Anda di halaman 1dari 13

RESUME

Sejarah Perkembangan Organisasi Advokat di Indonesia

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Keadvokatan

Dosen Pengampu : M. Khoirur Rofiq

Disusun oleh :

M.Hadat Bahaul (1802026077)


Siti Malekha (1802026026)
Diana Natasya

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020

Sejarah Perkembangan Organisasi Advokat Di Indonesia

A. Era Pra Kemerdekaan


Profesi advokat sebenarnya tidak lahir secara genuine dari kultural masyarakat
Indonesia. Profesi baru ini muncul sejalan dengan diberlakukannya sistem hukum dan
peradilan formal oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sebagi salah satu negara
jajahannya.

Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam beberapa jenis; pengadilan tingkat
pertama, residentiegerecht yang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan
banding, raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan;
districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah yang menjadi cikal
bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding
pada raad van justitie.

Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, tapi sejak 1920-an dan
1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai
hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang
dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR).

Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja


sebagai Advokat, sehingga di Hindia Belanda (Indonesia) sampai era 1920-an, semua
Advokat dan Notaris adalah orang Belanda tidak seorang pun dari golongan Indonesia
Asli dan Cina yang terjun ke profesi ini pada awal dibukanya pendidikan hukum bagi
orang Indonesia, kesempatan ini hanya terbuka bagi Kaum Priyayi Jawa oleh karena
pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi pegawai pemerintah
kolonial.
Selama pertengahan Abad kesembilan belas, pendidikan yang tersedia adalah
untuk jabatan pegawai, guru, dan perawat kesehatan. Pada saat Pemerintah di Batavia
mengumumkan akan didirikan sekolah hukum bagi Orang Indonesia, para ahli hukum
Belanda menentang gagasan itu dengan alasan bahwa orang Bumi Putera tidak siap untuk
memenuhi tuntutan pendidikan dan pekerjaan hukum yang berat.

Pemerintah mengesampingkan keberatan tersebut dan pada tahun 1909 membuka


Rechtsschool di Batavia. Akan tetapi satu-satunya tujuan didirikannya Rechtsschool
adalah untuk menyediakan Panitera, Jaksa, dan Hakim. Lulusannya tidak dapat menjadi
Advokat atau Notaris. Pada tahun 1910-an akhir, para lulusan dari Rechtsschool diberi
kesempatan untuk meraih gelar meester in de rechten di Belanda.

Pada tahun 1924 sebuah fakultas hukum didirikan di Batavia, Rechtshogeschool.


Dengan tersedianya pendidikan hukum ini, maka kesempatan bagi orang Indonesia untuk
menjadi Advokat semakin terbuka. Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus
orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para Advokat
Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai Advokat. Diantara empat puluh
orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam
belas orang menjadi Advokat sepulang ke Indonesia.

Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan Advokat Indonesia adalah


Mr. Besar Martokusumo (lahir di Brebes, 8 Juli 1894, wafat 1980) yang membuka kantor
di Tegal pada tahun 1923. Mr. Besar ini bisa disebut sebagai perintis Advokat pertama di
Indonesia. Sebab pada saat itu tidak satupun kantor Advokat yang besar kecuali kantor
Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor Advokat Mr. Iskak di Batavia (Betawi).
Bagi Advokat Indonesia asli memulai praktek adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi
karena Advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.

Dapat dikemukakan berbagai pengaturan profesi Advokat pada masa pra


kemerdekaan adalah sebagai berikut:

1. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang
Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau
dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen
procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
2. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV),
dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para
pihak harus diwakili oleh seorang Advokat atau procureur.
3. Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 tentang Bepalingen Bedreffende Het Kostuum Der
Regterlijke Ambtenaren En Dat Der Advocaten, Procureur En Deurwaarders, yaitu
Peraturan Mengenai Pakaian Pegawai Kehakiman Dan Para Advokat, Jaksa dan Juru
Sita.
4. Staatsblad Tahun 1922 Nomor 522 tentang Vertegenwoordiging Van Den Lande In
Rechten, yaitu tentang mengenai Mewakili Negara Dalam Hukum.
5. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara
Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3
ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan
hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
6. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan
Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang
memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga
dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
7. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en
vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur
tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut
dikenal dengan “pokrol”.
8. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR),
dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan
sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat
hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang
penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap
orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
9. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB
(Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada
pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.

Berbagai ketentuan hukum di atas mendasari profesi Advokat pada masa pra
kemerdekaan, meski masih mengutamakan Advokat Belanda. Akan tetapi berbagai
pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan Advokat Indonesia pada masa
selanjutnya.
B. Era Pasca Kemerdekaan
Perkembangan pengaturan profesi Advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa
pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti
mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah
KUHPidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan Advokat dan procureur dan
orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi Advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan
perundang-undangan termasuk di dalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda.
Bahkan pengaturan profesi Advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang
mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah Advokat atau
istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS
1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.
Undang-undang organik di bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman di
berlakukan lengkap dengan fluktuasinya pada pasca-kemerdekaan. Kadang menunjukkan
pergerakan positif, kadang justru berbalik arah sesuai tarik-ulur kepentingan politik dari
pemerintah di dalamnya. Mulai dari UU No. 1 tahun 1950 tentang Susunan dan
Kekuasaan Jalannya MAhkamah Agung Indonesia yang mengakui hak pemohon kasasi
untuk mendapatkan bantuan hukum, hingga UU No.13 tahun 1965 tentang hal sama yang
membenarkan intervensi langsung Presiden sebagai pemimpin besar revolusi ke dalam
jalannya peradilan. Padahal UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan –Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang mengintroduksi hak untuk mendapatkan bantuan hukum
bagi masyarakat walaupun dengan batasan-batasan tertentu, baru diberlakukan satu
tahun sebelumnya.
Yang jelas pada perundang-undangan di atas materi pengaturan tentang bantuan
hukum yang berarti juga menyinggung fungsi advokat hanya dilekatkan secara simbolis
saja, dan tidak pernah diturunkan dalam ketentuan yang lebih operasional.
Meskipun masyarakat mulai merasa membutuhkan akan fungsi advokat untuk
menyelesaikan sengketa hukum secara formal lewat mekanisme peradilan, namun pada
masa-masa awal pasca kemerdekaan tidak ada kebijakan yang pasti tentang bantuan
hukum, maupun tentang profesi advokat yang bertugas menyediakannya. Kebutuhan ini
diindikasikan dengan meluasnya peran pokrol bamboo yang semakin terasa akrab dan
terjangkau oleh masyarakat. Pada prakteknya pun, profesi advokat di Indonesia terus
berkembang. Kantor-kantor hukum advokat professional mulai bermunculan di kota-kota
besar mengantikan advokat-advokat Belanda yang semakin berjurang jumlahnya
menjelang dan sesudah pembebasan Irian Barat. Berbagai organisasi yang menaungi para
advokat (Balie van Advocaten) pun bantak berdiri, termasuk Persatuan Advokat
Indonesia (Peradin) yang didirikan pada tahun 1963.

C. Era Orde Baru


Era Orde Baru berlangsung sejak dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966,
pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sampai lahirnya era reformasi pada Mei
1998. Pada awal pemerintahan orde baru ini belum juga ada kemajuan yang berarti bagi
perkembangan profesi advokat. Perhatian pemerintah hanya tertuju pada stabilitas politik,
keamanan dan ekonomi. Pembagunan hukum dan penegakan keadilan, termasuk juga
fungsi advokat masih belum tersentuh.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehakiman RI No. 1 tahun 1965
tentang Pokrol sebagai acuan awal, guna untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak
kunjung diperjelasnya fungsi advokat dalam perundang-undangan di bidang peradilan.
Peraturan Menteri tersebut kemudian diikuti oleh berabgai peraturan Mahkamah Agung
dan Pengadilan-pengadilan Tinggi di bawahnya tentang pendaftaran advokat dan
pengacara.
Memasuki tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi kejelasan
mengenai fungsi advokat. Lewat pemberlakuan UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pemerintah membuka lebih luas
pintu bagi advokat untuk memasuki sistem kekuasaan kehakiman. Selain menjamin hak
setiap orang yang berperkara untuk mendapatkan bantuan hukum, Pasal 38 UU tersebut
juga mengamanatkan diaturnya undang-undang tersendiri mengenai bantuan hukum.
Amanat UU itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan advokat Indonesia
untuk menggolkan undang-undang khusus yang mengatur profesinya. Pada tahun 1969
diselengarakan kongres (Peradin) yang ke dua, dan disitulah mulai diperkenalkan naskah
RUU Profesi Advokat oleh Peradin Jawa Tengah. Namun upaya para advokat di Peradin
tiak sepenuhnya berhasil, karena RUU Profesi Advokat yang mengusung isu kemandirian
dan kejelasan funsi profesi tidak kunjung diakomodasukan oleh pemerintah dan DPR.
Sehingga ironi sekali dalam pembangunan hukum di Indonesia tidak mengatur
secara khusus profesi advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini
sebagai salah satu unsur penegak hukum. akibatnya menimbulkn berbagai keprihatinan
dan kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa
hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum
ini juga terbawa arus kemrosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang
mengisyaratkan pengakuan terhadp profesi ini, antara lain yaitu:

a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam
Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi
kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b. UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan
istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c. UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum
bagi tersangka atapun Terdakwa.
d. UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian
diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14
Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan
kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka
pengadilan.
f. UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74
mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan
tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g. UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat
hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman, dan sebagainya.

Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU No 14 Tahun 1970 , telah mengisyaratkan


perlunya pengaturan profesi advokat dalam UU tersendiri. Namun hal itupun tidak
menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan pengaturan tersebut semakin
besar di kalangan organisasi advokat. Setelah 33 tahun lamanya, barulah perjuangan itu
berhasil melalui UU No. 13 tahun 2003 tentang Advokat.

D. Era Reformasi
Era revormasi ini dimulai sejak mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21
Mei 1998 akibat demo masyarakat yang sangat kuat yang motori oleh mahasiswa
diseluruh pelosok tanah air.
Tuntutan reformasi yang paling keras dikumandangkan adalah agar
penyelewengan dan ketidak adilan yang terjadi secepatnya dibongkar. Dari sini, maka
banyak para mantan dan pejabat tersandung kasus hukum, keluarga cendana , para
pengusaha menjadi tersangka. Ini semua memerlukan jasa advokat, profesi advokat atau
pengacara menjadi popular karena mendampingi dan membela orang-orang terkenal.
Karena sebenarnya tidak ada advokat yang terkenal dengan sendirinya, kecuali membela
orang terkenal. Maka dikenallah nama-nama seprti: Juan Felik Tampubolon, elsa Syarif,
Todung Mulya Lubis, Ruhut Sitompul, Hendardi, Bambang Wijoyanto, Hotman Paris
Hutapea, Hotman Sitopul, dan lain-lain. Mereka menjadi terkenal karena membela dan
menjadi kuasa hukum orang-orang penting di negri ini.
Pada era revormasi, tahun 200, 7 organisasi advokat (APSI belum berdiri) yang
ada bergabung dalam wadah Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Tugas dari KKAI
yaitu: menyelenggarakan ujian advokat bersama MA dan DepkehHAM dan mengawal
pembahasan RUU Advokat. Sebelumnya ujian-ujian pengacara praktek diselenggarakan
oleh Pengadilan Tinggi di tingkat Propinsi atau kordinasi dari Mahkamah Agung, dan
belum melibatkan organisasi advokat. Kemudian setelah terbentuknya KKAI mulailah
diselenggarakan ujian advokat secara nasional bersama.
KKAI ini bertahan lahirnya UU-18/2003 tentang Advokat, dan bahkan undang-
undang mengamanatkan kepada 8 organisasi advokat yang bergabung dalam KKAI untuk
sementara melaksanakan undang-undang advokat sampai terbentuknya organisasi
advokat baru berdasarkan UU pasal 32 ayat 3.

E. Era Pasca UU Advokat


Lahirnya undang-undang advokat, merupakan hasil perjuangan yang panjang
sejak dulu, selama ini advokat selalu menjadi “anak bawang” dalam sistem hukum dan
sistem peradilan. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tentang
peradilan tidak mengakui secara tegas fungsi advokat di dalamnya. Bahkan sebagian
produk perundang-undangan tersebut justru mendatangkan intervensi eksternal atas
advokat oleh pemerintah dan birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat
dalam undang-undang mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan
diintrodusirnya prinsip-prinsip peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya UU
Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP (yang umumnya lebih kuat disebabkan oleh desakan
internasional). Namun karena diatur secara simbolis, maka permasalahan tentang fungsi
advokat tidak secara nyata diselesaikan, sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian
masalah-masalah yang menghambat terciptanya fair trial. Oleh sebab itulah upaya
mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat dalam sistem peradilan harus
sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya kepentingan publik dalam
pelaksanaan peradilan.
Berawal dari konggres pradin tahun 1969 perjuangan advokat untukmengupyakan
UU provesinya terangkat kembali ke permukaan pada konggres peradin tahun 1973 RUU
pokok advokat yang di bicarakan dalam konggres tersebut merupakan golongan peradin
di Jawa Tengah dengan membandingkan undang-undang sejenis yng ada di negara
negara lain seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai termasuk juga Belanda.

Setelah terbentuknya ikatan advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun 1985 upaya
mengusung RUU .Advokat kembali dilakukan namun kala itu political will pemerintahan
tidak cukup memadai untuk membawa gagasan tersebut secara resmi dala proses legilasi
RUU Advokat ahkan sempat beberapa kali berubah baik nama maupun konsep
pengaturannya. Hingga akhirnya pada tahun 2000, satu klausal dalam letter of intent
antara pemerintah Ri dan International Monetary Found (IMF) menyerukan perlunya
diajukan RUU tentang provesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang berpratek
di Pengadilan disyaratkan untuk memiliki izin praktek, dan mentatai kode etik provesi
yang seragam.22

Dalam rangka melaksanakan klausal tersebut, pemerintah akhirnya membentuk


perumus RUU tentang Provesi Advokat yang dipimpin oleh HAS Natabaya (mantan
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional) sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution
(sebagai wakil ketua).

Menurut beberapa ahli, sampai saat ini belum pernah dicapai kesepakatan bulat
dan tuntas di antara para advokat mengenai perlu tidaknya profesi mereka diatur dalam
undang-undang tersendiri. Selalu terdapat dua pandangan yang saling berseberangan.
Pandangan pertama, sebagai pandangan mayoritas di kalangan advokat, menyatakan
bahwa undang-undang profesi advokat mutlak diperlukan untuk menyetarakan status
antara profesi advokat dengan unsur-unsur peradilan lainnya (seperti polisi, jaksa, dan
hakim). Tanpa status yang setara, advokat akan terus menjadi “anak bawang” dalam
proses peradilan, dan selalu dipandang sama swastanya dengan klien yang diwakili.
Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal karena rentan
terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan represi baik dari polisi, jaksa, maupun
hakim.
Proses panjang RUU Advokat sehingga menjadi UU-18/2003 secara kronologis
dapat di kemukakan sebagai berikut:

1. 28 September 2000, Presiden Abdurrahman Wahid, lewat surat bernomor


R.19/Pu/9/2000, menyampaikan RUU tentang Profesi Advokat ke DPR. Isinya
berjumlah 35 pasal;
2. 28 Oktober 2000 , Pemerintah, lewat Menteri Kehakiman Moh. Machfud MD,
menyampaikan keterangan pemerintah atas RUU Profesi Advokat di depan Rapat
Paripurna DPR;
3. 15 November 2000, Fraksi-fraksi yang ada di DPR menyampaikan pemandangan
umum terhadap usulan Pemerintah
4. 21 November 2000, Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi
terhadap RUU Profesi Advokat. Saat itu Pemerintah sudah diwakili Menteri
Kehakiman baru Prof. Yusril Ihza Mahendra.
5. 27 Februari 2001, Badan Musyawarah DPR menugaskan Komisi II untuk
membahas RUU tentang Profesi Advokat.
6. 05 Februari 2002, Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Kehakiman dan HAM
membahas materi RUU secara umum.
7. 25-26 Februari 2002, Panja memulai pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM).
8. 27 Februari 2002, Panja mengundang organisasi advokat yang tergabung dalam
KKAI untuk membahas organisasi profesi dan kode etik advokat.
9. 23 Mei 2002, Tujuh organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI,
HKHPM) menetapkan Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan
Profesi Advokat.
10. 17 Februari 2003, Rapat Panja memutuskan untuk membentuk dan menugaskan
Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk merumuskan substansi RUU Profesi
Advokat yang sebelumnya sudah disepakati Panja. Tim langsung dipimpin oleh
Ketua Komisi II DPR Agustin Teras Narang.
11. 20-21 Februari 2003, Pembahasan di Tim Perumus.
12. 25 Februari 2003, Laporan Tim Sinkronisasi RUU Advokat dalam Rapat Panja
Komisi II DPR.
13. 05 Maret 2003, Rapat kerja kembali dengan Menteri Kehakiman untuk
mendengarkan laporan Panja dan kemudian disempurnakan untuk dibawa ke
pembicaraan tingkat dua.
14. 06 Maret 2003, Laporan Komisi II yang kemudian dilanjutkan pendapat akhir
Fraksi-fraksi. Pada hari yang sama Rapat Paripurna DPR menyetujui RUU Profesi
Advokat untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
15. 05 April 2003, RUU Profesi Advokat diundangkan Mensesneg ke dalam
Lembaran Negara, tanpa tanda tangan Presiden Megawati.

Singkatnya, Pertimbangan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang


Advokat adalah:

bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila


dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan
berkeadilan;

bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh
dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab,
untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum
bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak
asasi manusia;

bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab
dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi
terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum;

bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yang


berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,


huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Advokat.
Referensi :

Anda mungkin juga menyukai