Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PENGARUH POLITIK TERHADAP HUKUM

A. Hukum Sebagai Alat


Hukum dapat diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait
dengan ini Sunaryati Hartono pernah mengemukakan tentang hukum sebagai alat,
sehingga praktis politik hukum juga merupakan alat atau serana dan langkah yang
dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna
mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.1
Negara mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai
tujuan itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui
pemberlakuan atau penindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-
tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara.
Politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara memiliki relevansi bahwa
hukum merupakan alat untuk mencapai tujuan negara. Muchsan memberi pengertian
politik hukum sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari perbuatan
pemerintah yang berwenang dalam memilih alternatif yang tersedia untuk
menghasilkan produk hukum yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara. 2
Dengan pengertian tersebut maka terdapat empat unsur dari politik hukum, yaitu:
1. Adanya perbuatan aparat yang berwenang.
2. Adanya alternatif yang dapat dipilih.
3. Adanya produk hukum yang dilahirkan
4. Adanya tujuan negara yang hendak diwujudkan dengan produk hukum yang
dilahirkan.
Dengan demikian maka politik hukum memberikan makna bahwa hukum
adalah alat untuk mencapai sebuah tujuan dalam sebuah negara. Karena politik
hukum adalah instrumennya dalam melangkah mengenai seluruh aspek kehidupan
hukum secara luas dalam kehidupan bernegara. Mengingat hukum sebagai alat untuk
mencapai tujuan tersebut, maka harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat
prinsip cita hukum (rechidee), yakni:
1. Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi).
2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan.
3. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi).
4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup
beragama. 3
Namun apa yang dikemukan di atas, dalam praktek penyelenggaraan
pemerintah, realitasnya sering kita melihat tidak seperti tersebut. Kita kerap melihat
bahwa hukum mencerminkan dari kehendak para pemegang kekuasaan politik. Oleh
karena itu tidak jarang orang memandang hukum sebagai alat politik tertentu.

1C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni,

1991), hlm. 1.
2Muchsan, 23 September 2011, Materi Kuliah Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta.
3Moh. Mahfud, MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media,

1999), hlm. xi-xii.


Pada era Soekarno misalnya, politik adalah panglima, kemudian jargon ini
digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada zaman
Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai
obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat, dan yang lebih
memprihatinkan adalah hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan
setiap tindakan dari penguasa. Pada sisi lain, hukum diproduk dalam rangka
memfasilitasi dan mendukung kehendak penguasa. Akibatnya, segala peraturan dan
produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan kehendak penguasa maka harus diubah
atau dihapuskan.4
Kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh
kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya
bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaran dalam
penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan
hukum. Perangkat hukum sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh
kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidak percayaan atas hukum.
Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di
Indonesia.
B. Hukum Sebagai Produk Politik
Pembahasan mengenai hukum sebagai produk politik, maka pertanyaan kita
adalah sejauhmana hubungan antara hukum dan politik, sehingga politik determinan
atas hukum dan hukum sebagai produk politik. Pada dasarnya hukum dan politik
memiliki kaitan yang erat dan kedekatan serta kuatnya hubungan antara politik dan
hukum, oleh seorang ahli hukum tatanegara, Barents, digambarkan dengan
diumpamakan sebagai “manusia”, dimana hukum adalah sebagai kerangkanya
manusia dan politik adalah dagingnya.5
Politik yang diumpamakan sebagai daging itu, berisi tujuan-tujuan, kebijakan
maupun program-program, yang di dalamnya juga memiliki kekuasaan dan
kewenangan yang bersifat memaksa dan pada hakekatnya hal itu melekat pada
rangkanya, hukum itu sendiri yang tertuang dalam bentuk peraturan-peraturan.
Bahkan dalam teori Critical Legal Studies (CLS) ditegaskan bahwa hukum adalah
politik itu sendiri.6
Sri soemantri pernah mengonstatasi hubungan antara hukum dan politik
ibarat perjalanan lekomotif karena kareta api yang keluar dari relnya. Jika hukum
diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif maka sering terlihat lokomotif itu
keluar dari rel yang seharusnya dilalui.7 Prisip (atau sekedar semboyan) yang
menyatakan politik dan hukum harus bekerjasama dan saling menguatkan melalui
ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum

4Bernald L. Tanya dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Mengawal Konstitusi,

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 18.


5Moch. Kusnardi, Hukum Tatanegara Sebagai Suatu Pengantar, (Jakarta: Pusat Studi Hukum

Tatanegara Fakultas Hukum UI Depok, 2000), hlm. 33.


6Hikmanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Nasional dan Hukum Internasional, (Jakarta: Fakultas

Hukum UI Depok, 2002), hlm. 177.


7Sri Sumantri Martowignjo, “Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijaksanaan”,

makalah untuk Praseminar Identitas Hukum Nasional, di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, tanggal 19-21
Oktober 1987, hlm 6.
adalah kelaliman”,8 menjadi semacam utopi belaka. Hal itu terjadi karena di dalam
praktiknya hukum kerapkali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan
politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sema dengan
kekuasaan.
Jika di dengar secara sekilas pernyataan hukum sebagai produk politik dalam
pandangan awam bisa dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memposisikan
hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi
dalam tataran idea atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang menganut supermasi
hukum, politiklah yang diposisikan sebagai variabel yang terpengaruh (dependent
variable) oleh hukum.9 Mana yang benar dari pernyataan tersebut? Hukum yang
determinan atas politik ataukan politik yang diterminan atas hukum?
Secara metodologis-ilmiah sebenarnya tidak ada masalah dari pertanyaan
tersebut, semuanya benar, tergantung pada asumsi dan konsep-konsep yang
dipergunakan, dengan asumsi dan konsep tertentu satu pandangan ilmiah dapat
mengatakan bahwa hukum adalah produk politik, tetapi dengan konsep dan asumsi
tertentu yang lain satu pandangan ilmiah dapat mengatakan sebaliknya bahwa politik
adalah produk hukum. Artinya, secara ilmiah, hukum dapat determinan atas politik,
tetapi sebaliknya dapat pula politik determinan atas hukum. Jadi dari sudut
metodologis, semuanya benar secara ilmiah menurut asumsi dan konsep sendiri-
sendiri.
Harus diingat bahwa kebenaran ilmiah, terutama di dalam ilmu-ilmu sosial dan
humanioria tidak ada yang mutlak, yang ada hanyalah kebenaran relatif. Artinya
kebenaran ilmiah itu hanya benar menurut asumsi dan konsep serta indikator yang
dipergunakan untuk istilah atau variabel tertentu dalam suatu karya ilmiah. Sebuah
pernyataan bisa benar secara ilmiah menurut asumsi dan konsep tertentu, tetapi
menjadi salah jika dipergunakan asumsi dan konsep yang lain untuk hal itu.
Pernyataan bahwa hukum adalah produk politik adalah benar jika didasarkan
pada das sein (kenyataan) dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang
yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa
hukum adalah produk politik, sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau
legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui
kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.10
Dalam konsep dan kontek inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa hukum
merupakan produk politik.
Namun pernyataan bahwa hukum adalah produk politik akan menjadi salah
jika dasarnya adalah das Sollen (keharusan) atau hukum tidak diartikan sebagai
undang-undang. Seperti diketahui bahwa hubungan antara hukum dan politik bisa
didasarkan pada pandangan das Sollen (keharusan) dan das Sein (kenyataan). Begitu
juga hukum bisa diartikan sebagai peraturan perundangan-undangan yang mencakup
UU, bisa juga diartikan sebagai putusan pengadilan, dan bisa juga diberi arti lain yang
jumlahnya bisa puluhan.11

8Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

(Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Unpad, t.t.), hlm. 4-5; Lihat juga
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 19-20.
9Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Cet. I, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2009), hlm. 4-5.


10Ibid.
11Ibid.
Berkaitan dengan ini, dikalangan ahli hukum, minimal ada dua asumsi
mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Hubungan kausalitas antara
politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan disebut-sebut hukum sebagai
produk politik. Dari pendekatan empirik hal itu merupakan suatu aksioma yang tak
dapat diitawar lagi. Tetapi, ada juga para ahli hukum yang lebih percaya dengan
semacam mitos bahwa politiklah yang harus tunduk pada aturan hukum. Inipun,
sebagai das sollen (keharusan), tak dapat disalahkan begitu saja.
Dengan demikian, maka hukum sebagai produk politik dapat diartikan bahwa
hukum adalah peraturan-peraturan yang merupakan kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.12 Dengan demikian, maka
undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, pada hakekatnya adalah suatu
bentuk atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik tersebut. Misalnya sidang
parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk
hukum pada hakikatnya merupakan edegan kontestasi agar kepentingan dan aspirasi
semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi
undang-undang. Undang-undang yang lahir dari kontestasi tersebut dengan mudah
dapat dipandangn sebagai produk dari edegan kontestasi politik itu. Inilah maksud
pernyataan bahwa hukum merupakan produk politik.
C. Politik Determinan atas Hukum
Di atas sudah dikemukan bagaimana hubungan kausalitas antara politik dan
hukum, dalam pembahasan ini, akan membahas sejauhmana hukum dilaksanakan
oleh penyelenggara negara dan dengan berangkat dari asumsi bahwa hukum adalah
produk politik. Oleh karena itu pandangan bahwa hukum merupakan kristasisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Apila
demikian, ini berarti bahwa politik determinan atas hukum, politik sangat
mempengaruhi isi dari hukum, bukan saja dalam cara pembuatannya, tetapi juga
dalam kenyataan empiris selama ini. Hal itu sejalan dengan apa yang di ungkapkan
oleh Satjipto Rahardjo, bahwa apabila hukum dihubungkan dengan politik, maka
hukumlah yang terpengaruh oleh politik. Hal itu disebabkan karena subsistem politik
memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dari pada hukum, sehingga apabila
hukum harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang
lebih lemah.13
Sehubugan dengan ini, Lev mengatakan, untuk memahami hukum, sistem
hukum di tengah-tengah tranformasi politik harus diamati dari bawah dan dilihat
peran sosial politik apa yang diberikan orang kepadanya. Karena lebih kuatnya
konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa
kerapkali hukum di determinasi oleh politik,14 bukan hanya dalam proses
pembutannya tetapi juga dalam implementasinya.
Sehubungan dengan lebih kuatnya energi politik dalam berhadapan dengan
hukum,15 apa yang dikemukakan oleh Dahrendorf dapat memperjelas mengapa
hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan atau identik dengan

12Satya Arinanto, “Politik Hukum”, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI,

2003/2004).
13Rahardjo Sutjipto, Beberapa Pemikiran Mengenai antara Disiplin dalam Pembinaan Hukum

Nasional, (Bandung: Sina Baru, 1985), hlm. 71.


14Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesi, (Berkeley: University of California Press, 1972), hlm. 2.
15Rahardjo Sutjipto, Op.Cit., hlm. 71.
kekuasaan. Dahrendorf16 mencatat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok
pemegang kekuasaan politik; Pertama, jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah
kelompok yang dikuasai. Kedua, memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap
memelihara dominasinya berupa kekayaan materil, intelektual dan kehormatan
moral, Ketiga, dalam pertentangan selalu terorganisasi lebih baik daripada kelompok
yang ditundukkan. Keempat, kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang
memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elite penguasa diartikan
sebagai elite penguasa dalam bidang politik. Kelima, kelas penguasa selalu berupaya
memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas/kelompoknya
sendiri. Keenam, ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas
penguasa.
Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga
asumsi yang mendasarinya, yaitu:
1. Hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur
oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
2. Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik
produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi
dan menjadi dipendent variable atas politik.
3. Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi
adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis),
hukum tanpa politik akan jadi lumpuh”.17
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa politik determinan atas hukum,
secara teori kita menempatkan hukum sebagai dependen variable atau variabel
terpengaruh dan politik sebagai independen variable atau variable berpengaruh.
Dengan demikian politik akan sangat menentukan hukum dan hukum merupakan
produk politik. Oleh karena hukum merupakan variabel terpengaruh berarti hukum
adalah peraturan yang merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling berinteraksi dan saling bersaingan.
D. Konfigurasi Politik dan Produk Hukum
Asumsi dasar dari pemikiran di atas adalah bahwa hukum merupakan produk
politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai
oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik
sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling
berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan
bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein”
bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang
melahirkannya.
1. Konfigurasi Politik
Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan yang
secara dekotomis dibagi menjadi atas dua konsep yang bertentangan secara
diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Pengertian konseptual dan indikator variabel bebas ini adalah:

16Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm.
238-246.
17Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik..., Op.Cit., hlm. xi-xii.
a. Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka
kesempatan (peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif
menentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarkan dalam suasana terjadinya kebebasan
politik.18 Di negara yang menganut sistem demokratis atau konfigurasinya
demokratis terdapat pluralitas organisasi di mana organisasi-organisasi penting
relatif otonom.19 Di lihat dari hubungan antara pemerintah dan wakil rakyat, di
dalam konfigurasi politik demokratis ini terdapat kebebasan bagi rakyat melalui
wakil-wakilnya untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah.
b. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh
inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh
dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, menghapuskan oposisi
terbuka, dominasi pemimpin negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan
dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta di balik semua itu
ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.20
Secara spesifik, untuk mengualifikasikan apakah konfigurasi politik itu
domokratis atau otoriter, indikator yang dipakai dalam studi ini adalah berkerjanya
tiga pilar demokrasi, yaitu peranan partai politik dan badan perwakilan, kebebasan
pers, dan peranan eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis, partai politik dan
lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik
nasional. Kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif
(pemerintah) tidak dominan dan tunduk pada kemauan-kemauan rakyat yang
digambarkan lewat kehendak lembaga perwakilan rakyat. Pada konfigurasi politik
otoriter yang terjadi adalah sebaliknya.21
2. Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum yang dalam studi ini disamakan dengan sifat atau
watak produk hukum, secara dikotomis dibedakan atas hukum responsif dan hukum
ortodoks. Kemudian dikotomi tersebut dikelompokkan menjadi dekotomi hukum
responsif/populistis dan hukum ortodoks/konservatif/elitis.22
a. Produk hukum responsif/populistis adalah produk hukum yang mencerminkan rasa
keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya
memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau
individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-
tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.
b. Produk hukum ortodok /konservatif/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elite politik, lebih men-cerminkan keinginan pemerintah,
bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan

18Henry B. Mayor, An Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxford University Press,

1960), hlm. 70.


19Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, (Jakarta: CV Rajawali,

1985), hlm. 8-9.


20Henry B. Mayor, Op.Cit., hlm. 71.
21Moh. Mahfud MD, Politik Hukum..., Op.Cit., hlm. 30.
22Pembagian hukum atas responsif dan ortodok digali dari dua buku yakni John Hendry

Marryman, The Civil Law Tradition (Stanford University Press, 196) dan Philippe Nonet dan Philip Selznick,
Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, (New York: Harper and Row, 1978).
program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodok lebih
tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam
masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.
Untuk mengualifikasi apakah sutu suatu produk hukum responsif, atau
konservatif, indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat dan fungsi
hukum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum.
Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat
partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui
kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Sedangkan proses
pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih
didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.23
Karena istilah dalam ilmu sosial kerap kali mempunyai arti atau menimbulkan
penafsiran yang ambigu maka variabel atas pilihan asumsi di atas, setelah
dikonsepkan diberi indikator-indikator sebagai berikut:
Indikator Sistem Politik

Konfigurasi Politik Demokratis Konfigurasi Politik Otoriter


1. Parpol dan Parlemen kuat, 1. Parpol dan Parlemen lemah, di
menentukan haluan atau bawah kendali eksekutif
kebijakan negara
2. Lembaga Eksekutif 2. Lembaga Eksekutif
(Pemerintah) netral (Pemerintah) intervensionis
3. Pers bebas, tanpa sensor dan 3. Pers terpasung, diancam dan
pemberedelan pemberendelan
Indikator Karakter Produk Hukum

Karakter Produk Hukum Responsif Konfigurasi Politik Otoriter


1. Pembuatannya Partisipatif 1. Pembuatannya sentralistik-
dominatif
2. Muatannya aspiratif 2. Muatannya positivist-
instrumentalistik
3. Rincian isinya limitatif 3. Rincian isinya open
interpretative

Pernyataan hipotesis yang lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa


konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum tertentu di
negara tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, maka
produk hukumnya berkarakter responsif/populistik, sedangkan di negara yang
konfigurasi politiknya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodok/
konservatif/elitis. Pernyataan hipotesis tersebut dapat disajikan dalam gambar
sebagai berikut:

23Moh. Mahfud MD, Politik Hukum..., Op.Cit., hlm. 31.


Variabel bebas Variabel terpengaruh

Konfigurasi Karakter
Politik Produk Hukum

Responsif/
Demokratis
Populistik

Koservatif/
Otoriter Ortodoks/Elitis

Anda mungkin juga menyukai