjadi bidan lahirnya
PERADI dan sekarang duduk di kepengurusan.
PERADI mengklaim KAI tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat. KAI dinilai akan merugikan dan menafikan eksistensi sekitar 19.000
advokat yang terdaftar sebagai anggota PERADI. Soal keabsahan, PERADI menegaskan
merekalah organisasi profesi advokat yang diamanatkan UU Advokat. Pendiriannya pun
sudah sesuai mekanisme, delapan organisasi yang disebut UU Advokat bersepakat
mendirikan PERADI. [[39]]

F. Penutup

Dari sekilas uraian sejarah para advokat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat
yaitu sebagai berikut:

Pertanama, pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian yang
sangat penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi, politik hukum,
maupun etika profesi para penegak hukum;
Kedua, dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan organisasi masih mampu
berperan di dalam gerakan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia;
Ketiga, pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat sebagai individu
maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak mampu menolong dirinya
sendiri untuk berperan dalam menentukan politik hukum dan reformasi hukum (termasuk
institusi hukum), penegakkan hukum dan keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan
korupsi, yang menjadi agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa memperlihatkan
indikasi yang jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek koruptif di badan
peradilan; Keempat, walaupun pada mulanya kedudukan advokat dipinggirkan baik oleh
pemerintah penjajahan maupan pemerintahan Indonesia setelah merdeka, namun dalam
perkembangannya karena peranan advokat sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat
pencari keadilan maka diberbagai perundang-undangan diatur tentang kedudukan advokat,
puncaknya pengaturan advokat diatur khusus dalam undang-undang yaitu undang-undang no
18 tahun 2003 tentang advokat. Namun sayangnya pasca lahirnya undang-undang no 18
tahun 2003 tentang advokat, terjadi perpecahan di internal organisasi advokat itu sendiri yaitu
PERADI dan KAI yang masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi
advokat, hal itu sangat disayangkan karena advokat dianggap tidak dapat melaksanakan
amanah sebagaimana ketentuan pasal 28 undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat,

dan pada akhirnya akan merugikan bagi kalangan profesi advokat itu sendiri dan juga
masyarakat pada umumnya.

Daftar Pustaka:
1.

Tanjung H.Khaerul, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum &


Konsultan Hukum

2. S.Lev Daniel, 2001, Kata Pengantar: Advokat Indonesia Mencari Legitimasi (PSHK)
3.

Kadafi Binziad, Ruu Tentang Profesi Advokat dan Sejarah Pengaturan


Advokat di Indonesia, www.mappi.com

4. Kronologis Perjalanan Undang-undang Advokat, [5/4/04], www.hukumonline.com,


5. Hakim Amrie, Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat, [12/3/07], www.
Hukumonline.com
6. Panas Menjelang Kongres Advokat Indonesia, [16/5/08],
www.hukumonline.com
7. S.H, M.H Sujadi Suparjo, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan
Peranan Pengacara di Indonesia, www.mappi.com
8. SH, MH, Maryono Didik, Pembentukan Organisasi Advokat ( Suatu Analisis
berdasarkan Undang-Undang Advokat ), 2006 www.Solusihukum.com,
9. Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

[1] .Makalah untuk tugas mata kuliah Sejarah Hukum, dosen Dr.Agus Raharjo,SH.Mhum, MH Unsued, Purwokerto,
2008.
[2] . Daniel S.Lev, Kata Pengantar, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi PSHK, 2001
[3] .Ibid
[4] .Ibid
[5] Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
[6] . Khaerul H. Tanjung, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum, hal.1
[7] . Ibid
[8] . Ibid
[9] . Ibid
[10] . Ibid
[11] . Binziad Hadfi, Ruu Tentang Provesi Advokat dan Sejarah Pengaturan Advokat di Indonesia, hal. 2
[12] . Ibid
[13] .Ibid
[14] . Ibid
[15] . Khaerul H. Tanjung, Op. Cit., hal.3

[16] . Binziad Khadafi, Op.Cit.,hal.4


[17] . Binziad Khadafi, Ibid., hal.4
[18] . Binziad Khadafi, Ibid.
[19]. Binziad Khadafi, Ibid.
[20] . Binziad Khadafi, Ibid.
[21] . Binziad Khadafi, Ibid.
[22] . Binziad Khadafi, Ibid.
[24] . Khaerul H. Tanjung, Op. Cit.,hal.4
[25] . Binzaid Khadafi, Op.Cit.,hal.4-6

[26] . Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6


[27]. Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
[28]. Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
[29] . Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
[30] . Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
[31] .Kronologis Perjalanan UU Advokat, www.hukumonline.com, [5/4/04]
[32] . Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com [12/3/07]
[33] . Amrie Hakim,Ibid.
[34]. Amrie Hakim,Ibid.
[35] . Amrie Hakim,Ibid.

[36] . Amrie Hakim,Ibid.


[37]. Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com [12/3/07]
[38] . Didik Maryono, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia,
www.ssolusihukum.com, 20 mey 2006.
[39] . Panas Menjelang Kongres Advokat Indonesia, www.hukumonline.com, [16/5/08],

http://advokatgunawanrekan.blogspot.com/2009/02/sejarah-singkat-kedudukanadvokat-di.html

Anda mungkin juga menyukai