Anda di halaman 1dari 65

Perbandingan Politik Hukum dengan Hukum dan Politik 29 Agustus 2014 21:06:02 Diperbarui:

18 Juni 2015 02:10:07 Dibaca : 3,939 Komentar : 0 Nilai : 0 Perbandingan Politik Hukum
dengan Hukum dan Politik Oleh : Yusuf L. Henuk*) TULISAN ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari mata kuliah : “Perbandingan Hukum” yang pernah penulis ikuti ketika masih
terdaftar sebagai mahasiswa Magister (S2) Ilmu Hukum di Program Pascasarjana – Universitas
Nusa Cendana (Undana)dan mengikuti kuliah iniyang diasuh oleh Dr. Saryono Yohanes, SH,
MH (Staf Pengajar di Fakultas Hukum – Undana) dan berhasil lulus dengan nilai baik. Ketika
mengikuti mata kuliah wajib ini sang dosen pengasuh memberikan tugas kepada kami semua
peserta mata kuliah ini guna bisa: (1) memahami politik hukum dan hukum dan politik, (2)
mengetahui persamaan dan perbedaan serta hubungan keduanya berdasarkan pustaka penunjang.
Setelah menyerahkan tugas ke beliau, penulis berupaya untuk menerbitkan tulisan ini sesuai
judul yang ada di Media Komunikasi Sivitas Akademika Undana (Henuk, 2011). I. Pemahaman
istilahPolitik Hukum dan Hukum dan Politik Sudah menjadi patokan umum dalam memahami
istilah apa pun selalu dicari pemahamannya dari asal usul kata (etimologi). Oleh karena itu,
tulisan ini diawali dengan memahami terlebih dahulu asal usul kata kedua istilah tersebut
masing-masing. 1. Politik Hukum Penggunaan istilah politik hukum dikenal dalam bahasa
Belanda dari istilah Rechtpolitiek, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal beberapa istilah
terkait politik hukum, yaitu: Politics of Law (politik hukum), Legal Policy (kebijakan hukum),
Politic of Legislation (politik perundang-undangan), Politic of Legal Product (politik yang
tercermin dalam berbagai produk hukum) dan Law Development (politik pembangunan hukum).
Berdasarkan asal katanya, politik hukum merupakan gabungan dari dua kata, yaitu politik dan
hukum. Akibatnya, perlu dipahami juga kedua kata ini secara terpisah. Secara umum, kata politik
dapat dipahami dari dua pengertian, yaitu: (a) politics – politik sebagai ilmu (science) adalah
suatu rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu; dan
(b) policy – politik sebagai seni (arts) adalah penggunaan pertimbangan tertentu yang diangggap
lebih menjamin terlaksananya kegiatan usaha, cita-cita atau keinginan/keadaan yang
dikehendaki. Policy secara gramatikal – leksikal adalah “a guide for action” (petunjuk untuk
melakukan aksi/kegiatan). Sedangkan, pengertian hukum secara umum adalah aturan tentang
tingkah laku bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Pemahaman kedua bentuk hukum ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) hukum tertulis adalah
sekumpulan peraturan yang tersusun dalam suatu sistem yang berisikan petunjuk tentang apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, perintah dan larangan bagi masyarakat, disertai
sanksi pemaksa yang tegas; dan (b) hukum tidak tertulis adalah kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat, dipertahankan dan dipatuhi serta mengikat masyarakat, memiliki sanksi sosial dan
moral. Berdasarkan pemahaman terhadap asal usul kata dari politik dan hukum tersebut di atas,
maka politik hukum dapat dipahami sebagai suatu rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan hukum; atau perbandingan tertentu yang dianggap lebih
menjamin terlaksananya kegiatan, cita-cita atau tujuan hukum. Pada prinsipnya, pemahaman
terhadap pengertian politik hukum berbeda-beda dari setiap orang, khususnya perbedaan
pemahaman pakar hukum terhadap politik hukum disajikan pada Tabel 1 (Henuk, 2011).
Perbedaan politik hukum dan studi politik hukum adalah yang pertama lebih bersifat formal pada
kebijakan resmi, sedangkan yang kedua mencakup kebijakan resmi dan hal-hal lain yang terkait
dengannya. Menurut sejarahnya,Politik Hukum digunakan untuk pertama kali dalam SK Dirjen
Dikti No. 165/Dikti/Kep/1994 tertanggal 24 Juni 1994, sebagai mata kuliah wajib yang harus
ditempuh oleh mahasiswa Program Magister Hukum Program Pascasarjana. Pada tanggal 4
Agustus 1998, Dirjen Dikti mengeluarkan SK No. 278/Dikti/Kep/1998 yang menetapkan mata
kuliah Politik Hukum sebagai salah satu mata ujian negara wajib. 2. Hukum dan Politik Hukum
dan politik dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang dibalik-balik pun akan memiliki
nilai sama meski dalam perwajahan yang berbeda antara kedua sisinya. Secara teoritis hubungan
hukum dengan politik/kekuasaan harusnya bersifat fungsional, artinya hubungan ini dilihat dari
fungsi-fungsi tertentu yang dijalankan di antara keduanya. Pada umumnya, terdapat fungsi
timbal-balik (simbiotik) antara hukum dan politik/kekuasaan, yaitu politik/kekuasaan memiliki
fungsi terhadap hukum, sebaliknya hukum juga memiliki fungsi terhadap politik/kekuasaan.
Henuk (2011) telahmenjabarkan lebih lanjut keduanya sebagai berikut: A. Fungsi
politik/kekuasaan terhadap hukum: (1)Kekuasaan sebagai sarana membentuk hukum (law
making), khususnya pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di pusat maupun di
daerah. Sudah tidak tidak dibantah bahwa hukum merupakan produk politik di parlemen,
sehingga materi muatan hukum merupakan kepentingan-kepentingan politik yang ada.
(2)Kekuasaan sebagai alat menegakkan hukum. Penegakan hukummerupakan suatu proses
mewujudkan “keinginan hukum” (‘pikiran badan legislator yang dirumuskan dalam peraturan
perundangan’) menjadi kenyataan. Perlu dingat bahwa“hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh,
dan sebaliknya kekuasaan tanpa hukum akan terjadi tirani/anarki”. (3)Kekuasaan sebagai media
mengeksekusi putusan hukum. Contohnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
tidak akan memiliki arti bagi pengorganisasian kehidupan masyarakat tanpa adanya pelaksanaan
(execution) secara konsekuen dan konsisten, sehingga jelas dipahami bahwa hukum
membutuhkan kekuasaan untuk menegakkannya. B. Fungsi terhadap politil/kekuasaan:
(1)Hukum sebagai media penglegalisasian kekuasaan dalam menetapkan keabsahan (validity)
kekuasaan dari aspek yuridisnya. Artinya meskipun sebuah kekuasaan telah mendapat legalisasi
secara yuridis formal, akan tetapi jika masyarakat berpandangan bahwa kekuasaan tersebut
bersifat sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan rasa keadilan, maka kekuasaan yang
demikian tetap tidak akan mendapatkan legitimasi/pengakuan dari masyarakat. (2)Hukum
sebagai pengatur dan pembatas kekuasaan yang bertujuan untuk menghindari terjadinya
penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada suatu lembaga dan tidak mendorong terjadinya
otoritarianisme dalam penyelenggaraan negara (abuse of power). (3)Hukum sebagai peminta
pertanggung-jawaban kekuasaan, agar penggunaan kekuasaan sesuai dengan mekanisme dan
tujuan pemberian kekuasaan tersebut. Penyalahgunaan kekuasaan yang berkaitan: (a)hukum
administrasi dapat digugat melalui proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), (b)kerugian
kepentingan masyarakat dapat digugat melalui peradilan umum (perdata), dan (c) tindak pidana
dapat dituntut secara pidana. II. Persamaan dan Perbedaan serta Hubungan Politik Hukum dan
Hukum dan Politik Dalam upaya memahami persamaan dan perbedaan serta hubungan antara
politik hukum dan hukum dan politik, maka disamping telah dipahami pengertian politik hukum
(Tabel 1) dan fungsi-fungsi timbal-balik antara hukum dan politik sesuai yang telah dijabarkan
diatas,perlu juga dipahami manfaat mempelajari studi Politik Hukum dan fungsi dari Hukum dan
Politik dalam menggerakkan sistem kemasyarakan secara keseluruhan. Pada umumnya,
kemanfaatan dari studi Politik Hukum adalah memberikan kekayaan pemahaman atas dinamika
hubungan antara hukum dan politik secara kritis dan komprehensif, baik meliputi aspek latar-
belakang, motif-motif politik, suasana pergulatan berbagai kepentingan yang bertarung, dibalik
lahirnya hukum. Dengan perkataan lain, dengan mempelajari politik hukum, maka dapat
dipahami suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) saat produk hukum dibuat, sehingga tentu
dapat diketahui dan dipahami secara pasti jiwa, roh atau kehendak dari lahirnya suatu hukum.
Khusus Indonesia, sesuai dengan pesan dari pendiri bangsa (founding fathers) bahwa UUD ’45
tidak dapat dipahami hanya dari membaca bunyi teksnya saja tetapi harus mampu dipahami juga
latar belakang kejiwaansewaktu UUD ’45 tersebut dibuat. Sedangkan, hukum dan politik
merupakan suatu subsistem dalam kemasyarakatan. Berdasarkan fungsi timbal-balik antara
hukum dan politik/kekuasaan, yaitu politik/kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum,
sebaliknya hukum juga memiliki fungsi terhadap politik/kekuasaan sesuai yang telah dijabarkan
diatas, maka dapat dipahami bahwa hukum berfungsi melakukan pengontrol masyarakat (social
control), penyelesaian pertikaian (dispute settlement) dan perekayasa sosial (social engineering)
atau inovasi (innovation), sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi
(socialization and recruitment), konversi aturan (rule making, rule application, rule adjudication,
interest-articulation and aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulative extractive, distributive
and responsive). Walaupun hukum dan politik memiliki fungsi dan dasar pembenar yang
berbeda, akan tetapi ditinjau dari segi tujuannya, keduanya saling melengkapi dan mendukung
terwujudnya tujuan negara yaitu keadilan sosial. Hukum dan politik harus memberikan
kontribusi sesuai dengan fungsi masing-masing untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan
secara keseluruhan terutama dalam komitmen mendukung terlaksananya pembangunan suatu
bangsa. Khusus Indonesia, pemerintah yang bertanggung-jawab berarti pemerintah yang mampu
mewujudkan fungsi ekonomi publik yang sesungguhnya, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan
stabilisasi sumber daya yang dimiliki oleh negara. Efektifitas proses penggunaan kekuasan yang
tunduk pada hukum pada akhirnya akan menjadi penilaian keberhasilan kerja bagi aparat dan
instansi pemerintah. III. Penutup Politik hukum dapat dipahami sebagai kebijakan hukum (legal
policy) yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi
kekuatan yang ada dibelakang pembuatan hukum dan penegakan hukum itu, sehingga hukum
tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan
yang bersifat das sollen, tetapi harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das
sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan
pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. Sedangkan, tiga jawaban yang
dapat menjelaskan hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah
hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum: (a) hukum
determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk
pada aturan-aturan hukum, (b) politik deteminan atas hukum, karena hukum merupakan hasil
atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling
bersaingan; dan (c) politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi
yang derajat determinasinya seimbang antara satu dengan yang lain, karena meskipun hukum
merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada, maka semua kegiatan politik
harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Sumber asli: Henuk, Y.L. 2011. Perbandingan Politik
Hukum dengan Hukum dan Politik. Media Undana, No. 155/Oktober: 5 & 9. *) Guru Besar
Fakultas Peternakan – Universitas Nusa Cendana (Undana); Mantan Mahasiswa Magister (S2)
Ilmu Hukum di Program Pascasarjana – Undana; Pendiri/Pemimpin Redaksi “YLH NEWS
ONLINE” (http://ylhnews.com).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/prof_yusufhenuk/perbandingan-politik-hukum-
dengan-hukum-dan-politik_54f5e5eda3331110738b464d
POLITIK HUKUM

Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :

1. Satjipto Rahardjo

Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara
yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.

1. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus

Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria
untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut
dapat berkaitan dengan pembentukan hukum

dan penerapannya.

1. L. J. Van Apeldorn

Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .

Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan  isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian
politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.

1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.

1. Moh. Mahfud MD.

Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :

a)      Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya
persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan
penciptaan hukum yang diperlukan.

b)      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam
bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland

Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum
merupakan salah satu  cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas
:

1. Dogmatika Hukum
2. Sejarah Hukum
3. Perbandingan Hukum
4. Politik Hukum
5. IlmU Hukum Umum

Sedangkan keseluruhan hal diatas diterjemahkan oleh Soeharjo sebagai berikut :

1. Dogmatika Hukum

Memberikan penjelasan mengenai isi  ( in houd ) hukum , makna ketentuan – ketentuan hukum ,
dan menyusunnya sesuai dengan asas – asas dalam suatu sistem hukum.

1. Sejarah Hukum

Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan peranan terhadap
pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita ingin
memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang .

1. Ilmu Perbandingan Hukum

Mengadkan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti kesamaan, dan
perbedaanya.

1. Politik Hukum

Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang perlu diadakan
terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru didalam kehidupan
masyarakat.

1. Ilmu Hukum Umum

Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu sebagai suatu hal
sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum
berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian  perihal hukum , kewajiban hukum , person
atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa
pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum dan ilmu hukum.

Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang telah
diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “.

Hukum yang berlaku sekarang , yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun yang seharusnya
berlaku diwaktu yang akan datang.

Yang dipakai untuk mendekati / mempelajari objek politik hukum adalah praktis ilmiah bukan
teoritis ilmiah.
)Penggolongan lap Hukum yang klasik/tradisional dianut dalam tata hukum di Eropa dan tata
hukum Hindia Belanda :

1. Hukum Tata Negara

2. Hukum Tata usaha

3. Hukum Perdata

4. Hukum Dagang

5. Hukum Pidana

6. Hukum Acara

v     Lapangan Hukum Baru :

1. Hukum Perburuhan

2. Hukum Agraria

3. Hukum  Ekonoimi

4. Hukum Fiskal

Pembagian Hukum secara tradisional antara lain : Hukum Nasional terbagi mejadi 6 bagian
diantaranya :

1. Hukum Tata Negara


2. Hukum adminitrasi Negara
3. Hukum Perdata
4. Hukum Pidana
5. Hukum Acara Perdata
6. Hukum Acara Pidana

Hukum Nasional tradisional Mengandung  “ Ide ”, “ asas ”, “ nilai “, sumber hukum ketika
semua itu dijadikan satu maka disebut kegiatan POLITIK HUKUM NASIONAL.

I. RUANG GERAK POLITIK HUKUM SUATU NEGARA

Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu , bergitu pula sebaliknya,
eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum dari negara tertentu.

II. POLTIK HUKUM  KEKUASAAN DAN WARGA MASYARAKAT


Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga masyarakat . Di
lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan penggunaan kekuasaaan
didalam kenyataan. Untuk mengatur negara , bangsa  dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalm
seluruh jenis peraturan perundang – undangan negara.

III. LEMBAGA – LEMBAGA YANG BERWENANG

Montesquieu mengutarakan TRIAS POLITICA tentang kkuasaan negara yang terdiri atas 3 
( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain :

a)      Eksekutif

b)      Legislatif

c)      Yudikatif

Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing – masing harus
dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Poliik Hukum yang tidak lain tidak bukan adalah
penyusunan tertib hukum negara . Maka ketiga lembaga tersebut yang berwenang
melakukannya.

REGIONALISME

Berasal dari kata “ Region” yang berarti “ daerah bagian dari suatu wilayah tertentu “. Dewasa
ini regionalisme diartikan bagian dari dunia , yang meliputi beberapa negara yang berdekatan
letaknya , yang mempunyai kepentingan bersama. Dengan kata lain Regionalisme adalah Suatu
kerjasama secara kontinue antara negara – negara di dunia. Pada dasarnya Regionalisme sudah
ada sejak dahulu kala seperti Regionalisme antara negara – negara SKANDINAVIA yang terdiri
dari Swedia, Norwegia , dan Denmark. Begitu pula dengan BENELUX yang terdiri dari Belgia ,
Nederland dan Luxsemburg.  Mereka bekerjasam dalam satu ikatan , namun perlu diketahui
bahwa contoh – contoh diatas kurang mempunyai pengaruh terhadap Politik Hukum dunia.
Keduanya tidak dianggap terlalu penting , lain halnya dengan NATO yang terdiri dari batasan
negara Eropa Barat masih ditambah lagi dengan Turki dan Canada. Mereka punya pengaruh
besar  terhadap Politik Hukum negara – negara didunia dibandingkan dengan BENELUX.

TATA TERTIB DUNIA

Ada pemahaman yang baru mengenai ruang gerak bahwa Politik Hukum itu sendiri itu dinamis.
Bersama dengan laju perkembangan jaman , maka ruang gerak Politik Hukum tidak hanya
sebatas negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas negara hingga ke tingkat
Internasional.

Menrut pendapatnya Sunaryati Hartono , Politik Hukum tidak terlepas dari realita sosial dan
tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihk. Sebagai salah satu anggota masyarakat
dunia ,maka Politik Hukum Indonesia tidak terlepas pula dari Realita dan politik Hukum
Internasional.
Kalau kita kaji antara POLITIK HUKUM dan ASAS-ASAS HUKUM maka akan terlihat konsep
sebagai berikut :

 Politik Hukum di negara manapun juga termasuk di Indonesia tidak bisa lepas dari asas
Hukum.
 diantara asas”itu terhadap asas yang dijadikan sumber tertib hukum bagi suatu negara.
 Asas hukum yang dijadikan sumber tertib Huykum/dasar Negara di sebut : GRUND
NORM
 Di Indonesia yang dijadikan dasar negara adalah PANCASILA
 Asas hukum yang dijadikan dasar negara ini merupakan hasil proses pemikiran yang
digali dari pengalaman Bangsa Indonesia sendiri; bukan diambil dari hasil  perenungan
belaka; bukan hal yang sekonyongkonyong masuk kedalam pemikiran masyarakat
Indonesia tetapi :

1. ada yang bersifat Nasional


1. ada yang lebih khusus lagi seperti : kehidupan agama,suku,profesi, dll.
2. ada yang merupakan hasil pengaruh dari sejarah dan lingkungan masyarakat
dunia.

B. KERANGKA LANDASAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Negara RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945,proklamasi kemerdekaan yang


dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik
pembangunan tertib hukum nasional ( Tatanan Hukum Nasional ).

C. MUNCULNYA POLITIK HUKUM DI INDONESIA

Muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 ,yaitu saat dikumandangkannya Proklamasi, bukan
tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya konstitusi / hukum dasar negara RI.

D. SIFAT POLITIK HUKUM

Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang
berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum terdiri dari

1. Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen )

Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan
penegakkan hukum.

Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap antara lain :

1. i.      Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional.


Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional ,
artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah
Indonesia ). Sistem Hukum nasional tersebut terdiri dari:

1. Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya)


2. Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya )
3. Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya)
4. ii.      Sistem hukum nasional yang dibangun berdasrkan Pancasila dan UUD 1945.

1. iii.      Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu
berdasarkan pada suku , ras , dan agama. Kalaupun ada perbedaan , semata – mata
didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.
2. iv.      Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat

Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum , sehingga
masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum .

1. v.      Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum
nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
2. vi.      Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
3. vii.      Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial bagi
seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta
terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi.
4. Politik Hukum  yang bersifat temporer.

Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan  yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan
kebutuhan .

E. CARA YANG DIGUNAKAN

Di Indonesia cara – cara yang digunakan untuk membentuk politik hukumnya tidak sama dengan
cara – cara yang digunakan oleh:

 Negara Kapitalis
 Negara Komunis
 Negara yang fanatik religius

Tetapi menghindari perbedaan – perbedaan yang mencolok dan cara – cara yang ekstrim untuk
mencapai keadilan dan kemakmuran , menolak cara – cara yang dianggap tepat oleh paham:

 Negara Kapitalis
 Negara Komunis
 Negara yang fanatik religius

Ketga cara ini merupakan cara yang ekstrim:


 Kapitalis

Menganggap bahwa manusia perorangan yang individualis adalah yanhg paling penting.

 Komunisme

Menganggap bahwa masyarakat yang terpenting diatas segalanya

 Fanatik religius

Merupakan realita bahwa manusia hidup di dunia ini harus bergulat untuk mempertahankan
hidupnya ( survive ) , maka Politik Hukum kita pasti tidak akan menggunakan cara – cara
kapitalis, komunis, dan fanatik religius.

F. SISTEM HUKUM NASIONAL

Hukum nasional suatu negara merupakan gambaran dasar mengenai tatanan hukum nasional
yang dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Bagi Indonesia , tatanan
hukum nasional yang sesuai dengan masyarakat Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila
dengan pokok – pokoknya sebagai berikut :

1. Sumber dasar Hukum Nasional

Adalah kesadaran atau perasaan hukum masyarakat yang menentukan isi suatu kaedah hukum.
Dengan demikian sumber dasar tatanan hukum Indonesia adalah perasaan hukum masyarakat
Indonesia yang terjelma dalam pandangan hidup Pancasila. Oleh karena itu dalam kerangka
sistem hukum Indonesia , Pancasila menjadi sumber hukum ( Tap MPRS No. XX/ MPRS /
1966 ).

1. Cita – cita hukum nasional

Dalam penjelasan UUD 1945 , dinyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 memuat pokok –
pokok pikiran sebagai berikut :

1)      Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan.

2)      Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3)      Negara yang berkedaulatan rakyat , berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan.

4)      Negara berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.

1. Politik Hukum Nasional


Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan erat dengan wawasan nasional bidang
hukum yakni cara pandang bangsa Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus
ditempuh dalam rangka pembinaan hukum di Indonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik
dibidang hukum ditetapkan dalam GBHN.

Dalam TAP MPR dibawah ini terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN,
antara lain:

1. TAP MPR No. 66 / MPRS / 1960


2. TAP MPR No. IV / MPR / 1973
3. TAP MPR No. IV / MPR / 1978
4. TAP MPR No. II / MPR / 1983
5. TAP MPR No. II / MPR / 1988
6. TAP MPR No. II / MPR / 1993
7. TAP MPR No. X / MPR / 1998

Tentang Pokok – pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi
kehidupan nasional sebagai haluan negara “.

1. TAP MPR No. VIII / MPR / 1998

Mencabut TAP MPR No. II / MPR/ 1998

1. TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN


2. Tap mpr No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan 2004.

POLITIK HUKUM SEBAGAI ILMU

a.1. Batasan / Definisi Politik Hukum

Sesungguhnya ada banyak definisi yang diberikan oleh para ahli. Pada definisi-definisi yang
diberfikan tersebut ternyata ada perbedaann batasan tentangf politik hukum.

Politik Hukum Perundang-undangan :

1.Tertulis adalah Undang-undang yang bersifat Permanen.

2. Tidak tertulis adalah Kebijakan Publik (bisa berubah “setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan”)

Sehingga keadaan dan kebutuhan yang berubah-ubah inilah yang menyebabkan pembicaraan
Politik Hukum menjadi sangat kompleks, sebab antara kebutuhan dan keadaan suatu negara
dengan negara lain bisa berbeda, waktu lalu bisa berbeda dengan waktu sekarang.

a.2. Ruang Lingkup Politik Hukum


Ruang Lingkup artinya situasi/tempat/faktor  “lain yang berada di sekitar Politik Hukum yang
berlaku sekarang, Hukum yang suidah berlaku dan Hukum yang akan berlaku.

a.3. Obyek Politik Hukum

Obyek yang dipelajari dalam Politik Hukum adalah Hukum-hukum yang bagaimana itu bisa
berbeda-beda atau Hukum ini dihubung atau dilawankan dengan Politik.

a.4. Ilmu Bantu Politik Hukum

Yang dimaksud Ilmu bantu disini adalah Ilmu yang dipakai dalam mendekati/mempelajari
Politik Hukum baik berupa konsep, “teori” dan penelitian. Sosiologi hukum dan Sejarah Hukum
dalam hal ini sangat membantu dalam mempelajari Politik Hukum.

a.5. Metode Pendekatan Politik hukum

Metode   adalah cara   dalam mempelajari Politik Hukum Empirik adalah kenyataan (secara
praktis untuk mendekati Politik Hukum adalah dengan melihat Konstitusi Negara)

POLITIK HUKUM LAMA

Politik Hukum Lama, di jalankan pada masa pemerintahan Hindia, Belanda, diawali sejak
kedatangan atau zaman pemerintahan Hindia Belanda yang menerapkan asas Konkosedansi
yaitu: menerapakn hubungan yang berlaku di Belanda berlaku juga di Hindia Belanda.

Di Hindia Belanda selain berlaku hukum adat dan Hukum Islam.

Sejak pendudukan penjajahan Belanda sampai dengan Indonesia merdeka tidak ada asvikasi
hukum. Kalau menang Belanda berupaya untuk melakukan asifikasi (memberlakukan satu
hukum untuk seluruh Rakyat di seluruh wilayah negara) tidak berhasil jug.

Asas Konkordansi

Yaitu pemberlakuan hukum Belanda disebuah wilayah Hindia Belanda.

Unifikasi Hukum adalah berlakunya suatu  hukum di suatu wilayah negara untuk seluruh
paalnya.

Kenapa hukum Islam masih berlaku ? karena sebagian besar pelakunya adalah beragama Islam.

Tetapi masuk terdapat orang-orang Indonesia yang tidak bulat “membela pemikiran barat”. A.c.
Hamengku Buwono IX yang tetap mempertahankan Budaya Timur dengan menyatakan: jiwa
barat  dan timur dapat dilakukan dan bekerja sama secara ekonomomis tanpa harus kehilangan
kepadiannya masing-masing. Selama tidak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki
tempat yang utama dalam mator yang kay7a dalam tradisi.
Pandangan politik hukum penjajah Belanda di Hiondia Belanda;

1. secara keseluruhan politik hukum Belanda sama isinya dengan politik hwed untuk tanah
atau aja hanya di Hindia Belanda.
2. panangan politik Hukum Belanda sama dengan politik umum dan politik hukum dari
hampir smua orang Eropa dan orang negara baratt trhadap daerah timur yang mereka
jajah.
3. umumnya daerah yang dapat mereka kuasai; Daerah di Afrika dan Asia.
4. dikatakan oleh mereka, kebudayaan barat, tinggi, baik, mul;ia,sedangkan kebudayaan
timur rendah terbelakang, primitif, sangat bergantung pada alam.
5. orang yang berpegang pada kebudayaan barat maju sedangkan yang berpegang pada
timur ketinggalan zaman.
6. pendidikan mereka memandang pendidikan asli rendah, pendidikan Islam rendah dapat
dilihat pada daerah jajahan Inggris, perancis, Belanda.
7. Usaha penjajah Belanda memaksakan sistem kebudayaan ke Hindia Belanda berhasil
sehingga pemikiran sebagian bangsa Indonesia berpihak pada penjajah Belanda atau
Barat.
8. Jadi terjadi dikotomi timur dan Barat.

UNIFIKASI JAMAN PENJAJAHAN DI HINDIA BELANDA

Terlihat adanya usaha unifikasi melalui tahap tersebut pada masa penjajahan di Hindia Belanda
antara lain; dalam bidang hukum dagang dan lalu lintas ekonomi, dengan tujuan utamanya
adalah keinginan pemberlakuan hukum Belanda bagi seluruh orang di Hindia Belanda caranya
ialah:

1. memulai memberlakukan peraturan-peraturan yang disusun oleh pemerintah Belanda itu


untuk orang Belanda dan Eropa sendiri.
2. Kemudian memberlakukan Hukum Belanda pada orang yang menunjukkan dii dengan
sukarela kepada hukum Belanda.
3. selanjutnya baru memberlakukan Hukum Belanda untuk orang yang dipersamakan oleh
pemerintah Hindia Belanda dengan orang-orang Belanda.

UNIFIKASI MASA INDONESIA MERDEKA

1. dizaman Indonesia merdeka maka tahap tertentu seperti diatas tak diperlukan
memberlakukan suatu hukum gak tetap untuk yang lain atau menundukkan diri kepada
kepada hukum tertentu tidak diperlukan lagi dalam hukum pemerintahan hukum di
Indonesia merdeka, teutama dalam tindak hukum lalu lintas ekonomi dan keuangan baik
untuk semua bangsa Indonesia sediri apalagi dalam hubungan dengan bangsa lain.
2. Khusus untuk sesama bangsa Indonesia terhadap kemungkinan memberlakukan
pertahanan hukum bagi   kekhususan orang Indonesia.

Menyangkut bidang yang disebut untuk dewa sesuai dengan bidang yang netral, tidak sulit
mengunifikasikannya misal; KUHAP, tidak sulit dalam hak ;
1. Perasaan dan pemikiran anggota masyarakat untuk menyatukan peraturan-peraturannya.
2. sedangkan mengenai isinya tetap menghadapi kesulitan yang tak terhingga, misal bidang
perdagangan dalam perdata yang berhubungan dengan perjanjian, bidang ini sudut isinya
tetap tidak sangat sulit perasaan anggota masyarakat untuk menyatukannya.
3. mungkin di mintakan masukan yang diperlukan oleh pihak yang merasa bersangkutan
dengan masalahnya, hal yang diangkat tersulit dalam dalam bidang hukum yang
berhubungan dengan rasa kepercayaan keagamaan. Misalnya; bidang kekeluargaan,
namun untuk bidang ini ini telah di rumus dengan suatu idang hukum yang berat.

KODIFIKASI

Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ;

1. Kodifikasi  terbuka

Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan –
tambahan  diluar induk kondifikasi.  Pertama atau semula maksudnya induk permasalahannya
sejauh yang dapat dimasukkan ke dalam suatu buku kumpulan peraturan yang sistematis,tetapi
diluar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan di luar kumpulan peraturan itu
isinya  menyangkut permasalahan – permasalahan dalam kumpulan peraturan pertama tersebut. 
Hal ini dilakukan berdasarkan atas kehendak perkembangan hukum itu sendiri sistem ini
mempunyai kebaikan ialah;

“ Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut
sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan “.

2. Kodifikasi tertutup

Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku
kumpulan peraturan.

Cacatan;

Dulu kodifikasi tertutup masih bisa dilaksanakan bahkan tentang bidang suatu hukum lengkap
dan perkasanya perubahan kehendak masyarakat mengenai suatu bidang hukum agak lambat.
Sekarang nyatanya kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah
Kodifikasi Terbuka.

Isinya;

1. Politik hukum lama


2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda (Indonesia) gagal
3. Penduduk terpecah menjadi;

1. penduduk bangsa Eropa


2. Penduduk bangsa Timur Asing
3. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia)

1. pemikiran bangsa Indonesia terpecah-pecah pula.


2. Pendidikan bangsa indonesia:

1. Hasil Pendidikan Barat.


2. Hasil Pendidikan Timur

POLITIK HUKUM BARU

Politik hukum baru di Indonesia muali pada tanggal 17 Agustus 1945 (versi Indonesia).
Kemerdekaan Indonesia Belanda adalah; 19 desember 1949 yaitu sewaktu adanya KMB di
Denhaag (Belanda).

Apa syarat untuk membuat atau membentuk Politik Hukum sendiri bagi suatu negara;

1. Negara tersebut negara Merdeka.


2. Negara tersebut yang mempunyai Kedaulatan keluar dan kedalam
o Kedaulatan keluar ; Negara lain mengakui bahwa Negara kita merdeka.
o Kedaulatan kedalam; Kedaulatan Negara diakui oleh seluruh Warga Negara.

1. Ada keinginann untuk membuat  hukum yang tujuannya untuk mensejahterakan


Masyarakat.

Sumber-sumber hukum bagi Politik antaralain ;

1. Konstitusi
2. Kebajiakan (tertulis atau undang-undang)
3. Kebijakan tidak tertulis atau tidak.

Antara lain :

1. UUD 1945 ~ suppel tapi


2. Perbidang atau perlapangan hukum

–         perdata,pidana, dagang,tata usaha negara, tata negara.

@ Persektor

–         ex : di sektor ekonomi, ketenaga kerjaan, Accantung, management, sosial politik, politik
bisnis.

1. Kebijakan tidak tertulis dengan hukum adatnya.

Adat kita menyatu dengan sumber politik Hukum:


Contoh : 1. Hukum perkawinan, UU No. 1 1974 tetapi masih menyelenggarakan pertunangan. 2.
Adanya pelarangan menikah antara 2 Agama yang berbeda.

Apa bahan baku dari politik Hukum (Indonesia hukum nasional yang baru)

1. Hukum Islam
2. hukum Adat
3. Hukum Barat

Ada :

1. cara rakyat Indonesia sebagian besar beragama Islam.


2. peraturan di Indonesia mengadopsi Asas “hukum Islam Bukti: UU No. 1. 1974 ~ asas
monogami.
3. karena hukum aslinya rakyat Indonesia adalah Adat Indonesia.
4. hukum rakyat yang diambil oleh hukum Indonesia adalah sistemnya yang baik.

Pihak ytang tersebut dalam pembentukan Politik Hukum :

1. Negara ~ pemerintah

Parpol ~ partai.

Para Pakar ~ ahli hukum dengan tulisan dan doktren dan pendapat.

Warga Negara ~ Kesadaran Hukumnya ~ bila warga negara kesadraan hukum tinggi maka
politik hukumnya tinggi begitu sebaliknya.

Bagi Indonesia politik Hukum dicantumkan dalam :

1. Konsitusi = garis besar politik Hukum.

2. UU = ketentuan Incroteto = ketentuan yang berlaku.

3. Kebijaksanaan yang lain = pelengkap untuk pemersatu.

4. Adat = Berupa Nilai.

5. GBHN = Berupa Program

6. Hukum Islam , yang diambil adalah nilainya.

Sedangkan dari sisi produk Perundang-undangan. Terjadi perubahan Politik Hukum, yakni:
dengan dikeluarkannya beberapa UU yang semula belum ada, yakni :

1.
1. UU No 14 tahun 1970 Tentang  ketentuan kekeuasaan kehakiman.
2. UU No 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan pokok Agraria.
3. UU lingkungan Hiduop.
4. UU Perburuhan.
5. UU Perbankan, Dsb.

Kemudian Prof. HAZAIRIN berpendapat bahwa :

 diPakainya Hukum Adsat sebagai sumber Hukum Nasional telah disebakan Hukum Adat
sudah Eksis dalam budaya dan perasaan Bangsa Indonesia.
 Di pakainya Hukum Islam sebagai sumber Hukum Nasional karena mayoritas Penduduk
Indonesia beragama Islam ~ Iman.
 Terhadap Hukum Adat dan Hukum Islam tersebut hanya diambil asas-asasnya saja.
 Hukum Barat dijadikan sumber Hukum Nasional juga berkaitan dengan urusan-urusan
Internasional atau berkaitan dengan Hukum atau perdagangan Internasional.

Tahun 1979, PURNADI dan SURYONO  SUKAMTO menyatakan : Hukum Negara (Tata
Negara) adalah Struktur dan proses perangkaat kaedah-kaedah Hukum yang berlaku pada suatu
waktu dan tempat tertentu serta bwerbentuk tertulis.

Tahun 1986, JOHN BALL menyatakan : Persoalan Hukum di Indonesia adalah persoalan dalam
rangka mewujudkan Hukum Nasional di Indonesia, yaitu persoalan yang terutama bertumpu
pada realita alam Indonesia.

Tahun 1966, UTRECHT membuat buku dengan judul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”.

Tahun 1977, AHMAD SANUSI menyatakan PTHI hendaknya dipahami sebagai penguraian
Deskritif-Analistis yang tekanannya lebih dikhususkan bagi Ilmu Hukum Indonesia, menjelaskan
sifat-sifat spesifik dari Hukum Indonesia dengan memeberikan contoh-contohnya sendiri.

b.Persoalan Hukum di Indonesia dan Negara-negara baru lainnya tidak hanya sekedar penciptaan
Hukum baru yang dapat ditujukan pada hubungan Perdata dan Publik dengan karekteristiknya
yang telah cukup diketahui.

c. Harus diusahakan pendobrakan cara berpikir Hukum kolonial dan penggantinya dengan cara
berpikir yang didorong oleh kebutuhan menumbuhkan Hukum setempat bagi Negara yang telah
merdeka.

Tahun 1978 , DANIEL S. LEV menlis aspek Politiknya dengan menyatakan dan kedudukan
Hukum di Negara republik indonesia sebaian besar merupakn perjuangan yang hanya dapat
dimengerti secara lebih baik dengan memahami Sosial Poltik daripada kultural.

a. Hukum Indonesia harus memberi tempat kepada Rasa Hukum, Pengertian Hukum,Paham
Hukum yang khas (Indonesia).

b. Hendaknya ada pelajaran Hukum indonesia.


Tahun 1952, DORMEIER membuka wacana dengan cara :

1.
1. menulis buku “Pengantar Ilmu Hukum”  (buku PIH karangannya ini adalah buku
PIH pertama dalam Bahasa Indonesia).
2. Menukis bentuk-bentuk khusus Hukum yang berlaku di Indonesia.

Tahun 1955, LEMAIRE Deskripsi Hukum Indonesia.

Tahun 1965, DANIEL S.LEV. menyatakan Transformasi yang sesungguhnya terhadap ;

1. hukum masa Kolonial, terutama tergantung dari pembentukan Ide-ide baru, yang akan
mendorong ke arah bentuk Hukum yang sama sekali berbeda dengan Hukum Kolonial.
2. Sejak sebelum kemerdekaan                   sesudah kemerdekaan Republik Indonesia sudah
banyak usulan agar Negara Republik indonesia memiliki Hukum Politik dsendiri, bukan
Politik Hukum yang sama dengan Politik Hukum Belanda. Usulan-usulan tersebut.

Tahun 1929, KLEINTJES menulis dalam sebuah buku, yang isinya :

1. pokok-pokok Hukun Tentang Negara dan Hukum Antar Negara yang berlaku di Hindia
Belanda.
2. Beberapa aspek pranata Hukum yang dijumpai  di Hindia Belanda.

Tahun 1932, VAN VOLLEN HOVEN dalam pidatonya yang brjudul “Romantika Dalam Hukum
indonesia” menyatakan :

1. Hukum Indonesia harusnya menuju “Hukum Yang Mandiri” dan jangan hanya menjadi
tambahan saja bagi Hukum Belanda di Hindia Belanda.
2. Ideaalnya, sejak Tahun 1945 Indonesia sudah memiliki Politik Hukumnya sendiri yang
sesuai dengan situasi dan kondisi Bangsa indonesia.
HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN HUKUM

Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik.
Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar. Dapat dikatakan
bahwa struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik. Kerapkali
hukum itu tidak ditegakkan seperti sebagaimana mestinya karena adanya intervensi
politik.

Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya hukum-hukum


yang memiliki karakter tersendiri. Sistem hukum tercermin dari politik yang
berkembang. Tentu saja hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik. Bahwa pada
kenyataannya keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi suatu produk hukum.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan
karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya.
Idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk
mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan
larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan
menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Disini kita akan membahas
mengenai hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Sejauh mana hubungan
antara hukum dan politik tersebut.

A.    Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan

Hukum itu diciptakan bukan semata-mata untuk mengatur, akan tetapi lebih
dari itu untuk menciptakan adanya kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat.
Maka hukum itu terus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Secara empiris hukum dipandang sebagai bagian dari fenomena sosial. Pada
awalnya tidak ada keragu-raguan mengenai kemampuan negara untuk secara otonom
dan mutlak mengatur serta menata kehidupan masyarakat. Hukum menjadi semacam
alat di tangan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang dikehendaki. 1[1]

1[1] Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi Sampai
Implementasi, Jakarta : Rajawali Press, 2009. Hlm. 8
Negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan
democratic rechtsstaat (negara hukum yang demokratis). Konsekuensi negara hukum
yang demokratis adalah adanya supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan
demokrasi.2[2] Demokrasi yang workable dapat berfungsi dan mampu memelihara
stabilitas politik nasional serta menciptakan pemerintahan yang efektif, kuat,
acountable yang dibangun dalam sebuah masyarakat yang tingkat pemilahan sosialnya
sangat tinggi.3[3]
Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi
melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada suatu aturan
hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama, yaitu keadilan. Plato
mencanangkan suatu tatanan di mana hanya kepentingan umum yang diutamakan,
yakni partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Lebih tepatnya ia
mencanangkan suatu negara dimana keadilan akan dicapai secara sempurna. 4[4]
Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-
produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa
dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen
untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Dasar dari pembentukan
hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus
mengandung prinsip-prinsip membangun hukum yang berkeadilan.
Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor masa lalu
(pengaruh penjajahan), faktor-faktor adat istiadat serta budaya bangsa serta faktor
agama yang berpengaruh kuat di Indonesia. Kesemua faktor itulah yang melahirkan
sistem hukum Indonesia melalui proses legislasi maupun praktik hukum.
Pembangunan sering diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan tertentu
terhadap suatu masyarakat. Sering pula ditegaskan bahwa hakikat pembangunan
adalah pembangunan terhadap manusianya. Kenyataannya, pembangunan bukan

2[2] Ibid. Hlm. 7

3[3] Affan Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006. Hlm. 354

4[4] Op.cit. Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi Sampai
Implementasi,Hlm.10
sekedar perubahan terhadap suatu masyarakat, melainkan juga perubahan terhadap
lingkungannya.5[5] Pembangunan hukum ditujukan pada masyarakat dan lingkungan
untuk membangun hukum yang berkeadilan.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa mungkin
dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor
perubahan adalah seseorang atau kelompok orang ang mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. 6[6]
B.     Hukum sebagai produk politik
Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan sebagai suatu
sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut, dan umum. Dalam
berbagai studi hukum dikemukakan bahwasanya hukum mempunyai sifat umum
sehingga peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akn kehilangan
kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum
juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang belum terkait dengan
kasus-kasus konkret. Selain itu juga ada yang mengidentifikasikan hukum bersifat
imperatif dan fakultatif. Dengan sifat imperatif yaitu peraturan hukum bersifat apriori
harus ditaati, mengikat, dan memaksa. Sedangkan hukum bersifat fakultatif yaitu
peraturan hukum tidak secara apriori mengikat, melainkan sekedar melengkapi,
subsidair, dan dispositif.7[7]
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik
dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan
menerima norma, sistem keyakinan dan nilai-nilai generasi sebelumnya, yang
dilakukan melalui berbagai tahap dan dilakukan oleh berbagai macam agent.8[8]

5[5] Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum Sebgai Suatu Sistem, Bandung : Mandar Maju, 2003.
Hlm. 172

6[6] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2013. Hlm.
122

7[7] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES. 1998. Hlm. 19

8[8] Op.cit. Affan Ghafar, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006. Hlm.118
Dalam berpolitik kita juga dihadapkan dengan hukum. Hukum merupakan refleksi dari
budaya hukum pada suatu tatanan masyarakat.
Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk hukum akan sangat
ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.
Setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat
dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan
para politisi.9[9]
Jika melihat fenomena yang telah terjadi, hukum tidak selalu dapat dilihat
sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau penjamin keadilan.
Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong keseweang-
wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya
sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang
harusnya bisa dijawab oleh hukum. Banyak produk hukum yang lebih diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. 10[10]
Ternyata hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik
kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga
muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam
kenyataannya lebih suprematif. Disini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai
pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen,
melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan das sein bukan
tidak mungkin sangat di tentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan
pasal-pasalnya, maupun dalam implementasi penegakkannya.11[11]
Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan. Semua pemain politik selalu
membawa kepentingan yang kadang-kadang dan bahkan selalu bertubrukan atau
saling bertentangan. Karena muara kepentingan politik adalah kekuasaan dan
pengaruh, maka konflik kepentingan politik menjadi lebih keras dari konflik lainnya.

9[9] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media,
1999. Hlm. 4

10[10] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 1

11[11] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pres. 2010. Hlm. 9
Karena itulah politik harus diikat dengan norma-norma hukum dan tata cara yang
disepakati bersama diantara para pemain politik.
Fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, manusia,
bangsa-bangsa, provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya. Struktur politik adalah
pengelompokan sosial yang berbeda-beda.12[12]
Elite politik memainkan sejumlah skenario yang mengarah kepada kepentingan
diri, partai, atau golongannya sendiri. Politics for itself menjadi sesuatu yang lazim
dan mengobsesi pikiran banyak politikus. Politikus yang di parlemen, yang tengah
menjalankan fungsi legislasi, dalam menjalankan tugasnya tidak berorientasi kepada
upaya memecahkan problema konstitusional, melainkan didasarkan pada upaya
menutup kepentingan dan kelemahan pribadi masing-masing elite politik. 13[13]
Melihat logika berpikir para politikus, maka nyata benar bahwa aroma politics
for itself sangat kental. Praktik politik demikian tentu tidak dapat terlalu diharapkan
untuk bisa membangun pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap kepentingan
bangsa. Akan sulit membangun sebuah pemerintahan yang memiliki state capacity
yang jelas dalam menyelesaikan krisis, karena elite politik yang tengah memegang
kekuasaan itu sendiri ternyata menjadi sumber dan biang krisis. 14[14]
Politik memiliki unsur dominan dan mengintimidasi hukum. Para pembuat
hukum adalah orang-orang politik yang memegang kekuasaan dan berwenang untuk
menentukan hukum. Maka hukum yang ada adalah cerminan dari politik. Hukum
berkembang sesuai dengan perkembangan politik. Sudah dibenarkan bahwa hukum
merupakan produk politik.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya
dan karateristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe None dan Philip
Selznick pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat

12[12] Daniel Dhakidae, Sosiologi Politik, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003. Hlm. 31

13[13] Zainuddin Maliki, Politikus Busuk : Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik,
Yogyakarta : Galang Press, 2004. Hlm. 8

14[14] Ibid. Hlm. 9


mempengaruhi pola penegakan hukumnya.15[15] Maka masyarakat harus menunjukan
dan membuktikan bahwa dirinya mampu menguasai keadaan.
Hukum yang di lahirkan dari politik sudah seharusnya dapat memberikan
perlindungan bagi warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga semua
orang sama kedudukan di muka hukum itu dapat berjalan dengan baik dan sempurna.
Namun karena yang berpolitik itu adalah manusia yang memiliki nafsu akan kekuasaan
maka hukum di bentuk dan di buat atas dasar kepentingan kelompok atau golongan
mereka dalam rangka melanggengkan kekuasaan atau melindungi diri mereka. Realita
ini tidak dapat di pungkiri, bahwa siapapun yang berkuasa maka mereka akan
membentuk peraturan perundang-undangan itu atas dasar sikap egoistik pada
perlindungan kelompoknya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat pemilik
kedaulatan negara.
Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu kekuatan politik
yang mengatur hukum yang direkomendasikan oleh pemangku jabatan sehingga
produk-produk hukum yang berlaku bukan menjadi suatu proyek dasar yang
berdasarkan penghayatan pengamalan pancasila, hingga tak jarang mendengar
kebijakan yang tak berpihak kepada masyarakat dalam budaya dan etika moral
kekuasaan yang diamanatkan kepada seorang presiden dan di koordinasikan ke DPR
sebagai pemangku amanat rakyat. Peradaban yang menjunjung tinggi atas keadilan
sosial bagi masyarakat yang mengartikan bahwa masyarakat memiliki kebijakan secara
sosial dan politik akan menciptakan sistem hukum yang tetap menjunjung norma-
norma produk hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan moralitas peradaban
tersebut.
Politik sebagai subsistem kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi produk
hukum sehingga muncul paham baku bahwa “hukum adalah produk politik”. 16[16]

C.    Determinasi Politik atas Hukum

15[15] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Hlm. 72

16[16] Ibid. Hlm. 74


Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk politik, sehingga
hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik. Eksistensi hukum dan
kinerja hukum sangat dipengaruhi dengan konfigurasi politik yang sedang terjadi pada
periode tertentu.
Sepanjang perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah terjadi tolak dan
tarik atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan politik yang
otoriter. Jika konfigurasi politik tersebut dimulai dari proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945, periode perjalanan konfigurasi politik tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut.17[17]
1.      Pada awal kemerdekaan (18 Agustus – 16 Oktober 1945) melalui pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945 secara formal negara tersusun dengan konfigurasi politik yang
sangat otoriter karena menyerahkan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada Presiden
sebelum lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dibantu oleh sebuah komite
nasional.
2.      Melalui maklumat No. X Tahun 1945 yang kemudian disusul dengan perubahan sistem
kabinet konfigurasi politik berubah menjadi sangat demokratis (1945-1959).
3.      Konfigurasi politik yang demokratis ini bergeser menjadi sangat otoriter sejak
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberi jalan bagi Bung
Karno untuk menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya (1959-1966).
4.      Ketika orde baru lahir pada bulan Maret 1966 konfigurasi politik kembali bergeser ke
arah yang demokratis. Semboyan yang banyak dikumandangkan ketika itu adalah
menegakkan kehidupan yang demokratis dan konstitusional, melaksanakan pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, membangun supremasi hukum dan
sebagainya (1966-1969/1971).
5.      Keadaan demokratis hanya berlangsung selama 3 tahun pada awal Orde Baru sebab
setelah seminar AD II memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi maka
format baru politik Indonesia yang disusun adalah format yang tidak demokratis,
format yang memberikan kekuatan politik bagi pemerintah (eksekutif) melalui tangan-
tangannya di MPR dan DPR. Tujuannya adalah agar bisa tercipta stabilitas politik yang
dapat melancarkan jalannya pembangunan (ekonomi). Format politik yang baru itu

17[17] Ibid. Hlm. 292-294


dituangkan di dalam dua UU politik yang diundangkan pada tahun 1969 yakni UU No.
15 Tahun 1969 (tentang Pemilu) dan UU No. 16 Tahun 1969 (tentang Susduk
MPR/DPR/DPRD). Meskipun telah beberapa kali diubah, kedua UU ini secara
substansial tetap berlaku sampai sekarang.
Penetapan demokrasi dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-
indikator tertentu sebab kedua istilah tersebut ambigu. Indikator-indikator yang
dipergunakan adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan
tingkat kebebasan pers. Beberpa hal yang juga tampak dari hasil studi tersebut
adalah:18[18]
1.      Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD. UUD
yang sama pada periode ynag berbeda (seperti UUD 1945) dapat melahirkan
konfigurasi politik demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan
konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1966 dan 1969/1971-sekarang);
sebaliknya UUD yang berbeda pada periode yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949,
dan UUDS 1950) yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi yang
sama yakni demokratis. Dengan demikian, demokratis atau tidaknya suatu sistem
politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya tetapi lebih banyak ditentukan
oleh pemain-pemain politiknya.
2.      Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan, ternyata
konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni
“konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang
berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk
hukum yang berkarakter konservatif. Karakter responsif dan konservatif ditandai,
antara lain oleh hal-hal :
a.       Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat
seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih
didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis).
b.      Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam arti mencerminkan
kehendak dan aspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif

18[18] Ibid. Hlm. 294-295


adalah positivistik-instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak atau
memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan progam pemerintah.
c.       Cakupan isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan
cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak oleh lembaga
eksekutif, sedangkan hukum konservatif memuat hal-hal yang pokok-pokok dan
ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran
secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksanaan (interpretatif).

Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya


berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum. Pernyataan tersebut bisa dilihat
dari bagan berikut ini.19[19]

Variabel Bebas Variabel Terpengaruh


Konfigurasi Politik Karakter Produk
Hukum
Demokratis Responsif/Populistik
Otoriter Konservatif/
Ortodoks/ Elitis

D.    Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum di Indonesia


Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multi
disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan
lain-lain.
Politik dan hukum tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan.
Dalam kaitannya dengan hubungan keduanya, ada beberapa pendapat :20[20]
a.       Menurut Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan politik memang berjalan
dalam dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini saling mempengaruhi.
b.      Menurut Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan pasangan. Politik
membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik.

19[19] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 15

20[20] http://zakaaditya.blogspot.com/2013/03/hubungan-hukum-dan-politik.html
Dari kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik
berhubungan sangat erat dikarenakan:21[21]
1.         Hukum merupakan produk politik.
2.         Hukum merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat mewujudkan
kebijakannya.
3.         Jika sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada hukum.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara
subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi
energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Politik
sangat menentukan bekerjanya hukum.22[22]
Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas
antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen
mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa
perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum
sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk
menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi
relevan. Tetapi kaum realis pada sudut pandang das sein mengatakan bahwa “hukum
selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya”. Ini berarti hukum,
mau tidak mau menjadi independent variabel atas keadilan di luarnya, terutama
keadaan politiknya.23[23]
Untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang
Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua Undang-
undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan
umat Islam atau hubungan antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya
berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik

21[21] Ibid.

22[22] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Hlm. 71

23[23] Ibid.
konflik dan saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah
dan umat Islam sedang melakukan akomodasi.24[24]
Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi
yang mendasarinya, yaitu:25[25]
1.      Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi
arah dan pengendali semua kegiatan politik.
2.      Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik
produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan
menjadi dipendent variable atas politik.
3.      Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti
bunyi bahwa, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis),
hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.
Di indonesia jika dilihat secara realitanya maka akan cenderung bahwa politik
determinan atas hukum. Seperti yang telah diasumsikan penulis bahwasanya politiklah
yang berperan aktif dalam mengendalikan hukum. Dimana pada keadaan politik
tertentu hukum yang dihasilkan juga berjalan sesuai keadaan politik tersebut.
Maka hukum di pandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh),
sedangkan politik diletakkan sebagai independent variabel (variabel berpengaruh).
Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang
determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada
kenyataannnya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal
imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat
undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontesasi
agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam
keputusan politik dan menjadi UU. UU yang lahir dari kontesasi tersebut dengan
mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan politik. 26[26]

24[24] http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/hubungan-kausalitas-antara-politik-dan-
hukum-di-indonesia/

25[25] http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12/

26[26] Loc.cit.Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 10


Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum kemudian
lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:
pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-
materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya
dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum
difungsikan.27[27]
Hukum menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi
rumusan dan pelaksanaan hukum. Suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu
akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian
dilahirkannya.28[28]
Studi teoritis tentang politik dan produk hukum dilakukan secara lebih mendalam
akan terbukti bahwa “aksioma” tersebut berlaku pada produk hukum publik yang
berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Hubungan kausalitas yang yang perangkat
teorinya menggunakan dikotomi tentang sistem politik demokratis dan otoriter serta
dikotomi antara hukum responsif dan ortodoks/konservatif. Secara garis besar
pencirian dan pengukuran ata konsep-konsep tersebut dapat dilihat dalam identifikasi
sebagai berikut :29[29]

Sistem Politik Produk Hukum


Demokratis Otoriter/Non Responsif Ortodoks/
demokratis Konservatif
Peranan lembaga Lembaga Pembuatannya Pembuatannya
perwakilan perwakilan melalui proses lebih banyak di

27[27] http://syahrialnaman.wordpress.com/2012/06/20/12

28[28] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jalarta : PT Grafindo
Persada, 2007. Hlm.5-6

29[29] Op.cit.Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.. Hlm. 74-75
rakyat secara praktis yang dominasi oleh
menonjol ; ada pada kondisi partisipatif, lembaga-
berada pada kalah kuat dari menyerap lembaga negara
posisi tidak di pengaruh politik aspirasi dan isinya lebih
bawah kekuatan pemerintahan kelompok- bersifat
politik sehingga penentu kelompok sosial “positivis
pemerintah dan agenda dan arah dan individu- instrumentalis”
dapat politik nasional individu di artinya
menentukan lebih di dominasi dalam menggambarkan
garis politik oleh pemerintah. masyarakat serta visi dan kemauan
nasional. Kehidupan pers melibatkan politik
Kebebasan pers berada di bawah lembaga- pemerintah.
relatif terjamin bayang-bayang lembaga Materi
dan partai-partai kontrol ketat kenegaraan. muatannya
dapat aktif pemerintah. Hal Oleh karenanya banyak
berperan melalui yang sama ia memberikan
lembaga terjadi pada menggambarkan space kepada
perwakilan. partai-partai muatan yang pemerintah
yang lebih aspiratif dan untuk membuat
menjadi asesoris hanya interpretasi
daripada memberikan melalui delegasi
demokrasi space yang perundang-
formal. sempit bagi undangan dan
pemerintah droit function.
untuk membuat
interpretasi.

Mengacu hal tersebut, maka sejarah politik dan hukum di Indonesia di bagi
dalam tiga periode yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode 1966-
sampai sekarang; sedangkan produk-produk hukum diarahkan pada hukum-hukum
publik. Hasil studi tersebut memperlihatkan secara signifikan bahwa sistem politik
yang demokrasi dapat melahirkan hukum-hukum yang responsif, sedangkan sistem
politik yang otoriter dan non demokratis melahirkan hukum-hukum yang memiliki
karater konservatif/ortodoks. Jadi, ada hubungan kausalitas antara politik dan
hukum, dimana hukum itu begitu dependent terhadap politik yang melahirkannya. 30
[30]
Harus dipisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan way of life
masyarakat. Oleh karena demokrasi adalah sistem tang memberi kebebasan dan
partisipasi masyarakat, apa yang tampil di publik sangat tergantung dari
kecenderungan populasi. Demokrasi adalah cara yang efektif untuk mengontrol
operasi kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang. Hal yang
lazim jika pembela demokrasi adalah lapisan masyarakat yang terdidik, sedangkan
penentangnya adalah mereka yang sedang mengendalikan pemerintahan. 31[31]
Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa
negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks
dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut
dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu
pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati
atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan
sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang
disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan
politik.
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang
dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum
serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum.
Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak-tarik dengan
senantiasa mengikuti konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Oleh karena itu,
jika masyarakat mendambakan lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif, 32

30[30] Ibid. Hlm.76

31[31] Denny J.A, Demokrasi Indonesia : Visi dan Praktek, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2006. Hlm. 74-75

32[32] Op.cit. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Hlm. 13


[32] yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan
masyarakat. Maka yang lebih dulu diupayakan adalah menata kehidupan politiknya
agar menjadi demokratis. Sebab bagaimanapun juga hukum terus mengikuti arus
politik.

DEFINISI POLITIK, HUKUM DAN POLITIK HUKUM

DEFINISI POLITIK
1. Istilah politik berasal dari bahasa Yunani Polis yang artinya negara (city state) yang terdiri atas
adanya rakyat, wilayah dan pemerintah yang berdaulat. Warga negara disebut poletis, politikos
untuk menyebut kewarganegaraan, politike techne berarti kemahiran publik, dan ars politica
berarti kemahiran tentang soal kenegaraan, sedangkan politike episteme digunakan untuk
menyebut ilmu politik. Menurut Aristoteles (Filsuf Yunani) manusia adalah Zoon Politicon,
yakni makhluk politik, yaitu hidup dalam suatu wilayah tertentu bersama-sama yang lain dengan
saling membantu dibawah suatu pemerintahan yang disetujui bersama.
2. Kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti
kebijakan (policy). Hugo Heglo dalam Said Zainal Abidin menyatakan bahwa kebijakan sebagai
“suatu tindakan yang bermaksud mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action
intended to accomplish some end). Carl Friedrich merinci apa-apa yang pokok dalam suatu
kebijakan yaitu adanya tujuan (goal), sasaran (objectives) dan kehendak (purpose). Thomas R.
Dye mendefinisikan kebijakan sebagai what government do, why the do it, and what difference it
makes. Sedangkan Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan sebagai a projected
program of goals, values, and practices. Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan
intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action)
intervensi itu sendiri.
3. Istilah politik seringkali diabsorbsi dalam berbagai istilah seperti politics, polity dan policy.
Politics adalah kehidupan politik “political life” yang menggambarkan kekuatan-kekuatan politik
yang ada dan bagaimana perhubungannya serta bagaimana pengaruh mereka di dalam
perumusan dokumen-dokumen kebijaksanaan politik. Polity adalah sistem ketatanegaraan
termasuk sistem pemerintahan negara sedangkan policy ditafsirkan menjadi kebijakan.
4. Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Kegiatan politik
adalah suatu kegiatan yang sarat dengan aktivitas politik.
5. Menurut Yuwono Sudarsono, politik adalah proses hidup yang serba hadir dalam setiap
lingkungan sosial budaya.
6. Berbicara mengenai politik demikian lazimnya anggapan orang adalah berbicara mengenai
naluri kekuasaan yang dibenarkan secara sosial. Dalam negara yang menganut paham demokrasi
dan kedaulatan rakyat, kekuasaan adalah bersumber dari rakyat dan diberikan kepada
sekelompok orang untuk menjalankan pemerintahan.Pemahaman politik dapat dilakukan melalui
sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Menurut Almon, politik memiliki berbagai macam
fungsi yang meliputi:
1. Fungsi input (dilakukan infrastruktur politik) yang mencakup:
Sosialisasi dan rekrutmen politik.
Agregasi kepentingan.
Artikulasi kepentingan.
Komunikasi politik.
2. Fungsi output mencakup:
Rule making (pembuatan peraturan).
Rule application (pelaksanan peraturan).
Rule adjudication (peradilan).
Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan
di masyarakat.

7. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya Dalila negara. Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang
dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara
konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut
pandang berbeda, yaitu antara lain:
a. politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori
klasik Aristoteles)
b. politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c. politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
d. politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dari berbagai definisi politik tersebut maka dapat ditarik beberapa unsur-unsur dari politik yakni:
• suatu tindakan, usaha, proses atau kegiatan
• untuk mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action intended to accomplish some
end), (goal), sasaran (objectives), values, practices dan kehendak (purpose).
• mengatur dan mengurus negara dan ilmu kenegaraan
• diwujudkan dalam pembuatan keputusan
Ada begitu banyak definisi tentang politik yang diuraikan oleh para praktisi politik, namun dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa politik suatu tindakan, usaha, proses atau kegiatan
untuk mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action intended to accomplish some end),
(goal), sasaran (objectives), values, practices dan kehendak (purpose) dalam rangka mengatur
dan mengurus negara dan ilmu kenegaraanyang lazimnya diwujudkan dalam pembuatan
keputusan untuk menciptakan pembangunan di segala bidang demi kepentingan masyarakat.

DEFINISI HUKUM
1. Aristoteles, laws are something different from what regulates and expresses the form of the
constitution, it is their function to direct the conduct of the magistrate in the execution of his
office and the punishment of offenders (hukum adalah sesuatu yang berbeda ketimbang sekadar
mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah
laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman terhadap
pelanggar.)
2. Thomas Aquinas, law is a rule and measuresof acts. Whereby man is induced to act or is
restained from acting; for lex (law) is derived from ligare (to bind), because it binds one to act...
law is nothing else than a rational ordering of things which concern the common good,
promulgated by whoever is charged with the care of the community (hukum adalah suatu aturan
atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana manusia dirangsang untuk bertindak (sesuai
aturan atau ukuran itu), atau dikekang untuk tidak bertindak (yang tidak sesuai dengan aturan
atau ukuran itu). Sebagaimana diketahui, perkataan lex (law, hukum), adalah berasal dari kata
ligare (mengikat), sebab ia mengikat seseorang untuk bertindak (menurut aturan atau ukuran
tertentu). Hukum tidak lain merupakan perintah rasional tentang sesuatu, yang memerhatikan
hal-hal umum yang baik, disebarluaskan melalui perintah yang diperhatikan oleh masyarakat.
3. Thomas Hobbes, The civil laws are the command of him who is endued with supreme power
in the city concerning the future actions of his subjects. (civil law adalah perintah-perintah
hukum yang didukung oleh kekuasaan tertinggi di negara itu, mengenai tindakan-tindakan di
masa datang yang akan dilakukan oleh subjeknya).
4. John Locke, the laws that men generally refer their actions to, to judge of their rectitude or
obliquity, seem to me to be these three:
a. The divine laws
b. Civil law
c. The law of opinion or reputation
By the relation they hear to the first of these, men judge whether their actions are sins or duties;
by second, whether they be criminal or innocent; and by the third, whether they virtues or vices.
(hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya, tentang
tindakan-tindakan mereka, untuk menilai/ mengadili, mana yang merupakan perbuatan yang
jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang. Dalam pandangan saya (Locke), hukum
itu terdiri dari tiga jenis:
a. Hukum agama
b. Hukum negara
c. Hukum opini atau reputasi
Hukum agama menilai, mana tindakan yang berdosa dan mana tindakan yang wajib dilakukan.
Hukum negara menilai mana tindakan kriminal dan mana tindakan yang bukan tindakan
kriminal. Hukum opini atau reputasi menilai mana tindakan yang luhur dan mana tindakan yang
buruk (secara kesusilaan).
5. Hooker, a law is properly that which in reason in some sort defineth to be good that it must be
done.
6. Hugo Grotius, law is a rule of moral action obliging to that which is right (hukum adalah suatu
aturan tindakan moral yang sesuai dengan apa yang benar).
7. Marcus Tullius Cicero, law is the highest reason implanted in nature, which prescribes those
things which ought to be done, and forbids the contrary (hukum adalah alasan tertinggi yang
ditanamkan di alam, yang memerintahkan apa yang seharusnya dilakukan dan melarang apa
kebalikannya).
8. Demosthenes, every law is an invention and gift of the Gods (setiap hukum adalah suatu
ciptaan dan hadiah Tuhan).
9. Amos, a command proceeding from the supreme political authority of a state and addressed to
the person who are the subjects of that authority (suatu perintah yang dikeluarkan oleh penguasa
politik tertinggi dari suatu negara, dan ditujukan terhadap personal yang menjadi subjek
kekuasaannya).
10. Garies, law in the objective sense of the term is a peaceable ordering of the external relations
of men and their relations to each other (hukum secara objektif adalah suatu tata damai dari
hubungan eksternal manusia, dalam hubungan mereka satu sama lain).
11. William Blackstone, law is rule of action prescribed or dictated by some superior which
some inferior is bound to obey (hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan
oleh orang-orang yang berkuasa, bagi orang-orang yang dikuasai, untuk ditaati).
12. Wortley, law is the collective term for the rules of conduct for men living in a legal order. An
effective system of law is one where the rules are likely to be followed (hukum adalah istilah
kolektif bagi aturan-aturan tingkah laku manusia yang berbeda di dalam suatu tertib hukum. Dan
suatu sistem hukum yang efektif adalah jika aturan-aturannya ditaati).
13. Goodhart, those rules of conduct on which the existence of society is based and violation of
which tends to invalidate its existence (hukum adalah aturan-aturan tingkah laku dimana
diatasnyalah eksistensi masyarakat itu didasarkan dan pemerkosaan atau pelanggaran terhadap
aturan-aturan tingkah laku itu, pada dasarnya menghapuskan eksistensi itu).
14. Hans Kelsen, law is a coercive order of human behaviour , it is the primary norm which
stipulates the sanction (hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia.
Hukum adalah norma primer yang menetapkan sanksi-sanksi).
15. Shebanov, law is the legislative instrument of a higher agency of state power, adopted in a
prescribed manner and possessing a highest legal force in relation to instrument of state agencies
and social organizations (hukum adalah alat legislatif, yaitu alat kekuasaan tertinggi dari negara
yang digunakan di dalam suatu cara yang menentukan dan memiliki kekuasaan yang tinggi di
bidang hukum, dalam hubungannya dengan alat-alat pejabat negara lainnya dan organisasi
sosial).
16. P. Borst menyatakan bahwa hukum adalah aturan atau norma yaitu petunjuk atau pedoman
hidup yang wajib ditaati oleh manusia.
17. Ronald. M. Dworkin, the law of community directly or indirectly for the purpose of
determining which behavior will be punished or enforced by the public power, these special rules
can be identified and distinguished by specific criteria, by test having to do not with their content
but with their pedigree or the manner in which they were adopted or develop (hukum dari suatu
masyarakat adalah seperangkat aturan-aturan khusus yang digunakan oleh masyarakat tersebut,
baik langsung ataupun tidak langsung untuk tujuan-tujuan yang menentukan perilaku mana yang
dapat dihukum atau perilaku mana yang dapat diidentifikasi dan dibedakan dengan
menggunakan kriteria yang spesifik, dengan tidak menguji pada isinya, melainkan pada asal usul
atau dengan cara apa ia dipakai atau dikembangkan).
18. Roscoe Pound, law in the sense of the legal order has for its subject relation of individual
human beings with each other and the conduct of individuals so far as they affect others affect
the social or economic order. Law in the sense of the body of authoritative grounds of judicial
decision and administrative action has for its subject matter the expectation or claims or wants
held orasserted by individual human beings or groups of human beings which affect their
relations or determine their conduct (hukum adalah makna sebagai tertib hukum, yang
mempunyai subjek, hubungan individual antar manusia satu sama lain dan perilaku individual
yang memengaruhi individu lain atau memengaruhi tata sosial atau tata ekonomi. Sedangan
hukum dalam makna kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan
tindakan administratif, mempunyai subjek berupa harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh
manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang memengaruhi hubungan
mereka atau menentukan perilaku mereka.
19. Philippe Nonet, law is not what lawyers regard as binding or obligatory precepts, but rather,
for example, the observable dispositions of judges, policemen, prosecutors or administrative
officials (hukum bukan apa yang oleh pengacara dianggap sebagai konsep-konsep yang
mengikat, tetapi hukum lebih merupakan disposisi-disposisi yang dapat diamati tentang para
hakim, para polisi, para penuntut umum dan pejabat administrasi.
20. Rudolf von Jhering, law is the sum of the conditions of social life in the widest sense of the
term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion (hukum
adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam makna luas, yang dijamin oleh kekuasaan
negara, melalui cara paksaan yang bersifat eksternal).

Dari berbagai definisi hukum tersebut maka dapat ditarik beberapa unsur-unsur dari hukum
yakni:
• seperangkat aturan-aturan khusus
• petunjuk atau pedoman hidup
• dijamin oleh kekuasaan negara
• yang mempunyai subjek
• memaksa
• mengikat seseorang untuk bertindak
• menetapkan sanksi-sanksi
• berfungsi untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan penegak hukum
Dengan demikian yang dimaksud dengan hukum adalah seperangkat aturan-aturan khusus yang
mendapat legitimasi dari negara sehingga menjadi petunjuk atau pedoman hidup yang memiliki
subjek, memaksa serta mengikat untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat dan
penegak hukum yang atas pelanggarannya dikenakan sanksi.

DEFINISI POLITIK HUKUM


1. Perspektif Etimologis
Secara etimogis istilah politik hukum merupakan terjemahan dari rechtspolitiek yang terdiri atas
dua kata yakni recht dan politiek. Istilah rechtspolitiek sering dirancukan dengan politieekrecht
yang berarti hukum politik. Menurut Hence van Maarseveen istilah politieekrecht merujuk pada
istilah hukum tata negara. Politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum, selanjutnya
dikatakan politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang
hukum. Secara etimologis politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.
2. Perspektif Terminologis
Pendefinisian secara etimologis ternyata belum memberikan gambaran yang komprehensif
mengenai politik hukum. Oleh sebab itu diperlukan pendefinisian dari beberapa ahli seperti:
a. Padmo Wahjono, politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
maupun isi hukum yang akan dibentuk.
b. Teuku Mohammad Radjie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun.
c. Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendak, yang diperkirakan akan
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
apa yang dicita-citakan. Dalam buku lain Soedarto juga mendefinisikan politik hukum sebagai
usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu.
d. Satjipto Rahardjo, Satjipto mengutip pendapat parson dan kemudian mendefinisikan politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan
sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
e. Sunaryati Hartono, Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif,
beliau mengatakan politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat
digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan
sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Sunaryati Hartono
menitikberatkan politik hukum dalam dimensi ius contituendum.
f. Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan politik hukum nasional secara harfiah dapat
diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan
secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Definisi yang disampaikan Abdul
Hakim Garuda Nusantara merupakan definisi yang paling komprehensif yang merinci mengenai
wilayah kerja politik hukum yang meliputi teritorial berlakunya politik hukum dan proses
pembaruan dan pembuatan hukum yang mengarah pada sifat kritis terhadap hukum yang
berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum.
Selanjutnya ditegaskan pula mengenai fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum,
suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli sebelumnya.
g. Politik hukum bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu
saja. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang kesejarahan, pendangan dunia (world-
view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Meskipun begitu, politik
hukum suatu negara tetap memperhatikan realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan
politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang menimbulkan istilah politik
hukum nasional.
h. Van Apeldorn Politik hukum sebagai politik perundang-undangan. Politik Hukum berarti
menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. Pengertian politik hukum terbatas
hanya pada hukum tertulis saja.
i. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan
cara bertindak dalam bidang hukum.
j. Purbacaraka dan Soeryono, politik hukum adalah kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan
penerapan nilai-nilai
k. Bagir Manan, Politik hukum tidak dari politik ekonomi, politik budaya, politik pertahanan,
keamanan dan politik dari politik itu sendiri. Jadi politik hukum mencakup politik pembentukan
hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan hukum.
l. Moh. Mahfud, Politik Hukum adalah kebijaksanaan hukum ( legal policy ) yang hendak/ telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah ( Indonesia ) yang dalam implementasinya melalui
:
a. Pembangunan hukum yang berintikan pembuat hukum dan pembaharuan terhadap bahan-
bahan hukum yang dianggap asing dan atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan ( ius
constituemdum ) hukum yang diperlukan.
b. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan
pembinaan para anggota penegak hukum.
Dari berbagai definisi politik hukum tersebut maka dapat ditarik beberapa unsur-unsur dari
politik hukum yakni:
• rangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara
• mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta
penegakan hukum
• menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum
• untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
• untuk mencapai suatu tujuan sosial
Dari unsur-unsur tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan politik
hukum adalah serangkaian konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa
negara yang mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik
penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang
berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk
mencapai suatu tujuan sosial. Sehingga politik hukum berdimensi ius constitutum dan
berdimensi ius constituendum.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Budi Hardiman, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung.
Dani Krisnawati, dkk., 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta.
Dye, Thomas R., 1995, Understanding Public Policy, Prentice Hall, New Jersey.
Endang Zaelani Sukaya, 2002, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi,
Paradigma, Yogyakarta.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Lasswel, Harold dan Abraham Kaplan, 1970, Power And Society, New Heaven: Yale University
Press.
Leo Agustino, 2006, Dasar-dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung.
M. Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung.
Marbun, 2002, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Morgenthau, Hans J., 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Said Zainal Abidin, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Sawah, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Hukum Pidana,
Sinar baru, Bandung.
_________, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

ARTIKEL DALAM MEDIA ELEKTRONIK


Andi Silalahi, 2008, “Politik Hukum”, Serial Online December 31st, 2008, (Cited on 2010
March 14), availaible from : URL:http://one.indoskripsi.com/node/7340.
Anonim, 2008, “Politik Hukum”, Serial Online 2008/12/21, , (Cited on 2010 March 14),
availaible from : URL:http://albatrozz.wordpress.com/2008/12/21/politik-hukum/. Redaksi
Wikipedia, 2007, , “Politik”, Serial Online 21:29, 3 Mei 2007, (Cited on 2010 March 14),
available from: URL: www.wikipedia.org.
Redaksi Wikipedia, 2010, “Politik”, Serial Online 13:58, 8 Maret 2010., (Cited on 2010 March
14), availaible from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Politik.

JURNAL
Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II Desember 1973, hal. 4.
Mengurai Jurang Perbedaan Hukum dan Politik

ISYANA KURNIASARI KONORAS33[*]

Abstrak

33[*] Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum dan Pasca Sarjana program studi Ilmu Hukum Universitas
Sam Ratulangi Manado, Serta sebagai Fungsionaris KOHATI PB HMI Periode 2013-2015
Antara hukum dan politik terdapat hubungan erat satu sama lain sebagai disiplin ilmu yang
saling isi mengisi. Meskipun terdapat hubungan erat, Keduanyapun memiliki karakteristik
berbeda bahkan satu dan lainnya saling mengklaim memiliki kelebihan atau keunggulan.
Pendekatan hukum lebih kaku dibandingkan pendekatan politik yang dalam hukum dikenal
politik hukum, dalam politik dinamakan sebagai kebijakan. Dari segi proses dan hasil yang akan
dicapai jelas sekali jurang perbedaan antara hukum dan politik.

Kata kunci : Hukum, Politik, Politik Hukum, Kebijakan.

Abstract
Between law and politics there is a close relationship with each other as a scientific disicipline
each content filling. Despite the close relationship, both have different characteristics from each
other even each claim hasits advantages or superiority. Law approach is more rigid than the
political approach in politics known legal law, in polotics as a policy called. In terms of process
and outcomes to be achieved abvious gap between law and politics.

Key words: Law, Politics, Political Law, Policy.

A.         Pendahuluan
Dalam Ilmu Hukum salah satu bagiannya yang penting ialah Politik Hukum (Politics of
Law, bahasa Inggris, Rechtspolitiek, bahasa Belanda). Adanya unsur ‘Politik’ pada Politik
Hukum manakala disebut politik hukum agraria di Indonesia, atau politik hukum perbankan di
Indonesia, maka yang dimaksud ialah antara lainnya proses-proses politik yang terjelma melalui
instrumen hukum agraria atau perbankan.
Pendekatan dalam Politik Hukum tetap berpijak dari hukum, namun unsur politiknya juga
turut mempengaruhi pendekatan tersebut karena rangkaian proses untuk mencapai tujuannya
terkait erat dengan infrastruktur maupun suprastruktur politik yang berlaku dalam suatu negara.
Dalam Ilmu Politik, salah satu bagiannya yang penting ialah Kebijakan (Publik, oleh
karena sasaran atau tujuan yang hendak dicapai ialah kepentingan publik (kepentingan umum).
Meskipun unsur Politik sangat dominan, akan tetapi unsur Hukum terdapat dan terkait erat di
dalamnya. Manakala dinamakan Kebijakan jaminan sosial kesehatan di Indonesia, atau
Kebijakan pelayanan publik, maka kebijakan yang dimaksudkan di sini ialah antara lainnya
mengandung arti sebagai proses, perumusan, analisis dan penentuan keputusan yang diambil
melalui proses politik terhadap kebijakan jaminan sosial kesehatan atau kebijakan pelayanan
publik.
Baik Politik Hukum yang menginduk pada Ilmu Hukum maupun Kebijakan yang
menginduk pada Politik terdapat persamaannya. Disiplin Ilmu Hukum maupun disiplin Ilmu
Politik saling berkaitan erat satu sama lainnya sebagai disiplin keilmuan yang tentunya
membutuhkan ilmu-ilmu bantu (hulpwetenschapi). Jika dalam Ilmu Hukum, Politik Hukum
dapat disebut sebagai ilmu bantu, hal itu dipahami oleh karena sangat luasnya bagian-bagian
dalam Ilmu Hukum sehingga berkembang dan dibutuhkan bagian-bagian atau cabang-cabangnya
seperti Hukum Perdata yang beranak-pinak menjadi antara lainnya Hukum Perjanjian, Hukum
Perlindungan Anak, Hukum Jaminan, Hukum Perbankan, dan lain sebagainya.
Dalam Ilmu Politik berkembang bagian-bagian atau cabang-cabangnya antara lain Sistem
Politik Indonesia, Manajemen Pemerintahan Daerah, Kebijakan pelayanan publik, dan lain
sebagainya. Pendekatan Ilmu Politik dianggap lebih luwes dibandingkan dengan pendekatan
Ilmu Hukum, termasuk pendekatan pada bagian-bagian atau cabang-cabangnya tersebut di atas.
Hukum, apalagi Hukum Positif walaupun umumnya mengandung sistem terbuka (open system),
tetapi ada bagian-bagiannya yang merupakan sistem tertutup. Sementara pendekatan Ilmu Politik
lebih lentur dan sedikit banyak ditentukan oleh proses-proses komunikasi politik yang juga
ditentukan dari apakah sistem politik negara itu demakoratis atau totaliter.

B.         Pembahasan
1.          Peristilahan dan Pengertian Politik Hukum
Bahwa Politik Hukum menginduk pada Hukum, yang dari peristilahannya, Politik
Hukum terdiri dari dua kata yakni “Politik” (Politics), dan “Hukum” (Law), sehingga disebut
sebagai Politik Hukum (Politics of Law).
Kedua kata tersebut, yakni “Politik” dan “Hukum”, diartikan oleh Henry Campbell Black,
bahwa “Politics” sebagai “The science of government; the art or practice of administering public
affairs”. Sedangkan arti Hukum (Law0, dirumuskan oleh Henry Campbell Black, sebagai “That
which is laid down, ordained, or established. A rule or method according to which phenomena
or actions co-exist or follow each other. Law, in its generic sense, is a body of rules of action or
conduct prescribed by controlling authority, and having binding legal force”.
Politik, ditinjau dari upaya untuk mencapai tujuan, menurut Miriam Budiardjo, untuk
mencapai tujuan-tujuannya perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang
menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation0 dari sumber-
sumber (resources) yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki
kekuasaan (power0 dan kewenangan (authority0 yang akan dipakai baik untuk membina
kerjasama maupun untuk menyelesaiakan konflik yang mungkin timbul dalam proses politik.
Politik Hukum ditemukan beberapa pengertiannya menurut para pakar, E. Utrecht (dalam
Abdurrahman), merumuskan, politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan
menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum menyelidiki perubahan-
perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai
dengan kenyataan sosial. Politik hukum membuat sesuatu ius constituendum dan berusaha ius
constituendum pada kemudian hari berlaku sebagai ius constitutum.
Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi : Pertama, pembangunan
hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan; Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Politik hukum mencakup proses
pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan
dibangun dan ditegakkan.
Rumusan menurut Teuku Mohammad Radhie dan Abdul Hakim Garuda Nusantara
(dalam A.S.S. Tambunan) ialah, menurut Teuku Mohammad Radhie, politik hukum adalah
pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah
mana hukum hendak dikembangkan. Sedangkan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyamakan
politik hukum dengan politik pembangunan hukum. Bintan Regen Saragih merumuskan, politik
hukum adalah kebijakan yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau
pejabatnya untuk menetapkan hukum mana yang perlu diganti, atau yang perlu dirubah, atau
hukum mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau
dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara dan pemerintahan dapat
berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti mesejahterakan rakyat )
secara bertahap dan terencana dapat terwujud. Berdasarkan beberapa pengertian tentang Politik
Hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa Politik Hukum adalah :
a.          Merupakan proses politik dalam melakukan perubahan terhadap hukum ;
b.          Politik Hukum adalah pembangunan hukum ;
c.          Politik Hukum adalah pernyataan kehendak penguasa negara tentang hukum; dan
d.          Politik Hukum adalah kebijakan hukum melalui lembaga atau pejabat yang berwenang tentang
hukum.

2.          Politik Hukum Dalam Sistem Hukum


Sistem Hukum (Legal System) dari sudut pandang Ilmu Hukum, tidak melihat hukum
sebagai suatu chaos atau ‘mass of rule’, tetapi melihatnya sebagai suatu ‘structured whole’ atau
sistem.Sudikno Mertokusumo menjelaskan, pada hakikatnya sistem, termasuk sistem hukum
merupakan suatu kesatuan hakiki atau terbagi-bagi dalam bagian-bagian di dalam mana setiap
masalah atau persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya. Jawaban itu terdapat di
dalam sistem itu sendiri.
C.F.G. Sunaryati Hartono menjelaskan, karena suatu sistem itu selalu terdiri dari
sejumlah unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi, lagi pula
terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu, maka sistem hukum pun terdiri dari sejumlah unsur
atau komponen, yang sebagian pada saat ini sudah ada dan sudah berfungsi, tetapi sebagian besar
lagi masih harus diciptakan. Rumusan Sunaryati Hartono ini menjelaskan karakteristik sistem
hukum yang selalu terdiri dari sejumlah unsur atau komponen, yang saling berkaitan erat satu
sama lainnya, serta sebagian sudah ada dan sudah berfungsi tetapi sebagian besar masih harus
diadakan dan diciptakan.
Schrode dan Voich (dalam Satjipto Rahardjo) menerangkan jika suatu sistem ditempatkan
pada pusat pengamatan, maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya adalah :
1.          Sistem itu berorientasi kepada tujuan ;
2.          Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagian (wholism);
3.          Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya (keterbukaan
sistem) ;
4.          Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi) ;
5.          Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan) ;
6.          Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).
Politik Hukum sebagai bagian dari sistem hukum (legal system) menurut Lawrence M.
Friedman, suatu sistem hukum dalam aktualnya merupakan sebuah organisasi kompleks di mana
struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. Hubungan yang erat dari unsur atau komponen sistem
hukum yakni struktur hukum yang antara lainnya meliputi aparat penegak hukum, substansi
hukum yang antara lainnya meliputi peraturan hukum, serta kultur hukum yang meliputi antara
lainnya ialah pendapat-pendapat, kebiasaan-kebiasaan maupun pola pikir aparat penegak hukum
maupun warga masyarakat.
Manakala materi muatan peraturan perundangan (substansi hukum) buruk, tidak
demokratis, mendapat penolakan kuat dari masyarakat, maka kelemahan dari substansi hukum
akan berpengaruh terhadap struktur hukum dan kultur (budaya) hukum. Demikian pula
sebaliknya, jika struktur hukum menampakkan sifat otoriter, menindas, dan melanggar Hak
Asasi Manusia, akan berpengaruh terhadap substansi hukum maupun kultur hukum, dan lain
sebagainya.
Sistem hukum dilihat dari fungsinya, menurut Lawrence M. Friedman terdapat beberapa
fungsi sistem hukum yakni fungsi untuk mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang
benar menurut masyarakat, fungsinya sebagai penyelesaian sengketa, fungsi sistem hukum
sebagai kontrol sosial, fungsi sistem hukum menciptakan norma-norma, dan lain sebagainya.
Sistem hukum akan berpuncak pada sistem yang melandasi hukum secara keseluruhan yakni
sistem ketatanegaraan yang berlaku dan dalam konteks di Indonesia ialah “Sistem Negara
Hukum” sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Pasal 1 ayat (3).
Berdasarkan pada Sistem Negara Hukum Indonesia, unsur-unsur Negara Hukum
(rechtstaat) akan menuntun, memberi pedoman, dan mengarahkan struktur hukum, substansi
hukum, dan kultur hukum untuk berpola pikir dan bertindak sesuai unsur-unsur yang terkandung
dalam Negara Hukum. Merujuk pada konsep Rechsstaat oleh f.j. Stahl yang menyebutkan unsur-
unsurnya yakni (1) adanya ketentuan konstitusional yang mengatur hubungan antara penguasa
negara dan rakyatnya; (2) adanya pembagian kekuasaan negara; serta (3) adanya pengakuan
terhadap hak-hak dasar rakyat (HAM), akan dapat menuntun, memberi pedoman, dan
mengarahkan struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum pada ketentuan konstitusional
yakni Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, menyebabkan kedudukan sistem
hukum dan unsur-unsurnya hanya merupakan derivasi (turunkan) dari Negara Hukum beserta
unsur-unsurnya.
Jika Friedman menekankan kesejajaran (horizontal) di antara unsur-unsur sistem hukum
sebagai satu kesatuan, disinilah kelemahannya karena belum sampai pada puncak atau induk dari
sistem hukum yakni hukum itu sendiri dalam suatu negara. Oleh karena berlaku di suatu negara,
maka lebih tepat ditempatkan sebagai sistem ketatanegaraan sehingga kedudukan sistem hukum
beserta unsur-unsurnya hanya turunkan dari sistem ketatanegaraan yang di Indonesia ditentukan
dalam ketentuan konstitusional bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

3.          Peristilahan dan pengertian Kebijakan


Istilah “Kebijakan” (Policy) merupakan istilah yang kurang dipakai dalam disiplin Ilmu
Hukum, dan istilah Kebijakan ini tumbuh serta berkembang dan digunakan dalam disiplin Ilmu
Politik, termasuk Pemerintahan. Kebijakan (Policy) diartikan “The general principles by which a
government is guided in its management of public affairs, or the legislature in its
measures”.Henry Campbell Black menjelaskan arti lain dari Kebijakan, bahwa “The term
‘policy’, as applied to a statute, regulations, rule of law, course of action, or the like, refers to its
probable effect, tendency, or object, considered with reference to the social or political well-
being of the state”.
Dengan demikian, jelaslah istilah Kebijakan banyak berkembang dan dipakai di
lingkungan disiplin Ilmu Politik termasuk Pemerintahan. Istilah Kebijakan (Policy) juga berbeda
dari istilah Kebijaksanaan (Wisdom), meskipun keduanya sama-sama berasal dari kata dasar
“Bijak”. Juga, Kebijakan berbeda dengan Kebajikan (Virtues). Namun, terlepas dari kesemuanya
itu, Edi Suharto, menjelaskan bahwa Kebijakan (Policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan,
bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula
governance yang menyentuh pengelolaan sumberdaya publik. Kebijakan pada intinya merupakan
keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan
dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni
rakyat banyak. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi, atau bahkan
kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili
sistem politik suatu negara.
Pendapat Edi Suharto tersebut di atas, secara langsung merujuk pada Kebijakan sebagai
bagian dari sistem politik suatu negara. Kebijakan sebagai hasil sinergi, berarti hasil kekuatan-
kekuatan yang ada yang membangun kesatuan untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan sebagai
hasil kompromi dan kompetisi, jelas merupakan proses politik yang lahir dari persaingan
kekuatan-kekuatan politik (kompetisi politik) dengan kompromi atau konsensus bersama,
manakala persaiangan dihadapkan pada kepentingan yang lebih luas, yang lebih besar yakni
kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kebijakan sebagaimana seringkali diungkapkan dalam Kebijakan pengelolaan keuangan
daerah, atau Kebijakan Pelayanan investasi, dan lain sebagainya yang merupakan terminologi
yang berkembang dan di pakai oleh kalangan politisi maupun aparatur pemerintahan. Istilah
seperti contoh ini melahirkan istilah yang juga populer digunakan yakni apa yang disebut sebagai
‘Payung hukum’ untuk menjelaskan hukum apa yang mendasari Kebijakan itu. Sedangkan istilah
‘Payung Hukum’, bukanlah istilah yang lazim dipakai oleh kalangan Hukum, yang
menggunakan istilah “Dasar Hukum” atau “Landasan Hukum”.

4.          Kebijakan Publik Sebagai Proses Politik


Konsep dan pengertian Kebijakan berada dalam lingkup disiplin Ilmu Politik, juga Ilmu
Pemerintahan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada kepentingan umum, sehingga disebut
pula sebagai Kebijakan Publik. Dengan demikian, Kebijakan Publik merupakan pada kerangka
kerja publik yang memberikan pedoman atau panduan dalam implementasi kepentingan-
kepentingan publik.
Kebijakan itu sendiri diartikan bermacam-macam oleh para pakar. Titmuss (dalam Edi
Suharto), mendefinisikan Kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang
diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem oriented), dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Thomas R. Dye (dalam Joko Widodo),lebih menekankan Kebijakan pada prosesnya, yang
meliputi :
1.      Indetifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem) ;
2.      Penyusunan agenda (agenda setting) ;
3.      Perumusan kebijakan (policy formulation) ;
4.      Pengesahan kebijakan (legitimating of policies) ;
5.      Implementasi kebijakan (policy implementation) ;
6.      Evaluasi kebijakan (policy evaluation).
Kebijakan dalam rangka Kebijakan Publik merujuk pada ruang lingkupnya, termasuk
tujuan yang hendak dicapai yakni untuk kepentingan publik atau kepentingan umum. Menurut
Edi Suharto, Kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk
mencapai hasil-hasil tertentu yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.
Sebagai suatu proses, Kebijakan Publik memerlukan rumusan-rumusan yang efektif dengan
memperhatikan sumber datangnya usulan kebijakan dengan agenda dan strategi yang akan
dilaksanakan. Oleh karenanya, Kebijakan Publik merupakan proses perumusan kebijakan yang
akan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Baik Kebijakan itu sendiri maupun Kebijakan Publik adalah domain Politik dan
Pemerintahan, oleh karena para aktornya berada dalam lingkup Politik dan Pemerintahan. Proses
pengambilan Keputusan misalnya berada dalam lingkup ini sehingga sangat mengandalkan
kemampuan untuk melakukan komunikasi politik maupun tawar menawar politik, apalagi
dihadapkan pada kondisi sosial politik suatu negara seperti di Indonesia yang bersifat multi
partai. Untuk itu, pengertian Politik menurut Rod Hague et al (dalam Miriam Budardjo) bahwa,
Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai
keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha mendamaikan
perbedaan-perbedaan di antara anggota-anggotanya.
Kebijakan dan Kebijakan Publik yang menginduk pada Politik merupakan bagian yang
terkait erat dengan bagaimana sistem politik yang berlaku di suatu negara. Pada negara yang
demokratis, proses-proses perumusan Kebijakan Publik senantiasa mengemuka dan dicapai
melalui proses-proses yang demokratis pula, suatu hal yang tidak ditemukan di dalam negara
yang sistem politiknya otoriter, yang kurang membuka ruang bagi berdemokrasi, oleh karena
proses politik lebih mengabdi pada kepentingan rezim yang otoriter tersebut.

5.          Jurang Pembeda Hukum dan Politik


Hukum mengenal proses hukum dan proses hukum adalah inti dari Politik Hukum.
Meskipun demikian, satu-satunya prinsip utama dalam hukum pada konteksnya di Indonesia
ialah prinsip atau asas legalitas. Prinsip ini menyebabkan hukum sebagai proses tampak seakan-
akan kaku dan kurang dinamis, oleh karena senantiasa memperhatikan asas legalitas.
Asas legalitas ini menuntut adanya suatu dasar hukum (landasan hukum), yang dalam
bahasa Politik dikenal sebagai Kebijakan. Menurut Hukum, berlakunya ketentuan hukum harus
berdasarkan pada legalitasnya. Prinsip ini menyatakan kehadiran tindakan atau perbuatan
seseorang, badan hukum privat, badan hukum publik maupun aparatur Negara/Pemerintahan,
harus berdasarkan pada hukum yakni aturan-aturan hukumnya.
Bertolak dari prinsip Legalitas ini, hukum tidak berbicara pada tataran proses dan hasil.
Hukum tidak secara langsung merumuskan kebijakan yang bersifat implementatif terhadap
pengelolaan keuangan daerah, melainkan mengawasinya terlebih dahulu dengan membuat dasar
hukum pengelolaan keuangan daerah yang merujuk pada sejumlah instrumen hukum antara ;ain
ialah Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Hukum sebenarnya sangat dinamis, tidak kaku atau statis. Yang kaku ialah peraturan
perundang-undangan, yakni salah satu sumber hukum, oleh karena sebagai hukum positif,
peraturan perundang-undangan berbentuk tertulis akan dihadapkan pada waktu berlakunya dan
reaksi masyarakat terhadap peraturan perundangan tertulis tersebut. Hukum, sebagaimana
pengertian sistem hukum menurut Sunaryati Hartono bahwa sebagian sudah ada dan sudah
berfungsi tetapi sebagian besar masih harus diadakan (diciptakan). Ini berarti hukum bersifat
dinamis yang dalam perkembangannya terus menerus mengalami kemajuan, perubahan, dan
pertumbuhan. Ketika komputer belum ditemukan, tidak ada kejahatan komputer seperti
Penghinaan atau pornografi melalui media sosial. Untuk dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan
melalui media sosial harus ada instrumen hukumnya yang benar-benar melarang dan
menentukannya yang benar-benar melarang dan menentukannya sebagai tindak pidana (baik
kejahatan maupun pelanggaran), yakni dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengancam pidana terhadap pelanggaran terhadap
kesusilaan (pornografi) (Pasal 27 ayat (1), dan Penghinaan (pencemaran nama baik) (Pasal 27
ayat (3).
Dalam perkembangannya, terdapat era ketika pemikiran hukum yang hanya
menempatkan hukum itu sendiri (hukum murni) yang bebas dari unsur sosial, politik, budaya
dan lain sebagainya, yakni dengan kepolosan Hans Kelsen dengan tesisnya, “Hukum Murni”.
Hukum menurutnya harus tidak terkait dengan aspek sosial, politik, budaya dan lain-lainnya
yang bukan hukum. Namun dalam perkembangannya, pandangan Kelsen ini dikatakan tidak
tepat oleh karena hukum tidaklah otonomo tetapi membutuhkan disiplin ilmu lainnya. Pandangan
Hans Kelsen inilah yang dikenal sebagai pandangan kalangan Positivisme Hukum.
Syaifullah menjelaskan bahwa aliran Hukum Postifi yang menekankan pada kodifikasi
dan membebaskan diri dari anasir sosiologis, politik, ekonomi, bahkan etika dan moral,
menjadikan hukum sebagai bidang ilmu yang terisolir dari interaksinya dengan masyarakat. Jika
hukum sudah melahirkan undang-undang yang telah ditentukan, maka hukum sudah bekerja
dengan baik. Akan tetapi manakala persoalan-persoalan yang berada di luar hukum
mempengaruhi proses bekerjanya hukum, Positivisme Hukum menganggap hal itu bukan
garapan hukum lagi.
Kesenjangan antara hukum dengan berbagai disiplin ilmu lainnya mencapai puncaknya di
masa Positivisme Hukum menguat, oleh karena tidak memberi tempat bagi berbagai disiplin
ilmu lain yang dipandang sebagai non-hukum. Namun perkembangan selanjutnya, interaksi
hukum dengan berbagai ilmu lainnya, khususnya Politik semakin terbuka dan berkembang.
Pemikiran-pemikiran yang berbasis Ilmu Sosial, termasuk Politik antara lainnya yang
populer di Indonesia ialah pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam karyanya
berjudul “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law” yang mengemukakan konsep
Hukum Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif, yang menurut Nonet dan Selznick,
pada Hukum Represif, politik tunduk pada politik kekuasaan. Pada Hukum Otonom, hukum
bebas dari politik dan adanya pemisahan kekuasaan. Sedangkan pada Hukum Responsif,
aspirasi-aspirasi hukum dan politik berintegrasi, dan terjadi pembauran kekuasaan.
Kesenjangan antara Hukum dan Politik semakin terkikis manakala sejumlah pakar di
Indonesia mengkaji konfigurasi politik dalam pembentukan hukum, antara lainnya ialah Moch.
Mahfud MD bahwa dalam kenyataannya hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik
yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan hukum
itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan.
Perbedaan antara hukum dan politik yang demikian luasnya pada era Positivisme Hukum,
dan semakin terkikisnya perbedaan tersebut dalam perkembangan mutakhir (kontemporer),
hanya meninggalkan jejak dalam tataran praktisnya saja seperti dinamika hukum dan politik di
Indonesia pasca Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang sampai saat ini hiruk-pikuk
perpolitikan nasional tetap memanas hingga diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu). Terlebih dahulu dikemukakan, pentas perpolitikan nasional sekarang
ini erat hubungannya dengan tesis (dalil) Nonet dan Selznick yang menempatkan Hukum
Responsif sebagai hukum yang diidealkan, yakni hukum yang tumbuh dari sistem hukum dan
sistem politik yang responsif juga akan menghasilkan Hukum Responsif.
Perpu adalah contoh untuk menjelaskan konfigurasi hukum dan politik Pasca Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Negara Republik Indonesia. Kekalahan kubu Koalisi Merah
Putih (KMP) dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan terpilihnya Joko Widodo dan M. Jusuf
Kalla sebagai pemenang, berimbas terus hingga ke parlemen yang menandai kekalahan kubu
KIH dengan penguasaan pimpinan DPR RI dan MPR RI oleh kubu KPM. Pertentangan dua kubu
tersebut semakin menampilkan polarisasi yang berseberangan antara kedua kekuatan sosial
politik yang oleh beberapa pihak dipandang sebagai bentuk perbedaan (kesenjangan kekuatan
politik) yang domain di Indonesia, dengan segala kegaduhan politik sampai muncul kembali
adagium lama bahwa “Politik adalah seni untuk menguasai lawan”.
Dari perspektif hukum dan politik, kesenjangan tersebut di atas bukan berada dalam
tataran konsep dan proses politik yang berangkat dari sistem hukum dan disistem politik yang
melahirkan Hukum Represif, melainkan dinamika dalam proses perpolitikan yang wajar, oleh
karena sebagai contoh di sejumlah negara besar, penguasa eksekutifnya tidak selama sama asal
dan orientasi kepartaian dengan penguasa legislatif. Perbedaan hukum dan politik dalam konteks
ini hanya berkisar pada proses dan alat yang tidak bertemunya komunikasi politik di antara dua
kekuatan politik besar di Indonesia.
Politisasi yang mengemuka pada Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala
Daerah (Perpu Pilkada) dan Perpu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, bertolak dari unsur utama Perpu yakni “adanya kegentingan
memaksa”. Kegentingan memaksa menjadi alasan diterbitkannya Perpu, yang sebenarnya Perpu
lahir oleh karen penolakan hebat oleh berbagai elemen masyarakat terhadap sejumlah peraturan
perundangan. Padahal, peraturan perundang-undangan yang dimaksud berasal dari Pemerintah
(Eksekutif0 bersama dengan legislatif (Parlemen). Presiden menerbitkan Perpu di maksud berarti
Presiden juga berkeinginan membatalkan peraturan perundang-undangan yang dibahasnya
bersama dengan DPR RI.
Dari aspek hukum, Perpu adalah jenis peraturan perundang-undangan dan
pembentukannya oleh Presiden juga memiliki keabsahan (legal). Tetapi dari aspek politik, di
sinilah hinggar-binggar perpolitikan menjadi menonjol. Tidak mengherankan Peter Merkl
menanggapi sisi negatif dari politik bahwa “Politics at its worst is a selfish grab for power, glory
and riches” (Politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan,
dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri).
C.        Penutup
Hukum dan Politik merupakan disiplin-disiplin keilmuan yang berkaitan erat satu sama
lainnya. Proses legislasi sebagai bagian pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan)
tidak terpisahkan dari proses politik dan dinamika kekuatan-kekuatan politik, komunikasi politik
maupun kekuatan posisi tawar-menawar (bargaining position) menjelaskan keterkaitan
keduanya. Jurang pembeda antara Hukum dan Politik hanya ditemukan dalam sistem hukum
ketatanegaraan dan sistem politik bagaimana yang dianut oleh suatu negara. Sistem hukum dan
sistem politik yang demokratis, akan menghasilkan Hukum Responsif.

DEFINISI HUKUM DAN POLITIK HUKUM

Satjipto Rahardjo: Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan
mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum
dalam masyarakat.

Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus: Politik Hukum adalah kebijaksanaan
penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan
sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.

L. J. Van Apeldorn: Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .


Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan .
( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: Politik Hukum sebagai kegiatan –


kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.

Moh. Mahfud MD.: Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a) Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya
persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan
kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b)  Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam
bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland Mengutarakan posisi
politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu.Hukum adalah sistem yang
terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam
berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar
masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang
berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan
memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.
Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah,
sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam
kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf
Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada
dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela." 
 
Bidang hukum
Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum perdata, hukum publik,
hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum internasional, hukum adat,
hukum islam, hukum agrarian

Hukum perdata
    Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-
individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga
hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam masyarakat
adalah jual beli rumah atau kendaraan .

Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:


   1. Hukum keluarga
   2. Hukum harta kekayaan
   3. Hukum benda
   4. Hukum Perikatan
   5. Hukum Waris

Hukum publik
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan
orang lain.atau Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan masyarakat.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan tentang
masyarakat dan menjadi hukum perlindungan publik.

Hukum pidana
Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan
berakibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan
memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana.
Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-
Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan sebagainya Dalam hukum pidana dikenal,
2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan ialah perbuatan yang
tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai
moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat, contohnya mencuri, membunuh,
berzina, memperkosa dan sebagainya. sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang
hanya dilarang oleh undang-undang, seperti tidak pakai helem, tidak menggunakan
sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.

Hukum acara
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut
hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar
hukum (materiil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang
memenuhi perbuatannya . Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil.
Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk
hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para
praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim. tegaknya supremasi hukum itu harus
dimulai dari penegak hukum itu sendiri. yang paling utama itu adalah bermula dari
pejabat yang paling tingi yaitu mahkamah agung ( [MA] )harus benar-benar
melaksanakan hukum materil itu dengan tegas. baru akan terlaksana hukum yang
sebenarnya dikalangan bawahannya.

Hukum internasional
Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar negara satu dengan negara
lain secara internasional Universa, yang mengandung dua pengertian dalam arti sempit
dan luas.
   1. Dalam arti sempit meliputi : Hukum publik internasional
   2. Dalam arti luas meliputi : Hukum publik internasional dan hukum perdata
internasional

Sistem hukum
Ada berbagai jenis sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh negara-negara di
dunia pada saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-
Saxon, sistem hukum adat, sistem hukum agama.

Sistem hukum Eropa Kontinental


Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya
berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang
akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi
dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Sistem hukum Anglo-Saxon


Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada
yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi
dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia,
Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan
Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini
bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara
tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon
campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar
sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum
agama.

Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada
masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan
zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim,
dalam memutus perkara.

Sistem hukum adat/kebiasaan


Hukum Adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang
berlaku di suatu wilayah. misalnya di perkampunan pedesaan terpencil yang masih
mengikuti hukum adat.
 
Sistem hukum agama
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama
tertentu. Sistem hukum agama biasanya terdapat dalam Kitab Suci.
Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan
apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan
perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah
sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah
hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis
tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang
pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum.
Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual. Para
sejarawan abad ke-20 telah memandang sejarah hukum dalam cara yang lebih
kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran para sejarawan sosial. Mereka meninjau
lembaga-lembaga hukum sebagai sistem aturan, pelaku dan lambang yang kompleks,
dan melihat unsur-unsur ini berinteraksi dengan masyarakat untuk mengubah,
mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat
sipil. Para sejarawan hukum seperti itu cenderung menganalisis sejarah kasus dari
parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan metode-metode statistik,
menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang mengadukan kasusnya, mereka
yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainnya dalam berbagai proses hukum.
Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya transaksi, jumlah kasus-kasus yang
diselesaikan, mereka telah memulai analisis terhadap lembaga-lembaga hukum,
praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya yang memberikan kita gambaran yang
lebih kompleks tentang hukum dan masyarakat daripada yang dapat dicapai oleh studi
tentang yurisprudensi, hukum dan aturan sipil.

Filsafat hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa
tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum.
Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan
moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. filsafat adalah
merupakan suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menemukan
hakekat yang sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu,
sehingga muncul cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu
kebenaran dikarenakan suatu pertentangan sudut pandang.

Sosiologi hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum yang baru
mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum di Indonesia
memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum yang selama
ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang biasanya disebut
sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan pemahaman hukum
secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat hukum dalam
kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk menjelaskannya.
Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai subyek seperti
fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum,
perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan efektivitas hukum.
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1]
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
·         politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)·  Politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara politik merupakan kegiatan yang diarahkan
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat politik adalah
segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain:
kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.

Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana
mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik
antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat,
kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan
politik, perbandingan politik, dsb.

Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia
antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme,
feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme,
komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme,
rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Lembaga politik
Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu
kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang
diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh
masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga
adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang
tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi
bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam
bidang politik.

Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan
tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam
suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga
pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola
dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil
kita untuk duduk di parlemen.

Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi
seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan
perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan
sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah
lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti
bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan
yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan
keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan


perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai
bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan
yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan
dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan
dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Hubungan Internasional
Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun
dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang
berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional
diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan
peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai
organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa
menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional.

Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade


Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari
peran Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi korupsi-
nya di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar.

Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting,


karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang
dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa
membuat keputusan efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik
cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power,
PBB menjadi relatif lebih efektif untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai
tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk
mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB,
merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB.

Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di
berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan
perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah
komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi
berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap
yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di
daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil)
pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.

Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan
segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap
orang bisa menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global
maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia
dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi?).
Sumber

 http://definisi-pengertian.blogspot.com/
 http://id.wikipedia.org/
Read more: http://gioakram13.blogspot.com/2013/05/definisi-hukum-dan-politik-
hukum.html#ixzz4KfaDfsjQ

Hubungan Hukum Antara Politik Hukum Dengan Tujuan Negara

A. Pengertian Politik Hukum


Dalam sebuah negara hukum (rechtstaats dan rule of law), kekuasaan yang merupakan cerminan
politik terwujud dalam setiap kebijakan memerlukan landasan hukum agar keabsahan dari
kebijakan (politik) dapat dipertanggung jawabkan.
Dari hal diatas, terlihat hubungan antara politik dan hukum begitu erat. Keduanya merupakan
variabel yang saling mempengaruhi, tergantung variabel mana yang menjadi dependent variable
( variable terpengaruh) dan independent variable (variable yang mempengaruhi). Contoh dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) yang
menghasilkan produk hukum tertentu pada hakikatnya merupakan hasil dari kepentingan-
kepentingan politik yang ada di dalamnya oleh karena badan legislatif merupakan lembaga
politik.
Beberapa pengertian politik hukum oleh beberapa pakar antara lain, Logemen mengatakan:
“politik hukum menentukan apa yang berlaku sebagai hukum positif itu sendiri. Rupanya
kesimpulan tak dapat lain dari pada menentukan, bahwa norma hukum tertentu berlaku disini dan
kini mengandung keperluan sedikit banyak memihak pada norma itu, dan mau tidak mau
merupakan suatu perbuatan politik hukum”.

Dari pengertian positif seperti yang dikemukakan Logemen, maka secara umum dapat dikatakan
bahwa politik hukum adalah “kebijakan” yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui
Lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu diganti, atau
yang perlu dirubah, atau hukum yang mana yang perlu dipertahankan, atau mengenai hukum apa
yang perlu diaturatau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggara negara dan
pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti
mensejahterakan rakyat) secara bertahap dan terencana dapat terwujud .
Politik hukum (rechts politiek) menurut Mochtar Kusumaamadja adalah kebijakan hukum dan
perundang-undangan.
Secara nasional pengertian politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap meteri-meteri hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan; kedua. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum . Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum
mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan kearah
mana hukum akan dibangun dan ditegakkan .
Menurut Prof. Dr Muchsan, SH , politik hukum dapat didefenisikan sebagai suatu disiplin ilmu
hukum yang membahas perbuatan aparat yang berwenang dengan memilih alternatif-alternatif
yang tersedia dalam membuat produk hukum untuk mewujudkan tujuan negara.
Dari berbagai uraian mengenai pengertian politik hukum diatas, dapat diambil hal yang bersifat
substansi atau unsur- unsur yang terkandung di dalamnya yaitu:
1. Adanya produk hukum yang ditentukan;
2. Adanya pihak atau organisasi yang berwenang;
3. Adanya ketentuan atau asas tertentu; dan
4. Untuk mencapai tujuan negara.
Produk hukum yang dimaksud dalam politik hukum adalah hukum positif (ius constitutum) yang
dibuat dengan memperhatikan gejala-gejala sosial lainnya khususnya gejala politik yang
mempengaruhinya. Produk hukum tersebut dibuat oleh lembaga atau pejabat-pejabat
administrasi negara yang oleh peraturan perundang-undangan atau oleh mandat dan atau delegasi
dari penguasa yang berhak mengeluarkan produk hukum tersebut. Selanjutnya agar kebijakan
(politik) penguasa dalam melahirkan suatu keputusan (beschekking) atau peraturan (regeling)
yang merupakan bentuk riil hukum positif haruslah diuji dan diselaraskn dengan asas-asas
hukum seperti asas untuk kepentingan umum agar nantinya dinyatakan absah dan bermanfaat
tanpa melanggar hak-hak asasi rakyat.
Dari semuanya itu, hakikatnya dalam politik hukum hanyalah mengenai kebijakan penguasa
dalam pembaharuan hukum positif yang mengarah pada tujuan negara agar dapat tercapai karena
tujuan dari negara di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 alinea IV mengandung suatu cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam mewujudkan
perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan kedamaian rakyat Indonesia.

B. Hubungan Hukum Politik Hukum Dengan Tujuan Negara.


Dalam uraian-uraian sebelumnya, politik hukum digambarkan sebagai kebijakan penguasa dalam
pembaharuan dan pembentukan hukum positif sesuai dengan kewenangan yang diberikan untuk
mencapai tujuan negara.
Adanya politik hukum yang berlaku dalam suatu negara berbeda dengan negara lainnya yang
dapat terlihat misalnya dalam sistem pemerintahan atau rezim yaitu:
1.Program kabinet yang dibentuk;
2.Pertimbangan yang dirumuskan dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan
terutama Undang-undang; dan,
3.Penjelasan umum dari setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan terutama Undang-
undang .
Perbedaan sistem politik hukum di dunia yang terlihat dalam sistem pemerintahan merupakan hal
yang wajar sesuai dengan amanat konstitusi masing-masing negara.
Melihat dari tujuan negara yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar negara
Republik Indonesia tahun 1945 dalam alinea IV disebutkan tujuan negara yang terdiri dari 4
(empat) pokok pikiran yaitu perlindungan, kesejahteraan rakyat, pencerdasan kehidupan bangsa
dan kedamaian rakyat Indonesia maka hubungan hukum antara politik hukum dengan tujuan
negara dapat dilihat dari konstitusi yang mengatur.
Sebagai sebuah konstitusi, Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945
merupakan dasar dari sumber hukum tertulis berupa Peraturan perundang-undangan yang
berjiwa pancasila sebagai patokan pembuatan produk hukum dibawahnya.
Oleh karenanya, setiap kebijakan baik itu politik, hukum, ekonomi maupun pertahanan dan
keamanan harus sesuai dengan konstitusi dijiwai pancasila sebagai dasar filsafat negara
Indonesia.
Hubungan hukum politik hukum dengan tujuan negara juga dapat dilihat dalam GBHN (Garis-
Garis Besar haluan Negara) yang sekarang telah diamandemen diubah bentuknya menjadi RPJP
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang) dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah).
RPJP atau RPJM ini merupakan arah kebijakan (politik) penguasa dan badan-badan administrasi
lainnya untuk mencapai tujuan negara. Karena secara tertulis, maka RPJP dan RPJM menjadi
standar keberhasilan pemerintah dalam mengelola sumberdaya yang ada guna tercapainya tujuan
negara.
Tujuan negara sebagai arah pembangunan nasional sejalan dan berkaitan erat dengan politik
hukum yang berlaku dan berubah-ubah, contoh dalam beberapa amandemen Undang-Undang
Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 telah merubah beberapa unsur penting dari
kekuasaan eksekutif (penguasa) yang dianggap terlalu luas sehingga terkesan pemimpin yang
otoriter sehingga penguasa tidak lagi sewenang-wenang melanggar hak-hak warga negara hanya
dengan alasan demi kepentingan umum yang klise dan tidak dapat dipertanggungjwabkan secara
yuridis.

Anda mungkin juga menyukai