Anda di halaman 1dari 5

Teknik Advokasi dan Kebijakan Publik

Oleh : Risa Tantria

Pada abad ke-4 SM, bantuan hukum (legal aid atau legal service)
diidentikkan pula dengan “para orator”. Mereka diidentikkan dengan dua
hal,. Pertama, golongan orang yang memiliki pengetahuan luas
berpendidikan dan selalu berjuang bukan hanya untuk membela hak-haknya
di depan hokum dan kekuasaan. Kedua, para lelal yang membela orang-orang
lemah dan miskin untuk mendapatkan keadilan di depan hokum dan
pengadilan. Kedua aspek tersebut menjadi dasar bagi adanya peran para
advokat (lawyers) dan bantuan hukum dalam praktik peradilan. Kemudian
seiring dengan semakin kuatnya pengaruh gerakan hak asasi manusia (HAM)
pada abad ke-17 di dunia Barat, bantuan hukum bukan hanya menjadi nilai
perjuangan bagi kaum lemah, miskin dan bodoh melainkan telah
berkembang luas menjadi suatu institusi untuk para pencari keadilan bagi
setiap orang.
Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga
hukum) semula tidak dikenal dalam system hukum tradisional. Bantuan
hukum baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya
system hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 ketika di negeri
Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas
konkordansi, dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No.1, perundang-
undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia,
antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan
peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisaticen het beleid der Justitie),
yang lazim disingkat dengan R.O. dalam peraturan hukum inilah diatur untuk
pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa
bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada
waktu-waktu tersebut.
Advokasi digunakan untuk menyebut pembela atau pengacara yang
melakukan suatu kegiatan berupa membela kasus atau perkara di
pengadilan, bahkan melakukan perubahan (Suharto, 2007). Adanya advokasi
merupakan suatu upaya social untuk terjadi suatu perubahan kea rah positif,
biasanya dari masyarakat kepada pemerintah agar kemudian tercipta sebuah
keadilan social dalam berkehidupan (Zulyadi, 2014). Tidak jarang advokasi
menaruh perhatian pada hal-hal yang sifatnay terselubung di balik suatu
kebijakan atau fenomena, sehingga dapat dikatakan kegiatan advokasi adalah
kegiatan mengkritisi fenomena (Mukharrom, 2004).
Advokasi dimaknai secara beragam, ada yang bermakna: Advocaat
dari bahasa Belanda; Litigasi atau berbicara di pengadilan, To defend;
membela, To promote; memajukan, To create; menciptakan dan To change;
mengubah. Penggunaan makna advokasi tergantung kebutuhan di lapangan,
yang sangat kondisional dan tergantung pada tujuan dari advokasi itu
sendiri. Dalam kasus RL ini yang harus dilakukan ada dua, yaitu :
1. Penanganan kasus RL yang cukup mendesak untuk ditangani.
Dalam hal ini bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan panti
pmerintah atau swasta yang diperkuat oleh rekomendasi lembaga-
lembaga yang masuk dalam Inter Agency Meeting. Ini akan sangat
efektif, namun kasus yang lain harus dilakukan upaya advokasi
ditingkat kebijakan pemerintah yang juga idealnya dapat
dilakukan secara bersama.
2. Perubahan kebijakan yang diikuti oleh pergeseran paradigm.
Sebagai bagian dari respon terhadap tantangan global dan
tentunya dari advokasi itu sendiri dalam pelayanan publik.
Organisasi-organisasi demokratis yang kuat yang dibentuk dengan
memanfaatkan potensi kekuatan sosial dan politik yang tersedia, seperti
menggunakan pengaruh kekuatan tokoh masyarakat, institusi keagamaan,
institudi kepemudaan, kekuatan partai politik dan demokrasi.
Organisasi akar rumput yang kuat dan pemberian pendidikan serta
pemberdayaan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat sehingga
dapat menjadi pembela-pembela yang efektif.
Sejarah yang tertulis tentang para spesialis menghasilkan
pengetahuan tentang kebijakan dapat ditelusuri sampai abad keempat
sebelum masehi. Meskipun terbilang sebagai sebuah bidang kajian baru dan
proses pembentukan “body of knowledge” nya masih berlangsung, tetapi
sebenarnya pemikiran tentang kebijakan publik itu sendiri secara inheren
seiring dengan sudah dimulai sejak Plato menulis pemikirannya dalam
bukunya “The Republic” dan Machiavelli menulis dalam “The Prince”. Hal ini
disebabkan karena pada prinsipnya mereka sudah mulai memikirkan tentang
bagaimana semestinya kekuasaan dalam pembuatan keputusan public
dilaksanakan. Pemikir-pemikir ilmu politik klasik berikutnya seperti Thomas
Hobbes, Jhon Locke, James Madison, Adam Smith, John Stuart Mills dapat
dikualifikasikan sebagai para pemikir yang menjadi pewaris pemikiran ini.
Makna kebijakan public menurut pandangan Anderson adalah bahwa
kebijakan public itu dirumuskan oleh seorang actor (eksekutif, misalnya SK
Presiden) atau sejumlah actor (eksekutif dan legislative, misalnya UU dan
yudikatif untuk menguji material UU dan sebagainya) bahkan di era
kepemerintahan (governance) actor nonpemerintah seperti swasta dan
lembaga pelayanan masyarakat (Community Service Organoization), media
masa, universitas, dan seterusnya juga diikutsertakan dalam proses
kebijakan misalnya kebijakan tentang “Pembangunan Berkelanjutan”; berupa
serangkaian tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu, misalnya
untuk mengatasi masalah tertentu, yang didasarkan pada aturan hukum yang
bersifat memaksa (otoritatif), artinya mutlak harus ditaati oleh pihak-pihak
terkait, untuk mengatasi masalah tertentu. Jadi, setiap kebijakan public itu
harus jelas siapa actor-aktor yang terlibat di dalamnya dan jelas pula tujuan
yang hendak dicapainya.
Public Policy sering diterjemahkan sebagai kebijakan public,
kebijakan Negara, kebijakan pemerintah. Samapi saat ini, di Indonesia belum
ada satu kesepakatan tentang penggunaan istilah tertentu sebagai
terjemahan dari public policy. Oleh karena itu, untuk keseragamannya dalam
penelitian ini penulis menggunakan istilah kebijakan politik.
Eyeston (dalam Winarno, 2002:16) memberikan pengertian kebijakan
public sebagai “Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.
Sedangkan menurut Anderson, kebijakan merupakan “Arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang actor atau sejumlah actor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan”.
Implementasi kebijakan publik dengan kinerja organisasi dapat
diterangkan bahwa implementasi kebijakan berdampak pada kinerja
kebijakan. Bahwa kinerja implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan
penilaian atas tingkat tercapainya standard an sasaran tertentu yang telah
ditetapkan dalam suatu kebijakan. Model implementasi kebijakan publik
yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Syafri dan Setiyoso
(2008) yang lebih menekankan mekanisme memaksa ketimbang mekanisme
pasar yang bersifat linear menuju sasaran akhir yaitu kinerja kebijakan.
Persatuan dan kesatuan organisasi dalam implementasi kebijakan
public menentukan keberhasilan dalam merealisasikan program dan
kegiatan yang sudah ditetapkan, untuk mencapai kinerja kebijakan. Orang-
orang dalam organisasi public sebagai implementer kebijakan public,
memiliki nilai-nilai bersama, yang secara psikologis menjadi kekuatan
organisasi untuk mendorong motivasi seluruh anggota organisasi untuk
bersikap, berperilaku dan akhirnya menghasilkan kinerja individu, kinerja
kelompok dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Jadi budaya organisasi
adalah kekuatan (power) bagi terlaksananya implementasi kebijakan publik.
Golongan orang yang memiliki pengetahuan luas berpendidikan dan
selalu berjuang bukan hanya untuk membela hak-haknya di depan hukum
dan kekuasaan. Kedua, para lelal yang membela orang-orang lemah dan
miskin untuk mendapatkan keadilan di depan hukum dan
pengadilan. Perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga
diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman
dan kebijaksanaan peradilan , yang lazim disingkat dengan R.O., dalam
peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya Lembaga Advokat
sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal
baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.
Dalam hal ini bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan panti
pemerintah atau swasta yang diperkuat oleh rekomendasi lembaga-lembaga
yang masuk dalam Inter Agency Meeting. Ini akan sangat efektif, namun
kasus yang lain harus dilakukan upaya advokasi ditingkat kebijakan
pemerintah yang juga idealnya dapat dilakukan secara bersama. Kebijakan
yang diikuti oleh pergeseran paradigm. Pemikir-pemikir ilmu politik klasik
berikutnya seperti Thomas Hobbes, Jhon Locke, James Madison, Adam
Smith, John Stuart Mills dapat dikualifikasikan sebagai para pemikir yang
menjadi pewaris pemikiran ini. 
Jadi, setiap kebijakan publik itu harus jelas siapa aktor-aktor yang
terlibat di dalamnya dan jelas pula tujuan yang hendak
dicapainya. Sedangkan menurut Anderson, kebijakan merupakan arah
tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Bahwa kinerja implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian
atas tingkat tercapainya standar dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan
dalam suatu kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai