DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
FAKULTAS HUKUM
UNIVERITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi penugasan yang
diberikan dalam mata kuliah “Hukum Perdata Islam” di Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan arahan kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini.
Makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Hukum sebagai sebuah sistem merupakan tatanan, di mana hukum merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau subsistem yang saling berkaitan erat
satu sama lain. Di Indonesia, sistem hukum nasional dibentuk dari tiga subsitem/unsur yakni
hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat.
Sensus Penduduk Tahun 2010 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik
menunjukkan bahwa pemeluk agama Islam menduduki persentase terbesar masyarakat
Indonesia, yaitu sejumlah 207.176.162 dari 237.641.326 jiwa atau sebesar 87,18%.1
Implikasi logis dari hal ini adalah dianutnya aspek keislaman secara luas dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk pula dalam bidang hukum.
Kedudukan hukum Islam sebagai salah satu subsistem hukum nasional tidak dapat
dilepaskan dari ruang lingkup hukum Islam itu sendiri dan faktor historis. Salah satu lingkup
dalam hukum Islam adalah muamalah antara manusia dengan sesama manusia, yang di
dalamnya termasuk hukum perdata Islam.
2. Rumusan masalah
1
Badan Pusat Statistik, https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 diakses 2 September 2019.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir
bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah
(perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah2.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-
kerajaan Islam nusantara. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum
penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.
Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar terhadap
Indonesia, yaitu Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda, dengan tahap-tahap kebijakkan strategiknya yaitu:
Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]),
teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam
maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah
hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.
2
Amran Suadi, dan Mardi Candra. Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam Serta Ekonomi
Syariah. Jakarta: Kencana, 2018, hlm. 14.
2
c. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan
beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh
Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari
pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan
peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar
teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya
bertentangan dengan UUD 1945.
Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul.
Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang
menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum
Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat
Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut
DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan
pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan.
Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum
Perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal, walaupun
didapat dengan perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny coba
diskrisipsikan secara kronologis berikut ini :
3
itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU
ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi
pemeluk agama lainnya.
b) Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam
diseluruh Indonesia. Dengan unifikasi hukum acara PA ini maka memudahkan
terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.
4
perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum
Perwakafan (BUKU III).
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas
sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto
menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya
KHI tersebut.
Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan
wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku
adalah hukum Islam.
Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi
kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik
umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya
tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat
Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif. Diantara produk hukum yang positif
di era reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata
Islam) ini antara lain adalah:
Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal
1 ayat 3, selain itu, Indonesia adalah Negara yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 29 ayat I) dan dalam Idiologi Indonesia (Pancasila) juga termaktub Ketuhanan
Yang Maha Esa, hal inilah yang kemudian menjadi dasar kekuatan Hukum Perdata Islam di
Indonesia dalam Ketatanegaraan Indonesia, yang kemudian dijabarkan melalui UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, UU No.
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan beberapa lnstruksi Pemerintah serta Peraturan Pemerintah
terkait dengan Implementasi Hukum Perdata Islam di Indonesia.
5
Apabila kekuatan Hukum Perdata Islam di Indonesia dianalisis, perlu diungkapkan
produk pemikiran Hukum Islam dalam sejarah perilaku umat Islam dalam melaksanakan
Hukum Islam di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu3 :
a. Syari'ah
Hukum Islam dalam pengertian syari'ah (Islamic Law) merupakan norma hukum
dasar yang ditetapkan Allah SWT, yang wajib diikuti oleh umat Islam berdasarkan iman,
karena syari'ah memuat ketetapan-ketetapan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa larangan
maupun berupa suruhan yang di dalamnya menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia, baik yang berhubungan dengan manusia dengan Tuhan-Nya, manusia dengan
manusia, maupun manusia dengan lingkungan kehiduparmya. Norma Hukum dasar ini
dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya.
Karena itu, syari'ah terdapat di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul (Hadits-Hadits Nabi).
b. Fiqh
Hukum Islam dalam pengertian Fiqh (Islamic Jurisprudence) adalah Hukum Islam
yang berdasarkan pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, nash Al-Qur'an
dan/atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Atau dengan kata lain, suatu usaha seseorang untuk
memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dalam
pengertian Fiqh, Hukum Islam sudah diamalkan oleh umat Islam Indonesia sejak orang
Indonesia memeluk agama Islam. Sehingga dalam perumusan sebuah Hukum Islam di
Indonesia dengan mengambil berbagai literatur Fiqh.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah puncak pemikiran Fiqh di Indonesia, hal ini
didasari oleh keterlibatan para Ulama, Cendikiawan, Tokoh Masyarakat (tokoh agama dan
tokoh adat) dalam menentukan Hukum Islam, yang di dalamnya memuat hal perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, dan wakaf. KHI yang kemudian dilegal formalkan dengan Inpres
No. I Tahun 1991 dan ditindak lanjuti dengan Kepmenag. No. 154 Tahun 1991 dan
disebarluaskan melalui surat edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama
No.3694/EV /HK.003/ AZ/91. KHI sebagai Jjma' Ulama Indonesia diakui keberadaannya
dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam Indonesia dalam menjawab setiap
persoalan hukum yang muncul.
3
Zainudin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 4.
6
c. Fatwa
Hukum Islam yang berbentuk fatwa adalah Hukum Islam yang dijadikan jawaban
oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya. fatwa
bersifat kasuistik dan tidak mempunyai daya ikat secara yuridis formal terhadap peminta
fatwa, hal ini karena Fatwa pada umumnya bersifat dinamis terhadap perkembangan baru
yang dihadapi oleh umat Islam.
Fatwa biasanya dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal
tersebut, seperti, MUI (Majlis Ulama Indonesia), badan Peradilan Agama serta lembaga-
lembaga lain yang diberi wewenang untuk mengeluarkan fatwa.
Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama adalah keputusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya permohonan, penetapan atau gugatan yang
diajukan oleh seseorang atau lebih dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud,
bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Selain itu, putusan Pengadilan Agama dapat
bernilai sebagai yurisprudensi, yang dalam kasus-kasus tertentu dapat dijadikan oleh Hakim
sebagai referensi hukum.
e. Perundang-undangan di Indonesia
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, sumber adalah asal sesuatu. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau
menggali hukumnya. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam.
7
Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam
atau dasar hukum Islam4.
Sumber- sumber hukum Islam ada 3 yaitu Al-Quran sebagai sumber yang pertama
dan utama, hadits atau Sunnah Rasul, dan Ijtihad dengan berbagai metodenya.
a. Al-Quran
Al-Quran ialah wahyu Allah SWT. yang merupakan mu'jizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk
Islam. Pokok-pokok isi Al-Quran ada lima5:
3) Janji dan ancaman ; Al-Quran menjanjikan pahala bagi orang yang mau menerima dan
mengamalkan isi Al-Quran dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.
4) Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat.
5) Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang yang shaleh
seperti Nabi-nabi dan Rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah
dan hukum- hukumNya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi
orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlaq.
b. Sunnah
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sunnah menurut
istilah ialah perkataan Nabi Muhammad SAW., perbuatannya dan keterangannya yaitu
sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh Nabi, tidak
ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tidak terlarang hukumnya. Sunnah dibagi
menjadi tiga, yaitu: Sunnah Qauliyah, Sunnah Fi’liyah, Sunnah Taqririyah.
1) Sunnah Qauliyah
4
Siska Lis Sulistiani. “Perbandingan Sumber Hukum Islam”. Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1
No.1, https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/tahkim/article/download/3174/2137. 2 September 2019.
5
Wati Rahmi Ria. Hukum Perdata Islam: Suatu Pengantar. Lampung: Aura, 2018, hlm. 18.
8
menganjurkan akhlak yang mulia. Sunnah qauliyah (ucapan) ini dinamakan juga Hadist Nabi
SAW.
2) Sunnah Fi’liyah
3) Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah yaitu bila Nabi SAW mendengar sahabat mengatakan sesuatu
perkataan atau melihat mereka melakukan suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh
Nabi SAW dan tidak ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamakan Sunnah
ketetapan Nabi (taqrir).
c. Ijtihad
1) Ijma
Ijma menurut bahasa, artinya : “sepakat setuju atau sependapat”, sedang menurut
istilah ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muhammad sesudah wafatnya
9
beliau pada suatu masa tentang suatu perkara (hukum). Ijma’ itu menjadi hujah (pegangan)
dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al- Quran dan Al-
Hadist. Dan tidak menjadi ijma' kecuali telah disepakati oleh segala Ulama Islam, dan
selama tidak menyalahi nash yang qath'i (Kitabullah dan hadist mutawatir).
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujahan ijma ialah dzanni, bukan
qath'i. Oleh karena nilai ijma' itu dzanni, maka ijma' itu dapat dijadikan hujjah
(pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan i’tiqad, sebab urusan i’tiqad
itu mesti dengan dalil yang qath’i. Dasar hukum dijadikannya ijma sebagai sumber
hukum Islam adalah QS An Nisa: 59.
Ijma tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran yang kuat, sebab ijma itu
bukan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran ijma adakalanya dalil yang qath’i, yaitu Qur’an
dan hadist mutawatir, dan adakalanya berupa dalil dzanni yaitu hadist ahad dan qiyas. Jika
sandaran ijma hadist ahad, maka hadist ahad ini bertambah nilai kekuatannya. Ijma dibagi
menjadi:
a) Ijma qauli (ucapan), yaitu ijma dimana para Ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik
dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid
lain dimasanya. Ijma ini disebut juga ijma qath’i.
b) Ijma sukuti (diam), ialah ijma dimana para Ulama ijtihad berdiam diri tiada
mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau
malu. Ijma ini disebut juga ijma dzanni.
2) Qiyas
3) Istihsan
Istihsan secara etimologi berarti menganggap baik sesuatu. Atau mengira sesuatu itu
baik. Arti lain dari istihsanadalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih
10
baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu. Dari pengertian secara etimologi
tersebut, maka tergambar adanyaseseorang yang telah menghadapi dua hal yang keduanya
baik, akan tetapi ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan
menetapkan untuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.
4) Maslahah Murshalah
Kata maslahah menurut bahasa berarti manfaat, dan kata mursalah berarti lepas.
Gabungan dari dua kata tersebut yaitu masalhah mursalah menurut istilah, seperti
dikemukakan Abdul-Wahab Khallaf, berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun
tidak ada ketegasan hukum untuk merealisirnya dan tidak pula ada dalil yang mendukung
maupun yang menolaknya, sehingga oleh karena itu disebut maslahah mursalah
(maslahah yang lepas dari dalil secara khusus).
Maslahah Murshalah adalah salah satu tindakan yang memutuskan pada masalah yang
tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan terhadap hidup manusia berdasarkan
prinsip atau manfaat dan menghindari dari kemudharatan.
5) Sududz Dzariah
Sududz Dzariah adalah salah satu tindakan yang memutuskan suatu yang mubah
menjadi yang makruh atau bisa juga masuk yang haram demi kepentingan sesama umat.
Sududz Dzariah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzari’ah. Saddu merupakan salah
satu penghalang sumbatan sedangkan dzari’ah adalah menghambat atau menyambut pada
semua jalan untuk menuju kepada kerusakan atau maksiat.
6) Istishab
Istishab adalah salah satu tindakan yang menetapkan pada suatu alasan yang bisa
mengubah. Misalkan jika ada pertanyaan seperti ini, bolehkah seorang wanita yang menikah
lagi apabila untuk bersangkutan dan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas
kabarnya?
Maka dalam hal tersebut yang berlaku merupakan keadaan semula bahwa wanita
tersebut statusnya adalah istri seorang sehingga tidak akan boleh menikah lagi kecuali sudah
jelas kematian suaminya atau sangat jelas perceraian nya.
11
7) ‘Urf
Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat. Secara terminologi Usul Fikih, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan,
istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Istilah urf dalam pengertian tersebut sama dengan perngertian istilah al-adah (adat istiadat)..
Para ulama sepakat menolak urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk
dijadikan landasan hukum.
12
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan rumusan masalah pada bab sebelumnya, penulis dapat mengambil
kesimpulan:
a. Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masuknya ajaran
Islam ke Indonesia sejak zaman kerajaan Islam di Nusantara. Hukum perdata Islam di
Indonesia telah mengalami dinamika sejak zaman kerajaan Islam Nusantara, zaman
penjajahan, era kemerdekaan, orde baru, hingga reformasi.
b. Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 1
ayat 3. Selain itu, Indonesia adalah Negara yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 29 ayat I) dan dalam Idiologi Indonesia (Pancasila) juga termaktub Ketuhanan
Yang Maha Esa, hal inilah yang kemudian menjadi dasar kekuatan Hukum Perdata Islam
di Indonesia dalam Ketatanegaraan Indonesia.
c. Sumber- sumber hukum Islam ada 3 yaitu Al-Quran sebagai sumber yang pertama dan
utama, hadits atau Sunnah Rasul, dan Ijtihad dengan berbagai metodenya.
2. Saran
Pada saat ini masih banyak masyarakat yang awam terhadap pengaturan-pengaturan
hubungan dalam masyarakat yang bernafaskan nilai-nilai ajaran agama Islam. Pemahaman
terhadap aturan-aturan tersebut amat penting mengingat Indonesia merupakan negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia, selain itu, hukum Islam juga merupakan subsistem
dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar pemerintah, praktisi,
dan pendidik di bidang hukum lebih menggiatkan edukasi hukum islam, khususnya hukum
perdata islam kepada masyarakat.
13
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Suadi, Amran, dan Mardi Candra. Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana
Islam Serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2018.
Ria, Wati Rahmi. Hukum Perdata Islam: Suatu Pengantar. Lampung: Aura, 2018.
Jurnal Online
Sulistiani, Siska Lis. “Perbandingan Sumber Hukum Islam”. Tahkim, Jurnal Peradaban dan
Hukum Islam. Vol.1 No.1. Https://ejournal. unisba.ac.id/index.php/
tahkim/article/download/ 3174/2137. Diakses 2 September 2019.
14