Disusun oleh :
Astri Narulita Mahardika
Faiz Naufal Falah
Haifa Fadillah Agustina
Imeldha Youlfta Sari
Kacep Angga Priatna
Nadira Al Fitriani Syaqila
Pratami Putri
Reizkiana Fairuz Mardisusin
Shafa Salsabila
Solihudin
Yuliana Farida
MAN 2 CIAMIS
JL.Yos Sudarso No.53 Ciamis 46211 Tlp/Fax (0265)771432
Website : www.man2-cms.Sch.id
BAB I
PENDAHULUAN
1. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadi Perbuatan tindakan main hakim sendiri
(Eigenrechting) ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diatas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadi Perbuatan tindakan main
hakim sendiri (Eigenrechting.
2. Relevansi teori hukum pada Pemecahan Permasalahan Penelitian Hukum terhadap perkara
Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali
No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007 di muka umum bersama-sama
melakukan kekerasan terhadap orang.
D. Manfaat Penelitian
Penulisan hukum ini mempunyai manfaat baik secara obyektif maupun secara
subyektif sebagai berikut:
1. Secara Obyektif
Agar eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri yang sudah menjadi kebiasaan dalam
kehidupan masyarakat diminimalisir bahkan dihilangkan, sehingga kepastian hukum itu
ada, serta penegakan hukum dan keadilan di Indonesia dapat berjalan sebagaimana
mestinya serta terhadap pelaku eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri, dapat
diproses oleh aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
hukum yang berlaku (positif).
2. Secara Subyektif
Page 4
Agar seluruh masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan emosi amarah untuk
mendapatkan kepuasaan tersendiri dalam menindak pelaku kejahatan/pelanggaran, dapat
meredam emosi/amarahnya dan aparat penegak hukum sebagai pihak yang berwenang
dalam menegakan hukum dan keadilan di Indonesia terhadap pelaku eigenrechting/main
hakim sendiri, dapat bersikap tegas sehingga kepastian hukum dapat tercipta.
Page 5
BAB II
PEMBAHASAN
Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak hidup sendiri, manusia hidup
berdampingan, bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antara
sesamanya. Hubungan ini terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang mustahil
dapat dipenuhi sendiri. Atas dasar itu kemudian seorang filsuf Yunani, Aris Toteles
menyebut bahwa manusia sebagai zoon politicon adalah mahluk sosial yang tidak bisa
hidup tanpa bantuan manusia/orang lain. Kebutuhan manusia bermacam-macam.
Pemenuhan kebutuhan hidup bergantung dari hasil daya upaya yang dilakukan. Setiap
waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat yang
bersamaan yang bersamaan dua manusia ingin memenuhi kebutuhan yang sama dengan
hanya satu objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak mau mengalah, maka
konskuensinya adalah akan timbul suatu bentrokan atau konflik. Suatu konflik akan terjadi
juga dalam suatu hubungan, antara manusia ada yang tidak memenuhi kewajiban. Jadi
deskripsi sederhananya adalah hukum mulai ada ketika dua kepentingan berbenturan
sehingga meniscayakan diperlukannya sebuah solusi, solusi ini kemudian yang lahir
berupa aturan. Aturan ini kemudian yang kita sebut sebagai hukum baik dalam bentuk
tertulis maupun tidak tertulis.Tentu dari pemaparan ini akan sangat relevan dengan
ungkapan “Ibis societas ibis ius” di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum.
Hal-hal semacam itu sebenarnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang
menginginkan kebebasan. Suatu kebebasan dalam bertingkah laku tidak selamanya akan
menghasilkan sesuatu yang baik. Apalagi kalau kebebasan tingkah-laku seseorang tidak
dapat diterima oleh kelompok sosial lainnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan
keteraturan sosial, baik dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial diperlukan
ketentuan-ketentuan. Ketentuan itu untuk membatasi kebebasan tingkah laku itu.
Ketentuan-ketentuan yang diperlukan adalah ketentuan yang timbul atas dasar kesadaran;
dan biasanya dinamakan hukum. Jadi, hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari
pergaulan hidup manusia. Hal itu timbul berdasarkan atas kesadaran manusia itu sendiri,
Page 6
sebagai konsekuensi logis dari adanya gejala-gejala sosial. Gejala-gejala sosial itu
merupakan hasil dari pengukuran baik tentang tingkah-laku manusia dalam pergaulan
hidupnya.
Norma kesusilaan memiliki sanksi yang sifatnya tidak sama dengan norma hukum.
Pelanggaran ketentuan kesopanan atau kesusilaan oleh seseorang tidak melibatkan
kepentingan atau ketertiban secara sosial karena dialamatkan pada moralitas individu.
Berlainan halnya dengan ketentuan hukum. Setiap ketentuan hukum berfungsi mencapai
tata tertib antarhubungan manusia dalam kehidupan sosial. Hukum menjaga keutuhan
hidup agar agar terwujud suatu keseimbangan psikis dan fisik dalam kehidupan, terutama
kehidupan kelompok sosial yang merasakan tekanan atau ketidaktepatan ikatan sosial.
Berarti, hukum juga menjaga supaya selalu terwujud keadilan dalam kehidupan sosial
(masyarakat). Jadi, norma hukum merupakan suatu yang berkenaan dengan kehidupan
manusia dalam kelompok sosial tertentu. Hukum sebagai sebuah norma memiliki
karakteristik sebagai sebuah pembeda, yaitu hendak melindungi, mengatur, mengikat, dan
memaksa, serta berfungsi memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum.
Dari penjelasan di atas kemudian kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa
hukum adalah sebuah norma yang memiliki sifat mengikat, mengatur dan memaksa. Atas
dasar ini kemudian maka secara umum hukum didefinisikan sebagai suatu peraturan baik
tertulis maupun tidak tertulis yang memiliki kekuatan mengikat, mengatur dan memaksa.
Pengertian hukum di atas tentu terlepas dari adanya perdebatan bahwa apakah hukum
adalah suatu entitas yang dapat didefinisikan atau tidak, mengingat luasnya ruang lingkup
pembahasan hukum sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Page 7
B. Pengertian Eigenrechting / Tindakan Main Hakim Sendiri
Menurut kamus besar bahasa Indonesia main hakim sendiri atau istilah hukumnya
eigenrechting adalah menghakimi orang lain tanpa memperdulikan hukum yang ada
(biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan dan pembakaran atau sebagainya).
Eigenrechting dalam ilmu hukum yaitu merupakan tindakan menghakimi sendiri atau aksi
sepihak. Tindakan ini seperti memukul orang yang telah melakukan penipuan atau
tindakan penganiayaan yang dilakukan kepada pelaku pencurian yang tertangkap oleh
masyarakat. Tindakan menghakimi sendiri seperti ini merupakan sebuah tindakan untuk
melaksanakan hak menurut kehendak sendiri dengan sewenang-wenang tanpa persetujuan
pihak lain yang berkepentingan. Sebagai sebuah Negara dengan doktrin Negara Hukum
seperti yang dimaksud didalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa : “Indonesia adalah
sebuah negara hukum”. Tentu tindakan main hakim sendiri tidak memiliki satupun alasan
pembenar dari sisi normatif.
Page 8
Tindakan menghakimi sendiri itu dilarang pada umumnya tetapi tidak selalu
demikian. Ada juga tindakan yang sebenarnya dikategorikan main hakim sendiri atau
eigenrechting tetapi memiliki alasan pembenar ataupun alasan pemaaf. Alasan pembenar
dan pemaaf kemudian sehingga suatu perbuatan sekalipun dikategorikan sebagai tindakan
main hakim sendiri tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebab adanya
alasan pembenar ataupun pemaaf menjadikan suatu unsur pidananya menjadi gugur.
Setiap pelanggaran kaedah hukum pada dasarnya harus dikenakanmsanksi, setiap
pembunuhan, setiap pencurian harus ditindak, pelakunya harus dihukum. Tetapi ada
perbuatan-perbuatan tertentu yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaedah
hukum tetapi pelanggarnya tidak dikenakan sanksi.
Page 9
tindakan yang diatur tersebut dinamakan tindakan “Main Hakim Sendiri”. Sebagai contoh,
pengaturan mengenai tindakan “Penganiayaan” dalam pasal 351 KUHP. Dalam pasal
tersebut tidak disebutkan bahwa “penganiayaan” merupakan tindakan Main Hakim
Sendiri. Namun, jika kita membaca unsur-unsur dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa dalam situasi tertentu (contohnya, ketika ada pelaku pencurian motor tertangkap
basah oleh warga kemudian dipukuli beramai-ramai oleh warga tersebut), tindakan
“penganiayaan” dapat masuk atau dikategorikan sebagai tindakan Main Hakim Sendiri.
Main hakim sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang
terhadap orang orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang
yang melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan tindak pidana dinamakan
penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang
etiologi kriminal yang menganalisa sebab-sebab berbuat jahat. Perluasan kepentingan
negara terhadap perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep “kejahatan yang
dilakukan terhadap orang lain harus dibalas dengan kekejaman juga”.
Page 10
masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat
kampanye, peraturan perundang-undangan yang saat ini masih lebih merefleksikan
kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat, Rendahnya integritas moral,
kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (hakim, jaksa,
polisi, dan advokat) dalam menegakkan hukum, minimnya sarana dan prasarana serta
fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegak hukum, tingkat kesadaran dan
budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum,
paradigma penegakan hukum masih positive-legalistik yang lebih mengutamakan
tercapainya keadilan formal (formal justice), kebijakan (policy) yang diambil oleh pihak
terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial,
tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.
Dilihat dari sudut pandang (tokoh) masyarakat yang di derahnya pernah terjadi
tindakan main hakim sendiri, bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi tindakan main
6
hakim sendiri adalah sebagai berikut: rasa solidaritas masyarakat yang tinggi khususnya
di daerah pedesaan, kurang percayanya masyarakat kepada pihak kepolisian, tidak adanya
kedekatan antara polisi dan masyarakat, kurang cepatnya polisi dalam menindaklanjuti
laporan warga. Sudut pandang yang ke tiga merupakan faktor penyebab tindakan main
hakim sendiridari perspektif korban yang pernah mengalami, berdasarkan hasil
penelitianbahwa menurut korban ada dua hal yang menjadi penyebab terjadnya main
hakim sendiri yaitu sebagai berikut: pembiaran yang dilakukan oleh kepolisian atas
tindakan main hakim sendiri, faktor emosi dan dendam.
Page 11
Upaya Penanggulangan Tindakan Eigenrechting terhadap pelaku tindak pidana baik
yang dilakukan sendiri atau bersama kepolisian lebih menggutamakan upaya preventif
sebelum melakukan tindakan represif dalam upayanya untuk menanggulangi main hakim
sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Cara pertama yang dilakukan pihak kepolisian
agar main hakim sendiri dapat ditanggulangi adalah dengan cara preventif. Tindakan
preventif merupakan suatu tindakan yang diambil oleh pihak kepolisian guna mencegah,
mengantisipasi dan meredam suatu pelanggaran atau penyimpangan sebelum terjadi yang
biasanya dilakukan dengan memberi bimbingan, pengarahan dan ajakan. Wujud dari
tindakan atau cara preventif yang dilakukan oleh pihak berwajib yaitu dengan cara
dibentuknya Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Bhabinkamtibmas) sebagai pengemban polmas didesa/kelurahan berdasarkan Peraturan
Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat.
Yang dimaksud dengan polmas adalah kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui
kemitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan
mengidentifikasi permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di
lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Bentuk keseriusan dari pihak
kepolisian guna menanggulangi tindak pidana main hakim sendiri tercermin darifungsi,
tugas pokok dan wewenang Bhabinkamtibmas yang dibentuk sebagai pihak terdepan untuk
mewujudkan tertib hukum didalam masyarakat. Pemolisian masyarakat merupakan
pebaharuan besar pertama dalam kepolisian sejak aparat kepolisian menganut prinsip
manajemen ilmiah lebih dari setengah abad yang lalu. Hal ini merupakan perubahan yang
cukup drastis dalam konteks interaksi polisi dengan masyarakat.
Sebuah falsafah baru yang memeperluas misi kepolisian dari yang semula cenderung
berfokus kepada kriminalitas berubah menjadi kewajiban yang mendorong kepolisian untuk
mendayagunakan solusi kreatif bagi berbagai persoalan dalam masyarakat termasuk
kriminalitas,kecemasan masyarakat, ketidaktertiban dan terganggunya kerukunan warga.
Perpolisian masyarakat bersandar pada kepercayaan bahwa hanya dengan kerjasamalah
masyarakat dan polisi akan mampu meningkatkan mutu kehidupan di dalam masyarakat,
dengan polisi diharapkan untuk dapat berperan tidak hanya sebagai penasehat, tetapi juga
sebagai fasilitator dan pendukung gagasan baru dengan basis masyarakat serta disupervisi
oleh polisi.
Page 12
Upaya preventif lain yang dapat dilakukan kepolisian dilakukan dengan cara:
melakukan patroli rutin, melibatkan tokoh masyarakat untuk mencegah tindakan
main hakim sendiri, bekerja secara jujur dan transparan guna meningkatkan
kepercayaan masyarakat, memberikan penyuluhan hukum. Selain upaya preventif
kepolisian juga akan melakukan upaya represif kepada pelaku tindak pidana main
hakim sendiri, yang dimaksud upaya represif adalah penindakan yang dilakukan
oleh pihak berwajib atas adanya penyimpangan sosial yang terjadi agar
penyimpangan tersebut dapat dihentikan guna memberi pengajaran, efek jera dan
pertanggungjawaban atas perbuatan yang diakukan pelaku tindak pidana dalam hal ini
eigenrechting tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Upaya represif itu dilakukan setelah terjadi tindak pidana main hakim sendiri, upaya
ini adalah cara yang ditempuh pihak kepolisian apabila cara pencegahan dianggap gagal dan
main hakim sendiri masih terjadi di masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah memberi
sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana sesuai dengan pasal KUHP yang dilanggar pelaku
tersebut, dalam kasus tindak pidana main hakim sendiri kepolisian akan menerapkan Pasal
351 KUHP apabila pelaku dianiaya, Pasal 338 KUHP apabila korban main hakim sendiri
tersebut meninggal dunia, apabila pelaku melakukan kekerasan terhadap orang atau barang
secara bersama-sama akan dikenai Pasal 170 KUHP, ketentuan yang lain adalah Pasal 406
KUHP apabila pelaku menghancurkan barang milik si korban yang mengakibatkan tidak
dapat dipakainya barang tersebut.
Selain upaya yang dilakukan oleh kepolisian, peran serta tokoh masyarakat yang
menjadi bagian dari strategi penanggulangan tindak pidana main hakim sendiri menjadi
langkah yang dirasa tepat, keberadaan tokoh masyarakat yang dapat tampil ke depan menjadi
pengontrol masa ketika tindakan main hakim sendiri terjadi akan sangat berguna ketika
belum ada polisi yang datang ke TKP. Kontibusi pihak tokoh masyarakat baik itu tokoh
agama, RT, RW ataupun Kepala Desa berperan penting dalam upaya penanggulagan main
hakim sendiri yang ada di masyarakat, masa cenderung lebih mendengarkan himbauan para
tokoh masyarakat dari pada himbauan dari pihak kepolisian, untuk itu semua tokoh
masyarakat yang ada harus salin menopang dan memperkuat kinerja kepolisian sehingga
main hakim sendiri dapat diantisipasi dan masa dapat dikendalikan.
Page 13
Keefektifit asan tokoh masyarakat dalam mengatasi berbagai masalah termasuk
tindakan main hakim sendiri di bandingkan dengan penerapan hukum positif dikarenakan
7
adanya beberapa aspek yang harus lebih diperhatikan di dalam penerapannya yaitu: kualitas
perundang-undangan, penegakan hukum yang tidak bijaksana karena bertentangan dengan
aspirasi masyarakat, kesadaran hukum yang
masih rendah, yang berhubungan dengan sumber daya manusia, rendahnya pengetahuan
terhadap hukum, sehingga menimbulkan kesan tidak profesional dan tidak jarang
menimbulkan malpraktek di bidang penegakan hukum, mekanisme lembaga hukum yang
fragmentaris, sehingga tidak jarang menimbulkan disparitas penegak hukum dalam kasus
yang sama atau kurang lebih sama, budaya hukum tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang
belum terpadu, sebagai akibat perbedaan persepsi tentang HAM. Bentuk upaya yang
dilakukan oleh tokoh masyarakat untuk menanggulangi perbuatan main hakim sendiri adalah
dengan cara: menerapkan Siskamling disetiap desa, bertindak cepat datang ke TKP,
membangun kedekatan dengan pemuda.
7 Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hal. 17
Page 14
2. Relevansi teori hukum pada Pemecahan Permasalahan Penelitian Hukum terhadap
perkara Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) dalam Putusan Pengadilan
Negeri Boyolali No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007 di muka umum
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang
A. Kasus posisi eigenrechting sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007
Bahwa Terdakwa I Agus Santoso dan Terdakwa II Yusroni baik secara bersama-sama
maupun secara sendiri dengan saksi Triyono dan saksi Saliman (yang perkaranya displit
dan disidangkan tersendiri) sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan
atau turut serta melakukan, pada hari Sabtu tanggal 14 Oktober 2006 sekira jam 01.30
WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober 2006 di tengah sawah
sebelah Barat Dukuh Sawit, Desa Sindon, Kec. Ngemplak, Kab. Boyolali, atau setidak-
tidaknya di suatu tempat di daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali, dengan sengaja,
menghilangkan nyawa orang, perbuatan para Terdakwa dilakukan dengan cara.sebagai
berikut:
Ketika para Terdakwa mendengar kabar dari saksi Sugiman yang memberitahu bahwa
adik saksi Sugiman yang bernama Sugimin telah kehilangan Televisi yang di duga telah
dicuri oleh korban Suhardi, lalu para Terdakwa masing-masing sambil membawa sepotong
kayu bersama saksi Triyono dan saksi Saliman berusaha mencari Televisi disekitar
kampung, namun tidak diketemukan, kemudian mencari ke sawah-sawah berhasil
menemukan Televisi, lalu saksi Triyono kembali ke kampung memberi tahu warga bahwa
Televisi telah ditemukan di tengah sawah sedangkan para Terdakwa dan saksi Saliman
tetap berada di tengah sawah menunggui Televisi, sesaat kemudian saksi Triyono kembali
lagi ke sawah memberitahu kepada para Terdakwa dan saksi Saliman kalau warga sudah
siap di kampung, tidak lama kemudian korban Suhardi datang mengambil Televisi lalu
para Terdakwa bersama saksi Triyono dan saksi Saliman berteriak maling-maling sambil
berusaha menangkap korban Suhardi namun korban Suhardi melemparkan Televisi kearah
saksi Saliman dan saksi Triyono lalu korban Suhardi melarikan diri ke arah Selatan,
selanjutnya para Terdakwa bersama saksi Triyono dan saksi Saliman berusaha mengejar
korban Suhardi, sesampainya di sebelah Selatan sungai korban Suhardi berbalik arah
memukul saksi Triyono dengan menggunakan sebongkah tanah, lalu saksi Triyono
membalas dengan menggunakan besi bekas skok sepeda motor memukul korban Suhardi
Page 15
hingga jatuh tertelungkup, kemudian para Terdakwa bersama saksi Saliman beramai-ramai
memukul korban Suhardi, dengan cara:
- Saksi Saliman dengan menggunakan bendo (pisau besar) diayunkan kearah korban
Suhardi mengenai kepala bagian belakang sebanyak 2 kali, mengenai tangan 1 kali
dan mengenai kaki sebanyak 2 kali;
Selanjutnya para Terdakwa bersama saksi Triyono dan saksi Saliman meninggalkan
korban Suhardi tergeletak dan meninggal dunia di tempat kejadian, menuju kampung
untuk memberi tahu kepada warga bahwa korban Suhardi yang diduga mencuri Televisi
telah tertangkap dan tergeletak di sebelah Selatan sungai. Akibat perbuatan para Terdakwa
bersama saksi Triyono dan saksi Saliman korban Suhardi meninggal dunia sebagaimana
Visum et Repertum No: 60/MF/X/2006, tanggal pemeriksaan, 14 Oktober 2006, yang
ditandatangani oleh dr. Budiyanto, SpF. Dokter pada bagian Kedokteran Forensik dan
Medicolegal Fakultas Kedokteran Universitas sebelas Maret dengan kesimpulan hasil
pemeriksaan sebagai berikut: Korban meninggal karena kerusakan jaringan otak akibat
pecahnya tulang dasar tengkorak oleh karena kekerasan benda tajam pada kepala,
perkiraan saat kematian 12 sampai 24 jam yang lalu (13 Oktober 2006 jam 19.30 sampai
14 Oktober jam 07.30).
Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu respon masyarakat terhadap suatu
peristiwa kejahatan yang malah menciptakan suasana tidak tertib. Masyarakat yang
harusnya menaati hukum yang berlaku yang telah ditetapkan oleh penguasa bertindak
sebaliknya, mereka melakukan suatu respon terhadap adanya kejahatan dengan
menghakimi sendiri pelaku tindak pidana. Akan tetapi apabila dilihat dari pengertian
tindak pidana yang telah diuraikan dimuka maka akan tampak jelas bahwa apa yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang tertangkap oleh
Page 16
masyarakat dengan dipukuli sampai babak belur bahkan sampai dengan membakarnya
hidup-hidup merupakan suatu bentuk lain dari kejahatan (Andi Hamzah 1986:167).
Tindakan main hakim sendiri ini lebih sering dilakukan secara massal untuk menghindari
tanggung jawab pribadi serta menghindari pembalasan dari teman atau keluarga korban.
Tindak kekerasan yang diambil masyarakat dianggap sebagai langkah tepat untuk
menyelesaikan suatu masalah yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada pelaku pada perbuatan pidana
dimaksudkan adalah dua orang lebih atau tidak terbatas maksimalnya. Melihat definisi
tersebut, perbuatan pidana yang dilakukan oleh massa juga dapat dikatakan dilakukan
secara kolektif, karena dalam melakukan perbuatan pidana para pelaku dalam hal ini
dengan jumlah yang banyak/lebih dari satu orang dimana secara langsung atau tidak
angsung baik direncanakan ataupun tidak direncanakan telah terjalin kerja sama baik hal
tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri sendiri dalam hal satu rangkaian
peristiwa kejadian yang menimbulkan perbuatan pidana atau lebih spesifik
menimbulkan/mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik ataupun non fisik. Hal ini di
atur dalam Pasal 170 KUHP. Pasal 170 KUHP berbunyi demikian:
(2)Tersalah dihukum:
Page 17
3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan matinya orang.”
Perlu diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini sebagai berikut:
1. Barangsiapa. Hal ini menunjukkan kepada orang atau pribadi pelaku.
2. Di muka umum. Perbuatan itu dilakukan di tempat dimana publik dapat
melihatnya
3. Bersama-sama, artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Arti
kata bersama-sama ini menunjukkan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan
sengaja (delik dolus) atau memiliki tujuan yang pasti, jadi bukanlah merupakan
ketidaksengajaan (delik culpa).
4. Kekerasan, yang berarti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang
tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri dari
“merusak barang” atau “penganiayaan”.
5. Terhadap orang atau barang. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau
barang sebagai korban.
Biasanya pasal ini sering dipakai oleh penuntut umum untuk menjerat para pelaku
perbuatan pidana yang dilakukan oleh massa yang terbentuk secara tidak terorganisir.
Sedangkan Pasal 170 KUHP mengandung kendala dan berbau kontroversi
karena subyek “barang siapa” menunjuk pelaku satu orang, sedangkan istilah” dengan
tenaga bersama” mengindikasikan suatu kelompok manusia. Delik ini menurut penjelasannya
tidak ditujukan kepada kelompok atau massa yang tidak teratur melakukan perbuatan pidana,
ancamannya hanya ditujukan pada orang-orang diantara kelompok benar benar terbukti serta
dengan tenaga bersama melakukan kekerasan. Dalam kelompok massa yang unik sifatnya
jelas delik seperti ini sukar diterapkan.
Jadi Pasal 170 relevan diterapkan pada massa yang reaksioner atau spontanitas dalam
melakukan perbuatan pidana. Berbeda halnya dengan massa yang terorganisir
bisa menggunakan pasal pada delik penyertaan, karena dalam pasal-pasalnya jelas mengenai
kedudukan para pelaku yang satu dengan yang lain, tidak seperti massa yang
reaksioner (tidak masuk dalam delik penyertaan yaitu penganjuran) dimana mas
sa tidak jelas kedudukan satu dengan yang lain, dan otomatis dalam hal ini dipandang
sama-sama sebagai pelaku yang mempunyai tanggung jawab yang sama dengan pelaku
yang lain.
Adapun yang selama ini menjadi permasalahan adalah terkait tindakan hukum
dan pemberian sanksi yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau
Page 18
sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya di lapangan. Pada
perbuatan pidana yang dilkukan oleh massa untuk menentukan batas maksimal dari jumlah
massa sulit, sebagaimana pengertian dari kata “massa” adalah dua orang untuk minimal dan
tidak terbatas untuk maksimal. Jadi massa dalam hal ini ada 2 kategori dari jumlah massa
yaitu, massa yang jelas berapa jumlahnya dan massa yang tidak jelas berapa jumlah
massanya (Adami Chazawi, 2002:123).
Untuk massa yang jelas berapa jumlah massanya adalah dimana massa yang terlibat
perbuatan pidana dapat dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan
dalam melakukan perbuatan pidana, sebab hal tersebut sudah diatur dalam hukum pidana
yaitu pada delik penyertaan. Sedangkan untuk massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah
massanya adalah dimana massa banyak serta sulit dihitung dengan nominal, sehingga
menyulitkan dalam menentukan apakah semua massa yang banyak terlibat semua atau tidak,
atau hanya sebagiannya saja.
Page 19
Tetapi di sisi lain kecenderungan masyarakat melakukan pemukulan ketika
menemukan pelaku kejahatan juga adalah suatu hal yang sudah biasa terjadi.
Pemukulan, pengeroyokan sampai tindakan yang mengarah kepada terancamnya jiwa
dari pelaku kejahatan juga biasa ditemukan. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tentu
hal ini merupakan suatu fenomena yang membutuhkan diskursus tertentu. Sebab
Tindakan seperti ini sudah mengakar menjadi sebuah budaya (Culture) yang tentunya
akan menjadi pembahasan menarik bagaimana sosiologi hukum memandang fenomena
seperti ini. Tindakan main hakim sendiri ini sudah tidak jarang ditemui, masyarakat
cenderung melakukan pengeroyokan secara bersama-sama atas pelaku kejahatan.
Kecenderungan ini kemudian dikhawatirkan menjadi sebuah karakteristik bahwa
masyarakat cenderung destruktif dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
seharusnya digiring ke ranah hukum dalam hal ini ini diserahkan kepada pihak yang
berwajib.
Dalam hal pandangan aliran formal yang dianut oleh Jhon Austin (1970-1859), ia
mengatakan bahwa : hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi (law is command of the lawgivers) atau dari pemegang kedaulatan.
Menurut Austin, hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk
berfikir, perintah mana yang dilakukan oleh makhluk berfikir yang memegang dan
mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutu[ dan karena ajarannya dinamakan Analitical Jurisprudence.
Ajaran Austin kurang/tidak memberi tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Page 20
Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:
Rasa keadilan dalam diri berdasarkan putusan Majelis Hakim, menurut majelis
belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan efek jera
bagi para Terdakwa, khususnya dan masyarakat Boyolali pada umumnya untuk
melakukan tindakan main Hakim sendiri. Bahwa putusan Majelis Hakim sama sekali
tidak memperhatikan kepentingan hukum dari sisi korban, telah mengesampingkan hak-
hak korban dan keluarganya untuk memperoleh perlindungan dan keadilan hukum,
Page 21
faktanya saksi isteri tidak pernah mendapat santunan dari para Terdakwa baik biaya
pemakaman maupun biaya otopsi, dengan demikian putusan Majelis Hakim tidak ada
keseimbangan antara kepentingan hukum korban dan keluarganya dengan kepentingan
hukum para Terdakwa , yang akan berpengaruh terhadap kepentingan hukum Negara
yang berakibat pada terganggunya kehidupan tata sosial di masyarakat khususnya di
wilayah korban dan keluarganya bertempat tinggal.
Bahwa perbuatan para Terdakwa adalah perbuatan main Hakim sendiri, sehingga
putusan Majelis Hakim yang tidak sepadan dengan perbuatan Terdakwa adalah
merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum, perbuatan para Terdakwa yang main
Hakim sendiri dengan melakukan pemukulan terhadap korban Suharadi yang hanya baru
diduga telah melakukan pencurian yang bagaimanapun belum ada kepastian hukum yang
menyatakan bahwa korban adalah pencuri, dengan demikian putusan Majelis Hakim
yang tidak sepadan dengan perbuatan para Terdakwa akan memberikan gambaran pada
masyarakat bahwa tindakan main Hakim sendiri seakan-akan ada toleransi hukum bagi
Page 22
pelakunya, sehingga akan memberikan contoh masyarakat lain untuk berbuat sama,
dalam masyarakat Indonesia khususnya Kab. Boyolali, yang semakin meningkat
kesadaran hukumnya perbuatan main Hakim sendiri adalah perbuatan asosial. Sehingga
berdasarkan argumentasi hukum di atas, nyata putusan Majelis Hakim belum memenuhi
rasa keadilan masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan efek jera bagi para
Terdakwa, khususnya dan masyarakat Boyolali pada umumnya untuk melakukan
tindakan main Hakim sendiri.
8 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2004), hlm.
204
Page 23
dipahami oleh Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai
suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga besesuaian dengan tahap-tahap
perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa dewasa.
Dalam tahap teologis, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab
terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menentukannya dalam kekuatan-
kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut dewa-dewa atau Allah,
dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Zaman ini lalu
dibagi menjadi tiga sub-bagian. Pada sub-tahap yang paling primitif dan kanak-kanak,
yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia menganggap objek-objek fisik itu
berjiwa, berkehendak, dan berhasrat. Pada tahap berikutnya, politeisme, kekuatan-
kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Akhirnya, pada tahap
monoteisme, dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang disebut
Tuhan.
Dalam tahap metafisis, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti
seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap
sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya,
konsep ether, dan causa. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah
seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-
konsep abstrak menganai alam sebagai keselurahan. Tidak ada lagi Tuhan dan dewata,
yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.
Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif.
Pada zaman ini, umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-fakta
yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang factual, yang sebenarnya
bekerja menurut hukum-hukum umum, seperti hukum gravitasi. Pada tahap inilah ilmu
pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real,
tapi juga bersifat pasti dan berguna. Comte juga menghubungkan tahap-tahap mental
tersebut dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya
dengan absolutisme, misalnya otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap
metafisis, absolutisme raja dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak
abstrak rakyat dan hukum.
Akhirnya, pada tahap positif, organisasi masyarakat industri menjadi pusat
perhatian. Ekonomi menjadi primadona, dan kekuasaan elit intelektual muncul. Mereka
Page 24
ini menduduki peran organisasi sosial, dan bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru
9
yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat industri.
Paham legal positivism ini juga senada dengan perkembangan paradigma
keilmuan lainnya. Era legal positivism ini diawali dengan perubahan paradigmatik di
bidang sains dan filsafat ilmu. Fase paham hukum alam dan hukum Tuhan, identik
dengan apa yang disebut oleh Comte sebagai fase magic dan fase metafisik. Kemudian,
ketika muncul paham positivisme, paham tentang hukum positif (legal positivism) juga
terjadi. Pemikiran-pemikiran tentang kedaulatan rakyat, pembagian kekuasaan,
kebebasan manusia mulai bermunculan di era ini, sebgai respons terhadap realitas sosial
saat itu. JJ Rousou yang menulis buku du contract social ou principles du droit
politique menyatakan bahwa orang-orang melakukan kontrak bersama untuk
mewujudkan cita-cita individualnya, menjadi kehendak umum (volonte generale);
kemudian terciptakan tujuan umum yakni kepentingan umum. Maka, hukum harus
10
mencerminkan kepentingan dan kehendak umum tersebut
Dalam konteks ini, negara merupakan wujud dari perjanjian masyarakat tersebut
sehingga penguasa tidak bisa berbuat semena-mena terhadap rakyat. Dari sini muncul
konsep kedaulatan rakyat, yaitu bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasan
tertinggi di negara. Pada konsep hukum, seiring dengan teori ini, maka hukum
11
merupakan penjelmaan kehendak rakyat untuk mengatur negara dan masyarakatnya.
Montesquieu juga dikenal sebagai tokoh yang memunculkan teori trias politica
(pemisahan kekuasaan menjadi tiga), yaitu kekuasaaan legislatif sebagai pembuat
peraturan hukum (perundang-undangan); kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana
pemerintahan yang juga harus taat pada peraturan hukum yang dibuat oleh legislatif,
dan kekuasaan yudikatif, yaitu pengawas hukum (para penegak hukum dan pengadilan).
Di sisi lain, seorang filusuf Inggris, John Lock, menyatakan tentang kebebasan
manusia. Menurutnya, pada dasarnya manusia diciptakan sebagai individu yang bebas
sehingga dia kemudian dikenal sebagai bapak HAM (Hak Asasi Manusia). Hal ini juga
merupakan kritik terhadap kondisi masyarakat dan kekuasaan absolut yang menindas
rakyat.
Lock juga memiliki konsep awal tentang negara hukum, yaitu negara yang
dibentuk dengan tujuan untuk menjaga hak-hak pribadi manusia. Dengan merumuskan
Page 25
tujuan negara tersebut maka negara tidak akan melalaikan kepentingan publik.
Menurutnya, undang-undang negara harus dapat menjaga dan melindungi hak-hak para
warganegaranya. Konsep negara hukum ini, bukanlah negara yang bertugas menjaga
hukum, namun prinsip-prinsip hukum, baik privat maupun publik, harus diwujudkan
untuk membatasi kesewenang-wenangan perseorangan dan melindungi hak warga
12
negara.
Positivisme hukum memiliki beberapa prinsip, yakni: 1) suatu tata hukum
negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan juga
karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam,
melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang;
2) hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk hukum formal
dipisahkan dari hukum materiil; 3) isi hukum materiil diakui ada, tetapi bukan bahan
ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum. Positivisme hukum
mendapatkan penekanan fundamental pada dua tokoh, yaitu John Austin dan Hans
Kelsen. Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari penguasa; hukum dipandang
sebagai perintah dari orang yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan); hukum
merupakan perintah yang dibebanken kepada makhluk yang perpikir; perintah itu
diberikan oleh makhluk yang berpikir yang memegang keuasaan. Hukum juga
merupakan logika yang bersifat tertutup dan tetap. Masih menurut Austin, hukum
positif harus memenuhi beberapa unsure, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan
kedaulatan. Di luar itu semua bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive
morality).
Hukum positif dalam konsep Austin dan Hart, menurut M. Galanter merupakan
hukum modern, yang memiliki ciri-ciri: (1) sistem hukum tersebut terdiri dari
peraturan-peratiran yang seragam, baik dari segi isi maupun pekalsanaannya; (2) sistem
hukum tersebut bersifat transaksional, dalam arti hak-hak dan kewajiban timbul dari
perjanjian-perjanjian yang tidak dipengaruhi oleh faktor usia, kelas, agama ataupun
perbedaan jenis kelamin; (3) sistem hukum modern bersifat universal, dalam arti dapat
dilaksanakan secara umum; (4) adanya hierarkhi pengdilan yang tegas; (5) birokratis,
dalam arti melaksanakan prosedur sesuai dengan peraturan-peraturan yang diterapkan;
(6) rasional, (7) pelaksanaan sistem hukum tersebut terdiri dari orang-orang yang sudah
berpengalaman; (8) dengan berkembangnya spesialisasi dalam masyarakat yang
Page 26
kompleks, harus ada penghubung antara bagian-bagian yang ada sebagai akibat adanya
sistem pengkotakan; (9) sistem ini mudah diubah untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat; (10) lembaga-lembaga pelaksana dan
penegak hukum adalah lembaga kenegaraan karena negaralah yang mempunyai
monopoli kekuasaan; dan (11) pembedaan yang tegas antara tugas-tugas eksekutif,
13
legislative, dan yudikatif.
13 Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 135-146.
Page 27
diadopsi dari Perancis. Tatanan hukum positif tersebut telah menghasilkan tatanan
dan sistem hukum yang kuat, rapi, dan teratur. Tatanan masyarakat diatur oleh
hukum yang dibuat oleh pemerintah (badan legislatif); dan pemerintahan negara
dalam menjalankan kekuasaannya juga diatur oleh hukum perundanga-undangan.
Hak-hak warga negara diakui dan dilindungi secara hukum sehingga penindasan
tidak perlu lagi terjadi.
Hukum dapat menjamin hak-hak perseorangan dan seluruh warga negara. Dengan
demikian maka kepastian hukum dapat diperoleh. Seorang yang dilanggar haknya
bisa menuntut secara hukum. Hukum dalam konsep positivisme merupakan hukum
tertulis yang disahkan oleh negara sehingga hukum bersifat pasti. Setiap kali hakim
menghadapi permasahan hokum maka dia dapat langsung mencari ketentuan
hukumnya di dalam undang-undang yang tertulis tersebut.
Page 28
BAB III
Kesimpulan
Page 29
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Pasal dalam peraturan
perundang-undangan maka hal ini berkaitan dengan penerapan relevansi dari teori
hukum positivisme.
Saran
1. Perlu adanya penekanan dan pembelajaran pada diri masyarakat terkait dengan pandangan
akan hukum positif yang mengikat dan bersifat imperatif sehingga setiap individu akan
terikat pada konsekuensi hal yang dilakukannya (eigenrechting).
2. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) tidak dapat dibenarkan meskipun dalam
konteks a hostile outburst (ledakan amarah). Putusan atas (eigenrechting) harus
memberikan efek jera pada diri masyarakat luas melalui pertimbangan putusan yang tepat.
Page 30
DAFTAR PUSTAKA
ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
PUTUSAN PENGADILAN :
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2015 K/Pid/2007 tanggal 6 November
2017.
LITERATUR :
Peter Mahmud Marzuki, 2005, ”Penelitian Hukum”, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm.20.
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika.
Utsman, Sabian. 2013. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Makna Dialog Antara Hukum
Dan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Page 31
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Filsafat
Kanisius, 1982.
Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993).
Page 32