Anda di halaman 1dari 34

ARTIKEL

TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI

Disusun oleh :
 Astri Narulita Mahardika
 Faiz Naufal Falah
 Haifa Fadillah Agustina
 Imeldha Youlfta Sari
 Kacep Angga Priatna
 Nadira Al Fitriani Syaqila
 Pratami Putri
 Reizkiana Fairuz Mardisusin
 Shafa Salsabila
 Solihudin
 Yuliana Farida

MAN 2 CIAMIS
JL.Yos Sudarso No.53 Ciamis 46211 Tlp/Fax (0265)771432
Website : www.man2-cms.Sch.id
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam
1
bahasa Belanda, Jurisprudence atau legal science, dan Jurisprudent. Dalam kepustakaan
Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan
dengan istilah istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah Rechtwetenschap oleh
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai
Jurisprudence. Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechtwetenschap berarti Science of
Law. Istilah itu di hindari karena istilah science di indentikan dengan kajian yang bersifat
empiris. Kenyataannya, hukum bukanlah kajian empiris.
Istilah “penelitian hukum” terdiri dari dua kata yakni : “penelitian” dan “hukum”.
Asal kata “penelitian” adalah “teliti” yang berarti suatu tindakan yang penuh kehati-hatian
dan kecermatan. Sementara “hukum” diartikan sangat beragam sesuai dengan sudut pandang
masing-masing aliran filsafat hukum. Secara netral dan sederhana hukum dapat diartikan
sebagai : norma yang dibentuk, ditegakkan dan diakui oleh otoritas kekuasaan publik untuk
mengatur negara dan masyarakat, ditegakkan dengan sanksi. Obyek kajian ilmu hukum
sesungguhnya adalah norma, dan bukan sikap atau perilaku manusia, seperti yang dijadikan
obyek kajian misalnya oleh ilmu sosiologi, anthropologi, psikologi, ekonomi, dan politik.
Lebih jauh kata “penelitian” yang dalam kepustakaan keilmuan dikenal dengan kata
“research” terdiri dari dua akar kata yakni “re” dan “search”; “re” berarti kembali dan
“search” berarti menemukan sesuatu secara berhati-hati atau “examine, look carefully at,
through, or into …… in order to find something”.
Hukum bekerja didalam masyarakat yang terbingkai dengan keterkaitan subsistem
sosial lainnya seperti budaya, sosial kemasyarakatan, ekonomi dan politik. Dalam hubungan
kemasyarakatan interaksi antar individu dan kelompok berjalan sehingga akan sangat
mungkin terjadi friksi, konflik hingga sengketa di antara para pihak dalam interaksi tersebut.
Masyarakat sebenarnya sangat memahami bahwa ada prasarana formal yang dapat dipakai
untuk menyelesaikan semua perkara hukum yang dihadapinya, yakni due process of law.
sebagai karakter adanya negara hukum Indonesia. Esensi due process of Law adalah setiap
penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan “persyaratan konstitusional”
serta harus “menaati hukum”. Oleh karena itu, due process of Law tidak “memperbolehkan
terjadinya pelanggaran” terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna
menegakkan bagian hukum yang lain. Due process of law ternyata pelaksanaan sangat
kontekstual, tergantung tipe masyarakat, faktor situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Pada umumnya kesadaran masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan
para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebaliknya, apabila kesadaran masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga
akan rendah. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor sehingga perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum kerap kali salah satunya adalah perbuatan main hakim sendiri
(eigenrechting).
Hukum merupakan alat/sarana untuk mengatur tiap individu dalam berkehidupan
bermasyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Hukum perlu ditegakkan, namun proses penegakan/penindakan
hukum tersebut tidak mudah, hal ini terlihat dengan adanya eigenrechting yang terjadi
didalam masyarakat. Tindakan-tindakan eigenrechting celakanya hanya ditanggapi dengan
penanganan sangat parsial dan sempit oleh aparat penegak hukum yang mengabaikan “akar
masalah” nya sendiri dan perlu disadari bahwa eigenrechting itu lahir dalam suatu
lingkungan yang kondusif baik secara struktural maupun situasional.
Seyogyanya disadari bahwa berbagai tindakan anarkis berupa
eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri merupakan perwujudan dari apa yang
diistilahkan oleh Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan amarah) atau a hostile
frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan warga masyarakat pada
pranata formal termasuk terhadap law enforcement sudah teramat buruk, dan sudah menjadi
adagium yang universal. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum itu
memburuk, otomatis tindakan-tindakan anarkis berupa eigenrechting, demikian sebaliknya.
Untuk itu sangat beralasan untuk dikemukakan bahwa Indonesia membutuhkan suatu strategi
raksasa, dalam upaya penanggulanagan tindakan anarki berupa eigenrechting tersebut. Apa
yang dimaksudkan dengan strategi raksasa ialah pengembalian kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum Negara.
Berdasarkan penelusuran Penulis, salah satu tindakan eigenrechting yang pernah
terjadi yaitu peristiwa tindak pidana yang terjadi di tahun 2007 dengan nama terpidana Agus
Santoso bin Senen dan Yusroni bin Daliman melalui Putusan Pengadilan Negeri Boyolali,
No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.
109/Pid/2007/PT.SMG. tanggal 29 Mei 2007 dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.
2015 K/Pid/2007. Perbuatan eigenrechting tersebut bermula ketika terjadinya peristiwa
pencurian televisi yang diduga dilakukan oleh korban Suhardi, yang kemudian peristiwa
tindak pidana yang dimaksud menimbulkan rasa “menghakimi” oleh para terpidana yang
mengakibatkan terjadinya tindak pidana dimuka umum melakukan kekerasan terhadap orang
secara bersama-sama yang melanggar Pasal 170 KUHP ayat (1) dan (2) ke -1 KUHP yang
mana kedua terpidana tersebut dipidana dengan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan pidana
5
penjara.
Atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh para terpidana tersebut maka hal inilah
yang menjadi concern penulis untuk mengangkat serta menganalisa perbuatan hukum
tersebut berdasarkan Relevansi terhadap Pilihan Teori Hukum pada Pemecahan
Permasalahan Penelitian Hukum. Dan berdasarkan latar belakang masalah di atas maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
Eigenrechting merupakan perbuatan yang tidak mengindahkan hak orang lain yang
dilindungi hukum karena itu, eigenrechting jelas bertentangan dengan hukum selain itu,
eigenrechting juga tidak mencerminkan kepastian hukum. Indonesia adalah negara hukum
oleh karena itu, penulis ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan topik ini dengan
judul: Perbuatan Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) dan Relevansi terhadap
Pilihan Teori Hukum pada Pemecahan Permasalahan Penelitian Hukum (Dalam Putusan
Pengadilan Negeri Boyolali No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007 Di Muka
Umum Bersama-Sama Melakukan Kekerasan Terhadap Orang)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :

1. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadi Perbuatan tindakan main hakim sendiri
(Eigenrechting) ?

2. Bagaimana relevansi teori hukum pada Pemecahan Permasalahan Penelitian Hukum


terhadap perkara Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) dalam Putusan
Pengadilan Negeri Boyolali No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007 di muka
umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diatas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian
sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadi Perbuatan tindakan main
hakim sendiri (Eigenrechting.
2. Relevansi teori hukum pada Pemecahan Permasalahan Penelitian Hukum terhadap perkara
Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali
No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007 di muka umum bersama-sama
melakukan kekerasan terhadap orang.

D. Manfaat Penelitian
Penulisan hukum ini mempunyai manfaat baik secara obyektif maupun secara
subyektif sebagai berikut:
1. Secara Obyektif
Agar eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri yang sudah menjadi kebiasaan dalam
kehidupan masyarakat diminimalisir bahkan dihilangkan, sehingga kepastian hukum itu
ada, serta penegakan hukum dan keadilan di Indonesia dapat berjalan sebagaimana
mestinya serta terhadap pelaku eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri, dapat
diproses oleh aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
hukum yang berlaku (positif).
2. Secara Subyektif

Page 4
Agar seluruh masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan emosi amarah untuk
mendapatkan kepuasaan tersendiri dalam menindak pelaku kejahatan/pelanggaran, dapat
meredam emosi/amarahnya dan aparat penegak hukum sebagai pihak yang berwenang
dalam menegakan hukum dan keadilan di Indonesia terhadap pelaku eigenrechting/main
hakim sendiri, dapat bersikap tegas sehingga kepastian hukum dapat tercipta.

Page 5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Faktor yang menyebabkan terjadi Perbuatan tindakan main hakim sendiri


(Eigenrechting)

A. Hukum dan Pengertiannya

Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak hidup sendiri, manusia hidup
berdampingan, bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan antara
sesamanya. Hubungan ini terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya yang mustahil
dapat dipenuhi sendiri. Atas dasar itu kemudian seorang filsuf Yunani, Aris Toteles
menyebut bahwa manusia sebagai zoon politicon adalah mahluk sosial yang tidak bisa
hidup tanpa bantuan manusia/orang lain. Kebutuhan manusia bermacam-macam.
Pemenuhan kebutuhan hidup bergantung dari hasil daya upaya yang dilakukan. Setiap
waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat yang
bersamaan yang bersamaan dua manusia ingin memenuhi kebutuhan yang sama dengan
hanya satu objek kebutuhan, sedangkan keduanya tidak mau mengalah, maka
konskuensinya adalah akan timbul suatu bentrokan atau konflik. Suatu konflik akan terjadi
juga dalam suatu hubungan, antara manusia ada yang tidak memenuhi kewajiban. Jadi
deskripsi sederhananya adalah hukum mulai ada ketika dua kepentingan berbenturan
sehingga meniscayakan diperlukannya sebuah solusi, solusi ini kemudian yang lahir
berupa aturan. Aturan ini kemudian yang kita sebut sebagai hukum baik dalam bentuk
tertulis maupun tidak tertulis.Tentu dari pemaparan ini akan sangat relevan dengan
ungkapan “Ibis societas ibis ius” di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum.

Hal-hal semacam itu sebenarnya merupakan akibat dari tingkah laku manusia yang
menginginkan kebebasan. Suatu kebebasan dalam bertingkah laku tidak selamanya akan
menghasilkan sesuatu yang baik. Apalagi kalau kebebasan tingkah-laku seseorang tidak
dapat diterima oleh kelompok sosial lainnya. Oleh karena itu, untuk menciptakan
keteraturan sosial, baik dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial diperlukan
ketentuan-ketentuan. Ketentuan itu untuk membatasi kebebasan tingkah laku itu.
Ketentuan-ketentuan yang diperlukan adalah ketentuan yang timbul atas dasar kesadaran;
dan biasanya dinamakan hukum. Jadi, hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari
pergaulan hidup manusia. Hal itu timbul berdasarkan atas kesadaran manusia itu sendiri,

Page 6
sebagai konsekuensi logis dari adanya gejala-gejala sosial. Gejala-gejala sosial itu
merupakan hasil dari pengukuran baik tentang tingkah-laku manusia dalam pergaulan
hidupnya.

Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia bermacam-macam corak, tergantung


dari berat ringannya reaksi yang diberikan dalam memberikan penilaian. Berdasarkan
berat ringannya reaksi tersebut, akan ada ketentuan yang berkenaan dengan kesopanan,
kesusilaan, dan hukum. Jenis-jenis ketentuan itu berbeda dalam pelbagai hal dan akan
terlihat secara nyata kalau suatu ketentuan dilanggar oleh manusia. Misalnya, suatu
ketentuan menyatakan bahwa setiap orang yang muda hendaknya menghormati yang lebih
tua. Kalau seorang yang lebih muda bertemu dengan seorang yang yang lebih tua tidak
memberi salam, tingkah lakunya itu dipersepsikan sebagai suatu sikap yang tidak hormat.
Ini kemudian yang kita sebut sebagai sebuah norma kesusilaan (Abdoel Djamali 2005: 2 ).

Norma kesusilaan memiliki sanksi yang sifatnya tidak sama dengan norma hukum.
Pelanggaran ketentuan kesopanan atau kesusilaan oleh seseorang tidak melibatkan
kepentingan atau ketertiban secara sosial karena dialamatkan pada moralitas individu.
Berlainan halnya dengan ketentuan hukum. Setiap ketentuan hukum berfungsi mencapai
tata tertib antarhubungan manusia dalam kehidupan sosial. Hukum menjaga keutuhan
hidup agar agar terwujud suatu keseimbangan psikis dan fisik dalam kehidupan, terutama
kehidupan kelompok sosial yang merasakan tekanan atau ketidaktepatan ikatan sosial.
Berarti, hukum juga menjaga supaya selalu terwujud keadilan dalam kehidupan sosial
(masyarakat). Jadi, norma hukum merupakan suatu yang berkenaan dengan kehidupan
manusia dalam kelompok sosial tertentu. Hukum sebagai sebuah norma memiliki
karakteristik sebagai sebuah pembeda, yaitu hendak melindungi, mengatur, mengikat, dan
memaksa, serta berfungsi memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum.

Dari penjelasan di atas kemudian kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa
hukum adalah sebuah norma yang memiliki sifat mengikat, mengatur dan memaksa. Atas
dasar ini kemudian maka secara umum hukum didefinisikan sebagai suatu peraturan baik
tertulis maupun tidak tertulis yang memiliki kekuatan mengikat, mengatur dan memaksa.
Pengertian hukum di atas tentu terlepas dari adanya perdebatan bahwa apakah hukum
adalah suatu entitas yang dapat didefinisikan atau tidak, mengingat luasnya ruang lingkup
pembahasan hukum sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Page 7
B. Pengertian Eigenrechting / Tindakan Main Hakim Sendiri

Menurut kamus besar bahasa Indonesia main hakim sendiri atau istilah hukumnya
eigenrechting adalah menghakimi orang lain tanpa memperdulikan hukum yang ada
(biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan dan pembakaran atau sebagainya).
Eigenrechting dalam ilmu hukum yaitu merupakan tindakan menghakimi sendiri atau aksi
sepihak. Tindakan ini seperti memukul orang yang telah melakukan penipuan atau
tindakan penganiayaan yang dilakukan kepada pelaku pencurian yang tertangkap oleh
masyarakat. Tindakan menghakimi sendiri seperti ini merupakan sebuah tindakan untuk
melaksanakan hak menurut kehendak sendiri dengan sewenang-wenang tanpa persetujuan
pihak lain yang berkepentingan. Sebagai sebuah Negara dengan doktrin Negara Hukum
seperti yang dimaksud didalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa : “Indonesia adalah
sebuah negara hukum”. Tentu tindakan main hakim sendiri tidak memiliki satupun alasan
pembenar dari sisi normatif.

Dalam hukum, perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi kepada


seseorang untuk menegakan hukum karena pelaksanaan sanksi adalah monopoli penguasa.
Seperti yang ditegaskan Blackstone (Achmad Ali : 2008:25) “Law is a rule of action
prescribed or dictated by some superior which some interior is bound to obey”. Hukum
adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa
bagi orang-orang yang dikuasai untuk di taati”. Dari preposisi yang ditegaskan oleh
Blackstone tersebut mengindikasikan bahwa semua bentuk tindakan hukum terhadap
pelanggaran maupun kejahatan adalah otoritas pemerintah. Masyarakat di luar dari
pemerintah sebagai pemiliki otoritas tidak memiliki hak sama sekali untuk melakukan
sebuah tindakan karena secara normative tidak memiliki dasar legitimasi.

Tetapi dari konteks sosiologi, eigenrechting masih marak terjadi. Kecenderungan


massa ketika menemukan pelaku kejahatan dalam keadaan tertangkap basah langsung
melakukan pemukulan. Jelas tindakan ini tidak punya alasan pembenar dari sisi hukum
apalagi ketika kita kembali pada kesimpulan bahwa hukum adalah otoritas penguasa
dalam hal ini diwakilkan melalui lembaga-lembaga hukum. Kecenderungan ini akan
banyak ditemui dengan maraknya kasus pemukulan yang dilakukan secara beramai-ramai
oleh massa. Massa tidak bisa mengendalikan emosi ketika berhadapan dengan situasi
seperti ini.

Page 8
Tindakan menghakimi sendiri itu dilarang pada umumnya tetapi tidak selalu
demikian. Ada juga tindakan yang sebenarnya dikategorikan main hakim sendiri atau
eigenrechting tetapi memiliki alasan pembenar ataupun alasan pemaaf. Alasan pembenar
dan pemaaf kemudian sehingga suatu perbuatan sekalipun dikategorikan sebagai tindakan
main hakim sendiri tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebab adanya
alasan pembenar ataupun pemaaf menjadikan suatu unsur pidananya menjadi gugur.
Setiap pelanggaran kaedah hukum pada dasarnya harus dikenakanmsanksi, setiap
pembunuhan, setiap pencurian harus ditindak, pelakunya harus dihukum. Tetapi ada
perbuatan-perbuatan tertentu yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran kaedah
hukum tetapi pelanggarnya tidak dikenakan sanksi.

Pada hakekatnya tindakan menghakimi sendiri ini merupakan pelaksanaan


sanksi/kelompok. Hanya saja sanksi yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok
sulit diukur berat ringannya, karena massa terkadang dapat bertindak kalap dan tidak
terkendali. Smelser mempertanyakan kenapa perilaku kolektif terjadi. Dia merinci enam
faktor yang menurutnya menentukan untuk terjadinya perilaku atau kekerasan kolektif,
enam faktor tersebut adalah :

1. Adanya pendorong struktural (structural condusivenness)


2. Ketegangan struktural (structural strain)
3. Tumbuh dan menyebarnya suatu kepercayaan yang
digeneralisasikan (Growth and spread of belief)
4. Factor-faktor pencetus (precipitating factors)
5. Mobilitas para pemeran serta pada tindakan (Mobilization of Partisipants for
action)
6. Bekerjanya pengendalian sosial (The operation of social control)

C. Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) sebagai Perbuatan Hukum


Tindak Pidana

Undang-undang Dasar Negara Indonesia 1945, menyatakan bahwa negara Indonesia


adalah Negara Hukum. Artinya segala hal yang ada di Indonesia diatur dengan suatu
aturan hukum, termasuk aturan Main Hakim Sendiri. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai Main Hakim
Sendiri. Namun, dalam pengaturan tersebut tidak dinyatakan secara langsung, bahwa

Page 9
tindakan yang diatur tersebut dinamakan tindakan “Main Hakim Sendiri”. Sebagai contoh,
pengaturan mengenai tindakan “Penganiayaan” dalam pasal 351 KUHP. Dalam pasal
tersebut tidak disebutkan bahwa “penganiayaan” merupakan tindakan Main Hakim
Sendiri. Namun, jika kita membaca unsur-unsur dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa dalam situasi tertentu (contohnya, ketika ada pelaku pencurian motor tertangkap
basah oleh warga kemudian dipukuli beramai-ramai oleh warga tersebut), tindakan
“penganiayaan” dapat masuk atau dikategorikan sebagai tindakan Main Hakim Sendiri.

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan kata “stafbaar feit” untuk


menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia (KUHP) tanpa memberikan suatu penjelasan apa yang
sebenarnya dimaksud dengan istilah tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa
Belanda memiliki arti “sebagian dan sesuatu kenyataan” atau “een gedeelte van de
werkelijheid”, sedang “strafbaar” berarti dapat dihukum, hingga secara harfiah perkataan
“strafbaar feit” itu diterjemahkan sebagai bagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum.

Main hakim sendiri merupakan suatu tindak pidana yaitu berbuat sewenang-wenang
terhadap orang orang yang dianggap bersalah karena melakukan suatu kejahatan. Orang
yang melakukan suatu kejahatan. Orang yang melakukan tindak pidana dinamakan
penjahat (criminal) merupakan objek kriminologi terutama dalam pembicaraan ini tentang
etiologi kriminal yang menganalisa sebab-sebab berbuat jahat. Perluasan kepentingan
negara terhadap perkara kejahatan di topang oleh kelahiran konsep “kejahatan yang
dilakukan terhadap orang lain harus dibalas dengan kekejaman juga”.

D. Faktor yang mempengaruhi terjadinya Eigenrechting / Tindakan Main Hakim


Sendiri dan Penanggulangannya

Faktor penyebab terjadinya tindakan Eigenrechting terhadap pelaku tindak pidana


baik yang dilakukan sendiri atau bersama kebiasaan main hakim sendiri oleh masyarakat
tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, secara umum dan mendasar yang menjadi
penyebab adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Dalam literatur, ada beberapa
hal yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum, penghambat tersebut adalah
sebagai berikut lemahnya political will dan political action para pimpinan negara ini,
untuk menjadikan hukum sebagai panglima dalam penyelengaraan pemerintahan. Dengan
kata lain, supremasi hukum

Page 10
masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat
kampanye, peraturan perundang-undangan yang saat ini masih lebih merefleksikan
kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat, Rendahnya integritas moral,
kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (hakim, jaksa,
polisi, dan advokat) dalam menegakkan hukum, minimnya sarana dan prasarana serta
fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegak hukum, tingkat kesadaran dan
budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum,
paradigma penegakan hukum masih positive-legalistik yang lebih mengutamakan
tercapainya keadilan formal (formal justice), kebijakan (policy) yang diambil oleh pihak
terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial,
tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.

Sementara itu, dalam praktik penegakan hukum faktor-faktor yang menjadi


penyebab main hakim sendiri dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, dalam hal ini
penulis akan memberikan tiga (3) sudut pandang yaitu dari pihak penyidik, korban yang
pernah mengalami, dan (tokoh) masyarakat yang di daerahnya pernah terjadi perbuatan
main hakim sendiri. Sudut pandang yang pertama adalah menurut penyidik dari Polres
Klaten faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya perbuatan main hakim sendiri adalah
kesadaran hukum masyarakat yang masih kurang, tidak adanya laporan kepada pihak
kepolisian, masyarakat tidak bisa mengontrol emosi, main hakim sendiri dianggap hal
yang biasa dan sudah menjadi kebiasaan, tingkat krimnalitas yang tinggi, sekedar iseng
dan ikut-ikutan.

Dilihat dari sudut pandang (tokoh) masyarakat yang di derahnya pernah terjadi
tindakan main hakim sendiri, bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi tindakan main
6
hakim sendiri adalah sebagai berikut: rasa solidaritas masyarakat yang tinggi khususnya
di daerah pedesaan, kurang percayanya masyarakat kepada pihak kepolisian, tidak adanya
kedekatan antara polisi dan masyarakat, kurang cepatnya polisi dalam menindaklanjuti
laporan warga. Sudut pandang yang ke tiga merupakan faktor penyebab tindakan main
hakim sendiridari perspektif korban yang pernah mengalami, berdasarkan hasil
penelitianbahwa menurut korban ada dua hal yang menjadi penyebab terjadnya main
hakim sendiri yaitu sebagai berikut: pembiaran yang dilakukan oleh kepolisian atas
tindakan main hakim sendiri, faktor emosi dan dendam.

Page 11
Upaya Penanggulangan Tindakan Eigenrechting terhadap pelaku tindak pidana baik
yang dilakukan sendiri atau bersama kepolisian lebih menggutamakan upaya preventif
sebelum melakukan tindakan represif dalam upayanya untuk menanggulangi main hakim
sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Cara pertama yang dilakukan pihak kepolisian
agar main hakim sendiri dapat ditanggulangi adalah dengan cara preventif. Tindakan
preventif merupakan suatu tindakan yang diambil oleh pihak kepolisian guna mencegah,
mengantisipasi dan meredam suatu pelanggaran atau penyimpangan sebelum terjadi yang
biasanya dilakukan dengan memberi bimbingan, pengarahan dan ajakan. Wujud dari
tindakan atau cara preventif yang dilakukan oleh pihak berwajib yaitu dengan cara
dibentuknya Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
(Bhabinkamtibmas) sebagai pengemban polmas didesa/kelurahan berdasarkan Peraturan
Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat.

Yang dimaksud dengan polmas adalah kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui
kemitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan
mengidentifikasi permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di
lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Bentuk keseriusan dari pihak
kepolisian guna menanggulangi tindak pidana main hakim sendiri tercermin darifungsi,
tugas pokok dan wewenang Bhabinkamtibmas yang dibentuk sebagai pihak terdepan untuk
mewujudkan tertib hukum didalam masyarakat. Pemolisian masyarakat merupakan
pebaharuan besar pertama dalam kepolisian sejak aparat kepolisian menganut prinsip
manajemen ilmiah lebih dari setengah abad yang lalu. Hal ini merupakan perubahan yang
cukup drastis dalam konteks interaksi polisi dengan masyarakat.

Sebuah falsafah baru yang memeperluas misi kepolisian dari yang semula cenderung
berfokus kepada kriminalitas berubah menjadi kewajiban yang mendorong kepolisian untuk
mendayagunakan solusi kreatif bagi berbagai persoalan dalam masyarakat termasuk
kriminalitas,kecemasan masyarakat, ketidaktertiban dan terganggunya kerukunan warga.
Perpolisian masyarakat bersandar pada kepercayaan bahwa hanya dengan kerjasamalah
masyarakat dan polisi akan mampu meningkatkan mutu kehidupan di dalam masyarakat,
dengan polisi diharapkan untuk dapat berperan tidak hanya sebagai penasehat, tetapi juga
sebagai fasilitator dan pendukung gagasan baru dengan basis masyarakat serta disupervisi
oleh polisi.

Page 12
Upaya preventif lain yang dapat dilakukan kepolisian dilakukan dengan cara:
melakukan patroli rutin, melibatkan tokoh masyarakat untuk mencegah tindakan
main hakim sendiri, bekerja secara jujur dan transparan guna meningkatkan
kepercayaan masyarakat, memberikan penyuluhan hukum. Selain upaya preventif
kepolisian juga akan melakukan upaya represif kepada pelaku tindak pidana main
hakim sendiri, yang dimaksud upaya represif adalah penindakan yang dilakukan
oleh pihak berwajib atas adanya penyimpangan sosial yang terjadi agar

penyimpangan tersebut dapat dihentikan guna memberi pengajaran, efek jera dan
pertanggungjawaban atas perbuatan yang diakukan pelaku tindak pidana dalam hal ini
eigenrechting tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Upaya represif itu dilakukan setelah terjadi tindak pidana main hakim sendiri, upaya
ini adalah cara yang ditempuh pihak kepolisian apabila cara pencegahan dianggap gagal dan
main hakim sendiri masih terjadi di masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah memberi
sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana sesuai dengan pasal KUHP yang dilanggar pelaku
tersebut, dalam kasus tindak pidana main hakim sendiri kepolisian akan menerapkan Pasal
351 KUHP apabila pelaku dianiaya, Pasal 338 KUHP apabila korban main hakim sendiri
tersebut meninggal dunia, apabila pelaku melakukan kekerasan terhadap orang atau barang
secara bersama-sama akan dikenai Pasal 170 KUHP, ketentuan yang lain adalah Pasal 406
KUHP apabila pelaku menghancurkan barang milik si korban yang mengakibatkan tidak
dapat dipakainya barang tersebut.

Selain upaya yang dilakukan oleh kepolisian, peran serta tokoh masyarakat yang
menjadi bagian dari strategi penanggulangan tindak pidana main hakim sendiri menjadi
langkah yang dirasa tepat, keberadaan tokoh masyarakat yang dapat tampil ke depan menjadi
pengontrol masa ketika tindakan main hakim sendiri terjadi akan sangat berguna ketika
belum ada polisi yang datang ke TKP. Kontibusi pihak tokoh masyarakat baik itu tokoh
agama, RT, RW ataupun Kepala Desa berperan penting dalam upaya penanggulagan main
hakim sendiri yang ada di masyarakat, masa cenderung lebih mendengarkan himbauan para
tokoh masyarakat dari pada himbauan dari pihak kepolisian, untuk itu semua tokoh
masyarakat yang ada harus salin menopang dan memperkuat kinerja kepolisian sehingga
main hakim sendiri dapat diantisipasi dan masa dapat dikendalikan.

Page 13
Keefektifit asan tokoh masyarakat dalam mengatasi berbagai masalah termasuk
tindakan main hakim sendiri di bandingkan dengan penerapan hukum positif dikarenakan
7
adanya beberapa aspek yang harus lebih diperhatikan di dalam penerapannya yaitu: kualitas
perundang-undangan, penegakan hukum yang tidak bijaksana karena bertentangan dengan
aspirasi masyarakat, kesadaran hukum yang
masih rendah, yang berhubungan dengan sumber daya manusia, rendahnya pengetahuan
terhadap hukum, sehingga menimbulkan kesan tidak profesional dan tidak jarang
menimbulkan malpraktek di bidang penegakan hukum, mekanisme lembaga hukum yang
fragmentaris, sehingga tidak jarang menimbulkan disparitas penegak hukum dalam kasus
yang sama atau kurang lebih sama, budaya hukum tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang
belum terpadu, sebagai akibat perbedaan persepsi tentang HAM. Bentuk upaya yang
dilakukan oleh tokoh masyarakat untuk menanggulangi perbuatan main hakim sendiri adalah
dengan cara: menerapkan Siskamling disetiap desa, bertindak cepat datang ke TKP,
membangun kedekatan dengan pemuda.

7 Muladi, 1997, Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hal. 17

Page 14
2. Relevansi teori hukum pada Pemecahan Permasalahan Penelitian Hukum terhadap
perkara Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) dalam Putusan Pengadilan
Negeri Boyolali No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007 di muka umum
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang

A. Kasus posisi eigenrechting sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007

Bahwa Terdakwa I Agus Santoso dan Terdakwa II Yusroni baik secara bersama-sama
maupun secara sendiri dengan saksi Triyono dan saksi Saliman (yang perkaranya displit
dan disidangkan tersendiri) sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan
atau turut serta melakukan, pada hari Sabtu tanggal 14 Oktober 2006 sekira jam 01.30
WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Oktober 2006 di tengah sawah
sebelah Barat Dukuh Sawit, Desa Sindon, Kec. Ngemplak, Kab. Boyolali, atau setidak-
tidaknya di suatu tempat di daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali, dengan sengaja,
menghilangkan nyawa orang, perbuatan para Terdakwa dilakukan dengan cara.sebagai
berikut:

Ketika para Terdakwa mendengar kabar dari saksi Sugiman yang memberitahu bahwa
adik saksi Sugiman yang bernama Sugimin telah kehilangan Televisi yang di duga telah
dicuri oleh korban Suhardi, lalu para Terdakwa masing-masing sambil membawa sepotong
kayu bersama saksi Triyono dan saksi Saliman berusaha mencari Televisi disekitar
kampung, namun tidak diketemukan, kemudian mencari ke sawah-sawah berhasil
menemukan Televisi, lalu saksi Triyono kembali ke kampung memberi tahu warga bahwa
Televisi telah ditemukan di tengah sawah sedangkan para Terdakwa dan saksi Saliman
tetap berada di tengah sawah menunggui Televisi, sesaat kemudian saksi Triyono kembali
lagi ke sawah memberitahu kepada para Terdakwa dan saksi Saliman kalau warga sudah
siap di kampung, tidak lama kemudian korban Suhardi datang mengambil Televisi lalu
para Terdakwa bersama saksi Triyono dan saksi Saliman berteriak maling-maling sambil
berusaha menangkap korban Suhardi namun korban Suhardi melemparkan Televisi kearah
saksi Saliman dan saksi Triyono lalu korban Suhardi melarikan diri ke arah Selatan,
selanjutnya para Terdakwa bersama saksi Triyono dan saksi Saliman berusaha mengejar
korban Suhardi, sesampainya di sebelah Selatan sungai korban Suhardi berbalik arah
memukul saksi Triyono dengan menggunakan sebongkah tanah, lalu saksi Triyono
membalas dengan menggunakan besi bekas skok sepeda motor memukul korban Suhardi

Page 15
hingga jatuh tertelungkup, kemudian para Terdakwa bersama saksi Saliman beramai-ramai
memukul korban Suhardi, dengan cara:

- Saksi Saliman dengan menggunakan bendo (pisau besar) diayunkan kearah korban
Suhardi mengenai kepala bagian belakang sebanyak 2 kali, mengenai tangan 1 kali
dan mengenai kaki sebanyak 2 kali;

- Terdakwa I dengan menggunakan kayu berbentuk bulat kecil dengan panjang


kurang lebih 1 meter memukul korban Suhardi sebanyak 2 kali mengenai bagian
punggung dan tangan;

- Terdakwa II dengan menggunakan kayu berbentuk bulat kecil dengan panjang


kurang lebih 1 meter memukul korban Suhardi sebanyak 2 kali mengenai bagian
punggung dan tangan;

Selanjutnya para Terdakwa bersama saksi Triyono dan saksi Saliman meninggalkan
korban Suhardi tergeletak dan meninggal dunia di tempat kejadian, menuju kampung
untuk memberi tahu kepada warga bahwa korban Suhardi yang diduga mencuri Televisi
telah tertangkap dan tergeletak di sebelah Selatan sungai. Akibat perbuatan para Terdakwa
bersama saksi Triyono dan saksi Saliman korban Suhardi meninggal dunia sebagaimana
Visum et Repertum No: 60/MF/X/2006, tanggal pemeriksaan, 14 Oktober 2006, yang
ditandatangani oleh dr. Budiyanto, SpF. Dokter pada bagian Kedokteran Forensik dan
Medicolegal Fakultas Kedokteran Universitas sebelas Maret dengan kesimpulan hasil
pemeriksaan sebagai berikut: Korban meninggal karena kerusakan jaringan otak akibat
pecahnya tulang dasar tengkorak oleh karena kekerasan benda tajam pada kepala,
perkiraan saat kematian 12 sampai 24 jam yang lalu (13 Oktober 2006 jam 19.30 sampai
14 Oktober jam 07.30).

C. Bentuk tindakan main hakim sendiri eigenrechting

Tindakan main hakim sendiri merupakan suatu respon masyarakat terhadap suatu
peristiwa kejahatan yang malah menciptakan suasana tidak tertib. Masyarakat yang
harusnya menaati hukum yang berlaku yang telah ditetapkan oleh penguasa bertindak
sebaliknya, mereka melakukan suatu respon terhadap adanya kejahatan dengan
menghakimi sendiri pelaku tindak pidana. Akan tetapi apabila dilihat dari pengertian
tindak pidana yang telah diuraikan dimuka maka akan tampak jelas bahwa apa yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang tertangkap oleh

Page 16
masyarakat dengan dipukuli sampai babak belur bahkan sampai dengan membakarnya
hidup-hidup merupakan suatu bentuk lain dari kejahatan (Andi Hamzah 1986:167).
Tindakan main hakim sendiri ini lebih sering dilakukan secara massal untuk menghindari
tanggung jawab pribadi serta menghindari pembalasan dari teman atau keluarga korban.
Tindak kekerasan yang diambil masyarakat dianggap sebagai langkah tepat untuk
menyelesaikan suatu masalah yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.

Bentuk-bentuk tindak pidana main hakim sendiri (eigenrechting) terhadap pelaku


tindak pidana yang dilakukan oleh massa, dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan dengan
perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah dari segi subyek
pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh karena itu perbuatan pidana yang dilakukan
secara massal pembahasannya dititik beratkan pada kata “massa”.

Berdasarkan kata “massa” yang menunjuk pada pelaku pada perbuatan pidana
dimaksudkan adalah dua orang lebih atau tidak terbatas maksimalnya. Melihat definisi
tersebut, perbuatan pidana yang dilakukan oleh massa juga dapat dikatakan dilakukan
secara kolektif, karena dalam melakukan perbuatan pidana para pelaku dalam hal ini
dengan jumlah yang banyak/lebih dari satu orang dimana secara langsung atau tidak
angsung baik direncanakan ataupun tidak direncanakan telah terjalin kerja sama baik hal
tersebut dilakukan secara bersama-sama maupun sendiri sendiri dalam hal satu rangkaian
peristiwa kejadian yang menimbulkan perbuatan pidana atau lebih spesifik
menimbulkan/mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik ataupun non fisik. Hal ini di
atur dalam Pasal 170 KUHP. Pasal 170 KUHP berbunyi demikian:

“(1) Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan


terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

(2)Tersalah dihukum:

1. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan


barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.
2. Dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun,jika kekerasan itu menyebabkan
luka berat pada tubuh

Page 17
3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu
menyebabkan matinya orang.”
Perlu diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini sebagai berikut:
1. Barangsiapa. Hal ini menunjukkan kepada orang atau pribadi pelaku.
2. Di muka umum. Perbuatan itu dilakukan di tempat dimana publik dapat
melihatnya
3. Bersama-sama, artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Arti
kata bersama-sama ini menunjukkan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan
sengaja (delik dolus) atau memiliki tujuan yang pasti, jadi bukanlah merupakan
ketidaksengajaan (delik culpa).
4. Kekerasan, yang berarti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang
tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri dari
“merusak barang” atau “penganiayaan”.
5. Terhadap orang atau barang. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau
barang sebagai korban.
Biasanya pasal ini sering dipakai oleh penuntut umum untuk menjerat para pelaku
perbuatan pidana yang dilakukan oleh massa yang terbentuk secara tidak terorganisir.
Sedangkan Pasal 170 KUHP mengandung kendala dan berbau kontroversi
karena subyek “barang siapa” menunjuk pelaku satu orang, sedangkan istilah” dengan
tenaga bersama” mengindikasikan suatu kelompok manusia. Delik ini menurut penjelasannya
tidak ditujukan kepada kelompok atau massa yang tidak teratur melakukan perbuatan pidana,
ancamannya hanya ditujukan pada orang-orang diantara kelompok benar benar terbukti serta
dengan tenaga bersama melakukan kekerasan. Dalam kelompok massa yang unik sifatnya
jelas delik seperti ini sukar diterapkan.
Jadi Pasal 170 relevan diterapkan pada massa yang reaksioner atau spontanitas dalam
melakukan perbuatan pidana. Berbeda halnya dengan massa yang terorganisir
bisa menggunakan pasal pada delik penyertaan, karena dalam pasal-pasalnya jelas mengenai
kedudukan para pelaku yang satu dengan yang lain, tidak seperti massa yang
reaksioner (tidak masuk dalam delik penyertaan yaitu penganjuran) dimana mas
sa tidak jelas kedudukan satu dengan yang lain, dan otomatis dalam hal ini dipandang
sama-sama sebagai pelaku yang mempunyai tanggung jawab yang sama dengan pelaku
yang lain.
Adapun yang selama ini menjadi permasalahan adalah terkait tindakan hukum
dan pemberian sanksi yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau

Page 18
sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya di lapangan. Pada
perbuatan pidana yang dilkukan oleh massa untuk menentukan batas maksimal dari jumlah
massa sulit, sebagaimana pengertian dari kata “massa” adalah dua orang untuk minimal dan
tidak terbatas untuk maksimal. Jadi massa dalam hal ini ada 2 kategori dari jumlah massa
yaitu, massa yang jelas berapa jumlahnya dan massa yang tidak jelas berapa jumlah
massanya (Adami Chazawi, 2002:123).
Untuk massa yang jelas berapa jumlah massanya adalah dimana massa yang terlibat
perbuatan pidana dapat dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan
dalam melakukan perbuatan pidana, sebab hal tersebut sudah diatur dalam hukum pidana
yaitu pada delik penyertaan. Sedangkan untuk massa yang tidak jelas berapa banyak jumlah
massanya adalah dimana massa banyak serta sulit dihitung dengan nominal, sehingga
menyulitkan dalam menentukan apakah semua massa yang banyak terlibat semua atau tidak,
atau hanya sebagiannya saja.

D. Relevansi Teori Hukum pada Pemecahan Permasalahan Penelitian Hukum terhadap


perkara Tindakan Main Hakim Sendiri (Eigenrechting) dalam Putusan Pengadilan
Negeri Boyolali No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret 2007 di muka umum
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang

a) Relevansi Teori Sosiologis pada Eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri

Eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri merupakan sebuah perwujudan dari


apa yang di istilahkan oleh Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan amarah) atau a
hostile frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan masyarakat
pada pranata formal termasuk terhadap penegakan hukum (law enforcement) sudah
teramat buruk, dan sudah menjadi
adagium yang universal. Tingkat kepercayaan masyarakat penegakan hukum sangat
rendah, maka dengan sendirinya masyarakat cenderung menyelesaikan masalah
dengan caranya sendiri Eigenrechting akan meningkat. Atas dasar itu maka sangat
beralasan ketika kita mengemukakan bahwaIndonesia pada umumnya
membutuhkan suatu strategi baru, dalam upaya penanggulangan perbuatan
main hakim tersebut. Apa yang dimaksud dengan strartegi baru tersebut adalah
pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat penegak
hukum.

Page 19
Tetapi di sisi lain kecenderungan masyarakat melakukan pemukulan ketika
menemukan pelaku kejahatan juga adalah suatu hal yang sudah biasa terjadi.
Pemukulan, pengeroyokan sampai tindakan yang mengarah kepada terancamnya jiwa
dari pelaku kejahatan juga biasa ditemukan. Dari sudut pandang sosiologi hukum, tentu
hal ini merupakan suatu fenomena yang membutuhkan diskursus tertentu. Sebab
Tindakan seperti ini sudah mengakar menjadi sebuah budaya (Culture) yang tentunya
akan menjadi pembahasan menarik bagaimana sosiologi hukum memandang fenomena
seperti ini. Tindakan main hakim sendiri ini sudah tidak jarang ditemui, masyarakat
cenderung melakukan pengeroyokan secara bersama-sama atas pelaku kejahatan.
Kecenderungan ini kemudian dikhawatirkan menjadi sebuah karakteristik bahwa
masyarakat cenderung destruktif dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
seharusnya digiring ke ranah hukum dalam hal ini ini diserahkan kepada pihak yang
berwajib.

Tindakan main hakim sendiri (Eigenrechting) ini kemudian dalam tatanan


hukum nasional bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocence). Jadi seseorang tidak boleh dihukumi bersalah atau tidaknya tanpa
melalui suatu proses hukum, sebab ada kemungkinan seseorang tidak bersalah
tetapi menjadi korban tindakan main hakim sendiri. Masyarakat tidak boleh
terprovokasi pada situasi-situasi tertentu di mana eksistensi hukum diperlukan.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama hukum merupakan instrumen pengendali
sosial. Hal ini kemudian yang memunculkan beragam persoalan ketika tindakan main
hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan dianggap sebagai suatu fenomena yang biasa
saja.

Dalam hal pandangan aliran formal yang dianut oleh Jhon Austin (1970-1859), ia
mengatakan bahwa : hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi (law is command of the lawgivers) atau dari pemegang kedaulatan.
Menurut Austin, hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk
berfikir, perintah mana yang dilakukan oleh makhluk berfikir yang memegang dan
mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutu[ dan karena ajarannya dinamakan Analitical Jurisprudence.
Ajaran Austin kurang/tidak memberi tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.

Page 20
Austin membagi hukum dalam 2 (dua) bagian:

1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia


2. Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia, hukum ini terbagi lagi menjadi 2
(dua) bagian:
a. Hukum yang sebenarnya; hukum yang tepat disebut sebagai hukum, jenis
hukum ini disebut juga sebagai hukum positif. Hukum yang sebenarnya
mengandung: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum yang
sebenarnya terbagi 2 (dua):
 Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain-lain.
 Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara individual
yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya, misalnya: hak kurator terhadap badan/orang dalam
kuratele atau hak wali terhadap orang yang berada dibawah
perwalian.
b. Hukum yang tidak sebenarnya; adalah bukan hukum yang merupakan
hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-
peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan
tertentu.

Pemikiran Jhon Austin tersebut didalam eigenrechting dapat dikaitkan pada


pembagian kedua yaitu “hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia” dalam hal ini
dikenal dengan hukum positif. Hukum positif merupakan sederet asas dan kaidah hukum
yang berlaku saat ini, berbentuk kedalam lisan maupun tulisan yang keberlakuan hukum
tersebut mengikat secara khusus dan umum yang diegakkan oleh lembaga peradilan atau
pemerintahan yang hidup dalam suatu negara demi mencapai nilai keadilan yang
didasarkan pada hukum positif.

Rasa keadilan dalam diri berdasarkan putusan Majelis Hakim, menurut majelis
belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan efek jera
bagi para Terdakwa, khususnya dan masyarakat Boyolali pada umumnya untuk
melakukan tindakan main Hakim sendiri. Bahwa putusan Majelis Hakim sama sekali
tidak memperhatikan kepentingan hukum dari sisi korban, telah mengesampingkan hak-
hak korban dan keluarganya untuk memperoleh perlindungan dan keadilan hukum,

Page 21
faktanya saksi isteri tidak pernah mendapat santunan dari para Terdakwa baik biaya
pemakaman maupun biaya otopsi, dengan demikian putusan Majelis Hakim tidak ada
keseimbangan antara kepentingan hukum korban dan keluarganya dengan kepentingan
hukum para Terdakwa , yang akan berpengaruh terhadap kepentingan hukum Negara
yang berakibat pada terganggunya kehidupan tata sosial di masyarakat khususnya di
wilayah korban dan keluarganya bertempat tinggal.

Bahwa Putusan Majelis Hakim dengan memakai frame “ Penegakan Hukum


Progresif” yang berintikan kemampuan menentukan bagaimana suatu peraturan hukum
dibaca dan diterjemahkan sehingga mampu menangkap juga proses peradilan yang
melingkupi determinasi dan compasision, sehingga dalam perkara ini akan melihat suatu
perbuatan dari pelaku tidak hanya semata-mata hanya dalam artian atau konteks formal
saja tetapi juga material yang cenderung positif, bahwa dalam menilai hukum tidak
hanya secara tekstual seperti apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan saja
namun juga harus kontekstual dengan melihat factor-faktor yang melingkupi penerapan
hukum tersebut akan terapi putusan Majelis Hakim menjatuhkan Strafmatch/pidana tidak
progressif, dan tidak kontekstual. fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa para
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pemukulan
terhadap korban Suhardi alias Gunung yaitu Terdakwa I Agus Santoso memukul dengan
tangan kosong berulang kali dari atas dan menginjak satu kali mengenai punggung
bagian belakang, kemudian Terdakwa II: Yusroni memukul korban dengan
menggunakan tangan kosong mengenai punggung dan perut. Disamping itu fakta dalam
persidangan jelas –jelas menunjukkan bahwa korban Suhardi pada akhirnya meninggal
dunia meskipun penyebab kematian korban menurut Visum et Ripertum karena
kerusakan jaringan otak akibat pecahnya tulang dasar tengkorak oleh karena kekerasan
benda tajam pada kepala.

Bahwa perbuatan para Terdakwa adalah perbuatan main Hakim sendiri, sehingga
putusan Majelis Hakim yang tidak sepadan dengan perbuatan Terdakwa adalah
merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum, perbuatan para Terdakwa yang main
Hakim sendiri dengan melakukan pemukulan terhadap korban Suharadi yang hanya baru
diduga telah melakukan pencurian yang bagaimanapun belum ada kepastian hukum yang
menyatakan bahwa korban adalah pencuri, dengan demikian putusan Majelis Hakim
yang tidak sepadan dengan perbuatan para Terdakwa akan memberikan gambaran pada
masyarakat bahwa tindakan main Hakim sendiri seakan-akan ada toleransi hukum bagi

Page 22
pelakunya, sehingga akan memberikan contoh masyarakat lain untuk berbuat sama,
dalam masyarakat Indonesia khususnya Kab. Boyolali, yang semakin meningkat
kesadaran hukumnya perbuatan main Hakim sendiri adalah perbuatan asosial. Sehingga
berdasarkan argumentasi hukum di atas, nyata putusan Majelis Hakim belum memenuhi
rasa keadilan masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan efek jera bagi para
Terdakwa, khususnya dan masyarakat Boyolali pada umumnya untuk melakukan
tindakan main Hakim sendiri.

b) Relevansi Teori Positivisme pada Eigenrechting / perbuatan main hakim sendiri


Istilah positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte. Istilah itu berasal dari kata
positif. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah
filsafat positif dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang
bukunya. Kata filsafat dia artikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep
manusia, sedangkan positif diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan
fakta-fakta yang teramati. Dengan kata lain, positif sama dengan faktual, atau apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan
hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.
Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, dan seni
yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual. Satu-
satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu
pengetahuan. Fakta dimengerti sebagai fenomena yang dapat diobservasi. Oleh karena
itu, sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme. Akan tetapi, sementara
empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani.
positivisme menolaknya sama sekali.
Pada positivisme, yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman
objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indriawi. Oleh karena itu,
positivisme adalah hasil ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam
8
Pencerahan Prancis.

Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya


ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan
pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang
melalui tiga tahap, yakni: tahap teologis, tahap metafisis, tahap positif. Ketiga tahap itu

8 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2004), hlm.
204

Page 23
dipahami oleh Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai
suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga besesuaian dengan tahap-tahap
perkembangan individu dari masa kanak-kanak, melalui masa remaja, ke masa dewasa.
Dalam tahap teologis, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab
terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menentukannya dalam kekuatan-
kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut dewa-dewa atau Allah,
dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Zaman ini lalu
dibagi menjadi tiga sub-bagian. Pada sub-tahap yang paling primitif dan kanak-kanak,
yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia menganggap objek-objek fisik itu
berjiwa, berkehendak, dan berhasrat. Pada tahap berikutnya, politeisme, kekuatan-
kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Akhirnya, pada tahap
monoteisme, dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang disebut
Tuhan.
Dalam tahap metafisis, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti
seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap
sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya,
konsep ether, dan causa. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah
seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-
konsep abstrak menganai alam sebagai keselurahan. Tidak ada lagi Tuhan dan dewata,
yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.
Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif.
Pada zaman ini, umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-fakta
yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang factual, yang sebenarnya
bekerja menurut hukum-hukum umum, seperti hukum gravitasi. Pada tahap inilah ilmu
pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real,
tapi juga bersifat pasti dan berguna. Comte juga menghubungkan tahap-tahap mental
tersebut dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya
dengan absolutisme, misalnya otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap
metafisis, absolutisme raja dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak
abstrak rakyat dan hukum.
Akhirnya, pada tahap positif, organisasi masyarakat industri menjadi pusat
perhatian. Ekonomi menjadi primadona, dan kekuasaan elit intelektual muncul. Mereka

Page 24
ini menduduki peran organisasi sosial, dan bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru
9
yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat industri.
Paham legal positivism ini juga senada dengan perkembangan paradigma
keilmuan lainnya. Era legal positivism ini diawali dengan perubahan paradigmatik di
bidang sains dan filsafat ilmu. Fase paham hukum alam dan hukum Tuhan, identik
dengan apa yang disebut oleh Comte sebagai fase magic dan fase metafisik. Kemudian,
ketika muncul paham positivisme, paham tentang hukum positif (legal positivism) juga
terjadi. Pemikiran-pemikiran tentang kedaulatan rakyat, pembagian kekuasaan,
kebebasan manusia mulai bermunculan di era ini, sebgai respons terhadap realitas sosial
saat itu. JJ Rousou yang menulis buku du contract social ou principles du droit
politique menyatakan bahwa orang-orang melakukan kontrak bersama untuk
mewujudkan cita-cita individualnya, menjadi kehendak umum (volonte generale);
kemudian terciptakan tujuan umum yakni kepentingan umum. Maka, hukum harus
10
mencerminkan kepentingan dan kehendak umum tersebut
Dalam konteks ini, negara merupakan wujud dari perjanjian masyarakat tersebut
sehingga penguasa tidak bisa berbuat semena-mena terhadap rakyat. Dari sini muncul
konsep kedaulatan rakyat, yaitu bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasan
tertinggi di negara. Pada konsep hukum, seiring dengan teori ini, maka hukum
11
merupakan penjelmaan kehendak rakyat untuk mengatur negara dan masyarakatnya.
Montesquieu juga dikenal sebagai tokoh yang memunculkan teori trias politica
(pemisahan kekuasaan menjadi tiga), yaitu kekuasaaan legislatif sebagai pembuat
peraturan hukum (perundang-undangan); kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana
pemerintahan yang juga harus taat pada peraturan hukum yang dibuat oleh legislatif,
dan kekuasaan yudikatif, yaitu pengawas hukum (para penegak hukum dan pengadilan).
Di sisi lain, seorang filusuf Inggris, John Lock, menyatakan tentang kebebasan
manusia. Menurutnya, pada dasarnya manusia diciptakan sebagai individu yang bebas
sehingga dia kemudian dikenal sebagai bapak HAM (Hak Asasi Manusia). Hal ini juga
merupakan kritik terhadap kondisi masyarakat dan kekuasaan absolut yang menindas
rakyat.
Lock juga memiliki konsep awal tentang negara hukum, yaitu negara yang
dibentuk dengan tujuan untuk menjaga hak-hak pribadi manusia. Dengan merumuskan

9 Ibid., hlm. 209-210.


10 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat Kanisius, 1982), hlm. 89-91.
11 Azyumardi Azra, Demokras…, hlm. 110.

Page 25
tujuan negara tersebut maka negara tidak akan melalaikan kepentingan publik.
Menurutnya, undang-undang negara harus dapat menjaga dan melindungi hak-hak para
warganegaranya. Konsep negara hukum ini, bukanlah negara yang bertugas menjaga
hukum, namun prinsip-prinsip hukum, baik privat maupun publik, harus diwujudkan
untuk membatasi kesewenang-wenangan perseorangan dan melindungi hak warga
12
negara.
Positivisme hukum memiliki beberapa prinsip, yakni: 1) suatu tata hukum
negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan juga
karena bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam,
melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang;
2) hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk hukum formal
dipisahkan dari hukum materiil; 3) isi hukum materiil diakui ada, tetapi bukan bahan
ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum. Positivisme hukum
mendapatkan penekanan fundamental pada dua tokoh, yaitu John Austin dan Hans
Kelsen. Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari penguasa; hukum dipandang
sebagai perintah dari orang yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan); hukum
merupakan perintah yang dibebanken kepada makhluk yang perpikir; perintah itu
diberikan oleh makhluk yang berpikir yang memegang keuasaan. Hukum juga
merupakan logika yang bersifat tertutup dan tetap. Masih menurut Austin, hukum
positif harus memenuhi beberapa unsure, yaitu unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan
kedaulatan. Di luar itu semua bukanlah hukum, melainkan moral positif (positive
morality).
Hukum positif dalam konsep Austin dan Hart, menurut M. Galanter merupakan
hukum modern, yang memiliki ciri-ciri: (1) sistem hukum tersebut terdiri dari
peraturan-peratiran yang seragam, baik dari segi isi maupun pekalsanaannya; (2) sistem
hukum tersebut bersifat transaksional, dalam arti hak-hak dan kewajiban timbul dari
perjanjian-perjanjian yang tidak dipengaruhi oleh faktor usia, kelas, agama ataupun
perbedaan jenis kelamin; (3) sistem hukum modern bersifat universal, dalam arti dapat
dilaksanakan secara umum; (4) adanya hierarkhi pengdilan yang tegas; (5) birokratis,
dalam arti melaksanakan prosedur sesuai dengan peraturan-peraturan yang diterapkan;
(6) rasional, (7) pelaksanaan sistem hukum tersebut terdiri dari orang-orang yang sudah
berpengalaman; (8) dengan berkembangnya spesialisasi dalam masyarakat yang

12 Theo Huijbers, Filsafat Hukum…, hlm. 85.

Page 26
kompleks, harus ada penghubung antara bagian-bagian yang ada sebagai akibat adanya
sistem pengkotakan; (9) sistem ini mudah diubah untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat; (10) lembaga-lembaga pelaksana dan
penegak hukum adalah lembaga kenegaraan karena negaralah yang mempunyai
monopoli kekuasaan; dan (11) pembedaan yang tegas antara tugas-tugas eksekutif,
13
legislative, dan yudikatif.

Dalam hal dilakukan Eigenrechting/tindakan main hakim sendiri dan perbuatan


tersebut telah terbukti melanggar peraturan perundang-undangan yang telah
ditetapkan oleh penguasa yang berwenang secara sah dan absolute, dalam kasus ini
telah dijelaskan didalam putusan hakim bahwa peristiwa tindak pidana yang terjadi di
tahun 2007 dengan nama terpidana Agus Santoso bin Senen dan Yusroni bin Daliman
melalui Putusan Pengadilan Negeri Boyolali, No. 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22
Maret 2007, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 109/Pid/2007/PT.SMG. tanggal
29 Mei 2007 dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 2015 K/Pid/2007. Perbuatan
eigenrechting tersebut bermula ketika terjadinya peristiwa pencurian televisi yang
diduga dilakukan oleh korban Suhardi, yang kemudian peristiwa tindak pidana yang
dimaksud menimbulkan rasa “menghakimi” oleh para terpidana yang mengakibatkan
terjadinya tindak pidana dimuka umum melakukan kekerasan terhadap orang secara
bersama-sama yang melanggar Pasal 170 KUHP ayat (1) dan (2) ke -1 KUHP yang
mana kedua terpidana tersebut dipidana dengan pidana penjara 10 (sepuluh) bulan
pidana penjara. Sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang dimana
perbuatan tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan
Pasal dalam peraturan perundang-undangan maka hal ini berkaitan dengan
penerapan relevansi dari teori hukum positivisme.

c) Kelebihan dan keunggulan Paham Teori


Positivisme a. Adanya tatanan masyarakat yang teratur
Paham positivisme hukum (atau dalam wacana hukum sering disebut dengan legisme
dan legal positivism) telah dianut oleh banyak negara selama beberapa abad. Mulai
awal abad XIX, Perancis telah membuat code civil, yang kemudian diikuti oleh
Jerman, Swiss, Belanda, dan negara-negara lainnya. Bahkan hingga saat ini,
Indonesia masih mempergunakan code warisan Belanda Colonial, yang konon juga

13 Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 135-146.

Page 27
diadopsi dari Perancis. Tatanan hukum positif tersebut telah menghasilkan tatanan
dan sistem hukum yang kuat, rapi, dan teratur. Tatanan masyarakat diatur oleh
hukum yang dibuat oleh pemerintah (badan legislatif); dan pemerintahan negara
dalam menjalankan kekuasaannya juga diatur oleh hukum perundanga-undangan.
Hak-hak warga negara diakui dan dilindungi secara hukum sehingga penindasan
tidak perlu lagi terjadi.

b. Adanya kepastian hukum

Hukum dapat menjamin hak-hak perseorangan dan seluruh warga negara. Dengan
demikian maka kepastian hukum dapat diperoleh. Seorang yang dilanggar haknya
bisa menuntut secara hukum. Hukum dalam konsep positivisme merupakan hukum
tertulis yang disahkan oleh negara sehingga hukum bersifat pasti. Setiap kali hakim
menghadapi permasahan hokum maka dia dapat langsung mencari ketentuan
hukumnya di dalam undang-undang yang tertulis tersebut.

c. Terjaminnya keadilan secara hukum


Hukum dalam paham positivisme merupakan hukum tertulis yang telah dibuat dan
disahkan oleh negara. Dengan demikian maka keadilan hukum akan terjamin oleh
hukum tersebut. Hukum diciptakan untuk semua orang, tidak melihat perbedaan
suku, jenis kelamin, status sosial dan kekayaannya. Semua orang dan warga negara
akan dijamin haknya oleh hukum tanpa terkecuali. Semua akan mendapatkan
keadilan hukum (yuridis justice) karena memang hukum diciptakan untuk menjamin
keadilan yang merata bagi semua orang.

Page 28
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Faktor penyebab terjadinya tindakan Eigenrechting terhadap pelaku tindak pidana


baik yang dilakukan sendiri atau bersama kebiasaan main hakim sendiri oleh
masyarakat tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, secara umum dan mendasar
yang menjadi penyebab adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia, Rendahnya
integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak
hukum (hakim, jaksa, polisi, dan advokat) dalam menegakkan hukum sehingga
menimbulkan rasa tidak percaya dalam diri
masyarakat, minimnya sarana dan prasarana serta fasilitas yang mendukung
kelancaran proses penegak hukum, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat
yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum, paradigma penegakan hukum
masih positive-legalistik yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal
(formal justice), kebijakan (policy) yang diambil oleh pihak terkait (stakeholders)
dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam,
tidak komprehensif dan tersistematis serta rasa solidaritas masyarakat yang tinggi
khususnya di daerah pedesaan, kurang percayanya masyarakat kepada pihak
kepolisian, tidak adanya kedekatan antara polisi dan masyarakat, kurang cepatnya
polisi dalam menindaklanjuti laporan warga.

2. Eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri jika ditinjau dari relevansi teori


sosiologis masyarakat merupakan sebuah perwujudan dari apa yang di istilahkan
oleh Smelser sebagai a hostile outburst (ledakan amarah) atau a hostile
frustration (ledakan tumpukan kekecewaan). Tingkat kepercayaan masyarakat pada
pranata formal termasuk terhadap penegakan hukum (law enforcement) sudah
teramat buruk, dan sudah menjadi adagium yang universal. Dalam hal relevansi
teori positivisme pada Eigenrechting/perbuatan main hakim sendiri menyangkut
konsep negara hukum, bukanlah negara yang bertugas menjaga hukum, namun
prinsip-prinsip hukum, baik privat maupun publik, harus diwujudkan untuk
membatasi kesewenang-wenangan perseorangan dan melindungi hak warga negara
dan setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang dimana perbuatan tersebut

Page 29
terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Pasal dalam peraturan
perundang-undangan maka hal ini berkaitan dengan penerapan relevansi dari teori
hukum positivisme.

Saran

1. Perlu adanya penekanan dan pembelajaran pada diri masyarakat terkait dengan pandangan
akan hukum positif yang mengikat dan bersifat imperatif sehingga setiap individu akan
terikat pada konsekuensi hal yang dilakukannya (eigenrechting).

2. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) tidak dapat dibenarkan meskipun dalam
konteks a hostile outburst (ledakan amarah). Putusan atas (eigenrechting) harus
memberikan efek jera pada diri masyarakat luas melalui pertimbangan putusan yang tepat.

Page 30
DAFTAR PUSTAKA

ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

PUTUSAN PENGADILAN :

Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor 02/Pid.B/2007/PN.Bi tanggal 22 Maret.

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 109/PID/2007/PT.Smg. tanggal 29 Mei 2007.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2015 K/Pid/2007 tanggal 6 November
2017.

LITERATUR :

Peter Mahmud Marzuki, 2002, “Jurisprudence As Sui Generis Discipline”, Yuridika


Jurnal Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Vol. 17, No. 6 hlm. 309-329,

Peter Mahmud Marzuki, 2005, ”Penelitian Hukum”, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm.20.

As Hornby; 1985, “Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English”,


Oxford University Press, New York,

Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., 2007, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika.

Johnson, Alvin S. 1994. Sosiologi Hukum. Pt Rineka Cipta. Jakarta.

Anwar, Yesmil. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta. Grasindo.

Utsman, Sabian. 2013. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Makna Dialog Antara Hukum
Dan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Page 31
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Filsafat
Kanisius, 1982.

Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993).

Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,


Pradnya Paramita, Jakarta, 2008.

Page 32

Anda mungkin juga menyukai