Anda di halaman 1dari 5

NAMA : CINDY PUSPITA SUTARNO

NIM : 030520832
TUGAS 3

1. Coba saudara uraikan sejarah perkembangan bantuan Hukum diindonesia ?


2. Jelaskan bagaimanakah perkembangan stalsel dalam pemidanaan ?
3. Jelaskan prosedur pengajuan Grasi bagi seorang narapidana ?

JAWAB

1. Dalam ranah hukum dikenal sebuah sebutan untuk membantu seseorang yang terkena
masalah hukum secara cuma-cuma tanpa biaya sepeserpun sebagai bantuan hukum.
Bantuan hukum diberikan kepada siapapun yang berhak menerima bantuan hukum
dengan tujuan untuk menjamin dan memenuhi hak masyarakat kurang mampu agar
mendapatkan akses dan pelayanan hukum yang adil tanpa pandang bulu.
Selain itu bantuan hukum juga diberikan kepada penerima bantuan hukum untuk
mewujudkan setiap hak konstitusional warga negara agar mendapat persamaan
kedudukan dalam hukum. Pemberian bantuan hukum juga dilakukan agar pelaksanaan
hukum dapat diterima secara merata dan memastikan seluruh warga negara
mendapatkan hak pelaksanaan keadilan hukum di seluruh wilayah Negara Republik
Kesatuan Indonesia yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Bantuan hukum merupakan jaminan perlindungan hukum dan persamaan di depan
hukum yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Karena konstitusi
menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang sama di depan
hukum, termasuk hak atas bantuan hukum. Terlebih bagi masyarakat yang kesulitan
mendapatkan bantuan hukum, terutama masyarakat miskin.
Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2011 Bantuan Hukum Pasal 1(1) disebutkan bahwa
bantuan hukum adalah pelayanan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh pemberi
bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum. Penerima bantuan hukum adalah
individu atau kelompok masyarakat miskin yang tidak dapat melaksanakan hak-hak
dasarnya secara memadai dan mandiri serta menghadapi permasalahan hukum.
Sementara itu, dalam Publikasi SEMA No. 10/2010, Pasal 27 Petunjuk Bantuan Hukum
mengatur bahwa masyarakat yang tidak mampu menggunakan jasa pengacara berhak
atas layanan bantuan hukum, khususnya perempuan dan anak serta penyandang
disabilitas untuk menerima bantuan hukum sesuai peraturan yang berlaku.
Bantuan hukum adalah pelayanan hukum yang diberikan secara cuma-cuma oleh
pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum. Bantuan hukum
diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin dan mewujudkan hak masyarakat atau
kelompok masyarakat miskin atas perlindungan hukum, agar hak konstitusional setiap
warga negara terwujud sesuai dengan asas persamaan di depan hukum. Pemberian
bantuan hukum juga dimaksudkan untuk menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan
hukum secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. dan
terselenggaranya peradilan yang efektif, efisien dan akuntabel.
Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum atas permasalahan hukum,
baik perdata, pidana, maupun tata usaha negara, baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Pemberian bantuan hukum meliputi penggunaan pengacara, penagihan,
perwakilan, pembelaan dan/atau pelaksanaan tindakan hukum lainnya yang sesuai
dengan kepentingan hukum penerima bantuan hukum.
Jika bantuan hukum diartikan sebagai derma, maka bantuan hukum telah ada di
Indonesia sejak abad ke-16 dengan kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan
Belanda. Praktek bantuan hukum dapat dilihat dari praktek gotong royong dalam
kehidupan bermasyarakat, dimana masyarakat yang dihadapkan pada beberapa
masalah, meminta bantuan kepada pimpinan biasa untuk menyelesaikan beberapa
masalah. Jika hukum diartikan secara luas, bantuan adat juga merupakan bantuan
hukum.
Sejarah bantuan hukum menunjukkan bahwa bantuan hukum pada mulanya muncul dari
kemurahan hati elit gerejawi kepada para pengikutnya. Hubungan dermawan ini juga
terjalin antara tokoh adat dan penduduk sekitar. Model hubungan patron-klien.
Sejarah perlahan mengembangkan konsep bantuan hukum. Dasar “kedermawanan”
mulai diubah menjadi “hak”. Setiap pelanggan yang dicabut haknya bisa mendapatkan
bantuan hukum. Ada juga penekanan yang berkembang pada konsep bantuan hukum.
Bantuan hukum semakin terkait dengan hak-hak politik, ekonomi dan sosial. Pada abad
terakhir, bantuan hukum mulai dikaitkan dengan kesejahteraan sosial dan politik.
Bantuan hukum telah berkembang menjadi gerakan sosial.
Dalam praktek sehari-hari, bantuan hukum juga mulai melebarkan sayapnya, tidak hanya
di negara-negara kapitalis tetapi juga di negara-negara sosialis. Negara dunia ketiga juga
sudah mulai mengembangkan bantuan hukum ini. Secara konseptual juga terlihat adanya
perubahan dari bantuan hukum yang semula bersifat individual menjadi bantuan hukum
yang sifatnya struktural (Lubis, 1986: 5-6).
Pada zaman Romawi, bantuan hukum Patronus hanya dimotivasi oleh motivasi untuk
mendapatkan pengaruh di masyarakat. Pada Abad Pertengahan, masalah bantuan
hukum mendapat dorongan baru dari pengaruh agama Kristen, yaitu keinginan
masyarakat untuk berebut sedekah berupa keringanan fakir miskin dan sekaligus nilai-
nilai warga negara. Apresiasi orang-orang terhadap kebangsawanan dan kesopanan
tumbuh. Dari revolusi Prancis dan Amerika hingga hari ini. Motif pemberian bantuan
hukum bukan hanya kemanusiaan bagi mereka yang tidak mampu, tetapi juga hak politik
atau kebebasan sipil yang bersumber dari konstitusi modern.
Dalam hukum positif Indonesia, bantuan hukum diatur dalam Pasal 250 HIR. Pasal ini
dengan jelas mengatur bantuan hukum bagi terdakwa dalam kasus-kasus tertentu, yaitu
kasus-kasus yang diancam dengan pidana mati dan/atau penjara seumur hidup,
meskipun dalam prakteknya pasal ini lebih memihak kepada Belanda daripada Indonesia.
Dan ahli hukum yang terpilih wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.
Meski terbatas, HIR dapat dimaknai sebagai awal dari pelembagaan bantuan hukum
dalam hukum positif Indonesia. Sebelum adanya hukum acara, peraturan HIR masih
berlaku. Pada tahun 1970, disahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 35, 36 dan 37 di antaranya mengatur
bantuan hukum.
Profesor Kelembagaan mendirikan Sekolah Rechts Hoge di Jakarta pada tahun 1940
dalam bentuk Biro Bantuan Hukum atau Biro Penasehat Hukum. Zeylemaker. Kantor ini
didirikan untuk memberikan nasihat hukum kepada masyarakat kurang mampu dan juga
untuk memajukan operasional Klinik Hukum.
Pada tahun 1953, didirikan sejenis Kantor Penasehat Hukum Sim Ming Hui atau Tjandra
naya di sekolah Tionghoa tersebut. Kantor ini didirikan oleh Profesor Ting Swan Tiong.
Sekitar tahun 1962 Prof. Ting Swan Tiong mengusulkan kepada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia agar Fakultas Hukum mendirikan Kantor Penasehat Hukum.
Usulan ini disambut baik dan didirikanlah kantor penasehat hukum di Universitas
Indonesia. Pada tahun 1968 namanya diubah menjadi Lembaga Konsultasi dan pada
tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum.
Perang Dunia Kedua menyebabkan perubahan sosial yang penting dalam masyarakat
yang berbeda, terlepas dari apakah mereka terlibat dalam perang atau tidak. Perang juga
mengarah pada perkembangan gagasan sebelum perang.
Telah terjadi perubahan di bidang hukum, khususnya bantuan hukum. Akibatnya,
kebijakan baru muncul. Ketika negara memiliki kewajiban untuk mencari persamaan hak
atas bantuan hukum dan ekstrayudisial. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di Inggris
setelah Perang Dunia Kedua.
Masalah yang dihadapi selama perang mengarah pada pertimbangan peraturan baru
untuk memecahkan masalah sosial yang dihadapi oleh warga sipil dan militer.
Pihak militer meminta pembentukan Departemen Sengketa, yang menjadi bagian dari
Masyarakat Hukum. Tempat Pengacara Mendanai Proses Perceraian. Secara sosiologis,
bantuan hukum menjadi masalah sosial setelah Perang Dunia II ketika gejala-gejala
tertentu mulai muncul di masyarakat. Gejala-gejala ini meliputi:
 Ketika kelompok atau kelas sosial baru muncul dalam masyarakat yang
membutuhkan perlindungan hukum atas kedudukannya.
 Ketika undang-undang baru dibuat, hak dan kewajiban serta agenda dibuat.
 Jika perubahan sosial berlangsung cepat dan meluas, efek atau konsekuensinya.

2. Pada tahun 2011 ini, KUHP atau WvS (Wetboek van Strafrecht, 1918 sudah berumur 93
tahun dan merupakan hukum pidana di Indonesia di bidang hukum materil, dengan
berbagai pengubahannya selama hampir 93 tahun ini juga Dari 93 tahun itu, tidak ada
perubahan yang signifikan terhadap pembaharuan hukum di Indonesia khususnya sanksi
pidana penjaranya. Sanksi pidana penjara sudah tidak sesuai lagi dengan keadilan
hukum masyarakat Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, koruptor dan pencuri, hampir
tidak ada bedanya dalam penegakan hukum di republik ini. Kebijakan yang tidak tepat
sasaran diakibatkan cerobohnya dalam membuat sebuah kebijakan publik tidak melihat
dari segi sosiologis, filosofis serta yuridis. Oleh karena itu, penulis mengangkatnya
kedalam bentuk skripsi, dengan judul Perkembangan Stelsel Pidana. Penjara dalam RUU
KUHP 2008 Perspektif Hukum Pidana Islam Adapun permasalahan dari judul tersebut
adalah bagaimana konsep pidana penjara dalam konsep RUU KUHP 2008 serta
adaptabilitas kemaslahatan dalam sistem pemidanaan Islam. Menurut Konsep RUU
KUHP 2008, dalam konsep ini tercantum pidana pokok berupa penjara, tutupan, pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial. Pidana mati merupakan pidana khusus dan selalu
diancamkan sebagai pidana alternatif dan ditambah dengan pidana tambahan. Bentuk
perumusannya tidak berbeda dengan pola KUHP yang berlaku sekarang, hanya dengan
catatan bahwa di dalam Konsep KUHP pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan
ancaman maksimum dan minimum khususnya; pidana denda dirumuskan dengan sistem
kategori; ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan
secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara
alternatif dan perumusan alternatif diterapkan secara kumulatif. Dalam hukum Islam
pidana penjara dapat disimpulkan sebagai pidana ta'zir yang penjatuhan hukumanya
diserahkan oleh hakim. Kebanyakan ulama memperbolehkan pidana penjara, dalam
perkembanganya prioritas utama dalam pemberian hukuman khususnya pidana penjara
adalah pembalasan, pencegahan, dan sebagai pengajaran. Dengan demikian telah
sinkron dengan RUU KUHP 2008, karena dalam Islam berwacana yaitu, kontribusi dalam
islam untuk pidana pokok di Indonesia adalah hukum badan dan ganti rugi (diyat).
Pedoman pembuatan Naskah Akademik perlu memberikan konsepsi yang jelas
mengenai Naskah Akademik sebagai dokumen kebijakan (policy paper) yang
menjembatani komunikasi antara pembentuk kepentingan, perancang, dan pemangku
kepentingan. Dalam Naskah Akademik RUU KUHP 2008 dimungkinkan terpidana
seumur hidup diberikan pelepasan bersyarat, serta hakim dapat memberikan
pengampunan tanpa menjatuhkan pidana apapun. Selain itu, pedoman pemidanaan
dalam konsep ini sinkron dengan tujuan pemidanaan dalam hukum Islam. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian literatur atau kajian pustaka. Artinya data-data yang
digunakan diambil dari buku-buku, majalah, artikel, makalah dan lain sebgaimya yang
sesuai dengan tema yang akan penulis angkat, dengan sifat dari penelitian ini deskriptif-
analisis.

3. Grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada seorang terpidana.
Selain grasi, ada pula amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai seorang pemimpin
negara, presiden memiliki hak istimewa atau hak prerogatif. Di bidang yudisial, hak
prerogatif yang dimiliki presiden adalah membuat keputusan terkait pemberian grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Ketentuan ini termuat dalam Pasal 14 UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden
memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Ketentuan tersebut kemudian diubah
dalam Perubahan Pertama UUD 1945.

Pasal 14 UUD 1945 setelah perubahan menyatakan bahwa presiden memberi grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung; presiden memberi
amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Diubahnya ketentuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden. Dengan ketentuan baru tersebut,
pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi tidak lagi menjadi hak absolut presiden,
melainkan harus memperhatikan pertimbangan MA atau DPR. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Grasi, grasi adalah pengampunan berupa perubahan,
peringan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh presiden. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Grasijo.UU 5/2010, yang
dapat mengajukan grasi kepada presiden adalah terpidana yang telah memperoleh
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kemudian, putusan yang dapat dimohonkan adalah pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling rendah dua tahun. Penting untuk diketahui bahwa grasi
hanya dapat diajukan satu kali.
Selain itu, grasi merupakan hak yang dimiliki oleh terpidana. Oleh karenanya, seorang
terpidana berhak mengajukan permohonan grasi pun berhak tidak mengajukannya.

Presiden pun berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung. Bentuk yang diberikan dapat berupa keringanan
atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan
pelaksanaan pidana.

permohonan grasi dapat disampaikan dengan cara berikut:

1. Permohonan diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau


keluarganya, kepada presiden.
2. Salinan permohonan disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara
pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
3. Permohonan dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala
Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
4. Dalam hal permohonan dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga
Pemasyarakatan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan
permohonan tersebut kepada presiden dan salinannya dikirimkan kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat tujuh hari
terhitung sejak diterimanya permohonan dan salinannya.
5. Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal
penerimaan salinan permohonan, pengadilan tingkat pertama mengirimkan
salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.

Pasal 2 UU Grasijo.UU 5/2010 menerangkan bahwa setelah diterima, Mahkamah Agung


akan mengirimkan pertimbangan tertulis kepada presiden dalam jangka waktu paling
lambat tiga puluh hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan
berkas perkara.

Kemudian, Presiden akan memberikan keputusan atas permohonan grasi yang diajukan
setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan ini akan
disampaikan paling lambat tiga bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan
Mahkamah Agung.
Sebagai jawaban kepada terpidana, Keputusan Presiden akan disampaikan paling
lambat empat belas hari terhitung sejak tanggal penetapannya. Apabila seorang
terpidana mati mengajukan grasi, pidana matinya tidak dapat dilaksanakan sebelum
Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.

Referensi:
BMP HKUM4406 HUKUM ACARA PIDANA
https://digilib.uin-suka.ac.id/
https://www.gramedia.com/
https://www.hukumonline.com/

Anda mungkin juga menyukai