........................................................................................................................................
Tapi yang lebih utama, melalui LBH-lah aku menemukan guru-guru kehidupan yang
sesungguhnya.” jawab Bawor setelah terdiam kala ditanya apa yang ia dapatkan di LBH.
“Siapa ?”
“Orang-orang yang namanya tidak pernah dicatat oleh sejarah, pada petani, buruh,
nelayan dan orang miskin. Mereka yang lemah dan dilemahkan, dan aku bangga bisa balajar
kepada mereka. Dan karena itu pula, aku berhutang pada kelompok-kelompok ini”, ujarnya
dan matanya memerah menahan airmata. Bawor menyebutkan nama-nama yang masih
diingat dan mempengaruhi kehidupannya. Pribahasa “Setiap Orang adalah Guru, dan Setiap
Tempat adalah Sekolah” adalah satu titik terpenting proses pembelajaran di LBH. Kepada
mereka ia belajar tentang gugus bintang yang digunakan nelayan, arus laut, jenis-jenis ikan
dan biota laut, musim, hantu-hantu yang ada disekitar kampong mereka, penghormatan akan
leluhur dan cikal bakal kampong, membangun jaringan melalui hubungan antar kampong dan
kekeluargaan, peta konflik, kerja keras, sabar menghadapi kepahitan hidup, budaya dan
kepercayaan masyarakat.3..............................................................................................”
1
Disampaikan dalam lokakarya BHS YLBHI, 13 Juni 2012. Tulisan ini didasarkan pada tulisan Tandiono
Bawor Purbaya : Gerakan Bantuan Hukum, Keadilan Sosial dan Pembaharuan Hukum; Kemana Kita akan
Melangkah ? dalam pelantikan paralegal LBH Jakarta, 24 Januari 2012. Tulisan ini merupakan penyusunan
ulang dari tulisan-tulisan penulis sebelumnya yaitu Samuel Gultom dan Tandiono BP; Diskursus Keadilan di
Indonesia; Pemetaan Inisiatif-Inisiatif Bantuan Hukum Dari Masa Orde Baru hingga Reformasi;
Yayasan Tifa 2010; Siti Aminah dan Tandiono BP Mencari HuMa Refleksi Tiga Tahun Mencari
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi, 2010 dan Siti Aminah dan Tandiono Bawor
Purbaya, Mencari Magis Bantuan Hukum Struktural, YLBHI, 2012
2
Pendamping Hukum Rakyat perkumpulan Huma, komunikasi dan masukan, silahkan melalui email
bawor06@yahoo.com
3
Paragraph yang hilang dalam tulisan Siti Aminah dan Tandiono Bawor Purbaya, Mencari Kembali Magis
Bantuan Hukum Struktural, dalam Verboden Voor Honden en Inlanders dan Lahirlah LBH, Catatan 40 Tahun
Pasang Surut Keadilan,YLBHI, 2012
1|Page
PENGANTAR
Bicara tentang bantuan hukum dan gerakannya di Indonesia, dalam sejarahnya tidak
boleh dilepaskan dari gerakan kebangsaan. Bagi para pembaca karya Pramoedya Ananta
Toer, tentunya akan ingat Sang Pemula dan tetralogi Pulau Buru 4 (Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca). RM Tirtoadisoerjo sepulang dari
pembuangannya di Maluku mendirikan Medan Prijaji yang bertujuan : pertama memberi
informasi, kedua menjadi penyuluh keadilan; ketiga memberikan bantuan hukum; keempat
tempat orang tersia-sia mengadukan halnya; kelima Mencari pekerjaan bagi mereka yang
membutuhkan pekerjaan di Betawi; keenam menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi
atau mengorganisasikan diri; ketujuh membangunkan dan memajukan bangsanya; dan
kedelapan, memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan. Bahkan oleh Pram,
Tirtoadisoerjo disebutkan sebagai “orang pertama dalam sejarah Hindia yang memberikan
bantuan hukum dengan cara yang dimungkinkan pada waktunya, juga dengan Cuma-
Cuma”.
Begitu pula dengan generasi pertama advokat Indonesia yang memperoleh pendidikan
hukum baik di Indonesia maupun di Belanda pada masa penjajahan. Advokat pertama di
Indonesia adalah Mr Besar Martokusumo yang menurut Daniel S Lev telah “memecah es
profesi Advokat”. Dalam perkara-perkara prodeo di Raad van Justitie, Mr. Besar sering
membantu orang Indonesia. Menurutnya sulit bagi orang Indonesia untuk menganggap
pengadilan seperti itu sebagai pengadilannya sendiri. Bagaimanapun hakimnya orang asing,
berbahasa asing dan mereka duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat
ketakutan. Walaupun pemberian bantuan hokum itu diberikan berkaitan dengan jasa advokat,
namun karena bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak
mampu memakai advokat-advokat Belanda maka hal ini menurut Abdurahman sudah dapat
dipandang sebagai titik awal dari pada bantuan hokum. Generasi ini kemudian di masa
Indonesia merdeka mengambil peran yang cukup signifikan di dalam bidang hukum dan
pemerintahan
Sejarah gerakan ini dilanjutkan dengan keberadaan LBH Jakarta pada tahun 1970-an;
yang keberadaanya juga tidak terlepas dari keberadaan organisasi advokat – Peradin- . dan
berkembang hingga saat ini menjadi YLBHI dengan 15 kantornya. Organisasi ini
mengembangkan Bantuan Hukum Struktural (BHS) sebagai konsep kerjanya. Dalam
perjalanannya BHS mendapatkan banyak kritik, dan kritik-kritik tersebut semakin
mengembangkan BHS, sebagai konsep kerja yang semakin luas penggunaannya sesuai
dengan kebutuhan masing-masing sektor dan subyek yang menjadi sasaran. Posisi
4
Tetralogi Pulau Buru adalah kisah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia antara 1898-1918, bercerita
tentang kehidupan Minke, putra seorang bupati yang memperoleh pendidikan Belanda pada masa
pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1900 ketika tokoh utamanya, Raden Mas Minke lahir. Nama Minke adalah nama samaran dari seorang
tokoh pers generasi awal Indonesia yakni Raden Tirto Adhi Soerjo. Cerita novel ini sebenarnya ada unsur
sejarahnya, termasuk biografi RTAS tersebut yang juga nenek moyang penulis. Cerita lainnya diambil dari
berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut. Termasuk di antaranya rekaman
pengadilan pertama pribumi Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga
Belanda totok yang terjadi di Surabaya. Terbit dari tahun 1980 hingga 1988 dan kemudian dilarang
peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa dengan alasan mengandung nilai-nilai
Leninisme dan Marxisme
2|Page
LBH/YLBHI sebagai lokomotif demokrasi berperan besar dalam menumbangkan rejim orde
baru.
Selanjutnya adalah bagaimana peran gerakan BHS dalam era reformasi ? apakah
gerakan BHS telah berhasil melakukan perubahan pembaharuan hukum yang berkeadilan
sosial ? Tulisan ini akan mencoba memaparkan tipologi bantuan hukum di Indonesia, sebagai
dasar memahami dan memposisikan gerakan bantuan hukum, dan tiga elemen BHS yaitu
pendidikan hukum, bantuan hukum dan pembaharuan hukum.
5
Samuel Gultom dan Tandiono BP; 2011
3|Page
advokasi. advokasi.
Actor Advokat Masyarakat + Advokat Paralegal +
paralegal + advokat
advokat
Subyek Individu Orang Miskin dan Orang miskin Miskin dan tidak
penerima miskin marginal diuntungkan
Secara sederhana dari keempat tipe diatas, terdapat bantuan hukum dalam artian
sempit dan bantuan hukum dalam artian luas. Bantuan hukum dalam artian sempit yaitu tipe
probono publico dan negara (legal aid fund) seperti yang diatur dalam UU Bantuan Hukum.
Sedangkan bantuan hukum dalam artian luas adalah tipe NGO (transformatif) dan Agen
Internasional. Sebagai pengiat yang menggunakan bantuan hukum sebagai alat, kita tentunya
harus memilih. Apakah sekedar cukup terdampinginya orang miskin di pengadilan atau di
luar pengadilan, ataukah kemudian kita mempunyai mimpi yang lebih besar ?
Secara pribadi, penulis memilih tipologi kedua sebagai alat yang bisa digunakan
untuk mencapai mimpi besar seperti yang dimandatkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
“Pemerintah Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
“Bahwa pemberian bantuan hukum bukanlah sekedar sikap dan tindakan kedermawanan
tetapi lebih dari itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kerangka upaya
pembebasan manusia Indonesia dari setiap bentuk penindasan yang meniadakan rasa dan
wujud kehadiran keadilan yang utuh, beradab dan berprikemanusiaan
Ketika tipologi kedua yang dipilih, maka kita perlu menengok kepada Konsep BHS.
Konsep ini lahir dalam diskusi para pembina LBH tahun 1978, lahir seiring wacana
“kemiskinan struktural” di Indonesia dan bersentuhan dengan teori dependent dan CLS
(Critical Legal Studies)7. Menurut Paul Mudiqdo, pada era ini sila kelima dari Pancasila
yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dilarang dibicarakan karena ada
hubungannya dengan tujuan formal Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan PKI
(di)jadi(kan) musuh bersama. Menurut penelitiannya, sila kelima baru dibicarakan di muka
umum pada akhir 1977 yaitu oleh HIPIS dalam kongresnya di Manado. 8 Sejak saat itu sila
6
Nilai Dasar Organisasi, www.ylbhi.or.id
7
CLS dideklarasikan oleh kalangan akademisi hokum, dan praktisi hokum di Amerika Serikat pada tahun 1977
sebagai ketidakpuasan terhadap pemikiran hokum yang saat itu dominan, yakni pemikiran hokum liberal. Vide
Roberto M Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, ELSAM, Jakarta, 1999
8
Strategi LBH Dalam Konteks Politik Indonesia, wawancara dengan Paul Mudikdo, dalam majalah Radar
No Serial 35/1989, YLBHI, Jakarta, halaman 60
4|Page
keadilan sosial mulai dibicarakan baik oleh pejabat pemerintah dan media massa, termasuk
karangan-karangan yang membahas kemiskinan9. Dalam konsep ini kemiskinan merupakan
“gejala sosial yang massal yang bukan disebabkan oleh perbuatan atau sikap perorangan,
melainkan oleh struktur-struktur sosial, yakni hubungan ketergantunagan sepihak dari
kelompok-kelompok orang yang lemah di masyarakat kepada kelompok-kelompok yang lebih
kuat, dan oleh kondisi-kondisi struktural.10 Sehingga kemiskinan merupakan
ketidakadilan struktural.
9
Definisi kemiskinan struktural ditemukan dalam Sambutan Wakil Presiden RI Adam Malik pada hari Hari
HAM, se dunia 10 Desember 1980, dimuat dalam Hukum dan keadilan Majalah Hukum Peradi Edisi 17 tahun
ke IX Januari – Pebruari 1981.. Pembahasan tentang kemiskinan struktural kaitannya dengan BHS ditemukan
pula dalam tulisan Todung Mulya Lubis di Majalah Prisma tahun 1970-an. Selanjutnya pembahasan tentang
kemiskinan struktural ini muncul kembali dalam advokasi kemiskinan berbasis hak yang dimotori oleh
kelompok kerja anti kemiskinan struktural (Kikis, Gapri, Jari dll) dan mendefinisikannya sebagai ”Proses
pemiskinan dan kemiskinan adalah hasil atau akibat dari proses-proses perampasan sumbedaya dan hak, tidak
hanya menyangkut ketiadaan pendapatan atau income yang rendah. Pemiskinan lebih banyak disebabkan oleh
ketimpangan kekuasaan dan ketidakadilan dalam system politik, ekonomi, sosial dan budaya”
10
Strategi LBH Dalam Konteks Politik Indonesia, op cit halaman 61
11
Paul S Bout (ed) Bantuan Hukum di Asia Tenggara, YLBHI, 1989
12
Adnan Buyung Nasution, bandingkan dengan pengertian Public Interest Law
5|Page
hadirnya kesemena-menaan golongan kaya kelas atas, atau juga dari golongan
militer dan tentu saja juga dari pemerintah berikut aparat birokratiknya, yang
dimanapun selalu berkedudukan relatif kuat13
Sedangkan yang membedakan BHS dengan bantuan hukum yang lainnya yaitu
:14(1) Analisa yang dilakukan menggunakan pisau analisa struktural; (2) Berpegang
pada nilai-nilai keadilan, hukum positif merupakan obyek analisis; (3) Relasi yang
dikembangkan setara antara masyarakat pencari keadilan dengan public defender; (4)
Fakta yang dihimpun meliputi fakta sosial; dan (5) Melibatkan tindakan-tindakan non
hukum/non litigasi (penyadaran hak, pengorganisasian dan penelitian). 15
Karena bantuan hukum dimaknai secara meluas, dengan tidak hanya terbatas pada
pemberian pelayanan dan pendampingan bagi masyarakat miskin dalam sistem hukum baik
di dalam maupun diluar peradilan. Dalam tingkatan pelaksanaanya, menurut sejumlah
dokumen BHS diterjemahkan dengan aktivitas-aktivitas trilogi BHS seperti :
Karenanya elemen penting BHS menurut penulis adalah pendidikan hukum, bantuan hukum
dan pembaharuan hukum.
13
Soetandyo Wingjosoebroto, Jurnal Keadilan Sosial Edisi I Tahun 2010, ILRC –OSI, Jakarta, 2010, halaman
14
Sumber dari Fauzi Abdullah
15
Kritik-kritik terhadap BHS misalnya tentang penggunaan alat analisa gender, metode pluralisme hukum,
kelompok-kelompok rentan dan alat bantu lainnya memperkaya BHS dan mengembangkan BHS dengan
berbagai nama lainnya seperti Bantuan Hukum berperspektif Gender
6|Page
TIGA ELEMEN BHS;
Pembaharuan Hukum
Bagaimana cara gerakan bantuan hukum untuk merubah struktur yang timpang ?
selain dengan melalui pendidikan hukum kritis, dan pelayanan bantuan hukum, adalah
melalui pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum ini menjadi ‘goal’ karena menjadi akhir
setelah rangkaian aktivitas pendidikan hukum dan bantuan hukum. Namun pembaharuan
hukum seperti apa ? Dalam Catatan Bambang Widjoyanto, YLBHI menyadari benar ada
kekurangan yang dimiliki oleh lembaga untuk secara serius dan sistematis melakukan
pertarungan gagasan dan pemikiran dalam membuat berbagai kebijakan maupun peraturan
perundang-undangan yang dapat melindungi publik, membangun proses demokratisasi.
YLBHI membentuk Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) untuk mendorong
pembentukan suatu kebijakan yang merombak sistem hukum yang asimentris dan
menciptakan ketidakadilan.16 Dengan demikian, YLBHI tidak memiliki konsep pembaharuan
hukum –dalam konteks BHS- yang akan diperjuangkan pasca reformasi. Konsep
pembaharuan hukum ini menjadi penting untuk menentukan bantuan hukum seperti apa yang
akan diberikan dan nilai, pengetahuan dan ketrampilan seperti apa yang akan diberikan
kepada masyarakat miskin.
Kegagalan untuk merubah struktur hukum yang tidak adil ini, menurut Olle Tornquist
disebabkan civil society tidak mampu mengambil alih kekuasaan politik pasca Soeharto
tumbang.17 Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, salah satu sumber masalah adalah tidak
digunakannya Teori Hukum Pembangunan pasca reformasi dalam membentuk dan
menegakkan hukum di Indonesia. Hambatan penggunaan Teori Hukum Pembangunan 18
dalam praktik pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia pasca reformasi, dapat
diindentifikasikan sbb :
Pertama, kebiasaan kurang terpuji selama 50 tahun Indonesia merdeka, yakni bahwa
pembuat kebijakan sering memanfaatkan celah untuk menggunakan hukum sebagai
alat dengan tujuan mendahulukan kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan
rakyat. Misalnya, perampasan hak masyarakat adat atas tanah dengan dalih
pembangunan gedung pemerintah dan jalan raya tanpa kompensasi yang proporsional.
16
Bambang Widjoyanto, Tiga Periode, Dua Transisi, Satu Tujuan, YLBHI, 2012, halaman 200
17
Irawan Saptono, hal 112
18
A.P. Edi Atmaja,Hukum sebagai Sarana Rekayasa Sosial,
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/49888-hukum-sebagai-sarana-rekayasa-sosial
7|Page
Kedua, sukarnya menentukan tujuan pembaruan hukum.
Ketiga, sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu
analisis deskriptif dan prediktif.
Keempat, sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil atau
tidaknya usaha pembaruan hukum.
Kelima, para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan soal corak hukum yang
dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat di era
globalisasi seperti saat ini.
Dituliskan selanjutnya :
19
ibid
20
Ricardo Simarmata dkk, Pembaharuan Hukum Daerah, Menuju Pengembalian Hukum kepada Rakyat,YPH
Bantaya, Kemala, Huma, 2003
8|Page
demokratis. Pembaharuan hokum diperuntukkan sebagai proses yang menyediakan
perhatian, kepedulian dan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. Aktivitas pembaharuan hokum harus dilandasi
oleh nilai-nilai HAM, pluralisme budaya, keadilan dan kelestarian ekologi.
Pembaharuan hokum dalam banyak hal mesti juga dilihat sebagai proses/gerakan
mengembalikan hokum kepada rakyat.
Untuk mencapai pembaharuan hukum yang demikian, terdapat empat tahap utama yang
dipersiapkan dalam melakukan pembaharuan hokum, yaitu :
Dalam pandangan CLS -yang mendasari lahirnya BHS-, pendidikan hukum (formal)
lebih berorientasi pada nilai-nilai dan kelompok social yang berada pada struktur kekuasaan,
yang akan mempengaruhi cara berpikir, sikap dan persepsi mahasiswa hukum di dalam
memandang berbagai permasalahan social yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan
hukum dipandang sebagai sarana pelanggengan ideologi kekuasaan.
Disamping itu, umumnya pendidikan tinggi hukum yang diselenggarakan oleh
universitas-universitas di negara dunia ketiga merupakan produk dari pemerintah kolonial,
yang ditujukan untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial dan kelompok pengusaha.
Ketika kemudian negara-negara dunia ketiga memperoleh kemerdekaan politik, lembaga
pendidikan hukum diambilalih dan diintegrasikan ke dalam system pendidikan hukum
nasional. Namun begitu, perubahan belum banyak dilakukan, pada gaya, pendekatan dan
substansi pendidikan hukum. Sehingga lembaga pendidikan hukum menjadi asing bagi
masyarakat sekitarnya.
9|Page
Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20, pendidikan
hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di Belanda. Kurikulum serta
pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola pengajaran di Belanda, meskipun ada
penyesuaian dengan kondisi obyektif Hindia Belanda sebagai tanah jajahan. Pada masa ini,
pendidikan tinggi hukum dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto bertujuan, “....yang amat
sadar untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas sebagai rechtsambtenaren yang
cakap, yang dengan demikian dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah
sebagai hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah
dalam negeri. Di sekolah tinggi ini matakuliah-matakuliah diberikan dengan tujuan utama
agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai
hukum perundang-undangan –“.21 Sehingga semuanya jelas untuk mengabdi dan melayani
kepentingan negara kolonial, dan para pengusaha yang umumnya adalah pengusaha Belanda
dan Cina.
Kekurang pekaan dan kurang tanggapnya para yuris Indonesia terhadap perubahan
yang tengah terjadi, adalah sebagai akibat dari pendidikan hukum kita yang dikatakan oleh
Satjipto Rahardjo sebagai “penjaga status quo”.22 Kondisi ini kemudian oleh Hikmahanto
Juwana dikatakan bahwa,“Para lulusan tahun 1930-an, 1950-an, 1970-an, 1980-an maupun
1990-an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderung legalistik tidak berbeda
dengan lulusan pada masa pemerintahan Kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi
berbagai tujuan pendidikan hukum pasca Indonesia merdeka”.23 Akibatnya dalam proses
penegakan hukum rasa keadilan masyarakat, diabaikan atas nama kepastian hukum.
Kondisi tersebut mengundang sejumlah kritik, termasuk dari Abdul Hakim Garuda
Nusantara (1988) dalam salah satu terbitan YLBHI. Ia menilai sebagai berikut24 :
Pertama, sifat dan rung lingkup pendidikan hukum formal sangat terbatas bahkan
sejumlah lembaga masih bersifat konservatif pada bidang-bidang pengetahuan hukum
dalam arti sempit, teknis, historis dan tanpa visi social, dengan akibat keterasingan
pendidikan hukum dari perkembangan ilmu pengetahuan moderan pada umumnya
dan ilmu-ilmu social pada khususnya.
Ketiga, Minat, perhatian dan kepekaan fakultas – fakultas hukum terhadap masalah –
masalah hukum dan kebutuhan hukum yang dihadapi oleh golongan masyarakat yang
tidak menguasau sumber daya ekonomi dan politik (buruh,petani gurem,miskin kota
dll) sangat kurang dan diabaikan.
21
Soetandyo Winjgsoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum Di Indonesia Pada Era
Pascakolonial; diskusi mengenai “Persiapan Menyelenggarakan Pendidikan Doktor dalam bidang Ilmu
Hukum di Universitas Brawijaya, Sabtu 25 Agustus 2000. www.huma.or.id
22
Satjipto Rahardjo.; Dimanakah Pendidikan Hukum; Kompas 08 April 2004
23
Hikmawanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia; www.pemantauperadilan.com; hal 5
24
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum, YLBHI, 1982
10 | P a g e
kontekstualisasi ketentuan hukum yang sesuai dengan realitas social yang dihadapi
kelompok masyarakat yang kepentingannya dipengaruhi oleh ketentuan hukum
tersebut.
Salah satu aktivitas BHS adalah mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya
akan hak-haknya sebagai subyek hokum. Pendidikan ini dalam dokumen-dokumen YLBHI
diharapkan menghasilkan empat hal yaitu :
25
Pasca reformasi, upaya untuk mereformasi pendidikan tinggi hukum berbasis keadilan sosial dilakukan oleh
the Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan Epistema Institute
26
Pola pendidikan dan konsep paralegal ditemukan dalam 4 buah buku terbitan YLBHI yaitu Ravindran, Walhi
dan YLBHI, Andik Hardiyanto dkk, dan Mas Ahmad Santosa dkk. Dalam perkembanganya banyak konsep
sejenis antara lain Pendamping Hukum Rakyat (PHR) oleh HuMA. Perkembangan pemikiran konsep ini cukup
lengkap ditulis oleh Ricardo Simarmata. Konsep paralegal ini kemudian juga dikembangkan oleh beberapa
11 | P a g e
mengembangkan kapasitas atau kekuatan (empowerment) masyarakat miskin. Asumsi-asumsi
yang dibangun untuk mengembangkan konsep paralegal27, adalah :
NGO. Saat ini konsep tentang keparalegalan juga digunakan oleh lembaga donor internasional seperti World
Bank dengan Program Justice for the Poor, dan Akses to Juctice (Uni Eropa).
27
Andik Hardiyanto, Pengembangan Konsep Paralegal, makalah dalam Lokakarya dan Paralegal
Training for Trainers, YLBHI dan International Commission of Jurist, Yogyakarta 19-23 November 1992
12 | P a g e
o Sense of Humor konstekstual 6. Mobilisasi
o Kesediaan mengambil 6. Kemampuan 7. Agitasi
resiko merencanakan
o Tanggungjawab 7. Kemampuan
o Sabar yang mengambil keputusan
kontekstual (taktis)
o Jujur (kesetiaan pada
fakta)
o Disiplin
Selain tujuan pendidikan hukum masyarakat tersebut diatas, seiring perubahan sistem
negara, menurut penulis melalui pendidikan hukum masyarakat diharapkan :
1. Adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin tentang kekuatan dan sumber
daya yang mereka miliki termasuk nilai dan norma-norma yang selama ini bekerja di
dalamnya
2. Adanya pengetahuan dan ketrampilan untuk mendayagunakan kekuatan dan sumber daya
yang mereka miliki termasuk nilai, norma , dan hukum yang hidup sebagai alat untuk
mengadvokasi hak-hak konstitusionalnya;
3. Menjadi aktor pembaharuan hukum di berbagai level.
13 | P a g e
mengherankan, jika dilakukan pemilihan dan pemilahan terhadap kasus-kasus yang ditangani
melalui pengadilan.
Subyek pemberian bantuan hukum adalah lapisan masyarakat yang buta huruf atau
berpendidikan rendah atau yang tidak mengetahui dan menyadari hak-haknya sebagai subyek
hukum karena kedudukan sosial dan ekonomi serta akibat tekanan-tekanan dari yang lebih
kuat dan tidak mempunyai keberanian/kemampuan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Atau biasa dijargonkan dengan ”Miskin” dan ”Buta Hukum”.
Kasus hanya menjadi entry point untuk mendorong perubahan hukum. Impak lain
selain selesainya kasus yang ditangani, dalam Pola Dasar Bantuan Hukum dalam Rakernas
1986 , ditetapkan sebagai berikut :28
a. Berubahnya secara kualitatif orang atau kelompok orang yang menjadi penerima bantuan
hukum. Mereka dapat melihat kasus tersebut tidak hanya sebagai masalah yang perlu
dipecahkan, akan tetapi juga mereka melihat kasus ini sebagai gejala yang menunjukkan
posisinya dalam kesatuan sosial dimana dia hidup. Juga kasus itu dapat menunjukkan
sejauh mana kepentingannya (bukan kepentingan pribadi), tetapi kepentingan
kelompoknya sudah atau belum terlindungi dalam peraturan perundang-undangan,
mekanisme-mekanisme apa saja yang menyebabkan kesulitan untuk memperjuangkannya
kasusnya. Bersamaan dengan terjadinya proses pemahaman terjadi pula proses pemikiran
untuk mengupayakan perbaikan nasib.
b. Dengan cara melihat kasus yang lebih komprehensif dan mempelajari posisi penerima
bantuan hukum dalam hubungannya dengan sistem hukum yang ada, maka dalam setiap
kasus yang diterima dapat menjadi bahan untuk dikembangkan dalam bentuk pembinaan
publik opini, diskusi ilmiah, bahan masukan untuk pengambilan keputusan. Ini
merupakan bagian dari proses penyadaran dan merupakan salah satu dasar penyusunan
program.
c. Merangsang minat belajar kelompok sasaran baik untuk memahami kepentingan
kelompoknya, tetapi juga menumbuhkan keinginan untuk mengupayakan terpenuhinya
kebutuhan mereka melalui cara-cara yang tidak bertentangan dengan undang-undang.
Selain itu, proses persidangan tidak hanya ditujukan untuk mendidik dan membangun
kesadaran kritis pencari keadilan, namun menjadi alat untuk mendidik dan mengontrol
prilaku aparat penegak hukum. Dalam pilihan menggunakan proses di pengadilan, kekuatan
masyarakat dan tim kampanye untuk mengatur ritme publikasi menjadi titik terpenting dalam
BHS. Disamping organisasi rakyat yang kuat, dukungan media massa, konsolidasi dengan
elemen masyarakat sipil dan dukungan kalangan intelektual menjadi hal yang mutlak.
Atas dasar itu, secara pribadi penulis menolak jika LBH menjadi “pemadam
kebakaran”, dimana LBH hanya ditempatkan sebagai lawyer di persidangan. Walau disadari
telah banyak LSM yang melakukan pengorganisasian dan pendidikan terhadap masayarakat,
28
Pola Dasar Bantuan Hukum, rancangan naskah 1 dalam Rakernas LBH se Indonesia, Yogyakarta, 27-28
Oktober1986, halaman 13
14 | P a g e
dan tuntutan LBH kembali ke fungsinya di bidang litigasi. Namun ketika pola yang dibangun
berbeda, maka proses di persidangan tidak akan membawa perubahan sebagaimana
diharapkan. Karena pemilihan pengadilan sebagai alat dalam pemberian bantuan hukum
utama waktu itu, harus diletakkan dalam konteks masa itu di mana kebebasan mengeluarkan
pendapat,berkumpul dan berorganisasi serta hak-hak dasar lainnya tidak diakui, dan advokat
mempunyai imunitas di dalam ruang-ruang pengadilan untuk menyampaikan itu. Sehingga
harus dicari strategi baru dalam merelasikan antara penggunaan layanan bantuan hukum,
pendidikan hukum, dalam mencapai suatu susunan hukum baru yang dijanjikan oleh
konstitusi.
Kemana YLBHI ?
“Saya merasa dewasa ini idealisme para pekerja LBH pada umumnya sangat kurang. Para
PBH terjebak dalam semangat menjadi populer di masyarakat dengan bersuara keras dan
vokal, namun tidak ada meeting of mind dalam suara-suara yang vokal itu.”
Dalam Draft Awal Perumusan Elaborasi Gagasan Bantuan Hukum Struktural, pada
Rapat Kerja Nasional YLBHI-LBH tanggal 1-3 November 2001 diungkapkan bahwa evolusi
pemikiran BHS senantiasa menjadi bahan perdebatan tersendiri di kalangan YLBHI. Suasana
perdebatan tersebut menurut draft tersebut harus dibaca setidak-tidaknya dalam dua ranah.
Pertama, perdebatan BHS yang tidak pernah rampung tersebut mengisyaratkan bahwa
pencarian paradigmatik BHS sendiri belum mampu mengarah kepada sebuah review teoritik
yang bisa dipertanggungjawabkan; Kedua, fakta bahwa para pelaku debat tersebut adalah
aktivis muda LBH memberikan petunjuk yang cukup jelas bahwa para aktivis muda tersebut
tampaknya ikhlas mau bergabung dan berjuang di dalam LBH karena ada daya ’gairah
magis’ BHS itu. Artinya BHS senantiasa menawarkan sebuah oase debat gagasan, debat
ideologis, bahkan debat praksis, yang sesungguhnya justru untuk mencari jawaban atas
kegelisahan rohani para aktivis itu. 29
Di sisi lain terdapat perkembangan di tingkatan eksternal dan internal yang harus
dijawab oleh para aktivis YLBHI-LBH untuk mereposisikan kembali gerakan BHS dalam
gerakan sosial di Indonesia. Masalah-masalah eksternal antara lain :
1) Runtuhnya rejim orde baru dan terjadinya perubahan sosial politik pasca 1998;
2) Otonomi Daerah;
29Draft Awal Perumusan Elaborasi Gagasan Bantuan Hukum Struktural, terdapat dalam Notulensi Rapat Kerja
Nasional YLBHI-LBH tanggal 1-3 November 2001
15 | P a g e
7) Perkembangan pemikiran ttg BHS dan kemiskinan Struktural di luar YLBHI seperti
PSDHM, PHR, Advokasi Kemiskinan Berbasis Hak, Justice for the poor.
1) Berhentinya Pergulatan pemikiran dan dialog tentang BHS di lingkungan pembawa dan
pelaksana BHS (YLBHI).;
2) Konflik berkepanjangan dan pergulatan untuk survival yang secara tidak langsung
mempengaruhi idealisme PBH dan kemampuan untuk memelihara masyarakat marginal
sebagai konstituen LBH.
3) Tidak tampak upaya untuk melakukan reposisioning BHS dan YLBHI secara terencana
dan berkelanjutan (lebih bersifat reaktif untuk menjawab kepentingan jangka pendek);
4) Munculnya kader-kader muda di tingkatan kantor yang gelisah terhadap kondisi dan
implementasi BHS;
5) Arah pergerakan donor yang mendorong kerja-kerja Akses Terhadap Keadilan dalam
artian sempit yang merupakan peran tradisional LBH; dan
Kini, LBH-LBH diisi oleh generasi yang tidak mengalami era 90an, yang harus
dipandang sebagai potensi untuk dikelola. Dari seluruh catatan 40 tahun YLBHI, para penulis
memiliki dua pandangan yang sama yaitu (1). BHS tetap relevan; (2) YLBHI harus
menerjemahkan ulang operasionalisasi BHS. Atau tantangannya dengan mengutip sebuah
status dari seorang alumni LBH Semarang “ BHS ; Mitos PBH 30?”. Selamat merumuskan !!!
30
Coment Dian A Radiansyah atas status Putra Satuhu : SELAMATKAN LBH Semarang; diposkan 9 Juni 2012 dalam
Facebook Group Alumni LBH Semarang
16 | P a g e