Anda di halaman 1dari 16

POLITIK HUKUM

FEE DANA ASPIRASI DPR UNTUK DAYAH


DALAM TINJAUAN POLITIK HUKUM

Oleh:
Muhammad Rudi Syahputra
(2003201010076)

Dosen Politik Hukum


Bpk. Dr. Iskandar A. Gani, S.H. M.Hum.

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2020
2

A. Latar Belakang Masalah

Tak dapat dipungkiri, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah

fakta dan sekaligus ironi. Realitas KKN yang membudaya di Indonesia

terasa janggal jika ditilik dari kenyataan sosial bahwa mayoritas

penduduknya adalah beragama Islam. Sungguh lebih memalukan, berdasarkan

survei, justeru lembaga-lembaga publik terkorup di Indonesia adalah lembaga

seperti legislatif. Institusi yang semestinya paling bertanggung jawab

terhadap tegaknya demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan hukum.

Dalam peraturan perundang-undangan terkait DPR tidak menyebutkan

secara eksplisit mengenai dana aspirasi, yang dikenal adalah dana program

pembangunan daerah pemilihan. Sebagaimana menurut informasi dalam artikel

Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan Amanat UU MD3 yang kami

akses dari laman DPR RI, Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan lazim

disebut Dana Aspirasi.1

Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau Dana

Aspirasi DPR RI merupakan salah satu kebijakan yang telah dituangkan dalam

pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD “Anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program

pembangunan daerah pemilihan”.2

Atas dasar itu, dibentuklah Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015 tentang

Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Dalam

1
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58803c7359dae/dasar-hukum-dana-
aspirasi-anggota-dpr/
2
Mei Susanto, Kedudukan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat Dalam
Ketatanegaraan indonesia, Jurnal Hukum, No.2, Vol. 24, h. 259.
3

peraturan ini, dana aspirasi dapat diusulkan oleh perorangan anggota DPR

maupun diusulkan secara bersama yang diintegrasikan ke dalam program

pembangunan nasional dalam APBN.3 Adapun usulan tersebut dapat berasal dari

inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah

pemilihan.4 Setiap anggota DPR hanya mengusulkan dana aspirasi dari daerah

pemilihannya.5

Program yang dapat menggunakan dana aspirasi harus memenuhi kriteria:

(a) kegiatan fisik; (b) pembangunan, rehabilitasi, dan/atau perbaikan sarana dan

prasarana; (c) hasil pelaksanaan Program yang berkaitan langsung dengan

pelayanan kepada masyarakat; dan (d) penganggaran melalui dana alokasi

khusus program pembangunan daerah pemilihan.6 Adapun kegiatan fisik dapat

ditujukan bagi: (a) kelompok masyarakat; (b) desa, desa adat, kelurahan,

dan/atau yang disebut dengan nama lain; (c) lembaga pendidikan; (d) lembaga

adat; (e) lembaga sosial; dan/atau (f) pemerintah daerah kabupaten/kota.7

Secara lebih konkret program dana aspirasi dapat berupa pembangunan,

perbaikan atau peningkatan: (a) implementasi hasil riset dan teknologi terapan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b) penyediaan air bersih; (c)

sanitasi, termasuk mandi, cuci, kakus/jamban, dan sampah/limbah rumah tangga;

(d) tempat ibadah serta sarana dan prasarana keagamaan; (e) kantor desa, desa

adat, kelurahan, dan/atau yang disebut dengan nama lain; (f) sarana olahraga atau

sarana kesenian; (g) perpustakaan atau taman bacaan umum; (h) panti sosial; (i)

3
Pasal 3 ayat (2 dan 3) Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015.
4
Pasal 3 ayat (4) Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015.
5
Pasal 3 ayat (5) Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015.
6
Pasal 10 ayat (1) Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015.
7
Pasal 10 ayat (2) Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015.
4

penyediaan sarana internet; (j) penyediaan penerangan jalan umum; (k) jalan atau

jembatan desa, desa adat, kelurahan, dan/atau yang disebut dengan nama lain; (l)

irigasi tersier; (m) pemakaman umum; (n) sarana dan prasarana

pertanian/perikanan; (o) puskesmas, pondok bersalin desa, dan ambulan; (p)

ruang kelas, sarana dan prasarana pendidikan, dan pesantren; (q) pasar rakyat

atau pasar tradisional; (r) pengadaan benih, bibit, dan ternak; dan/atau (s)

pembangunan fisik lainnya.8

Kebijakan dana aspirasi ini merupakan kebijakan yang baru. Disebut

sebagai kebijakan karena program dana asprirasi ini merupakan satu rencana

yang mengandung tujuan politik yang disepakati bersama antara DPR dan

Pemerintahan yang akan dilaksanakan melalui praktik administrasi. Cikal bakal

keinginan DPR untuk meluncurkan kebijakan ini sesungguhnya telah ada sejak

tahun 2010 yang dimotori oleh Fraksi Partai Golkar.

Salah satu bentuk program yang dapat menggunakan dana aspirasi adalah

ditujukan untuk bantuan fisik bagi lembaga pendidikan. Dalam hal ini, penulis

lebih mengarahkan penelitiannya pada lembaga pendidikan Islam tertua di Aceh,

yaitu dayah.

Dayah adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang terdapat di Daerah

Istimewa Aceh. Lembaga pendidikan ini sama halnya dengan pesantren yang ada

di pulau Jawa baik dari aspek fungsi maupun tujuannya kendatipun di sana

terdapat juga beberapa perbedaan yang penting. Pada tahun 2003, Pemerintah

Aceh melalui Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam,

8
Pasal 11 Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015.
5

mengeluarkan Peraturan Gubernar (PERGUB) Nomor 451.2/474/2003 Tentang

Penetapan Kriteria dan Bantuan Dayah dalam Provinsi Nanggroe Aceh

Darusssalam (NAD). Salah satu isinya adalah membuat kebijakan bahwa dayah

di Aceh dibagi dalam beberapa klasifikasi. Klasifikasi yang dilakukan

Pemerintah Aceh adalah dalam bentuk Dayah Tipe A, Dayah Tipe B, Dayah

Tipe C dan Dayah Non Tipe. Klasifikasi ini bertujuan untuk membedakan jenis

bantuan yang akan diberikan kepada dayah.9

Dayah di Aceh menjadi salah satu lembaga yang memperoleh dana

aspirasi yang diusulkan oleh anggota DPR yang berasal dari daerah

pemilihannya. Dana aspirasi DPR ini dinilai rawan untuk diselewengkan.

Pasalnya, anggota dewan akan sangat mudah berhubungan langsung dan

mengintervensi proyek atau program pemerintah mulai dari perencanaan dan

eksekusi. Dana aspirasi yang seharusnya mewakili rakyat pun sangat mudah

dibelokan untuk diselewengkan. Hal itu terbukti dengan terseretnya beberapa

anggota DPR dalam kasus korupsi di KPK.

Ada beberapa kasus yang sering terjadi dalam pengalokasian dana

aspirasi tersebut, dimana pihak yang mengusulkan dana aspirasi (dalam hal ini

DPR) akan meminta jatah fee dengan besaran bervariasi antara 10 hingga 50

persen, jika dana aspirasi tersebut disetujui anggarannya. Mengingat dana

aspirasi merupakan dana dari pemerintah untuk meningkatkan program

pembangunan daerah pemilihan, maka sangat tidak layak jika dana tersebut

disunat oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, lebih-lebih lagi dana

9
Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 451.2/474/2003 tentang
Penetapan Kriteria dan Bantuan Dayah dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
6

untuk pembangunan lembaga pendidikan Islam sebagai tempatnya anak-anak

Aceh menuntut ilmu agama. Dalam hal ini, penulis tertarik untuk membahas

suatu permasalahan mengenai “Fee Dana Aspirasi DPR Untuk Dayah Dalam

Tinjauan Politik Hukum dan Hukum Islam”.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, identifikasi

masalah yang ingin penulis teliti adalah mengenai:

1. Bagaimanakah tinjauan politik hukum terhadap fee dana aspirasi DPR

untuk dayah.

B. Pembahasan

Fee berasal dari Bahasa Inggris, yag berarti: 1) an amount of money that

you pay for professional advice or services (sejumlah uang yang Anda bayarkan

untuk nasihat atau layanan profesional); 2) an amount of money that you pay to

join an organization, or to do something (sejumlah uang yang Anda bayarkan

untuk bergabung dengan sebuah organisasi, atau untuk melakukan sesuatu).

Sebagai contoh, you have to pay a fee for construction assistance (Anda harus

membayar biaya untuk mendapatkan bantuan pembangunan). Fee yang penulis

maksudkan dalam penelitian ini adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada

dana pihak DPR sebagai pengusul aspirasi atau pengambilan fee dari dana

aspirasi yang ditempatkan di dayah.

Pengambilan fee tersebut, jika ditelusuri dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa


7

pegawai negeri atau penyelenggara negara10 yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan

menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,

membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, maka akan dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).11

Tentunya, pengambilan fee dari dana aspirasi yang dialokasikan untuk

pembangunan dayah digolongkan dalam kegiatan KKN. Pada era pemerintahan

transisi di bawah Presiden BJ Habibie, istilah KKN diresmikan menjadi istilah

hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

"Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme". Di dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 Undang-undang tersebut,

pengertian dari masing-masing istilah dimaksud dapat diketahui berikut ini:

1) Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana

korupsi.3

2) Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum


10
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam Pasal ini adalah penyelenggara
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian
“penyelenggaran negara” tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-
undang ini.
11
Pasal 12 Huruf E Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
8

antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan

pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.

3) Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara

melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan

atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Tindakan korupsi dapat dibedakan dalam dua kategori (Mar’ie

Muhammad, 1999 :69-71), yaitu yang bersifat administrative dan yang bersifat

struktural. Yang bersifat administrative adalah korupsi yang dilakukan oleh

Pegawai Pemerintah atau Pejabat Negara dan tidak ada urusan politik. Korupsi

yang bersifat administrative ini dapat dibagi dua lagi yaitu yang sifatnya terpaksa

karena kebutuhan mendesak, dan yang sifatnya tidak terpaksa, yakni bukan

disebabkan desakan kebutuhan tetapi keserakahan. Korupsi yang bersifat

struktural merupakan praktik korupsi yang rumit untuk dideteksi, karena korupsi

struktural terkait erat antara sturktur kekuasan dengan Tindak Pidana Korupsi

atau Kolusi. Korupsi model ini merupakan suatu kerja sama atau

persengkongkolan dalam kerja yang tidak baik. Korupsi struktural dapat dibagi

menjadi dua yaitu Income Corruption yang bermotifkan materi dan Policy

Corruption yang cirinya adalah membuat peraturan sedemikian rupa untuk

melegalisasi korupsi agar legitimated.12

Untuk menangkal dan menekan serendah mungkin korupsi di betul-betul

independen dan efektif. Usaha lain untuk menekan serendah mungkin korupsi

adalah melalui reformasi kelembagaan, misalnya lembaga peradilan berikut

12
Nur M. Kasim, Politik Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,
Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 1.
9

semua perangkat hukumnya, selain penataan sistem dan kelembagaan diperlukan

juga keteladanan dari pimpinan. Keberadan lembaga independent seperti Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, tidak akan berarti apa-apa jika

tidak didukung oleh tenaga yang profesional, memiliki integritas pribadi dan

moral, komitmen yang tinggi untuk memerangi korupsi, serta didukung oleh

sarana dan dana yang cukup. Indonesia, diperlukan reformasi politik dan

birokrasi pemerintahan, ditegakkannya transparansi di perusahaan-perusahaan.

Reformasi dibidang politik dilakukan agar sejauh mungkin kekuasaan eksekutif

dibatasi dan diawasi secara efektif. Badan-badan pengawasan dan pemeriksaan

harus betul-betul independen dan efektif. Usaha lain untuk menekan serendah

mungkin korupsi adalah melalui reformasi kelembagaan, misalnya lembaga

peradilan berikut semua perangkat hukumnya, selain penataan system dan

kelembagaan diperlukan juga keteladanan dari pimpinan. Keberadan lembaga

independent seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya,

tidak akan berarti apa-apa jika tidak didukung oleh tenaga yang profesional,

memiliki integritas pribadi dan moral, komitmen yang tinggi untuk memerangi

korupsi, serta didukung oleh sarana dan dana yang cukup.13

Adapun tujuan dengan diundangkannya undang-undang ini diharapkan

dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi

masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap

tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan, perekonomian negara

pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Hal ini sebagaimana yang

13
Nur M. Kasim, Politik Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia,
Jurnal Hukum, Vol. 5, No. 1.
10

diinginkan oleh politik hukum.

Politik hukum sebagai suatu bagian dari kebijakan negara yang berkenaan

dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu

negara dapat digunakan sebagai payung hukum (legal umbrella) dari semua

kebijakan lembaga pemerintah. Jadi bisa dikatakan, tujuan politik hukum itu

berada dalam hukum itu sendiri.

Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggara

negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari

hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang akan dijadikan kriteria untuk

menghukumkan sesuatu.14 Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo

Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius

constituendum). Sedangkan Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya

berjudul ”Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan

Nasional” mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak

penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai

arah perkembangan hukum yang dibangun.15

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas

memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan

hukum tertentu dalam masyarakat.16 Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat

beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu:

(1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara

14
Mia Kusuma Fitriana, Peranan Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Di Indonesia Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara, Jurnal Hukum,
h. 7.
15
Mia Kusuma Fitriana, Peranan Politik Hukum... h. 7.
16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 352.
11

apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan

tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara

bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan

suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu memutuskan proses

pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.17

Adapun penjabaran lain mengenai politik hukum yaitu politik hukum

sebagai sebuah alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh

pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan

dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

Menurut Bellefroid politik hukum adalah suatu disiplin ilmu hukum yang

mengatur tentang cara bagaimana merubah iusconstitutum menjadi ius

constituendum, atau menciptakan hukum baru untuk mencapai tujuan mereka.

Selanjutnya kegiatan politik hukum meliputi mengganti hukum dan menciptakan

hukum baru karena adanya kepentingan yang mendasar untuk dilakukan

perubahan sosial dengan membuat suatu regeling (peraturan) bukan beschiking

(penetapan).

Berdasarkan beberapa definisi politik hukum yang telah dikemukakan di

atas, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakkan sebagai dasar

untuk menyelenggarakan negara khususnya dalam bidang hukum mengenai

hukum yang akan berjalan, sedang berjalan dan telah berlaku yang diambil dari

nilai-nilai yang tumbuh dan hidup serta berlaku dalam masyarakat untuk

mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945

17
Ibid, h. 352-353.
12

alinea 4 bahwa menyatakan Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi

segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan

kehidupan bangsa serta terciptanya pembangunan nasional.

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera,

dan tertib berdasarkan UUD 1945. Untuk mewujudckan masyarakat Indonesia

yang adil, makmur, sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan

usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana pada umumnya dan

Tindak Pidana Korupsi pada khususnya. Penyelenggara Negara mempunyai

peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan Bangsa. Hal ini secara

tegas dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang

menyatakan bahwa yang sangat penting dalam Pemerintahan dan dalam hal

hidupnya Negara adalah semangat para penyelenggara Negara dan Pemimpin

Pemerintahan.

Kajian politik hukum terhadap undang-undang pemberantasan koruspi

dapat dilihat dari segi filosofis, pragmatik dan sosiologis.

1. Segi Filosofis

Politik pemberantasan korupsi dimaksud adalah pertama, memelihara dan

mempertahankan cita keadilan sosial dan kesejahteraan bangsa di dalam negara

RI sebagai negara hukum sebagai landasan filosofis; memelihara dan melindungi

hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1)

UUD 1945) sebagai landasan penegakan hukum; mempertahankan fungsi hukum


13

pidana khususnya undang-undang pemberantasan korupsi tahun 1999 dan 2001

sebagai landasan operasional,yang lebih mengutamakan keseimbangan fungsi

pemelihara ketertiban dan keamanan di satu sisi, dan fungsi

penjeraan/penghukuman di sisi lain di atas landasan asas-asas hukum pidana.18

2. Segi Pragmatik

Pendekatan pragmatik memberikan kajian tentang perundangan-

undangan tersebut apakah memberi manfaat atau tidak; dapat diterapkan atau

tidak. Undang-undang pemberantasan korupsi tentunya memberikan manfaat

yang luar biasa untuk menangani bagaimana tindak pidana korupsi yang terjadi

di negara kita. undang-undang ini membantu menyelematkan aset-aset negara

dan memberikan payung hukum untuk menindak korupsi yang banyak terjadi di

negara kita bahkan sampai pada perkembangan dari tindak pidana korupsi seperti

tindak pidana pencucian uang. Harta kekayaan dari berbagai kejahatan atau

tindak pidana pada umumnya tidak langsung dibelanjakan karena akan mudah

dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber dana yang diperolehnya. Untuk

itu banyak pelaku tindak korupsi yang mengalihkan harta kekayaan yang

diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial

system) terutama ke dalam sistem perbankan sehingga dengan cara ini

pemberantasan korupsi harus sensitif terhadap gejala ini untuk itulah dibentuk

suatu lembaga PPATK (Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan). Hal ini

dimaksudkan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana korupsi korupsi

sehingga mengurangi keefektifan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

18
Indri Astuti, Politik Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Forum Ilmu Sosial, , Vol. 41 No. 2 Des 2014, h. 178-179.
14

korupsi.19

3. Segi Sosiologis

Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah

berlangsung sejak tahun 1960-an, dan telah berganti undang-undang sebanyak 4

(empat) kali, dan terakhir dengan undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Namun

sebatas ini tindak pidana korupsi ini tetap menjadi permasalahan yang belum

berakhir. Permasalahan ini menyerang segala sektor kehidupan masyarakat

hingga menyebabkan terbengkalainya segala pembangunan untuk kelompok

masyarakat luas. Untuk itulah landasan sosiologis dari penegakan hukum

pemberantasan korupsi adalah bahwa, kemiskinan yang melanda kurang lebih

35-50 juta penduduk Indonesia masa kini adalah disebabkan karena korupsi yang

telah bersifat sistemik dan meluas ke seluruh lapisan birokrasi (30% dana APBN

terkuras karena korupsi), dan tidak lepas dari pengaruh timbal balik antara

birokrasi dan sektor swasta. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukanlah

sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak

(urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkannya,

dengan demikian penegakan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pembangunan sumber daya individu

dan kelompok masyarakat yang ada di negara ini.20

Jadi, dalam kacamata politik hukum, tindakan korupsi, kolusi, dan

nepotisme sangat tidak bisa dibenarkan dan termasuk ke dalam extraordinary

crime (kejahatan yang luar biasa) karena jelas-jelas bertentangan dengan

19
Ibid, h. 179.
20
Ibid, h. 179-180.
15

Pancasila dan UUD 1945. Lebih-lebih lagi tindakan pengambilan fee yang

dilakukan oleh oknum-oknum DPR terhadap pembangunan lembaga-lembaga

pendidikan Islam, dimana hal tersebut akan sangat merugikan pihak lembaga

dalam mengembangkan dan memajukan pendidikan terhadap anak-anak bangsa

yang sedang menuntut ilmu agama.

Tgk H Muhammad Amin Daud (Ayah Min Cot Trueng), Ketua Majelis

Pengajian dan Zikir TASTAFI Pusat mengatakan dalam bahtsul masail yang

diadakan di Kabupaten Sigli mengenai status hukum dana pokir (pokok pikiran)

yang sebelumnya disebut dana aspirasi anggota dewan bahwa pengambilan fee

dari dana pokir yang ditempatkan di dayah atau masjid hukumnya haram.

Beliau mengatakan: “Selama ini, anggota dewan mengambil fee dari dana

pokirnya dengan besaran bervariasi antara 10 hingga 20 persen. Ayah Cot Trueng

menjelaskan, dana pokir anggota dewan merupakan anggaran pemerintah. Karena

itu, dana tersebut yang dialokasikan atau diberikan untuk masjid atau dayah harus

utuh dan tidak boleh diambil fee. Misalnya, dana pokir sebesar Rp 100 juta, maka

jumlah yang harus diterima oleh pihak masjid atau dayah juga sebesar Rp 100

juta”.

“Akan tetapi, jika dana pokir Rp 100 juta, tapi yang diterima oleh masjid

atau dayah Rp 80 juta dan sisanya Rp 20 juta lagi diambil untuk fee, maka fee

tersebut hukumnya haram. Kecuali, pihak dayah atau masjid hanya

menandatangani jumlah bantuan Rp 80 juta dan 20 juta lagi diteken oleh anggota

dewan yang memberikan dana pokir. "Kalau begitu, saya rasa tidak masalah,”.

Namun, jika pihak dayah atau masjid menandatangani berita acara Rp 100
16

juta, sementara anggota dewan yang memberikan dana pokir mengambil fee

namun ia tidak mau menandatangani berita acara, itu tidak boleh. “Jika pihak

dayah atau masjid harus mengambil jatah dana dayah atau masjid untuk fee

anggota dewan, maka yang memberi dan menerima uang tersebut dua-duanya

pencuri.

C. Kesimpulan

Kajian politik hukum undang-undang pemberantasan koruspi dilihat dari

segi filosofis, pragmatik dan sosiologis. Dimana, pengambilan fee oleh pihak DPR

yang dialokasikan untuk dayah tidak dibenarkan, karena secara jelas bertentangan

dengan Pancasila dan UUD 1945. Pengambilan fee tersebut akan menghambat

pembangunan lembaga pendidikan yang secara otomatis juga akan menghambat

kegiatan pendidikan di lembaga tersebut. Dimana pendidikan merupakan hak

warga negara, dalam pasal 11 ayat (1): Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin tersenggaranya pendidikan

yang bermutu bagi setiap warga negara.

Anda mungkin juga menyukai