Anda di halaman 1dari 16

TUGAS UTS

HUKUM ADVOKASI DAN KEPENGACARAAN

DISUSUN OLEH

NAMA : TIRTHON DJAMI RIWU

NIM : 1802020009

DOSEN P.A : YOSSIE M JACOB,SH M.HUM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
T.A 2021
A. Pengertian Advokasi
Advokasi secara kebahasaan berarti membela. Sekarang istilah ini telah dikenal luas
di masyarakat, tersebar dalam berbagai media massa. Orang yang beprofesi untuk
melaksanakan advokasi disebut dengan advokat, baik di dalam (litigation) maupun di luar
pengadilan (non litigation).
Menurut Edi Suharto advocaat atau advocateur (dalam bahasa Belanda) berarti
pengacara atau pembela. Karenanya tidak heran jika advokasi sering diartikan sebagai
‘sebagai pembelaan kasus atau berbicara di pengadilan. Dalam bahasa Inggris advokat
bermakna to advocate tidak hanya to defend (membela), melainkan pula to promoteto create
(menciptakan) dan to change (melakukan perubahan).
Advokasi juga diartikan juga sebagai sebuah proses yang melibatkan seperangkat
tindakan politis yang dilakukan oleh warga negara yang terorganisir untuk
mentransformasikan hubungan-hubungan kekuasaan. Badan Kontak Profesi Hukum Lampung
mengartikan advokasi sebagai pemberian bantuan hukum kepada seorang pencari keadilan
yang tidak mampu yang sedang menghadapi kesulitan di luar maupun di muka pengadilan
tanpa imbalan jasa.
Mengenai definisi advokasi yang cukup panjang sebagaimana tersebut di atas juga
pernah disampaikan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), yaitu sebagai
pendidikan klinis sebenarnya tidak hanya terbatas untuk jurusan-jurusan pidana dan perdata
untuk akhirnya tampil di muka pengadilan, tetapi juga untuk jurusan-jurusan lain seperti
jurusan hukum tata negara, hukum administrasi pemerintah, hukum internasional, dan lain-
lainnya, yang memungkinkan pemberian bantuan hukum di luar pengadilan misalnya, dalam
soal-soal perumahan di Kantor Urusan Perumahan (KUP), bantuan di Imigrasi atau
Departemen Kehakiman, bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut urusan
internasional di Departemen Luar Negeri, bahkan memberikan bimbingan dan penyuluhan di
bidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebagainya.
Sementara itu, pengertian bantuan hukum yang lingkupnya agak adalah pembelaan
yang diperoleh seseorang terdakwa dari seorang penasihat hukum sewaktu perkaranya
diperiksa dalam pemeriksaan dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan
perkaranya di muka pengadilan.
Menurut Adnan Buyung Nasution sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan
Aries Harianto dalam Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia upaya advokasi mempunyai
tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum; aspek
pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga agar aturan-aturan itu ditaati; dan aspek
pendidikan masyarakat agar aturan-aturan itu dihayati. Pengertian bantuan hukum yang
lingkup kegiatannya cukup luas juga ditetapkan oleh Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat
Nasional tahun 1978 yang menyatakan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan pelayanan
hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik secara perorangan
maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat tidak mampu secara kolektif. Lingkup
kegiatannya meliputi pembelaan, perwakilan baik di luar maupun di dalam pengadilan,
pendidikan, penelitian, dan penyebaran gagasan.

B. Sejarah Advokasi
Ide dasar advokasi diklaim oleh sebagian orang berasal dari tradisi hukum Barat
yang dikenal sejak era pencerahan (the enlightenment age), tempat munculnya gagasan
gerakan kebebasan dan demokrasi. Sebagian lain menyebutkan bahwa lahirnya bantuan
hukum sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno, yaitu ketika para filsuf Yunani
mendiskusikan beberapa aspek yang berkaitan dengan Tuhan, alam dan manusia. Pada waktu
itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai suatu
pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau
menerima imbalan atau honorarium Pada abad ke-4 SM, bantuan hukum (legal aid atau legal
service) diidentikkan pula dengan ―para orator Mereka diidentikkan dengan dua hal.
Pertama, golongan orang yang memiliki pengetahuan luas berpendidikan dan selalu berjuang
bukan hanya untuk membela hak-haknya di depan hukum dan kekuasaan. Kedua, para legal
yang membela orang-orang lemah dan miskin untuk mendapatkan keadilan di depan hukum
dan pengadilan.8 Kedua aspek tersebut menjadi dasar bagi adanya peran para advokat
(lawyers) dan bantuan hukum dalam praktik peradilan. Kemudian seiring dengan semakin
kuatnya pengaruh gerakan hak asasi manusia (HAM) pada abad ke-17 di dunia Barat, bantuan
hukum bukan hanya menjadi nilai perjuangan bagi kaum lemah, miskin dan bodoh melainkan
telah berkembang luas menjadi suatu institusi untuk para pencari keadilan bagi setiap orang.9
Saat memasuki abad ke-19 dan 20, muncul gerakan hak asasi manusia (human rights
movement) bahwa setiap orang diyakini memiliki persamaan hak dan kebebasan. Atas dasar
itu pula, lahir prinsip persamaan hak hukum (equality before the law) dan persamaan hak
mendapatkan keadilan (acces to justice).10 Ketika memasuki era modern, bantuan hukum
terkait dengan teori-teori penegakan hukum di pengadilan. Dalam kajian filsafat hukum di
Barat, dikenal terori-teori penegakan hukum. Misalnya teori kebebasan demokrasi yang
menjadi dasar bagi lahirnya teori penegakan hukum berdasarkan prinsip persamaan di depan
hukum (equality before the law) dan persamaan hak mendapatkan keadilan di depan hukum
(access to justice). Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai
menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan mulai lebih menekankan
pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-
kepentingannya di muka pengadilan dan hingga awal abad ke-20, bantuan hukum ini lebih
banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.11 Di
Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak
dikenal dalam sistem hukum tradisional. Bantuan hukum baru dikenal di Indonesia sejak
masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848
ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas
konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di
negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan
kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisaticen het
beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.12 Dalam peraturan hukum inilah diatur
untuk pertama kalinya ―Lembaga Advokat‖ sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan
hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.13
Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas tiga golongan berdasarkan Pasal 163 Ayat
(1) Indische Staatsregeling (IS), antara lain:
1. Golongan Eropa. Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang
yang bukan Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari
golongan Eropa yang diakui undang-undang.
2. Golongan Timur Asing. Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah
golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan
Bumiputera. Yang termasuk golongan ini adalah imigran Tiongkok, Arab dan India.
3. Golongan Bumiputera. Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia
asli (pribumi).14 Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu
menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang
lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik
kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati
derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing.
Perbedaanperbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di
Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem
peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang
dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat
pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung
(Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang
dipersamakan, yang meliputi Districtgerecht, Regentschapsgerecht, dan Landraad.
C. Fungsi dan tujuan advokasi
Secara umum, tujuan advokasi adalah untuk membantu klien dalam memperoleh hak-
haknya dalam proses penegakan hukum, baik melalui pengadilan (litigation) maupun di luar
jalur pengadilan (nonlitigation). Dengan adanya bantuan dari advokat, maka penegakan
hukum dapat terlaksana. Seorang klien, dapat terhindar dari tindakan semena-mena.
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap,
tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian
pergaulan hidup.26 Penegakan hukum hanya dapat terlaksana apabila berbagai dimensi
kehidupan hukum selalu menjaga harmonisasi (keselarasan, keseimbangan dan keserasian)
antara moralitas sosial, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil warga negara yang
didasarkan pada nilai-nilai aktual di dalam masyarakat. Dengan demikian kebersamaan sangat
dibutuhkan tidak hanya untuk membuat rambu-rambu pergaulan nasional, melainkan juga
penegakannya.
Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum (law enforcement) dalam arti luas
mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan
hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek
hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam
pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas
yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan
mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara
benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti
sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran
atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya –yang lebih sempit
lagi— melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan,
advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.28 Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain
pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-
badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung
terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat
yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab,29 sebagaimana selanjutnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.30 Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat
memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan
setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan
tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu‖Organisasi Advokat
merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas, dan mandiri yang dibentuk
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan
kualitas profesi Advokat‖. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu Persatuan Advokat
Indonesia (PERADI), pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat
mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.31 Dengan
demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap
proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan
profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya
pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar
dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan
atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin
kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat. Kemandirian dan kebebasan yang
dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing
advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan
ramburambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum
dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat yang
dilakukan sebelum menjalankan profesinya.
Menurut Abdurrahman, apa yang merupakan tujuan dari program bantuan hukum di
Indonesia sebenarnya tidak begitu berbeda dari apa yang telah dirumuskan dalam Lawasia
Conference, yaitu memberikan pelayanan kepada warga masyarakat yang memerlukannya,
memberikan penerangan dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum, dan untuk
pembaharuan hukum.40 Di sisi lain, penelitian hukum yang dilakukan oleh tim yang dibentuk
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, pada tahun 2011
yang kemudian dituangkan dalam laporan penelitian yang berjudul Penelitian Hukum tentang
Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan hukum Kepada
Masyarakat, menyebutkan tujuan pemberian bantuan hukum, antara lain:
1. Aspek Kemanusiaan Dalam aspek kemanusiaan, tujuan dari program bantuan
hukum ini adalah untuk meringankan beban (biaya) hukum yang harus ditanggung
oleh masyarakat tidak mampu di depan Pengadilan. Dengan demikian, ketika
masyarakat golongan tidak mampu berhadapan dengan proses hukum di Pengadilan,
mereka tetap memperoleh kesempatan untuk memperolah pembelaan dan
perlindungan hukum.
2. Peningkatan Kesadaran Hukum Dalam aspek kesadaran hukum, diharapkan bahwa
program bantuan hukum ini akan memacu tingkat kesadaran hukum masyarakat ke
jenjang yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian, apresiasi masyarakat terhadap
hukum akan tampil melalui sikap dan perbuatan yang mencerminkan hak dan
kewajibannya secara hukum. Dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum, UU No 16
Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum ini memiliki tujuan dalam menyelenggarakan
bantuan hukum yaitu seperti yang tercantum dalam Pasal 3 UU No 16 Tahun 2011
Tentang Bantuan Hukum, yaitu :
1. Menjamin dan memenuhi hak bagi penerimaan Bantuan Hukum untuk
mendapatkan akses keadilan;
2. Mewujudkan hak konstitusional setiap warga negara sesuai dengan prinsip
persamaan kedudukan di dalam hukum;
3. Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata
di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
4. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
D. Ruang Lingkup dan Jenis Advokasi
Advokasi yang diberikan oleh pemberi advokasi ada kalanya berupa jasa hukum
yakni pelayanan hukum yang bertujuan untuk memperoleh jasa berupa fee/honorarium dan
bantuan hukum secara cuma-cuma yakni pelayanan hukum yang bersifat tanpa mengharapkan
imbalan atau gratis bagi orang atau kelompok orang miskin, karena biayanya dibebankan
pada APBN.41 Adapun ruang lingkup yang diberikan dalam proses advokasi adalah sama
baik berupa jasa maupun bantuan, yakni hanya pada kegiatan yuridis semata. Bantuan hukum
dalam pengertian demikian diungkapkan oleh Prof. Earl Johnson akan mencakup kegiatan-
kegiatan, antara lain sebagai berikut. 1. Social rescue, dalam arti bantuan hukum yang
mencakup partisipasi dalam usaha-usaha pelayanan sosial yang terkoordinir guna
menyelamatkan unit-unti keluarga yang berpendapatan rendah dari kemiskinan; 2.
Pengembangan ekonomi, yakni usaha-usaha guna menciptakan sarana-sarana yang dapat
menambah penghasilan masyarakat berpendapatan rendah; 3. Pengorganisasian komunitas,
yakni usaha-usaha dan pengarahan untuk mengorganisir masyarakat miskin menjadi
kelompok-kelompok yang mampu bicara dalam bidang politik dan ekonomi; 4. Pembaharuan
hukum, pengujian perundang-undangan, dan cara-cara serta usaha-usaha lain untuk
melakukan pelbagai pembaharuan ataupun perubahan perundang-undangan.42 Lebih jauh
lagi, Seton Pollock memasukkan ke dalam ruang lingkup bantuan hukum ini bentuk-bentuk
pelayanan hukum (legal services) yang diartikannya sebagai pelayanan hukum yang
dilakukan dalam rangka pemberantasan kemiskinan dimana tujuan pokok dan konsep
kemiskinan itu sendiri diperluas sehingga mencakup bentuk-bentuk hambatan sosial yang
biasanya tidak dimasukkan dalam kategori kemiskinan (struktural). Selain daripada ruang
lingkup kegiatan pemberian bantuan hukum di atas, ruang lingkup pemberian bantuan hukum
juga dapat ditinjau dari segi bidang tata hukum yang dapat diberikan bantuan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto, bidang-bidang tata hukum yang menjadi ruang lingkup dari
bantuan hukum, antara lain Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum
Pidana, Hukum Privat, Hukum Acara, dan Hukum Internasional. Sedangkan berdasarkan
Pasal 4 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, ditentukan bahwa bantuan
hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum
meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara, baik litigasi maupun
non-litigasi. Bantuan hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili,
membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima
bantuan hukum.
Mengenai pelayanan hukum bagi kaum miskin melalui suatu basis tergorganisir,
menurut James L. Magavern mencakup tahap-tahap sebagai berikut:
1. Assignment of counsel to defendants accused of serious crimes; (Penugasan
nasehat kepada terdakwa dituduh melakukan kejahatan serius).
2. Formation of small–scale legal clinics as private charitable operations, serving
clients with private– law problems in such areas as domestic relations, a wage claims,
and poverty disputes; (Pembentukan klinik hukum skala kecil sebagai operasi amal
swasta, melayani klien dengan masalah hukum swasta di bidang-bidang seperti
hubungan rumah tangga, klaim upah, dan perselisihan kemiskinan)
3. Staff representation of potential beneficiaries of social reform program in areas
such as agrarian and industrial labour realtions; (Staf representasi dari penerima
manfaat potensial dari program reformasi sosial di daerah seperti realtions buruh
agraria dan industri)
4. Government or other institutional sponsorship of general legal aid programs
designed to enforce existing legal rights and to seek to inform, motivate, and defend
the poor against the abusive exercise of both private power and official authority; and
(Pemerintah atau sponsor dari lembaga lain dari program bantuan hukum umum yang
dirancang untuk menegakkan ada hak-hak hukum dan mencari untuk
menginformasikan, memotivasi, dan mempertahankan orang miskin terhadap latihan
kasar dari kedua kekuasaan pribadi dan otoritas resmi; dan)
5. Attempts through legal representation, to employ legal and political processes to
organize the poor to create and give effect to new legal rights to the poor. (Upaya
melalui perwakilan hukum, untuk mempekerjakan proses hukum dan 50 politik untuk
mengatur masyarakat miskin untuk menciptakan dan memberikan efek hak hukum
baru untuk masyarakat miskin).

E. JUSTICE COLLABORATOR.
justice collaborator dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena
peran kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit
diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu
tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan  penegak hukum. Peran
kunci yang dimiliki oleh justice collaborator antara lain:
1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana,
sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada
negara;
2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus sebagai
tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari keterangan
tersebut dapat dijadikan pertimbangan  hakim dalam meringankan pidana yang akan
dijatuhkan.
Terminologi
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an.
Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu
norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau
dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau
memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan
hukum. Kemudian terminology justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di
beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986),
dan Jerman (1989).
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against
Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka korupsi secara global.
Dengan adanya kerjasama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-
nilai pemberantasan korupsi didorong untuk disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal
yang diatur di dalam konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan  (3) adalah
penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan
aparat penegak hukum. Kerjasama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada
kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum
dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003).
Norma Hukum Nasional
Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam  Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014
(perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum
dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi
Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang
proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh
penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama
(Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Lahirnya SEMA di atas
didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti
teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah
menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus
kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana yang
membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi tindak
pidana tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu
mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus
Selanjutnya, dalam SEMA diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
1. Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam
perkara tersebut;
2. Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan
sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan:

 Pidana percobaan bersyarat dan atau;


 Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam
masyarakat.
Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di
lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun
bagi penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak
memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan
perlakuan khusus. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. 
KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan
demikian norma pada hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice
collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan
perlindungan kepada justice collaborator.
Selain SEMA, ada juga Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang mana peraturan
tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum namun
dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang ditemukan adalah 
penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama.  Perwujudan dari penanganan
khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga yang tidak jelas (clear), yang mana terlihat
pada Pasal 6 ayat 3. Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari
pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya
tidak mendapatkan penanganan khusus.
Atas kerumitan norma yang ada tentang justice collaborator, maka Undang-undang No. 13
Tahun 2006 direvisi dengan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10
Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
rumusan normanya adalah sebagai berikut:
1. Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara
hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana tau laporan yang akan,
sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan
tidak dengan iktikad baik.
2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan
atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan,
tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia
berikan  kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)
1. Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses
pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
2. Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
(1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan
tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;

(2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan
terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya
dan/atau:

(3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa
yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa :

 Keringanan penjatuhan pidana; atau


 Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus
narapidana.
Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada
penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. dan Untuk memperoleh
penghargaan berupa pembebasan  bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2014,


namun masih tetap ditemukan kelemahan  dalam pelaksanaannya. Kelemahan pertama adalah
untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke LPSK, sehingga mengacu pada
tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur. Pada kondisi demikian, muncul
pertanyaan: Jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan sebagai justice
collaborator diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya? Dalam praktik, ada tiga
jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Pertama; permohonan sebagai justice
collaborator diajukan kepada KPK. Kedua, untuk mendapatkan penanganan khusus, sangat
tergantung dari instansi yang menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang
bersangkutan bisa dikategorikan sebagai justice collaborator atau tidak bisa, keputusannya
ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan
ketentuan justice collaborator menjadi sangat subjektif, dan LPSK tidak memiliki kekuatan
dalam menentukan apakah seseorang layak mendapatkan status justice collaborator atau
tidak layak. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya tidak
mengikat hakim. Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh LPSK terhadap pengadilan belum
tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman seorang justice collaborator.
Demikian juga dengan rekomendasi LPSK untuk mendapatkan remisi tambahan, pembebasan
bersyarat kepada justice collaborator tidak serta merta menjadi pertimbangan dalam
pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat dalam revisi
KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma
hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice
system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi
tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang
ada. Positioning LPSK berbeda sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak memiliki
kewenangan yang “berwibawa” di mata penegaka hukum, sehingga rekomendasi yang
diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu:  “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.

F.WHISTLE BLOWER.

Pelapor pelanggaran (bahasa Inggris: whistleblower), atau disingkat


sebagai pelapor, adalah istilah bagi orang atau pihak yang merupakan karyawan, mantan
karyawan, pekerja, atau anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu
tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum
segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan
yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Pelanggaran tersebut, termasuk
di antaranya, seperti korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi.

Pelaporan pelanggaran (whistleblowing) bukanlah sesuatu yang baru melainkan


sesuatu yang sudah lama ada. Pelanggaran yang dapat dilaporkan tidak hanya menyangkut
skandal keuangan melainkan segala hal yang melanggar hukum dan dapat menimbulkan tidak
hanya kerugian tetapi ancaman bagi masyarakat. Bahkan skandal di dalam institusi
pemerintah atau pemerintah sendiri dapat dijadikan bahan pelaporan.
Pelaporan pelanggaran menjadi populer di Indonesia karena pemberitaan media
mengenai adanya pelapor atas tindakan korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum,
yaitu Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan). Contoh kasus di
negara lain, yaitu Jeffrey Wigand yang sangat terkenal di Amerika Serikat sebagai
pembongkar skandal perusahaan Brown & Williamson. Ia mengatakan bahwa para petinggi
perusahaan menyetujui penambahan zat adiktif yang bersifat karsinogenik di
dalam tabako yang diproduksi oleh perusahaan Brown & Williamson.

Berdasarkan tujuan pelaporannya, pelapor pelanggaran terdiri dari dua jenis:

 Pelapor internal adalah seorang pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau
institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya
atau atasannya yang juga ada di dalam perusahaan tersebut.
 Pelapor eksternal adalah pihak pekerja atau karyawan di dalam suatu perusahaan atau
organisasi yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada pihak di luar institusi,
organisasi atau perusahaan tersebut. Biasanya tipe ini melaporkan segala tindakan yang
melanggar hukum kepada media, penegak
hukum, pengacara, pengadilan, institusi pemerintahan, atau LSM. Pelaporan jenis ini
hampir dipastikan berakibat pada dipecatnya pelapor tersebut dari perusahaan tempatnya
bekerja.

Seorang pelapor pelanggaran mungkin saja telah menyimpang dari kepentingan


perusahaan. Jika pengungkapan tersebut tidak dilarang oleh hukum atau diminta atas perintah
eksekutif untuk tetap dijaga kerahasiaannya, maka laporan dari seorang pelapor tidak akan
dianggap sebagai bentuk pengkhianatan (treason) di mata hukum.

Adapun pengertian whistleblower  menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang


memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya
suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta
(whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban
tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya
memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13
Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.
G. Pemberian Bantuan Hukum.

Pemberian bantuan hukum di mulai sejak seseorang mengalami masalah hukum mulai
dari tahap penyidikan hingga pemasyarakatan bahkan setelah lepas dari lembaga
pemasyarakatan

Dalam pemberian bantuan hukum ini di kenal beberapa istilah :

1.legal aid : pemberian jasa hukum bagi orang tidak mampu,buta hukum di berkan bantuan
hukum secara Cuma-Cuma.

2.legal asistence : memberikan bantuan hukum bagi yang mampun yang tidak mampu.

3.legal servive : pelayanan hukum bagi yang berpenghasilan kecil.

Bantuan hukum di berikan secara Cuma-Cuma bagi penerima sedangkan bagi


pemberi bantuan hukum di bayarkan oleh negara anggaran di isipkan melalui APBN di
kemenkumham.

Pemberi bantuan hukum bisa di pidana 1 tahun penjara bila menerima atau meminta
pembayaran dari penerima bantuan hukum.

Anda mungkin juga menyukai