Anda di halaman 1dari 16

TIGA ELEMEN BANTUAN HUKUM STRUKTURAL (BHS) : PENDIDIKAN

HUKUM, BANTUAN HUKUM DAN PEMBAHARUAN HUKUM. DIMANA DAN


KEMANA YLBHI ?1

Oleh: Tandiono Bawor Purbaya2

........................................................................................................................................

Tapi yang lebih utama, melalui LBH-lah aku menemukan guru-guru kehidupan yang
sesungguhnya.” jawab Bawor setelah terdiam kala ditanya apa yang ia dapatkan di LBH.

“Siapa ?”

“Orang-orang yang namanya tidak pernah dicatat oleh sejarah, pada petani, buruh,
nelayan dan orang miskin. Mereka yang lemah dan dilemahkan, dan aku bangga bisa balajar
kepada mereka. Dan karena itu pula, aku berhutang pada kelompok-kelompok ini”, ujarnya
dan matanya memerah menahan airmata. Bawor menyebutkan nama-nama yang masih
diingat dan mempengaruhi kehidupannya. Pribahasa “Setiap Orang adalah Guru, dan Setiap
Tempat adalah Sekolah” adalah satu titik terpenting proses pembelajaran di LBH. Kepada
mereka ia belajar tentang gugus bintang yang digunakan nelayan, arus laut, jenis-jenis ikan
dan biota laut, musim, hantu-hantu yang ada disekitar kampong mereka, penghormatan akan
leluhur dan cikal bakal kampong, membangun jaringan melalui hubungan antar kampong dan
kekeluargaan, peta konflik, kerja keras, sabar menghadapi kepahitan hidup, budaya dan
kepercayaan masyarakat.3..............................................................................................”

1
Disampaikan dalam lokakarya BHS YLBHI, 13 Juni 2012. Tulisan ini didasarkan pada tulisan Tandiono
Bawor Purbaya : Gerakan Bantuan Hukum, Keadilan Sosial dan Pembaharuan Hukum; Kemana Kita akan
Melangkah ? dalam pelantikan paralegal LBH Jakarta, 24 Januari 2012. Tulisan ini merupakan penyusunan
ulang dari tulisan-tulisan penulis sebelumnya yaitu Samuel Gultom dan Tandiono BP; Diskursus Keadilan di
Indonesia; Pemetaan Inisiatif-Inisiatif Bantuan Hukum Dari Masa Orde Baru hingga Reformasi;
Yayasan Tifa 2010; Siti Aminah dan Tandiono BP Mencari HuMa Refleksi Tiga Tahun Mencari
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi, 2010 dan Siti Aminah dan Tandiono Bawor
Purbaya, Mencari Magis Bantuan Hukum Struktural, YLBHI, 2012

2
Pendamping Hukum Rakyat perkumpulan Huma, komunikasi dan masukan, silahkan melalui email
bawor06@yahoo.com

3
Paragraph yang hilang dalam tulisan Siti Aminah dan Tandiono Bawor Purbaya, Mencari Kembali Magis
Bantuan Hukum Struktural, dalam Verboden Voor Honden en Inlanders dan Lahirlah LBH, Catatan 40 Tahun
Pasang Surut Keadilan,YLBHI, 2012

1|Page
PENGANTAR

Bicara tentang bantuan hukum dan gerakannya di Indonesia, dalam sejarahnya tidak
boleh dilepaskan dari gerakan kebangsaan. Bagi para pembaca karya Pramoedya Ananta
Toer, tentunya akan ingat Sang Pemula dan tetralogi Pulau Buru 4 (Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca). RM Tirtoadisoerjo sepulang dari
pembuangannya di Maluku mendirikan Medan Prijaji yang bertujuan : pertama memberi
informasi, kedua menjadi penyuluh keadilan; ketiga memberikan bantuan hukum; keempat
tempat orang tersia-sia mengadukan halnya; kelima Mencari pekerjaan bagi mereka yang
membutuhkan pekerjaan di Betawi; keenam menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi
atau mengorganisasikan diri; ketujuh membangunkan dan memajukan bangsanya; dan
kedelapan, memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan. Bahkan oleh Pram,
Tirtoadisoerjo disebutkan sebagai “orang pertama dalam sejarah Hindia yang memberikan
bantuan hukum dengan cara yang dimungkinkan pada waktunya, juga dengan Cuma-
Cuma”.

Begitu pula dengan generasi pertama advokat Indonesia yang memperoleh pendidikan
hukum baik di Indonesia maupun di Belanda pada masa penjajahan. Advokat pertama di
Indonesia adalah Mr Besar Martokusumo yang menurut Daniel S Lev telah “memecah es
profesi Advokat”. Dalam perkara-perkara prodeo di Raad van Justitie, Mr. Besar sering
membantu orang Indonesia. Menurutnya sulit bagi orang Indonesia untuk menganggap
pengadilan seperti itu sebagai pengadilannya sendiri. Bagaimanapun hakimnya orang asing,
berbahasa asing dan mereka duduk di lantai, membungkuk dalam-dalam dan sangat
ketakutan. Walaupun pemberian bantuan hokum itu diberikan berkaitan dengan jasa advokat,
namun karena bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak
mampu memakai advokat-advokat Belanda maka hal ini menurut Abdurahman sudah dapat
dipandang sebagai titik awal dari pada bantuan hokum. Generasi ini kemudian di masa
Indonesia merdeka mengambil peran yang cukup signifikan di dalam bidang hukum dan
pemerintahan

Sejarah gerakan ini dilanjutkan dengan keberadaan LBH Jakarta pada tahun 1970-an;
yang keberadaanya juga tidak terlepas dari keberadaan organisasi advokat – Peradin- . dan
berkembang hingga saat ini menjadi YLBHI dengan 15 kantornya. Organisasi ini
mengembangkan Bantuan Hukum Struktural (BHS) sebagai konsep kerjanya. Dalam
perjalanannya BHS mendapatkan banyak kritik, dan kritik-kritik tersebut semakin
mengembangkan BHS, sebagai konsep kerja yang semakin luas penggunaannya sesuai
dengan kebutuhan masing-masing sektor dan subyek yang menjadi sasaran. Posisi

4
Tetralogi Pulau Buru adalah kisah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia antara 1898-1918, bercerita
tentang kehidupan Minke, putra seorang bupati yang memperoleh pendidikan Belanda pada masa
pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20, tepatnya
tahun 1900 ketika tokoh utamanya, Raden Mas Minke lahir. Nama Minke adalah nama samaran dari seorang
tokoh pers generasi awal Indonesia yakni Raden Tirto Adhi Soerjo. Cerita novel ini sebenarnya ada unsur
sejarahnya, termasuk biografi RTAS tersebut yang juga nenek moyang penulis. Cerita lainnya diambil dari
berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut. Termasuk di antaranya rekaman
pengadilan pertama pribumi Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga
Belanda totok yang terjadi di Surabaya. Terbit dari tahun 1980 hingga 1988 dan kemudian dilarang
peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa dengan alasan mengandung nilai-nilai
Leninisme dan Marxisme

2|Page
LBH/YLBHI sebagai lokomotif demokrasi berperan besar dalam menumbangkan rejim orde
baru.

Selanjutnya adalah bagaimana peran gerakan BHS dalam era reformasi ? apakah
gerakan BHS telah berhasil melakukan perubahan pembaharuan hukum yang berkeadilan
sosial ? Tulisan ini akan mencoba memaparkan tipologi bantuan hukum di Indonesia, sebagai
dasar memahami dan memposisikan gerakan bantuan hukum, dan tiga elemen BHS yaitu
pendidikan hukum, bantuan hukum dan pembaharuan hukum.

TIPOLOGI BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

Seiring dengan berkembangnya dinamika hukum di Indonesia, dapat


diindentifikasikan empat kelompok /jenis bantuan hukum yaitu berdasarkan inisiatif yang
melakukannya yaitu Probono Publico oleh Advokat, Masyarakat Sipil (NGO bantuan
hukum); Negara (pemerintah pusat maupun daerah) dan Agen Pembangunan Internasional.
Keempatnya terbentuk dan memiliki cara pandang yang berbeda dalam memahami keadilan,
yang secara ringkas dapat digambarkan dalam tabel berikut : 5

Kategori ProBono Masyarakat Negara ( Legal Agen


Publico Sipil Aid Fund) Pembangunan
Internasional
Persepsi Keadilan Keadilan Keadilan Keadilan hukum
tentang hukum substantive hukum
keadilan
Penyebab Ketimpangan Tertutupnya/tidak
ketidak adilan struktural adanya akses
Sifat Karitatif Emansipatif Karitatif Utilatirian
Fungsi danMewujudkan Pintu masuk Mewujudkan Salah satu alat
tujuan bantuan keadilan hukun untuk perubahan keadilan hukum untuk menghapus
hokum social kemiskinan
Pendekatan Individual Kolektif dan Individual Individual
berdampak luas
Metode Bantuan hokum Bantuan hokum Bantuan hokum Bantuan hokum
untuk sebagai pintu untuk sebagai alat untuk
memenuhi masuk dan alat memenuhi menghapuskan
kebutuhan untuk melakukan kebutuhan kemiskinan
orang miskin pembebasan orang miskin
Cara Legal assistance Bantuan hokum Legal assistance Bantuan hokum
dalam arti luas dalam arti luas.
Strategi Penanganan Pemberdayaan Penanganan Pemberdayaan
perkara dan perubahan perkara dan perbaikan
paradigm hokum system hokum
Aktivitas utama Litigasi Pendidikan Litigasi Pendidikan
hokum, hokum,
pengorganisasian pengorganisasian
kelompok kelompok
masyarakat, masyarakat,

5
Samuel Gultom dan Tandiono BP; 2011

3|Page
advokasi. advokasi.
Actor Advokat Masyarakat + Advokat Paralegal +
paralegal + advokat
advokat
Subyek Individu Orang Miskin dan Orang miskin Miskin dan tidak
penerima miskin marginal diuntungkan

Secara sederhana dari keempat tipe diatas, terdapat bantuan hukum dalam artian
sempit dan bantuan hukum dalam artian luas. Bantuan hukum dalam artian sempit yaitu tipe
probono publico dan negara (legal aid fund) seperti yang diatur dalam UU Bantuan Hukum.
Sedangkan bantuan hukum dalam artian luas adalah tipe NGO (transformatif) dan Agen
Internasional. Sebagai pengiat yang menggunakan bantuan hukum sebagai alat, kita tentunya
harus memilih. Apakah sekedar cukup terdampinginya orang miskin di pengadilan atau di
luar pengadilan, ataukah kemudian kita mempunyai mimpi yang lebih besar ?

Secara pribadi, penulis memilih tipologi kedua sebagai alat yang bisa digunakan
untuk mencapai mimpi besar seperti yang dimandatkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
“Pemerintah Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

BANTUAN HUKUM DAN KEADILAN SOSIAL

“Bahwa pemberian bantuan hukum bukanlah sekedar sikap dan tindakan kedermawanan
tetapi lebih dari itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kerangka upaya
pembebasan manusia Indonesia dari setiap bentuk penindasan yang meniadakan rasa dan
wujud kehadiran keadilan yang utuh, beradab dan berprikemanusiaan

( Nilai DasarOrganisasi Keenam YLBHI)6

Ketika tipologi kedua yang dipilih, maka kita perlu menengok kepada Konsep BHS.
Konsep ini lahir dalam diskusi para pembina LBH tahun 1978, lahir seiring wacana
“kemiskinan struktural” di Indonesia dan bersentuhan dengan teori dependent dan CLS
(Critical Legal Studies)7. Menurut Paul Mudiqdo, pada era ini sila kelima dari Pancasila
yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dilarang dibicarakan karena ada
hubungannya dengan tujuan formal Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan PKI
(di)jadi(kan) musuh bersama. Menurut penelitiannya, sila kelima baru dibicarakan di muka
umum pada akhir 1977 yaitu oleh HIPIS dalam kongresnya di Manado. 8 Sejak saat itu sila

6
Nilai Dasar Organisasi, www.ylbhi.or.id

7
CLS dideklarasikan oleh kalangan akademisi hokum, dan praktisi hokum di Amerika Serikat pada tahun 1977
sebagai ketidakpuasan terhadap pemikiran hokum yang saat itu dominan, yakni pemikiran hokum liberal. Vide
Roberto M Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, ELSAM, Jakarta, 1999

8
Strategi LBH Dalam Konteks Politik Indonesia, wawancara dengan Paul Mudikdo, dalam majalah Radar
No Serial 35/1989, YLBHI, Jakarta, halaman 60

4|Page
keadilan sosial mulai dibicarakan baik oleh pejabat pemerintah dan media massa, termasuk
karangan-karangan yang membahas kemiskinan9. Dalam konsep ini kemiskinan merupakan
“gejala sosial yang massal yang bukan disebabkan oleh perbuatan atau sikap perorangan,
melainkan oleh struktur-struktur sosial, yakni hubungan ketergantunagan sepihak dari
kelompok-kelompok orang yang lemah di masyarakat kepada kelompok-kelompok yang lebih
kuat, dan oleh kondisi-kondisi struktural.10 Sehingga kemiskinan merupakan
ketidakadilan struktural.

Pemahaman terhadap konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara


untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin. Sementara
hukum positif yang seharusnya alat untuk menjamin hak-hak warganegara dipandang tidak
lagi netral, karena hukum merupakan hasil pertarungan dari struktur sosial yang tidak adil
dan menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan.11 Hukum belum sampai pada tingkat
perkembangan yang memihak kepada kepentingan rakyat secara keseluruhan dan situasi
sudah berkembang sedemikian rupa sehingga rakyat tidak mampu menjadi subyek hukum.

Dalam kondisi tersebut bantuan hukum bukanlah sekedar pelembagaan pelayanan


hukum buat si miskin tetapi merupakan sebuah gerakan dan rangkaian tindakan guna
pembebasan masyarakat dari belenggu struktur politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
sarat dengan penindasan. Berdasarkan hal tersebut BHS ditujukan untuk ”Menciptakan
kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang
menuju ke arah struktur yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya
menjamin persamaan kedudukan baik di lapangan politik maupun ekonomi.”12 Soetandyo
Wingjosoebroto berpendapat bahwa BHS mengarah pada perjuangan reformatif, yaitu :

BHS mengarah ke perjuangan reformatif untuk melahirkan perundang-undangan


baru yang dapat menjamin hak-hak tambahan yang berdayaguna untuk
melindungi kepentingan golongan yang miskin dan yang lemah dalam posisi di
stratum bawah. Bantuan hukum struktural macam ini nyata kalau bertolak dari
asumsi bahwa hukum perundang-undangan sebagai produk proses politik, nota
bene proses politik yang dikontrol golongan kelas atas, tidak selamanya—baik
yang manifes sebagai norma perundang-undangan maupun yang terwujud dalam
perilaku aparatnya—dapat dibilang netral alias tak memihak. Tak jarang dapat
disimak betapa, dalam pelaksanaannya di lapangan, di sidang-sidang pengadilan
sekalipun, hukum undang-undang itu acapkali secara nyata mencerminkan

9
Definisi kemiskinan struktural ditemukan dalam Sambutan Wakil Presiden RI Adam Malik pada hari Hari
HAM, se dunia 10 Desember 1980, dimuat dalam Hukum dan keadilan Majalah Hukum Peradi Edisi 17 tahun
ke IX Januari – Pebruari 1981.. Pembahasan tentang kemiskinan struktural kaitannya dengan BHS ditemukan
pula dalam tulisan Todung Mulya Lubis di Majalah Prisma tahun 1970-an. Selanjutnya pembahasan tentang
kemiskinan struktural ini muncul kembali dalam advokasi kemiskinan berbasis hak yang dimotori oleh
kelompok kerja anti kemiskinan struktural (Kikis, Gapri, Jari dll) dan mendefinisikannya sebagai ”Proses
pemiskinan dan kemiskinan adalah hasil atau akibat dari proses-proses perampasan sumbedaya dan hak, tidak
hanya menyangkut ketiadaan pendapatan atau income yang rendah. Pemiskinan lebih banyak disebabkan oleh
ketimpangan kekuasaan dan ketidakadilan dalam system politik, ekonomi, sosial dan budaya”

10
Strategi LBH Dalam Konteks Politik Indonesia, op cit halaman 61

11
Paul S Bout (ed) Bantuan Hukum di Asia Tenggara, YLBHI, 1989

12
Adnan Buyung Nasution, bandingkan dengan pengertian Public Interest Law

5|Page
hadirnya kesemena-menaan golongan kaya kelas atas, atau juga dari golongan
militer dan tentu saja juga dari pemerintah berikut aparat birokratiknya, yang
dimanapun selalu berkedudukan relatif kuat13

Sedangkan yang membedakan BHS dengan bantuan hukum yang lainnya yaitu
:14(1) Analisa yang dilakukan menggunakan pisau analisa struktural; (2) Berpegang
pada nilai-nilai keadilan, hukum positif merupakan obyek analisis; (3) Relasi yang
dikembangkan setara antara masyarakat pencari keadilan dengan public defender; (4)
Fakta yang dihimpun meliputi fakta sosial; dan (5) Melibatkan tindakan-tindakan non
hukum/non litigasi (penyadaran hak, pengorganisasian dan penelitian). 15

Karena bantuan hukum dimaknai secara meluas, dengan tidak hanya terbatas pada
pemberian pelayanan dan pendampingan bagi masyarakat miskin dalam sistem hukum baik
di dalam maupun diluar peradilan. Dalam tingkatan pelaksanaanya, menurut sejumlah
dokumen BHS diterjemahkan dengan aktivitas-aktivitas trilogi BHS seperti :

1. Memberikan Bantuan Hukum pada masyarakat yang membutuhkan


2. Mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya akan hak-haknya sebagai
subyek hukum
3. Turut serta mengadakan pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum di
segala bidang

Karenanya elemen penting BHS menurut penulis adalah pendidikan hukum, bantuan hukum
dan pembaharuan hukum.

13
Soetandyo Wingjosoebroto, Jurnal Keadilan Sosial Edisi I Tahun 2010, ILRC –OSI, Jakarta, 2010, halaman

14
Sumber dari Fauzi Abdullah

15
Kritik-kritik terhadap BHS misalnya tentang penggunaan alat analisa gender, metode pluralisme hukum,
kelompok-kelompok rentan dan alat bantu lainnya memperkaya BHS dan mengembangkan BHS dengan
berbagai nama lainnya seperti Bantuan Hukum berperspektif Gender

6|Page
TIGA ELEMEN BHS;

Pendidikan Hukum, Bantuan Hukum dan Pembaharuan Hukum

Pembaharuan Hukum

Kehadiran pembaharuan hokum diperlukan untuk mengembalikan hokum ke fungsi


hakikinya, yakni mewujudkan keadilan social dengan cara-cara yang demokratis.
Pembaharuan hokum diperuntukkan sebagai proses yang menyediakan perhatian,
kepedulian dan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan. Aktivitas pembaharuan hokum harus dilandasi oleh nilai-nilai HAM,
pluralisme budaya, keadilan dan kelestarian ekologi. Pembaharuan hokum dalam banyak
hal mesti juga dilihat sebagai proses/gerakan mengembalikan hokum kepada rakyat.
(Statuta Perkumpulan HuMA)

Bagaimana cara gerakan bantuan hukum untuk merubah struktur yang timpang ?
selain dengan melalui pendidikan hukum kritis, dan pelayanan bantuan hukum, adalah
melalui pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum ini menjadi ‘goal’ karena menjadi akhir
setelah rangkaian aktivitas pendidikan hukum dan bantuan hukum. Namun pembaharuan
hukum seperti apa ? Dalam Catatan Bambang Widjoyanto, YLBHI menyadari benar ada
kekurangan yang dimiliki oleh lembaga untuk secara serius dan sistematis melakukan
pertarungan gagasan dan pemikiran dalam membuat berbagai kebijakan maupun peraturan
perundang-undangan yang dapat melindungi publik, membangun proses demokratisasi.
YLBHI membentuk Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) untuk mendorong
pembentukan suatu kebijakan yang merombak sistem hukum yang asimentris dan
menciptakan ketidakadilan.16 Dengan demikian, YLBHI tidak memiliki konsep pembaharuan
hukum –dalam konteks BHS- yang akan diperjuangkan pasca reformasi. Konsep
pembaharuan hukum ini menjadi penting untuk menentukan bantuan hukum seperti apa yang
akan diberikan dan nilai, pengetahuan dan ketrampilan seperti apa yang akan diberikan
kepada masyarakat miskin.

Kegagalan untuk merubah struktur hukum yang tidak adil ini, menurut Olle Tornquist
disebabkan civil society tidak mampu mengambil alih kekuasaan politik pasca Soeharto
tumbang.17 Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, salah satu sumber masalah adalah tidak
digunakannya Teori Hukum Pembangunan pasca reformasi dalam membentuk dan
menegakkan hukum di Indonesia. Hambatan penggunaan Teori Hukum Pembangunan 18
dalam praktik pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia pasca reformasi, dapat
diindentifikasikan sbb :

Pertama, kebiasaan kurang terpuji selama 50 tahun Indonesia merdeka, yakni bahwa
pembuat kebijakan sering memanfaatkan celah untuk menggunakan hukum sebagai
alat dengan tujuan mendahulukan kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan
rakyat. Misalnya, perampasan hak masyarakat adat atas tanah dengan dalih
pembangunan gedung pemerintah dan jalan raya tanpa kompensasi yang proporsional.

16
Bambang Widjoyanto, Tiga Periode, Dua Transisi, Satu Tujuan, YLBHI, 2012, halaman 200
17
Irawan Saptono, hal 112

18
A.P. Edi Atmaja,Hukum sebagai Sarana Rekayasa Sosial,
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/49888-hukum-sebagai-sarana-rekayasa-sosial

7|Page
Kedua, sukarnya menentukan tujuan pembaruan hukum.

Ketiga, sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu
analisis deskriptif dan prediktif.

Keempat, sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil atau
tidaknya usaha pembaruan hukum.

Kelima, para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan soal corak hukum yang
dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat di era
globalisasi seperti saat ini.

Romli Atmasasmita mengusulkan evaluasi mendasar yang disebutnya reorientasi


pembangunan hukum nasional. Reorientasi ini meliputi, reaktualisasi sistem hukum yang
bersifat netral dan lokal (hukum adat) ke dalam sistem hukum nasional dan penataan ulang
kelembagaan aparatur hukum yang masih mengedepankan egoisme sektoral19.

Sedangkan dalam publikasinya Perkumpulan HuMa20 menyatakan hal-hal terkait dengan


pembaharuan hukum, diantaranya sebagai berikut :

“...pembaharuan hukum bukanlah terjemahan dari law reform. Karena konsep


law reform merujuk pada perubahan hokum dengan mengusahakan perbaikan
legislasi, tidak termasuk perubahan pada aspek judicial apalagi mengenai konsep-
konsep dasar mengenai hokum.

“...Konsep pembaharuan hokum …. Selain menyangkut legislasi juga meliputi


pembaharuan peradilan dan konsep-konsep dasar tentang hokum.

Secara sederhana pengertian pembaharuan hokum dituliskan dalam gambar ilustrasi


di publikasi yang sama dituliskan Pembaharuan hokum = Perumusan ulang
tujuan hokum. Sehingga pembaharuan hokum bersifat paradigmatic dan
perpandangan visioner. Pembaharuan hokum tidak bersifat permukaan dan
instan.……..

Pembaharuan hokum tidak [sekedar –pen] memandang pembuatan substansi sebatas


sebagai proses tehnikal melainkan sebagai proses social dan politik. Sasaran
pembaharuan hokum adalah merumuskan ulang tujuan hokum serta menemukan
substansi, kelembagaan dan proses yang tepat untuk mencapai tujuan
tersebut.

Dituliskan selanjutnya :

Kehadiran pembaharuan hokum diperlukan untuk mengembalikan hokum ke fungsi


hakikinya, yakni mewujudkan keadilan social dengan cara-cara yang

19
ibid

20
Ricardo Simarmata dkk, Pembaharuan Hukum Daerah, Menuju Pengembalian Hukum kepada Rakyat,YPH
Bantaya, Kemala, Huma, 2003

8|Page
demokratis. Pembaharuan hokum diperuntukkan sebagai proses yang menyediakan
perhatian, kepedulian dan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan. Aktivitas pembaharuan hokum harus dilandasi
oleh nilai-nilai HAM, pluralisme budaya, keadilan dan kelestarian ekologi.
Pembaharuan hokum dalam banyak hal mesti juga dilihat sebagai proses/gerakan
mengembalikan hokum kepada rakyat.

Untuk mencapai pembaharuan hukum yang demikian, terdapat empat tahap utama yang
dipersiapkan dalam melakukan pembaharuan hokum, yaitu :

1. Perumusan paradigma hokum yang baru.


2. Rumusan paradigma baru ini akan menjadi acuan untuk merumuskan asas,
kaedah, dan substansi-substansi hokum
3. Menemukan struktur/kelembagaan hokum yang cocok dengan kaedah/substansi
hukumnya
4. Pembaharuan hokum juga memikirkan proses pembuatan (law making process
atau policy formulation)substansi/kaedah hokum.

Di sini pembaharuan hokum bersifat paradigmatic dan berpandangan visioner, serta


tidak bersifat permukaan dan instan. Pembaharuan hokum menuntut adanya
pembaharuan ideologi hukum, yaitu sistem nilai yang dijadikan spirit dalam perangkat
hukum. Dalam akhir proses diharapkan pembaharuan hokum akan memberikan keadilan
kepada rakyat, yaitu pemulihan fungsi-fungsi kelembagaan politik, social, dan ekonomi
diharapkan pembaharuan hokum seperti ini akan mampu membantu anggota masyarakat
mendapatkan dan memenuhi kebutuhan – kebutuhan personal dan kolektif mereka.

Dalam operasionalisasinya saat ini pembaharuan hukum hanya menyentuh level


substansi hukum dengan merombak peraturan perundang-undangan dan level institusi hukum
dengan membentuk dan menata ulang tata kelembagaan negara dalam semangat check and
balances. Sedangkan membangun budaya hukum dan merubah paradigma tujuan hukum itu
sendiri belum dilakukan.

Pendidikan Hukum Bagi Pengabdi Bantuan Hukum

Dalam pandangan CLS -yang mendasari lahirnya BHS-, pendidikan hukum (formal)
lebih berorientasi pada nilai-nilai dan kelompok social yang berada pada struktur kekuasaan,
yang akan mempengaruhi cara berpikir, sikap dan persepsi mahasiswa hukum di dalam
memandang berbagai permasalahan social yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan
hukum dipandang sebagai sarana pelanggengan ideologi kekuasaan.
Disamping itu, umumnya pendidikan tinggi hukum yang diselenggarakan oleh
universitas-universitas di negara dunia ketiga merupakan produk dari pemerintah kolonial,
yang ditujukan untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial dan kelompok pengusaha.
Ketika kemudian negara-negara dunia ketiga memperoleh kemerdekaan politik, lembaga
pendidikan hukum diambilalih dan diintegrasikan ke dalam system pendidikan hukum
nasional. Namun begitu, perubahan belum banyak dilakukan, pada gaya, pendekatan dan
substansi pendidikan hukum. Sehingga lembaga pendidikan hukum menjadi asing bagi
masyarakat sekitarnya.

9|Page
Ketika pendidikan tinggi hukum dimulai di Indonesia pada awal abad 20, pendidikan
hukum sepenuhnya mengikuti pola pendidikan tinggi hukum di Belanda. Kurikulum serta
pola pengajaran juga sepenuhnya mengikuti pola pengajaran di Belanda, meskipun ada
penyesuaian dengan kondisi obyektif Hindia Belanda sebagai tanah jajahan. Pada masa ini,
pendidikan tinggi hukum dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto bertujuan, “....yang amat
sadar untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas sebagai rechtsambtenaren yang
cakap, yang dengan demikian dapat diangkat ke dalam jabatan-jabatan tertentu, entah
sebagai hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah
dalam negeri. Di sekolah tinggi ini matakuliah-matakuliah diberikan dengan tujuan utama
agar para mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum -- utamanya yang tertuang sebagai
hukum perundang-undangan –“.21 Sehingga semuanya jelas untuk mengabdi dan melayani
kepentingan negara kolonial, dan para pengusaha yang umumnya adalah pengusaha Belanda
dan Cina.
Kekurang pekaan dan kurang tanggapnya para yuris Indonesia terhadap perubahan
yang tengah terjadi, adalah sebagai akibat dari pendidikan hukum kita yang dikatakan oleh
Satjipto Rahardjo sebagai “penjaga status quo”.22 Kondisi ini kemudian oleh Hikmahanto
Juwana dikatakan bahwa,“Para lulusan tahun 1930-an, 1950-an, 1970-an, 1980-an maupun
1990-an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderung legalistik tidak berbeda
dengan lulusan pada masa pemerintahan Kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi
berbagai tujuan pendidikan hukum pasca Indonesia merdeka”.23 Akibatnya dalam proses
penegakan hukum rasa keadilan masyarakat, diabaikan atas nama kepastian hukum.
Kondisi tersebut mengundang sejumlah kritik, termasuk dari Abdul Hakim Garuda
Nusantara (1988) dalam salah satu terbitan YLBHI. Ia menilai sebagai berikut24 :

Pertama, sifat dan rung lingkup pendidikan hukum formal sangat terbatas bahkan
sejumlah lembaga masih bersifat konservatif pada bidang-bidang pengetahuan hukum
dalam arti sempit, teknis, historis dan tanpa visi social, dengan akibat keterasingan
pendidikan hukum dari perkembangan ilmu pengetahuan moderan pada umumnya
dan ilmu-ilmu social pada khususnya.

Kedua, orientasi pendidikan hukum lebih menampilkan middle-class legal problems


oriented, dengan materi dan susunan kurikulum yang terarah pada penguasaan ilmu
tehnik hukum dan dengan begitu relative lebih melayani kepentingan-kepentingan
golongan menengah terutama di perkotaan.

Ketiga, Minat, perhatian dan kepekaan fakultas – fakultas hukum terhadap masalah –
masalah hukum dan kebutuhan hukum yang dihadapi oleh golongan masyarakat yang
tidak menguasau sumber daya ekonomi dan politik (buruh,petani gurem,miskin kota
dll) sangat kurang dan diabaikan.

Keempat, Proses pengajaran materi-materi hukum lebih diarahkan pada penguasaan


aspek-aspek tehnis, dan oleh karena itu tidak ada usaha untuk mengadakan

21
Soetandyo Winjgsoebroto, Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum Di Indonesia Pada Era
Pascakolonial; diskusi mengenai “Persiapan Menyelenggarakan Pendidikan Doktor dalam bidang Ilmu
Hukum di Universitas Brawijaya, Sabtu 25 Agustus 2000. www.huma.or.id

22
Satjipto Rahardjo.; Dimanakah Pendidikan Hukum; Kompas 08 April 2004

23
Hikmawanto Juwana, Reformasi Pendidikan Hukum di Indonesia; www.pemantauperadilan.com; hal 5
24
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum, YLBHI, 1982

10 | P a g e
kontekstualisasi ketentuan hukum yang sesuai dengan realitas social yang dihadapi
kelompok masyarakat yang kepentingannya dipengaruhi oleh ketentuan hukum
tersebut.

Menyadari kondisi ideologis pendidikan hukum25 tersebut, sejauh pengetahuan


penulis untuk rekruitment PBH dilakukan seleksi melalui Kalabahu dan live in atau tinggal
bersama masyarakat miskin.

Secara sadar ataupun tidak, proses ini membongkar pandangan legalistik-positivistik


yang telah ditanamkan pendidikan tingi hokum dan dalam menangani konflik atau suatu
kasus. Penerapan pola live in secara keseluruhan menjadikan seseorang bukan siapa-siapa
ketika berhubungan dengan masyarakat. Pola ini menjadikan seorang PBH harus mampu
melepaskan semua ego dan keangkuhan kelas menengah, dan belajar dari kehidupan itu
sendiri.Jika seorang pengacara, masih berpandangan legalistic-positivistik maka dipastikan
bahwa semua proses hukum yang terkait dengan orang miskin tidak akan dimenangi.

Proses ini menumbuhkan pula sikap kritis terhadap hokum perundang-undangan.


Melalui analisis hukum kritis seorang PBH bisa menemukan ketimpangan dan ketidakadilan
yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangan dengan kenyataan yang ditemuinya
langsung, dan menemukan fakta kewibawaan dan keberagaman hukum-hukum adat atau
local setempat, yang tidak diakomodasi oleh hokum perundang-undangan nasional. Dalam
penanganan kasus-kasus struktural maka fakta sosial tersebut menjadi data yang harus
dihimpun selain fakta-fakta hukum sendiri.

Pendidikan Hukum untuk Masyarakat (Paralegal)

Salah satu aktivitas BHS adalah mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya
akan hak-haknya sebagai subyek hokum. Pendidikan ini dalam dokumen-dokumen YLBHI
diharapkan menghasilkan empat hal yaitu :

1. Adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin tentang kepentingan-


kepentingan bersama mereka;
2. Adanya pengertian bersama di kalangan masyarakat miskin tentang perlunya
kepentingan-kepentingan mereka dilindungi oleh hukum;
3. Adanya pengetahuan dan pemahaman di kalangan masyarakat miskin tentang hak-hak
mereka yang telah diakui oleh hukum; dan
4. Adanya kecakapan dan kemandirian di kalangan masyarakat miskin untuk mewujudkan
hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka di dalam masyarakat.

Proses pendidikan terhadap masyarakat salah satunya dilakukan melalui pendidikan


paralegal26. Menurut Andik, pengembangan konsep paralegal didasari keinginan untuk

25
Pasca reformasi, upaya untuk mereformasi pendidikan tinggi hukum berbasis keadilan sosial dilakukan oleh
the Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan Epistema Institute
26
Pola pendidikan dan konsep paralegal ditemukan dalam 4 buah buku terbitan YLBHI yaitu Ravindran, Walhi
dan YLBHI, Andik Hardiyanto dkk, dan Mas Ahmad Santosa dkk. Dalam perkembanganya banyak konsep
sejenis antara lain Pendamping Hukum Rakyat (PHR) oleh HuMA. Perkembangan pemikiran konsep ini cukup
lengkap ditulis oleh Ricardo Simarmata. Konsep paralegal ini kemudian juga dikembangkan oleh beberapa

11 | P a g e
mengembangkan kapasitas atau kekuatan (empowerment) masyarakat miskin. Asumsi-asumsi
yang dibangun untuk mengembangkan konsep paralegal27, adalah :

1. Kesadaran bahwa kasus-kasus hukum dan pengembangan hampir selalu menempatkan


kelompok masyarakat miskin sebagai masyarakat korban;
2. Kesadaran bahwa peran politik LSM adalah mengembangkan kapasitas masyarakat agar
lebih mampu dan berkemauan merebut kembali hak-hak dasarnya;
3. Perlunya dikedepankan pelibatan masyarakat dalam kerja advokat agar mereka dapat ikut
ambil bagian dalam menentukan agenda politik dan kebijakan nasional
4. Perlunya upaya yang terus menerus untuk mengangkat hal-hal yang selalu mengganjal
pengembangan kapasitas masyarakat, yaitu masalah pelanggaran HAM

Dari asumsi tersebut, maka pengembangan konsep paralegal yang dikembangkan


adalah seorang paralegal merupakan perpanjangan tangan komunitasnya dan
pertanggungjawabannya diletakkan pada komunitasnya. Paralegal memiliki tanggungjawab
untuk mendayagunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk membantu mewujudkan
pemenuhan HAM komunitasnya. Pengembangan konsep ini berbeda dengan pengertian
paralegal yang berkembang di dunia barat yaitu sebagai assisten advokat atau kantor hukum.
Paralegal dalam pengertian demikian bekerja untuk kebutuhan dan kepentingan kantor
hukum, dan bertanggungjawab terhadap pemberi kerja yaitu kantor hukum yang
bersangkutan.

Maka kemudian, paralegal didefinisikan sebagai : “Seseorang yang bukan sarjana


hukum tetapi mempunyai pengetahuan dan pemahaman dasar tentang hukum dan HAM,
memiliki ketrampilan yang memadai serta mempunyai kemampuan dan kemauan
mendayagunakan pengetahuannya itu untuk memfasilitasi ikhtiar perwujudan hak-hak azazi
masyarakat miskin/komunitasnya”.

Pada tahun 1992, YLBHI dan International Commission of Jurist (ICJ),


menyelenggarakan Lokakarya dan Paralegal Training for Trainers, untuk Pengembangan
Konsep Paralegal. Dalam kegiatan tersebut dihasilkan rekomendasi terkait bahan-bahan
dasar tentang kurikulum dan metodologi pelatihan paralegal. Untuk kurikulum, ditentukan
ouput (keluaran) yang diharapkan pasca pendidikan paralegal, yang meliputi nilai,
kemampuan dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang paralegal, yaitu :

Output Pelatihan Paralegal

Nilai-Nilai Paralegal Kemampuan Ketrampilan


1. Nilai Sosial 1. Identifikasi dan 1. Komunikasi
merumuskan masalah 2. Investigasi
o Perasaan keadilan 2. Analisis masalah 3. Dokumentasi
o Solidaritas Sosial 3. Kemampuan berpikir 4. Negosiasi dan Lobby
o Kerendahan hati pro aktif 5. Cara menhadapi
4. Pengetahuan dasar Aparat Penegak
2. Nilai Personal hokum Hukum (APH) dan
5. Pengetahuan hokum institusi non hokum

NGO. Saat ini konsep tentang keparalegalan juga digunakan oleh lembaga donor internasional seperti World
Bank dengan Program Justice for the Poor, dan Akses to Juctice (Uni Eropa).
27
Andik Hardiyanto, Pengembangan Konsep Paralegal, makalah dalam Lokakarya dan Paralegal
Training for Trainers, YLBHI dan International Commission of Jurist, Yogyakarta 19-23 November 1992

12 | P a g e
o Sense of Humor konstekstual 6. Mobilisasi
o Kesediaan mengambil 6. Kemampuan 7. Agitasi
resiko merencanakan
o Tanggungjawab 7. Kemampuan
o Sabar yang mengambil keputusan
kontekstual (taktis)
o Jujur (kesetiaan pada
fakta)
o Disiplin

Kurikulum untuk pengetahuan dan ketrampilan disesuaikan dengan materi-materi


sektoral misalkan materi pengetahuan dan ketrampilan di kelompok buruh akan berbeda
dengan kelompok petani atau nelayan, sedangkan untuk nilai berlaku untuk semua kelompok
sasaran. Pola pendidikan paralegal yang menggunakan pola pendidikan orang dewasa ini
merupakan perubahan dari pola penyuluhan hokum yang digunakan YLBHI pada tahun
1980-an.

Selain tujuan pendidikan hukum masyarakat tersebut diatas, seiring perubahan sistem
negara, menurut penulis melalui pendidikan hukum masyarakat diharapkan :

1. Adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat miskin tentang kekuatan dan sumber
daya yang mereka miliki termasuk nilai dan norma-norma yang selama ini bekerja di
dalamnya
2. Adanya pengetahuan dan ketrampilan untuk mendayagunakan kekuatan dan sumber daya
yang mereka miliki termasuk nilai, norma , dan hukum yang hidup sebagai alat untuk
mengadvokasi hak-hak konstitusionalnya;
3. Menjadi aktor pembaharuan hukum di berbagai level.

Penambahan tiga capaian diatas merupakan perubahan pendekatan dari pendekatan


berbasiskan masalah ke pendekatan berbasiskan kekuatan, yaitu pendidikan hukum
masyarakat tidak di mulai dari sekedar membongkar masalah-masalah yang terjadi, tetapi
dimulai dari mencari kekuatan dan modal yang telah mereka miliki. Konteks ini menjadikan
wilayah advokasi tidak hanya terbatas merebut hukum negara sebagai sarana pemenuhan
kepentingan masyarakat miskin, tetapi juga menggunakan norma, nilai dan hukum yang
hidup dalam masyarakat sebagai alat untuk menuntut pertanggungjawaban negara dalam
memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak warga negara. Selain menyumbangkannya
untuk membangunan bangunan hukum Indonesia yang baru yang berpihak kepada
kepentingan-kepentingan masyarakat miskin. Dengan catatan nilai, norma, dan hukum yang
hidup tersebut mempunyai pembatas yang tegas yaitu HAM dan Konstitusi.

Pelayanan Bantuan Hukum

Pada tingkatan pelaksanaanya BHS diterjemahkan dengan aktivitas-aktivitas, seperti


memberikan bantuan hukum, mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan
mengadakan pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum. Dan pengadilan
menjadi panggung untuk menyuarakan nilai-nilai yang diperjuangkan. Melalui proses-proses
persidangan, masyarakat dan aparat penegak hukum dididik secara langsung. Maka tidak

13 | P a g e
mengherankan, jika dilakukan pemilihan dan pemilahan terhadap kasus-kasus yang ditangani
melalui pengadilan.

Subyek pemberian bantuan hukum adalah lapisan masyarakat yang buta huruf atau
berpendidikan rendah atau yang tidak mengetahui dan menyadari hak-haknya sebagai subyek
hukum karena kedudukan sosial dan ekonomi serta akibat tekanan-tekanan dari yang lebih
kuat dan tidak mempunyai keberanian/kemampuan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Atau biasa dijargonkan dengan ”Miskin” dan ”Buta Hukum”.

Kasus hanya menjadi entry point untuk mendorong perubahan hukum. Impak lain
selain selesainya kasus yang ditangani, dalam Pola Dasar Bantuan Hukum dalam Rakernas
1986 , ditetapkan sebagai berikut :28

a. Berubahnya secara kualitatif orang atau kelompok orang yang menjadi penerima bantuan
hukum. Mereka dapat melihat kasus tersebut tidak hanya sebagai masalah yang perlu
dipecahkan, akan tetapi juga mereka melihat kasus ini sebagai gejala yang menunjukkan
posisinya dalam kesatuan sosial dimana dia hidup. Juga kasus itu dapat menunjukkan
sejauh mana kepentingannya (bukan kepentingan pribadi), tetapi kepentingan
kelompoknya sudah atau belum terlindungi dalam peraturan perundang-undangan,
mekanisme-mekanisme apa saja yang menyebabkan kesulitan untuk memperjuangkannya
kasusnya. Bersamaan dengan terjadinya proses pemahaman terjadi pula proses pemikiran
untuk mengupayakan perbaikan nasib.
b. Dengan cara melihat kasus yang lebih komprehensif dan mempelajari posisi penerima
bantuan hukum dalam hubungannya dengan sistem hukum yang ada, maka dalam setiap
kasus yang diterima dapat menjadi bahan untuk dikembangkan dalam bentuk pembinaan
publik opini, diskusi ilmiah, bahan masukan untuk pengambilan keputusan. Ini
merupakan bagian dari proses penyadaran dan merupakan salah satu dasar penyusunan
program.
c. Merangsang minat belajar kelompok sasaran baik untuk memahami kepentingan
kelompoknya, tetapi juga menumbuhkan keinginan untuk mengupayakan terpenuhinya
kebutuhan mereka melalui cara-cara yang tidak bertentangan dengan undang-undang.

Masukan-masukan dari pengalaman empirik tersebut diarahkan untuk


mengembangkan pemikiran hukum dalam kerangka pembaharuan hukum. Dan untuk hal ini,
LBH Jakarta mencoba mengemas pola ini melalui diskusi yang diberi nama Strategic Impact
Litigation Forum (SILF).

Selain itu, proses persidangan tidak hanya ditujukan untuk mendidik dan membangun
kesadaran kritis pencari keadilan, namun menjadi alat untuk mendidik dan mengontrol
prilaku aparat penegak hukum. Dalam pilihan menggunakan proses di pengadilan, kekuatan
masyarakat dan tim kampanye untuk mengatur ritme publikasi menjadi titik terpenting dalam
BHS. Disamping organisasi rakyat yang kuat, dukungan media massa, konsolidasi dengan
elemen masyarakat sipil dan dukungan kalangan intelektual menjadi hal yang mutlak.

Atas dasar itu, secara pribadi penulis menolak jika LBH menjadi “pemadam
kebakaran”, dimana LBH hanya ditempatkan sebagai lawyer di persidangan. Walau disadari
telah banyak LSM yang melakukan pengorganisasian dan pendidikan terhadap masayarakat,

28
Pola Dasar Bantuan Hukum, rancangan naskah 1 dalam Rakernas LBH se Indonesia, Yogyakarta, 27-28
Oktober1986, halaman 13

14 | P a g e
dan tuntutan LBH kembali ke fungsinya di bidang litigasi. Namun ketika pola yang dibangun
berbeda, maka proses di persidangan tidak akan membawa perubahan sebagaimana
diharapkan. Karena pemilihan pengadilan sebagai alat dalam pemberian bantuan hukum
utama waktu itu, harus diletakkan dalam konteks masa itu di mana kebebasan mengeluarkan
pendapat,berkumpul dan berorganisasi serta hak-hak dasar lainnya tidak diakui, dan advokat
mempunyai imunitas di dalam ruang-ruang pengadilan untuk menyampaikan itu. Sehingga
harus dicari strategi baru dalam merelasikan antara penggunaan layanan bantuan hukum,
pendidikan hukum, dalam mencapai suatu susunan hukum baru yang dijanjikan oleh
konstitusi.

Kemana YLBHI ?

“Saya merasa dewasa ini idealisme para pekerja LBH pada umumnya sangat kurang. Para
PBH terjebak dalam semangat menjadi populer di masyarakat dengan bersuara keras dan
vokal, namun tidak ada meeting of mind dalam suara-suara yang vokal itu.”

(Toeti Heraty Soeseno, 2012)

Dalam Draft Awal Perumusan Elaborasi Gagasan Bantuan Hukum Struktural, pada
Rapat Kerja Nasional YLBHI-LBH tanggal 1-3 November 2001 diungkapkan bahwa evolusi
pemikiran BHS senantiasa menjadi bahan perdebatan tersendiri di kalangan YLBHI. Suasana
perdebatan tersebut menurut draft tersebut harus dibaca setidak-tidaknya dalam dua ranah.
Pertama, perdebatan BHS yang tidak pernah rampung tersebut mengisyaratkan bahwa
pencarian paradigmatik BHS sendiri belum mampu mengarah kepada sebuah review teoritik
yang bisa dipertanggungjawabkan; Kedua, fakta bahwa para pelaku debat tersebut adalah
aktivis muda LBH memberikan petunjuk yang cukup jelas bahwa para aktivis muda tersebut
tampaknya ikhlas mau bergabung dan berjuang di dalam LBH karena ada daya ’gairah
magis’ BHS itu. Artinya BHS senantiasa menawarkan sebuah oase debat gagasan, debat
ideologis, bahkan debat praksis, yang sesungguhnya justru untuk mencari jawaban atas
kegelisahan rohani para aktivis itu. 29

Di sisi lain terdapat perkembangan di tingkatan eksternal dan internal yang harus
dijawab oleh para aktivis YLBHI-LBH untuk mereposisikan kembali gerakan BHS dalam
gerakan sosial di Indonesia. Masalah-masalah eksternal antara lain :

1) Runtuhnya rejim orde baru dan terjadinya perubahan sosial politik pasca 1998;

2) Otonomi Daerah;

3) Berkembangnya Issue Good governance;

4) Reformasi kebijakan pada tatanan Substansi dan Struktur Hukum;

5) Berkembangnya organisasi masyarakat sipil di bidang hukum dan HAM;

6) Neo Liberalisme, dan

29Draft Awal Perumusan Elaborasi Gagasan Bantuan Hukum Struktural, terdapat dalam Notulensi Rapat Kerja
Nasional YLBHI-LBH tanggal 1-3 November 2001

15 | P a g e
7) Perkembangan pemikiran ttg BHS dan kemiskinan Struktural di luar YLBHI seperti
PSDHM, PHR, Advokasi Kemiskinan Berbasis Hak, Justice for the poor.

Sedangkan YLBHI sebagai sebagai motor gerakan BHS memiliki permasalahan


internal, sekaligus peluang yang potensial yaitu :

1) Berhentinya Pergulatan pemikiran dan dialog tentang BHS di lingkungan pembawa dan
pelaksana BHS (YLBHI).;

2) Konflik berkepanjangan dan pergulatan untuk survival yang secara tidak langsung
mempengaruhi idealisme PBH dan kemampuan untuk memelihara masyarakat marginal
sebagai konstituen LBH.

3) Tidak tampak upaya untuk melakukan reposisioning BHS dan YLBHI secara terencana
dan berkelanjutan (lebih bersifat reaktif untuk menjawab kepentingan jangka pendek);

4) Munculnya kader-kader muda di tingkatan kantor yang gelisah terhadap kondisi dan
implementasi BHS;

5) Arah pergerakan donor yang mendorong kerja-kerja Akses Terhadap Keadilan dalam
artian sempit yang merupakan peran tradisional LBH; dan

6) Jaminan negara untuk bantuan hukum dalam artian sempit

Kini, LBH-LBH diisi oleh generasi yang tidak mengalami era 90an, yang harus
dipandang sebagai potensi untuk dikelola. Dari seluruh catatan 40 tahun YLBHI, para penulis
memiliki dua pandangan yang sama yaitu (1). BHS tetap relevan; (2) YLBHI harus
menerjemahkan ulang operasionalisasi BHS. Atau tantangannya dengan mengutip sebuah
status dari seorang alumni LBH Semarang “ BHS ; Mitos PBH 30?”. Selamat merumuskan !!!

30
Coment Dian A Radiansyah atas status Putra Satuhu : SELAMATKAN LBH Semarang; diposkan 9 Juni 2012 dalam
Facebook Group Alumni LBH Semarang

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai