Anda di halaman 1dari 7

HUKUM SEBAGAI PRODUK POLITIK

H. Muh. Kasim

1. Pendahuluan

Sudah menjadi kenyataan bahwa hukum merupakan produk politik, sehingga karater hukum
setiap produk hukum akan sangat ditentukan oleh atau diwarnai oleh perimbangan kekuatan
atau konfigurasi politik yang melahirkannya, asumsi ini diambil berdasarkan pada kenyataan
bahwa hampir setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum
dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berintraksi dikalangan para
politis. Meskipun dari sudut das sole ada pandangan yang mengatakan bahwa politik
harustunduk pada ketentuan hukum, namun pada sudut das sai atau empiriknya bahwa
hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya.1
Dalam kenyantaannya di Indonesia fenomena yang sangat menonjol adalah instrumen
hukum sebagai sarana kekuasaan politik dominan yang lebih terasa bila dibandingkan dengan
fungsi-funsi lainnya, bahkan dapat dilihat dari pertumbuhan pranata hukum, nilai dan prosedur,
perundang-undangan, serta birokrasi penegak hukum yang bukan hanya mencerminkan hukum
sebagai kondisi dari proses pembangunan juga penopang tangguh struktur politik, ekonomi dan
social.2 Pada negara yang baru merdeka, posisi hukum seperti itu tampak sangat menonjol
karena kegiatan politik disana merupakan agenda yang menyita perhatian dalam rangka
perorganisasian dan pengerahan berbagai sumber daya guna mencapai tujuan dalam
masyarakat.3 Karakter yang menonjol dari situasi itu menurut TodungMulia Lubis seperti yang
dikutip Mahfud MD adalah pengutamaan tujuan tersebut seperti yang digariskan oleh
ketentuan-ketentuan hokum.4 Dalam kenyataannya pembangunan yang dianut di Indonesia di
bawah pemerintahan Orde Baru, misalnya, telah membawa dipilihnya stabilitas politik sebagai
prasyarat bagi berhasilnya pembangunan ekonomi yang merupakan titik berat programnya.5

1
Lihat Mahfud Md, Pergulatan politik dan hukum di Indonesia (Yogjakarta: Gema Media, 1999), 4-5
2
Lihat Mulyana W. Kusuma, Perspektif, teori, dan Kebijaksanaan Hukum (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 19-20
3
Satjipto Raharjo, Beberapa pemikiran tentang ancanngan Antar Disiplin Pembinaan Hukum Nasional
(Bandung: Sinar Baru, 1985), h. 71
4
Ibid
5
Mahfud MD, op.cit., h.5
2. Pembahasan

Hukum berfunsi, terutama, sebagai instrumen program pembangunan karena sebenarnya


hukum bukanlah tujuan.6 Oleh kerena itu, dapat dipahami jika terjadi kecendrungan bahwa
hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala
peraturan dan produk hukum yang tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan
ekonomi harus diubah atau dihapuskan.7 Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat
dijadikan alat justtifikasi bagi visi politik penguasa. Dalam kenyataannya, kegiatan legislative
(pembuatan undag-undang) memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan politik
daripada menjalankan pekeerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya sehingga lembaga
legislatif lebih dekat dengan politik dari pada dengan hokum.8
Dalam kenyataannya konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum
yang berkarakter responsif atau otonom, sedangkan konfigurasipolitik yang (non-demokratis)
akan melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks atau menindas.
Secara historis ternyata senantiasa terjadi tolak tarik antara demokrasi dan otoritarian di
sepanjang sejarah Indonesia.Artinya, sejak Indonesia merdeka telah terjadi pasang naik dan
pasang surut kehidupan demokrasi yang secara otomatis berimplikasi pada karakter-karakter
hukum yang dilahirkannya.
Secara historis, sebagai hasil proses politik dalam suatu masyarakat, terdapat dua macam
strategi pembanguna hukum yang akhirnya berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu
strategi pembangunan ortodok dan strategi pembangunan responsif.
Dalam strategi pembangunan hukum ortodok, peranan lembaga negara (pemerintah dan
parlemen) sangat dominan dan monopolisdalam menentukan arah pembangunan hukum,
sebaliknya, pada strategi pembangunan hukum responsif yang mepunyai peranan besar adalah
lembaga peradilan dan partisipasi luas dari kelompok masyarakat (sosial) atau individu-individu
dalam masyarakat.
Di negara Indonesia terlihat pembangunan hukum senantiasa keberadaannya di bawah
bayang-bayang produk politik.Hal ini terbukti dalam pemerintahan Orde Baru yang notabene
bertekad untuk menjalankan gerbong kekuasaan di atas rel-rel konstitusi yang di bangun di atas
kepentingannya.Juga demi mempertahankan kepentinganya tersebut.Praktis intrumen hukum

6
Surnaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law itu? (Bandung: Alumni, 1976), h. 7
7
Lihat Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: YLBHI, 1988), h. 18
8
Lihat Satjipto Raharjo, op.cit.,h. 1
didayagunakan Orde Baru, pembangunan ekonomi dengan orientasi pertumbuhan, stabilitas
nasional, serta terwujudnya pemerintahan yang kuat merupakan langkah-langkah strategis yang
harus memperoleh legitimasi hukum sebagai kekuatan yurudis. Teori yang berlaku selama Orde
Baru, Dengan demikian, adalah a law as a tool developments.9
Segala produk hukum dapat mendukung dan mampu menfasilitasi stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi dipandang penting dan strategi yang dibuat yang menjadi
prioritas.Sebaliknya peraturan dan produk hukum yang dinilai kurang atau tidak mendukung
tujuan tersebut diubah, bahkan dihapuskan.
Hak ini tampak pada jenis-jenis hukum yang diproduksi sepanjang Orde Baru tampil di atas
pentas kekuasaan politik dalam menjalankan roda pemerintaha negara, bukan saja terjadi
perubahan karakter dari hukum revolusi (revolution laws) ke hukum pembangunan
(development law), akan tetapi hukum benar-benar sempurna menjadi givermant social control
dan funsi sebagai a tool social engineering.
Halam hal ini menurut Soetando Wignjosoebroto sebagai nama yang dikutip Marzuki Wahid
mengatakan bahwa hukum perundang-undangan sepanjang sejarah perkembangan pemerintah
Orde Baru telah menjadi kekuatan kontrol di tangan yang terlegistimasi secara formal yuridis,
dan tidak selamanya merekflesikan konsep keadilan, asas moral, dan wawasan kearifan yang
sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya didalam kesadaran hukum masyarakat awam.10

Berdasarkan Lembaga Negara (LN) dari tahun 1945-1989, perkembangan produk sejak tahun
1966-1989 tercermin klarifikasi sebagai berikut:

Perkembangan Jenis Produk Hukum 1966-1989

No Klarifikasi Jenis Hukum Jumlah

1 Hukum Perdata 163


2
Hukum Keluarga 2

3 Hukum Pidana 7

9
Marzuki Wahid, Figh Mazhad Negara Kritik Atas politik Hukum Islam Di Indonesia (Cet.I: Yogyakarta,
2001), h. 150
10
Lihat Marzuki Wahid, Figh. Mashab negara, op. cit., h. 150
4 Hukum Ketatanegaraan 75

Berdasarkan daftar klarifikasitersebut, hukum perdata yang memproteksi pembangunan


ekonomi terlihat sangat dominan, hukum tatanegara yang mengatur mekanisme politk,
kekuasaan, dan lembaga-lembaga negara, agar berjalan lebih terkontro, demokratis, dan
kontitusional ternyata ada pada urutan kedua.Sementara hukum keluarga dan hukum pidana
yang mempunyai hubungan dengan kepentingan masyarakat berada pada urutan terakhir.Ini
merupakan suatu bukti kecendrungan produksi hukum sepanjang pemeritahan Orde Baru.

Seluruh produk hukum di atas, sejauh ini merupakan inisiatif presiden atau pemerintah.DPR
hasil pemilu selama pemerintahan Orde Baru belum pernah mempunyai inisiatif sekalipun untuk
membuat rancangan undang-undang (RUU).11 Pembahasan RUU usulan pemerintah oleh
pemerintah oleh DPR sementara ini berkisar pada perubahan reaksi dan semantik saja.Subtansi
dan semangat RUU tetap sebagaimana diinginkan pemerintah.

Kenyataan proses legislasi itu menunjukkan betapa rezim Orde Baru demikian dominan
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik, dan betapa DPR demikian lemah, DPR dapat
dikatakan menjadi Corong dan legimitasi kebijakan eksekutif. Konseptualisasi DPR sebagai
benteng penyanggah kekuatan rakyat dan penyalur aspirasi, serta empiris dapat dikatakan
sangat sedikit sekali. Perana DPR masa Orde Baru de ga de ikia lebih sebagai “ste pel
legimitasi kehendak-kehendak eksekutif.12

Kenyataan itu bukan kewajaran sosiologi pada setiap negara berkembang (underdeveloped
country), melainkan implikasi logis dari rekayasa politik (political engineering) yang
dikembangkan Orde Baru. Orde Baru dalam Perjuangannya yang panjang telah berhasil
melakukan depolitasi massa,13 institusionalisasi sosial politik, korporatisasi negara, dan
hegemonisasi ideology terhadap civil society, baik melalui pendekatan politik, keaman, maupun

11
Alfian, Masalah pelaksanaan funsi DPR yang diinginkanoleh undang-undang dasar 1945, Dalam Jurnalis
Ilmu Politik, No 7 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), h. 48
12
Dalam banyak kasus, anggota DPR berani angkat bicara setelah pemerintah membuka wacana tersebut
kedepen public, Lihat Arbi Sanit, perwakilan politik di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: rajawali pres, 1985), h. 25
13
Deplotasi massa yang dilakukan Orde Baru antara lain; dilestarikannya floating mass, diterapkannya
konsep NKK/BKK pada mahasiswa dan terhambatnya jalur informasi ke grassrost, kecuali informasi dari
pemerintah.
hukum. Hal ini dilakukannya lewat jaringan patron-clein melainkan juga lewat konsesus
nasional.14

Akibatnya, intervasi negara dan kekuasaan semakin luas dengan kontrol sosial yang semakin
ketat. Negara (the state) akhirnya menjadi kekuatan yang dominan dan hegomonik atas
keseluruhan proses politik, termasuk dalam pembuatan hukum. Kekuatan masyarakat (sosial
society) semakin marginal, bahkan kian terserap ke dalam kekuatan negara.Masyarakat menjadi
powerless. Bukan saja tak berdaya mentranformasikan diri menjadi kekuatan kritik vis a vis
negara menjadi kekuatan pengimbangan saja terhadap negara agaknya kesulitan.

Menurut Farhat Buklin yang dikutip Marzuki Wahid, bahwa Orde Baru semenjak kelahirannya
memang merupakan kemenangan pemerintah (state) terhadap masyarakat (society). Kekuatan
Orde Baru adalah hasil kumulatih dari proses sejarah sejak masa colonial.15

Mengikuti tesis Mahfud MD, bahwa dalam konfigurasi politik negara otorier seperti ini
terkandung strategi pembangunan hukum ortodoks.Karena pemerintah memegang peranan
monopoli dalam pembangunan hukum. Produk hukum yang dihasilkan dengan demikian lebih
cenderung bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, sifat opresif, hukum hanya
memantulkan persepsi sosial para pengambil kebijaksanaan sepihak.16

Situasi politik diatas juga mengakibatkan absurditas hukum dan kekuasaan dalam
pelaksanaan aturan hukum (low inforcement/enfocamen politicy).Praktek di lapangan terlihat
ketidak jelasan mana hukum dan mana kekuasaan.Hukum kandang berubah menjadi kekuasaan,
dan kekuasaan kadang berbalik sebagai hukumyang diberi kekuatan impratif dan mengatur
masyarkat.

Peletakan hukum dalam fungsi yang lebih sarana kekuasaan politik yang dominan.17 Atas
nama obsesi pembangunan ekonomi yang telah menyebabkan lahirnya strategi pengembangan
hukum yang ortodok, yakni pembangunan hukum yang sangat ditentukan oleh lembaga-
lembaga negara. Strategi pembangunan hukum yang ortodoks ini sangat berlawanan dengan

14
Misalnya, ideologis pancasila lewat P4, diterapkannya satu-satunya asas pancasila, dan dalam waktu yang
bersamaan dilakukan deideologis bagi yang lainnya.
15
Marzuki Wahid, op. cit., h. 153
16
Lihat Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h .37-38
17
Muliana W. Kusumah, op. cit., h. 19-20
strategi responsif yang memberikan peranan yang sangat besar kepada individu-individu dan
kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat untuk menentukan arah pembangunan
hokum.18 Obsesi pada pembangunan ekonomi yang biasanya menjadi tuntutan bagi negara-
negara yang sedang berkembang lebih banyak mengarahkan pada pilihan strategi pembangunan
hukum yang bersifat ortodoks sebab hamper dapat dipastikan secara bulat bahwa
pembangunan yang harus ditopang oleh stabilitas akan mengarahkan pada sikap-sikap
konservatif atau ortodoks. Demikian yang terlihat dalam muatan GBHN tentang pembangunan
hukum rezim Orde Baru.

18
lihat Marryman Jhon Hendry, the Civil Law Tradition (California: Stanford Universiti, 1969), h. 39
DAFTAR PUSTAKA

Mahfud Md, Pergulatan politik dan hukum di Indonesia (Yogjakarta: Gema Media, 1999).

Mulyana W. Kusuma, Perspektif, teori, dan Kebijaksanaan Hukum (Jakarta: Rajawali, 1986).

Satjipto Raharjo, Beberapa pemikiran tentang ancanngan Antar Disiplin Pembinaan Hukum Nasional
(Bandung: Sinar Baru, 1985).

Surnaryati Hartono, Apakah The Rule Of Law itu? (Bandung: Alumni, 1976).

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Di Indonesia (Jakarta: YLBHI, 1988).

Marzuki Wahid, Figh Mazhad Negara Kritik Atas politik Hukum Islam Di Indonesia (Cet.I: Yogyakarta,
2001).

Alfian, Masalah pelaksanaan funsi DPR yang diinginkanoleh undang-undang dasar 1945, Dalam Jurnalis
Ilmu Politik, No 7 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990).

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1990).

lihat Marryman Jhon Hendry, the Civil Law Tradition (California: Stanford Universiti, 1969).

Anda mungkin juga menyukai