Anda di halaman 1dari 13

PERANAN ADVOKAT DALAM SISTEM PERADILAN HUKUM DIINDONESIA BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa negara indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntuk antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum ( equality before the law). Oleh karena itu, Undang-undang dasar juga menentuksn bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003, yaituOrganisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara. Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat

berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat. Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Untuk menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organisasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organisasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perangkat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh dijadikan pedoman perilaku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terserbut hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya biasa dilupakan. Demikian pula halnya UU Advokat telah menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat. Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui

pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif. Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana peran Advokat dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum? 2. Apa Kendala dalam pelaksanaan bantuan hukum pada setiap tingkat peradilan pidana?

BAB II PEMBAHASAN A. Peran Advokat dalam Pelaksanaan Bantuan Hukum Advokat sebagai penegak hukum, harus mampu mengoreksi dan mengamati putusan dan tindakan para ptaktisi hukum lainnya. Advokat harus tanggap terhadap tegaknya hukum dan keadilan ditengah lapisan masyarakat, dengan menghilangkan rasa takut kepada siapapun dan tidak membeda-bedakan tempat, etnis, agama, kepercayaan miskin dan kaya dan lain sebagainya untuk memberi bantuan hukum setiap saat. Menurut Arip yogiawan mengatakan bahwa: seorang advokat selalu harus fleksibel dan kreatif serta mempunyai kualifikasi dan karakter pribadi yang substantif antara lain harus mempunyai dosis fighting spirit yang cukup karena tanpa dilengkapi oleh suatu fighting spirit, maka sulit diharapkan seorang advokat dapat bekerja secara maksimal. Untuk menciptakan seorang advokat profesional dan berdedikasi tinggi, maka diperlukan beberapa faktor penunjang, antara lain:1 1. Penguasaan sistem integensia Mempelajari berkas perkara dengan mengkonsentrasi potensi yang sesuai kasus perkara pada ahlinya Menyesuaikan situasi dan kondisi pada saat observasi kelapangan dengan memanfaatkan sarana dan prasarana. 2. Pendalaman ilmu pengetahuan Memilih bidang hukum yang dikuasai dan disenangi. Memperdalam dan menggali spesialisasi hukum dan memperkaya khasana kepustakaan. Senantiasa mengikuti perkembangan hukum Aktif seminar dan diskusi tentang hukum

3. Peningkatan penanganan perkara Awal dimulai profesi advokat 100% menangani perkara prodeo dan probono. Perimbangan penanganan perkara prodeo/ probono dengan hinirarium profesi. 4. Komunikasi Profesi
1

Yesmi Anwar & Adang,Sistem Peradilan Pidana (konsep, komponen & pelaksanaannya dalam penegakan Hukum diIndonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.

Peningkatan hubungan yang harmonis dengan penegak hukum sesama advokat, Porli, Jaksa, Hakim dan Pemerintah.

Menjalin hubungan dengan Mass Media

Kualifikasi Advokat yang profesional dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu sebagao berikut: 1. Kepribadian Advokat Kepribadian seorang Advokat menurut UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Jo Kode Etik Advokat adalah sebagai berikut: "Advokat/ penasehat hukum adalah warga negara indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria jujur dalam mempertahankan keadilandan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia demi tegaknya hukum, setiakepada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945". Maka dalam hal ini, seorang advokat harus bersedia memberikan nasehat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan tanpa membedakan kedudukan,,suku, agama dan kedudukan sosianya. Disamping itu advokat dalam menjalankan tugasnya tidak semata-mata mencari imbalan materiil, tetapi terutama berjuang untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran dengan cara jujur dan bertanggungjawab". 2. Hubunganadvokatdenganklien Menjaga dan mempertahankan hubungan baik dengan klien adalah tugas utama seorang advokat. Karena disamping klien merupakan sumber penghasilan, juga oleh karena profesi advokat merupakan jasa. Kepercayaan dari pencari keadilan dalam menegakkan hokum dan keadilan menjadi sangat penting. Jangan sampai kepercayaan yang diberikan hilang, oleh karena klien merasa diabaikan kepentingannya. Apalagi advokat menyalahgunakan kepercayaan klien. Oleh karena itu advokat wajib mengurus kepentingan. Klien lebih dulu dari pada kepentingan pribadi advokat. Kode eTik advokat tidak membenarkan seorang advokat memberikan janji-janji kepada klien bahwa perkaranya akan dimenangkan ataupun janji-janji lain yang bersifat

memberikan harapan. Advokat hanya boleh menjanjikan bahwa perkaranya akan diurus sebaik-baiknya dengan mengarahkan segala daya kemampuan guna memenangkan perkaranya. 3. Cara bertindak menangani perkara Mengenai cara advokat bertindak dalam menanganiperkara, kode etik telah

mengaturnya dalam Kode Etik Advokat, yaitu sebagai berikut: Advokat/ penasehat hukum bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapatnya yang dikemukakan dalam persidangan, dalam rangka pembelaan suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya, baik dalam sidang terbuka mau pun sidang tertutup, yang diajukan secara lisan atau pun tertulis, asalkan pernyataan atau pendapat tersebut dikemukakan secara profesiaonal dan tidak berlebihan dengan perkara yang ditangani. Advokat/ penasehan hokum mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hokum secara cuma-cuma (Prodeo) bagi orang yang tidak mampu, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana bagi orang yang disangka/ didakwa berbuat pidana baik pada tingkat penyidikan maupun dimuka pengadilan yang oleh pengadilan diperkenankan beracara secara cuma-cuma. Advokat tidak dibenarkan menghubungi saksi-saksi pihak lawan untuk

mendengarkan mereka dalam perkara yang bersangkutan. Dalam suatu perkara yang sedang berjalan dipengadilan, advokat hanya dapat menghubungi hakim bersama-sama advokat pihak lawan dan salam menyampaikan surat menyurat tersebut advokat pihak lawan diberikan tembusan. Mengenai cara bertindak dalam menangani suatu perkara tindakan seorang advokat dalam menangani perkara tidak boleh menyimpang dari kode etik yang telah ditentukan, yang intinya seorang advokat tidak boleh melakukan kecurangan guna memenangkan perkaranya dalam menangani perkara yang menjadi tanggung jawabnya.

B. Kendala dalam pelaksanaan bantuan hukum pada setia tingkat peradilan pidana Lembaga peradilan (Pengadilan) sebagai salah satu bagian dari sistem peradilan pidana, akhir-akhir ini kembali menjadi pembicaraan yang hangat. Pembicaraan yang menyinggung peradilan (Pidana) ini tidak melalui tulisan-tulisan, akan tetapi juga melalui diskusi-diskusi ilmiah. Hal itu dilakukan, karena lembaga peradilan, memainkan peranan yang sangat peNting. Lembaga peradilan dalam hal ini diberi mandat untuk mengelola segala permaslahan hukum dari setiap warga negara dalam mencari keadilan. Selain itu juga lembaga ini menjadi andalan masyarakat dan bahkaN menjadi tumpuan dan harapan terakhir bagi mereka yang mencari keadilaN melalui hukum. Satjipto Rahardjo mengatakan agar mampu melihat dan menilai, dan memutuskan apakah institusi peradilan berlaku untuk semua atau hanya golongan orang tertentu. Lewat sindirannya The have always come out ahead akan menyadarkan kita mengenaik eksistensi peradilan. Benarkan institusi peradilan telah menjalakan misinya sebagai institusi keadilan bagi semua. Hal diatas, dapat dilihat dari pemberian hak tersangka dalam bentuk bantuan hukum, dalam pemenuhan HAM tersangka atau terdakwa apabila memang keceNdrungan bahwa antara aparat penegak hukum justru tidak memenuhi kewajiban sebagai prosedur yang ditentukan dalam KUHAP, makan aspek pengawasan terhadap aparat dimaksudkan yang menjadi kendala. Faktor-faktor yang menghambAt pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum dalam praktik peradilan pidana diindonesia adalah: 1. Pandangan masyarakat terhadap advokat bahwa bantuan jasa hukum yang diberikan advokat, pengacara atau pembela meRupakan komoditi atau barang mewah yang hanya dapat dijangkay oleh orang kaya. 2. Ketersediaan penasihat hukum sangat terbatas dan hanya ada dikota-kota besar. Hal ini dikarenakan jumlah kasus yang sedikit menyebabkan keengganan dari para advokat untuk menjalankan profesinya didaerah-daerah terpencil. 3. Masih kurangnya jumlah penasihan hukum dan kurangnya tenaga penasihat hukum yang profesionAl dan terdakwa sendiri untuk tidak mau didampingi penasihat hukum.

4. SDM aparat penegak hukum yang tidak siap kalau harus berhubungan dengan advokat dan Sikap apatis yang menganggap advokat yang sudah terkenal pasti tidak mau menangani perkara prodeo. 5. Keterbatasan anggaran dari Departemen Kehakiman dan HAM untuk biaya bantuan hukum itu sendiri. Kendala yang lebihutama adalah, kurangnyamekanismekontrol internal oleh beberapa kalangan dianggap kurang mampu mengatasi permasalahan penyimpangan dalam instansi penegak hukum yang ada saat ini. Lemahnya mekanisme kontrol pada tiap-tiap sub sistem tidaK dapat dilepaskan dari ketentuan perundang-undangan yang mendasarinya. Selayaknya mekanisme kontrol Dimaksudkan untuk memastikan kinerja setiap lembaga dalam mencapai tujuan organisasi yang telah digariskan. Sejauh ini cukup banyak alternatif diajukan untuk mengembangkan pola dasar yang cukup memadai bagi peningkatan kinerJa praktisi peradilan dan sejauh ini hasilnya belum memuaskan meskipun selalu tidak akan memuaskan. Keprihatinan itu tentu saja tidak semata-mata terbatas pada persoalan praktisi, akademisi, hakim, jaksa dan lainnya tetapi meluas untuk bidang kajian hukum secara umum. Suatu debat yang sulit dipecahkan apabila daya jangkau fungsi kontrok harus meliputi berbagai perilaku setiap praktisi peradilan, hakim dan jaksa agar

merekaberperilakusesuai denganstandar yang sudah ditentukan selama diluar tugasnya. Seharusnya demikian, adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut. Misalnya seorang polisi yang mabuk-mabukan dijalan, jaksa yang berhubungan seks dan hidup tanpa ikatan perkawanian, hakim yang bergaul dengan pejabat terkenal, atau seorang pengacara yang terlibat homoseksual sampai pada obat terlarang, semua perilaku itu sedikit dari sekian banyak contoh. Organisasi Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, serta kantor hukum tidak mempunyai wewenang untuk mendikte standar perilaku Diluar tugas seperti itu. Pada spektrum lain, dengan diberikannya mandat, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan organisasi praktisi pengadilan harus dapat menentukan standar perilaku yang sangat keras dengan cakupan luas sehingga diluar waktu tugasnya. Berbagai hambatan pemberian bantuan hukum, dalam pemeriksaan perkara pidana, pada dasarnya meliputi distorsi komunikasi, lemahnua kontrok internal ( Struktur ), dan kontrok eksternal, kultur dan struktur peradilan yang kurang mendukung, lemahnya

penegakan etika dan perlunya pembenahan subtansi hukum. Peta ini menjelaskan persoalan cukup luas sekaligus spesifik, bersangkut paut dengan standar perilaku kontrol dalam persoalan dipengadilan. Kontrol dibentuk melalui aparatur yang memiliki hubungan bertautan dengan berbagai faktor dalam peradilan. Kontrol adalah aktifitas dan proses. Perilakuperilaku dikatakan saling bertautan bila seorang bergantung pada perulaku orang lAin. Melalui pandangan demikian, berbagai upaya untuk membangun kontrol dalam pemeriksaan perkara pidana. Struktur dan kultur menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan tersebut terutama proses pemaknaan melalui komunikasi atau interaksi. Kendala-kendala lain yang muncul berkaitan dengan fungsi peradilan pidana sebagai sarana kontrol disebabkan karena seringkali terdapat suatu penafsiran yang berbeda-beda dari para aparat penegak hukum, bahkan seringkali terdapat suatu penafsiran yang berbeda-beda dari para aparat pEnegak hukum, bahkan seringkali mengarah pada ketidak patuhan terhadap hukum positif yang ada, baik dalam hukum acara pidana, hukum acara lainnya maupun administrasi peradilan dalam praktek sehari-hari dilembaga peradilan. Baik dalam bentuk lembaga ataupun sekedar sistem yang mempunyai otoritas dalam menyatakan bahwa seorang aparat lembaga peradilan telah melanggar hukum acara, serta mempunyai kewenangan memberikan sanksi langsung melalui instansinya. Perlu ada kontrol antara institusi yang satu dengan institusi yang lain dan permasalahan sarana prasarana serta kesejahteraan aparat penegak hukum menjadi salah satu kendala dalam Memperbaiki kualitas penegakan hukum diindonesia. Masalah kesejahteraan para aparat penegak hukum harus mendapat perhatian. Peningkatan kesejahteraan tersebut dinilai dapat meningkatkan kinerja aparat hukum dan untuk mengurangi kecendrungaN melakukan kolusi dan korupsi. Masalah kemandirian aparat penegak hukum menjadi salah satu unsur yang paling penting dalam upaya memberikan pelayanan hukum pada masyarakat. Permasalahan indikaSi adanya mafia peradilan dan praktek jual beli putusan merupakan salah satu penyimpangan yang paling banyak ditemui dari kalangan pengacara saat berpraktek dipengadilan. Kedua hal tersebut menimbulkan akibat sampingan, Antara lain kecendrungan masyarakat untuk main hakim sendiri semakin tinggi. Masalah intervensi dari kalangan eksekutif dan legislatif atas kekuasaan yudikatif dinilai oleh sebagai salah satu faktor penyebab rusaknya peradilan diindonesia. Pada masa orde baru dan era reformasi saat ini, intervensi atas proses peradilan sering kali terjadi, kasusnya dilakukan oleh kalangan eksekutif dan legislatif. Intervensi yang

seringkali dilakukan oleh kedua lembaga tersebut merupakan hal yang paling banyak mendapat sorotan dari pada keluhan atas kelambatan hakim dalam menangani suatu perkara menjadi salah satu faktor penyebab wajah buruk peradilan indonesia. Hakim banyak yang menunda putusan. Selain itu secara teknis, hakim cenderung menggampangkan masalah. Masalah peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih menjadi salah satu faktor penyebab buruknya kondisi peradilan. Kesejahteraan aparat penegakan hukum harus mendapat perhatian sehingga mereka dapat bekerja dengan baik dan dapat menghindarkaN diri dari keceNdrungan untuk melakukan tindakan KKN. Dan sluruh proses peradilan tersebut harus dapat diawasi, saat ini masalah pengawasan Dinilai tisak berjalan dengan baik. Walaupun setiap institusi peradilan telah memiliki lembaga pengawas. Ada pun yang menjadi factor dominan penyebab buruknya kondisi peradilan Indonesia itu adalahsebagaiberikut: 1. Peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. 2. Perbedaan penafsiran atas peraturan perundang-undangan. 3. SDM yang tidak berkualitas. 4. Terjadi KKN dilembaga Peradilan. 5. Lain-lain. Apabila ditelaah lebih jauh, kualitas sumber daya manusia adalah salah satu bidang yang menjadipusat perhatian masyarakat pemerhati hukum diindonesia ini. Keprihatinan akan keadaan tersebut, dipaparkan oleh sistem pengawasan bagi aparat yang sangat lemah menyebabkan permasalahan kualitas SDM menjadi prioritas pembenahan dalam mewujudkan sistem peradilan diindonesia. Memperhatikan tindak kepercayaan aparat penegak hukum yang tidak terlalu baik terhadap sistem, pengawasan yanng berjalan didalam lembaganya. pengawas internal tersebut disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Tingginya espit de corps; 2. Terbentuknya hukum baru berupa perlindungan profesidan hukum tutup mulut bila itu menyangkut kelemahan/kesalahan sesama teman atau kelemahan organisasi; 3. Ketiadaan kesepakatan mengenai tujuan yang sama dari seluruh sub sistem, (diduga keras menjadi penyambung masalah terhadap kondisi ini). Kelemahan lembaga

Dapat ditarik kesimpulan bahwa langkah kedua adalah menata kembali peraturan perundang-undangan. Pilihan melakukan penggantian SDM merupakan langka ketiga yang disarankan untuk dilakukan. Tetapi pilihan tersebut merupakan pilihan yang dinilai cukup ekstem. Secara umum jawaban yang berhasil didapat adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan kesejahteraan para aparat penegak hukum. 2. Meningkatkan sistem pengawasan internal dan Eksternal. 3. Menerapkan sistem reward And punishment bagi aparat penegak hukum. 4. Memperbaiki sistem birokasi lembaga peradilan yang ada saat ini. 5. Memperbaiki sistem rekRuitment petugas peradilan. Selanjutnya, sebagai tindakan preventif sekaligus represif agar tercipta suatu keadaan dunia peradilan sebagaimana yang diharapkan adalah dengan menciptakan suatu sistem penegakan hukum bagi aparat peradilan secara lebih tegas. Saat ini yang perlu untuk dibenahi adalah sistem yang berjalan dalam peradilan saat ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah diadakannya suatu sistem pengawasan bagi aparat peradilan. Selama ini pengawasan kurang berjalan karena sistem yang dipergunakannya kurang tepat. Pengawasan internal lembaga pengadilan, melalui hakim pengawasan peradilan selama ini terbukti tidak membuahkan hasil. Sementara lembaga eksaminasi untuk menguji putusan-putusan pengadilan yang kontroversial belum nampak ada keinginan untuk diterapkan. Karena itu, pengawasan eksternal menjadi sangat komplementer untuk dilakukan. Meskipun mekanisme pengawasan yang bersifat internal telah terinkorporasi dalam setiap subsistem, yang juga sering disebut sebagai pengawasan melekat (waskat), walaupun effektivitasnya masih banyak diragukan (utamanya karena dugaan adanya in-group feeling yang cenderung menutupi kesalahan sesama kolega). Beberapa hal yang ditenggarai potensi muncul dari pelaksanaan mekanisme pengawasan internal antara lain adalah : a. Jarang sekali ada penjelasan dari lembaga mengenai hasil akhir pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya; b. Produk dan mekanisme pengawasan internal pada umumnya tidak untuk konsumsi public, tapi hanya bersifat internal; c. Apabila ada anggota yang diproses, tidak mungkin dapat bersifat obyektif dalam melakukan investigasi terhadap anggotanya sendiri yangn melakukan

pelanggaran (Solodaritas, ingroup felling);

d. Pelanggaran oleh personel SPPT mencerminkan kelemahan ataupun keburukan lembaga tersebut, termasuk fungsi pendidikan dan pelatihannya, sehingga sulit diharapkan bahwa hal semacam ini akan diekspose oleh suatu lembaga internal; e. Proses invertigasi oleh lembaga internal terhadap anggotanya cenderung diwarnai oleh conflict of interest sehingga hasilnya kurang kredibel.

Rasa esprit de corps yang tumbuh di kalangan aparat penegak hokum disebabkan oleh sikap eksklisif yang berdampak dapat menghambat semangat interdepedensi sesame lembaga penegak hukum merupakan salah satu elemen pokok dalam system peradilan terpadu, agar satu sama lain dapat mendukung dan memberikan dukungan untuk mencapai tujuan-tujuan objektif dari system peradilan terpadu tersebut. Untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan dalam pengawasan internal, maka haruslah diperdayakan (empowerment) fungsi pengawasan eksternal sehingga dapat memperkuat dan mendorong fungsi pengawasan pada umumnya terhadap kinerja dan integritas masing-masing jajaran sebagai sub-sistem dalam proses penyelenggaraan peradilan.

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai