Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM


(SEJARAH, KEKUATAN BERLAKU, DAN SUMBER HUKUM)

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I

1. Jaka Yudha Asmara 201710115187


2. Faisal Hasani Alie 201810115038

Untuk Memenuhi Penugasan Dalam Mata Kuliah


Hukum Perdata Islam
Dosen Pengampu:
Rabiah S.Ag., M.Si

FAKULTAS HUKUM
UNIVERITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi penugasan yang
diberikan dalam mata kuliah “Hukum Perdata Islam” di Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan arahan kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini.

Makalah ini masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Bekasi, September 2019


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …................................................................................................ i


DAFTAR ISI ………………………………………………….……………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia……………………...….…..….……... 2
2. Kekuatan Hukum Perdata Islam di Indonesia.…………………………………….. 5
3. Sumber Hukum Perdata Islam..……………...……………………………...……... 7
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan ………………………………………………………….…………..… 13
2. Saran ……………………………………………………………………….…….... 13
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….……… 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Hukum sebagai sebuah sistem merupakan tatanan, di mana hukum merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau subsistem yang saling berkaitan erat
satu sama lain. Di Indonesia, sistem hukum nasional dibentuk dari tiga subsitem/unsur yakni
hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat.

Sensus Penduduk Tahun 2010 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik
menunjukkan bahwa pemeluk agama Islam menduduki persentase terbesar masyarakat
Indonesia, yaitu sejumlah 207.176.162 dari 237.641.326 jiwa atau sebesar 87,18%.1
Implikasi logis dari hal ini adalah dianutnya aspek keislaman secara luas dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk pula dalam bidang hukum.

Kedudukan hukum Islam sebagai salah satu subsistem hukum nasional tidak dapat
dilepaskan dari ruang lingkup hukum Islam itu sendiri dan faktor historis. Salah satu lingkup
dalam hukum Islam adalah muamalah antara manusia dengan sesama manusia, yang di
dalamnya termasuk hukum perdata Islam.

2. Rumusan masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis membatasi pembahasan untuk menjawab


pertanyaan:

a. Bagaimana sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia?

b. Bagaimana kekuatan Hukum Perdata Islam di Indonesia

c. Apa saja sumber-sumber hukum Perdata Islam?

1
Badan Pusat Statistik, https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 diakses 2 September 2019.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia

a. Hukum Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara

Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir
bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah
(perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah2.

Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-
kerajaan Islam nusantara. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum
penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.

b. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat


diklasifikasi kedalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC
yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya
intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.

Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar terhadap
Indonesia, yaitu Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda, dengan tahap-tahap kebijakkan strategiknya yaitu:

Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]),
teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam
maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah
hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.

Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van


Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima
memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi dari teori ini
mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan
institusi lainnya. di nusantara.

2
Amran Suadi, dan Mardi Candra. Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam Serta Ekonomi
Syariah. Jakarta: Kencana, 2018, hlm. 14.

2
c. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang

Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan
beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh
Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.

Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di


Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di
indonesia tidak begitu signifikan.

d. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan

Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari
pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan
peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar
teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya
bertentangan dengan UUD 1945.

Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul.
Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang
menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.

e. Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru

Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum
Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat
Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut
DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan
pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan.

Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum
Perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal, walaupun
didapat dengan perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny coba
diskrisipsikan secara kronologis berikut ini :

1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh


pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan

3
itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU
ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi
pemeluk agama lainnya.

Dengan UU No. 1 tahun 1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum


Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan bahwa Pengadilan Agama berlaku
bagi mereka yang beragama Islam.

2) Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan


mendasar dalam lingkungan PA, diantaranya:

a) PA telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan


sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

b) Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam
diseluruh Indonesia. Dengan unifikasi hukum acara PA ini maka memudahkan
terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.

c) Terlaksananya ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.

d) Terlaksanya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab


Bhineka Tunggal ika dalam UU PA.

3) Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)

Seperti diuraikan di atas bahwa sejak masa kerajaan-kerajan Islam di nusantara,


hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan
tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan
dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi.

Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-


kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa
apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya
dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden


Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua
Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek kompilasi hukum
islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum

4
perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum
Perwakafan (BUKU III).

Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas
sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto
menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya
KHI tersebut.

Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan
wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku
adalah hukum Islam.

f. Hukum Islam Pada Masa Reformasi

Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi
kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik
umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya
tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat
Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif. Diantara produk hukum yang positif
di era reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata
Islam) ini antara lain adalah:

1) Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

2) Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

3) UU tentang Perbankan Syariah

4) UU Tentang Pengelolaan Haji

2. Kekuatan Hukum Perdata Islam di Indonesia

Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal
1 ayat 3, selain itu, Indonesia adalah Negara yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 29 ayat I) dan dalam Idiologi Indonesia (Pancasila) juga termaktub Ketuhanan
Yang Maha Esa, hal inilah yang kemudian menjadi dasar kekuatan Hukum Perdata Islam di
Indonesia dalam Ketatanegaraan Indonesia, yang kemudian dijabarkan melalui UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, UU No.
41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan beberapa lnstruksi Pemerintah serta Peraturan Pemerintah
terkait dengan Implementasi Hukum Perdata Islam di Indonesia.

5
Apabila kekuatan Hukum Perdata Islam di Indonesia dianalisis, perlu diungkapkan
produk pemikiran Hukum Islam dalam sejarah perilaku umat Islam dalam melaksanakan
Hukum Islam di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu3 :

a. Syari'ah

Hukum Islam dalam pengertian syari'ah (Islamic Law) merupakan norma hukum
dasar yang ditetapkan Allah SWT, yang wajib diikuti oleh umat Islam berdasarkan iman,
karena syari'ah memuat ketetapan-ketetapan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa larangan
maupun berupa suruhan yang di dalamnya menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan
manusia, baik yang berhubungan dengan manusia dengan Tuhan-Nya, manusia dengan
manusia, maupun manusia dengan lingkungan kehiduparmya. Norma Hukum dasar ini
dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya.
Karena itu, syari'ah terdapat di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul (Hadits-Hadits Nabi).

b. Fiqh

Hukum Islam dalam pengertian Fiqh (Islamic Jurisprudence) adalah Hukum Islam
yang berdasarkan pemahaman yang diperoleh seseorang dari suatu dalil, ayat, nash Al-Qur'an
dan/atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Atau dengan kata lain, suatu usaha seseorang untuk
memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dalam
pengertian Fiqh, Hukum Islam sudah diamalkan oleh umat Islam Indonesia sejak orang
Indonesia memeluk agama Islam. Sehingga dalam perumusan sebuah Hukum Islam di
Indonesia dengan mengambil berbagai literatur Fiqh.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah puncak pemikiran Fiqh di Indonesia, hal ini
didasari oleh keterlibatan para Ulama, Cendikiawan, Tokoh Masyarakat (tokoh agama dan
tokoh adat) dalam menentukan Hukum Islam, yang di dalamnya memuat hal perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, dan wakaf. KHI yang kemudian dilegal formalkan dengan Inpres
No. I Tahun 1991 dan ditindak lanjuti dengan Kepmenag. No. 154 Tahun 1991 dan
disebarluaskan melalui surat edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan agama
No.3694/EV /HK.003/ AZ/91. KHI sebagai Jjma' Ulama Indonesia diakui keberadaannya
dan diharapkan dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam Indonesia dalam menjawab setiap
persoalan hukum yang muncul.

3
Zainudin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 4.

6
c. Fatwa

Hukum Islam yang berbentuk fatwa adalah Hukum Islam yang dijadikan jawaban
oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya. fatwa
bersifat kasuistik dan tidak mempunyai daya ikat secara yuridis formal terhadap peminta
fatwa, hal ini karena Fatwa pada umumnya bersifat dinamis terhadap perkembangan baru
yang dihadapi oleh umat Islam.

Fatwa biasanya dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal
tersebut, seperti, MUI (Majlis Ulama Indonesia), badan Peradilan Agama serta lembaga-
lembaga lain yang diberi wewenang untuk mengeluarkan fatwa.

d. Keputusan Pengadilan Agama

Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama adalah keputusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya permohonan, penetapan atau gugatan yang
diajukan oleh seseorang atau lebih dan/atau lembaga kepadanya. Keputusan dimaksud,
bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara. Selain itu, putusan Pengadilan Agama dapat
bernilai sebagai yurisprudensi, yang dalam kasus-kasus tertentu dapat dijadikan oleh Hakim
sebagai referensi hukum.

e. Perundang-undangan di Indonesia

Hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia adalah Hukum Islam yang


bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan bahkan daya ikatnya lebih luas. Oleh karena
asas hukum di Indonesia adalah legalitas, makanya kemudian banyak hukum-hukum Islam
yang dijadikan sebuah undang-undang seperti, UU No. 1 Tahun 1991 tentang Perkawinan,
UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, semuanya memuat Hukum Islam dan mengikat
kepada setiap warga Negara Republik Indonesia.

3. Sumber Hukum Perdata Islam

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, sumber adalah asal sesuatu. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau
menggali hukumnya. Sumber hukum Islam adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam.

7
Sumber hukum Islam disebut juga dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam
atau dasar hukum Islam4.

Sumber- sumber hukum Islam ada 3 yaitu Al-Quran sebagai sumber yang pertama
dan utama, hadits atau Sunnah Rasul, dan Ijtihad dengan berbagai metodenya.

a. Al-Quran

Al-Quran ialah wahyu Allah SWT. yang merupakan mu'jizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk
Islam. Pokok-pokok isi Al-Quran ada lima5:

1) Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitabNya, para


RasulNya, hari kemudian, Qadla dan Qadar yang baik dan buruk.

2) Tuntunan ibadat sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid.

3) Janji dan ancaman ; Al-Quran menjanjikan pahala bagi orang yang mau menerima dan
mengamalkan isi Al-Quran dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.

4) Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat.

5) Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang yang shaleh
seperti Nabi-nabi dan Rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah
dan hukum- hukumNya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi
orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlaq.

b. Sunnah

Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sunnah menurut
istilah ialah perkataan Nabi Muhammad SAW., perbuatannya dan keterangannya yaitu
sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh Nabi, tidak
ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tidak terlarang hukumnya. Sunnah dibagi
menjadi tiga, yaitu: Sunnah Qauliyah, Sunnah Fi’liyah, Sunnah Taqririyah.

1) Sunnah Qauliyah

Sunnah Qauliyah yaitu perkataan Nabi SAW. yang menerangkan hukum-hukum


agama dan maksud isi Al-Quran serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga

4
Siska Lis Sulistiani. “Perbandingan Sumber Hukum Islam”. Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam. Vol.1
No.1, https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/tahkim/article/download/3174/2137. 2 September 2019.
5
Wati Rahmi Ria. Hukum Perdata Islam: Suatu Pengantar. Lampung: Aura, 2018, hlm. 18.

8
menganjurkan akhlak yang mulia. Sunnah qauliyah (ucapan) ini dinamakan juga Hadist Nabi
SAW.

2) Sunnah Fi’liyah

Sunnah Fi’liyah yaitu perbuatan Nabi SAW yang menerangkan cara


melaksanakan ibadat, misalnya cara berwudlu’, shalat dan sebagainya.

3) Sunnah Taqririyah

Sunnah Taqririyah yaitu bila Nabi SAW mendengar sahabat mengatakan sesuatu
perkataan atau melihat mereka melakukan suatu perbuatan, lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh
Nabi SAW dan tidak ditegurnya atau dilarangnya, maka yang demikian dinamakan Sunnah
ketetapan Nabi (taqrir).

Al-Quran memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Rasulullah (Q.S. An-


Nisa:59), dan menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat ketauladanan yang baik (Q.S.
Al-Qalam : 4). Allah menilai bahwa mentaati Rasulullah adalah mentaati Allah (Q.S. Al-Nisa
: 80), dan Allah meniadakan iman seseorang yang tidak menyerah kepada keputusan
Rasulullah (Q.S. Al-Nisa : 65). Dan meskipun otorita pokok bagi legeslasi hukum hukum
Islam adalah Al-Quran, namun AlQuran mengatakan bahwa Rasulullah adalah sebagai
penafsir dari ayatayat Al-Quran (Q.S. An-Nahl : 44). Ayat-ayat di atas secara tegas
menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnahnya.
Berdasarkan itu di atas, para sahabat semasa hidup nabi dan setelah wafatnya telah sepakat
atas keharusan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.

c. Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan


segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad aritinya bersunggu-
sungguh dalam mencurahkan pikiran. Adapun menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan
segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sunggu untuk menetapkan suatu hukum.Oleh
karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu perkerjaan.
Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari
syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dapat dibedakan menjadi:

1) Ijma

Ijma menurut bahasa, artinya : “sepakat setuju atau sependapat”, sedang menurut
istilah ialah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muhammad sesudah wafatnya

9
beliau pada suatu masa tentang suatu perkara (hukum). Ijma’ itu menjadi hujah (pegangan)
dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al- Quran dan Al-
Hadist. Dan tidak menjadi ijma' kecuali telah disepakati oleh segala Ulama Islam, dan
selama tidak menyalahi nash yang qath'i (Kitabullah dan hadist mutawatir).

Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujahan ijma ialah dzanni, bukan
qath'i. Oleh karena nilai ijma' itu dzanni, maka ijma' itu dapat dijadikan hujjah
(pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan i’tiqad, sebab urusan i’tiqad
itu mesti dengan dalil yang qath’i. Dasar hukum dijadikannya ijma sebagai sumber
hukum Islam adalah QS An Nisa: 59.

Ijma tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran yang kuat, sebab ijma itu
bukan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran ijma adakalanya dalil yang qath’i, yaitu Qur’an
dan hadist mutawatir, dan adakalanya berupa dalil dzanni yaitu hadist ahad dan qiyas. Jika
sandaran ijma hadist ahad, maka hadist ahad ini bertambah nilai kekuatannya. Ijma dibagi
menjadi:

a) Ijma qauli (ucapan), yaitu ijma dimana para Ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik
dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid
lain dimasanya. Ijma ini disebut juga ijma qath’i.

b) Ijma sukuti (diam), ialah ijma dimana para Ulama ijtihad berdiam diri tiada
mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau
malu. Ijma ini disebut juga ijma dzanni.

2) Qiyas

Qiyas menurut bahasa, artinya “mengukur sesuatu dengan lainnya dan


mempersamakannya”. Menurut istilah, “qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang
belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh
nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya”. Qiyas menurut para Ulama
adalah sumber hukum Islam yang keempat sesudah Al- Quran, Hadist dan Ijma. Mereka
berpendapat demikian dengan alasan karena i’tibar artinya “Qiyasusysyai-i bisysyai-i
membanding sesuatu dengan sesuatu yang lain”.

3) Istihsan

Istihsan secara etimologi berarti menganggap baik sesuatu. Atau mengira sesuatu itu
baik. Arti lain dari istihsanadalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih

10
baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu. Dari pengertian secara etimologi
tersebut, maka tergambar adanyaseseorang yang telah menghadapi dua hal yang keduanya
baik, akan tetapi ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan
menetapkan untuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.

4) Maslahah Murshalah

Kata maslahah menurut bahasa berarti manfaat, dan kata mursalah berarti lepas.
Gabungan dari dua kata tersebut yaitu masalhah mursalah menurut istilah, seperti
dikemukakan Abdul-Wahab Khallaf, berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun
tidak ada ketegasan hukum untuk merealisirnya dan tidak pula ada dalil yang mendukung
maupun yang menolaknya, sehingga oleh karena itu disebut maslahah mursalah
(maslahah yang lepas dari dalil secara khusus).

Maslahah Murshalah adalah salah satu tindakan yang memutuskan pada masalah yang
tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan terhadap hidup manusia berdasarkan
prinsip atau manfaat dan menghindari dari kemudharatan.

5) Sududz Dzariah

Sududz Dzariah adalah salah satu tindakan yang memutuskan suatu yang mubah
menjadi yang makruh atau bisa juga masuk yang haram demi kepentingan sesama umat.
Sududz Dzariah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzari’ah. Saddu merupakan salah
satu penghalang sumbatan sedangkan dzari’ah adalah menghambat atau menyambut pada
semua jalan untuk menuju kepada kerusakan atau maksiat.

6) Istishab

Istishab adalah salah satu tindakan yang menetapkan pada suatu alasan yang bisa
mengubah. Misalkan jika ada pertanyaan seperti ini, bolehkah seorang wanita yang menikah
lagi apabila untuk bersangkutan dan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas
kabarnya?

Maka dalam hal tersebut yang berlaku merupakan keadaan semula bahwa wanita
tersebut statusnya adalah istri seorang sehingga tidak akan boleh menikah lagi kecuali sudah
jelas kematian suaminya atau sangat jelas perceraian nya.

11
7) ‘Urf

Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat. Secara terminologi Usul Fikih, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan,
istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Istilah urf dalam pengertian tersebut sama dengan perngertian istilah al-adah (adat istiadat)..
Para ulama sepakat menolak urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk
dijadikan landasan hukum.

12
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pembahasan rumusan masalah pada bab sebelumnya, penulis dapat mengambil
kesimpulan:

a. Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masuknya ajaran
Islam ke Indonesia sejak zaman kerajaan Islam di Nusantara. Hukum perdata Islam di
Indonesia telah mengalami dinamika sejak zaman kerajaan Islam Nusantara, zaman
penjajahan, era kemerdekaan, orde baru, hingga reformasi.

b. Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 1
ayat 3. Selain itu, Indonesia adalah Negara yang berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 29 ayat I) dan dalam Idiologi Indonesia (Pancasila) juga termaktub Ketuhanan
Yang Maha Esa, hal inilah yang kemudian menjadi dasar kekuatan Hukum Perdata Islam
di Indonesia dalam Ketatanegaraan Indonesia.

c. Sumber- sumber hukum Islam ada 3 yaitu Al-Quran sebagai sumber yang pertama dan
utama, hadits atau Sunnah Rasul, dan Ijtihad dengan berbagai metodenya.

2. Saran

Pada saat ini masih banyak masyarakat yang awam terhadap pengaturan-pengaturan
hubungan dalam masyarakat yang bernafaskan nilai-nilai ajaran agama Islam. Pemahaman
terhadap aturan-aturan tersebut amat penting mengingat Indonesia merupakan negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia, selain itu, hukum Islam juga merupakan subsistem
dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar pemerintah, praktisi,
dan pendidik di bidang hukum lebih menggiatkan edukasi hukum islam, khususnya hukum
perdata islam kepada masyarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Suadi, Amran, dan Mardi Candra. Politik Hukum: Perspektif Hukum Perdata dan Pidana
Islam Serta Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2018.

Ria, Wati Rahmi. Hukum Perdata Islam: Suatu Pengantar. Lampung: Aura, 2018.

Jurnal Online

Sulistiani, Siska Lis. “Perbandingan Sumber Hukum Islam”. Tahkim, Jurnal Peradaban dan
Hukum Islam. Vol.1 No.1. Https://ejournal. unisba.ac.id/index.php/
tahkim/article/download/ 3174/2137. Diakses 2 September 2019.

14

Anda mungkin juga menyukai