Anda di halaman 1dari 10

UJIAN TENGAH SEMESTER

TUGAS POLITIK HUKUM (KELAS A)

Nama : DINDA WIGRHALIA BANUREA


Kelas : A
Nim : 2302190012

1. Apa yang saudara ketahui tentang politik hukum? Pendapat saudara harus
berdasarkan pandangan para sarjana?

Politik Hukum adalah bidang studi yang membahas hubungan antara politik dan hukum dalam
konteks negara hukum. Menurut Budiono Kusumohamidjojo 1, dalam negara hukum, hukum
berfungsi sebagai aturan permainan untuk mencapai tujuan bersama yang menjadi dasar dari
kesepakatan politik. Ini berarti hukum juga digunakan untuk menyelesaikan perselisihan politik.

Politik hukum mencakup kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang
akan dibentuk. Ini melibatkan pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum dalam rangka
mencapai tujuan politik, seperti tujuan sosial tertentu atau tujuan negara.2

Politik hukum merupakan hasil dari aktivitas untuk memilih tujuan sosial tertentu. Dalam hal ini,
politik berkaitan dengan tujuan masyarakat, sementara hukum berurusan dengan keharusan
untuk menentukan pilihan tentang tujuan atau cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai
tujuan tersebut.Dalam rangka mencapai tujuan politik hukum, hukum juga harus dilengkapi
dengan instrumen politik yang sah, seperti kebijakan resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan dengan pembuatan hukum baru atau penggantian hukum lama.

Dengan demikian, politik hukum adalah kajian tentang bagaimana politik dan hukum saling
terkait dan bagaimana hukum digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik, baik itu
tujuan negara maupun tujuan sosial tertentu.

1
Budiono Kusumohadidjojo. Filsafat Hukum; Problematik Ketertiban yang Adil. Bandung: Mandar Maju, 2011;
2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan ke-7, Jakarta: Rajawali Press, 2017, hal. 5
2. Apa yang saudara ketahui terkait politik hukum pergumulan dan kedudukan hakim,
jaksa, dan posisi pada awal kemerdekaan (boleh juga sampai pada era orde baru)?
Pandangan saudara bisa dengan mengambil pendapatnya Daniel S. Lev, atau pendapat
ahli lainnya?

Pada awal kemerdekaan Indonesia hingga era Orde Baru, pergumulan dan kedudukan hakim,
jaksa, dan polisi dalam konteks politik hukum Indonesia dapat dilihat melalui lensa pandangan
Daniel S. Lev dan pemikiran sejumlah ahli lainnya.

Daniel S. Lev, seperti yang dijelaskan dalam materi referensi, berpendapat bahwa budaya hukum
adalah nilai-nilai yang mendasari hukum dan prosesnya. Dalam hubungan dengan politik, ia
menganggap sistem hukum tidak bisa dilepaskan dari pemahaman tentang struktur politik,
ideologi, kepentingan, dan konflik yang dihadapi oleh pemimpin politik yang berkuasa. Mereka
memiliki kendali terhadap sistem hukum dan proses hukum yang ada. Ini mengindikasikan
bahwa hubungan antara politik dan hukum pada periode awal kemerdekaan hingga era Orde
Baru sangat erat, di mana pemimpin politik berperan penting dalam mengendalikan sistem
hukum dan proses hukum.

Selama periode tersebut, hakim, jaksa, dan polisi sering kali berada dalam pengaruh politik yang
kuat. Mereka harus menavigasi antara tuntutan hukum dan tekanan politik. Sistem peradilan dan
penegakan hukum Indonesia mungkin menghadapi tantangan dalam mempertahankan
independensi mereka dalam menghadapi campur tangan politik dan tekanan politik tertentu.

Seiring dengan perubahan sosial yang pesat, lembaga peradilan juga harus beradaptasi. Budaya
hukum, seperti yang dijelaskan, berperan dalam proses adaptasi ini. Pertanyaan krusial yang
muncul adalah sejauh mana budaya hukum mampu berkontribusi dalam proses adaptasi lembaga
peradilan terhadap perubahan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi pada periode tersebut. 3

3. Jelas kan eksistensi dan kedudukan hukum adat dalam pergumulan politik hukum
nasional? Pandangan Saudara bisa mengambil pendapatnya Winardi dan Sirajuddin,
atau pendapat ahli lainnya?
3
Lev, D. S. (1978). Judicial authority and the struggle for an Indonesian Rechtsstaat. Law and Society Review, 37-71.
Eksistensi dan kedudukan hukum adat dalam pergumulan politik hukum nasional Indonesia
adalah hal yang kompleks dan mengalami perubahan sepanjang sejarah. Pandangan yang
diberikan oleh Winardi dan Sirajuddin4, serta pemikiran para ahli lainnya, memberikan gambaran
tentang pentingnya hukum adat dalam konteks hukum nasional Indonesia.

Hukum adat di Indonesia memiliki eksistensi yang kuat sebagai nilai-nilai (kebenaran dan
keadilan) yang hidup dalam masyarakat. Dalam UUD 1945, hukum adat diakui dan diberikan
tempat dalam hukum nasional. Pasal 18B Ayat (2) mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 28I Ayat (3) yang
menegaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sesuai dengan
perkembangan zaman.

Pada masa kolonial Belanda, hukum adat dianggap bukan bagian dari hukum yang mengikat,
karena fokus utama adalah kepentingan politik kolonial. Namun, dalam era Indonesia modern,
hukum adat dianggap sebagai bagian organik dari hukum negara. Hal ini tercermin dalam Pasal
18B Ayat (2) UUD 1945.Pendekatan legal pluralism juga menjadi penting dalam konteks hukum
adat di Indonesia. Legal pluralism mengakui adanya pertautan antara hukum positif negara,
aspek sosial kemasyarakatan, dan hukum alam. Pendekatan ini menekankan bahwa pencarian
keadilan substantif yang sempurna harus melibatkan aspek-aspek pluralisme
hukum.Desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan peluang bagi pengakuan dan
pemeliharaan hukum adat dalam pembentukan hukum di daerah. Ini penting dalam menghormati
sistem nilai dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat.

Dalam keseluruhan, hukum adat memiliki eksistensi yang kuat dalam hukum nasional Indonesia,
dan peran serta hukum adat diakui sebagai bagian dari keragaman hukum yang harus
diakomodasi dalam konteks negara yang plural seperti Indonesia. Kedudukan dan eksistensi
hukum adat terus mengalami evolusi seiring dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia.

4. Apa yang Saudara ketahui tentang Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum
serta bagaimana korelasinya menurut pendapatnya Profesor Moh. Mahfud MD

4
Winardi, W. (2020). Eksistensi Dan Kedudukan Hukum Adat Dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional. Widya
Yuridika: Jurnal Hukum, 3(1), 95-106.
Konfigurasi politik dan karakter produk hukum adalah konsep yang penting dalam pemahaman
sejarah politik dan hukum di Indonesia. Menurut Profesor Moh. Mahfud MD, konfigurasi politik
mengacu pada tatanan atau susunan kekuasaan dan pengaruh di dalam suatu sistem politik.
Konfigurasi politik dapat bervariasi antara demokratis dan otoriter, tergantung pada tatanan
politik yang ada pada suatu periode sejarah tertentu.5

Dalam sejarah Republik Indonesia, terdapat dinamika pengaruh konfigurasi politik yang
demokratis dan/atau otoriter yang terjadi sepanjang waktu. Hal ini tercermin dalam perubahan
dalam karakter produk hukum yang dihasilkan oleh sistem politik. Produk hukum mencakup
undang-undang, peraturan, kebijakan, dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah.

Dalam konteks ini, ketika sistem politik cenderung demokratis, produk hukum yang dihasilkan
cenderung responsif terhadap aspirasi masyarakat. Namun, ketika konfigurasi politik berubah
menjadi otoriter, produk hukum cenderung menjadi konservatif dan dapat digunakan untuk
mengendalikan atau membatasi kebebasan.

Profesor Moh. Mahfud MD menunjukkan bahwa, walaupun konstitusi Indonesia secara formal
menganut sistem demokrasi, dalam praktiknya konfigurasi politik yang ada dapat menghasilkan
keadaan otoriter. Bahkan dalam satu konstitusi yang sama, berbagai periode sejarah dapat
menghasilkan konfigurasi politik yang berbeda. Contohnya adalah implementasi UUD 1945
pada periode-periode tertentu yang menghasilkan konfigurasi politik yang berbeda, dari
demokratis hingga otoriter.

Sebagai contoh, era Orde Baru (1966-1998) adalah periode yang ditandai oleh konfigurasi politik
otoriter, dengan dominasi eksekutif dan kendali terhadap legislatif serta kebebasan pers yang
terbatas. Namun, setelah rezim Orde Baru tumbang pada tahun 1998, Indonesia mengalami
reformasi politik yang bertujuan menciptakan kehidupan politik yang lebih demokratis.

Korelasi antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum adalah bahwa konfigurasi politik
yang dominan dalam suatu periode akan mempengaruhi jenis produk hukum yang dihasilkan.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai dinamika konfigurasi politik dan karakter produk hukum

5
Mahfud MD, Moh., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
adalah kunci dalam melihat perubahan dan perkembangan dalam politik dan hukum di Indonesia
sepanjang sejarahnya.

5. Jelaskan apa yang Saudara ketahui tentang Ius Constituendum dan Ius Contitutum,
dalam kaitan dengan Politik Hukum, dan berikan contohnya?

Ius Constitutum dan Ius Constituendum adalah dua konsep penting dalam politik hukum yang
membahas hukum yang berlaku saat ini dan hukum yang dicita-citakan atau akan datang.

1. Ius Constitutum: Ini merujuk pada hukum yang berlaku saat ini atau yang telah ditetapkan.
Contoh Ius Constitutum adalah peraturan dan undang-undang yang berlaku di suatu negara
pada saat tertentu. Misalnya, Undang-Undang Dasar (UUD) yang berlaku saat ini di suatu
negara.6
2. Ius Constituendum: Ini merujuk pada hukum yang dicita-citakan atau yang diinginkan untuk
masa mendatang. Ini bisa berupa perubahan hukum atau rancangan undang-undang yang
masih dalam tahap perumusan. Sebagai contoh, ketika pemerintah merancang rencana untuk
mengubah undang-undang pajak di masa mendatang, maka rencana tersebut dapat dianggap
sebagai Ius Constituendum.7

Perbedaan antara kedua konsep ini terletak pada waktu berlakunya hukum. Ius Constitutum
adalah hukum yang berlaku saat ini, sedangkan Ius Constituendum adalah hukum yang masih
dalam tahap perumusan atau yang diharapkan untuk masa mendatang.

Ketika Ius Constituendum berubah menjadi Ius Constitutum, ini dapat terjadi melalui proses
seperti pengesahan undang-undang baru, perubahan dalam penafsiran peraturan perundang-
undangan, atau perkembangan dalam pandangan teori hukum yang mengarah pada perubahan
hukum yang berlaku.

Kedua konsep ini penting dalam politik hukum karena mereka mencerminkan evolusi hukum dan
bagaimana hukum dapat berubah seiring waktu sesuai dengan kebutuhan dan perubahan dalam
masyarakat.

6
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1994
7
Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006;
6. Berikan analisa dan contoh pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum bila
dikaitkan dengan UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. (Misalnya, politik
hukum terkait parliamentary threshold, dan lain-lain)?

Pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum, seperti UU No 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, adalah topik yang sangat relevan dalam politik hukum. UU Pemilihan Umum
memiliki dampak langsung pada proses pemilihan umum, pengaturan partai politik, perwakilan
rakyat, dan stabilitas politik8. Berikut adalah beberapa contoh pengaruh konfigurasi politik
terhadap UU Pemilihan Umum:

1. Parliamentary Threshold: Konfigurasi politik yang kuat dalam parlemen dapat memengaruhi
pengaturan parliamentary threshold (ambang batas parlementer) dalam UU Pemilihan Umum.
Threshold ini adalah persentase suara yang diperlukan untuk partai politik agar dapat
mendapatkan kursi di parlemen. Jika partai-partai besar dengan pengaruh politik yang kuat ingin
mempertahankan dominasinya, mereka mungkin mendukung atau mempengaruhi peningkatan
ambang batas ini. Sebaliknya, partai-partai kecil mungkin berupaya untuk menurunkan ambang
batas tersebut untuk meningkatkan perwakilan mereka.

2. Sistem Pemilu: Konfigurasi politik dapat memengaruhi jenis sistem pemilu yang digunakan.
Sistem pemilu seperti first-past-the-post, representasi proporsional, atau campuran akan
dipengaruhi oleh kesepakatan politik antara berbagai kelompok politik. Konfigurasi politik di
parlemen dan dukungan publik akan memainkan peran penting dalam memutuskan sistem
pemilu yang digunakan.

3. Jumlah Kursi dan Pembagian Daerah Pemilihan: Konfigurasi politik dapat memengaruhi
jumlah kursi di parlemen dan pembagian daerah pemilihan. Partai-partai yang mendominasi
parlemen mungkin mencoba memanfaatkan posisinya untuk mempengaruhi perubahan ini agar
lebih menguntungkan mereka dalam pemilihan berikutnya.

4. Regulasi Pembiayaan Kampanye: Konfigurasi politik akan berdampak pada regulasi


pembiayaan kampanye dalam UU Pemilihan Umum. Partai-partai besar mungkin memiliki lebih
banyak sumber daya untuk mempengaruhi aturan pembiayaan kampanye, sementara partai-partai

8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
kecil mungkin mencari perubahan yang akan menguntungkan mereka dalam hal pendanaan
kampanye.

5. Pengaturan Partai Politik: Konfigurasi politik dalam parlemen dapat memengaruhi pengaturan
partai politik dalam UU Pemilihan Umum, termasuk aturan tentang pembentukan, pemecatan,
dan keberlanjutan partai. Partai-partai yang lebih besar cenderung mempengaruhi peraturan ini
sesuai dengan kepentingan mereka.

Konfigurasi politik dalam parlemen saat UU Pemilihan Umum dibahas dan disahkan akan
mencerminkan kompromi antara berbagai kepentingan politik. Oleh karena itu, perubahan dalam
komposisi parlemen dan dinamika politik dapat berdampak langsung pada revisi UU Pemilihan
Umum dan perubahan dalam peraturan pemilu.

7. Melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan pengujian


Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam
amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai
“berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan
yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sehingga Pasal
169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya
berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki
jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Jelaskan pandangan Saudara terhadap putusan tersebut, dari sudut pandang politik
hukum?

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 169 huruf q
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memiliki dampak penting
dalam politik hukum Indonesia. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK)
menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur batasan usia paling rendah 40
tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh
karena itu, MK memutuskan bahwa pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
kecuali jika dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan
yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah." Sehingga, isi Pasal
169 huruf q UU Pemilu berubah menjadi "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang
menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah." 9

Pandangan terhadap putusan ini dari sudut pandang politik hukum dapat dibahas sebagai berikut:

1. Perlindungan Hak Konstitusional: Putusan ini menunjukkan komitmen MK dalam melindungi


hak-hak konstitusional warga negara Indonesia, termasuk hak untuk memilih dan dipilih.
Penghapusan batasan usia yang terlalu tinggi (40 tahun) memungkinkan calon presiden atau
wakil presiden yang lebih muda untuk ikut serta dalam pemilihan. Ini mencerminkan respons
positif terhadap aspirasi masyarakat untuk memperluas pilihan calon presiden.

2. Keharmonisan Dengan Konstitusi: Putusan ini menggarisbawahi peran MK sebagai lembaga


penjaga konstitusi. Penyelarasan UU Pemilu dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan bagian penting dalam menjaga harmoni antara hukum dan
konstitusi, serta mendukung prinsip-prinsip demokrasi.

3. Pemberian Ruang Lebih Luas: Dengan merubah batasan usia, putusan ini memberikan lebih
banyak ruang bagi calon-calon yang lebih muda untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden
dan wakil presiden. Hal ini bisa memungkinkan perkembangan pemimpin-pemimpin muda
dalam politik Indonesia.Namun, selalu ada potensi perdebatan politik yang muncul sehubungan
dengan putusan semacam ini. Beberapa pihak mungkin mendukung perubahan ini sebagai bentuk
progresivitas dan inklusivitas dalam politik, sementara yang lain mungkin berpendapat bahwa
batasan usia yang lebih rendah dapat membawa risiko, dan mungkin menganggap perubahan ini
sebagai tindakan yang kurang hati-hati dalam menentukan persyaratan bagi pemimpin nasional.
Dalam politik hukum, perdebatan ini mencerminkan dinamika demokrasi di Indonesia.

8. Hal lain yang menjadi isu hangat dalam kontek politik hukum saat ini adalah terkait
pro-kontra di antara para ahli terkait boleh tidaknya apabila ada anggota keluarga yang
sedang menjabat sebagai pejabat publik yang berasal dari proses pemilihan (elected

9
Utami Argawati, “Permohonan Kehilangan Objek, MK Tidak Dapat Terima Perkara Uji Batas Usia Capres-
Cawapres,” Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 23 Oktober 2023, https://www.mkri.id/index.php?
page=web.Berita&id=19688&menu=2.
official), lalu anggota keluarga lainnya (misalnya, istri, suami, atau anak) juga
mencalonkankan menjadi pejabat publik yang pengisiannya melalu proses pemilihan
(elected official). Dalam konteks politik hukum, apakah hal demikian dilarang dalam
sistem ketatanegaraan kita? Analisis Saudara harus memperhatikan right to vote dan right
to be candidate bagi warga negara, juga dengan analisis terkait perlindungan warga
negara untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik?

Dalam konteks politik hukum dan ketatanegaraan di Indonesia, masalah terkait dengan anggota
keluarga yang mencalonkan diri sebagai pejabat publik yang diisi melalui pemilihan (elected
official) telah menjadi isu hangat. Apakah dilarang atau diatur dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia tergantung pada kerangka hukum yang berlaku di negara ini.

Di Indonesia, prinsip-prinsip demokrasi dan hak warga negara untuk mencalonkan diri sebagai
pejabat publik diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) dan peraturan yang lebih khusus, seperti undang-undang pemilihan. Di sini, penting untuk
memahami hak dan kewajiban warga negara dalam konteks ini:

1. Right to Vote (Hak Memilih): Hak warga negara untuk memilih calon pejabat publik,
termasuk melalui pemilihan umum, merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam UUD
1945. Hak ini memungkinkan warga negara untuk secara demokratis memilih wakil-wakil
mereka di pemerintahan.

2. Right to Be a Candidate (Hak Mencalonkan Diri): Di sisi lain, UUD 1945 juga memberikan
hak kepada warga negara untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik, termasuk calon
presiden, anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan lainnya. Namun, aturan lebih rinci
tentang persyaratan dan prosedur pencalonan dapat diatur oleh undang-undang pemilihan yang
lebih spesifik.

Pada intinya, hak untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik harus dijamin, sejalan dengan
prinsip demokrasi. Sebuah anggota keluarga yang telah terpilih sebagai pejabat publik dari
proses pemilihan seharusnya tetap memiliki hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan
lainnya, terlepas dari hubungannya dengan anggota keluarga yang sudah menjabat.
Namun, penting untuk mencatat bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, ada ketentuan
dan batasan tertentu yang diatur oleh undang-undang pemilihan terkait dengan persyaratan
pencalonan, seperti ambang batas suara atau kursi yang diperlukan. Ini adalah bagian dari aturan
yang digunakan untuk memastikan kualitas peserta pemilihan dan perlindungan terhadap
kepentingan publik. Jadi, anggota keluarga yang mencalonkan diri harus mematuhi aturan-aturan
tersebut untuk menjadi calon yang sah.10

Penting juga untuk mencatat bahwa isu seperti ini bisa menjadi subjek perdebatan politik dan
perubahan hukum. Ketika ada isu yang berkaitan dengan ketentuan pencalonan atau ambang
batas, perubahan dalam undang-undang pemilihan dapat diusulkan dan dibahas di tingkat
legislatif.

Kesimpulannya, dalam politik hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia, hak warga negara
untuk memilih dan mencalonkan diri adalah prinsip dasar demokrasi yang harus dihormati.
Namun, persyaratan dan aturan pemilihan yang lebih spesifik dapat mengatur aspek-aspek
tertentu, seperti ambang batas atau jumlah kursi yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri, dan
perubahan dalam hukum pemilihan dapat mempengaruhi dinamika ini.

10
Syahuri, T., & Fahrozi, M. H. (2020). Konstitusionalitas Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu
(Presidential Treshold). Al Wasath Jurnal Ilmu Hukum, 1(1), 25-34.

Anda mungkin juga menyukai