Anda di halaman 1dari 59

HUKUM PIDANA EKONOMI

(KEJAHATAN DI BIDANG EKONOMI)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022/2023
KEBIJAKAN SOSIAL
(SOCIAL POLICY)

Kebijakan sosial (social policy), menurut Barda


Nawawi Arief, adalah segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social policy”
sekaligus tercakup di dalamnya kebijakan kesejahteraan sosial
dan kebijakan pertahanan sosial (“social welfare policy” and “ social
defence policy”)
(Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Hal. 30).
Salah satu bentuk kebijakan sosial (social policy) adalah
kebijakan hukum (legal policy), di samping kebijakan lainnya.
KEBIJAKAN HUKUM
(LEGAL POLICY)

Menurut G.P. Hoefnagels, kebijakan hukum merupakan


bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial
(social policy); atau dengan kata lain, kebijakan sosial
mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang
selengkapnya dikatakan kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy).
Jadi dengan demikian, kebijakan perundang-
undangan (legislative policy) dan kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy) merupakan bagian dari
kebijakan sosial (social policy). (G.P. Hoefnagels. 1978. The
Other side of Criminology. Holland: Deventer-Kluwer. Hal. 57).
Menurut Prof. Sudarto, politik hukum atau kebijakan
hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-
peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat (Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum
Pidana. Bandung: Alumni. Hal. 159).

Pada kesempatan lain beliau mendefinisikan,


politik hukum sebagai kebijakan dari badan-badan
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yang
dicita-citakan (Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan
Masyarakat. Bandung: Sinar Baru. Hal. 20).
Mahfud MD memberikan pengertian secara
sederhana bahwa politik hukum sebagai
kebijaksanaan hukum (legal policy) yang
akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah. (Moh. Mahfud. MD.
1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia. Hal. 7-9).
Menurut H.P. Hoefnagels, dalam kebijakan
hukum atau kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy) ini meliputi juga
kebijakan penanggulangan kejahatan (politik
kriminal – criminal policy).
H.P. Hoefnagels mendefinisikan criminal
policy sebagai the rational organization of
social reaction to crime. ( Kebijakan kriminal
sebagai organisasi rasional dari reaksi sosial
terhadap kejahatan)
Beberapa definisi ilustratif tentang
criminal policy juga diberikan oleh
Hoefnagels, seperti:
a. Criminal policy is the science of responses;
(kebijakan kriminal adalah ilmu tanggapan )
b. Criminal policy is the science of crime prevention;
(kebijakan kriminal adalah ilmu tentang pencegahan
kejahatan)
c. Criminal policy is a policy of designating human
behavior of crime; (kebijakan kriminal adalah
kebijakan yg menonjolkan perilaku manusia yg
melakukan kejahatan)
d. Criminal policy is a rational total of responses to
crime. (kebijakan kriminal adalah total tanggapan yg
rasional terhadap kejahatan)
Criminal policy
Menurut Sudarto, sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief,
pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal
(criminal policy), yaitu:
 dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
berupa pidana;
 dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur
penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari
pengadilan dan polisi;
 dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen),
ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari
masyarakat.
Pada kesempatan yang lain beliau mengemukakan
definisi singkat, bahwa politik criminal merupakan “suatu
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan”.
Kebijakan hukum pidana

Menurut Marc Ancel, Kebijakan hukum pidana


(criminal policy) adalah “suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan”.
Lebih lanjut Marc Ancel mengatakan:
“Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di
satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-
undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu
pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki
fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional,
di mana para sarjana dan praktisi, para ahli
kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama
tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau
saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang
terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk
menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik,
humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat”.
(Barda Nawawi Arief. 1996: 4).
Dalam penanggulangan suatu kejahatan perlu
ditempuh dengan dilakukan pendekatan
kebijakan yang menyeluruh/ integral, dalam
arti:

• Ada keterpaduan (integralitas) antara politik


kriminal dan politik sosial;
• Ada keterpaduan (integralitas) antar
penangulangan kejahatan dengan “penal” dan
“non-penal”.
Makna dan hakekat pembaharuan
hukum pidana:
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya);
b. Sebagai bagian dari kebijakan criminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya
upaya penanggulangan kejahatan);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana
pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya mempembaharui sistem hukum
(legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (re-orientrasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-
politik, sosio-filosofik, dan sosio kultural yang memberi isi terhadap muatan
normatif dan substantif hukum pidana (materiil dan formil) yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari
hukum pidana yang dicita-citakan sama dengan orientasi nilai dari hukum
pidana lama warisan kolonial.
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka upaya fungsionalisasi hukum
pidana baik materiil maupun formil , juga harus secara sungguh-
sungguh memperhatikan:

1. Tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan


makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila;
sehubungan dengan hal itu maka (penggunaan) hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau yang akan
ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang
tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
materiil dan spiritual bagi warga masyarakat;
3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost and benefit principle); dan
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
(Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hal. 36-40.
Lihat juga Barda Nawawi Arief. 1996. Op-Cit. Hal. 33-34).
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
DI BIDANG EKONOMI

Adalah semua usaha yang rasional dari negara


dan masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan di bidang ekonomi, khususnya
melalui kebijakan hukum pidana materiil
(kriminalisasi) dan hukum pidana formil.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
DI BIDANG EKONOMI
Melahirkan
TINDAK PIDANA (Kejahatan) Ekonomi (UU No.
7/Drt/1955 tentang TPE)
&
TINDAK PIDANA (Kejahatan)
di bidang Ekonomi
(UU Korupsi, UU Perbankan, UU Anti Monopoli,
UU Pencucian Uang, UU Lingkungan Hidup,
UU Pengelolaan SDA) dsb
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
DI BIDANG EKONOMI
TINDAK PIDANA Ekonomi: UU No.7/Drt/1955 tentang
TINDAK PIDANA EKONOMI)
&
TINDAK PIDANA / Kejahatan di bidang Ekonomi
Tersebar di berbagai UU :
- UU Korupsi,
- UU Perbankan,
- UU Anti Monopoli,
- UU Pencucian Uang,
- UU Lingkungan Hidup,
- UU Pengelolaan Sumber Daya Alam dsb.
3 Karakteristik kejahatan ekonomi atau
features of economic crime (Edmund W Kitch ):

1. Pelaku menggunakan modus operandi yang sulit


dibedakan dengan modus operandi kegiatan
ekonomi pada umumnya.
2. Tindak pidana ini biasanya melibatkan
pengusaha-pengusaha yang sukses dalam
bidangnya.
3. Tindak pidana ini memerlukan penanganan atau
pengendalian secara khusus dari aparatur
penegak hukum.
3 TIPE TINDAK PIDANA EKONOMI
(menurut Ensiklopedia Crime and
Justice )
1. Property crimes/ Kejahatan di bidang
properti
2. Regulatory crimes/kejahatan di bidang
peraturan
3. Tax crime/ kejahatan di bidang perpajakan.
PROPERTY CRIME
(kejahatan properti)
– Memiliki pengertian yang lebih luas dari
Kejahatan terhadap harta kekayaan dalam KUHP
(pencurian Pasal 362 , penipuan, penggelapan,
pemerasan, dll) KUHP
• Meliputi objek yang dikuasai individu
(perorangan) dan juga yang dikuasai Negara.
• Misal di Amerika Serikat dikenal Integrated
Theft Offense / Pelanggaran pencurian
terintegrasi
Integrated Theft Offense di AS
meliputi tindakan-tindakan:
• Tindakan penipuan yang merusak (the fraudulent destruction)
• Tindakan memindahkan atau menyembunyikan instrument yang tercatat
atau dokumentasi (removal or concealment of recordable instrument)
• Tindakan mengeluarkan cek kosong
• Menggunakan kartu kredit yang diperoleh dari pencurian dan kartu
kredit yang ditangguhkan
• Praktik usaha curang
• Tindakan penyuapan dalam usaha
• Tindakan perolehan atau pemilikan sesuatu dengan cara tidak jujur atau
curang
• Tindakan penipuan terhadap kreditur beritikad baik
• Pernyataan bankrut dengan tujuan penipuan
• Perolehan deposito dari lembaga keuangan yang sedang pailit.
• Penyalah gunaan dari asset yang dikuasai
• Melindungi dokumen dengan cara curang dari tindakan penyitaan.
REGULATORY CRIMES
(kejahatan di bidang peraturan)
• Setiap tindakan yang merupakan pelanggaran
terhadap peraturan pemerintah yang berkaitan
dengan usaha di bidang perdagangan atau
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan mengenai
standarisasi dalam dunia usaha.
• Seperti: larangan perdagangan NARKOBA illegal,
penyelenggaraan pelacuran, peraturan tentang
lisensi, pemalsuan kewajiban pembuatan laporan
dari aktivitas usaha dibidang perdagangan,
melanggar ketentuan upah buruh, larangan
monopoli di dalam dunia usaha serta kegiatan usaha
yang berlatar politik.
TAX CRIME
(Kejahatan di bidang Perpajakan)
• Tindakan yang melanggar ketentuan mengenai
pertanggungjawab di bidang pajak dan
persyaratan yang telah diatur dalam undang-
undang pajak.
• Seperti Indonesia, yang setiap tahun dirugikan
trilyunan rupiah oleh konglomerat-konglomerat
hitam yang melakukan penggelapan dan
penyelundupan pajak.
• Pengaduan keberatan pajak, yang ternyata
dilakukan untuk tawar menawar pajak.
MULADI, mengatakan tipologi tindak pidana bisa
dibedakan atas dasar tujuan pengaturannya dan
motivasi dilakukannya.
- Tujuannya untuk apa?
- Motivasi dilakukannya?
Tujuan Pengaturannya:
• Peraturan yang berusaha menjaga agar
kompetisi bisnis dilakukan dengan jujur dan
efektif;
• Peraturan yang berusaha mencampuri
ekonomi pasar, seperti pengendalian harga,
peraturan export/impor , devisa;
• Pengaturan fiscal, seperti: manipulasi pajak
dan bea cukai;
• Peraturan korupsi, misal: menyuap
Motivasi dilakukannya kejahatan:
• Kejahatan yang bersifat individual, seperti pemalsuan
kartu kredit dan pajak pribadi
• Kejahatan dilingkungan okupasi/pekerjaan yang
melanggar kewajiban dan kepercayaan baik di
lingkungan bisnis, pemerintahan maupun lembaga lain,
seperti: kejahatan perbankan, manipulasi biaya
perjalanan.
• Kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan
bisnis, sekalipun tidak bersifat sentral, seperti:
manipulasi pajak, kejahatan obat dan makanan, korupsi
dan kolusi.
• Kejahatan dilingkungan bisnis yang bersifat sentral,
seperti: penipuan asuransi dan advertensi palsu.
Proses Penegakan Hukum Pidana berpegang
kepada Three basic Problems In Criminal Law
(tiga masalah dasar dalam hukum pidana):

• Perbuatan yang dilarang (strafbarfeit)


• Pertanggungjawaban pidana atau
kesalahan (schuld)
• Sanksi pidana (straaf)
KORPORASI
• Adalah terminology yang biasa digunakan dalam
hukum pidana disebut badan hukum (recht person
atau legal entity) yang sudah melembaga di bidang
hukum perdata
• Merupakan badan hasil ciptaan hukum yang unsur-
unsurnya terdiri dari corpus (struktur fisik) dan
animus (kepribadian), maka kematianpun ditentukan
oleh hukum.
• Adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan
hukum bertindak bersam-sama sebagai suatu subyek
hukum tersendiri , suatu personifikasi.
• Adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi
mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari
kewajiban anggota masing-masing.
Korporasi Dapat Bertanggung Jawab
Secara Pidana;
• Korporasi dapat melakukan tindak pidana, tetapi
tanggung jawab pidana masih dibebankan pada
pengurus korporasi (Psl 35 UU No 3 Th 1982
tentang Wajib Daftar Perusahaan)
• Korporasi dinyatakan secara tegas sebagai pelaku
kejahatan dan dapat dipertanggung jawabkan
secara hukum pidana (Psl 15 UU No 7 /DRT/ 1955
tentang TPE, Psl 46 UU No 23 /1977)
Klasifikasi Kejahatan yang berkaitan
dengan Korporasi :
• Crime for corporation (kejahatan korporasi) yaitu;
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi dalam usahanya untuk memperoleh
keuntungan
• Criminal corporation (korporasi kriminal) yaitu,
korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan, misal perusahaan multi
level
• Crime against corporation (kejahatan terhadap
korporasi) di sini yang menjadi korban adalah
korporasi.
Peristilahan & Pengertian Tindak
Pidana Di Bidang Ekonomi:
• Perbedaan antara istilah economic crimes (kjht ekonomi) dan istilah
economic criminality (kriminalitas ekonomi)
• Economic crimes menunjuk kepada kejahatan-kejahatan yang dilakukan
dalam kegiatan atau aktivitas ekonomi (dalam arti luas);

• Economic criminality menunjuk kepada kejahatan konvensional, yang


mencari keuntungan yang bersifat ekonomis missal ; pencurian,
penggelapan, pencopetan, perampokan, pemalsuan dan penipuan.

• Istilah tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesia dalam UU No 7


/DRT/ 1955 lebih condong ke dalam istilah economic crimes dalam arti
sempit, sebab UU tersebut secara subtansil hanya memuat ketentuan
yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan
(UU NO 7 /Drt/ 1955)
ECONOMIC CRIME
• Economic crime didefinisikan sebagai kegiatan
criminal yang memiliki kesamaan tertentu
dengan kegiatan ekonomi pada umumnya
yaitu kegiatan usaha yang nampak non
criminal.
• American bar association memberikan
batasan ‘economic crime’ setiap tindakan
illegal tanpa kekerasan, terutama menyangkut
penipuan, perwakilan tidak sah, penimbunan,
manipulasi, pelanggaran kontraak, tindakan
curang, atau tindakan menjebak secara illegal.
KITCH menegaskan ciri penting
economic crimes:
• Proses pemilikan harta benda dan kekayaan
secara licik atau dengan penipuan
• Beroperasi secara diam-diam (tersembunyi)
• Sering dilakukan oleh perorangan yang memiliki
status sosial dan ekonomi yang tinggi
Unsur-unsur Tindak Pidana Ekonomi:
 Perbuatan dilakukan dalam kerangka
kegiatan ekonomi yang pada dasarnya
bersifat normal dan sah
 Perbuatan tersebut melanggar atau
merugikan kepentingan Negara atau
masyarakat secara umum, tidak hanya
kepentingan individual
 Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di
lingkungan bisnis yang merugikan
perusahaan lain atau individu lain.
TIPE KEJAHATAN
Corporate crime:

• Memiliki status sosial tinggi di dalam masyarakat;


• Identik dengan konsepsi White Colar Crime dan
Business crime;
• Bukan suatu organisasi kejahatan melainkan
merupakan kelompok dunia usaha;
• Dapat dilakukan oleh perorangan (direktur2nya)
atau oleh perusahaan itu sendiri
TIPE KEJAHATAN
Organized crime/ Criminal
corporation :
• Kejahatan sebagai mata pencaharian corporasi;
• terasing dari masyarakat;
• konsep diri sebagai penjahat berkembang
pesat;
• selalu berkelompok dan memiliki pimpinan
serta memang merupakan suatu organisasi
kejahatan
TIPE KEJAHATAN

Professional crime:

• Memiliki status tinggi di kalangan penjahat;


• specialisasi dalam kejahatan untuk memperoleh
keuntungan ekonomis.
WHITE COLLAR CRIME
kejahatan kerah putih
White collar crime diperkenalkan oleh Edwin H
Sutherland tahun 1939 dipakai dengan istilah:

Organizational crime =kejahatan organisasi


Organized crime = kejahatan terorganisir
Corporate crime = kejahatan korporasi
Business crime = kejahatan bisnis
Occupational deviance =penyimpangan pekerjaan
Government deviance = penyimpangan pemerintahan
Illegal corporate behavior=perilaku perusahaan ilegal
JOANN MILLER membagi white collar
crime ke dalam 4 katagori:

• Kejahatan korporasi
• Kejahatan jabatan
• Kejahatan profesional
• Kejahatan individu
KEJAHATAN KORPORASI
• Dilakukan oleh para eksekutif demi kepentingan dan
keuntungan perusahaan yang berakibat kerugian
pada masyarakat.
• Missal , kejahatan lingkungan, kejahatan pajak, iklan
yang menyesatkan dll.
Unsur Kejahatan Korporasi:
• Kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat
• Dari status sosial tertinggi
• Dalam hubungannya dengan pekerjaannya melanggar
kepercayaan public
Kejahatan jabatan
(governmental occupational crime)
• Kejahatan yang dilakukan oleh pejabat atau
birokrat seperti korupsi dan abuse of power.
KEJAHATAN PROFESSIONAL
• Kejahatan di lingkungan professional,
pelakunya meliputi lingkungan professional,
seperti: dokter, akuntan, pengacara, notaris,
dan berbagai profesi yang mempunyai kode
etik khusus disebut malpraktik
Kejahatan individual
Kejahatan yang dilakukan oleh individu untuk
mendapatkan keuntungan pribadi
Karakteristik White Collar Crime:
• Kejahatan tersebut sulit dilihat , karena biasanya tertutup oleh kegiatan
pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian professional dan
system organisasi yang kompleks
• Kejahatan tersebut sangat kompleks karena berkaitan dengan
kebohongan, pemcurian dan penipuan, serta berkaitan dengan sesuatu
yang ilmiah dan teknoligis, financial, legal, terorganisir, melibatkan
banyak orang serta berjalan bertahun-tahun
• Terjadi penyebaran tanggungjawab yang semakin meluas akibat
kompleksitas organisasi
• Penyebaran korban yang luas
• Hambatan dalam pendeteksian, penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan akibat kurang professionalnya aparat
• Peraturan yang tidak jelas sehingga merugikan dalam penegakan hukum
• Sikap mendua terhadap prilaku tindak pidana. Dalam tindak pidana
ekonomi harus diakui bahwa pelaku bukanlah orang yang secara moral
salah, tetapi karena melanggar peraturan pemerintah untuk melindungi
kepentingan umum.
Joseph F. Sheley membagi Kejahatan
Korporasi dalam 6 katagori:
• Menggelapkan/Menipu para pemegang
saham
• Menipu masyarakat
• Menipu pemerintah
• Membahayakan kesejahteraan umum
• Membahayakan pekerja
• Intervensi illegal dalam proses politik
KORPORASI SBG. SUBJEK TP
DAN DAPAT DIPIDANA
1. UU No. 7/Drt. 1955 (UU-TPE);
2. UU No. 11 Pnps. 1963 (Subversi; sudah dicabut);
3. UU No. 5/1984 (Perindustrian);
4. UU No. 6/1984 (Pos);
5. UU No. 9/1985 (Perikanan); sdh. diganti dgn. UU No.
31/2004
6. UU No. 8/1995 (Pasar Modal);
7. UU No. 5/1997 (Psikotropika);
8. UU No. 22/1997 (Narkotika; menggantikan UU No.
9/1976);
9. UU No. 23/1997 (Lingkungan Hidup);
10. UU No. 5/1999 (Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat);
11. UU No. 8/1999 (Perlindungan Konsumen);
12. UU No. 31/1999 (Tindak Pidana Korupsi); Psl.
13. UU No. 15/2002 (TP Pencucian Uang) – Psl. 4-5
14. UU No. 20/2002 (Ketenagalistrikan) – Psl. 65
RESUME – Subjek TP
1. penentuan korporasi sebagai subjek tindak
pidana hanya untuk tindak pidana tertentu,
yang diatur dalam UU khusus;
2. pada awalnya tidak digunakan istilah
“korporasi”, tetapi digunakan istilah yang
bermacam-macam/ bervariasi (tidak seragam)
dan tidak konsisten;
3. istilah “korporasi” mulai terlihat pada th. 1997
dalam UU Psikotropika yang dipengaruhi oleh
istilah dalam Konsep KUHP 1993.
ATURAN PEMIDANAAN (PJP)

 Ada korporasi yang dijadikan subjek TP, tetapi


UU ybs. tidak membuat ketentuan pidana atau
“PJP” untuk korporasi;

Bagi UU yang membuat ketentuan PJP korporasi,


belum ada pola aturan pemidanaan korporasi yang
seragam dan konsisten.

Belum ada aturan pemidanaan umum untuk


korporasi dalam KUHP
KETIDAK SERAGAMAN POLA ATURAN
PEMIDANAAN KORPORASI

• “kapan korporasi melakukan TP dan kapan dapat


dipertanggungjawabkan”  ada yang merumuskan
dan ada yang tidak;

• “siapa yang yang dapat dipertanggungjawabkan” 


ada yang merumuskan dan ada yang tidak;

• “jenis sanksi” :
– ada yang pidana pokok saja;
– ada yang pidana pokok dan tambahan;
– ada yang ditambah lagi dengan tindakan “tata tertib”;
– ada yang menyatakan dapat dikenakan tindakan tata
tertib, tetapi tidak disebutkan jenis-jenisnya;
POLA PIDANA DENDA UNTUK
KORPORASI
• Ada yang sama dengan delik pokok;

• Ada yang diperberat :


– Diperberat 1/3;
– Diperberat 2 x;
– Disebutkan jumlah nominalnya yg diperberat.
JENIS & JUMLAH SANKSI
1. UU : 5/1997 - Denda diperberat (5 M) – Psl. 59 (3)
(Psikotropika) - Denda 2 X + pencabutan izin usaha (Psl. 70)

2. UU : 22/1997 Denda diperberat – disebut nominalnya (Ps. 78-82)


(Narkotika)
3. UU : 23/1997 1) Denda di + 1/3 (Psl. 45)
(Lingk. Hidup) 2) tindakan tata tertib berupa (Psl. 47):
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dan/atau
(2) penutupan perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan
tanpa hak; dan/atau
(5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
(6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama tiga tahun.
JENIS & JUMLAH SANKSI

4. UU: 31/1999 (TPK) - Denda di + 1/3 (Psl. 20)

5. UU:15/2002 (TPPU) - Denda di + 1/3;


– Ps.4 - pencabutan izin usaha
- pembubaran korporasi, diikuti likuidasi

6. UU:20/2002 (Tng. - Denda di + 1/3 (Psl. 65)


Listrik)
7. UU 26/ 2007 - Denda dilipatkan 3x
TENTANG - Pidana tambahan : pencabutan izin usaha;
PENATAAN RUANG dan/atau pencabutan status badan hukum.
– Psl. 74
TEORI/DOKTRIN Pertanggungjawaban
Pidana (PJP) KORPORASI
1. Identification theory;
 Direct liability doctrine;
 Teori organ;
 Teori alter ego;
2. Vicarious liability;
3. Strict liability
4. Corporate culture
Direct liability doctrine atau
Identification theory
• Perbuatan/kesalahan “pejabat senior”
(“senior officer”) diidentifikasi sebagai
perbuatan/kesalahan korporasi;
– Disebut juga teori/doktrin “alter ego” atau “teori
organ”;
– Arti sempit (Inggris) : “hanya perbuatan pejabat
senior (otak korporasi) yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi.
– Arti luas (USA): tidak hanya pejabat senior/
direktur, tetapi juga agen di bawahnya.
VICARIOUS LIABILITY
• Bertolak dari doktrin “respondeat superior”;
(Arti dari “adagium/maxim” ini ialah: “a master is liable in certain
cases for the wrongful acts of his servant, and a principal for
those of his agent”).

• Didasarkan pada :

1) “employment principle”, bahwa majikan (“employer”) adalah


penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawan; jadi “the
servant’s act is the master’s act in law”.

2) “the delegation principle”.  “a guilty mind” dari buruh/karyawan dapat


dihubungkan ke majikan apabila ada pendelegasian kewenangan dan
kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of powers and
duties”) menurut UU.
KONSEP KUHP
• Pasal 48 :
– Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila
dilakukan :
• oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi
• yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi
kepentingan korporasi,
• berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain,
• dalam lingkup usaha korporasi tersebut,
• baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
SANKSI BAGI KORPORASI

Menurut Cristina de Maglie (Corporate Crime and


Sentencing: The Italian Solution), ada 3 jenis
sanksi untuk korporasi :
1) Financial sanctions (denda);
2) Structural sanctions (pembatasan kegiatan usaha;
pembubaran korporasi);
3) Stigmatising sanctions (pengumuman keputusan
hakim; teguran korporasi).
Apakah strict liability sama dengan
absolute liability?
Ada dua pendapat :
1) Strict liability merupakan absolute liability.
Alasan/dasar pemikirannya : – dalam perkara strict
liability seseorang yang telah melakukan perbuatan
terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam UU
sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si
pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi
seseorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut
rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.
2) strict liability bukan absolute liability :
orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut
undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana. –
antara lain dikemukakan oleh J.C. Smith dan Brian Hogan.
TUGAS (KUMPULKAN MINGGU DEPAN)
Lakukan review terhadap salah satu UU Pidana di Bidang Ekonomi:,
meliputi:
1. Ringkasan latar belakang kriminalisasinya;
2. Rumusan deliknya (pilih 1-2 Pasal deliknya saja dan uraikan
unsur2nya);
3. Kualifikasikan delik tersebut: (Delik biasa/aduan;
Kejahatan/pelanggaran; delik commisionis /ommisionis; delik
tunggal/pokok/berkualifikasi; Delik Formil/materiil / formil-materiil)
4. Subyek Tp-nya (Orang/Korporasi/ Orang dan Korporasi)
5. PTJ Korporasi (siapa yang bertanggung jawab ?)
6. Sistem Ancaman pidananya? (tunggal/alternatif/komulatif/alternatif
komulatif); ( Minimum khusus – maksimum khusus/ min. Umum-
mak. Khusus)
7. Bagaimana Ancaman pidana untuk korporasi-nya ?
8. Hukum Acara Pidananya, apa ada Lex Specialist? Sebutkan!

Anda mungkin juga menyukai