Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH POLITIK HUKUM

POLITIK HUKUM INDONESIA DALAM UPAYA PENEGAKKAN


HUKUM KEIMIGRASIAN TERHADAP UPAYA MENCIPTAKAN
PEMERINTAHAN BERSIH DARI KORUPSI, KOLUSI DAN
NEPOTISME (KKN) DI INDONESIA

Disusun Oleh:

TEUKU ALAIDINSYAH
NPM : 2003201010058

PROGAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR
‫ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah ini dengan judul “Politik Hukum di
Bidang Keimigrasian” dapat diselesaikan. Shalawat dan salam kepada junjungan
alam Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam
kegelapan kealam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Penulisan makalah ini
disusun sebagai salah satu tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Politik
Hukum.
Disadari bahwa “tak ada gading yang tak retak”, dalam penulisan dan
penyusunan makalah ini banyak kekurangan, terutama keterbatasan waktu dalam
mengumpulkan data, penulisan makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi
bahasa, maupun pembahasannya. Oleh sebab itu sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin.

Banda Aceh, Desember 2020

Teuku Alaidinsyah

2
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 4
…………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah 6
…………………………………………………………........
C. Tujuan Penulisan 6
……………………………………………………………….
D. Metode Penulisan 6
………………………………………………………….……
BAB II PEMBAHASAN

A. Politik Hukum Indonesia Dalam Upaya Penegakkan Hukum 7


1. Upaya Meningkatkan Peran Penegak Hukum Untuk 9
Menumbuhkan Kesadaran Hukum Sebagai Perilaku Yang Teratur
2. Penegakan Hukum Keimigrasian Sebagai Kaedah/Norma 10
B. Peran Politik Hukum Dalam Menciptakan Pemerintahan Bersih Dari 11
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (KKN) Di Indonesia
BAB III PENUTUP
…………………......………………………………………………………….
A. Kesimpulan 16
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Politik hukum tidak dapat terlepas dari realita sosial kehidupan masyarakat di
Negara Indonesia dan peran bangsa Indonesia sebagai anggota masyarakat dunia
yang tidak dapat terlepas dari pengaruh politik hukum internasional. Aktivitas
merumuskan dan menetapkan hukum, baik yang telah ada maupun yang akan
dibentuk, politik hukum suatu negara diserahkan pada penyelenggara negara yang
mempunyai otoritas legislasi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang di masyarakat. Kesemuanya itu diarahkan dalam rangka
mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Dasar pembentukan Negara Indonesia tidak terlepas dari ingatan akan masa
penjajahan Hindia Belanda. Sebagaimana sistem penjajahan pada umumnya,
Belanda pada masa itu berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya dari tanah jajahan Indonesia. Seluruh potensi kekayaan alam Indonesia
diolah dan digali semaksimal mungkin demi kepentingan Negara Belanda dan
orang-orang Belanda di Indonesia. Kesempatan penanaman modal asing dibuka
selebar-lebarnya oleh pemerintahan Hindia Belanda pada masa itu untuk
memenuhi kebutuhan negara-negara barat akan komoditi ekspor. Investasi-
investasi tersebut membutuhkan banyak buruh yang murah sehingga selain buruh
dari Indonesia, didatangkan pula banyak buruh asing.
Beranjak dari pengalaman tersebut, masyarakat yang dicita-citakan Bangsa
Indonesia dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-empat yang menyatakan bahwa tujuan
pembentukan Negara Republik Indonesia, antara lain: “...melindungi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...” Dari kutipan tersebut,
kiranya dapat diketahui bahwa tujuan pembentukan Negara Indonesia antara lain
adalah untuk menjaga stabilitas keamanan negara serta seluruh kegiatan
pemerintahan diarahkan untuk mencapai kemakmuran rakyat, secara materil dan
spiritual.1
Politik hukum keimigrasian suatu negara, mencerminkan kedaulatan negara,
kepentingan negara, sejalan dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Kebijakan selektif mengatur bahwa orang asing yang akan masuk ke Indonesia
harus melakukan serangkaian pemeriksaan guna mengetahui kepentingan apa

4
yang dilakukan orang asing tersebut selama di Indonesia. Hal tersebut dilakukan
guna mewujudkan kebijakan selektif yang mana hanya orang asing yang
menguntungkan bagi Indonesia yang dapat masuk ke Indonesia. Orang asing
yang akan menjadi beban atau memungkinkan terjadinya ketidaksejahteraan di
tengah masyarakat Indonesia, tidak akan mendapatkan ijin masuk ke Negara
Indonesia.
Politik hukum keimigrasian di Indonesia mengalami perubahan dari masa
ke masa. Pada masa pemerintahan kolonial misalnya, Institusi Imigrasi berbentuk
Dinas Imigrasi dibawah pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa ini kebijakan
Imigrasi dikenal open door Policy. Pada tahun 1950 sampai dengan 1992, Jawatan
Imigrasi telah beralih dari pemerintah hindia Belanda ke pemerintahan Indonesia.
Kebijakan yang sebelumnya bersifat open door policy telah menjadi Politik hukum
yang didasarkan pada kepentingan Nasional yaitu politik saringan (selective
policy). Politik Hukum Keimigrasian di Indonesia saat ini adalah berdasarkan pada
asas manfaat secara ekonomi dimana hanya orang yang berguna bagi bangsa
dan Negara yang diizinkan untuk masuk dan tinggal di Indonesia dengan
mengedepankan penghormatan terhadap HAM.
Penerapan hal tersebut di aktualisasikan dalam bentuk kebijakan selektif
(selective Policy) melalui Trifungsi Imigrasi yaitu pelayan masyarakat, penegakan
hukum dan keamanan serta Fasilitator pembangunan ekonomi. Lahirnya Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian maka aturan Undang-Undang
No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Politik hukum dibidang keimigrasian yang
tercermin dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
seharusnya sudah dapat mengakomodasikan perihal penerapan hukum
keimigrasian Indonesia.
Tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan di
era globalisasi dewasa ini sudah tidak dapat dielakkan lagi.2 Tuntutan tersebut
menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka
terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state),
semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang
bertanggungjawab (good corporate governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi
sebuah impian.

1Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Naisonal, Alumni, 1991, Hlm.185.
2
Istilah good governance dapat diarti-kan sebagai terlaksananya tata ekonomi, politik dan sosial
yang baik. Baca misalnya Rochman Achwan, “Good Governance: Manifesto Politik Abad ke-21” dalam
Kompas, Rabu, 28 Juni 2000, Hlm 39.
5
Lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme memuat tentang
ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan
kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah
dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah peran Politik Hukum Indonesia Dalam Upaya
Penegakkan Hukum yang berlaku saat ini?
2. Bagaimanakah upaya peran penegak hukum memahami politik hukum
sebagai perilaku yang teratur?
3. Bagaimanakah Penegakan hukum keimigrasian sebagai kaedah/norma?
4. Peran politik hukum dalam menciptakan pemerintahan bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Politik hukum Indonesia terhadap upaya penegakkan
hukum.
2. Untuk mengetahui peran penegak hukum sebagai perilaku yang teratur dan
sebuah kaedah/norma
3. untuk mengetahui politik hukum dalam menciptakan pemerintahan bersih
dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia

D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan
menggunakan metode normatif yang dipergunakan untuk menyusun tulisan ini.
Bahan-bahan hukum yang akan digunakan diperoleh melalui studi kepustakaan.
Bahan-bahan hukum tersebut yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu:
peraturan perundang-undangan, karya ilmiah hukum serta buku-buku hukum
yang diperlukan. Bahan-bahan hukum yang tersedia tersebut kemudian dianalisis
secara normatif.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Politik Hukum Indonesia Dalam Upaya Penegakkan Hukum


Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan
bukan atas dasar kekuasaan (machstaat) menuangkan cita-cita ataupun tujuan
negara melalui hukum sebagai sarananya dengan kata lain hukum adalah sarana
yang digunakan dalam mencapai tujuan negara yang sudah di cita-citakan. Politik
dan hukum saling berkaitan satu sama lain karena politik bersifat kepentingan
yang seringkali menimbulkan konflik harus diarahkan atau dikendalikan oleh
hukum yang berlaku agar dapat mewujudkan tujuan suatu negara.
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat.3 Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa
pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu:
1. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;
2. Cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut;
3. Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana
perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan
4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa
membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut secara baik.4
Padmo Wahjono dalam bukunya “Indonesia Negara Berdasarkan atas
Hukum” mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.5 Definisi ini masih
bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya yang berjudul
“Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”, yang dikatakan bahwa
politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan, penerapan dan penegakkan hukum.
Melalui perspektif politik, hukum dipandang sebagai produk atau output dari
proses politik atau hasil pertimbangan dan perumusan kebijakan publik. Namun

3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. Iii, Citra Aditya Bakti, Bandung 1991, Hlm. 352.
4 Ibid, Hlm 352-353
5
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ii, Ghalia Indonesia, Jakarta.,
1986, Hlm 160.

7
disamping hukum sebagai produk pertimbangan politik, terdapat politik hukum
yang merupakan garis atau dasar kebijakan untuk menentukan hukum yang
seharusnya berlaku dalam negara. Di negara demokrasi, masukan (inputs) yang
menjadi bahan pertimbangan untuk penentuan hukum bersumber dari dan
merupakan aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang
kemudian diproses sehingga muncul sebagai outputs dalam bentuk peraturan
hukum.
Politik hukum nasional sebagai pedoman dasar bagi segala bentuk dan
proses perumusan, pembentukan dan pengembangan hukum ditanah air. Bila
politik hukum nasional merupakan pedoman dasar bagi segala bentuk dan proses
perumusan, pembentukan dan pengembangan hukum ditanah air, dapat
dipastikan politik hukum nasional harus dirumuskan pada sebuah peraturan
perundang-undangan yang bersifat mendasar pula, bukan pada sebuah
peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis. Sistem hukum nasional
merupakan kesatuan hukum dan perundang-undangan yang terdiri dari banyak
komponen yang saling bergantung, yang dibangun untuk mencapai tujuan negara
dengan berpijak pada dasar dan cita hukum negara yang terkandung di dalam
Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.6
Upaya penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan
kepastian hukum dalam masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain dengan
menertibkan fungsi, tugas dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas
menegakkan hukum menurut proporsi ruang lingkup masing-masing, serta
didasarkan atas sistem kerjasama yang baik dan mendukung tujuan yang hendak
dicapai. Tingkat perkembangan masyarakat tempat hukum diberlakukan
mempengaruhi pola penegakan hukum, karena dalam masyarakat modern yang
bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan differensiasi yang tinggi
penggorganisasian penegak hukumnya juga semakin kompleks dan sangat
birokratis.
Kajian secara sistematis terhadap penegakan hukum dan keadilan secara
teoritis dinyatakan efektif apabila 5 pilar hukum berjalan baik yakni: instrument
hukumnya, aparat penegak hukumnya, faktor warga masyarakatnya yang terkena
lingkup peraturan hukum, faktor kebudayaan atau legal culture, faktor sarana dan
fasilitas yang dapat mendukung pelaksanaan hukum.7

6 Mahfud Md, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010,
Hlm. 22.
7
Sanyoto, Penegakan Hukum Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
8
1. Upaya meningkatkan peran penegak hukum untuk menumbuhkan
kesadaran hukum sebagai perilaku yang teratur.
Pelaksanaan penegakkan hukum di dalam masyarakat selain tergantung
pada kesadaran hukum masyarakat juga sangat banyak ditentukan oleh aparat
penegak hukum, oleh karena sering terjadi beberapa peraturan hukum tidak dapat
terlaksana dengan baik oleh karena ada beberapa oknum penegak hukum yang
tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum sebagai mana mestinya. Hal tersebut
disebabkan pelaksanaan oleh penegak hukum itu sendiri yang tidak sesuai dan
merupakan contoh buruk dan dapat menurunkan citra. Selain itu teladan baik dan
integritas dan moralitas aparat penegak hukum mutlak harus baik, karena mereka
sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktik suap dan penyelahgunaan
wewenang. Uang dapat mempengaruhi proses penyidikan, proses penuntutan dan
putusan yang dijatuhkan.
Dalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegak hukum itu
dijalankan oleh komponen yudikatif dan dilaksanakan oleh birokrasi, sehingga
sering disebut juga birokrasi penegakan hukum. Eksekutif dengan birokrasinya
merupakan bagian dari bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang
tercantum dalam (peraturan) hukum. Kebebasan peradilan merupakan essensilia
daripada suatu negara hukum saat ini sudah terwujud dimana kekuasaan
Kehakiman adalah merdeka yang bebas dari pengaruh unsur eksekutif, legislative,
serta kebebasan peradilan ikut menentukan kehidupan bernegara dan tegak
tidaknya prinsip Rule of Law.8
Aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pemasyarakatan serta aparat
penegak hukum lainnya termasuk didalamnya tentu saja ada lembaga penasehat
hukum. Dalam penerapannya hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:
a) penerapan hukum pidana sebagai suatu sistem sosial (social system), yang
berarti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus diperhitungkan
berbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.
b) penerapan hukum dilihat secara sistem administratif (administrative system)
yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang
merupakan sub sistem peradilan diatas.
c) penerapan hukum dilihat secara sistem normatif (normative system) yaitu
penerapan keseluruhan aturan hukum yang merupakan nilai-nilai sosial yang
didukung oleh sanksi pidana.

9
2. Penegakan hukum keimigrasian sebagai kaedah/norma
Perpindahan penduduk dari suatu tempat/wilayah ketempat lain dengan
berbagai alasan tertentu adalah pengertian dari migrasi9. Menurut Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian adalah hal ihwal lalu
lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya
dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan Negara. Imigrasi memiliki tugas
mengawasi lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia. Tidak
hanya dibagian, lalu lintas, imigrasi juga melakukan pengawasan pada saat orang
asing berada di dalam wilayah Indonesia baik pengawasan terhadap
keberadaannya maupun pengawasan terhadap kegiatannya yang dilakukan orang
asing selama di Indonesia.10
Terhadap orang asing pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian
dilaksanakan berdasarkan prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip
ini maka orang asing yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia hanyalah
orang asing yang memiliki manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak membahayakan keamanan
dan ketertiban, serta tidak bermusuhan dengan rakyat dan pemerintah.11 Untuk
mewujudkan prinsip selektif (selective policy) diperlukan kegiatan pengawasan
terhadap orang asing, pengawasan ini tidak hanya pada saat orang asing masuk
ke wilayah Indonesia, tetapi juga selama orang asing tersebut berada di wilayah
Indonesia termasuk kegiatan-kegiatannya. Hal tersebut terkait adanya orang asing
yang keberadaanya merugikan kepentingan bangsa dan negara seperti kasus-
kasus penyalahgunaan ijin tinggal, tinggal di Indonesia melebihi jangka waktu
yang ditentukan, imigran tanpa berkas administratif yang resmi, dan sebagainya.12
Tindakan bagi orang asing yang melakukan pelanggaran keimigrasian dibagi
menjadi dua, yaitu tindak pidana keimigrasian (BAB XI UU Keimigrasian) dan
tindakan administratif keimigrasian (BAB VII UU Keimigrasian). Tindakan
administratif keimigrasian adalah sanksi administratif yang ditetapkan oleh Pejabat
Imigrasi terhadap orang asing yang berada di Indonesia diluar proses peradilan.
Tindakan ini bersifat litigasi, yaitu tindakan berupa pengenaan sanksi atau tidak
melalui putusan pengadilan atau persidangan. Sementara sanksi pidana yang

8 Ibid
9Wordpress, diakses melalui: Https://Arfanart.Wordpress.Com/2011/10/12/Jelaskan-Pengertian-
Migrasi/ Pada Hari Sabtu 11 Mei 2019, Pukul 08.30 Wib.
10
Cinde Salsabiil, Penegakan Hukum Keimigrasian Sebagai Bukti Adanya Kedaulatan Negara
(Enforcement Of Immigration Law As Evidence Of State Sovereignty),2018 Program Studi Hukum
Keimigrasian, Politeknik Imigrasi.
11
Diakses Pada Https://Www.Slideshare.Net/Khamdanwi/Tindakan-Administratif-Keimigrasian, Hari
Rabu, 2 Desember 2020 Pukul 09:29 Wib.
12 Ibid

10
diterapkan bagi orang asing yang melanggar dan dimasukkan kedalam kategori
tindak pidana keimigrasian dirumuskan secara alternatif yaitu hukuman dan denda.
Dasar hukum penegakan hukum dalam melaksanakan Tindakan Administratif
keimigrasian ada pada Undang-undang keimigrasian yaitu Undang-undang nomor
6 tahun 2011 BAB VII “Tindakan Administratif Keimigrasian” Pasal 75-80.
Sedangkan dasar hukum dalam pelakasanaan penegakan hukum melalui tindak
pidana keimigrasian terletak pada KUHP dan KUHAP dan BAB XI “Ketentuan
Pidana” Pasal 113-136 UU keimigrasian.
Kewenangan terhadap keputusan Tindakan Administratif Keimigrasian
merupakan kewenangan Pejabat Imigrasi yang diberikan kepada orang asing yang
berada di wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga
membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau
tidak menaati peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan
pertimbangan politis, pertimbangan ekonomis, pertimbangan sosial dan budaya
serta pertimbangan keamanan. Pengertian tersebut mengandung arti bahwa
segala bentuk Tindakan Administratif dibidang Keimigrasian diluar tindakan hukum
pidana atau penyidikan masuk kategori Tindakan Keimigrasian. Selain menurut
ketentuan hukum positif tersebut di atas, juga menurut hukum internasional bahwa
tindakan Keimigrasian berupa deportasi bukan tindakan hukum pidana dan ini
berlaku secara universal pada negara-negara lain di dunia.13 Ketentuan pidana
dalam tindak pidana keimgrasian mengacu pada BAB XI Undang-Undang
Keimigrasian dan juga pada KUHP, KUHP sebagai aturan dasar tentang tindak
pidana.

B. Peran politik hukum dalam menciptakan pemerintahan bersih dari korupsi,


kolusi dan nepotisme (KKN) di indonesia
Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-
cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para Penyelenggara
Negara dan Pemimpin pemerintahan. Dalam rangka penyelamatan dan
normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan
visi, persepsi, dan misi dari Seluruh Penyelenggara Negara dan masyarakat.
Kesamaan visi, persepsi, dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati
nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya Penyelenggara Negara yang

13
Wahyudin Ukun, Deportasi Sebagai Instrumen Penegakan Hukum Dan Kedaulatan Negara Di
Bidang Keimigrasian, Aka Press, Jakarta, 2004, Hlm. 4.
11
mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa
tanggung jawab, yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.14
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme memuat tentang ketentuan yang
berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para
Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang ini merupakan bagian atau
subsistem dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan
hukum terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme, dalam Undang-undang ini ditetapkan asas-asas umum
penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam Undang-undang ini
dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi
merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di
mana-mana.15 Kini, setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa
praktik KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang
keberadaannya meluas, berurat akar dan menggurita dalam masyarakat serta
sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan kekuasaan yang paling
bawah.
Sumartana,16 menyatakan bahwa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud paling buruk dan paling ganas dari gejala
kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di negeri kita. KKN

14
KPK diakases melalui https://acch.kpk.go.id/id/jejak-pemberantasan/uu-28-tahun-1999
enyelenggaraan-negara-bersih-dari-kkn pada tanggal 3 Desember 2020 pukul 16:50 WIB.
15
Fathurrahman Djamil Dkk, “Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (Kkn): Dalam Perspektif Hukum Dan
Moral Islam”; Dalam Menyingkapi Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Di Indonesia. Aditya Media, Yogyakarta,
1999, Hlm. 103
16
Sumartana. ‘Etika Dan Penanggulangan Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Di Era Reformasi”,
Aditya Media , Yogyakarta, 1999,Hlm. 100.
12
adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang pincang dan tidak
manusiawi. Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif,
tidak terbuka, dan melecehkan kemanusiaan. Kekuasaan dianggap sebagai sebuah
privilege bagi kelompok (kecil) tertentu, serta bersifat tertutup dan menempatkan
semua bagian yang lain sebagai objek” yang tak punya akses untuk berpartisipasi.
Setiap bentuk kekuasaan (baik politik, sosial, maupun ekonomi) yang tertutup akan
menciptakan hukum-hukumnya sendiri demi melayani kepentingan penguasa yang
eksklusif. Kekuasaan yang tertutup semacam ini merupakan lahan subur yang bisa
menghasilkan panen KKN yang benar-benar melimpah.
Tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan di
era globalisasi dewasa ini sudah tidak dapat dielakkan lagi.17 Tuntutan tersebut
menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka
terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state),
semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang
bertanggungjawab (good corporate governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi
sebuah impian.
Terhadap tuntutan terselenggaranya good governance ini lembaga-lembaga
donor internasional, seperti Bank Dunia, IMF dan ADB bahkan telah secara tegas
meminta ditegakkannya paradigma good governance dinegara-negara yang
memperoleh bantuan dari mereka, termasuk Indonesia.18 Dengan demikian, bagi
Indonesia, terwujudnya good governance telah menjadi suatu keharusan yang
harus diupayakan.
Untuk dapat mewujudkan good governance sebagaimana dituntut oleh
masyarakat maupun lembaga-lembaga donor internasional tersebut, salah satu
unsur penting yang harus terpenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan
dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, baik aktifitas sosial, politik maupun
ekonomi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas
maka seharusnya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya KKN. Namun, pada
kenyataannya, berbagai penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh beberapa
lembaga berbeda justru menunjukkan kecenderungan yang semakin
memprihatinkan. Dan umumnya, penelitian tersebut sampai pada satu kesimpulan
yang sama, yaitu bahwa “Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di
dunia”.19

17 Op. Cit Kompas


18
Asian Development Bank (ADB). Good Governance and Anticorruption: The Road Forward for
Indonesia”, makalah dipresentasikan dalam Pertemuan Puncak CGI ke Delapan di Paris, 27-28 Juni 1999.
19 Pada tahun 2003 yang baru lalu, PERC (Political and Economy Risk Consultancy) melakukan

survey terhadap 1.000 orang ekspatriat pelaku bisnis yang bekerja di beberapa Negara di Asia. Hasil dari
13
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa,hakim
dan pegegak hukum lainnya), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi dapat
dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya. Namun, pengungkapan kasus korupsi, kolusi dan
nepotisme ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga
dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak
memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak
dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan,
dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan
bahwa setidak-tidaknya ada dua strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi
intensitas korupsi, yaitu: 20
a) Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi
yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang
berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata
kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu
benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta
dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral
yang tinggi;
b) Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan
konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, kolusi dan
nepotisme dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar
harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality
before the law;
c) Para penentu kebijakan, baik dibidang pemerintahan maupun dibidang
penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme,
komitmen, tanggung jawab dan integritas moral yang tinggi dalam
menyelesaikan kasus-kasus korupsi.
Upaya membangun masyarakat madani, partisipasi, dan Good Government
Governace pada umumnya diterima sebagai bagian dari upaya demokratisasi.
Dalam konsep Governace, ada tiga stakeholder utama yang saling berinteraksi
dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu state (negara atau pemerintah),

survey tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup diantara negara-
negara Asia yang lain. Sementara itu, menurut lembaga Transparency International, dari 133 negara yang
mereka teliti pada tahun 2003 Indonesia berada pada peringkat ke-6 dalam daftar Negara Paling Korup di
Dunia.
20 Petter Langseth, “Bagaimana Memerangi Langsung Praktek Korupsi”, dimuat dalam Jurnal

Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2000, hlm. 43-48.


14
private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Institusi
pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif,
sektor dunia usaha menciptakan pekerjaan dan pendapatan, masyarakat berperan
dalam membangun interaksi sosial, ekonomi, dan politik termasuk mengajak
kelompok masyarakat untuk brpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, social, dan
politik.
Membangun Good Government Governace, dibutuhkan perubahan yang
menuntut dan ciri kepemimpinan pada masing-masing pihak yang memungkinkan
terbangunannya partnership diantara stakeholder di dalam lokalitas tersebut.
Partnership adalah hubungan kerja sama atas dasar kepercayaan, kesetaraan,
dan kemadirian untuk mencapai tujuan bersama. Korupsi sangat menghambat
negara ini dalam merealisasikan potensi ekonomi dan menyebabkan ketidakadilan
yang signifikan di dalam masyarakat Indonesia karena sebagian kecil orang
mendapatkan manfaat yang amat besar dari lembaga dan keadaan korup di negeri
ini.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Politik hukum nasional menjadi dasar pedoman dalam proses perumusan,


pembentukan dan pengembangan hukum di tanah air. Sistem hukum
nasional merupakan kesatuan hukum dan perundang-undangan yang
terdiri dari banyak komponen yang saling bergantung, yang dibangun
untuk mencapai tujuan negara dengan berpijak pada dasar dan cita
hukum negara yang terkandung di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal
UUD 1945.
2. Pelaksanaan penegakkan hukum di dalam masyarakat selain tergantung
pada kesadaran hukum masyarakat juga sangat dipegaruhi oleh aparat
penegak hukum.
3. Imigrasi memiliki tugas mengawasi lalu lintas orang yang masuk atau
keluar Wilayah Indonesia.Terhadap orang asing pelayanan, pengawasan
dan penegakkan hukum di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan
prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini maka orang asing
yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia hanyalah orang asing yang
memiliki manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak membahayakan keamanan
dan ketertiban, serta tidak bermusuhan dengan rakyat dan pemerintah.
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme memuat tentang
ketentuan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan pejabat
lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5. Membangun Good Government Governace, dibutuhkan perubahan ciri
kepemimpinan pada masing-masing pihak yang memungkinkan
terbangunannya partnership di antara stakeholder apparat penegak
hukum.

16
B. SARAN
1. Peran penegak hukum dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan masih perlu dilakukan peningkatan agar dapat terwujudnya
Good Government Governace. Peningkatan kualitas pelayanan dan juga
penegakkan hukum perlu ditingkatkan agar adanya kepastian hukum
ditengah masyarakat.
2. Hadirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dari Korupsi, Kolusi Dan
Nepotisme dapat dijadikan salah satu acuan aturan dalam menjalankan
tugas penegakkan hukum agar segala perbuatan dan tindakan penegak
hukum jauh dari perbuatan KKN.

17
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Naisonal, Alumni, 1991
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. Iii, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ii, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986
Mahfud Md, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta,
2010.
Sumartana. ‘Etika Dan Penanggulangan Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Di Era
Reformasi”, Aditya Media, Yogjakarta, 1999.
Petter Langseth, “Bagaimana Memerangi Langsung Praktek Korupsi”, dimuat dalam
Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari – Maret 2000
Fathurrahman Djamil Dkk, “Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (Kkn): Dalam Perspektif
Hukum Dan Moral Islam”; Dalam Menying- Kap Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
Di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1999.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme
Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

JURNAL
Sanyoto, Penegakan Hukum Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto
Salsabiil, Penegakan Hukum Keimigrasian Sebagai Bukti Adanya Kedaulatan Negara
(Enforcement Of Immigration Law As Evidence Of State Sovereignty), Program
Studi Hukum Keimigrasian, Politeknik Imigrasi
Wahyudin Ukun, Deportasi Sebagai Instrumen Penegakan Hukum Dan Kedaulatan
Negara Di Bidang Keimigrasian, Aka Press, Jakarta, 2004, Hlm. 4.

INTERNET
Wordpress, Diakses melalui: Https://Arfanart.Wordpress.Com/2011/10/12/Jelaskan-
Pengertian-Migrasi/ Pada Hari Rabu tanggal 02 Desember 2020 Pukul 08.30
Wib.
Slide Share, Diakses melalui: Https://Www.Slideshare.Net/Khamdanwi/Tindakan-
Administratif-Keimigrasian Pada Hari Rabu tanggal 02 Desember 2020 Pukul
09:29 Wib.
KPK, Diakses melalui: https://acch.kpk.go.id/id/jejak-pemberantasan/uu-28-tahun-1999-
enyelenggaraan-negara-bersih-dari-kkn pada tanggal 03 Desember 2020 pukul
16:50 WIB.

18

Anda mungkin juga menyukai