POKOK AGRARIA
A. Pendahuluan
marilah kita pelajari apa itu Politik Hukum. Politik hukum terdiri atas
rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto (1983: 5) istilah politik
dengan Negara;
dengan Negara.
1
independent variable (variable berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian,
Kebijakan hukum yang akan dan atau telah ada dilaksanakan secara nasional
belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidaqk hanya
kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam
penegakannya.
tentu tidak hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis saja, akan tetapi
2
(1997: 5), menolak pandangan Hans Kelsen yang melihat putusdan-putusan
itu kemurnian ilmu hukum selalu mengandung saesuatu yang tidak murni dari
bahannya. Jika hal itu tidak dilakukan maka menurut Scholten, ilmu hukum
3
telah meletakkan suatu dasar yang baik dalam suatu hukum agraria yang
lebih luas daripada pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. bila pasal 33
ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “bumi dan air dan kekayaan
permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi, dibawahnya serta yang ada di
bawah air. Dalam pengertian air, termasuk baik perairan pedalaman maupun
ruang di atas bumi dan air tersebut. Dari sini jelas, bahwa Pasal 1
wawasan nusantara.
B. Permasalahan
4
Permasalahan yang coba diangkat dan dipaparkan dalam penulisan
C. Pembahasan
Ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh pembaca sehubungan dengan hal-
gambaran awal tentang Politik hukum nasional di Indonesia. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi salah tafsir di dalam memahami politik dan hukum serta untuk
cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak disapai agar
5
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-nasa yang akan datang. Hal ini dapat
yang sangan penting artinya dan mempunyai pengaruh luasm karena itu akan
undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-
2)funsdi instrumental
hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka
yakni dari mana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau
Jia tidak, hukum itu tidak lagi berdungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih
6
kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat dan
idealisme Pancasila.
itu menurut Sudarto, dapat diartikan sebagai suatu proses penyesuaian diri
dengan keadaan konstelasi dunia pada waktu ini. Misalnya hukum pidana
kriminil. Sehingga politik kriminil itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan
paling luas.
dan metode yang menjadi dasar dari reaksi trerhadap pelanggaran hukum
berupa pidana.
7
Dalam arti yang paling luas, ia meurupakan keseluruhan kebijakan yang
atas, pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik
maka sudah ditwentukan arah yang hendak dituju atau arah dengan kata lain,
Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah
strukturm substansi dan kultur (Muladi, 1993: 21). Hal ini penting agar pihak
kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka
8
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan
hukum tetap.
merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum kan sangat
dapat dilihat sebagai kristalisasi dan pemikiran politik yang saling berinteraksi
9
di kalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan
bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, kajian ini lebih melihat
sudut “das sein” atau empiriknya bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya
Pada Negara yang baru merdeka, posisi hukum seperti itu tampak sangat
1985: 71). Karakter yang menonjol dari situasi seperti itu adalah
pengutamaan tujuan, isi dan substansi di atas prosedur atau cara-c ara untuk
hukum Satjipto Rahardjo, 1985: 71). Lagi pula pembangunan yang dianut di
10
Dalam logika seperti itu, hukum diberi fungsi, terutama sebagai
(Sunaryati Hartono, 1976: 7). Dengan demikian, dapat dipahami jika terjadi
harus diubah atau dihapuskan ( Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988: 18).
Indonesia sampai lima belas tahun menjadi bangsa dan Negara merdeka
(tahun 1945 sampai 1960). Oleh sebab itu Undang-undang tersebut masih
keutuhan nasio0nal bangsa Indonesia (Moh. Mahfud MD, 1993 : 113). Kita
11
menjadi pemegang hak milik atas tanah di Negara ioni. Kebutuhanm ekoomis
masyarakat kita yang akan berhadapan dengan kekayaan modal orang atau
tanah yang ada di Indonesia akan beralih ke tangan orang-orang asing. Jika ini
pemenuhan kebutuhan.
program-program pembangunan
12
Pokok Agraria itu sendiri. Begitu juga , mengenai struktur penguasaan tanah
yang antara lain terlihat dari tidak berjalannya hukum landreform, tetap tidak
berubah secara berarti karena kondisi penguasaan tanah, yang udah terlanjur
hak-hak tanah yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat,
dan di pihak lain hak-hak tanah bagi golongan bumiputera. Akan tetapi
agrarian. Hal ini tidak lepas dari konteks Negara sebagai lembaga atau
birokrasi yang memiliki tujuan tertentu, yang hanya dapat dicapai lewat
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961. hal ini merupakan bagian
13
mengatur tentang penetapan luas tanah pertanian, sementara PP no. 224 tahun
rugi. Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, yang
lagi dengan Keppres No. 13 tahun 1980. sementara itu, Peraturan Pemerintah
Sampai disini dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1960, banyak lahir
dihapuskan.
tahun 1994. Peraturan ini antara lain mengatur secara rinci cara musyawarah
14
Menurunnya aktivitas untuk menghasilkan pranata-pranata hukum
keadaam masyarakat adil dan makmur (Susanto, Kuliah ke III Lembaga dan
dan bagi mereka terasa menggetirkan. Dan setiap kali seperti diingatkan
disini persoalah hak atas tanah menjadi satu indikasi yang menentukan.
15
rumitnya, yang menyeret pada sikap skeptis dalam mengupayakan cara-cara
pemanfaatan tanah dalam cara yang sesuai, seimbang dan adil bagi semua
memadainya ganti rugi atau ganti rugi yang dianggapnya terlalu besar,
oleh rakyat yang “lapar tanah” terhadap tanah-tanah tidak produktif, tidak
sudah timbul, tetapi tidak berorientasi ke depan, tidak jelasnya siapa yang
16
Unadang Pokok Agraria masih relevan atu tidak. Para intelektual banyak
(Prodjosapoetra, 1994:5)
pemahaman atas apa yang sudah ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan
Agraria bukanlah bikinan PKI, melainkan sebagai karya ilmiah yang merujuk
dengan tanah. Tanah adalah tempat pemukiman dari sebagian besar umat
17
manusia, disamping sebagia sumber penghidupan bagi mereka yang mencari
tidak saja memiliki nilai ekonomis dan kesejahteraan semata, akan tetapi juga
ketetapan yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan Repelita
dari waktu ke waktu. Dalam Repelita II, buku III, halaman 95,
program tata ruang. Unsure-unsur program ini terdiri atas program tata guna
tanah, tata kota, dan tata daerah, serta tata agraria, yang meliputi aspek
18
landreform, aspek pengurusan hak atas tanah, aspek pendaftara tanah, serta
tanah dan penertiban serta peningkatan pengurusan hak atas tanah. Dengan
hukum terhadap pemilikan tanah, pembukuan hak atas tanah tersebut dan
pembangunan umum yang tercantum dalam TAP MPR No. 20 sebagai berikut
butir penting yang ditonjolkan juga berkisar pada perlunya penataan kembali
19
dengan menyusun pranata hukum dan melaksanakan peraturan pelaksanaan
terjadinya hak milik menurut hukum adat, pencabutan hak milik yang terlantar
pembebanan atas tanah hak milik dan hak guna bangunan dan hak pakai,
lainnya.
Satu hal yang perlu diungkapkan dalam kaitan tentang masalah tanah
dan tenaga kerja, serta pembukaan dan pengembangan daerah produksi baru,
luar Jawa dan bali, yang dapat menjamin taraf hidup para transmigran dan
dalam rangka pemanfaatan tanah lebih dan tanah absenti demi terciptanya
keadilan social yang makin merata. Masalah lain yang perlu mendapat
20
perhatian, yang merupakan bagian dalam persoalan landerform, ada;aj
mengenai perjanjian bagi hasil. Hal ini sesuai dengan instruksi Presiden No.
badan ini akan lebih aktif dan terhadap setiap pergolakan dalam masyarakat
memberikan berbagai kemudahan atau hak yang lebih besar pada sebagian
kecil masyarakat, yang belum diimbangi dengan perlakuan yang sama bagi
akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan sumber daya alam
berupa tanah yang terbatas itu. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi
tawar menawar antara masyarakat dan pihak swasta, lebih dikukuhkan dengan
21
adanya kewenangan pembuat kebiksanaan yang bias terhadap kepentingan
yang diciptakan telah memperkosa masyarakat yang dalam posisi tanah, dan
iklim deregulasi yang sudah muilai tampak dengan regulasi Juli 1992, dan
berupa penyederhanaan tata cara pemnberian Hak Guna Usaha (HGU) dan
Tidak dapat dipungkiri bagi investor kemudahan tata cara dan ketepatan
waktu penyelesaian pemberian hak atas tanah merupakan daya tarik tersendiri.
perusahaan dan industri (real estate dan industrial estate) yang pada umumnya
diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian subur, dijumpai adanya
sesuai dengan perencanaan semula. Tampaknya bahwa di satu sisi dalam areal
22
luas yang tidak dimanfaatkan, sedangkan di sisi lain untuk memperoleh
sebidang tanah relative tidak mudah, karena kenaikan harga tanah sulit
rakyat atas areal bekas perkebunan yang terlantar. Dalam pemberian HGU
terhadap pemegang hak yang baru tidak jarang dijumpai areal tertentu yang
kebijaksanaan untuk memberikan hak atas tanah secara kolektif bagi para
diabaikan.
23
Suatu kebijaksanaan yang memberikan kelonggaran yang lebih besar
kebijaksanaan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang lebih besar.
Oleh karena itu, selalu ada kebijaksanaan yang berfungsi untuk mengoreksi
kepentingan.
7. Prinsip-prinsip Keadilan
yang sangat menyentuh keadilan, karena sifat tanah yang langka dan terbatas.
masyarakat
24
Untuk mendisain kebijaksanaan yang dirasakan adil, diperlukan
lain. Dengan demikian, maka yang menjadi pusat perhatian dari kebijaksanaan
a. Periode 1945-1959
yang baru dan berwatak responsive. Tanggapan pemerintah pada periode ini
undang secara parsial dalam bidang agrarian yang berisi pencabutan terhadap
25
produk hukum dan respons pemerintah dalam masalah agrarian pada periode
b. Periode 1959-1966
konfigurasi politik yang baru, yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1960 atau
yang dianut di dalam Agrarische Wet (AW) 1870 dan semua peraturan-
UUPA menegaskan adanya fungsi social bagi setiap hak milik atas tanah.
26
3) Materi Undang-undang tesebut tidak menyangkut distribusi kekuasaan
4) UUPA memuat dua bidang hukum sekaligus yaitu hukum public dan
gezagverhouding.
Ketika Orde baru lahir pada tahun 1966, di Indonesia sudah ada
nasional yang baru. Yang dihadapi pemerintah Orde Baru dalam Bidang
peraturan pelaksanaan, dan yang lamban, dan proses pembebasan tanah untuk
keperluan pembangunan.
dengan UU yang telah ada. Untuk mempermudah dalam pengadaan tanah bagi
27
Dalam Negeri (PMDN) N0. 15 Tahun 1975 yang mengatur prosedur
pembebasan tanah dan Inpres No. 9 Tahun 1973 yang mengatur tentang jenis-
jenis Kepentingan Umum, padahal untuk itu telah ada Undang-Undang no. 20
Tahun 1961 yang mengatur prosedur pencabutan hak atas tanah (onteigening).
Dari sudut hukum materi PMDN No. 15 Tahunn 1975 dipandang telah
seharusnya diatur did lam sebuah UU. Karena itu, untuk keperluan pragmatis,
parsial. Pada tahun 1993 presiden telah mengeluarkan Keppres No. 55 yang
Keppres ini tetap memuat benturan hierarkis dengan UU yang telah ada dalam
arti mengatur secara lain tentang hal yang telah diatur di dalam UU (yang
D. Penutup
1. Kesimpulan
28
Bahkan sering muncul dalam konflik pertanahan, delegitimasi hak-hak
rakyat atas tanah, yakni ketika hak ulayat dan komunal serta hak
utama dari system hukum itu yaitu fungsi integrative, yakni mengurangi
di bidang pertananhan.
2. Saran
pemerintah.
29
DFTAR PUSTAKA
Blau, Peter M. dan Meyer, Marshall W. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern.
Jakarta : UI Press
Garuda Nusantara, Abdul Hakim, 1988, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : YLBHI.
Gibson, James L. Ivancevich, John M. , Donelly Jr, James H. 1988. Organisasi dan
Manajemen, Perilaku Struktur Proses. Jakarta : Erlangga
Hartono, Sunaryati, 1976, Apakah The Rule of Law Itu? ,Bandung: Alumni
30
-------------.,1999,Pergulatan politik dan Hukum Indonesia,Yogyakarta: Gama Media
Paul Sdholten, 1997, Struktur Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta,
dalam Seri dasar-dasar Ilmu Hukum, Fakultas hukum Pahrayangan,
Bandung
Parlindungan, A.P. 1989. “Politik dan Hukum Agraria di Zaman Orde Baru”. Dalam
Prisma No. 4,1989,Jakarta :LP3ES
Sahetapy, Hukum dalam konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan
Sistem Hukum”Analisis CSIS (Januari-Pebruari, XXII) No. 1, 1993.
Solly Lubis, 1989, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung
Susanto, I.S. “Kuliah ke III, Lembaga dan Pranata Hukum”, Program Studi s-2
(Magister) Ilmu Hukum, Program Kajian Hukum Ekonomi dan Teknologi
Universitas DIponegoro, tanggal 26 Oktober 1994
31