Anda di halaman 1dari 17

PAPER POLITIK HUKUM

“PENGARUH POLITIK DALAM HUKUM DARI PERSPEKTIF


PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”

DISUSUN OLEH:
TAUFIK HIDAYAT
NPM: (2003201010004)

PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga paper ini dengan judul “PENGARUH POLITIK DALAM
HUKUM DARI PERSPEKTIF PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN” dapat
diselesaikan.Shalawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW
yang telah membawa umat manusia dari alam kegelapan kealam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan. Penulisan paper ini disusun sebagai salah satu tugas yang diberikan
oleh Dosen Mata Kuliah Politik Hukum.

Disadari bahwa “tak ada gading yang tak retak”, dalam penulisan dan
penyusunan paper ini banyak kekurangan,terutama keterbatasan waktu dalam
mengumpulkan data, penulisan paper ini masih ada kekurangan baik dari segi bahasa,
maupun pembahasannya. Oleh sebab itu sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga paper ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Aamiin.

Banda Aceh, Desember 2020

Taufik Hidayat

2
A. PENDAHULUAN

Perkataan politiek dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan


dengan Negara atau membicarakan masalah kenegaraan. Talcott Persons
mengartikan politik sebagai “aspek dari semua perbuatan yang berkenaan dengan
usaha kolektif bagi tujuan – tujuan kolektif”1.

Politik menerut Hoogerwef adalah usaha mencapai tujuan tertentu dengan


sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Politik atau dengan kata lain
“kebijakan” juga dapat dipahami sebagai keputusan yang menggariskan cara yang
paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.

Kegiatan politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut dan memperoleh
kekuasaan, karena dengan kekuasaan dianggap seseorang atau kelompok masyarakat
akan mempunyai akses yang besar untuk ikut merumuskan dan menetapkan kebijakan
public yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Bahkan kekuasaan politik
dianggap sebagai kekuatan nyata untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam
berbagai aspeknya, karena tanpa kekuasaan politik, pengaruh seseorang atau
kelompok tidak akan efektif dalam kehidupan masyarakat.

Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang


memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu pihak dalam
suatu bidang tertentu. Dalam hal demikian dapat kita katakana, bahwa kekuasaan itu
bersumber pada hukum, yaitu ketentuan – ketentuan hukum yang mengatur pemberian
wewenang tadi.2

Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan –


ketentuannya, dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuatan bagi penegaknya.
Tanpa kekuasaan, hukum itu tidak lain akan merupakan kaidah social yang berisikan

1
Mudzakir dkk, “Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Hidang Politik Hukum Pidana dan Sistem
Pemidanaan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012, hlm. 8-9.
2
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M, Konsep – konsep hukum dalam pembangunan Kumpulan Karya
Tulis, Cetakan ke-1, PT. ALUMNI, Bandung, 2002. Hal. 5

3
anjuran belaka. Sebaliknya, hukum mengenal bentuk – bentuk paksaan, dalam hal
bahwa kekuasaan memaksa itu sendiri diatur, baik mengenai cara maupun ruang
gerak atau pelaksanaannya oleh hukum. Dengan demikian, hubungan hukum dan
kekuasaan dalam masyarakat kita simpulkan sebagai berikut hukum memerlukan
kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas –
batasnya oleh hukum. Secara popular, kesimpulan ini barang kali dapat dirupakan
dalam slogan bahwa : hukum tanpa kekuasaan adalah angan – angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman.

B. TUJUAN
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk memenuhi Tugas Studi Mata Kuliah
Politik Hukum Pada Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Syiah Kuala. Disamping itu paper ini ditulis juga untuk kita dapat
memahami gambaran umum Politik Hukum dikaitkan dengan Penegakan Hukum
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.

C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan judul paper diatas, rumusan masalah yang menjadi fokus dalam
penulisan ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh politik dalam hukum yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan?
2. Apa kaitan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan?

D. METODE PENULISAN
Dalam penulisan paper ini digunakan beberapa pendekatan yang berkaitan
dengan pengumpulan data dan informasi; analisis; serta penyajian. Jenis dari
penelitian hukum ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif
yaitu berupa penelitian kepustakaan (library research) untuk memperoleh data-data
baik yang bersumber kepada berbagai data dan informasi yang ”di release” oleh
pemerintah; tulisan para ahli dalam bentuk buku, jurnal, artikel lepas, surat kabar,
maupun informasi yang tersebar di dunia maya; pengalaman para praktisi dan
pengambil putusan; kebijakan dan regulasi nasional dan internasional; dan lain-lain

4
sebagainya yang terkait dengan politik hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Salah satu ciri dari penggunaan pendekatan normatif yaitu melalui melalui
analisis dan kajian terhadap norma-norma terkait yang berlaku (“existing laws and
regulations”). Pendekatan normatif ini dipandang relevan guna menilai sejauhmana
norma-norma yang berlaku masih mampu mengakomodasikan perkembangan dan
kecenderungan khususnya pada proses penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

E. PEMBAHASAN

a. Pengaruh Politik dalam Hukum berkaitan dengan Penyelenggaraan


Pemerintahan.

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk


mempengaruhi orang atau kelompok orang lain sehingga sesuai dengan keinginan
orang yang mempunyai kekuasaan tersebut.
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum
(pemerintah) baik terbentuknya, maupun akibat – akibatnya sesuai dengan keinginan
pemilik kekuasaan. Kekuasaan politik bagian dari kekuasaan social yang ditujukan
kepada Negara sebagai satu – satunya institusi yang berkuasa. Dalam penggunaan
kekuasaan harus ada penguasa dan saran kekuasaan agar penggunaan kekuasaan
itu berjalan dengan baik.
Ossip K. Flechtheim membedakan kekuasaan politik atas :
1. Bagian dari kekuasaan social yang khususnya terwujudnya dalam Negara
(kekuasaan Negara atau state power), seperti lembaga pemerintahan.
2. Bagian dari kekuasan social yang ditujukan kepada Negara seperti partai politik,
lembaga – lembaga social yang mempengaruhi jalannya kekuasaan Negara.

5
Hukum memiliki peranan yang teramat penting dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional. Isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan
kesejahteraan Negara. 3
Ada orang yang berpendapat bahwa hukum tidak boleh bercampur atau
dicampuradukkan dengan politik. Bahkan politik dalam persepsi seperti ini tidak
boleh mempengaruhi hukum. Ada lagi yang berpendapat bahwa hukum harus
berada di atas politik. Apakah semua pendapat itu benar? Benar atau tidaknya
argumentasi tersebut, tergantung pada landasan apa kita berpijak dan dari perspektif
mana kita menyorotinya. Harus dijelaskan pula, apakah yang dimaksudkan dengan
politik dan apa pula yang diartikan dengan hukum. Ada cukup tersedia pelbagai
penjelasan atau perumusan dengan pelbagai susunan komponen dai para pakar,
sampai kepada kepada yang berpendapat, seperti Kant, bahwa tidak mungkin
diperoleh sautu perumusan tentang apakah sesungguhnya hukum itu.
Tidak ada maksud untuk memberikan suatu perumusan tentang apakah dan
bagaimanakah politik dan hukum itu. Penulis akan mencoba memaparkan dalam
segenggam hanya pengertian politik sebab tentang hukum akan penulis jelaskan
pada pembahasan berikutnya.
Politik merupakan suati seni khusus yaitu dengan cara merekayasa dan atau
memanipulasi sedemikian rupa dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Cara
merekayasa dan atau memanipulasi bisa dipandang atau dilakukan dalam konteks
yang negative ataupun positif.4
Bahwa hukum tidak mungkin terlepas atau dapat dilepaskan dari politik.
Sebaliknya, politik tanpa hukum akan menimbulkan chaos atau kekacauan sehingga
dapat diberlakukan berlaku kekuatan atau kekuasaan rimba dengan segala akibat
dan kengerian yang dapat dibayangkan.
Pendek kata, politik sangat membutuhkan hukum sebagai sarana rekayasa dan
wadah legitimasi untuk tujuan memanipulasi operasionalnya. Sebaliknya, hukum
terutama dalam persepektif kuasa dan wibawa dalam kerangka modernisasi, dalam
makna dan jangkauan ruang lingkup peraturan perundang – undangan, tidak akan

3
Otje Salman R.H., 2009, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, hal.
44
4
J.E. Sahetapy Runtuhnya Etik Hukum, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hal. 24.

6
dapat mengambil bentuk kristalisasi yang berwujud tanpa melalui suatu proses
politik. Dengan perkataan lain, hukum tidak mungkin netral, ia akan selalu berwarna
atau diwarnai politik. Hukum dalam pelbagai perspektif seperti yang telah disinggung
diatas digodok dalam artian dikristalisasi perwujudannya dalam suatu lembaga
politik.
Tampak aneh, tetapi lembaga politik itu sendiri wajib memiliki legitimasi hukum
yang diperoleh dari hukum. Jadi, keduanya, hukum dan politik, ibarat anak kembar
yang dizigot, yaitu bukan dari saut indung telur (monozigot).
Dalam kerangka berpikir system secara sistemik, hukum maupun politik berada
dalam suatu (sub) system makro yang holistis, tetapi masing – masing berada dalam
suatu subsistem tersendiri, terpisah tapi terkait, serupa tapi tidak sama, memiliki
fungsi, tugas dan wibawa serta berkuasa dalam tujuan yang berbeda, dan oleh
karena itu memiliki prasarana dan sarana yang berbeda pula.
Dalam Negara hukum, orang tentu boleh saja berbeda pendapat. Namun,
berbeda pendapat itu harus ada dasar argumentasi atau analisanya berdasarkan
hukum, motivasi keadilan dan kebenaran, bukan berdasarkan selera kekuasaan,
apalagi berselimutkan kekuasaan. Juga tidak ada landasan politik, apalagi yang
bersifat politicking. Dalam Negara hukum, pengadilan diadakan bukan untuk
memanifestasikan kekuasaan, melainkan untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran. Itu suatu prinsip yang sangat asasi dan hakiki. Tanpa, proposisi yang
demikian, Negara hukum adalah Negara kekuasaan, dan itu bertentangan dengan
Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.
Dalam pengertian formal, Andi Hamzah berpendapat politik hukum hanya
mencakup satu tahap saja, yaitu menuangkan kebijakan pemerintah dalam bentuk
produk hukum atau disebut legislative drafting. Sedangkan, dalam pengertian materil,
politik hukum mencakup legislative drafting, legal executing, legal review.5
Sebagai legal policy, politik hukum diartikan sebagai arah hukum yang akan
diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya dapat
berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang
seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan Negara dan system hukum yang

5
Andi Hamzah, Delik – delik Tersebar di Luar KUHP, Pradya Paramita, Bandung, 1983, hal. 9

7
berlaku di Negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia melahirkan
kaidah – kaidah penuntun hukum. 6
Dalam studinya, Moh. Mahfud menyatakan tolak tarik antara hukum dan politik
dapat saja dikatakan sebagai sebuah fakta. Untuk melihat hubungan itu tergantung
pada asumsi, konsep, atau dasar pandangan yang digunakan. Dalam hal ini
hubungan hukum dan politik bisa didasarkan pada pandangan das sollen (keinginan
atau keharusan) dan das sein (kenyataan). Das sollen mengandung arti bahwa
hukum berada pada posisi tertinggi yang menentukan bagaimana seharusnya politik
diselenggarakan. Dalam pandangan ini, politiklah yang diposisikan sebagai variable
terpengaruh (dependent variable) oleh hukum. Sedangkan Das Sein dalam
pandangan ini beranggapan bahwa politik determinan atas hukum. Artinya hukum
dapat dikonsepkan sebagai undang – undang yang dibuat oleh lembaga legislative
sehingga dapat dikatakan bahwa hukum adalah produk politik.
Bisa juga dalam perspektif gabungan keduanya, das sollen sein, yakni hubungan
hukum dan politik tidak bisa dikatakan ada yang lebih dominan atau yang lebih
unggul, karena keduanya secara simetris saling mempengaruhi. Kalau politik
diartikan sebagai kekuasaan, maka lahirlah pernyataan politik dan hukum itu
„interdetermin‟, sebab politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik
itu lumpuh.
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum sebagaimana disebutkan
dalam amandemen ketiga Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3), bahwa
“Indonesia adalah Negara hukum.” Prinsip Negara hukum Indonesia yang paling
utama menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah kekuasaan itu tidak tanpa batas. 7
Dengan kata lain dapat disebutkan, segala bentuk kekuasaan tunduk kepada hukum.
Hukum berasal dari Negara, dan yang berkuasa dalam suatu Negara adalah
pemerintah. Pemerintah melalui politiknya menetapkan hukum. Apakah ada
hubungan antara hukum dan kekuasaan? Ada dua pandangan untuk menjawab hal
ini:
1. Hukum tidak sama dengan kekuasaan. Hal ini didasarkan pada dua alasan:

6
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 5
7
Mochtar Kusumaatmadja, “ Pemantapan Cita Hukum dan Asas – Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa
yang akan Datang” dalam Jurnal Padjadjaran, No.1 Tahun 1995 (Bandung, Fakultas Hukum UNPAD,1995), hal.1

8
a. Hukum kehilangan artinya jika disamakan dengan kekuasaan karena
hukum bermaksud menciptakan suatu masyarakat yang adil. Tujuan ini
hanya tercapai jika pemerintah juga adil dan tidak semena – mena
dengan kekuasaannya.
b. Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individual terhadap kebebasan
individual yang lain, melainkan juga kebebasan (wewenang) dari yang
berkuasa dalam Negara.
2. Hukum tidak melawan pemerintah Negara, sebaliknya membutuhkannya
guna mengatur hidup bersama. Yang dilawan adalah kesewenang – wenang
individual. Hal ini didasarkan pada dua alasan:
a. Dalam masyarakat yang luas, konflik hanya dapat diatasi oleh entitas
yang berada di atas kepentingan individu – individu yaitu pemerintah.
b. Keamanan dalam hidup bersama hanya terjamin bila ada pemerintah
sebagai petugas tertib Negara.

Secara umum dalam system politik terdapat empat variable, yaitu :

1. Kekuasaan – sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain
membagi sumber – sumber di antara kelompok – kelompok dalam masyarakat.
2. Kepentingan – tujuan yang dikejar oleh pelaku atau kelompok politik.
3. Kebijaksanaan – hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanya
dalam bentuk undang – undang.
4. Budaya politik – orientasi subyektif dari individu terhadap system politik.

Musa Asy‟ari membedakan politik menjadi dua, politik kekuasaan dan politik
moral. Politik kekuasaan adalah tindakan politik yang semata – mata ditujukan untuk
merebut dan memperoleh kekuasaan, kawan dan lawan politik ditentukan
sepenuhnya oleh kepentingan – kepentingan politik semata sehingga tidak ada
lawan dan kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi, yaitu kepentingan
kekuasaan. Sedadangkan dalam politik moral, kekuasaan bukan merupakan tujuan
akhir, tetapi alat perjuangan dari cita – cita moral dan kemanusiaan.

9
Ada beberapa tujuan politik hukum yang diuraikan oleh para sarjana, yaitu:

1. Menjamin keadilan dalam masyarakat.


Tugas utama pemerintah suatu Negara ialah mewujudkan keadilan social (iustitia
sosialis) yang dulu disebut keadilan distributive (iustitia distributive). Undang –
undang disebut adil yaitu undang – undang yang mengatur sedemikian rupa
kehidupan manusia diman untung dan bebas dibagi secara pantas. Undang –
undang yang tidak adil adalah yang melanggar hak – hak manusia atau
mengunggulkan kepentingan salah satu kelompok saja.

2. Menciptakan ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum.


Kepastian hukum berarti bahwa dalam Negara tersebut undang – undang
sungguh berlaku sebagai hukum, dan bahwa putusan - putusan hakim bersifat
konstan sesuai dengan undang – undang yang berlaku.

3. Menangani kepentingan – kepentingan yang nyata dalam kehidup bersama


secara konkrit.
Kepentingan tersebut Nampak dalam cita – cita masyarakat secara kolektif.
Pemerintah kemudian menetapkan undang – undang untuk mendukung dan
mengembangkan cita – cita tersebut.

Tujuan mana yang harus diprioritaskan antara keadilan, kepastian hukum atau
nilai – nilai khusus? Menurut Huijbers yang harus diutamakan adalah keadilan, yaitu
pemeliharaan hak – hak yang berkaitan dengan tiap – tiap manusia sebagai pribadi.
Karena hak – hak asasi tidak jatuh dibawah wewenang pemerintah dan tidak pernah
dapat diserahkan kepada orang lain. Negara didirikan atas dasar hak – hak itu
sebagai asas – asas segala hukum. Sesudah keadilan baru kepastian hukum.
Sesudah itu keadilan baru kepastian hukum, lalu salah satu nilai khusus dapat dipilih
sebagai tujuan politik hukum sesuai dengan cita – cita dan kebutuhan – kebutuhan
bangsa.

10
b. Kaitan Hukum dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.

Cita – cita mulia para pendiri Negara untuk menjadikan Indonesia sebagai
Negara yang mensejahterakan rakyatnya mengalami sandungan akibat keberadaan
korupsi.

Dalam sejarah Indonesia modern, praktek korupsi menurut Sayed Husein


Alatas sudah mulai ada di negeri ini sejak tahun 1950-an.8 Ia beralasan, pada tahun
– tahun tersebut Hatta selaku seorang negarawan dan wakil presiden menulis,
bahwa korupsi telah meresap ke segenap lapisan masyarakat Indonesia, menjangkiti
berbagai departemen pemerintah. Penyuapan sudah umum terjadi yang
mengakibatkan kerugian Negara. Fakta tersebut mendorong para penyelenggara
Negara beserta masyarakat untuk berupaya memberantas korupsi.

Data yang didapat dari hasil analisa Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA) terhadap hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun
2008 – 2010, meski analisa FITRA tersebut dilakukan beberapa tahun lalu, tapi ini
dapat menjadi gambaran tentang buruknya pengelolaan keuangan negara yang
harus dibenahi. Terbukti dari masih banyaknya oknum – oknum lembaga Negara
yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) sampai sekarang karena
melakukan korupsi. Berdasarkan hasil analisa tersebut ditemukan 9 (Sembilan)
lembaga pemerintahan terkorup, yaitu (1) Kejaksaan Agung (berpotensi merugikan
Negara Rp 5, 433 Triliun – audit 2008/2010), (2) Kemenkeu (berpotensi merugikan
Negara Rp 5, 359 Triliun – audit 2008/2010), (3) Kemendikbud (berpotensi
merugikan Negara Rp 3, 335 Triliun – audit 2008/2010), (4) Kemenkes (berpotensi
merugikan Negara Rp 332, 8 Miliar – audit 2008/2010), (5) Kementerian ESDM
(berpotensi merugikan Negara Rp 319,1 miliar – audit 2008/2010). (6) Kemenhut
(berpotensi merugikan Negara Rp 163,5 miliar – audit 2008/2010). (7) Kemensos
(berpotensi merugikan Negara Rp 157,8 miliar – audit 2008/2010). (8) Kementerian

8
Sayed Husein Alatas, “ Corruption, Its Nature, Cause and Function” dalam Dr. Samsul Bahri, MA dan Malik Ridwan,
S.Sos.I, Budaya Pemberantasan Korupsi Menurut Syariah, Dinas Syariat Islam Aceh, Banda Aceh, 2018, hal. 2.

11
Agama (berpotensi merugikan Negara Rp 119,3 miliar – audit 2008/2010). (9)
Kemenpora (berpotensi merugikan Negara Rp 115, 4 miliar – audit 2008/2010).

Baharuddin Lopa mengatakan penegak hukum, baru dapat memberantas


korupsi kalau hati mereka lebih dahulu bersih dari segala pamrih dan nafsu serakah.
Pada lain kesempat, beliau juga mengatakan kendala – kendala dalam
pemberantasan korupsi ialah karena factor ketidaberanian para penegak hukum
perangkat yuridis untuk memberantas korupsi.

Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCI mengatakan persoalan hukum bukan hanya
sekedar proses penegakan hukum, tetapi harus dilihat dari berbagai aspek seperti
gejala social, politik dan gejala tingkah laku.9

Banyaknya hakim yang tertangkap KPK karena melakukan praktek korupsi,


menurut Bagir Manan, pengawasan lembaga internal maupun eksternal seperti
Komisi Yudisial tidak cukup untuk membendung nafsu jahat dari oknum penegak
hukum tersebut. satu – satunya cara hanyalah membenahi system kerja sehingga
semua orang dapat mengontrol mereka. Hati nurani para penegak hukum harus
ditempa terus menerus, setidaknya melalui latihan dan menyediakan lingkungan
kerja yang baik. Mental jujur itu memang bukan sesuatu yang dipelajari, tapi itu
adalah panggilan, dan hanya perjalanan saja yang membuat kita tumbuh melalui
pengalaman dan teladan. Para penegak hukum harus mengutamakan kehormatan
diri dan keluarganya melalui bertanggungjawab terhadap pekerjaan, karena itu Bagir
selalu menegaskan pentingnya pelatihan karakter, bukan hanya pelatihan
keterampilan dan pengetahuan.
Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi kewenangan oleh undang –
undang untuk mengadili. Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili,
beban dan campur tangan, ancaman, paksaan, pengaruh termasuk adanya
rekomendasi atau surat sakti yang datangnya dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan
Hakim dalam mengadili suatu perkara bukan tugas mutlak sebab hakikat kebebasan

9
Advokat Indonesia News, Tahun ke II Edisi 4, 2013, hal. 35

12
hakim adalah kebebasan yang bertanggungjawab, bebas berdasarkan aturan hukum
yang ditentukan oleh undang – undang.10

Faktor yang paling pokok yang menyebabkan Indonesia belum mampu


mengoptimalkan penegakan hukum, adalah factor sosok penegak hukumnya. 11
Selain factor tersebut, juga tampak bahwa kawanan koruptor “penghirup” harta
kekayaan Negara dan yang secara langsung ataupun tidak langsung telah ikut
membuat malapetaka di negeri ini, tampaknya semakin hari semakin meningkat pula
modus oeperandinya.

Tidak mustahil kelak muncul seuntai syair bagi para penegak hukum yang juga
bernada menggeneralisasi yang bunyinya : “mereka tak mempraktekan hukum, tetapi
mereka hanya bersembunyi dibelakangnya. Mereka menggunakannya sebagai palu
untuk melindungi para koruptor dan pelanggar HAM yang punya duit besar dan
kekuasaan besar. Mereka tak tertarik pada hukum, tetapi hanya mau menang. Sebab
kemenangan di pengadilan memuaskan ego mereka dan mengisi kantong mereka.
Demi uang, mereka serahkan integritas mereka. Demi uang mereka membuat
keadilan menjadi frustasi…”12

Secara garis besar, hukum pada dasarnya memiliki beberapa fungsi dalam
kehidupan masyarakat antara lain, pertama, sebagai standard of conduct yakni
sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam
bertindak dalam melakukan hubungan satu dengan yang lain. kedua, sebagai as a
tool of social engineering, yakni sebagai sarana atau alat untuk mengubah
masyarakat kearah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam hidup
masyarakat. ketiga, sebagai as a tool of social control, yakni sebagai alat untuk
mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia agar mereka tidak melakukan
perbuatan yang melawan norma hukum, agama dan susila. keempat, sebagai as a
facility on of human interaction yakni hukum berfungsi tidak hanya untuk

10
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu dalam Dr.(c) Kurniawan Tri Wibowo, S.H., M.H., C.P.L. Hukum dan Keadilan
Peradilan Yang Tidak Kunjung Adil, Papas Sinar Sinanti, Jakarta 2020, hal. 117.
11
Prof. Dr. Acmad Ali, S.H., M.H. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia,
Bogor, Cetakan Kedua Oktober 2005, hal.53.
12
Op.cit .Prof. Dr. Acmad Ali, S.H., M.H. hal. 3

13
menciptakan ketertiban, tetapi juga menciptakan perubahan masyarakat dengan cara
memperlancar proses interaksi social dan diharapkan menjadi pendorong untuk
menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat.13
Advokat DR. Henry Pandapotan Panggabean, SH., MS mengatakan
pembenahan system hukum di Indonesia harus dilakukan secara menyeluruh. Mulai
dari konsep trias politica, proses persidangan di peradilan, termasuk pembenahan
system pemberantasan korupsi. Bahkan beliau berkeinginan agar semua aparat
hukum terutama para advokat duduk bersama untuk kembali me – review system
hukum yang berlaku saat ini.
Salah satu ide beliau dalam pembenahan system hukum adalah menyamakan
persepsi dan konsep tentang trias politica. Beliau menilai konsep Trias Politica
seharusnya bukanlah pembagian kekuasaan seperti yang terjadi selama ini di
Indonesia, tapi Trias Politica bermakna pemisahan kekuasaan, seperti yang ada di
Negara – Negara maju. Dampak bila mengacu pada system pemisahan kekuasaan,
maka seluruh jajaran peradilan termasuk didalamnya kepolisian dan advokat berada
dibawah pengawasan Mahkamah Agung. Jadi, bukan hanya hakim saja yang berada
dalam kontrol projustisia Mahkamah Agung.
Di masa Nabi Sulaiman, belum ada konsep “ Trias Politica” seperti yang
kemudian dicetuskan oleh Charles Louis De Secondat Montesquieu (1689-1755),
yaitu pemisahan antara kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Dengan
demikian, Nabi Sulaiman berfungsi sebagai pembuat hukum, pelaksana hukum dan
sekaligus hakim tertinggi di kerajaannya. Meskipun di masa itu belum ada berbagai
undang – undang yang canggih – canggih seperti di era modern sekarang ini, tetapi
common sense dan hati nurani yang menjadi dasar pertimbangannya, telah
menghasilkan putusan yang benar – benar adil dan membumi. Putusannya tersebut
dapat diterima oleh rasa keadilan seluruh masyarakatnya dan tidak menjadi suatu
putusan yang terasing dari masyarakatnya.
Berdasarkan teori bekerjanya hukum , oleh Chamblis dan Robert B. Seidman,
dirumuskan beberapa pernyataan teoritis sebagai berikut:

13
Dr. Winardi, S.H. , M.Hum dan Dr. Sirajuddin, S.H., M.H. “ Politik Hukum”, Setara Press, 2019, Malang, Jatim,
hal. 49

14
1. Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan – aturan tentang bagaimana
seseorang pemegang peran diharapkan untuk bertindak.
2. Tindakan apa yang dakan diambil oleh seseorang pemegang peran sebagai
respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh
peraturan hukum yang berlaku, sanksi – sanksinya, dari aktifitas lembaga
pelaksanaanya, serta dari seluruh kompleks kekuatan social, politik dan lain
sebagainya yang bekerja atas dirinya.
3. Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons
terhadap peraturan – peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan
oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi – sanksinya, dari seluruh
kompleks kekuatan social, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas
dirinya, serta dari umpan balik yang dating dari pemegang peran dan
birokrasi.
4. Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang – undang
sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan
dikendalikan oleh berfungsinya peraturan hukum yang berlaku, sanksi –
sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan social, politik, dan lain
sebagainya yang bekerja atas mereka, serta dari umpan balik yang datang
dari pemergang peran dan birokrasi.

Komponen – komponen antara peraturan, petugas dan masyarakat harus saling


terkait satu sama lain sehingga dapat bekerja dengan optimal, sehingga tujuan dari
suatu aturan akan tercapai. Sebaliknya, pada saat salah satu komponen tersebut
tidak dapat menjalankan perannya dengan baik, maka aturan yang dibuat tidak
berjalan dengan efektif, akibatnya tujuan yang diharapkan tidak tercapai.

Achmad Ali menyatakan bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana
efektifitas dari hukum, maka kita pertama – tama harus dapat mengukur,
sejauhmana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati.

15
F. KESIMPULAN DAN SARAN

F.1. KESIMPULAN
Dari uraian paper yang penulis buat ini dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut dan memperoleh
kekuasaan, karena dengan kekuasaan dianggap seseorang atau kelompok
masyarakat akan mempunyai akses yang besar untuk ikut merumuskan dan
menetapkan kebijakan public yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya.
Bahkan kekuasaan politik dianggap sebagai kekuatan nyata untuk mengatur
kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya, karena tanpa kekuasaan
politik, pengaruh seseorang atau kelompok tidak akan efektif dalam kehidupan
masyarakat.
Kemudian, untuk mengetahui efektifitas dari hukum/ kebijakan public itu,
maka kita pertama – tama harus dapat mengukur, sejauhmana aturan hukum itu
ditaati atau tidak ditaati.

F.2. SARAN
Dari uraian paper yang penulis buat ini, maka saran penulis sebagai
berikut:
Untuk membendung nafsu jahat dari oknum penegak hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, maka satu – satunya cara hanyalah membenahi
sistem kerja sehingga semua orang dapat mengontrol mereka. Hati nurani para
penegak hukum harus ditempa terus menerus, setidaknya melalui latihan dan
menyediakan lingkungan kerja yang baik. Mental jujur itu memang bukan
sesuatu yang dipelajari, tapi itu adalah panggilan, dan hanya perjalanan saja
yang membuat kita tumbuh melalui pengalaman dan teladan. Para penegak
hukum harus mengutamakan kehormatan diri dan keluarganya melalui
bertanggungjawab terhadap pekerjaan, karena itu Bagir selalu menegaskan
pentingnya pelatihan karakter, bukan hanya pelatihan keterampilan dan
pengetahuan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Mudzakir dkk, “Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Hidang Politik Hukum


Pidana dan Sistem Pemidanaan”, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2012.

Dr. Winardi, S.H. , M.Hum dan Dr. Sirajuddin, S.H., M.H. “ Politik Hukum”, Setara
Press, 2019, Malang, Jatim.

Prof. Dr. Acmad Ali, S.H., M.H. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan
solusinya), Ghalia Indonesia, Bogor, Cetakan Kedua Oktober 2005.

Otje Salman R.H., 2009, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah),
Refika Aditama, Bandung.

J.E. Sahetapy Runtuhnya Etik Hukum, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009

Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M, Konsep – konsep hukum dalam
pembangunan Kumpulan Karya Tulis, Cetakan ke-1, PT. ALUMNI, Bandung,
2002.

Andi Hamzah, Delik – delik Tersebar di Luar KUHP, Pradya Paramita, Bandung, 1983.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2012.

Dr. Samsul Bahri, MA dan Malik Ridwan, S.Sos.I, Budaya Pemberantasan Korupsi
Menurut Syariah, Dinas Syariat Islam Aceh, Banda Aceh, 2018, hal. 2.

UNDANG – UNDANG

Undang – Undang Dasar 1945.

JURNAL

Jurnal Padjadjaran, No.1 Tahun 1995 (Bandung, Fakultas Hukum UNPAD,1995)

17

Anda mungkin juga menyukai