Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NO.

TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-

POKOK AGRARIA

A. Pendahuluan

Mengkaji masalah politik hukum secara keseluruhan, terlebih dahulu

marilah kita pelajari apa itu Politik Hukum. Politik hukum terdiri atas

rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto (1983: 5) istilah politik

dipakai dalam berbagai arti yaitu :

1. Perkataan politik dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan

dengan Negara;

2. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan

dengan Negara.

Lebih lanjut sudarto menegaskan, makna lain dari politik adalah

kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dalam pengertian ini,

dijumpai kata-kata politik ekonomi, politik krimiunil, politik hukum, dan

politik hukum pidana.

Hubungan antara politik dan hukum, Mahfud (1998: 1-2),

menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang

sebagai dependent variable (Variabel terpengaruh) dan politik sebagai

1
independent variable (variable berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian,

mahfud merumuskan politik hukum sebagai :

Kebijakan hukum yang akan dan atau telah ada dilaksanakan secara nasional

oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik

mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di

belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidaqk hanya

dipandang sebagai pasal-paal yang bersifat imperative atau keharusan-

keharusan, melainkan harus dipandang sebagai sumsistem yang dalam

kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam

perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasinya dan

penegakannya.

Menurut Solly Lubis (1989: 49), politik hukum adalah kebijakan

politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku

mengatur berbagai hal kehifupan bermasyarakat dan bernegara.

Dengan dasar itu, Sudarto (1983: 16) mengatakan Politik hukum

merupakan kebijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menerapkan perturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Dalam mempositifkan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat,

tentu tidak hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi

mencakup pula pandangan fungsional. Dalam kaitan ini, Paiul Scholten

2
(1997: 5), menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusdan-putusan

ilmu hukum tidak lain merupakan pengolahan logical bahan-bahan positif,

yakni undang-undang dan vinis-vonis. Menurut Scholtenm bahan-bahan

positif itu ditentukan secara histories dan kemasyarakatan. Penetapan undang-

undang adalah sebuah peristiwa histories yang merupakan akibat dari

serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemayarakatan. Oleh kaena

itu kemurnian ilmu hukum selalu mengandung saesuatu yang tidak murni dari

bahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka menurut Scholten, ilmu hukum

akan menjadi mahluk tanpa darah.

Poitik Hukum di bidang Agraria misalnya, merupakan produk hukum

yang dibuat untuk menjamin adanya kepastian hukum di bidang pertanahan.

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku tanggal 24

September 1960, merupakan produk legislative pertama yang mengatur

hukum materiil setelah kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, pada

dasarnya memuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok sebagai landasan

politik agraria nasional.

Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 ini, berarti

mengubur Agrarische Wet 1870, yang merupakan landasan pokok politik

agraria colonial. UUPA hendak meniadakan dualisme dalam hukum agraria,

yakni mengubur pasal-pasal yang berbau feodal-liberal pada hukum warisan

colonial tersebut, hingga ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar

1945 dapat terealisir. Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria

3
telah meletakkan suatu dasar yang baik dalam suatu hukum agraria yang

modern sebagai pelaksanaan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

rumusan Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria memberikan lingkup yang

lebih luas daripada pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. bila pasal 33

ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “, maka Pasal 1 Undang-Undang

Pokok Agraria menyebutkan “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya”. Dalam pengertian bumi, selain

permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi, dibawahnya serta yang ada di

bawah air. Dalam pengertian air, termasuk baik perairan pedalaman maupun

laut di wilayah Indonesia. Yang dimaksud dengan ruang angkasa merupakan

ruang di atas bumi dan air tersebut. Dari sini jelas, bahwa Pasal 1

UndangUundang Pokok Agraria merupakan suatu demonstrasi dari politik

wawasan nusantara.

Namun demikian, transformasi besar-besaran dalam konstruksi politik

ekonomi Negara, alam pengertian ekspansi industrial - dengan dukungan

policy agricultural squeeze, serta makin meluasnya korporatisme Negara,

akan membawa konflik pertanahan di masa yang akan datang.

B. Permasalahan

4
Permasalahan yang coba diangkat dan dipaparkan dalam penulisan

makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembentukan Politik Hukum Agraria yang terjadi di Indonesiua?

2. Seberapa jauh pranata-pranata hukum agraria mampu mengantisipasi aspek

bekerjanya hukum agraria yang berprinsip kerakyatan dan berkeadilan?

C. Pembahasan

Ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh pembaca sehubungan dengan hal-

hal yang berkaitan dengan Politik hukum. Penulois mencoba memberikan

gambaran awal tentang Politik hukum nasional di Indonesia. Hal ini dimaksudkan

agar tidak terjadi salah tafsir di dalam memahami politik dan hukum serta untuk

memberikan refresing kepada pembaca tentang politik hukum sebelum

memahami lebih jauh tentang politik hukum di bidang agrarian.

1. Politik Hukum Nasional

Perlu diketahui bahwa Politik hukum nasional (dalam tatasran mikro)

sebagai bagian dari politik Hukum (dalam tataran makro), dalam

pembentukan undang-undang misalnya. Harus mengetahui system nilai yang

berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan

cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak disapai agar

hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. Joika demikian

halnya, melaksanakan politik hukum secara nasional berarti usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keaaan dan

5
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-nasa yang akan datang. Hal ini dapat

dilihat misalnya pembentukan suatu produk hukum yang berbentuk undang-

undanng yang mana undang-undang ini akan berlaku secara nasional.

Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik

yang sangan penting artinya dan mempunyai pengaruh luasm karena itu akan

memberi bentuk dan mengatur atau mengndalikan masyarakat, Undang-

undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-

tujuan tertentu, dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-

undang itu mempunyai tugas dua fungsi:

1)dungsi untuk mengekspresikan nilai-nialai ; dan

2)funsdi instrumental

Menurut Sahetapy ( 1993: 55-56), peranan hukum dengana

pendekatan-penmdekatan fungsional tidak sama denganm hukum yang

berperan sebagai suatu alat (instrument) belaka. Pendekatan secara fungsional,

hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana

hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka

setiap produk perundang-undangan tidak mengkin terlepas dari sumbernya,

yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau

diwujudkan dalam bentuk manufestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila.

Jia tidak, hukum itu tidak lagi berdungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih

tepat disebut instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi

6
kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat dan

idealisme Pancasila.

Soedarto (1983: 96), merujuk pada hasil symposium tentang

Kesadaran Msyarakat dalam Masa Transisi yang diselenggarakan di

Semarang tanggal 20-23 Januari 1975 menulis, Negara-negara yang sesudah

Perang Dunia II telah memperoleh kemerdekaan berusaha untuk melakukan

langkah-langkah modernisasi di negaranya masing-masing. Dengan adanya

langkah-langkah tersebut naka telah terjadi proses perkembangan masyarakat

yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Modernisasi

itu menurut Sudarto, dapat diartikan sebagai suatu proses penyesuaian diri

dengan keadaan konstelasi dunia pada waktu ini. Misalnya hukum pidana

hendak dilibatkan maka harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik

kriminil. Sehingga politik kriminil itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan

paling luas.

 dalam arti sempit, Politik kriminil digambarkan sebagai keseluruhan asas

dan metode yang menjadi dasar dari reaksi trerhadap pelanggaran hukum

berupa pidana.

 Dalam arti luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi

7
 Dalam arti yang paling luas, ia meurupakan keseluruhan kebijakan yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang

bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.

Dengan demikian, Politik (kebijakan) hukum seperti contoh tersebut di

atas, pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik

dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan

legislative), kebijakan aplikasi (kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan

(kebijakan eksekutif), Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat

menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika undang-undang dibuat

maka sudah ditwentukan arah yang hendak dituju atau arah dengan kata lain,

perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu

perbuatan yang dilarang oleh hukum.

Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah

dalam suatu system pembangunan harus dalam tiga kerangkam yaitu

strukturm substansi dan kultur (Muladi, 1993: 21). Hal ini penting agar pihak

berwenang sebagai pengambil kebputusan jangan sampai terjebak kebijakan

yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada

kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka

panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat sendiri. Dengan

demikian melaksanakan suatu politik hukum suatu perundang-undangan

berarti mengadkan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang

8
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan

demikian melaksanakan politik hukum mempunyai arti mewujudkan

peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada

suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Pada hakekatnya kebijakan hukum nasional dapat difungsionalisasikan

dan dioperasionalisasikan melaui beberapa tahap yaitu tahap formulasi atau

kebijakan legislative, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap

eksekutif atau kebijakan administratif. Tahap formulasi atau kebijakan

legislative dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan

peraturan perundang-undangan. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif

merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan

dan tahap eksekusi atau kebijakan administrative adalah tabhap pelaksanaan

dari putusan pengadilan atas perbuatan yang telah memperoleh kekutan

hukum tetap.

2. Hukum merupakan Produk Politik

Asumsi dasar yang dipergunakan dalam kajian ini adalah hukum

merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum kan sangat

ditentukan stau diwarnai oleh imbangan-imbangan kekuatan atau konfiogurasi

politik yang melahirkannya. Asumsi ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa

setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum

dapat dilihat sebagai kristalisasi dan pemikiran politik yang saling berinteraksi

9
di kalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan

bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, kajian ini lebih melihat

sudut “das sein” atau empiriknya bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya

ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Untuk kasus

Indonesia terjadi juga fenomena menonjolnya fungsi instrumental hukum

sebagai sarana kekuasaan politik dominant yang lebih terasa bila

dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya, bahkan dapat dilihat dari

pertumbuhan pranata hukum, nilai dan prosedur, perundang-undangan, dan

birokrasi penegak hukum yang bukan hanya mencerminkan hukum sebagai

kondisi dari proses pembangunan melainkan juga menjadi penopang tangguh

struktur politik, ekonomi, dan social (Mulyana W. Kusumah, 1986: 19-20).

Pada Negara yang baru merdeka, posisi hukum seperti itu tampak sangat

menonjol karena kegiatan politik di sana merupakan agenda yang menyita

perhatian dalam rangka pengorganisasian dan pengerahan berbagai

sumberdaya guna mencapai tujuan dalam masyarakat (Satjipto Rahardjo,

1985: 71). Karakter yang menonjol dari situasi seperti itu adalah

pengutamaan tujuan, isi dan substansi di atas prosedur atau cara-c ara untuk

mencapai tujuan tersebut seperti yang digariskan oleh ketentuan-ketentuan

hukum Satjipto Rahardjo, 1985: 71). Lagi pula pembangunan yang dianut di

Indonesia bahwa pemerintahan saat ini dipilihnya stabilitas politik sebagai

prasarat bagi berhasilnya pembangunan ekonomi yang merupakan titik berat

programnya. (Todung Mulya Lubis, 1983)

10
Dalam logika seperti itu, hukum diberi fungsi, terutama sebagai

instrument program pembangunan karena sebenarnya hukum bukanlah tujuan

(Sunaryati Hartono, 1976: 7). Dengan demikian, dapat dipahami jika terjadi

kecenderungan bahwa hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan

mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang

dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi

harus diubah atau dihapuskan ( Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988: 18).

Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat dijadikan alat

justifikasi bagi visi politik penguasa. Dalam kenyataannya, kegiatan

legislative (Pembuat Undang-undang) memang lebih banyak memuat

keputusan-keputusan politik daripada menjalankan pekerjaan-pekerjaan

hukum yang sesungguhnya sehingga lembaga legislative lebih dekat dengan

politik daripada dengan hukum (Satjipto Rahardjo, 1985: 79).

Dalam kaitannya dengan Undang-undang Pokok Agraria, Undang-

undang ini merupakan produk hukum yang sangat responsive, berwawasan

kebangsaan, mendobrak watak kolonialis yang mencengkeam bangsa

Indonesia sampai lima belas tahun menjadi bangsa dan Negara merdeka

(tahun 1945 sampai 1960). Oleh sebab itu Undang-undang tersebut masih

sangat relevan dan dapat mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan pembangunan

dewasa ini dan menjangkau kebutuhan kedepan sambil terus melindungi

keutuhan nasio0nal bangsa Indonesia (Moh. Mahfud MD, 1993 : 113). Kita

tidak bisa membayangkan apa jadinya seandainya orang asiong diperbolehkan

11
menjadi pemegang hak milik atas tanah di Negara ioni. Kebutuhanm ekoomis

masyarakat kita yang akan berhadapan dengan kekayaan modal orang atau

pengusaha-pengusaha asing yang besar dapat memungkinkan bahwa tanah-

tanah yang ada di Indonesia akan beralih ke tangan orang-orang asing. Jika ini

terjadi, ekstensi bangsa Indonesia akan menjadi berantakan.

Persoalan yang kita hadapi dalam bidang hukum pertanahan inio

secara umum bukanlah bagaimana mengubah Undang-undang Pokok Agraria

melainkan bagaimana menyelesaikan masalah-masalah seperti ;

a. Bagaimana membuat peaturan-peaturan pelaksanaan sebagaimana dituntut

oleh Undang-undang Pokok agrarian itu sendiri agar aktualaisasi

pemenuhan kebutuhan.

b. Bagaimana menyelaraskan ketentuan hukum di bidang pertanahan dengan

program-program pembangunan

c. Bagaimana menumbangkan struktur kepemilikan tanah yang sudah terlanjur

menguat agar sesuai dengan ketentuan Undang-pundang Pokok Agraria.

Sejauh kmenyangkut pembuatan peraturan-peraturan pelaksanaan,

ternyata pemerintah kita melakukannya dengan lambat sehingga yang muncul

adalah peraturan perundang-undagan yang bersifat tambal-sulam, sedangkan

sejauh yang berkaitan dsengan keselarasan antara ketentuan hukum dan

kebutuhan pembangunan ternyata ada kecenderungan bahwa pembangunan

ekonomi cenderung melahirkan peraturan perundang-undangan yang

berwatak konservatif bahkan berlawanan dengan jiwa hukum Undang-Undang

12
Pokok Agraria itu sendiri. Begitu juga , mengenai struktur penguasaan tanah

yang antara lain terlihat dari tidak berjalannya hukum landreform, tetap tidak

berubah secara berarti karena kondisi penguasaan tanah, yang udah terlanjur

timpang sehingga setiap upaya pemecahan dalam masalah redistribusi tanah,

lebih-lebih yang mengarah pada perubahan struktur penguasaan tanah selalu

berhadapan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang menguasai tanah.

3. Pembentukan Pranata-Pranata Hukum Agraria di Indonesia

Sebenarnya sampai dengan tanggal 24 September 1960, masih

berlangsung dualisme dalam hukum pertanahan di Indonesia. Di satu pihak,

hak-hak tanah yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat,

dan di pihak lain hak-hak tanah bagi golongan bumiputera. Akan tetapi

setelah diundangkannya pada tanggal 24 Setpember 1960, maka langkah

berikutnya adalah mengupayakan pembentukan pranata-pranata hukum

agrarian. Hal ini tidak lepas dari konteks Negara sebagai lembaga atau

birokrasi yang memiliki tujuan tertentu, yang hanya dapat dicapai lewat

tindakan yang harus dilakukan, untuk mencapai tujuan tertentu tersebut

(Gibson, 1988:3). Pranata-pranata hukum agraria yang diciptakan itu antara

lain, dengan mengundangkan Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 dan

Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961. hal ini merupakan bagian

terpenting dari pelaksanaan pasal 7, 10 dan 17 Undang-Undang Pokok

Agraria. Sebagaimana diketahui, Undang-Undang No. 56 Prp tahun 1960,

13
mengatur tentang penetapan luas tanah pertanian, sementara PP no. 224 tahun

1961, berkaitan dengan pelaksanaan pembagian tanah dab pemberian ganti

rugi. Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, yang

diundangkan pada tanggal 2 Januari 1960, boleh dikatakan kehadirannya

mendahului keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria. Akan tetapi ini dapat

dilihat sebagai komplementer bagi Undang-Undang Pokok Agraria sendiri,

dalam rangkan pelaksanaan landreform di Indonesia. Hal ini telah dipertegas

lagi dengan Keppres No. 13 tahun 1980. sementara itu, Peraturan Pemerintah

No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftara tanah, tampaknya juga telah

memperkuat eksistensi Undang-Undang Pokok Agraria.

Sampai disini dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1960, banyak lahir

pranta-pranata hukum tentang pelaksanaan landreform di Indonesia. Akan

tetapi dalam perkembangan selanjutnya, situasi ini semakin menurun sejak

berlakunya pemerintahan Orde baru. Pengadilan landreform yang didasarkan

pada Undang-undang No. 7 tahun 1970, oleh pemerintahan Orde Baru

dihapuskan.

Setahun setelah terbitnya Keprers No. 55 tahun 1993, tentang

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum

pada tanggal 14 Juni 1994, telah terbit peraturan pelaksanaannya, yakni

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1

tahun 1994. Peraturan ini antara lain mengatur secara rinci cara musyawarah

untuk mencapai kesepakatan tentang ganti kerugian.

14
Menurunnya aktivitas untuk menghasilkan pranata-pranata hukum

tersebut berkaitan dengan reorganisasi lembaga-lembaga tinggi Negara di

tahun 1967, salah satunya adalah perubahan Departemen Agraria menjadi

Direktorat Jenderal Agraria dan transmigrasi. Setahun kemudian, lembaga ini

berubah lagi menjadi Direktorat Jenderal Agraria yang bernaung di bawah

Departemen Dalam Negeri. Dalam konteks pembentukan pranata-pranata

hukum dibidang pertanahan, seberapa jauh undang-undang turut menciptakan

keadaam masyarakat adil dan makmur (Susanto, Kuliah ke III Lembaga dan

Pranata Hukum 26 Oktober 1994).

4. Komplesitas masalah Pertanahan

Seiring dengan lajunya pembangunan, maka sebagai implikasinya

muncul berbagai kasus pertanahan, menyangkut nasib ribuan warga

masyarakat yang proses penyelesaiannya sering memakan waktu yang lama

dan bagi mereka terasa menggetirkan. Dan setiap kali seperti diingatkan

dengan satu pertanyaan yang menjadi klasik : seberapa serius sebenarnya

suprastruktur memperhitungkan posisi rakyat dalam pembangunan ? sampai

disini persoalah hak atas tanah menjadi satu indikasi yang menentukan.

Bertumpuknya masalah pertanahan serta setruktur agraria yang

timpang, membawa pada sikap mempertanyakan strategi pembangunan

nasional itu sendiri. Kompleksitas masalah pertanahan, berkaitan denga

praktek-praktek keagrariaan maupun praktek oknum agraria sedemikian

15
rumitnya, yang menyeret pada sikap skeptis dalam mengupayakan cara-cara

penanggulangannya. Di satu pihak, tanah diisyaratkan dalam pembangunan

fisik, sementara di pihak lain masih ada keprihatinan tentang pola

pemanfaatan tanah dalam cara yang sesuai, seimbang dan adil bagi semua

pihak yang membutuhkanya. Dalam kenyataan empiris memperlihatkan

begitu banyaknya benturan : adanya percaloan, penggusuran, tidak

memadainya ganti rugi atau ganti rugi yang dianggapnya terlalu besar,

penyalahgunaan jabatan, pungli, sertifikat aspal, sertifikat ganda, terjadinya

fragmentasi tanah, terjadinya tanah-tanah absenti, pelanggaran atas luas

penguasaan tanah, tidak berjalannya undang-undang bagi hasil, penyerobotan

oleh rakyat yang “lapar tanah” terhadap tanah-tanah tidak produktif, tidak

berjalannya landeform yang diperintahkan Garis-garis Besar Haluan Negara,

peraturan-peraturan yang tumpang tindih dan saling bertentangan; peraturan-

peraturan yang sebenarnya diadakan untuk “:menyelesaikan” masalah yang

sudah timbul, tetapi tidak berorientasi ke depan, tidak jelasnya siapa yang

harus menangani satu bidang keagrariaan (Badan Pertanahan Nasional atau

Menteri Pertanian); buruknya pelayanan di kantor-kantor agraria

(Perlindungan, 1989:4). Dari perspektif hukum memperlihatkan, bahwa

semua itu terjadi disebabkan karena lemahnya pranata-pranata hukum itu

sendiri sehingga tidak mampu menangani semua masalah secara operasional.

Selain permasalah social ekonomis sebagaimana dipaparkan diatas, juga

permasalah histories politis mencuat mempersoalkan apakah Undang-

16
Unadang Pokok Agraria masih relevan atu tidak. Para intelektual banyak

mempersoalkan Undang-Undang Pokok Agraria dari perspektif historisnya,

sebagai produk hukum pemerintah Orde Lama yang berbau komunis

(Prodjosapoetra, 1994:5)

Suatu catatan khusus perlu pula diberikan terhadap Undang-Undang

Pokok Agraria. Dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah, selalu

terdengar pertanyaan : apakah Undang-Undang Pokok Agraria itu ciptaan

PKI? Dan apakah landreform itu masuh relevan dengan pembangunan di

tanah air kita? Pertanyaan tersebut sebenarnya menunjukkan adanya keragu-

raguan dari sementara orang, dan ini sekaligus memperlihatkan kurangnya

pemahaman atas apa yang sudah ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan

Negara dan Pancasila. Pembangunan di Negara-negara berkembang termasuk

Indonesia, tidak mungkin berjalan tanpa melaksanakan landreform secara

konsekuen. Disamping itu juga perlu disadari bahwa Undang-Undang Pokok

Agraria bukanlah bikinan PKI, melainkan sebagai karya ilmiah yang merujuk

pada UUD 1945 dan pancasila (Parlindungan, 1989:7)

5. Perkembangan Political Will (Kehendak Politik)

Persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti

yang sangat penting, oleh karena sebagian dari kehidupannya tergantung

dengan tanah. Tanah adalah tempat pemukiman dari sebagian besar umat

17
manusia, disamping sebagia sumber penghidupan bagi mereka yang mencari

nafkah melalui usaha tani dan perkebunan.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka tanah bagi kehidupan manusia

tidak saja memiliki nilai ekonomis dan kesejahteraan semata, akan tetapi juga

menyangkut masalah social, politik , cultural, psikologis, bahkan mengundang

aspek-aspek HANKAMNAS. Bertitik tolak dari anggapan yang demikian,

maka pendekatan yang seharusnya dilakukan dalam pemecahan masalah

pertanahan adalah suatu pendekatan yang terpadu melalui legal approach,

prospety approach, sevurity approach, dan humanity approach (Abdurahman,

1983:2). Dengan demikian, perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat,

tampaknya membutuhkan pranata-pranata hukum yang kompleks dan

peraturan –peraturan administrative (Blau, 1987:202).

Sesungguhnya ada semacam perkembangan political will, mengenai

pertanahan dari pemerintah, sebagaiman ditunjukkan dalam perkembangan

ketetapan yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan Repelita

dari waktu ke waktu. Dalam Repelita II, buku III, halaman 95,

memperlihatkan ketetapan sebagian berikut (Parlindungan, 1989:7) :

Pembangunan dan perkembangan kota akan didasarkan pada rencana tata

ruang. Program yang banyak kaitannya dengan pembinaan kota adalah

program tata ruang. Unsure-unsur program ini terdiri atas program tata guna

tanah, tata kota, dan tata daerah, serta tata agraria, yang meliputi aspek

18
landreform, aspek pengurusan hak atas tanah, aspek pendaftara tanah, serta

penelitian pengembangan hukum dan administrasi pertanahan.

Sementara dalam buku III pada halaman 109 berbunyi sebagai

berikut : Dalam program tata agraria termasuk kegiatan di bidang pendaftara

tanah dan penertiban serta peningkatan pengurusan hak atas tanah. Dengan

makin luasnya kegiatan pembangunan, maka usaha di bidang pendaftaran

tanah dan pemilikan atas tanah akan ditingkatkan, guna terselenggaranya

tertib pemilikan (tertib hukum dan kepastian hukum) dibidang pertanahan.

Dengan demikian, maka kegiatan pengukuran dan pemetaan untuk kepastian

hukum terhadap pemilikan tanah, pembukuan hak atas tanah tersebut dan

penerbitan sertifikat tanah akan ditingkatkan.

Sementara itu dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1978,

persoalan tentang tanah dapat disimak dalam arah dan kebijaksanaan

pembangunan umum yang tercantum dalam TAP MPR No. 20 sebagai berikut

: “Agar pemanfaatan tanah sungguh-sungguh membantu meningkatkan

kesejahteran rakyat, serta dalam rangka mewujudkan keadilan social, maka

disamping menjaga kelestariannya perlu dilaksanakan penataan kembali

penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah.

Pembicaraan tentang tanah juga kemudian tercantum dalam Repelita

III (1979-1983/1984). Tidak jauh berbeda dengan TAP MPR sebelumnya,

butir penting yang ditonjolkan juga berkisar pada perlunya penataan kembali

penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Untuk itu, realisasinya adalah

19
dengan menyusun pranata hukum dan melaksanakan peraturan pelaksanaan

UUPA, seperti perundang-undangan tata guan tanah; penggunaan tanah oleh

bukan pemilik, pembatasan minimum dan maksimum tanah untuk bangunan,

terjadinya hak milik menurut hukum adat, pencabutan hak milik yang terlantar

pembebanan atas tanah hak milik dan hak guna bangunan dan hak pakai,

kewajiban pemegang hak atas tanah untuk memelihara. Mecegah kerusakan

serta menambah kesuburan tanah. Serta pranata-pranata hukum soal tanah

lainnya.

Satu hal yang perlu diungkapkan dalam kaitan tentang masalah tanah

dengan transmigrasi. Dalam TAP II/MPR/1983, ditunjukkan kemauan politik

pemerintah yang berkaitan dengan masalah transmigrasi dan pertanahan.

“Transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran penduduk

dan tenaga kerja, serta pembukaan dan pengembangan daerah produksi baru,

terutama daerah pertania, dalam rangka pembangunan daerah khususnya di

luar Jawa dan bali, yang dapat menjamin taraf hidup para transmigran dan

masyarakat sekitarnya. Pelaksanaan transmigrasi sekaligus merupakan usaha

penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, baik di

daerah asal maupun daerah tujuan”

Masalah penting lainnya yang selalu berkaitan dengan pertanahan

adalah masalah landreform. Dalam pelaksanaannya perlu mendapat perhatian

dalam rangka pemanfaatan tanah lebih dan tanah absenti demi terciptanya

keadilan social yang makin merata. Masalah lain yang perlu mendapat

20
perhatian, yang merupakan bagian dalam persoalan landerform, ada;aj

mengenai perjanjian bagi hasil. Hal ini sesuai dengan instruksi Presiden No.

13 tahun 1980 yang merupakan pedoman pelaksanaan Undang-Undang No. 2

tahun 1960. di sampang itu, dengan diresmikannya Badan Pertanahan

Nasional (BPN) melalui Keppres No. 26 tahun 1988, sedikit banyak

memberikan harapan akan perbaikan-perbaikan di jalur pertanahan. Minimal

badan ini akan lebih aktif dan terhadap setiap pergolakan dalam masyarakat

yang menyangkut permasalahan pertanahan.

6. Aspek Bekerjanya Hukum Agraria

Pengamatan terhadap berbagai kebijaksanaan yang diterbitkan dalam

dasawarsa terakhir, semakin memperlihatkan adanya kecenderungan untuk

memberikan berbagai kemudahan atau hak yang lebih besar pada sebagian

kecil masyarakat, yang belum diimbangi dengan perlakuan yang sama bagi

kelompok masyarakat terbanyak (Sumardjono, 1984:4).

Dalam proses industrialisasi sebagai gejala yang tidak dapat dielakkan

dalam pembangunan Indonesia, dalam kegiatan ekonomi tampil tiga pelaku di

dalamnya, yakni Negara/pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Masing-

masing memiliki tawar menawar yang berbeda, karena perbedaan di dalam

akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya alam

berupa tanah yang terbatas itu. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi

tawar menawar antara masyarakat dan pihak swasta, lebih dikukuhkan dengan

21
adanya kewenangan pembuat kebiksanaan yang bias terhadap kepentingan

sekelompok kecil masyarakat tersebut dalam upaya penguasaan dan

pemanfaatan tanah. Kenyataan tersbut memperlihatkan bahwa kebijaksanaan

yang diciptakan telah memperkosa masyarakat yang dalam posisi tanah, dan

hal ini menunjukkan betapa berkuasanya birokrasi itu (Blau, 1987:202).

Di dalam relaitas empiris dapat dijumpai pranata-pranata hukum yang

memberikan lebih banyak kemudahan kepada sekelompok kecil masyarakat,

sedangkan perhatian yang serupa belum diberikan secara sebanding kepada

sekelompok yang lebih besar. Beberapa ilustrasi dapat dikemukakan disini,

pertama, kebijaksanaan dibidang pertanahan yang ditempuh sejalan dengan

iklim deregulasi yang sudah muilai tampak dengan regulasi Juli 1992, dan

dimantapkan dalam deregulasi Oktober 1993 yang ditujukan untuk lebih

menarik minat penanam modal di Indonesia. Kebijaksanaan yang ditempuh

berupa penyederhanaan tata cara pemnberian Hak Guna Usaha (HGU) dan

hak Guna Bangunan (HGB), serta pemberian batas waktu penyelesaiannya.

Tidak dapat dipungkiri bagi investor kemudahan tata cara dan ketepatan

waktu penyelesaian pemberian hak atas tanah merupakan daya tarik tersendiri.

Kedua, dalam kasus penguasaan tanah oleh perusahaan pembangunan

perusahaan dan industri (real estate dan industrial estate) yang pada umumnya

diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian subur, dijumpai adanya

perusahaan-perusahaan yang belum atau tidak memanfaatkan seluruh tanah

sesuai dengan perencanaan semula. Tampaknya bahwa di satu sisi dalam areal

22
luas yang tidak dimanfaatkan, sedangkan di sisi lain untuk memperoleh

sebidang tanah relative tidak mudah, karena kenaikan harga tanah sulit

dikendalikan. Akibatnya keadaan ini dapat mempertajam kecemburuan social.

Ketiga, gejala lapar tanah yang juga melanda tanah-tanah di perkotaan,

memberikan kesempatan bagi sebagian kecil masyarakat yang memiliki

kelebihan modal untuk melakukan investasi atau spekulasi yang

mengakibatkan harga tanah semakin tidak terjangkau bagi sebagian terbesar

masyarakat yang kemudian menjadi tersingkir. Gejala ini masih akan

berlanjut apabila intervensi pemerintah melalui kebijaksanaan

pengendaliannya tidak segera diwujudkan.

Keempat, dalam kasus pemakaian tanah atau penggarapan tanah oleh

rakyat atas areal bekas perkebunan yang terlantar. Dalam pemberian HGU

terhadap pemegang hak yang baru tidak jarang dijumpai areal tertentu yang

sudah dikerjakan secara intensif oleh masyarakat tanpa terputus selama

bertahun-tahun, yang tidak jarang terjadi dengan sepengetahuan pemegang

haknya. Selain tindakan untuk mengeluarkan areal tersebut dari keseluruhan

areal HGU yang dimohon haknya, seyogyanya juga ditempuh suatu

kebijaksanaan untuk memberikan hak atas tanah secara kolektif bagi para

penggarap yang beritikad baik, sehingga dengan demikian kepentingan

pengusaha diperhatikan, namun kepentingan para penggarap juga tidak

diabaikan.

23
Suatu kebijaksanaan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar

kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan apabila diimbangi dengan

kebijaksanaan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar.

Oleh karena itu, selalu ada kebijaksanaan yang berfungsi untuk mengoreksi

atau memulihkan keseimbangan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa aspek bekerjanya hukum agrarian sangat tergantung dari birokrasi

sebagai pembuat kebijaksanaan, yang dalam beberapa hal memiliki berbagai

kepentingan.

7. Prinsip-prinsip Keadilan

Inti dari keadilan sebenarnya merupakan pengakuan terhadap manusia

sesuai dengan harkatnya sebagai manusia. Masalah tanah adalah masalah

yang sangat menyentuh keadilan, karena sifat tanah yang langka dan terbatas.

Tidak selalu mudah merencanakan suatu kebijaksanaan pertanahan yang

dirasakan adil untuk semua pihak.

Dalam merancang kebijaksanaan pertanahan tolok ukur yang lebih

tepat adalah memberikan keadilan berdasarkan kebutuhan dan bukan

berdasarkan kemampuan, karena di dalam peta penguasaaan dan pemanfaatan

tanah di Indonesia, perhatian harus lebih banyak diberikan kepada mereka

yang lebih membutuhkan, yang diwakili oleh sebagian terbesar lapisan

masyarakat

24
Untuk mendisain kebijaksanaan yang dirasakan adil, diperlukan

pembuat kebijaksanaan yang memiliki pemahaman yang benar terhadap

konsep keadilan, dmampu menerjemahkan konsep tersebut dalam berbagai

ketentuan yang menjadi wadahnya, baik yang bersifat regulative ataupun

korektif, disamping memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan orang

lain. Dengan demikian, maka yang menjadi pusat perhatian dari kebijaksanaan

pertanahan adalah kemampuannya untuk memenuhi keadilan bagi seluruh

lapisan masyarakat, di dalam upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai

kebutuhan yang esensial.

8. Ringkasan Karakter Produk Hukum Agraria

a. Periode 1945-1959

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 segera bermunculan

tuntutan kepada pemerintah untuk membuat produk hukum agrarian nasional

yang baru dan berwatak responsive. Tanggapan pemerintah pada periode ini

terdiri atas dua macam, yaitu pertama, mengeluarkan berbagai Undang-

undang secara parsial dalam bidang agrarian yang berisi pencabutan terhadap

beberapa bagian dalam hukum agrarian peninggalan colonial yang sangat

menindas; dan kedua membuat rancangan undang-undang agrarian Nasional

untuk menggantikan Agrarische Wet (AW) 1870 melalui beberapa panitia

perancang. Pda akhirnya Undang-Undang tersebut berhasil disusun tetapi

pengundangannya baru dilakukan pada periode berikutnya. Secara umum

25
produk hukum dan respons pemerintah dalam masalah agrarian pada periode

ini merupakan produk hukum dan tindakan-tindakan yang responsive.

b. Periode 1959-1966

Rancangan Undang-undang tentang Agraria Nasional yang berhasil

disusun pada periode 1945-1959 kemudian diundangkan pada awal periode

1959-1966 setelah diadakannya penyesuaian dengan konstitusi dan

konfigurasi politik yang baru, yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1960 atau

Undang-undang tentang Pokok-pokok Agrarria (UUPA). UUPA adalah

Undang-undang yang sangat responsive karena ia merombak seluruh system

yang dianut di dalam Agrarische Wet (AW) 1870 dan semua peraturan-

perturan agrarian lama yang dihapus oleh UUPA meliputi domeinverklaring,

feodalisme, dan hakkonversi dalam hukum tanah, serta dualisme hukum.

UUPA menegaskan adanya fungsi social bagi setiap hak milik atas tanah.

Meskipun UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) ini diproduk di dalam konfigurasi

politik yang otoriter (demokrasi terpimpin), UU ini tetap berkarakter sangat

responsive karena empat alasan :

1) Rancangan Undang-undang tersebut merupakan wawasan periode

sebelumnya yang dirumuskan oleh berbagai perancang

2) Materi Undang-undang tersebut merupakan pembalikan total terhadap

Undang-undang yang diwariskan oleh pemerintah Kolonial Belanda

sehingga pasti diterima oleh pemerintah nasionalis

26
3) Materi Undang-undang tesebut tidak menyangkut distribusi kekuasaan

politik (gezagver houding) sehingga pemberlakuannya tidak akan

mengganggu posisi pemegang kekuasaan politik yang dominant

4) UUPA memuat dua bidang hukum sekaligus yaitu hukum public dan

hukum perdata. Seperti dikemukakan di atas, hukum secara lebih

signifikan akan mengena pada bidang hukum public yang menyangkut

gezagverhouding.

c. Periode 1966- Sekarang

Ketika Orde baru lahir pada tahun 1966, di Indonesia sudah ada

hukum agrarian nasional yaitu Undang-undang tentang Pokok-Pokok Agraria

(UUPA) sehngga tidak diperlukan lagi sebuah produk hukum agrarian

nasional yang baru. Yang dihadapi pemerintah Orde Baru dalam Bidang

Agraria ini adalah tuntutan pembaharuan terhadap bweberapa peraturan-

[eraturan dalam bidang agrarian yang sifatnya parsial, pembuatan berbagai

peraturan pelaksanaan, dan yang lamban, dan proses pembebasan tanah untuk

keperluan pembangunan.

Khusus yang menyangkut proses pembebasan tanah ada

kecenderungan bahwa pemerintah telah memilih jalan pragmatis dengan

mengeluarkan pewraturan perundang-undangan yang materinya tidak sejalan

dengan UU yang telah ada. Untuk mempermudah dalam pengadaan tanah bagi

keperluan pembangunan pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri

27
Dalam Negeri (PMDN) N0. 15 Tahun 1975 yang mengatur prosedur

pembebasan tanah dan Inpres No. 9 Tahun 1973 yang mengatur tentang jenis-

jenis Kepentingan Umum, padahal untuk itu telah ada Undang-Undang no. 20

Tahun 1961 yang mengatur prosedur pencabutan hak atas tanah (onteigening).

Dari sudut hukum materi PMDN No. 15 Tahunn 1975 dipandang telah

melanggar batas proporsional materi peraturan perundang-undangan sebab

PMDN tersebut memuat pengaturan tentang sesuatu yang telah dan

seharusnya diatur did lam sebuah UU. Karena itu, untuk keperluan pragmatis,

dapat dikatakan pemerintah telah mengeluarkan produk hukum yang

cenderung berkarakter ortodok/konservatif dalam m,asalah keagrariaan secara

parsial. Pada tahun 1993 presiden telah mengeluarkan Keppres No. 55 yang

mengatur tenttang “pengadaan” tanah untuk keperluan pembangunan

sekaligus mencabut perauran-peraturan tentang “pembebasan” tanah namun

Keppres ini tetap memuat benturan hierarkis dengan UU yang telah ada dalam

arti mengatur secara lain tentang hal yang telah diatur di dalam UU (yang

secara hierarkis lebih tinggi)

D. Penutup

1. Kesimpulan

a. Banyak Pasal-pasal dalam Undang-Unadang Pokok Agraria belum

dibuatkan pranatanya, serta masih pluralnya hukum pertanahan

mengakibatkan hak-hak rakyat atas tanah rapuh kepastian hukumnya.

28
Bahkan sering muncul dalam konflik pertanahan, delegitimasi hak-hak

rakyat atas tanah, yakni ketika hak ulayat dan komunal serta hak

tradisional lainnya tidak diakuinya. Berarti dualisme antara hukum adat

dan hukum nasional masih terjadi.

b. Pada prinpsipnya fungsi hukum pada utamanya adalah hukum berfungsi

utama dari system hukum itu yaitu fungsi integrative, yakni mengurangi

(kalau tidak dapat menghilangkan) konflik-konflik dan melancarkan

interaksi social. Di sini hukum berfungsi membek up penyelesaian

konflik-konflik yang terjadi di dalam masyatakat khususnya yang terjadi

di bidang pertananhan.

2. Saran

a. Strategi advokasi hak-hak rakyat atas tanah perlu berorientasi pada

reformasi agraria dalam konteks demokrasi dan politik, mengingat

pengalaman selama ini di dalam konflik-konflik pertanahan, baik antara

hak-hak individu-individu, terlebih antara individu-individu modal dan

pemerintah.

b. Pembaharuan hukum agrarian harus diarahkan pada penciptaan

keseimbangan antara hak-hak rakyat dan Negara, hak swasta dalam

mendapatkan serta menggunakan tanah untuk kepentingan pembangunan.

29
DFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1983. Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan pembebasan


tanah di Indonesia Seri Hukum Agraria. Bandung :Alumni

Blau, Peter M. dan Meyer, Marshall W. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern.
Jakarta : UI Press

Garuda Nusantara, Abdul Hakim, 1988, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : YLBHI.

Gibson, James L. Ivancevich, John M. , Donelly Jr, James H. 1988. Organisasi dan
Manajemen, Perilaku Struktur Proses. Jakarta : Erlangga

Hartono, Sunaryati, 1976, Apakah The Rule of Law Itu? ,Bandung: Alumni

Kusumah, W. Mulyana, 1986, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Jakarta:


Rajawali.
Lubis, Todung Mulya, 1983, Perkembangan Hukum dalam Perspektif Hak Asasi
manusia, Makalah Raker Peradin, November.

M. Arief Amrullah, 2003, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlindungan


Korban Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Bayumedia Publishing,
Malang

Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta

30
-------------.,1999,Pergulatan politik dan Hukum Indonesia,Yogyakarta: Gama Media

Muladi,1993, Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang

Paul Sdholten, 1997, Struktur Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta,
dalam Seri dasar-dasar Ilmu Hukum, Fakultas hukum Pahrayangan,
Bandung

Prodjosapoetra, Soewardi, 1994. “UUPA dan Beberapa Masalahnya”, dalam


Kompas Hal. 4, 23 September 1994

Parlindungan, A.P. 1989. “Politik dan Hukum Agraria di Zaman Orde Baru”. Dalam
Prisma No. 4,1989,Jakarta :LP3ES

Rahardjo, Satjipto,1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam


Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Sinar Baru.

Sahetapy, Hukum dalam konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan
Sistem Hukum”Analisis CSIS (Januari-Pebruari, XXII) No. 1, 1993.

Solly Lubis, 1989, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap


Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung

Susanto, I.S. “Kuliah ke III, Lembaga dan Pranata Hukum”, Program Studi s-2
(Magister) Ilmu Hukum, Program Kajian Hukum Ekonomi dan Teknologi
Universitas DIponegoro, tanggal 26 Oktober 1994

Sumardjono, Maria S.W. 1994. “Reorientasi Kebijaksanan Pertanahan”, dalam


kompas hal 4, 24 September 1994

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

31

Anda mungkin juga menyukai