Anda di halaman 1dari 3

Nama Mahasiswa : Mokhamad Ridwan

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043856007

Kode/Nama Mata Kuliah : HUKUM ACARA PIDANA / HKUM4406

1. hukum tentu sudah berjalan sejak lama, apabila dilihat dari keberadaan organisasi-organisasi
penasihat hukum yang sudah ada sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Dalam ketentuan
hukum acara yang berlaku pada zaman Hindia Belanda, yaitu Herziene Indonesisch
Rechtsreglement (HIR), sudah terdapat sejumlah pasal yang mengatur tentang bantuan hukum
oleh penasihat hukum atau advokat. Misalnya, saat seseorang yang diancam dengan hukuman
mati diperiksa oleh jaksa (sekarang disebut penyidikan), maka jaksa wajib menanyakan
apakah terdakwa memerlukan kehadiran penasihat hukum di persidangan nanti (Pasal 83h
ayat [6] HIR). Jadi, di sini bukan hakim yang menanyakan, melainkan jaksa. Bahkan, jika
yang bersangkutan saat itu menyatakan tidak perlu penasihat hukum, tetapi kemudian berubah
pikiran dengan menyatakan mau didampingi penasihat hukum, maka hakim ketika di
persidangan wajib menyediakan penasihat hukum itu. Penasihat hukum yang ditunjuk oleh
hakim ini wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma (vide Pasal 250 ayat [5] dan
[6] HIR).

Kesadaran para ahli hukum yang tatkala itu sudah disebut advokat atau procureur (di-
indonesia-kan menjadi “pokrol”) pada dasarnya sudah ada untuk membantu orang-orang
miskin beracara di peradilan. Sayangnya, kontribusi ini belum cukup terorganisasi dengan
baik. Dalam sejarah baru ada satu asosiasi advokat yang dibentuk para era kolonial yang
disebut Balie van Advokaten, didirikan oleh Mr. Sastro Mudjono, Mr. Iskak, dan Mr.
Soenarjo. Perkembangan ini tidak terlalu menggembirakan. Menurut catatan Daniel S. Lev,
penyebab dari semua itu karena memang profesi advokat tidak cukup populer. Ditambah lagi,
sebagian dari ahli hukum di masa itu mulai tertarik pada politik, sehingga sedikit
mengabaikan aktivitas mereka dalam membela klien di pengadilan.

Barulah setelah Indonesia merdeka, berdiri Persatuan Advokat Indonesia (PAI), yang
kemudian pada satu tahun berikutnya asosiasi dengan nama serupa dideklarasikan, kali ini
dengan nama Peradin. Asosiasi ini semula didukung oleh Pemerintahan Orde Baru, tetapi
lama-kelamaan dipandang tidak cukup sejalan dengan kebijakan pemerintah. Itulah sebabnya,
pada tahun 1985 didirikan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Dengan lahirnya wadah baru
ini, Peradin mulai kehilangan pamor. Dua tahun kemudian berdiri Ikatan Penasehat Hukum
Indonesia (IPHI), lalu tahun 1988 berdiri Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),
1989: Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), 1990: Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI), 1993: Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), 1998: Serikat
Pengacara Indonesia (SPI), 2003: Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), dan 2005:
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).Pada tahun 1969, pada saat berlangsung Kongres
Peradin, seorang mantan jaksa bernama Adnan Buyung Nasution memunculkan gagasan
untuk mendirikan lembaga bantuan hukum (LBH). Gagasan ini diwujudkan dengan pendirian
LBH Peradin di Jakarta pada tahun 1970. Pendirian ini mendapat dukungan dari Gubernur
Jakarta Ali Sadikin.
Beberapa kasus yang ditangani oleh LBH ini ternyata menghadapkannya langsung
dengan Pemerintah Orde Baru yang tergolong represif tatkala itu. Beberapa tokoh LBH ini
mulai dipermasalahkan oleh Pemerintah, diawasi, bahkan ditahan. LBH pun dituduh tidak lagi
murni membela rakyat, tetapi sudah berpolitik praktis. LBH-LBH di daerah pun didirikan,
yakni di Yogyakarta, Surakarta, Tegal, Bandung, dan Palembang. Ada juga LBH yang tidak
diizinkan berdiri, seperti di Medan karena dinilai menjadi bagian dari Universitas Sumatera
Utara.

Pada saat bersamaan, mulai lahir lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
sebenarnya bekerja untuk membantu pemerintah mengatasi berbagai problema
kemasyarakatan. Mereka praktis menggalang dana sendiri untuk kepentingan ini. Sebagian
besar mendapatkannya dari jejaring internasional. LSM-LSM ini juga mengambil peran
penting dalam gerakan bantuan hukum, kendati sebagian besar tidak mengambil porsi bantuan
langsung litigasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan bantuan hukum di
Indonesia pada era ini semakin berwarna, mulai dari lembaga think-tank sampai pada
gerakan frontliner yang membantu masyarakat akar rumput (grass-root). Ketika Pemerintahan
Orde Baru tumbang pada tahun 1998, kontribusi gerakan bantuan hukum dalam mewarnai
pergantian rezim ini cukup signifikan. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat salah satu agenda
reformasi yang didengungkan adalah perubahan di bidang hukum. Euforia reformasi ini pula
yang mendorong lahirnya organisasi-organisasi baru di bidang bantuan hukum, yang pada
membawa problema tersendiri karena ada beberapa di antaranya membawa bendera sektarian.
2. Perkembangan system saksi di dunia para ahli hukum pidana mengalami perkembangan dari
generasi ke genarsi:
a. Generasi pertama untuk mengantikan pidana mati, pidana siksa badan, pidana kerja paksa
pidana mendayu kapal hal ini di ketahui KUHP negara negara eropa barat pidana penjara
di pandang sebagai pidana yang berperikemanusiaan untuk merehabilitasi peraikan kepada
narapidana
b. Generasi kedua system saksi pidana di tandai dengan tambah populernya pidana penjara
eropa barat karena negara tersebut memberi warna kepada hukum pidana berkembang
bekas jajahan kepada hukum KUHP
c. Generasi tiga pidana denda KUHP belanda semula sama dengan KUHP Indonesia di
tentukan maksimum minimum secara khusus pada setiap delik kadar keseriusan tetapi
kemudian belanda mengubahnya di mungkinkan pengenaan denda bersama dengan pidana
penjara dan juga memperkenalkan system kategori denda bersama dengan pidana penjara
juga memperkenalkan system kategori denda dan semua delik dalam KUHP di
alternatifkan dengN DENDA jika ada pidana penjaranya
d. Generasi ke empat system saksi pidana muncul ketika pidana yang di tunda dan pidana
denda mulai dirasa juga kurang jika diterapkan secara luas jarna akan mengurangi
krehabilitasnya alternative lain dari pidana kerja social dan pengawasan dan perhatian
kepada korban kejahatan mulai meningkat sehinga di perkenalkan hukum ganti kerugian
kepada korban kejahatan oleh pelaku delik sebagai alternative saksi
3. PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN GRASI
a. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau
keluarganya, kepada Presiden.
b. Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
c. Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala
Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut
kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan
salinannya.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
salinan permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan
berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai