Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH AIK

ISLAM POLITIK DAN HUKUM

Untuk memenuhi tugas mata kuliah AIK


Yang diampu oleh Bapak Erik Budianto, S.Pd.I, M.Pd.I

Disusun oleh :
Kelompok 9

1. Wa Ninda 201910430311184
2. Selly Annas T. Y 201910430311185
3. Della Ayu R. S 201910430311184

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MEI 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


kesempatan dan nikmat sehat, baik itu sehat fisik maupun akal pikiran sehingga
penulis mampu menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah AIK.
Pada kesempatan baik ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak
Erik Budianto, S.Pd.I, M.Pd.I. serta teman-teman kelas AIK 4 di semester VI-
D yang turut memberikan semangat dan dukungannya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun agar bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran dikemudian hari
dalam penyusunan makalah. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, penulis mengucapkan mohon maaf.

Mei 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB 1 .................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang .........................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................7
1.3 Tujuan ...............................................................................................................................7
BAB II .................................................................................................................................................8
PEMBAHASAN ....................................................................................................................................8
A. Prinsip-Prinsip Islam Dalam Bernegara ..............................................................................8
B. Syarat Pemimpin Dalam Persepektif Islam .........................................................................9
C. Hak Dan Kewajiban Pemimpin Dan Yang Dipimpin ........................................................ 10
D. Hukum Islam ...................................................................................................................... 16
a) Pengertian Hukum Islam................................................................................................ 16
b) Tujuan Hukum Islam ..................................................................................................... 17
c) Macam-macam Hukum Islam ........................................................................................ 18
d) Karakteristik Hukum Islam ........................................................................................... 21
2.5. Ragam Hukuman Islam Hadapi Kejahatan ............................................................................. 22
a. Berat ringannya hukuman ................................................................................................. 22
b. Berdasarkan niat pelaku .................................................................................................... 24
c. Berdasarkan waktu terungkapnya ...................................................................................... 24
d. Berdasarkan cara melakukannya ....................................................................................... 25
e. Berdasarkan karakter khususnya ....................................................................................... 26
BAB III ........................................................................................................................................... 28
PENUTUP ...................................................................................................................................... 28
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................... 28
3.2. Saran .................................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 29

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan
dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit
digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum Islam akan
mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan Islam
dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan
semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum
Islam diterapkan. Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami
pasang surut seiring dengan politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan
negara. Bahkan di balik semua itu, berakar pada kekuatan sosial budaya yang
berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun demikian,
hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan, baik
melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan
dukungan kekuatan sosial budaya.

Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman


pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi
dalam sudut aplikasinya. M. AthoMudzhar misalnya menjelaskan cara
pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya
dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan
Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim
dan fatwa-fatwa ulama.

Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam


proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam
sesungguhnya telah berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di
mana stigma hukum yang berlaku dikategorikan menjadi hukum adat, hukum
Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam dilihat dari dua segi.
Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah
dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam yang

4
berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi
atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk melaksanakannya.

Dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama yang menyangkut


perkembangan penerapan hukum Islam, hukum Islam mengalami pasang
surut mengikuti arah politik yang ada pada waktu itu. Apa sesungguhnya
yang menjadi keinginan dan tujuan para pemegang kekuasaan, baik
kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan pejabat politik, maka penerapan
hukum Islam itu diarahkan kepada kebijakan tersebut. Pada masa
pemerintahan Belanda misalnya, ada sebuah teori yang sangat berpengaruh
bagi Pemerintah Kolonial Belanda didalam pembentukan hukum di Indonesia
yang dikenal dengan teori resepsi. Pengaruh teori resepsi ini masih melekat
pada masa awal kemerdekaan atau pada masa pemerintahan orde lama, dan
bahkan sampai pada masa pemerintahan Orde Baru (1967-1998).

Pada masa Orde Baru ini konsep pembangunan hukum diarahkan pada
konsep kesatuan hukum nasional, di mana hukum agama (Islam) yang dianut
mayoritas rakyat Indonesia tidak dengan serta merta dapat dijadikan sebagai
hukum yang berlaku. Beberapa hukum Islam untuk diangkat menjadi materi
hukum membutuhkan kerja keras dari umat Islam, meskipun sebenarnya
hukum itu hanya diberlakukan bagi pemeluknya. Hukum Islam sekalipun
merupakan thelivinglaw yang secara konsep ilmu hukum seharusnya
diterapkan, namun oleh Pemerintah Orde Baru, hukum Islam dilihat sebagai
ajaran agama yang tidak mengakar ke bumi, karena cukup dipahami bukan
untuk diterapkan.

Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia yang


mengalami pasang surut tersebut juga dikarenakan hukum Islam bukanlah
satu-satunya sistem hukum yang berlaku pada saat itu, tetapi terdapat sistem
hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini
saling pengaruh-mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum
nasional di Indonesia. Hal ini terlihat ketika menjelang kemerdekaan, para
foundingfathers berbeda pendapat tentang bentuk dan dasar negara serta
hukum yang akan berlaku di Indonesia.

Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai


diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum
yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum

5
nasional. Banyak peraturan perundang undangan yang disusun berdasarkan
ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi
umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya
gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang ditetapkan oleh
pemerintah.

6
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip-prinsip Islam dalam bernegara?
2. Apa saja syarat-syarat seorang pemimpin?
3. Apa saja hak dan kewajiban seorang pemimpin dan yang dipimpin?
4. Apa yang dimaksud dengan pengertian hukum Islam, tujuan, macam dan
karakteristiknya?
5. Apa saja ragam hukuman Islam atas kejahatan ?

1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip islam dalam bernegara
3. Untuk mengetahui syarat-syarat seorang pemimpin
4. Untuk mengetahui hak dan kewajiban seorang pemimpin yang di pimpin
5. Untuk mengetahui hukum Islam, tujuan, macam serta karakteristiknya
6. Untuk mengetahui ragam hukuman Islam atas kejahatan

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip-Prinsip Islam Dalam Bernegara


Dalam surat An-Nisa ayat 59 yang artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”
Terlihat adanya mandat dari Allah SWT berupa suatu amanah
kepada manusia untuk menetapkan hukum-hukum terhadap sesama
manusia untuk ditetapkan secara adil. Sifat amanah ini berbeda dengan
prinsip negara hukum modern karena amanah dalam konsep negara hukum
Islam itu perintah langsung dari Allah SWT. Atas dasar itu amanah yang
diberikan kepada manusia mempunyai nilai transcendental sehingga
mempunyai nilai yang berbeda dan lebih mempunyai kekuatan mengikat
secara batin. Atas dasar itu amanah ini merupakan tanggung jawab yang
besar bagi manusia karena akan berimplikasi pada kehidupan di dunia
maupun di akhirat. Sebaliknya dalam konsepsi negara hukum modern
yang memisahkan antara negara dengan agama dalam kehidupan
berpolitiknya tidak mempunyai implikasi kepada dunia akhirat sehingga
sifat amanah tersebut tidak mempunyai nilai transcendental dan hanya
bersifat duniawi saja.

Dalam surat An-Nisa ayat 59 yang artinya :Wahai orang-orang


yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(nya), dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari ayat tersebut terlihat adanya unsure ketaatan. Ketaatan juga


merupakan dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa ketaatan tidak
akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis yang ada hanya

8
pertentangan antar masyarakat yang dapat menyebabkan perpecahan.
Dalam teori hukum ketaatan ini menjadi suatu perhatian karena salah satu
tujuan hukum adalah ketertiban. Dalam teori hukum barat ketaatan ini
didasarkan pada suatu kehendak bersama akan adanya kepentingan
umum. Dasar yang paling utama dari ketaatan adalah kehendak bersama
yang merupakan consensus dari para masyarakat.

Menurut pandangan penulis ketaatan yang hanya didasarkan


kepada suatu kesepakatan antar masyarakat tidak akan mencapai pada
tahapan ketaatan yang sempurna, karena manusia bukanlah malaikat ia
mempunyai kehendak dan tujuan yang antar satu dengan lainnya berbeda,
atas dasar ini tidak akan pernah tercapai suatu consensus yang benar satu
tujuan sama, Masing-masing mengunggulkan tujuannya. Akibat dari ini
tidaklah pernah tercapai satu tujuan yang harmonis. Dasar teori hukum
barat seperti inilah yang dijadikan rumusan dalam konsepsi negara hukum
modern. Berbeda dengan konsepsi negara hukum dalam Islam. Dalam
surat An-Nisa dijelaskan “taatilah Allah dan taatilah Rasul-(nya), dan ulil
amri…” ketaatan yang paling utama adalah taat kepada Allah SWT dari
ketaatan ini mempunyai nilai-nilai transcendental yang kemudian menurun
kepada ketaatan kepada rasul dan ulil amri. Tiada pemisahan antara
ketaatan kepada hukum negara dan ketaatan kepada Allah SWT. Ketaatan
dalam Islam mempunyai satu tujuan yaitu semata-mata untuk taat kepada
Allah SWT. Dengan tujuan ketaatan yang jelas yaitu semata-mata untuk
taat kepada Allah SWT menjamin suatu masyarakat yang harmonis dan
tidak selalu dalam pertentangan.

B. Syarat Pemimpin Dalam Persepektif Islam

Para ulama telah lama menelusuri Al-Quran dan Hadits dan


menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh
seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul
di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin
umatnya, yaitu: (1).Shidq, yaitu jujur, kebenaran dan kesungguhan dalam
bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya.
Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang
menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang
diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih

9
lagi dari Allah SWT. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu
kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi
dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4).
Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas
segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi).
Misalnya harus mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada rakyat
visi, misi dan program-programnya serta segala macam peraturan yang ada
secara jujur dan transparan.

C. Hak Dan Kewajiban Pemimpin Dan Yang Dipimpin

Hak Pemimpin :

Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu hak untuk di


ta'ati dan hak untuk di bantu. Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah
ternyata ada hak lain bagi imam, yaitu hak untuk mendapat imbalan dari
harta Baitul Mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut,
sesuai dengan kedudukanya sebagai Imam.

Hak yang lain ini pada masa Abu Bakar, diceritakan bahwa 6 bulan
setelah diangkat jadi khalifah, Abu Bakar masih pergi ke pasar untuk
berdagang dan dari hasil dagangannya itulah beliau memberi nafkah
keluarganya. Kemudian para sahabat bermusyawarah, karena tidak
mungkin seseorang khalifah dengan tugas yang banyak dan berat masih
harus berdagang untuk memenuhi nafkah keluarganya. Maka akhirnya
diberi gaji 6.000 dirham setahun, dan menurut riwayat lain digaji 2.000
sampai 2.500 dirham.

Bagaimanapun perbedaan-perbedaan pendapat di dalam jumlah


yang di berikan kepada Abu Bakar satu hal adalah pasti bahwa kaum
muslimin pada waktu itu telah meletakkan satu prinsip penggajian
(member gaji) kepada khalifah. Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya
dengan kewajiban rakyat. Hak untuk di taati dan di bantu misalnya adalah
kewajiban rakyat untuk mentaati dan membantu.

Selain itu Dhafir Al-Qasimy menyebutkan lagi hak Imam dalam


melaksanakan tugas Negara :

10
a. Hak mendapat penghasilan (Al-Qasimy). Hal ini terang adanya.
Sebab imam telah melakukan pekerjaan demi kemaslahatan umum,
sehingga tak ada waktu lagi baginya memikirkan kepentingan
pribadinya. Hal ini jelas sekali jika di lihat dari ukuran sekarang,
meskipun lain halnya dibandingkan di masa-masa awal dahulunya,
Khalifah Abu Bakar ra, atas desakan beberapa Sahabat juga
mendapatkan penghasilan dari jabatan khalifahnya.
b. Hak mengeluarkan peraturan (Haq Al-Tasyri'). Seorang imam juga
berhak mengeluarkan peraturan yang mengikat warganya, sepanjang
peraturan itu tidak terdapat dalam Al-Qu'an dan mengikuti Al-
Sunnah. Dalam mengeluarkan peraturan-peraturan imam mestilah
mengetahui kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang terdapat
dalam Nash. Yang terpenting di antaranya ialah musyawarah (Al-
Syura) yakni bahwa dalam mengeluarkan suatu peraturan, imam
tidak boleh bertindak sewenang-wenang, ia harus
mempertimbangkan fikiran dari para ahli dalam masalah yang
bersangkutan. Selain itu peraturan tersebut juga tidak boleh
bertentangan dengan nash syara' atau dengan ruh-tasyri' dalam al-
qur'an dan sunnah.

Kewajiban Pemimpin :

Adapun suatu kewajiban-kewajiban seorang pemimpin dapat kita


lihat dalam berbagai macam prosfektif, yang mana dalam Islam, Islam
sebagai agama amal adalah sangat wajar apabila meletakkan focus of
interest-nya pada kewajiban. Hak itu sendiri datang apabila kewajiban
telah dilaksanakan secara baik. Bahwa kebahagiaan hidup di akhirat akan
di peroleh apabila kebajiban-kewajiban sebagai manifestasi dari
ketaqwaan telah dilaksanakan dengan baik waktu hidup di dunia.

Demikian pula halnya dengan kewajiban-kewajiban imam.


Ternyata di tidak ada kesepakatan di antara ulama terutama dalam
perinciannya sebagai contoh akandikemukakan, kewajiban imam menurut
al-Mawardi adalah:

a. Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah di tetapkan dan apa


yang telah di sepakati oleh ulama salaf.
b. Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang
bersengketa, danmenyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan
terlaksana secara umum.

11
c. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan
tentram dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat
berpergian dengan aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau
hartanya.
d. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani
melanggar hukum danmemelihara hak-hak hamba dari kebinasaan
dan kerusakan.
e. Menjaga wilayah batasan dengan kekuatan yang cukup, agar musuh
tidak beranimenyerang dan menumpahkan darah muslim atau non
muslim yang mengadakan perjanjian damai dengan muslim
(mu'ahid).
f. Memerangi orang yang menentang islam setelah melakukan dakwah
dengan baiktapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula
menjadi kafir dzimmi.
g. Memungut Fay dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan ke tentuan
syara' atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
h. Manatapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang
berhakmenerimanya dari Baitul Mal dengan wajar serta
membayarkanya pada waktunya.
i. Menggunakan orang-orang yang dapat di percaya dan jujur di dalam
menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan
Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh
orang-orang yang ahli, dan harta Negara di urus oleh orang yang
jujur.
j. Melaksanakan tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina
umat dan menjaga agama.

Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu:


Menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umat
sangat tergantung kepada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
keduniawian.

Apabila kita kaitkan kewajiban ini dengan maqasyid syari'ah, maka


kewajiban imam tidak lepas dari hal-hal:
a. Yang dharuri yang meliputi hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-
nasl/iridl, dan hifdh al-mal serta hifdh al-ummah, dalam arti yang
seluas-luasnya, seperti di dalam hifdh al-mal termasuk di dalam
mengusahakan kecukupan sandang, pangan dan papan, di samping
menjaga agar jangan terjadi gangguan terhadap kekayaan.
b. Hal-hal yang bersifat haji, yang mengarah kepada kemudahan-
kemudahan di dalam melaksanakan tugas.
c. Hal-hal yang taksini, yang mengarah kepada terpeliharanya rasa
keindahan dan seni dalam batas- batas ajaran Islam.
Adapun poin penting penting di ketahui oleh Ulil Amri harus menjaga
dan melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan Hak Asasi Manusia,
seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat dengan baik

12
dan benar, hak mendapatkan penghasilan yang layak melalui kash al-halal,
hak beragama, dan lain-lainnya.
Di dunia islam sekarang ini, kriteria kepala Negara (presiden) juga
sangat beragam. Di Pakistan, misalnya, seseorang dapat dipilih menjadi
presiden dengan syarat: muslim dan berusia sekurang-kurangnya 45 tahun
(pasal 41 ayat 2 konsitusi Pakistan). Di Iran, kualifikasi seorang presiden
mencakup : Iranian origin, Iranian nationality, a good pastrecord,
trustworthy and piety, and conviced belief in the fundamental principles of
Islamic Republic of Iran, and the official madzab of the country (Article
115, the constitution of the Islamic Rebublic of Iran).
Di Mauritinia, presiden pun harus seorang muslim (pasal 23 Konsitusi
Republik Mauritinia 1991). Sandi Arabia, Pakistan, Brunei Darussalam,
libya, Irak (konsitusi 1990), Mauritinia, dan Malaysia menyebut Islam
sebagai agama resmi Negara (Islam is the religion of the state), sedangkan
Indonesia mengatakan dalam pasal 29 UUD 1945 (yang tidak
diamandemen). Pada ayat 1, pasal tersebut "Negara berdasar
atasKetuhanan yang Maha Esa",dan pada pasal 2,"Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan
kepercayaan itu".

Hak Rakyat :
Hak-hak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas Hak-
hak Politik dan Hak-hak Umum.

Hak-Hak Politik Warganegara


a. Hak memilih.
Menurut Ibnu Taimiyah, hal ini didasarkan pada praktek kehidupan
Nabi Muhammad SAW dan Khulafa ar-Rasyidin. Menurut
pendapatnya, keempat khalifah itu meraih kekuasaan berdasarkan
pemilihan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat berhak
memilih kepala Negara melalui ahlul hall wal ‘aq.
b. Hak Bermusyawarah (Haqq al-Musyawarat)
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang pemimpin seharusnya tidak hanya
meminta pertimbangan dari kalangan ulama, tetapi juga dari semua
kelas dalam masyarakat dan siapa saja yang mampu memberikan suatu
pendapat yang baik.
c. Hak Menurunkan Pemimpin(apabila keadaan mengharuskan) (Haqq
al-‘Azl)
Menurut al-Baqillani, umat tidak mempunyai hak untuk membatalkan
kecuali ada kasus yang mengharuskan untuk itu. Al-Bagdadi
menjelaskan bahwa seorang imam yang tidak cacat dan bertindak tidak
bertentangan dengan syariat harus didukung dan ditaati oleh umat.
Tapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syariat, masyarakat harus
memilih di antara dua tindakan kepadanya, yaitu mengembalikannya
dari perbuatan salah kepada kebaikan, atau mencopot jabatannya.

13
d. Hak untuk Mencalonkan (Haqq al-Tarsyih)
Seorang warganegara berhak untuk mencalonkan orang lain untuk
menduduki jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada
dasarnya, tidak berhak (dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya
sendiri, karena Nabi melarang yang demikian. Namun jika keadannya
darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan
tidak memiliki keahlian saling berebut jabatanpolitik) maka
pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syarat-
syaratnya.
e. Hak untuk Dipilih / Memangku Jabatan-jabatan Umum (Haqq
Tawalliy al-Wazha-
if al-‘Ammat)
Di dalam Taisir al-Wushul Juz I hal. 18, memangku jabatan politik
bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya
untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya (karena
ambisi).

Hak-Hak Umum Warganegara


a. Hak Persamaan (Al-Musawat)
Umar ibn Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-
Asy’ariy :“Samakanlah setiap manusia dalam majelis-majelismu, di
hadapan wajahmu, dan dalam pengadilan-pengadilanmu, sehingga
orang yang berkedudukan tidak menjadi berharap atas
keberpihakanmu, sementara orang yang lemah tidak putus asa
terhadap keadilanmu”.
b. Hak Kebebasan (Al-Hurriyyat)
Menurut Harun Nasution, dari ajaran dasar persamaan, persaudaraan,
dankebebasan manusia, timbullah kebebasan-kebebasan manusia.
Dalam ajaran islam, menurut Mustafa as-Siba’I (ahli fikih
kontemporer dari Suriah), individu tidak berada di atas masyarakat,
tetapi masyarakat juga tidak berada di atas individu. Keduanya
berjalan seiring. Dengan demikian kebebasan dalam islam
mempunyai batas-batasnya.
c. Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran
Apabila mendapatkan pengajaran merupakan hak, dilihat dari sisi
warganegara, maka dari sisi yang lain, Negara berkewajiban untuk
mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib menciptakan instrumen-
instrumen bagi pencerdasan rakyatnya.
d. Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalat) dari Negara.
Tidaklah mungkin seorang warga negara dalam Negara Islam hidup
terlantar dalam kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja,
sementara Negara mengetahuinya. Negara Islam wajib mengelola
zakat dengan baik. Negara wajib memungut zakat dari setiap muslim
yang telah wajib membayar zakat. Apabila zakat tidak mencukupi
kebutuhan, maka Negara bisa menutupinya

14
dengan harta Baitul Mal.

Selain itu secara umum hak rakyat antara lain :


a. Warga Negara harus diberi semua hak yang ditetapkan oleh hukum
islam kepadamereka; yaitu bahwa mereka akan dijamin , dengan
batas-batas hukum tersebut,keamanan hidupnya secara penuh,
kekayaan dan kehormatannya, kemerdekaan beragamanya,
kemerdekaan beribadahnya, kemerdekaan orangnya,kemerdekaan
mengeluarkan pendapatnya, kemerdekaan berserikat
danberkumpulnya, keleluasaan bergeraknya, kemeerdekaan
bekerjanya, kesamaankesempatan dan haknya untuk memanfaatkan
semua pelayanan umum.
b. Kapanpun juga, tidak akan ada seorang warga Negara yang lebih
dirampas semua haknya ini; kecuali dibawah hukum. Tidak ada
seorang warga Negara yang akandivonis karena suatu dakwaan tanpa
sepenuhnya diberi hak untuk membela diridan tanpa keputusan
pengadilan yang sah.
c. Semua mazhab pemikiran muslim yang diakui, didalam batas-batas
hukum, akanmemiliki kemerdekaan agama sepenuhnya. Semuanya
behak untuk menyebarluaskan segala perintah keagamaan kepada
penganutnya dan berhak mempropagandakan pandangan-pandangan
mereka. Masalah-masalah yangberada di bawah lingkup hukum
pribadi akan diselenggarakan sesuai denganmasing-masing fiqh
mereka.
d. Para warga Negara non muslim , dalam batas-batas hukum, akan
memilikikemerdekaan beragama dan beribadat sepenuh-penuhnya,
kemerdekaan menganut cara hidup, kebudayaan dan pendidikan
agama. Mereka akan diberi hak untuk menyelenggarakan hukum
pribadi mereka sejalan dengan aturan agama,adat-istiadat dan
tradisinya masing-masing.
e. Semua kewajiban yang diembang Negara, dalam batas-batas hukum,
atas warga Negara non muslim akan sepenuhnya dihormati. Mereka
akan diberi hak sama dengan warga Negara muslim untuk
memperoleh hak-hak kewarganegaraan.

Kewajiban Rakyat :
Kewajiban rakyat ini wajib dilaksanakan sekalipun imam kurang
memenuhi kewajiban dan persyaratannya, karena kewajiban rakyat lain
dengan kewajiban imam, rakyat tidak memikul dosanya imam, tetapi
rakyat berdosa bila mereka tidak menjalankan kewajibannya. Adapun
kewajiban umat yang harus diperhatikan antara lain:

Mentaati imam bila tidak memerintah maksiat


Ibnu Katsir berkata: “Ayat diatas menjelaskan kewajiban rakyat mentaati
pemimpin apabila perintahnya benar, tetapi bila perintahnya menyelisih
yang haq tidak boleh mentaatinya”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/203).

15
a. Mentati imam pada saat suka dan duka
Dari Abdullah radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :Wajib mendengarkan dan taat kepada pemimpin muslim
dalam hal yang disenangi dan yang dibenci, selagi tidak diperintah
untuk maksiat, tetapi bila diperintah maksiat, tidak boleh mendengar
dan mentaatinya. (HR. Bukhari 6611).
b. Mentaati imam sekalipun dia lebih mementingkan dirinya daripada
kepentingan umat.
Dari Ubadah bin As-Shamit radhiyallahu ‘anhu. dia berkata:Kami
mendengar dan mentaati peminpin kami pada waktu kami
bersemangat dan benci, dalam keadaan sulit atau mudah, (walaupun
dia) mendahulukan kepentingan dirinya daripada kepentingan kami,
dan kami tidak akan mencabut urusan yang itu haknya.. Dia berkata:
Kecuali bila engkau melihat benar-benar pemimpin itu kafir, bagimu
punya bukti disisi Allah. (HR. Muslim 3427).
c. Wajib menasehati pemimpin bila salah, dengan tidak menyebarkan
aibnya dihadapan umat.
Adapun dilarang menyebarkan aib pemimpin di hadapan umat, kita
dapat melihat kembali sejarah Raja Fir’aun yang mengaku dirinya
sebagai tuhan, raja kekufuran dan kesyirikan, tetapi Allah menyuruh
Nabi Musa dan saudaranya Harun agar mendatangi Fir’aun dan
menasihatinya dengan lembut dan sopan. Sabda Rasullullah saw
:Barangsiapa menasihati pemimpin, janganlah di depan umum, tetapi
datangi dia dengan menyepi, jika diterima (nasihat) maka itulah yang
diharapkan. Jika tidak menerima, dia telah menunaikan apa yang
menjadi kewajibannya.

D. Hukum Islam

a) Pengertian Hukum Islam


Pengertian Hukum Islam (Syari'at Islam) - Hukum syara'
menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari' yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallafsecara
perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan
(taqrir).Sedangkan menurut ulama figh hukum syara ialah efek
yang dikehendaki olehkitab syari' dalam perbuatan seperti wajib,
haram dan mubah.
Syariat menurut bahasa berarti jalan. Svariat menurut istilah
berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya
yang dibawa oleh seorang Nabi,baik hukum yang berhubungan

16
dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah.
Hukum Islam Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah
peraturan yang diciptakanoleh Allah supaya manusia berpegang
teguh kepadaNya di dalam perhubungandengan Than dengan
saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesamamanusia,
beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan
hubungannyadengan kehidupan.
Menurut Muhammad 'Ali At-Tahanawi dalam kitabnya
Kisyaaf Ishthilaahaatal-Funun memberikan pengertian syari'ah
mencakup seluruh ajaran Islam,meliputi bidang aqidah, ibadah,
akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan).Syari'ah disebut juga
syara', millah dan diin.Hukum Islam berarti keseluruhan
ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati)
oleh seorang muslim. Dari definisi tersebut syariat meliputi:
 Ilmu Aqoid (keimanan)
 Ilmu Figih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan
Allah)
 Ilmu Akhlaq (kesusilaan)
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa
hukum Islamadalah syariat yang berarti hukum-hukum yang
diadakan olch Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang
Nabi, baik hukum yang berhubungan dengankepercayaan (agidah)
maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah
(perbuatan).

b) Tujuan Hukum Islam


Tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia
dan akhirat kelak dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan
mencegah ataumenolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi
hidup dan kehidupan.Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah
kemashalatan hidup manusia baikrohani, maupun jasmani individual
dan sosial. Kemashalatan (kebahagiaan hidup)itu tidak hanya untuk
kehidupan didunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yangkekal

17
diakhirat kelak, Merumuskan lima tujuan hukum Islam, yaitu
memelihara:
 Agama
 Jiwa
 Akal
 Keturunan
 Harta
Yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya.
Kelima tujuan hukum Islam itu didalam kepustakaan disebut al-
maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari'ah (tujuan-tujuan
hukum Islam).Tujuan hukum Islam tersebut bisa dilihat dari 2
segi:
 Dari segi pembuat hukum Islam itu tersendiri, yaitu Allah dan
Rasulnya.
 Dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum
Islam.

c) Macam-macam Hukum Islam


Menghukumi sesuatu tidak bisa dilakukan hanya dengan satu ayat
atau hadits saja.Demikian juga menetapkan hukum apakah itu wajib
ataukah haram. Bahkan, tidak semuaperintah atau larangan didalam Al-
Qur'an maupun Hadits hanya jatuh pada hukum
wajibdanharam,adakalanyadihukumisunnahatauhanyamakruh.Salah satu
faldah dalam mengetahui hukum in adalah berkaitan dengan dakwah
itusendiri, adakalanya harus bertindak tegas, ada kalanya harus bisa
bersikap tolerir, Faidahlainnya terkait dengan bagaimana menyikapi
sesuatu baru. Sesuatu yang baru, yang belumditetapkan hukumnya
maka harus kaji dahulu hukumnya, tidak seta merta dikatakanharam.
Didalam syarl'at, setidaknya ada 5 hukum syara yang disepakati oleh
JumhurUlama yakni:
Walib, kadang disebut Fardlu, Keduanya sinonim. Yakni sebuah
tuntutanyang pasti (thalab (azm) untuk mengerjakan perbutan, apabila
dikerjakanmendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka
berdosa (mendapatkansika). Contohnya, shalat fardlu, bila
mengerjakannya maka mendapatkan pahala,bila ditinggalkan akan

18
diadzab di neraka, demikian juga dengan kewaliban-kewajiban yang
lainnya. Wajib terbagi menjadi dua yakni : Pertama, wajib Ainly:
kewajiban bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang
apabilasudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak
mendapatkandosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah
(mengurus jenazah),menjawab salam dan sebagainya., Istilah Wajib
juga ada yang mensinonimkandengan Lazim. Sebagian ulama ada yang
membedakan antará Fardlu dan hanya pada beberapa permasalahan di
Bab Hal Ada juga yang antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah.
Menurut mereka, Fardlusesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syari
(maqthu' bib) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5
waktu, zakat, puasa, haji, iman kepadaAllah. Hukum Fardlu adalah
lazim (wajib) baik secara keyakinan maupunperbuatan sehingga apabila
mengingkari (secara keyakinan) pada salah satukefardluan itu maka
kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya,seperti
shaat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib
adalahkewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang
ditetapkan dengan dalilnamun mash ada kemungkinan ketidak pastian
(hasil ijtihad), hukumnya lazimsecara perbuatan saja, tidak secara
keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidaksampai kafir namun terjatuh
dalam syubhat. Sedangkan bila meninggalkannyamaka berdosa dengan
dosa yang kadarnya lebih sedikit daripada meninggalkanperbuatan yang
sifatnya Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlumaka
disiksa dineraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib,
tidakdisiksa di neraka, namun la terhalang dari syafa'at Nabi
Muhammad ShallallahuAlayhi wa Sallam. Jumbur ulama tidak
membedakan antara Fardlu dan Wajib,bahkan ada yang menyatakan
bahwa pembedaan seperti itu tidal tepat dan tidakberarti apa-apa,
Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Naf,
Hasan danMuragghab fih, Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran
mengerjakan yangsifatnya tidak Jazm (past), apabila dikerjakan
mendapat pahala, namun apabiladitinggalkan tidak berdosa. Sunna juga
terbagi menjadi 2, yaitu: Pertama,sunnah 'Ain : sesuatu yang
disunnahkan pada setiap orang (individu) yangmukallaf, seperti shalat-
shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayahsesuatu yang

19
disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah mengerjakannya,maka
yang lain gugur, seperti seseorang memulal salam ketika bersama
jama'ahdan lain sebagainya. Sehingga bila sudah adayang
mengerjakannya, maka hilang (gugur) tuntutan terhadap yang
lainnyanamun pahalanya bagi yang mengerjakan saja. Sebaglan ulama
seperti Malikiyahmembedakan antara istilah sunnah dan mandub.
Sunnah menurut mereka adalahsebuah tuntutan syara", bentuk
perintahnya sangat ditekankan, namun tidak adadalil yang
mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun
apabiladitinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hai raya.
Sedangkanmandub adalah sebuah tuntutan syara' yang tidak jazm (tidak
pasti), bentukperintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan
mendapat pahala, namunbila tidak dikerjakan tidak disilsa, contohnya
didalam Malikiyah adalah shalatsunnah 4 raka'at sebelum dzuhur.
Selain itu, sunnah dari sisi tuntutannya, terbagimenjadi 2 yakni : sunnah
Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan sunnahghairu Muakkad
(anjuran tidak terlalu ditekankan). Sedangkan menurutHanafiyah, ada
perbedaan terkait sunnah Muakkad. Menurut mereka, sunnahMuakkad,
bentuknya kewajiban yang sempurna, jika meninggalkannya makatetap
berdosa, namun dosanya lebih sedikit daripada meninggalkan
Fardlu(dibawah tingkatan Fardlu). Sedangkan sunnah ghalru Muakkad,
menurut merekaadalah sejajar dengan Mandub dan Mustahab.
Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak
mendapatkanpahala atau pun disiksa (sebuali pilihan antara
mengerjakan atau tidak). Misalnya,memilih menu makanan dan
sebagainya.
Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak Jazm)
untukmeninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang
sifatnya tidakpasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila
ditinggalkan akanmendapatkan pahala dan dipuji. Menurut sebagian
ulama, istilah Makruh ini adayang menyatakan dengan Khilaful Aula
(menyelisihi yang lebih utama),
Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu,
apabiladikerlakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa,
namun biladitinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum

20
khamr, berzina dan lain sebagainya, Istilah haram juga kadang
menggunakan Istllah Mahdzur(terlarang)., Makslat dan al-danb
(berdosa), Menurut Hanafiyah, Istilah Haramadalah antonim dari Pardlu
(mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Adajuga istilah makruh
Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuahistilah yang
lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib
danSunnah Mu'akkad. Sedangkan Istilah makruh Tanzih, tidak disilsa
bilamengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya.,
Istilah makruhTanzih menurut Hanafiyah adalah keballkan dari sunnah
ghairu Muakkad. Ulamajuga ada yang kadang menyatakan dengan
istilah Halal, itu adalah kebalikan dariHaram, namun mash ambigu,
yaltu bisa hukum wajib, hukum mandub danmakruh. Bila meninggalkan
perbuatan yang hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya
(mandub dan makrub) bila ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah
berdosa.
Hukum Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakteristik
yangmembedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain.
Karakteristiktersebut ada yang memang berasal darl watak hukum itu
sendiri dan ada pulayang berasal dari proses penerapan dalam lintasan
sejarah dalam menuju ridha Allah. Dalam hal ini, beberapa karakteristik
seperti hukum Islam bersifatsempurna, universal, kemanusiaan,
mengandung moral agama, dan dinamis akandijelaskan dalam bagian
ini, karena tapa dengan karaktertstik tersebut akan di pahami pula tujuan
dan manfaat dari hukum Islam itu sendiri.

d) Karakteristik Hukum Islam


Syarl'at itu akan selalu sesual dengan segala situasi dan kondisi
manusia, dimana dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok.
Hal ini didasarkan pada bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk
yang umum dan garis besar permasalahan, sehingga hukum-hukumnya
bersifat tetap meskipun zaman dan tempt selalu berubah. Penetapan
hukum yang bersifat global oleh al-Qur'an tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kebabasan kepada umat manusia untuk melakukan itihad
sesual dengan situasi dan kondisi rung dan waktu. Syari'at Islam
meliputi seluruh alam tapa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa, dan

21
bahasa. Universal ini pula tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak
hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-VIl saja, misalnya), tetapi
untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi
yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan la akan senantiasa
cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama atau pun
modern, seperti halnya la dapat melayani
para ahll aq/ dan ahl naql, ahl al-ra'y atau ahl al-hadits.

2.5. Ragam Hukuman Islam Hadapi Kejahatan


Tindak pidana adalah perbuatan terlarang yang dijatuhi hukuman.
Akan tetapi tindak pidana itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa
bagian.

a. Berat ringannya hukuman


Berdasarkan berat ringannya hulumad, kukum pidana Islam
mengenal tiga macam golongan kesalahan. Pertama tindak pidana
hudud, yang sering diartikan sebagai hukum atau ketetapan Allah
SWT. Orang yang melakukan tindak pidana ini akan dikenai
hukuman sesuai dengan yang telah ditetapkan SWT, tidak bisa
ditambah atau dikurangi.

Hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana


hudud merupakan hak Than yang tidak bisa dihapuskan, baik oleh
perseorangan yang menjadi korban tindak pidana itu sendiri maupun
oleh masyarakat yang diwakili lembaga negara.

Dalam hukum Islam dikenal tujuh macam tindak pidana hudud,


yaitu: zina, gazaf (menuduh orang berbuat zina), meminum minuman
keras, mencuri, hirabah (orang yang memerangi Allah dan Rasul-
Nya), murtad, dan orang yang memberontak terhadap penguasa yang
sah.

Kedua, tindak pidana klsas dan diat (santi rugi), Tindakan


pidana ini berkenaan dengan kejahatan terhadap orang, seperti
membunuh dan menganlaya. Bagi pelaku tindak pidana ini akan

22
dikenai hukuman kisas atau diat dari individu yang menjadi korban.
Kadar jumlah hukuman yang diberikan ditentukan oleh sang korban,
namun tidak memiliki aturan batasan minimal ataupun maksimal.

Adapun tindak pidana kisas dan diat ini terbagi dalam lima
macam, yakni: pembunuhan yang disengaja, pembunuhan yang
menyerupai disengaja, pembunuhan tersalah, penganiayaan yang
disengaja, dan penganiayaan yang tersalah. Penganiayaan yang
dimaksud di sin adalah perbuatan yang tidak sampai menghilangkan
jiwa sang korban, seperti pemukulan dan pelukaan.

Ketiga, tindak pidana takzir. Berupa kejahatan yang tidak


termasuk dalam hudud karena bentuk hukumannya diserahkan
kepada kebijakan hakim. Istilah takzir ini bermakna memberikan
pendidikan (pendisiplinan). Maksudnya adalah memberikan
hukuman yang bertujuan mengoreksi atau merehabilitasi pelaku
kejahatan.

Hukum Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk


tiap-tiap tindak pidana takzir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan
hukuman, dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam
hal int, halim dibéri kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman
yang sesual dengan macam cindal pidana takir serta keadaan si
pelaku. Singkatnya, huluman-hukuman cindal pidana takzir tidak
mempunyal batasan tertentu.

Jenis tindak pidana takzir tidak ditentukan banyaknya, seperti


halnya tindak pidana hudud dan kisas yang sudah ditentukan jumlah
dan jenisnya. Hukum Islam sendiri hanya menentukan sebaglan
tindak pidana takair, seperti riba, mengkhlanati Janjl, memaki orang,
dan menyuap.

Adapun sebagian bear darl tindak pidana takzir diserahkan


kepada penguasa untuk menentukannya, Meski demikian, hukum
Islam tidak memberikan wewenang kepada penguasa untuk dapat

23
menentukan tindak pidana dengan sekehendak hati, tetap/ harus
sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan
dengan ketentuan seta prinsip-prinsip umum hukum Islam.

b. Berdasarkan niat pelaku


Dillhat dari niat pelakunya, tindak pidana terbagi menjadi tindak
pidana disengaja (doleus delicten) dan tidak disengaja (culpose
delicten). Dalam tindak pidana disengaja, si pelaku dengan sengala
melakukan perbuatannya serta mengetahul bahwa perbuatannya
tersebut dilarang, Sedang, dalam tindak pidana tidak disengaja, si
pelaku sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang, tetapi
perbuatannya tersebut terjadi akibat kekeliruannya.

Tindak pidana disengaja menunjukkan adanya kesengajaan


untuk berbuat tindak pidana dari si pelaku. Sedangkan pada tindak
pidana tidak disengaja, kecenderungan untuk berbuat salah tidak ada.
Itulah sebabnya, hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak
pidana disengaja lebih berat dari pelaku tindak pidana tidak
disengaja.

c. Berdasarkan waktu terungkapnya


Ada dua jenis tindakan pidana berdasarkan waktu terungkapnya,
yaitu tindakan pidana yang tertangkap basah dan tindakan pidana
yang tidak tertangkap basah. Tindak pidana yang tertangkap basah
yaitu tindak pidana yang terungkap pada saat tindak pidana itu
dilakukan atau beberapa sat setelah tindak pidana tersebut dilakukan.
Sedangkan tindak pidana yang tidak tertangkap basah yaitu tindak
pidana yang tidak terungkap pada saat tindak pidana tersebut
dilakukan atau terungkapnya tindak pidana tersebut dalam waktu
yang lama.

Menurut para fukaha (ahli fikih), tertangkap basal adalah


terungkapnya pelaku tindak pidana pada waktu tindak pidana itu
dilakukan. Dalam hokum Islam, tak ada larangan untuk menganggap

24
adanya keadaan tertangkap basah. Hal ini karena tujuannya untuk
mempermudah proses penyelidikan kebenaran.

d. Berdasarkan cara melakukannya


Berdasarkan cara melakukannya, tindak pidana terbagi menjadi
ciga kelompok, Pertama, tindak pidana positif dan tindak pidana
negatif. Pembaglan kelompok pertama in didasarkan atas tinjauan
apakah tindak pidana yang diperbuat itu ter|adi berupa perbuatan
nyata ataukah dengan sikap tidak berbuat, atau apakah perbuatan itu
diperintahkan ataukah dilarang.

Tindak pidana positif terjadi karena melakukan suatu perbuatan


yang dilarang, seperti mencuri, zina, dan pemukulan. Sedang, tindak
pidana negative terjadi karena tidak melakukan suatu perbuatan yang
diperintahkan, seperti seseorang yang tidak mau memberikan
kesaksiaan atau tidak mau mengeluarkan zakat.

Kedua, tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.


Tindak pidana tunggal yaitu tindak pidana yang dilakukan dengan
satu perbuatan, seperti pencurian, meminum minuman keras, baik
tindak pidana in terjadi seketika maupun yang dilakukan secara terus
menerus. Tindak pidana hudud, kisas, dan diat termasuk ke dalam
kategori tindak pidana tunggal.

Sedangkan tindak pidana berangkal yaitu perbuatan yang


dilalukan berulang-ulang (berangkai), Perbuatan itu sendiri tidak
termasuk ke dalam kategori tindak pidana, tetapi berulang-ulangnya
perbuatan itulah yang menjadikannya sebagai tindakan pidana.
Bentuk tindak pidana seperti ini banyak terdapat dalam tindak pidana
takzir, di mana petunjuknya diperoleh dari ketentuan yang
mengharamkan perbuatan tersebut.

25
Ketiga, tindak pidana terjadi seketika (temporal) dan tindak
pidana terjadi dalam waktu lama (nontemporal). Para fukaha tidak
pernah membahas tentang tindak pidana yang terjadi seketika dan
yang terjadi dalam waktu yang lama (secara terus-menerus).
Alasannya, para fukaha hanya terfokus pada jenis tindak pidana:
tindak pidana hudud, kisas, dan diat.

Ketiga Jens tindak pidana ini sudah tetap, di mana tindakan-


tindakan yang mengakibatkan hukuman tersebut tidak akan
mengalami perubahan. Demikian pula dengan hukuman yang telah
ditentukan tidak akan berubah. Hudud, kisas dan diat adalah bentuk
tindak pidana temporal. Tidak satupun yang tergolong tindak pidana
nontemporal.

Sementara tindak pidana takzir, di kalangan fukaha ada yang


menganggapnya sebagai tindak pidana temporal dan ada juga yang
menganggapnya tindak pidana nontemporal. Walaupun demikian,
para fukaha mengabaikan masalah ini karena lembaga legislatif telah
di beri wewenang seluas-luasnya dalam memutuskan perkara
tersebut.

e. Berdasarkan karakter khususnya


Berdasarkan karakter khususnya, tindak pidana terbagi menjadi:
tindak pidana yang menganggu masyarakat umum, tindak pidana
yang menganggu individu, tindak pidana biasa, dan tindak pidana
politilk.

Tindak pidana masyarakat adalah suatu tindak pidana yang


hukumannya dijatuhkan demi menjaga kepentingan (kemaslahatan)
masyarakat, baik tindak pidana tersebut mengenai individu,
masyarakat, maupun mengancam keamana dan sistem masyarakat,
Para fukaha berpendapat bahwa penjatuhan hukuman atas tindak
pidana jenis ini menjadi hak Allah. Maksudnya, terhadap hukuman
tersebut tidak ada pengampunan, peringanan, atau penundaan
eksekusinya.

26
Tindak pidana perseorangan adalah suatu tindak pidana yang
hukumannya dijatuhkan untuk memelihara kemaslahatan individu.
Meskipun demikian, sesuatu yang menyentuh kemaslahatan Individu
otomatis menyentuh kemaslahatan masyarakat, Contohnya, tindak
pidana pencurian dan gazaf
(menuduh orang lain berbuat zina).

Sejak awal, syarlah membedakan antra tindak pidana blasa dan


tindak pidana politik, Menurut hukum Islam, pemisahan ini untuk
menjaga kemaslahatan dan keamanan masyarakat seta memelihara
sistem dan eksistensi mereka. Karena itu, tidak semua tindak pidana
yang diperbuat untuk tujuan politik disebut tindak pidana politik
meskipun sebagian tindak pidana blasa yang diperbuat dalam kondisi
politis tertentu disebut tindak pidana politik.

Tidak ada perbedaan antara tindak pidana blasa dan tindak


pidana politik dari aspek karakteristiknya. Keduanya sama dalam hal
macam dan cara melakukannya. Hanya saja yang membedakan
antara satu dan yang lain terletak pada motifnya. Tindak pidana
politik dilakukan dengan niat untuk mewujudkan tujuan-tu|uan politis
atau yang memotivasinya adalah motivasi politis. Adapun tindak
pidana biasa memiliki motivasi yang biasa. Tetapi, tidak menutup
kemungkinan beralih menjadi motivasi politis. Artinya, tindak pidana
biasa terkadang terkontaminasi ole tindak pidana politik

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan demikian penyusun dapat menyimpulkan bahwa
hubungan Islam dan PolitikItu sangat berkaitan karena telah dijelaskán
tentang aturan dan cara-cara dalamberpolitik yang sesual tuntunan Al
Quran dan Hadits, Oleh arena itu sistem politik Islamyang melihat
dokumen-dokumen dart Al-Qur"an in memuat prinsip prinsip
politikberupa keadilan, musyawarah, toleransi, hak-hak dan kewajiban,
amar ma'ruf dan nahimungkar, kejujuran, dan penegakan hukum.
Oleh karena Itu, pada baglan akhir makalah ini dapat dikatakan
baha hulum Islam di Indonesia telah mengalami perkembangan yang
dinamis dan berkesinambungan, baikItu melalui saluran Infrastruktur
politik maupun suprastruktur seiring dengan realitas,tuntutan dan
dukungan, serta kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam ke
dalamsistem hukum Nasional. Bukti sejarah produk hukum Islam sejak
masa penjajahan hinggamasa kemerdekaan dan masa reformasi
merupakan fakta yang tidak pernah dapatdigugat kebenarannya. Semoga
hukum Islam tetap eksis beriringan dengan tegaknya Islam Itu sendiri.

3.2. Saran
Dengan uralan di atas kita dapat menyadari bahwa apapun yang
berkalan denganIslam, politik, dan Hukum yang di gunakan disetiap
Negara akan percuma kalau tidakdidasari dengan kesadaran man dan
Taqwa kepada Allah oleh setlap pemimpin danrakyatnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abudin. Akhlak tasawuf dan Karakter Mulia. (Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama, 2012
Abdul Wahab Khallaf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo, 1996)
Zainuddin, Muhadi dan Abdul Mustaqim. Studi Kepemimpinan Islam:
Telaah Normatif dan Historis. Yogyakarta: al-Muhsin Press, 2001.
Rahman, Taufiq. Moralitas Pemimpin dalam Perspektif Alquran. Bandung:
Pustaka Setia, 1999
AbdulMuinSalim,Fiqh SiyasahKonsepsiKekuasaan PolitikdalamAl-Qur'an
Jakarta:RajaGrafindoPersada,2002.
Muslehuddin,Muhammad, 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran
Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Penerjemah Yudian
Wahyudi Asmin, Tiara Wacana, Yogyakarta
Ali, Zainudin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006).
Anshori, Abdul Ghafur, Hukum Islam; Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008)

29

Anda mungkin juga menyukai