Anda di halaman 1dari 115

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya

disingkat dengan UUD 1945) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah

negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut adanya jaminan

persamaan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law).

UUD 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum.1 Selain itu juga hak bagi setiap orang untuk

dibela Advokat (aves to legal councel) adalah hak asasi manusia yang

perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia

dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.2

Advokat merupakan salah satu penegak hukum yang

bersinggungan secara langsung dengan masyarakat, seperti yang diketahui

Advokat bukan hanya merupakan suatu pekerjaan akan tetapi lebih

1
Moh. Mahfud MD. 2000. Politik Hukum Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Artikel Dalam Jurnal Hukum. Vol. 7. No.14. Agustus, hlm. 2-3.

2
Frans Hendra Winarta. 2000. Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi
Manusia Bukan Belas Kasihan. Cet. I. Jakarta : Elex Media Computindo, hlm. 7.

1
2

mengarah kepada profesi yang dimiliki seseorang. Profesi Advokat bukan

hanya sekedar untuk mencari penghasilan semata melainkan di dalamnya

juga terdapat nilai-nilai moral yang lebih tinggi dalam masyarakat yaitu

mewujudkan kesadaran dan budaya hukum. Melalui perkembangan zaman

yang semakin modern dalam setiap tahunnya menunjukkan bahwa

kebutuhan akan jasa Advokat semakin diperlukan masyarakat guna

menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di dalam

masyarakat. Hal ini dapat lihat bahwa hampir semua urusan masyarakat

dalam kehidupannya berkenaan dengan hukum, demikian apabila

berkenaan dengan hukum tentunya permasalahan hukum tersebut dapat

diselesaikan menggunakan jasa hukum seorang Advokat. Kebutuhan akan

jasa hukum Advokat itu sendiri dalam setiap tahunnya semakin bertambah,

sehingga tidak heran jika dalam setiap tahun banyak orang yang

menginginkan profesi Advokat tersebut guna membantu menyelesaikan

permasalahan hukum yang terjadi. Banyaknya orang yang menyandang

profesi sebagai Advokat tentunya memerlukan suatu wadah atau

perkumpulan guna mempermudah dirinya untuk menuaikan berbagai

macam pikiran serta strategi yang akan digunakan dalam memecahkan

suatu masalah. Wadah atau perkumpulan tersebut bisa saja merupakan

sebuah organisasi yang dibentuk oleh kalangan Advokat yang menyadari

betapa pentingnya meningkatkan kualitas profesi Advokat melalui

kerjasama dengan menyatukan diri ke dalam sebuah organisasi yang

disepakati bersama.
3

Melalui kerjasama tentunya akan mempermudah interaksi sesama

Advokat dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang diembannya,

selain itu terhadap Advokat yang baru akan mendapat keuntungan karena

bisa mendapat pengalaman maupun pengajaran secara langsung dari orang

yang lebih dulu menyandang status dengan profesi Advokat. Menyadari

pentingnya pembentukan suatu Organisasi Advokat, maka dibentuklah

suatu organisasi sebagai wadah profesi Advokat yang disebut dengan

Organisasi Advokat. Berkaitan dengan Organisasi Advokat ini, seperti

yang diketahui Organisasi Advokat itu sendiri telah ada sejak masa

pemerintahan Hindia-Belanda, yang kemudian pada tanggal 4 Maret 1963

bersamaan dengan diselenggarakannya Seminar Hukum Nasional di

Universitas Indonesia, dibentuklah wadah advokat Indonesia yang

bernama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dan disusul dengan

pembentukan cabang PAI di daerah-daerah. Selanjutnya dalam

Musyawarah/ Kongres Advokat I yang berlangsung di Solo pada tanggal

20 Agustus 1964, PAI dileburkan menjadi Persatuan Advokat Indonesia

yang disingkat dengan PERADIN.3 Setelah terbentuknya PERADIN

mulailah bermunculan berbagai wadah profesi Advokat di Indonesia.

Sehingga pada tahun 1980-an, pemerintah meleburkan PERADIN dan

Organisasi-Organisasi Advokat lainnya ke dalam wadah tunggal yang

dikontrol oleh Pemerintah, yang meliputi sebagai berikut :

1. PUSBADHI (Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum);


3
V. Harlen Sinaga. 2011. Dasar-Dasar Profesi Advokat. Jakarta :
Erlangga, hlm. 7.
4

2. FOSKO (Forum Studi dan Komunikasi Advokat);

3. HPHI (Himpunan Penasehat Hukum Indonesia;

4. BHH (Bina Bantuan Hukum);

5. PERNAJA;

6. LBH Kosgoro.

Pada tahun 1981, dalam Kongres PERADIN di Bandung terjadi

kesepakatan untuk mengusulkan Advokat memerlukan satu wadah

tunggal. Kemudian atas dasar kesepakatan tersebut tahun 1982 berdirilah

Kesatuan Advokat Indonesia yang disingkat dengan (KAI).4 Setelah

berdirinya KAI, sampai dengan tahun 2001 ditemukan beberapa

Organisasi Advokat yang meliputi sebagai berikut :

1. IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia);

2. IPHI (Ikatan Penasehat Hukum Indonesia);

3. AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia);

4. HKHPM (Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal);

5. AAI Asosiasi Advokat Indonesia);

6. SPI (Serikat Pengacara Indonesia);

7. HAPI (Himpunan Advokat dan Pengacara Inonesia);

4
Ibid, hlm. 10.
5

8. APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia).

Seiring dengan perkembangan banyaknya Organisasi Advokat

yang bermunculan di Indonesia, maka terjadi kesepakatan bersama

Organisasi profesi Advokat Indonesia untuk membentuk Komite Kerja

Advokat Indonesia yang disingkat dengan (KKAI) sebagai wujud nyata

persatuan dan kesatuan dari semua Advokat/Pengacara/Konsultan

Hukum/Penasehat Hukum Warga Negara Indonesia yang menjalankan

profesi Advokat Indonesia dalam menyongsong satu Organisasi Profesi

Advokat Indonesia (Indonesian Bar Association), yang dideklarasikan

oleh : 1. IKADIN, 2. IPHI, 3. AKHI, 4. HKHPM, 5. AAI, 6. SPI dan 7.

HAPI.5 Dengan hadirnya KKAI, Forum Kerja Advokat Indonesia (FKAI)

sebelumnya meleburkan diri ke dalam KKAI, sehingga FKAI tidak ada

lagi dan KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi Advokat

Indonesia.6 Paling tidak ada 2 (dua) tugas penting yang harus dilakukan

oleh KKAI pada waktu itu, ialah mengambil alih pelaksanaan ujian

Advokat dari Mahkamah Agung dan memperjuangkan lahirnya undang-

undang Advokat.7 Tidak lama setelah terbentuknya KKAI, Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disingkat

dengan UU Advokat) di undangkan dan diberlakukan pada tanggal 5 April


5
Ibid, hlm. 11.

6
Maslon Hutabalian. 2020. Dampak Dualisme Kepengurusan
Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Terhadap Penegakan Hukum.
Artikel Dalam Jurnal Justiqa. Vol. 02. No. 01. Februari, hlm. 56.
7
Sonny Kusuma. 2018. Sejarah Organisasi Advokat di Indonesia.
https://www.negarahukum.com/sejarah-organisasi-advokat-di-indonesia.html. Diakes
pada tanggal 13 November 2020. Pukul 08.00.
6

2003. Yang kemudian sebagaimana amanat dari UU Advokat, khususnya

Pasal 32 ayat (4) menegaskan bahwa “Organisasi Advokat harus terbentuk

dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut

diundangkan”. Dalam waktu sekitar 20 (dua puluh) bulan sejak

diundangkannya UU Advokat, Advokat Indonesia sepakat untuk

membentuk PERADI, sehingga berdirilah PERADI.8 Hal ini menunjukkan

bahwa pendiri PERADI adalah Organisasi Advokat yang tergabung di

dalam KKAI dan sudah ada sebelum adanya UU Advokat.

Melihat kepada sejarah pembentukan Organisasi Advokat diatas

dikatakan bahwa PERADI merupakan wadah tunggal Organisasi Advokat,

meskipun UU Advokat sendiri tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa

PERADI merupakan wadah tunggal Organisasi Advokat. Namun, melihat

sisi penafsiran historis atas pasal-pasal dalam UU Advokat tersebut,

nyatalah bahwa pembentukan UU Advokat dan Pembentukan PERADI

sebagai Organisasi Advokat merupakan satu rangkaian yang simultan dan

tidak terputus. Karena itu jika menghubungkan beberapa pasal dalam UU

Advokat melalui penafsiran sistematis juga akan didapat jawaban yang

sama. Selanjutnya Pasal 1 angka 4 UU Advokat menegaskan bahwa

“Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan

undang-undang ini”. Senada dengan hal itu, penjelasan Pasal 3 ayat (1)

juga menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan Organisasi Advokat

8
Ibid.
7

dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan

ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Ini”.

Hal menarik yang penulis kritisi ialah mengenai Organisasi

Advokat yang berdiri sebelum adanya PERADI, seperti yang sudah

penulis uraikan diatas bahwa tonggak sejarah berdirinya PERADI ialah

dengan dideklarasikan oleh kedelapan Organisasi Advokat yang sudah ada

sebelum diberlakukannya UU Advokat. Sebagai Organisasi Advokat yang

mendirikan PERADI, kedelapan Organisasi Advokat tersebut ternyata

tidak meleburkan diri menjadi 1 (satu) ke dalam PERADI dan masih

beraktivitas dengan menggunakan nama organisasi masing-masing.

Apabila mengacu kepada UU Advokat, maka sudah seharusnya ketika

PERADI telah terbentuk kedelapan Organisasi Advokat yang mendirikan

PERADI tersebut harus meleburkan diri menjadi 1 (satu) kedalam

PERADI sebagai Organisasi Tunggal Profesi Advokat. Dengan tidak

meleburkan diri ke dalam PERADI, kedelapan Organisasi Advokat

tersebut hanya memberikan amanat bahwa “PERADI merupakan wadah

tunggal Organisasi Profesi Advokat yang dibentuk berdasarkan amanat

UU Advokat”. Sehingga kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI

disebut sebagai Organisasi Advokat di luar PERADI. Kemudian melihat

kepada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XVII/2018

yang menguatkan dan menegaskan kembali bahwa PERADI

berkedudukan sebagai satu-satunya Organisasi Advokat diantara

Organisasi-Organisasi Advokat lainnya yang berhak secara eksklusif


8

untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan

Profesi Advokat sebagaimana ditentukan oleh UU Advokat. Sedangkan

Organisasi Profesi Advokat lain selain PERADI tetap diakui keberadaanya

sebagai pelaksanaan atas berserikat dan berkumpul, namun kedudukannya

bukanlah sebagai Organisasi Advokat yang berwenang untuk menjalankan

8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat

sebagaimana telah diberikan secara atributif oleh UU Advokat kepada

PERADI.

Dikatakan bahwa Organisasi Advokat selain PERADI tetap diakui

keberadaannya, maka hal ini menunjukkan bahwa terdapat begitu banyak

Organisasi Advokat di Indonesia yang tetap bisa eksis termasuk 8

(delapan) Organisasi Advokat pendiri PERADI tersebut, meskipun

sebelumnya dan bahkan sampai saat ini terkait Organisasi Advokat sendiri

masih menjadi perdebatan yang cukup panjang. Selain itu, dengan

banyaknya Organisasi Advokat di luar PERADI, secara eksplisit tidak ada

yang mengatur mengenai pengawasan terhadap Organisasi Advokat di luar

PERADI tersebut. Demikian pula didalam UU Advokat itu sendiri, tidak

ditemukan ketentuan yang mengatur mengenai pengawasan terhadap

Organisasi Advokat diluar PERADI. Perlu diketahui bahwa banyaknya

Organisasi Advokat yang bermunculan dapat menyebabkan profesi yang

terhormat ini mengalami degradasi yang dalam, khususnya dalam hal

kualitas baik itu terkait keilmuan maupun etika yang dimiliki para

Advokat dalam menjalankan profesinya. Selain itu, hal yang


9

dikhawatirkan adalah ketika tidak adanya pengawasan terhadap banyaknya

Organisasi Advokat, maka setiap Organisasi Advokat dapat menentukan

kurikulum pendidikan Advokat dan ujian Advokat, yang mana tentunya

akan berimbas tidak terjaminnya kualitas yang dimiliki oleh seorang

Advokat. Maka dari itu sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap

banyaknya Organisasi Advokat di luar PERADI.

Berbicara mengenai pengawasan, seperti yang diketahui

pengawasan merupakan sebuah proses untuk menjamin bahwa tujuan-

tujuan dari suatu organisasi dapat tercapai. Sondang P. Siagian

mengatakan bahwa pengawasan adalah proses pengamatan dari pada

pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua

pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang

telah ditentukan sebelummnya.9

Berdasarkan uraian di atas, maka dari itu penulis tertarik untuk

menganalisis lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap Organisasi

Advokat di luar PERADI. Adapun judul dalam penelitian ini ialah

“Problematika Pengawasan Terhadap Organisasi Advokat Di Luar

PERADI”.

9
Sondang P. Siagian. 2007. Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta : Bumi
Aksara, hlm. 125.
10

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang

akan dibahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola pengawasan terhadap Organisasi Advokat di luar

PERADI?

2. Apa urgensi akreditasi terhadap suatu Organisasi Advokat?

C. Keaslian Penelitian

Adapun penelitian dalam bentuk tesis yang diangkat dengan judul

PROBLEMATIKA PENGAWASAN TERHADAP ORGANISASI

ADVOKAT DI LUAR PERADI, berbeda dengan penelitian-penelitian

terdahulu atau sebelumnya yang hampir serupa. Adapun penelitian-

penelitian tersebut sebagai berikut :

1. Lusia Sulastri. Disertasi. Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH)

Universitas Islam Sultan Agung (Unissula). Semarang. 2019.

Judul Disertasi : “Rekonstruksi Pengaturan Sistem Organisasi Advokat

Sebagai Pertanggungjawaban Kualitas Profesi Berbasis Nilai

Keadilan”.

Rumusan Masalah :
11

a. Bagaimanakah dinamika pengaturan sistem organisasi advokat

di Indonesia?

b. Apakah kelemahan-kelemahan dalam pengaturan sistem

organisasi advokat di Indonesia?

2. Romeston Purba. Tesis. Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu

Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. 2019.

Judul Tesis : “Eksistensi Wadah Tunggal Organisasi Advokat

Terhadap Perlindungan Hukum Profesi Advokat di Indonesia Ditinjau

Dari Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003”.

Rumusan Masalah :

a. Bagaimanakah bentuk pelaksanaan wadah tunggal organisasi

advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2003 tentang Advokat?

b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap profesi advokat dari

perpecahan wadah tunggal organisasi advokat?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk menganalisa tentang pola pengawasan terhadap Organisasi

Advokat di luar PERADI.


12

2. Untuk menganalisa tentang urgensi akreditasi terhadap suatu

Organisasi Advokat.

Kegunaan dari penelitian tesis ini diharapkan :

1. Bagi masyarakat luas dimaksudkan untuk menambah pengetahuan,

agar lebih mengetahui pola pengawasan terhadap Organisasi

Advokat yang ada di Indonesia.

2. Bagi praktisi hukum sebagai bahan pengetahuan tambahan, bagi

mahasiswa/i khususnya mahasiswa/i Program Magister Ilmu

Hukum Universitas Lambung Mangkurat diharapkan dapat

memperluas pengetahuan dan wawasan penulisan dibidang hukum

serta pemahaman hukum dalam teori dan praktek di lapangan.

E. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Teori

a. Teori Hukum Progresif

Gagasan hukum progresif dikampanyekan oleh Satjipto

Raharjo yang pada prinsipnya bertolak dari dua komponen basis

dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior).10

Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah

10
Satjipto Rahardjo. 2004. “Menuju Produk Hukum Progresif”.
Disampaikan dalam Diskusi Terbatas yang diselenggarakan oleh FH UNDIP.
13

untuk manusia, bukan sebaliknya.11 Berangkat dari asumsi dasar

ini, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan

untuk sesuatu yang lebih luas dan besar, itulah sebabnya ketika

terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus

ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk

dimasukkan ke dalam skema hukum.12 Predikat penegakan hukum

progresif akan terkait dengan ideologi para penegak hukum itu

sendiri. Bagaimana pandangan penegak hukum tentang hukum dan

fungsi hukum akan mempengaruhi nilai dan kualitas produk hukum

melalui putusan-putusan yang dihasilkannya. Apakah penegak

hukum memandang hukum itu secara formal, atau melihat juga apa

yang ada dalam metayuridis, atau melihat hukum dalam kacamata

holoyuridis, atau memandang hukum tidak lepas dari relevansi

sosial.

Hukum progresif juga berangkat dari asumsi dasar bahwa

hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena

hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a

process, law in the making).13 Untuk melukiskan bahwa hukum

senantiasa berproses, Satjipto Rahardjo melukiskannya dengan

sangat menarik sebagai berikut:


11
Satjipto Rahardjo. 2005. Hukum Progresif: Hukum yang
Membebaskan. Artikel Dalam Jurnal Hukum Progresif. Vol. 1. No. 1. April. PDIH Ilmu
Hukum UNDIP, hlm. 5.
12
Ibid.

13
Ibid, hlm 6.
14

“Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun

dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang

lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam

faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan

lain-lain. Inilah hakikat ‘hukum yang selalu dalam proses menjadi’

(law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk

hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia”.

Memperhatikan pernyataan Satjipto Rahardjo tersebut

terlihat, bahwa untuk menguji (memverifikasi) kualitas dari hukum,

tolok ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, dan

keberpihakan kepada rakyat. Keadilan dan kebenaran menjadi

simbol kemanusian. Dengan demikian menempatkan kemanusian

sebagai awal dari hukum sama artinya dengan menempatkan

kemanusian dipuncak kehidupan hukum. Kemanusian dan keadilan

menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum.

Maka kalimat “Hukum untuk Manusia” bermakna juga “Hukum

untuk Keadilan” ini berarti, bahwa kemanusian dan keadilan ada di

atas hukum.14.

b. Teori Hukum Responsi

Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas

Nonet-Selznick di tengah kritik pedas Neo-Marxis terhadap liberal

14
Satjipto Rahardjo. 2006. “Hukum Dalam Jagat Ketertiban”. Jakarta :
UKI Press, hlm. 57.
15

legalism. Seperti diketahui, legalisme liberal mengandaikan hukum

sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur

yang objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Ikon

legalisme liberal adalah otonomi hukum. Wujud paling nyata dari

otonomi itu adalah rezim rule of law. Dengan karakternya yang

otonom itu, diyakini bahwa hukum dapat mengendalikan represi

dan menjaga integritasnya sendiri.15

Dilihat dari kepentingan internal sistem hukum itu sendiri,

dalil integritas itu memang dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah

tujuan pada dirinya sendiri. Hukum adalah alat bagi manusia. Ia

merupakan instrumen untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam

makna ini, isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial di

sekitarnya, justru berdampak buruk dari sisi kebutuhan manusia itu

sendiri. Hukum dengan mudah berubah menjadi institusi yang

melayani diri sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum tidak

lagi bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk

mencapai keadilan substantif... Tanda bahaya tentang terkikisnya

otoritas tersebut dan macetnya keadilan substantif, telah menjadi

fokus kritik terhadap hukum.16

Pencarian hukum responsif telah menjadi perhatian yang

sangat besar yang terus menerus dari teori hukum modern, untuk
15
Philippe Nonet dan Philip Selznick. 2003. Hukum Responsif, Pilihan
di Masa Transisi. Penerjemah Rafael Edy Bosco. Jakarta: Ford Foundation-HuMa.
16
Ibid.
16

membuat hukum lebih responsif terhadap kebutuhan sosial dan

untuk memperhitungkan secara lebih lengkap dan lebih cerdas

tentang fakta sosial yang menjadi dasar dan tujuan penerapan dan

pelaksanaan hukum.17

Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan

dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh

pejabat melainkan oleh rakyat. Syarat untuk mengemukakannya

secara otentik memerlukan upaya-upaya khusus yang akan

memungkinkan hal ini dilakukan. Dengan demikian, diperlukan

jalur-jalur baru untuk partisipasi.18

Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada

hukum di dalam perspektif konsumen (vide Edmond Cahn,

“Hukum dalam perspektif Konsumen”). Tetapi, di dalam konsep

hukum responsif terkandung lebih dari hanya sesuatu hasrat bahwa

hukum sistem hukum bisa dibuka untuk tuntutan-tuntutan

kerakyatan.19

2. Tinjauan Konseptual
17
Sulaiman. 2014. Hukum Responsif: Hukum Sebagai Institusi Sosial
Melayani Kebutuhan Sosial Dalam Masa Transisi.
https://repository.unimal.ac.id/1744/1/Hukumn
%20Responsif%20Sulaiman.pdf. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2020. Pukul 18.00,
hlm. 2-3.

18
Ibid, hlm. 3.

19
Ibid.
17

a. Defenisi Pengawasan

Pengawasan ialah sebuah proses untuk memastikan bahwa

semua aktifitas yang terlaksana telah sesuai dengan apa yang telah

direncanakan sebelumnya. Pengawasan dapat diartikan sebagai

suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah

dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan

maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana

semula. Tujuan utama dari pengawasan ialah mengusahakan agar

apa yang direncanakan menjadi kenyataan.20 Adapun pengertian

pengawasan menurut para ahli sebagai berikut :

1) Sondang P. Siagian mengatakan bahwa “Pengawasan

adalah proses pengamatan dari pada pelaksanaan seluruh

kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua

pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan

rencana yang telah ditentukan sebelumnya”.21

2) Sarwoto mengatakan bahwa “Pengawasan adalah kegiatan

manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan

terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau

hasil yang dikehendaki”.22

20
Samhis Setiawan. 2021. Pengertian Pengawasan, Makna, Jenis,
Tujuan, Manfaat, Fungsi, Prinsip, Tahap, Para Ahli.
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertim
an-pengawasan/. Diakses pada tanggal 1 April 2021. Pukul 20.00.
21
Ibid.

22
Ibid.
18

3) Sujamto mengatakan bahwa “Pengawasan adalah segala

usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai

kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas

dan kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau

tidak”.23

4) Pengawasan menurut Fahmi yang dikutip oleh Erlis Milta

Rin Sondole dkk, bahwa pengawasan secara umum

didefinisikan sebagai cara suatu oganisasi mewujudkan

kinerja yang efektif dan efisien, serta lebih jauh mendukung

terwujudnya visi dan misi organisasi.24

Berdasarkan definisi pengawasan diatas, dapat diambil

beberapa makna inti tentang pengawasan sebagai berikut :

1) Pengawasan merupakan proses kegiatan pengamatan

terhadap seluruh kegiatan organisasi.

2) Melalui pengawasan, kegiatan-kegiatan di dalam organisasi

akan dinilai apakah berjalan sesuai dengan rencana atau

tidak.

23
Ibid.

24
Erlis Milta Rin Sondole dkk. 2015. Pengaruh Disiplin Kerja, Motivasi
dan Pengawasan terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit
Pemasaran VII Terminal BBM Bitung. Artikel Dalam Jurnal EMBA. Vol. 3. No. 3.
September, hlm. 652.
19

3) Pengawasan adalah salah satu fungsi dan wewenang

pimpinan pada berbagai tingkatan manajemen di dalam

suatu organisasi.

4) Pengawasan harus dilakukan secara konsisten dan berlanjut

sehingga gerak organisasi dapat diarahkan kepada

pencapaian tujuan secara efektif.

5) Dalam melakukan pengawasan diperlukan standar penilaian

sebagai alat evaluatif terhadap kegiatan-kegiatan yang

diawasi.25

Berkaitan dengan topik pembahasan di dalam penelitian

tesis ini, maka pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan

terhadap Organisasi Advokat di luar PERADI.

b. Macam-Macam Pengawasan

1. Pengawasan dari dalam organisasi (Internal Control)

Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang

dilakukan oleh aparat/unit pengawasan yang dibentuk dalam

organiasasi itu sendiri. Aparat/ unit pengawasan ini bertindak

atas nama pimpinan organisasi. Aparat/ unit pengawasan ini

bertugas mengumpulkan segala data dan informasi yang

diperlukan oleh organisasi. Data kemajuan dan kemunduran

25
Samhis Setiawan, Loc.cit.
20

dalam pelaksanaan pekerjaan. Hasil pengawasan ini dapat pula

digunakan dalam nilai kebijaksanaan pimpinan. Untuk itu

kadang-kadang pimpinan perlu meninjau kembali

kebijaksanaan/ keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan.

Sebaliknya pimpinan dapat pula melakukan tindakan-tindakan

perbaikan terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh

bawahannya internal control.26

2. Pengawasan dari luar organisasi (External Control)

Pengawasan eksternal (external control) berarti

pengawasan yang dilakukan oleh aparat/ unit pengawasan dari

luar organisasi itu. Aparat/ unit pengawasan dari luar

organisasi itu adalah pengawasan yang bertindak atas nama

atasan pimpinan organisasi itu, atau bertindak atas nama

pimpinan organisasi itu karena permintaannya, misalnya

pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal

Pengawasan Keuangan Negara. Terhadap suatu departemen,

aparat pengawasan ini bertindak atas nama pemerintah/

presiden melalui menteri keuangan. Sedangkan pengawasan

yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, ialah

pemeriksaan/ pengawasan yang bertindak atas nama negara

Republik Indonesia. Di samping aparat pengawasan yang

26
Maringan Masry Simbolon. 2004. Dasar-Dasar Administrasi dan
Manajemen. Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 62.
21

dilakukan atas nama atasan dari pimpinan organisasi tersebut,

dapat pula pimpinan organisasi minta bantuan pihak luar

organisasinya. Permintaan bantuan pemeriksaan/ pengawasan

dari pihak luar organisasi, misalnya perusahaan konsultan,

akuntan swasta, dan sebagainya. Permintaan bantuan

pemeriksaan/ pengawasan dari pihak luar ini biasanya

dilakukan pada suatu perusahaan dengan maksud- maksud

tertentu, misalnya untuk mengetahui efisiensi kerjanya, untuk

mengetahui jumlah keuntungan, untuk mengetahui jumlah

pajak yang harus dibayar, dan sebagainya.27

3. Pengawasan Preventif

Arti dari pengawasan preventif adalah pengawasan

yang dilakukan sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari

pengawasan preventif ini adalah untuk mencegah terjadinya

kekeliruan/ kesalahan dalam pelaksanaan. Dalam sistem

pemeriksaan anggaran pengawasan preventif ini disebut

preaudit. Adapun dalam pengawasan preventif ini dapat

dilakukan hal-hal berikut :28

27
Ibid.

28
Ibid.
22

a. Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan


dengan sistem prosedur, hubungan dan tata kerjanya;
b. Membuat pedoman/manual sesuai dengan peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan;
c. Menentukan kedudukan, tugas, wewenang, dan
tanggung jawabnya;
d. Mengorganisasikan segala macam kegiatan,
penempatan pegawai dan pembagian pekerjaannya;
e. Menentukan sistem koordinasi, pelaporan, dan
pemeriksaan;
f. Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang
menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan;

4. Pengawasan Represif

Arti dari pengawasan represif adalah pengawasan yang

dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan. Maksud

diadakannya pengawasan represif ialah untuk menjamin

kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai

dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam sistem

pemeriksaan anggaran, pengawasan represif ini disebut pos-

audit.29

c. Tinjauan Umum Tentang Advokat

1. Definisi dan Status Advokat

29
Ibid, hlm. 64.
23

Kata Advokat secara etimologis berasal dari Latin yaitu

advocare, yang artinya to defend, to call to one’s aid to vouch

or warrant, maksudnya untuk pembelaan, memanggil

seseorang untuk dimintai bantuan agar bisa menuntut atau

memberi jaminan.30 Akar kata advokat, apabila didasarkan

pada Kamus Latin Indonesia dapat ditelusuri dari bahasa Latin

yaitu advocates berarti antara lain yang membantu seseorang

dalam perkara, saksi yang meringankan.31 Guru besar Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Peter Mahmud

Marzuki menyatakan dalam bahasa Belanda, kata advocaat

berarti procureur yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia berarti pengacara.32 Istilah Advokat dalam bahasa

Perancis, advocat berarti barrister atau counsel, pleader yang

dalam bahasa Inggris kesemua kata tersebut merujuk pada

profesi yang beraktivitas di Pengadilan.33

Profesi pada hakekatnya adalah pekerjaan tetap yang

berwujud karya pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan

dan penerapan pengetahuan di bidang ilmu tertentu yang

30
Ishaq. 2010. Pendidikan Keadvokatan. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 2.

31
V. Harlen Sinaga. 2011. Dasar-Dasar Profesi Advokat. Jakarta :
Erlangga, hlm. 2.
32
Rosdahina. 2015. Peran Advokat Terhadap Penegakan Hukum Di
Pengadilan Agama. Artikel Dalam Jurnal Politik Profetik. Vol. 6. No. 2, hlm. 112-113.
33
H.A. Sukris Sarmadi. 2009. Advokat. : Litigasi dan Non Litigasi
Pengadilan. Bandung : CV. Mandar Maju, hlm. 1.
24

pengembangannya dihayati sebagai panggilan hidup dan

pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai tertentu yang dilandasi

semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi

kepentingan umum serta berakar pada penghormatan dan

upaya menjunjung tinggi martabat manusia.34

Pengemban profesi mencakup bidang-bidang yang

berkaitan dengan salah satu dan nilai-nilai kemanusiaan yang

fundamental, seperti keadilan (hukum). Kriteria profesi

diantaranya adalah memiliki keterampilan serta keahlian

khusus, terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu. Kelompok

profesi yang bekerja di bidang hukum disebut sebagai profesi

hukum. Pengemban profesi hukum bekerja secara profesional

dan fungsional dengan tingkat ketelitian, kehati-hatian,

ketekunan, kritis, dan pengabdian yang tinggi, bertanggung

jawab kepada diri sendiri dan kepada sesama anggota

masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.35

Menurut Balck’s Law Dictionary pengertian advokat

adalah To speak in favour of or defend by argument (berbicara

untuk keuntungan dari atau membela dengan argumentasi

untuk seseorang), sedangkan orang yang berprofesi sebagai


34
Suhrawardi K. Lubis. 1994. Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar
Grafika, hlm. 8.
35
Iwan Darmawan dan Sapto Handoyo DP. 2009. Etika Profesi Hukum,
Menembus Fajar Budi. Bogor : Divisi Penerbitan Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pakuan, hlm. 43.
25

advokat adalah one who assists, defend, or pleads for another.

Who renders legal edvice and aid, plead the cause of another

before a court or a tribunal, a counselor (seseorang yang

membantu, mempertahankan, atau membela untuk orang lain.

Seseorang yang memberikan nasehat hukum dan bantuan

membela kepentingan orang lain di muka pengadilan atau

sidang, seorang konsultan).36

Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003 tentang Advokat, definisi atau pengertian Advokat

adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di

dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan

berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Advokat berasal

dari kata advocaat (Belanda) yaitu seseorang yang resmi

diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh

gelar meester in de rechten (Mr). Secara historis advokat

termasuk salah satu profesi tertua dan dalam perjalanannya,

profesi ini bahkan dinamai sebagai officium nobile, jabatan

yang mulia.37

Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan

mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-

undangan yang dapat kita lihat di dalam Pasal 5 ayat (1)

36
Ishaq. Op.cit, hlm. 3.

37
Ibid, hlm. 3.
26

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,

karena Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses

peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak

hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh

karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara

teman sejawat dan juga antara penegak hukum lainnya.

Kemudian dilengkapi dengan wilayah kerja Advokat meliputi

seluruh wilayah negara Republik Indonesia seperti yang

disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2).38 Dilihat dari perannya yang

sangat penting ini, maka profesi advokat sering disebut sebagai

profesi terhormat atas kepribadian yang dimilikinya. Karena

tugas pokok seorang dalam proses persidangan adalah

mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya

dengan klien yang dibelanya dalam suatu perkara sehingga

demikian memungkinkan hakim memberikan putusan yang

seadil-adilnya.39

2. Landasan Yuridis Profesi Advokat

Secara historis, pengaturan mengenai profesi Advokat

di Indonesia telah diatur sejak masa pemerintahan Hindia

Belanda. Pada masa itu, para pihak yang berperkara

diwajibkan untuk mewakilkan kepada seorang procureur, yaitu


38
http://e-journal.uajy.ac.id/18141/3/HK112262.pdf. Diakses pada
tanggal 15 januari 2021. Pukul 16.00.
39
Suhrawardi K. Lubis. Op.cit, hlm. 8.
27

seorang ahli hukum yang telah mendapat izin praktek dari

pemerintah. Kewajiban mewakilkan ini bagi pihak Penggugat

diatur dalam Pasal 106 ayat (1) Reglement op de Burgerlijke

Rechtsvordering (B.Rv) dan bagi pihak Tergugat diatur dalam

Pasal 109 B.Rv.40 Pemerintah Hindia Belanda sendiri telah

mengatur tentang profesi advokat melalui Reglement of de

Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie

(RO), yakni Staatsblad 1842 Nr. 23 jo. Staatsblad 1848 Nr. 57

Bab VI Pasal 185-192 yang mengatur tentang Advokat dan

Procueurs.41 Sementara itu pengaturan mengenai pengawasan

Advokat-procureur diatur dalam Staatsblaad 1926 Nr. 487.42

Pasca kemerdekaan Indonesia, regulasi mengenai

profesi Advokat tetap mengikuti ketentuan yang berlaku pada

masa Hindia Belanda. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1946 berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 14d ayat (2) disebut sekilas tentang Advokat, yakni

sebagai pemberi pertolongan dan bantuan hukum kepada

terpidana. Berikutnya dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan Pasal 7 ayat

(1) juga disinggung mengenai Advokat, yaitu sebagai wakil

40
H.A. Sukris Sarmadi. Op.cit, hlm. 12.

41
Abdul Manan. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. Jakarta : Prenada Media, hlm. 69.
42
H.A. Sukris Sarmadi. Loc.cit, hlm. 14.
28

yang sengaja dikuasakan.43 Kemudian dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan

Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia Pasal 113 ayat (1)

diatur ketentuan mengenai hak pemohon atau wakilnya yang

sengaja dikuasakan untuk mengajukan permohonan kasasi.44

Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965

tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan

Mahkamah Agung Pasal 17 juga disebutkan mengenai

Advokat sebagai penasihat hukum. Demikian pula dalam

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-

Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun undang-undang

kekuasaan kehakiman yang baru, dimana Advokat diposisikan

sebagai pemberi bantuan hukum dan penasehat hukum.45

Ketentuan mengenai Advokat juga terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab VII tentang

Bantuan Hukum yang secara khusus mengatur mengenai

Advokat sebagai penasehat hukum dalam mendampingi klien

pada perkara pidana. Pengaturan profesi Advokat akhirnya

mendapat satu payung hukum tersendiri setelah disahkannya

43
Ibid, hlm. 22.

44
Binziad Kadafi dkk. 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi.
Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, hlm. 56.
45
H.A. Sukris Sarmadi. Loc.cit, hlm. 23.
29

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,

setelah sebelumnya terpencar dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang berbeda. Dengan demikian,

keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat ini telah memberikan kepastian hukum dan legitimasi

yuridis bagi profesi Advokat.46

3. Peran Yuridis Advokat

Sebagai suatu profesi terhormat (officium nobile),

Advokat dalam menjalankan profesinya haruslah memiliki

kebebasan yang didasarkan pada kehormatan dan kepribadian

Advokat yang berpegang teguh pada kemandirian, kejujuran,

kerahasiaan dan keterbukaan, sesuai dengan hukum, undang-

undang dan kode etik profesi Advokat.47

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UU Advokat,

disebutkan bahwa Advokat adalah orang yang memberikan

jasa hukum, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Lebih

lanjut dalam ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Advokat

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jasa hukum adalah

jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi

hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,

46
E. Priadi. 2015. http://etheses.uin-malang.ac.id/204/6/10220011-Bab
%202.pdf. Diakses pada tanggal 17 Januari 2021. Pukul 16.00, hlm. 25.
47
Ibid.
30

mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain

untuk kepentingan hukum klien.48 Berkenaan dengan hal ini,

Harlen Sinaga berpendapat bahwa peran Advokat mencakup

seluruh masalah hukum, baik itu hukum publik (public law),

maupun hukum perdata (private law). Ruang lingkup

pekerjaan Advokat yang berkaitan dengan Pengadilan disebut

pekerjaan litigasi, sedangkan pekerjaan Advokat yang diluar

lingkup Pengadilan disebut sebagai pekerjaan nonlitigasi.49

Pada prinsipnya, advokat memiliki peran khusus dan

strategis dalam penegakan hukum yang diakui secara yuridis.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa peran yuridis Advokat

baik di bidang litigasi maupun nonlitigasi.

a. Memberi Pelayanan Hukum (legal service)

Pelayanan hukum yang dimaksud dalam hal ini

adalah memberikan bantuan hukum atau jasa hukum

baik pada pemeriksaan di Pengadilan (litigasi) maupun

di luar Pengadilan (nonlitigasi).50

b. Memberi Nasihat Hukum (legal advice)

48
Ibid, hlm. 26.

49
V. Harlen Sinaga. Op.cit, hlm 20.

50
Ibid, hlm. 26.
31

Sebagai penasihat hukum (legal advicer),

Advokat memberikan nasihat hukum baik dalam proses

litigasi maupun nonlitigasi untuk kepentingan hukum

kliennya. Namun berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang ada, istilah penasihat hukum pada

umumnya digunakan pada ranah hukum pidana. Seperti

diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 jo. UU Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yang secara khusus menyebutkan

istilah Penasihat Hukum.51

c. Memberi pendapat hukum (legal opinion)

Sebagai ahli hukum atau sarjana hukum, seorang

Advokat dapat membuat pendapatnya terhadap suatu

peristiwa hukum bahkan atas hukum itu sendiri.

Pendapat hukum yang diberikan oleh seorang Advokat

dianggap sebagai pendapat yang resmi dan harus

dipertimbangkan, baik pada proses litigasi dalam

perkara pidana dan perdata, maupun pada proses

nonlitigasi diluar Pengadilan.52

51
H.A. Sukris Sarmadi. Op.cit, hlm. 43.

52
Ibid, hlm. 49.
32

d. Mempersiapkan dan menyusun kontrak (legal drafting)

Advokat sebagai legal drafter dalam hal ini harus

memiliki kemampuan untuk mendesain dan menyusun

kontrak-kontrak, proposal penawaran akan sesuatu,

atau perjanjian-perjanjian antar lembaga, perusahaan,

dan/atau badan hukum lainnya. Peran ini umumnya

lebih banyak digunakan dalam proses nonlitigasi.53

e. Memberikan konsultasi hukum (legal consultant)

Konsultasi hukum sangat diperlukan dalam

rangka mendudukkan suatu persoalan yang sedang

dihadapi. Dalam konteks ini seorang Advokat akan

memberikan layanan informasi hukum (legal

information) yang diharapkan dapat memberikan

pencerahan dan pemahaman terhadap suatu

permasalahan hukum sehingga dapat diketahui cara

penyelesaian yang terbaik.54 Disamping itu, konsultasi

hukum juga berfungsi untuk memberikan pencerahan

kepada masyarakat luas dalam bidang hukum, baik

yang dilakukan melalui media, cetak, elektronik

maupun konsultasi secara langsung.

53
E. Priadi. Op.cit, hlm. 27.

54
H.A. Sukris Sarmadi. Loc.cit, hlm. 47.
33

f. Memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (Pro

bono legal aid) Kepada Masyarakat yang Tidak

Mampu dan Lemah55

Dalam UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang

Bantuan Hukum terdapat ketentuan bahwa Lembaga

Bantuan Hukum dapat melakukan rekrutmen terhadap

advokat untuk menyelenggarakan penyuluhan hukum,

konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang

berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan hukum

seperti investigasi kasus, pendokumentasian hukum,

penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan

pemberdayaan masyarakat. Pemberi bantuan hukum

juga berhak untuk mengeluarkan pendapat atau

pernyataan dalam membela perkara yang menjadi

tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan, serta

menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan

bantuan hukum tersebut.56

4. Syarat Diangkat Menjadi Seorang Advokat

Untuk dapat menjadi seseorang yang berprofesi sebagai

penasihat hukum/advokat menurut Undang-Undang Nomor 18

55
V. Harlen Sinaga. Op.cit, hlm 20.

56
E. Priadi. Op.cit, hlm. 28.
34

Tahun 2003 tentang Advokat telah dijelaskan dalam Pasal 2

ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1), sebagai berikut.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi :

Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang

berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah

mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang

dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.

Pasal 3 ayat (1) berbunyi :

Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Republik Indonesia;

b. bertempat tinggal di Indonesia;

c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat

negara;

d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan

tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1);

f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;


35

g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-

menerus pada Kantor Advokat;

h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih;

i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan

mempunyai integritas yang tinggi.

Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa,

yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi

hukum”, adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah,

perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu

kepolisian.57

Adapun kedudukan dan peran advokat/pengacara dalam

hubungan dengan hakim dan jaksa dalam sistem peradilan

pidana (criminal justice system) terhadap sikap dan

penilaiannya masing-masing pihak dalam suatu proses pidana

adalah bahwa hakim berpangkal tolak pada posisinya yang

objektif dan penilaiannya juga yang objektif, sedangkan jaksa

penuntut umum yang mewakili negara dan masyarakat

berpangkal tolak pada posisinya yang subjektif, tetapi

57
Ishaq. Op.cit, hlm. 7.
36

penilaiannya yang objektif. Hal ini berbeda dengan penasihat

hukum/ pengacara/advokat itu yang berpangkal tolak pada

posisinya yang subjektif karena mewakili kepentingan

tersangka/terdakwa atau klien, dan penilaiannya yang subjektif

pula. Meskipun demikian, penasihat hukum/pengacara advokat

itu berdasarkan legitimasi yang berpangkal pada etika, ia harus

mempunyai penilaian yang objektif terhadap kejadian-kejadian

di sidang pengadilan.58

5. Hak dan Kewajiban Advokat

Hak dan kewajiban Advokat diatur dalam Pasal 14

sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2003 tentang Advokat.

Pasal 14 berbunyi :

“Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan

dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di

dalam pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik

profesi dan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 15 berbunyi :

“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk

membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan

58
Ibid, hlm. 8-9.
37

tetap berpegang pada kode etik dan peraturan perundang-

undangan”.

Pasal 16 berbunyi :

“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun

pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik

untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”.

Pasal 17 berbunyi :

“Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh

informasi, data dan dokumen lainnya, baik dari instansi

Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan

kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan

kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan”.

Pasal 18 berbunyi :

1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang

membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan

jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar

belakang sosial dan budaya.

2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya

dalam membela perkara klien oleh pihak yang

berwenang dan/atau masyarakat.


38

Pasal 19 berbunyi :

1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang

diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan

profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-

undang.

2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan

klien, termasuk perlindungan atas berkas dan

dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan

perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi

elektronik advokat.

Pasal 20 berbunyi :

1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang

bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat

profesinya.

2) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta

pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan

profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan

kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.

3) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak

melaksanakan tugas profesi Advokat selama

memangku jabatan tersebut.


39

d. Pengertian Organisasi

Secara sederhana organisasi dapat diartikan sebagai suatu

kesatuan yang merupakan wadah atau sarana untuk mencapai

berbagai tujuan atau sasaran organisasi memiliki banyak komponen

yang melandasi diantaranya terdapat banyak orang, tata hubungan

kerja, spesialis pekerjaan dan kesadaran rasional dari anggota

sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi mereka masing-

masing.59

Organisasi sebagai suatu entitas tempat beberapa orang

berkumpul harus benar-benar dipahami keberadaanya, dengan

mengenal dan memahami organisasi memungkinkan tujuan yang

diharapkan dapat tercapai. Organisasi dikatakan oleh Gary N.

McLean sebagai situasi dimana dua atau lebih orang yang terlibat

dalam mencapai tujuan bersama.60

Sukanto Reksohadiprodjo dan Hani Handoko mengatakan

organisasi sebagai: (1) Suatu lembaga sosial yang secara sadar

dikoordinasikan dan dengan sengaja disusun; (2) terdiri dari

sekumpulan orang dengan berbagai pola interaksi yang ditetapkan;

59
http://repository.unpas.ac.id/9795/5/BAB%20II.pdf. Diakses pada
tanggal 16 Januari 2021. Pukul 14.00, hlm. 14.
60
Gary N. Melean. 2006. Organization Developmen, Principles
Processes 2 Performance. San Francisco : Berrett-Koehler Publishers.Inc, hlm. 2.
40

(3) mempunyai batasan-batasan yang secara relatif dapat

diidentifikasikan dan keberadaanya mempunyai basis yang relatif

permanen; (4) dan dikembangkan untuk mencapi tujuan-tujuan

tertentu.61

Gibson, Ivancevich, Donnelly, dan Konopaske mengatakan

organisasi sebagai berikut: “An organization is a coordinated unit

consisting of at least two people who function to achieve a common

goal or set of goals”.62 Gibson dan kawan-kawan mengatakan

bahwa organisasi dapat dipahami sebagai sebuah unit yang

terkoordinasi, terdiri dari dua orang atau lebih yang berfungsi untuk

mencapai tujuan bersama atau serangkaian tujuan. Sedangkan

Richard L. Daft dalam bukunya Organization Theory and Design,

mendifinisikan organisasi sebagai berikut: “Organizations are (1)

social entities that (2) are goal-directed, (3) are designed as

deliberately structured and coordinated activity systems, and (4)

are linked to the external environment”.63 Apa yang dikatakan Daft

dapat bermakna bahwa organisasi itu menggambarkan sebagai

entitas sosial, yang diarahkan kepada pencapaian tujuan, dengan

61
Sukanto Reksohadiprodjo dan Hani Handoko. 2001. Organisasi
Perusahaan 3 Teori Struktur dan Perilaku. Yogyakarta : BPFE UGM, hlm. 5.
62
James L. Gibsonet al. 2012. Organizations : Behavior, Structured,
Processes. New York : MeGraw-Hill Companies. Inc, hlm. 4
63
Richard L. Daft. 2010. Organization Theory and Designd. South
Western : Cengage Learning, hlm 11.
41

struktur yang dirancang secara sengaja dan terkoordinasi sebagai

suatu sistem, serta terkait dengan lingkungan eksternal.64

Stephen P. Roobins mengatakan organisasi merupakan

suatu entitas sosial yang secara sadar terkoordinasi, memiliki suatu

batas yang relatif dapat diidentifikasi, dan berfungsi secara relatif

kontinu (berkesinambungan) untuk mencapai suatu tujuan atau

seperangkat tujuan bersama.65 Dan E. Wight Bakke dalam Kusdi

mengatakan bahwa organisasi sebagai: Suatu sistem berkelanjutan

dari aktivitas-aktivitas manusia yang terdeferensiasi dan

terkoordinasi, yang mempergunakan, mentransformasikan, dan

menyatu padukan seperangkat khusus manusia, material, modal,

gagasan, dan sumber daya alam menjadi suatu kesatuan pemecahan

masalah yang unik dalam rangka memuaskan kebutuhan-

kebutuhan tertentu manusia dalam interaksinya dengan sistem-

sistem lain dari aktivitas manusia dan sumbar daya dalam

lingkungannya.66

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa organisasi dapat didefinisikan sebagai

suatu wadah atau entitas (wujud) sosial yang dikoordinasikan

64
Ibid.

65
Stephen P. Robbins. 1991. Organization Theory, Structure, Design
and Application. Englewood Cliffs : Prentice Hall. Inc, hlm. 4.
66
Kusdi. 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta : Salemba
Humanika, hlm. 5
42

secara sadar oleh sekelompok orang secara terus menerus untuk

mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai seorang diri.67

Ciri-ciri organisasi dikemukakan Ferland yang dikutip oleh

Handayaningrat meliputi sebagai berikut :

1. Adanya suatu kelompok orang yang dapat dikenal;

2. Adanya kegiatan yang berbeda-beda tetapi satu sama lain

saling berkaitan (interdependent part) yang merupakan

kesatuan usaha/ kegiatan;

3. Tiap-tiap anggota memberikan sumbangan usahanya/

tenaganya;

4. Adanya kewenangan, koordinasi dan pengawasan;

5. Adanya suatu tujuan.

Organisasi selain dipandang sebagai wadah kegiatan orang

juga dipandang sebagai proses, yaitu menyoroti interaksi diantara

orang-orang yang menjadi anggota organisasi. Keberhasilan suatu

organisasi ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang

saling berinteraksi dan mengembangkan organisasi yang

bersangkutan.68

67

http://repository.radenintan.ac.id/7645/1/Buku%20Perilaku%20Organisasi.k

pdf. Diakses pada tanggal 15 Januari 2021. Pukul 14.00, hlm. 2.


43

e. Organisasi Advokat di Indonesia

Pada tahun 1947 telah diperkenalkan satu peraturan yang

mengatur profesi advokat. Peraturan yang bernama Reglement op

de Rechterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia

(S. 1847 No. 23 yo S. 1848 No. 57) dengan segala perubahan dan

penambahannya. Artinya telah ada aturan-aturan yang berkaitan

dengan advokat sejak tahun 1947.69

Organisasi Advokat di Indonesia telah ada sejak masa

pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun keberadaan Advokat

ketika itu hanya terbatas di kota-kota yang memiliki landraad

(Pengadilan Negeri) dan raad van justitie (Dewan Peradilan) dan

tergabung dalam organisasi Advokat yang disebut Balie van

Advocaten.70

Organisasi Advokat adalah sebuah wadah profesi advokat

yang didirikan dengan tujuan meningkatkan kualitas profesi

advokat. Dasar pendirian organisasi advokat adalah UU Advokat. 71

68
W Aprilianti. 2016. http://repository.unpas.ac.id/9795/5/BAB
%20II.pdf, hlm. 15. Diakses pada tanggal 18 Januari 2021. Pukul 00.23.
69
Sartono dan Bhekti Suryani. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi
Advokat. Jakarta : Dunia Cerdas, hlm. 3.
70
V. Harlen Sinaga. Op.cit, hlm 7.

71
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Advokat. Diakses pada
tanggal 20 Januari 2021. Pukul 15.00.
44

Untuk melaksanakan ketentuan UU Advokat tersebut, dibentuklah

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada tanggal 7 April

2005. PERADI merupakan hasil bentukan Komite Kerja Advokat

Indonesia (KKAI) yang beranggotakan delapan organisasi advokat

yang telah ada sebelum UU Advokat, yaitu:

1. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);

2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);

3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);

4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);

5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);

6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);

7. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM); dan

8. Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).72

Berdasarkan hasil kesepakatan dari kedelapan organisasi

advokat tersebut diputuskan untuk membentuk Perhimpunan

Advokat Indonesia (PERADI), namun dalam perkembangannya di

internal organisasi advokat itu sendiri timbul berbagai polemik

sehingga terbaginya advokat menjadi dua kubu, yakni para advokat


72

http://p2k.unugha.ac.id/id3/2-3063-2947/Organisasi-Advokat_38525_balidN

wipa_p2k-unugha.html. Diakses pada tanggal 29 Maret 2021. Pukul 16.15.


45

yang setuju dengan pendirian organisasi PERADI dan para advokat

yang tidak setuju dengan dibentuknya PERADI. Mereka beralasan

keputusan bersama yang dibuat oleh KKAI dalam hal ini sebagai

komite pembentuk wadah tunggal organisasi advokat mengandung

cacat hukum karena tidak mengikuti aturan atau mekanisme

pembuatan keputusan yang diatur dalam peraturan organisasi

advokat masing-masing.73

Berdirinya PERADI dan KAI yang masing-masing

mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat dapat

berpengaruh buruk terhadap pelaksanaan UU Advokat dan Kode

Etik Advokat di Indonesia, salah satunya adalah Advokat yang

dijatuhi sanksi oleh satu organisasi Advokat dapat pindah ke

organisasi lain untuk menghindari sanksi atas pelanggaran yang

dilakukannya.74

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

telah berulang kali diajukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi

yang tidak terlepas selalu berkaitan dengan masalah pembentukan

Organisasi Advokat itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa

dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

tentang Advokat, secara faktual dan aktual sama sekali tidak

73
Agusman Candra Jaya. 2009. Advokat Pengenalan Secara Mendasar
dan Menyeluruh. Jakarta : Candra Jaya Institute, hlm. 66.
74
Supriadi. 2008. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di
Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 84-87.
46

menciptakan suasana harmonis dan kondusif, melainkan sebaliknya

telah banyak memunculkan pertikaian dan perselisihan para

advokat yang cenderung memecahbelah eksistensi organisasi

advokat dan terperangkap di dalam suasana yang carut-marut untuk

menjalankan tugasnya sebagai advokat yang berprofesi mulia

(officium nobile).75

Jika advokat dalam menjalankan profesinya terjerat

masalah hukum, maka aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, KPK)

tidak serta merta memanggil advokat yang bersangkutan untuk

dimintai keterangan, apalagi diperlakukan tidak wajar. Aparat

penegak hukum harus memanggil advokat yang bersangkutan

melalui organisasi advokat, kemudian organisasi advokatlah yang

mempunyai kewenangan untuk memanggil advokat yang

bersangkutan guna dimintai keterangan dan penjelasan terkait

dengan pemanggilan tersebut.76

Kemudian organisasi advokat merekomendasikan advokat

yang bersangkutan untuk mendatangi pemanggilan dan

menghadapi permasalahan yang menimpa advokat tersebut

75
Samuel Saut Martua Samosir. 2017. Organisasi Advokat dan Urgensi
Peran Pemerintah Dalam Profesi Advokat. Artikel Dalam Jurnal Konstitusi. Vol. 14. No.
3. September, hlm. 516.
76
Cinthia dkk. 2018. Usaha Pemerintah Melindungi Hak Imunitas
Advokat Dalam Melakukan Pekerjaan. Artikel Dalam Jurnal Muara Ilmu Sosial,
Humaniora, dan Seni. Vol. 2 No. 3. Oktober, hlm. 695.
47

sekaligus memberikan pembelaan dan perlindungan profesi

terhadap advokat yang bersangkutan.77

f. Sistem Organisasi Advokat

Terdapat tiga penggolongan besar mengenai sistem yang

secara umum diterapkan di negara-negara lain, yaitu:78

1. Sistem Single Bar

Sistem ini menentukan bahwa hanya ada satu organisasi

advokat dalam bentuk Integrated/Compulsory Bar yang dapat

berdiri pada suatu yurisdiksi. Secara umum konstruksi ini tidak

dengan sendirinya melarang Advokat untuk membentuk

Organisasi Advokat lain diluar bar tunggal tersebut, sebab

kebebasan untuk berserikat dan berkumpul tetap merupakan hak

fundamental warga negara khususnya di Indonesia. Kebebasan

advokat untuk membentuk Organisasi Advokat tetap dijaga.

Namun pada sistem Single Bar, hanya satu Organisasi Advokat

yang diakui oleh negara dan para profesional wajib bergabung

didalamnya. Sistem ini umumnya mengefisienkan pengawasan

77
H. Hambali. Tinjauan Pustaka Tentang Advokat. http://repository.unpas.ac.im
d/41140m/4/J.%20BAB%20II.pdf. Diakses pada tanggal 30 April 2020. Pukul 15.35.

78
Daniel S.Lev. 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Jakarta :
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, hlm. 51.
48

dan penegakan disiplin karena hanya ada satu kode etik dan satu

sistem disiplin yang harus dipatuhi oleh para profesional.

2. Sistem Multi Bar

Sistem ini memungkinkan beberapa Organisasi Advokat

untuk sekaligus beroperasi dalam suatu yurisdiksi, dimana

seluruh bar tersebut diakui keberadaannya oleh negara.

Biasanya keanggotaan dalam sistem Multi Bar tidak wajib

(obligatory) dalam artian para Advokat tidak harus bergabung

dalam bar association tertentu sebagai prasyarat prakteknya.

Setidaknya terdapat beberapa model dalam sistem ini, yaitu :79

a) Anggota Profesi minimal harus bergabung dalam salah datu

dari beberapa Organisasi Advokat yang ada agar dapat

memperoleh hak untuk berpraktek. Sistem ini dipraktekan di

negara Australia, tepatnya pada negara bagian Victoria. Salah

satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang yang ingin

berpraktek hukum adalah harus terafiliasi pada salah satu

Organisasi Advokat berdasarkan rekomendasi dari

Mahkamah Agung negara bagian.80

79
Andry Rahman Arif. Eksistensi Wadah Tunggal Organisasi Advokat
Dalam Sistem Peradilan di Indonesia.
http://digilib.unila.ac.id/23360/3/TESIS%20TANPA%20.
BAB%20PEMM BAHASAN.pdf. Tesis. 2016, hlm. 56.

80
Ibid.
49

b) Anggota profesi sama sekali tidak wajib bergabung dalam

satu pun Bar Association. Meraka tetap dapat berpraktek

meskipun tidak tergabung dalam suatu bar. Model ini

biasanya ditandai dengan adanya peran negara untuk turut

melakukan pengawasan dan penertiban secara teknis kepada

anggota profesi. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia,

peran pendisiplinan didominasi oleh negara (Mahkamah

Agung dan Menteri Kehakiman) meskipun secara teoritis

peran tersebut dimiliki oleh Organisasi Advokat.81

3. Sistem Federasi.

Bentuk federal bar association merupakan pengembangan

dari konsep Multi Bar. Pada sistem ini seluruh Organisasi

Advokat yang ada disuatu negara akan bergabung dalam

federasi Organisasi Advokat yang ditingkatkan nasional

membawahi seluruh organisasi tersebut. Di negara dengan

sistem ini biasanya anggota profesi terdaftar pada dua

Organisasi Advokat yaitu pada Organisasi Advokat tingkat

lokal, serta selanjutnya secara otomatis akan terdaftar pada

Organisasi Advokat tingkat nasional. Cukup rumit untuk

mendiskripsikan pembagian kerja satu sama yang lain tetapi

secara umum National Bar pada sistem federasi tidak turut

81
Ibid, hlm. 57.
50

campur dalam urusan Organisasi Advokat lokal, begitu juga

sebaliknya.82

g. Tugas dan Wewenang Organisasi Advokat di Indonesia

Pasal 2 UU Advokat memerintahkan bahwa Organisasi

Advokat berhak melakukan Pengangkatan Advokat. Hal ini

menandakan bahwasannya Organisasi Advokat mempunyai otoritas

untuk mengangkat calon advokat yang telah memenuhi persyaratan

untuk selanjutnya diangkat menjadi seorang advokat.

Pasal 12 UU Advokat memerintahkan bahwa Organisasi

Advokat berhak melakukan Pengawasan terhadap Advokat. Hal ini

secara jelas menyatakan Organisasi Advokat berhak melakukan

pengawasan terhadap tingkah laku advokat demi menjaga harkat

dan martabat advokat.

Pasal 26 memerintahkan bahwa Organisasi Advokat berhak

untuk :

a) menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat;

b) menyusun kode etik profesi Advokat;

c) melakukan pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi

Advokat;
82
Ibid.
51

d) memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi

Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan

Organisasi Advokat.

Pasal 27 UU Advokat memerintahkan bahwa Organisasi

Advokat berhak untuk membentuk Dewan Kehormatan Organisasi

Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian normatif

(normative legal research), pelaksanaan penelitian hukum normatif ini

dilakukan dengan melakukan inventariasi hukum positif, pelaksanaan

asas-asas hukum dan kaidah dari peraturan perundang-undangan serta

doktrin hukum, penelitian normatif adalah penelitian hukum yang

meletakkan hukum sebagai sistem norma.83

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian tesis ini adalah preskriptif yaitu ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan

hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai

83
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010. Dualisme Penelitian
Hukum Normatif dan Hukum Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 34.
52

ilmu terapan, ilmu hukum menentapkan standar prosedur, ketentuan-

ketentuan, serta rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum.84

3. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah Penelitian Doktrinal

(Doctrinal Research) yaitu penelitian yang memberikan penjelasan

sistematis terhadap peraturan yang mengatur kategori hukum tertentu,

menganalisis hubungan antar aturan, menjelaskan wilayah-wilayah

kesulitan, dan bahkan memprediksi perkembangannya dimasa

mendatang.

4. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan

pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk di cari

jawabannya. Adapun beberapa pendekatan masalah yang penulis

gunakan, sebagai berikut :

a. Pendekatan Perundangan-undangan (Statute Aprroach), adalah

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang ditangani.85

84
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana
Media, hlm. 22.
85
Ibid, hlm. 24.
53

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Aprroach), yaitu metode

pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dengan Ilmu

Hukum sehingga menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep Hukum, dan

asas-asas hukum terkait dengan Isu Hukum yang dihadapi dan

dijadikan sandaran dalam membangun argumentasi hukum

dengan memecahkan isu hukum yang dihadapi.86

5. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliput :

a. Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan

perundang-undangan,catatan resmi, risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan hakim.87 Dalam penelitian

ini bahan hukum primer yang digunakan adalah sebagai

berikut :

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat;

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 014/PUU-IV/2006;

86
Ibid.

87
Ibid, hlm. 141.
54

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 101/PUU-VII/2009;

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 66/PUU-VIII/2010;

5. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 112/PUU-XII/2014;

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 36/PUU-XIII/2015;

7. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 35/PUU-XVI/2018;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu sejumlah literatur yang terdiri

dari sumber hukum bahan pustaka yang berisikan informasi

tentang sumber bahan hukum primer yang meliputi buku-buku

ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini, surat kabar,

makalah-makalah, jurnal ilmiah dan artikel yang terkait

dengan penelitian ini.

6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk

memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan

bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan

penelitian ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi


55

dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang

dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan

content analisys.88

7. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Setelah semua bahan hukum primer dan sekunder terkumpul

maka kemudian dilakukan pengolahan bahan hukum dengan

membagi-bagi bahan hukum sesuai dengan bagian permasalahan,

kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab isu hukum yang

telah dirumuskan.

G. Pertanggungjawaban Sostematika Penulisan

Secara garis besar berdasarkan sistematika penulisan yang baku,

penulisan tesis ini terdiri dari IV Bab, yang masing-masing bab terdiri dari

beberapa sub-bab yang terangkai dan berhubungan dengan yang lainnya

sehingga membentuk suatu uraian yang sistematis dalam satu kesatuan.

Bab-bab tersebut ialah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, Bab ini merupakan pendahuluan terdapat

latar belakang masalah mengapa penulis mengangkat judul tesis ini,

rumusan masalah guna membatasi permasalahan agar tidak melebar,

88
Ibid, hlm. 21.
56

tujuan penulisan yang ingin dicapai, metode yang penulis gunakan dalam

meneliti yang didalamnya terdapat penjelasan mengenai tipe penelitian,

pendekatan, langkah penulisan, dan bahan hukum. Kemudian dilanjutkan

dengan pertanggungjawaban sistematika penulisan.

Bab II Penulis melakukan PEMBAHASAN I atau pembahasan

untuk rumusan masalah yang pertama mengenai Pola Pengawasan

Terhadap Organisasi Advokat di Luar PERADI.

Bab III Penulis melakukan PEMBAHASAN II atau pembahasan

untuk permasalahan atau rumusan masalah yang kedua mengenai Urgensi

Akreditasi Terhadap suatu Organisasi Advokat.

Bab IV adalah PENUTUP yang didalamnya terdapat kesimpulan

dari penulisan tesis dan untuk menyempurnakannya penulis memberikan

saran.
57
BAB II

POLA PENGAWASAN TERHADAP ORGANISASI ADVOKAT DI LUAR

PERADI

A. Pola Pengawasan Terhadap Organisasi PERADI

UUD 1945 telah mengamanahkan bahwa dalam pembentukan

suatu organisasi, dan memberikan perlindungan yang mendasar, yang

semula prinsip kebebasan atau kemerdekaan berserikat ditentukan dalam

Pasal 28 UUD 1945 (pra reformasi) yang berbunyi, “Kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan

dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Setelah reformasi,

melalui Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, jaminan

konstitusional dimaksud secara tegas ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3)

UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan

berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian

UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan

untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan

berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat

(freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia,

tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang

berada di Indonesia.

58
59

Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, ternyata juga sejalan

dengan apa yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) Universal Declaration

of Human Rights (UDHR) maupun International Covenant of Civil and

Political Rights (ICCPR), masing-masing merumuskan bahwa hak

berkumpul dan berserikat tersebut haruslah yang bersifat damai, dengan

menyebut bahwa “the right to freedom of peaceful assembly and

association”, dan “the right of peaceful assembly”. Hal demikian haruslah

diartikan bahwa hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul yang

dihormati, dijamin dan dilindungi oleh hukum dan konstitusi, haruslah

kebebasan berserikat yang bertujuan dan berlangsung secara damai.

Kebebasan berkumpul dan berserikat menjadi unsur yang sangat esensial

dalam suatu masyarakat yang demokratis, dan yang berkaitan erat dengan

kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran merupakan upaya untuk

memajukan dan mensejahterakan masyarakat.89

Hal diatas menunjukkan bahwa Negara telah menjamin dan

memberikan kebebasan terhadap setiap individu untuk melakukan atau

membentuk suatu perkumpulan, yang dalam hal ini perkumpulan tersebut

dapat berupa sebuah organisasi yang didirikan atas dasar adanya

kepentingan dan kesepakatan bersama dengan tujuan untuk meningkatkan

kualitas individu dalam memberikan bantuan terhadap masyarakat serta

dapat menyampaikan berbagai ilmu pengetahuan yang tidak dimengerti

masyarakat melalui rencana kegiatan yang telah disusun oleh organisasi

89
Samuel Saut Martua Samosir. Op.cit, hlm. 517-518.
60

yang menaunginya. Selain itu, tentunya melalui pembentukan organisasi

itu sendiri hal mendasar yang ingin dicapai ialah memajukan dan

mensejahterakan masyarakat. Karena pada perkembangannya manusia

memang tidak terlepas dari banyaknya kebutuhan dalam hidupnya, namun

manusia memiliki keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhanya

secara maksimal. Sehingga dengan melihat kepada sifat manusia yang

sosial, maka guna saling memenuhi akan kebutuhan tersebut, manusia

dapat membentuk suatu kelompok atau bersama manusia yang lain untuk

bersatu mencapai tujuan bersama dengan cara berorganisasi.

Organisasi adalah kesatuan sosial dari  orang-orang yang menjadi

anggotanya dan mempunyai kepentingan serta tujuan yang sama, dalam

hal ini untuk mencapai sebuah tujuan tersebut maka tentunya sangat

diperlukan adanya koordinasi. Untuk itu organisasi harus dibuat secara

rasional, yang artinya harus dibentuk dan beroperasi berdasarkan

ketentuan formal dan penuh perhitungan  dengan memperhatikan asas

manfaat bagi anggotanya. Sehingga, keterbukaan dan perlakuan yang sama

tanpa harus membeda-bedakan merupakan perihal utama yang harus

dipegang dalam membentuk suatu organisasi. Adapun jenis-jenis

organisasi yang bekerja terdapat dalam tiga ranah kehidupan bersama,

yaitu dalam ranah negara (state), masyarakat (civil society), dan dunia

usaha (market). Pembedaan dan bahkan pemisahan ketiga ranah diatas

haruslah dijadikan perspektif baru dalam membangun pengertian

mengenai organisasi modern, bahkan dewasa ini berkembang pula


61

pandangan yang semakin kuat bahwa komunitas organisasi di ketiga ranah

negara, masyarakat, dan dunia usaha itu haruslah berada dalam posisi yang

seimbang dan saling menunjang satu sama lain untuk menopang dinamika

kemajuan bangsa.

Pengertian organisasi menurut menurut Maringan dapat dibedakan

pada 2 (dua) macam, yaitu :

1. Organisasi sebagai alat dari manajemen artinya organisasi sebagai

wadah/ tempat manajemen sehingga memberikan bentuk

manajemen yang memungkinkan manajemen bergerak atau dapat

dikaitkan.

2. Organisasi sebagai fungsi manajemen artinya organisasi dalam arti

dinamis (bergerak) yaitu organisasi yang memberikan

kemungkinan tempat manajemen dapat bergerak dalam batas-batas

tertentu. Dinamis berarti bagaimana organisasi itu bergerak

mengadakan pembagian pekerjaan. Misalnya pimpinan harus

ditempatkan dibagian yang strategis.90

Mengenai Organisasi Advokat, Organisasi Advokat itu sendiri

merupakan salah satu bentuk dari organisasi profesi yang mana ketika

berbicara masalah profesi maka bentuk dari Organisasi Advokat sama

halnya dengan organisasi profesi secara umum. Hal ini dikarenakan

Organisasi Advokat merupakan salah satu bagian penggolongan dari

90
Mesiono. 2010. Manajemen dan Organisasi. Bandung : Citapustaka
Media Perintis, hlm. 39.
62

beberapa organisasi profesi yang ada, akan tetapi terdapat perbedaan

antara profesi advokat dengan profesi yang lainnya, yaitu bentuk

hubungan profesi dengan klien dalam profesi advokat. Sehingga dalam hal

ini Organisasi Advokat dapat dikonotasikan sebagai sebuah rumah dan

tempat bersandar ketika terjadi masalah-masalah yang masih bisa

diselesaikan dengan kekeluargaan (musyawarah mufakat). Selain itu,

Organisasi Advokat juga bagian yang tidak terlepaskan dari integritas

advokat itu sendiri, yang artinya kualitas profesi advokat tergantung

bagaimana Organisasi Advokat tersebut menciptakan suasana yang

bermutu dan menjamin meningkatnya kualitas anggotanya.

Organisasi Advokat setidak-tidaknya memiliki peran yang memuat

3 (tiga) hal pokok sebagai berikut :

1. Sebagai agen pembaharuan hukum, dimana di dalamnya

terkandung makna sebagai agent of law development dan agent of

law enculturation. Pelaksanaan tugas dan peran seperti ini secara

konsisten dan konsekuen pada gilirannya dapat menciptakan

advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile) yang

dapat mengakomodir semua kepentingan yang bersifat global tanpa

menghilangkan kepentingan lokal. Peran ini penting karena pada

akhirnya pembaharuan hukum itu harus bertujuan untuk

memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas. Organisasi

advokat sebagai agen pembaharuan hukum harus bisa tampil lugas

dan tegas, terutama jika berperan selaku fasilitator, mediator dan


63

konsiliator terhadap semua kepentingan masyarakat yang ada.

Selama ini belum ada organisasi advokat di Indonesia yang dapat

melakukan peran semacam ini.

2. Sebagai penegak hukum sebagaimana diamanatkan oleh pasal 5

ayat (1), UU Advokat untuk mewujudkan keadilan dan hak asasi

manusia.

3. Berperan terhadap peningkatan kualitas advokat sehingga bila

peranan organisasi advokat ini dapat diselenggarakan dengan

konsisten dan konsekuen oleh advokat, maka kesejahteraan rakyat

yang kita idam-idamkan tersebut bisa mendekati kenyataan.91

Perlu diketahui bahwa Organisasi Advokat adalah salah satu

bentuk dari organisasi kemasyarakatan yang memiliki ciri-ciri

sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985

tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat dengan UU

Organisasi Kemasyarakatan) adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat mendirikan organisasi profesi secara sukarela tamapa

ada paksaan dari siapa-siapa. Maka sudah jelas bahwa dalam

pendirian Organisasi Advokat adalah dibentuk oleh orang-orang

atau kelompok yang mempunyai profesi yang sama yaitu sebagai

Advokat.

91
L Sulastri. Rekonstruksi Pengaturan Sistem Organisasi Advokat
Sebagai Pertanggungjawaban Kualitas Profesi Berbasis Nilai Keadilan. 2019. Disertasi.
Semarang : Universitas Islam Sultan Agung, hlm. 31-32.
64

2. Wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha

mewujudkan tujuan organisasi. Profesi Advokat dapat dikatakan

suatu profesi yang terhormat namun seringkali para Advokat itu

sendiri yang menciderai makna dari profesinya itu sendiri. Oleh

karena itu, sebagaimana diamanahkan dalam UU Advokat,

pembentukan Organisasi Advokat adalah untuk melakukan

pembinaan pengembangan supaya tujuan dari UU Advokat yaitu

dengan menjaga marwah dan kehormatan sebagai profesi Advokat

dengan berpegah teguh terhadap prinsip-prinsip profesi Advokat.

3. Wadah Organisasi Advokat salah satunya untuk menjaga martabat

pembangunan Nasional. Sedangkan organisasi kemasyarakatan

sarana untuk menyalurkan pemikiran dan pendapat untuk menjaga

keutuhan bangsa Indonesia dalam mewujudkan kasatuan dan

persatuan serta menjamin dalam pembangunan Nasional sesuai

yang di amanatkan UUD 1945.92

Dasar pendirian Organisasi Advokat adalah untuk memenuhi

sebagaimana ketentuan yang terdapat didalam UU Advokat. Yang dalam

hal ini UU Advokat mengamanatkan bahwa Organisasi Advokat pada

dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri

(independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara

sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Sidang Perkara Nomor

92
Ansari. 2019. Implementasi Manajemen Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI) dalam Menyelenggaran Pendidikan Profesi Khusus Advokat. Artikel
dalam Jurnal Studi Islam dan Sosial. Vol. 13. No. 2. September, hlm. 28.
65

014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 015/PUU-IV/2006 Perihal

Pengujian Undang-Undang tentang Advokat.

Otje Salman dan F. Susanto mengatakan bahwa UU Advokat

merupakan hukum yang responsif, yaitu tatanan hukum yang mampu

menjawab kebutuhan dan aspirasi sosial, dalam hal ini aspirasi yang

dimiliki para advokat diharapkan dapat memberikan titik terang dalam

memecahkan suatu masalah yang sedang dihadapi agar dalam

menjalankan profesinya dapat lebih leluasa dan bertanggung jawab.93

Hadirnya UU Advokat merupakan perwujudan dari cita-cita para advokat

yang terus berjuang untuk menempatkan kedudukan advokat agar setara

dengan penegak hukum lainnya seperti Jaksa, Hakim, dan Polisi.

Berkaitan dengan Organisasi Advokat, mengacu kepada UU

Advokat Pasal 28 ayat (1) menegaskan bahwa “Organisasi Advokat

merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri

yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan

maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Hal ini

menunjukkan bahwa UU Advokat mengkehendaki agar dibentuk sebuah

Organisasi Advokat yang menaungi seluruh advokat dalam satu wadah

atau tempat. Adapun ketentuan mengenai batas waktu dalam pembentukan

organisasi tersebut terlihat pada Pasal 32 ayat (4) UU Advokat

menegaskan bahwa “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah

93
Otje Salman dan F. Santoso. 2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum.
Bandung : Alumni, hlm. 97.
66

berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk”.

Sehingga tidak lama setelah terbentuknya UU Advokat tersebut, maka

tidak menunggu waktu lama Perhimpunan Advokat Indonesia (selanjutnya

disingkat dengan PERADI) pun terbentuk sebagaimana amanat dari UU

Advokat.

Pembentukan Organisasi PERADI itu sendiri dilakukan oleh 8

(delapan) Organisasi Advokat yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN),

Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia

(IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat

Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI),

Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi

Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Seiring dengan perkembangannya, UU Advokat selain

memberikan pengakuan terhadap eksistensi Advokat sebagai penegak

hukum, namun sekaligus pula memberikan pengakuan adanya satu

Organisasi Advokat sebagai wadah tunggal Advokat di Indonesia yang

dalam hal ini ialah PERADI. Organisasi PERADI itu sendiri mempunyai

kewenangan sebagai berikut :

1. Melaksanakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat;

2. Pengujian calon Advokat;

3. Pengangkatan Advokat;

4. Membuat Kode Etik;


67

5. Membentuk Dewan Kehormatan;

6. Membentuk Komisi Pengawas;

7. Melakukan Pengawasan; dan

8. memberhentikan Advokat.

Filosofi diundangkannya UU Advokat merupakan suatu

perwujudan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 3 UUD 1945, dalam rangka untuk mewujudkan tata

kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan,

maka diperlukan suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala

campur tangan dan pengaruh dari luar. Selain itu juga memerlukan profesi

yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu

peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua

pencari keadilan dalam menegakkan hukum. Advokat sebagai profesi yang

bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu

dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi tercapainya upaya

penegakan supermasi hukum.94

Berkaitan dengan Organisasi Advokat, Organisasi Advokat yang

dimaksud pada sub bab ini ialah PERADI. Organisasi PERADI merupakan

perkumpulan profesi hukum yang memiliki peran penting dalam

menegakkan hukum dan membantu masyarakat dalam mengurus perkara

yang dihadapi oleh masyarakat. Melalui perhimpunan ini, eksistensi

94
Sudarmono. 2020. Makna Wadah Tunggal Organisasi Profesi Advokat Ditinjau
Dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Artikel dalam Jurnal
Esensi Hukum. Vol. 2. No. 1. Juni, hlm. 65.
68

Advokat akan menjadi sangat penting dalam membela kliennya

menyelesaikan berbagai perkara di Pengadilan. Seorang advokat yang

mengemban amanah mulia dalam membela (klien) sebagai panasehat

hukum, harus penuh dengan rasa tanggungjawab, percaya diri, memiliki

kepribadian yang baik dan tidak berat sebelah, tidak terikat terhadap klien

dan tidak pandang bulu, siapa yang menjadi lawannya entah itu dari

golongan orang kuat, seperti pejabat pemerintah, penguasa (Bupati,

Gubernur dan Presiden) dan lain sebagainya.95

PERADI mulai di publikasikan dan diperkenalkan ke masyarakat

umum, khususnya kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Jakarta

Selatan. Seperti yang sudah penulis uraikan diatas, UU Advokat

mengamanatkan Organisasi Advokat harus sudah resmi terbentuk sebagai

organisasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak undang-undang tersebut

diundangkan. Oleh karena itu, dalam waktu 20 (dua puluh) bulan setelah

UU Advokat diundangkan, Organisasi Advokat di Indonesia sepakat

mendirikan atau membentuk Organisasi PERADI. Walaupun pada saat itu

usia PERADI masih dipandang muda, namun dengan restu dan do’a dari

semua pihak, PERADI berharap dapat menjadi Organisasi Advokat yang

bebas dan independen, dapat melayani masyarakat dengan prinsip

kejujuran dan keterbukaan, serta dapat menjalankan tugas sebagai advokat

dengan tekat yang semata-mata bertujuan untuk membantu menyelesaikan

95
Ansari. Op.Cit., hlm. 23.
69

berbagai urusan perkara yang dihadapi masyarakat, baik itu perkara di

Pengadilan maupun di luar Pengadilan.

Berbicara mengenai pengawasan terhadap Organisasi PERADI, hal

ini lah yang menjadi analisis penulis. Sebagai Organisasi Advokat yang

diberikan amanat dalam rangka menjalankan 8 (delapan) kewenangan

yang terdapat didalam UU Advokat, maka tentunya menimbulkan suatu

pertanyaan yang mengarah kepada, siapa lembaga yang akan mengawasi

setiap aktivitas atau kinerja dari Organisasi PERADI tersebut, mengingat

Organisasi PERADI merupakan sebuah organisasi yang dibentuk

berdasarkan dengan amanat yang diberikan oleh UU Advokat. Seperti

yang diketahui pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu

proses pengukuran dan verifikasi dari serangkaian proses yang telah

diselenggarakan secara berkelanjutan. Bagir Manan juga mengemukakan

bahwa pengawasan atau control mengandung dimensi pengendalian dan

juga pembatasan. Pengawasan yang dimaksud mengandung pembatasan-

pembatasan antara kewenangan-kewenangan pejabat dan juga lembaga/

institusi yang berwenang mengawasi. Pengawasan juga dapat dikatakan

sebagai suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar

pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk

membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan,

selain itu untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan

dalam penyelenggaraan sebuah organisasi, serta untuk mengambil

tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber


70

daya telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai

tujuan yang hendak dicapai.96 Melalui pengawasan tersebut tentunya

diharapkan dapat diketahui apakah Organisasi PERADI sudah

menjalankan fungsinya dengan baik sebagaimana ketentuan yang terdapat

didalam UU Advokat. Atau, apakah Organisasi PERADI tersebut justru

menjalankan kewenangannya secara sewenang-wenang yang berdampak

akan merugikan masyarakat dan eksistensi profesi advokat sebagai profesi

yang terhormat, serta kualitas dari Advokat yang bernaung pada

organisasinya.

Untuk menjawab permasalahan demikian, kemudian berdasarkan

analisis penulis dengan mengacu kepada UU Advokat, bahwa didalam UU

Advokat sendiri tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan terkait

bagaimana bentuk pengawasan terhadap Organisasi PERADI. Demikian

pula terhadap UU Mahkamah Agung, yang pada intinya Mahkamah

Agung (MA) memberikan penjelasan yang lebih mengarah kepada

pengawasan terhadap indvidu (Advokat), bukan terhadap kinerja dari suatu

organisasi yang menaungi para Advokat. Namun, apabila melihat kepada

ketentuan yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011

tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disingkat dengan UU Bantuan

Hukum), yang dalam hal ini Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi

Manusia berhak mengawasi kinerja lembaga bantuan hukum yang

96
Said Sampara. 2017. Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung Dalam
Penyelenggaraan Peradilan yang Imparsial. Artikel dalam Jurnal. Vol. 19. No. 1. Mei,
hlm. 21.
71

menerima dana bantuan hukum, yaitu Lembaga Bantuan Hukum

(selanjutnya disingkat dengan LBH/ Organisasi Bantuan Hukum

(selanjutnya disingkat dengan OBH) yang telah terakreditasi. Bentuk

pengawasannya adalah melalui penyaluran dana bantuan hukum terhadap

penanganan perkara yang dilakukan oleh LBH/ OBH tersebut.

Apabila melihat ketentuan pasal yang terdapat didalam UU

Bantuan Hukum, dalam hal ini Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa :

“(2) Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum

diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan

Hukum berdasarkan Undang- Undang ini”.

Pasal 7 ayat (2) huruf d yang menegaskan bahwa :

“(2) Untuk melakukan verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b, Menteri membentuk panitia yang unsurnya terdiri

atas : huruf d. lembaga atau organisasi yang memberi layanan Bantuan

Hukum”.

Kemudian Pasal 8 ayat (2) huruf e menegaskan bahwa :

“(2) Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi : huruf e. Memiliki program Bantuan Hukum”.

Melihat kepada ketentuan pasal-pasal diatas, bahwa sebagai

Organisasi Advokat yang diakui secara sah menurut UU Advokat, dalam

perkembangannya PERADI memiliki program bantuan hukum yang


72

dikenal dengan Pusat Bantuan Hukum (PBH) yang tersebar diseluruh

wilayah Indonesia. Kemudian melalui program tersebut, PERADI

memberikan layanan bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang

dalam hal ini sebagai penerima bantuan hukum.

Pada Oktober 2017 lalu, kepala Badan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN) Kemenkumham melakukan penandatanganan kerja

sama dengan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional PERADI dalam

rangka penguatan program bantuan hukum diseluruh wilayah Indonesia,

dan kedua pimpinan lembaga tersebut sepakat membuka akses keadilan

yang luas kepada masyarakat miskin dalam mekanisme UU Bantuan

Hukum. Sehingga, sebagai lembaga atau organisasi yang memiliki

program bantuan hukum, maka tentunya sangat diperlukan adanya

pengawasan terhadap Organisasi PERADI dalam menyalurkan dana

bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan. Berkaitan dengan

pengawasan tersebut, melalui kerja sama yang telah disepakati oleh

Kepala BPHN dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional PERADI

maka dalam hal ini Kantor Wilayah Kemenkumham memiliki kewenangan

melaksanakan pengawasan bantuan hukum kepada Organisasi PERADI.

Perlu diketahui pula bahwa pengawasan bantuan hukum merupakan

serangkaian proses pemberian bantuan hukum dimana PERADI selaku

lembaga pemberi bantuan hukum perlu adanya kontrol dalam

melaksanakan fungsinya. Sehingga antara Kantor Wilayah

Kemenkumham dan Lembaga bantuan hukum dalam hal pemberian


73

bantuan hukum bagi masyarakat miskin merupakan sinergitas yang harus

terbangun dengan baik. Selain itu, salah satu tugas dan fungsi Kantor

Wilayah Kemenkumham adalah untuk melakukan pengawasan.

Melihat kepada uraian diatas, maka dapat penulis simpulkan bahwa

pengawasan terhadap Organisasi PERADI yang dalam hal ini terkait

penyaluran dana bantuan hukum diawasi oleh Kantor Wilayah

Kemenkumham, namun pengawasan yang dilakukan oleh Kantor Wilayah

Kemenkumham tersebut bersifat terbatas karena hanya terfokus pada

penyaluran program bantuan hukum saja. Sedangkan terhadap kinerja

menyeluruh dari Organisasi PERADI sampai saat ini tidak ditemukan

adanya sebuah lembaga yang melakukan pengawasan terhadap Organisasi

PERADI.

B. Pola Pengawasan Terhadap Organisasi Advokat Di Luar PERADI

Pada pembahasan sebelumnya penulis telah menguraikan terkait

pengawasan terhadap Organisasi PERADI, yang pada intinya Organisasi

PERADI dalam hal penyaluran dana bantuan hukum diawasi oleh Kantor

Wilayah Kemenkumham. Berkaitan dengan Organisasi Advokat di luar

PERADI, seperti yang diketahui ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1

angka 4 UU Advokat menegaskan bahwa “Organisasi Advokat adalah

organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang ini”.

Apabila melihat ketentuan yang terdapat didalam Pasal 1 angka 4 tersebut,


74

hal ini menunjukkan bahwa Organisasi Advokat yang diakui

keberadaannya adalah Organisasi Advokat yang berdiri setelah

terbentuknya UU Advokat dan dibentuk berdasarkan UU Advokat.

Kemudian melihat kembali kepada Pasal 28 ayat (1) UU Advokat

menegaskan bahwa “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah

profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan

ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk

meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Mengacu kepada ketentuan Pasal

28 ayat (1) tersebut, terlihat jelas bahwa UU Advokat mengkehendaki

hanya ada satu Organisasi Tunggal Profesi Advokat yang menaungi para

Advokat di Indonesia. Yang artinya UU Advokat sendiri secara terang

benderang menganut sistem Organisasi Tunggal (single bar system) yang

sepenuhnya direpresentasikan oleh PERADI. Seperti yang sudah penulis

uraikan sebelumnya, sejarah berdirinya PERADI itu sendiri dibentuk

berdasarkan amanat dari UU Advokat, dan pendiri PERADI adalah 8

(delapan) Organisasi Advokat yang sudah berdiri sebelum terbentuknya

UU Advokat.

Pada perkembangannya, dengan berdirinya PERADI sebagai

Organisasi Tunggal Profesi Advokat yang menjalankan amanat dari UU

Advokat mengalami perdebatan yang cukup panjang. Sehingga UU

Advokat yang berkaitan dengan Organisasi Advokat harus dilakukan uji

materiil berulang kali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun beberapa

putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut adalah sebagai berikut :


75

1. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor

014/PUU-IV/2006

Nomor Putusan : 014/PUU-IV/2006, Tanggal 30 November 2006.

a) Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan

dengan jelas bahwa PERADI sebagai satu-satunya wadah

profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti

luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi

negara.

b) Lebih lanjut amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

menyatakan, bahwa kedelapan organisasi pendiri PERADI

tetap eksis, tetapi kewenangannya sebagai organisasi profesi

Advokat, yaitu kewenangan dalam hal membuat kode etik,

menguji, mengawasi, dan memberhentikan Advokat, secara

resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan

PERADI.

c) Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara

Nomor 014/PUU-IV/2006, mengakibatkan organisasi diluar

PERADI tidak dapat disumpah. H.F. Abraham Amos, dkk,

kembali melakukan upaya uji materiil terhadap Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor

101/PUU-VII/2009 Tahun 2009


76

Nomor Putusan : 101/PUU-VII/2009, Tanggal 29 Desember 2009

Ringkasan Putusan

a) Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk

sebagian;

b) Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di

sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili

hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas

perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para

Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan

dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini

secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak

Amar Putusan ini diucapkan”;

c) Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka

Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak


77

dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-

Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum

menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan

keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de

facto  ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar

Putusan ini diucapkan”;

d) Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun

Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1)

UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang

organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan

Umum;

e) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan

selebihnya.

Pasal yang dirubah :

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

“Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil

sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa

mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat

ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar

Putusan ini diucapkan”.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor

66/PUU-VIII/2010

Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa PERADI adalah satu-


78

satunya Organisasi Advokat yang berwenang menjalankan 8 (delapan)

wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dikatakan :

.....Satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam

UU Advokat adalah satu-satunya wadah profesi Advokat yang

memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi

Advokat (Pasal 2 ayat (1)), pengujian calon Advokat (Pasal 3 ayat (1)

huruf f), pengangkatan Advokat (Pasal 2 ayat (2)), membuat kode etik

(Pasal 26 ayat (1)), membentuk Dewan Kehormatan (Pasal 27 ayat

(1)), membentuk Komisi Pengawas (Pasal 13 ayat (1)), melakukan

pengawasan (Pasal 12 ayat (1)), dan memberhentikan Advokat (Pasal

9 ayat (1) UU Advokat). UU Advokat tidak memastikan apakah

wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan wewenang-

wewenang tersebut berhak untuk tetap eksis atau tetap dapat dibentuk.

Memperhatikan seluruh ketentuan dan norma dalam UU Advokat

serta kenyataan pada wadah profesi Advokat, menurut Mahkamah,

satu-satunya wadah profesi Advokat yang dimaksud adalah hanya satu

wadah profesi Advokat yang menjalankan 8 (delapan) kewenangan a

quo, yang tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi advokat

lain yang tidak menjalankan 8 (delapan) kewenangan tersebut

berdasarkan asas kebebasan berkumpul dan berserikat menurut Pasal

28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan fakta

bahwa dalam pembentukan PERADI, 8 (delapan) Organisasi Advokat

yang ada sebelumnya tidak membubarkan diri dan tidak meleburkan


79

diri pada PERADI.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor

112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015

a) Dalam putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor

36/PUU-XIII/2015 yang menjadi pertimbangan hukum

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengabulkan sebagian

permohononan para Pemohon adalah Mahkamah mengakui

wadah tunggal advokat adalah Peradi, namun disini Peradi

tidak berwenang dalam hal Penyumpahan Advokat sebagai

mana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003

Tentang Advokat. Kedua, Mahkamah Konstitusi berpendapat

harus konsisten dengan mengacu pada Putusan sebelumnya

yang juga menguji Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat

terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada perkara

101/PUU-VII/2009 tentang pentingnya penyumpahan avokat

dilakukan oleh Pengadilan Tinggi meskipun Mahkamah

Agung bersifat tidak berpihak dan Penyumpahan Advokat

diserahkan kepada profesi advokat itu sendiri. Ketiga,

Mahakamah Konstitusi berpendapat bahwa dalil pemohon

tentang pengujian Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003 Tentang Advokat sepanjang frasa “oleh Panitera

Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” adalah tidak beralasan

menurut hukum.
80

b) Dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-

XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 yang menyatakan

mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian;

Menyatakan Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang

terbuka di Pengadilan Tinggi” Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2003 Tentang Advokat (Lemabaran Negara Republik

Indonesia Nomor 49 Tambahan Lemabara Negara Republik

Indonesia 4288) adalah betentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sepanjang tidak

dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-

Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum

menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan

keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de

facto ada yaitu PERADI dan KAI; Menyatakan Pasal 4 ayat

(1) sepanjang frasa “di sidang terbuka di Pengadilan Tinggi”

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia 4288) tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa

“Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib

mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan

profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi

Advokat yang pada saat ini secara de facto ada yaitu PERADI
81

dan KAI” telah membawa dampak yang yang sangat besar

terhadap penyelenggaraan sumpah advokat dan organisasi

advokat, karena dengan adanya putusan dari Mahkamah

Konstitusi (MK) tersebut pertikaian yang sudah lama terjadi

antara PERADI dan KAI akan semakin sulit didamaikan dan

cita-cita membentuk wadah tunggal sesuai yang diamanatkan

UU Advokat akan semakin jauh dari apa yang diharapkan.

5. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Perkara Nomor

35/PUU-XVI/2018

Nomor Putusan : 35/PUU-XVI/2018, Tanggal 28 November 2019

Ringkasan Putusan

a) Penegasan PERADI satu-satunya wadah profesi advokat

memiliki delapan kewenangan : melaksanakan pendidikan

khusus profesi advokat (PKPA); melaksanakan pengujian

calon advokat; mengangkat advokat; membuat kode etik;

membentuk Dewan Kehormatan; membentuk Komisi

Pengawas; melakukan pengawasan; dan memberhentikan

advokat.

b) Keberadaan Organisasi-Organisasi Advokat di luar PERADI

yang ada saat ini tidak dapat dilarang sebagai wujud kebebasan

berserikat dan berkumpul yang dijamin Pasal 28 dan Pasal 28E

ayat (3) UUD 1945. Hanya saja, Organisasi Advokat itu tidak

berwenang menjalankan 8 (delapan) kewenangan itu


82

sebagaimana termuat juga dalam Putusan Mahkamah (MK)

Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011.

c) Khusus kewenangan penyumpahan atau pengangkatan

advokat, di masa mendatang Organisasi-Organisasi selain

PERADI, harus segera menyesuaikan dengan Organisasi

PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang

melekat 8 (delapan) kewenangan termasuk kewenangan

pengangkatan advokat. Penegasan Mahkamah Konstitusi (MK)

ini tidak terlepas dari keinginan kuat untuk membangun

marwah advokat sebagai profesi mulia (officium nobile) demi

penguatan integritas, kompetensi, dan profesionalitas.

Bahwa dengan demikian, berdasarkan UU Advokat yang kemudian

ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 35/PUU-

XVII/2018 yang menguatkan dan menegaskan kembali putusan-putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya dapatlah disimpulkan bahwa

PERADI berkedudukan sebagai satu-satunya Organisasi Advokat di antara

Organisasi-Organisasi Advokat lainnya yang berhak secara eksklusif untuk

menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi

Advokat sebagaimana ditentukan oleh UU Advokat. Sedangkan Organisasi

Profesi Advokat lain selain PERADI tetap diakui keberadaanya sebagai

pelaksanaan atas berserikat dan berkumpul, namun kedudukannya

bukanlah sebagai Organisasi Advokat yang berwenang untuk menjalankan

8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat


83

sebagaimana telah diberikan secara atributif oleh UU Advokat kepada

PERADI.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) diatas,

menunjukkan bahwa meskipun kewenangan terkait Organisasi Advokat

telah diputus berulang kali oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun pada

kenyataannya putusan tersebut tidak sepenuhnya dijalankan atau dipatuhi

oleh semua pihak.

Berbicara mengenai Organisasi Advokat di luar PERADI, dengan

melihat kepada salah satu Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor

66/PUU-VIII/2010 Mahkamah menegaskan bahwa :

“satu-satunya wadah profesi Advokat yang dimaksud adalah hanya satu

wadah profesi Advokat yang menjalankan 8 (delapan) kewenangan a quo,

yang tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi advokat lain yang

tidak menjalankan 8 (delapan) kewenangan tersebut berdasarkan asas

kebebasan berkumpul dan berserikat menurut Pasal 28 dan Pasal 28E ayat

(3) UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa dalam pembentukan

PERADI, 8 (delapan) Organisasi Advokat yang ada sebelumnya tidak

membubarkan diri dan tidak meleburkan diri pada PERADI”.

Sehingga dalam hal ini dapat penulis simpulkan bahwa Organisasi

Advokat di luar PERADI yang mendirikan PERADI berdasarkan amanat

dari UU Advokat diakui keberadaannya berdasarkan salah satu putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 66/PUU-VIII/2010. Organisasi-

Organisasi Advokat pendiri PERADI tersebut meliputi sebagai berikut:


84

1. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);

2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);

3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);

4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);

5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);

6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);

7. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM); dan

8. Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Tidak hanya 8 (delapan) Organisasi Advokat diatas yang diakui

keberadaannya sebagai Organisasi Advokat di luar PERADI, tetapi juga

Organisasi Advokat lainnya yang berdiri setelah terbentuknya UU

Advokat sampai dengan saat ini, seperti Organisasi Advokat Kongres

Advokat Indonesia (KAI), Organisasi Advokat Federasi Advokat Republik

Indonesia (FERARI) dan Organisasi Advokat lainnya. Adanya kebebasan

berserikat dan berkumpul untuk membentuk suatu organisasi yang dijamin

oleh UUD 1945, dijadikan dasar dibentuknya berbagai Organisasi Advokat

baru di luar PERADI. Dengan bermunculan Organisasi Advokat baru di

luar PERADI, hal ini menunjukkan bahwa eksistensi terhadap profesi

advokat dalam setiap tahunnya semakin meningkat. Sehingga tidak heran

di Indonesia sendiri terdapat begitu banyak Organisasi Advokat di luar

PERADI.

Berkaitan dengan banyaknya Organisasi Advokat di luar PERADI,

menurut penulis memberikan kerumitan tersendiri, mengapa tidak, karena


85

salah satunya akan mempengaruhi pembinaan terhadap para Advokat.

Selain itu, akan berpotensi lebih cenderung ke arah meninggikan value

kelompoknya daripada persaingan yang sehat dalam rangka pengabdian

kepada hukum itu sendiri. Dalam kaitan ini, keberagaman bisa menjadi

ancaman memperlemah posisi Advokat secara keseluruhan di mata

masyarakat dan negara, khususnya di hadapan para stakeholder yaitu

aparat penegak hukum lainnya. Kemudian terdapat celah yang bisa

dimanfaatkan para advokat yang melanggar kode etik profesi. Adapun

celah yang dimaksud ialah, Jika terdapat Advokat dari organisasi X

(misalnya) kemudian melanggar Kode Etik Organisasi X maka advokat

tersebut bisa berpikir “andai saya menyalahi kode etik, maka saya hanya

tinggal keluar dari Organisasi X dan pindah ke organisasi lain”. Hal ini

tentu bisa menjadi motif jahat Advokat untuk menyelamatkan dirinya dan

kredibilitas Organisasi Advokat akan turun.

Mengingat kembali pelanggaran yang pernah terjadi dalam kasus

Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M. Dalam kasus tersebut terjadi

pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Advokat Indonesia khususnya

yang berkaitan dengan profesionalitas advokat dalam hal wewenang

advokat dalam menerima perkara. Perbuatan yang dilakukan oleh Dr.

Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., dianggap melanggar Pasal 4 ayat (2)

UU Advokat mengenai Sumpah Advokat dan Pasal 6 mengenai alasan

pemberian tindakan terhadap advokat. Selain melanggar UU Advokat, Dr.

Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., juga melanggar Kode Etik Advokat
86

Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KEAI) yaitu Pasal 3 huruf (b) dan

Pasal 4 huruf (J) mengenai hubungan advokat dengan klien. Setelah

terbukti melanggar  UU Advokat dan KEAI, Dr. Todung Mulya Lubis,

S.H., LL.M., dijatuhi sanksi pemberhentian secara tetap dari Advokat oleh

Dewan Kehomatan Kode Etik Profesi Advokat Organisasi Advokat

PERADI karena Dr. Todung Mulya Lubis, S.H.,LL.M., merupakan bagian

dari anggota Organisasi Advokat tersebut. Namun tidak lama sete;ah itu,

Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., mengajukan banding ke Organisasi

Advokat KAI dan beliau dijatuhi hukuman berupa “tidak dapat

menjalankan profesi advokatnya selama satu setengah bulan” oleh Dewan

Kehormatan Kode Etik Profesi Advokat KAI.

Melihat kepada kasus Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.,

menunjukkan bahwa penerapan ketentuan sanksi yang dijatuhkan oleh

Organisasi Advokat kepada Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., tidak

begitu efektif. Hal ini dikarenakan Advokat yang telah melakukan

pelanggaran terhadap KEAI dapat berpindah dari Organisasi Advokat yang

satu kepada Organisasi Advokat yang lain agar dapat menghindari

ketentuan sanksi yang terdapat didalam UU Advokat dan KEAI yang

diberikan oleh Organisasi Advokat yang sebelumnya telah menaunginya.

Sehingga, dengan banyaknya Organisasi Advokat di luar PERADI,

tentunya sangat diperlukan adanya suatu lembaga pengawas yang

melakukan pengawasan terhadap kinerja Organisasi Advokat di luar

PERADI tersebut, agar kasus serupa Dr. Todung Lubis, S.H., LL.M., tidak
87

terulang kembali dikemudian hari.

Pengawasan yang dimaksud dalam hal ini, ialah pengawasan yang

bertujuan untuk menertibkan banyaknya Organisasi Advokat di luar

PERADI, mencegah adanya potensi Organisasi Advokat di luar PERADI

menjalankan kewenangannya secara sewenang-wenang, serta menjadikan

Organisasi Advokat sebagai organisasi yang semata-mata bertujuan untuk

memberikan bantuan dan perlindungan terhadap masyarakat. Namun

disamping itu, bentuk dari pengawasan yang akan dilakukan terhadap

Organisasi Advokat di luar PERADI tersebut haruslah tidak merampas

atau melanggar hak Organisasi Advokat sebagai profesi yang bebas,

mandiri dan bertanggung jawab.

Mengenai pengawasan, melihat kepada Bab X tentang Organisasi

Advokat Pasal 29 UU Advokat menegaskan bahwa :

1) Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi

Advokat bagi para anggotanya.

2) Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota.

3) Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.

4) Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan

dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung

dan Menteri.
88

5) Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi

kewajiban menerima calon Advokat yang akan melakukan magang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g.

6) Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib

memberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik

bagi calon advokat yang melakukan magang.

Mengacu kepada ketentuan Pasal 29 UU Advokat diatas khususnya

ayat 2, 3 dan 4, maka dapat penulis uraikan sebagai berikut :

1. Dalam hal ini bahwa setiap Organisasi Advokat harus memiliki

buku daftar anggotanya, yang berarti buku daftar anggota tersebut

dapat dijadikan sebagai bukti, misalnya bahwa benar Organisasi

Advokat X memiliki jumlah angggota yang sekian banyaknya,

sehingga dengan terdaftarnya nama-nama advokat dalam organisasi

yang menaunginya, maka Advokat tersebut tentunya tidak dapat

bergabung ke dalam 2 (dua) Organisasi Advokat yang berbeda.

2. Kemudian salinan buku daftar anggota dari masing-masing

Organisasi Advokat harus disampaikan kepada Mahkamah Agung

(MA) secara berkala, sehingga Mahkamah Agung (MA)

mengetahui bahwa jumlah anggota dari masing-masing Organisasi

Advokat berjumlah sekian banyaknya dalam setiap tahun. Selain

itu, ketika ada seorang Advokat yang melakukan pelanggaran kode

etik profesi serta kejahatan, maka Mahkamah Agung (MA) akan


89

lebih mudah mengetahui Advokat tersebut bernaung pada

Organisasi Advokat yang mana, dengan melihat salinan buku

daftar nama-nama Advokat yang telah disampaikan oleh

Organisasi Advokat. Sehingga dalam hal ini, tidak ada Organisasi

Advokat yang berani tidak mengakui Advokat sebagai anggotanya

apabila ternyata dikemudian hari Advokat tersebut telah melakukan

suatu pelanggaran atau kejahatan, karena Mahkamah Agung (MA)

sendiri telah memiliki salinan buku daftar nama-nama Advokat

yang bernaung pada Organisasi Advokat yang ada di Indonesia.

3. Perlu diketahui pula bahwa penyampaian informasi tentang data

dan administrasi Organisasi Advokat kepada Mahkamah Agung

(MA) dan instansi lainnya merupakan salah satu bentuk

pengawasan yang sangat penting, disamping itu melalui informasi

data dan administrasi Organisasi Advokat yang disampaikan secara

berkala sesuai dengan ketentuan rentang waktu yang telah

ditetapkan tentunya mempermudah Mahkamah Agung (MA) untuk

mengetahui Advokat yang telah berhenti atau diberhentikan oleh

Organisasi Advokat yang menaunginya. Dalam hal ini advokat

yang diberhentikan oleh Organisasi Advokat tidak dapat lagi

melakukan praktek beracara di dalam maupun diluar pengadilan.

Pada dasarnya didalam UU Advokat itu sendiri tidak ditemukan

satu kata pun terkait bentuk pengawasan terhadap Organisasi Advokat di

luar PERADI. Demikian pula ketentuan yang terdapat didalam Pasal 29


90

UU Advokat tidak memberikan kejelasan secara gamblang terkait bentuk

pengawasan yang akan dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Namun

ketentuan yang terdapat didalam Pasal 29 tersebut justru berkaitan dengan

prosedur pendaftaran Organisasi Advokat untuk mendapatkan sebuah

legalitas. Kemudian sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985

(selanjutnya disingkat dengan UU Mahkamah Agung), Pasal 36

menegaskan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan

pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris”. Melihat kapada

ketentuan Pasal 36 UU Mahkamah Agung tersebut, maka arah pengawasan

yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) mengarah kepada individu

(yang dalam hal ini ialah Advokat), terlepas Advokat tersebut berasal dari

Organisasi Advokat manapun yang ada di Indonesia.

Adapun penjelasan dari Pasal 36 tersebut ialah sebagai berikut :

1) Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat Hukum

dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah.

2) Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang

menyangkut peradilan, para Penasehat Hukum dan Notaris berada

di bawah pengawasan Mahkamah Agung.

3) Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan

Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian Penasihat

Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan masing-

masing.
91

4) Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Penasihat

Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan dan

pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara, organisasi

profesi masing-masing terlebih dahulu didengar pendapatnya.

Sehingga dalam hal ini dapat penulis simpulkan bahwa selama ini

pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) mengarah

kepada individu (Advokat), bukan mengarah kepada kinerja dari

Organisasi Advokat yang merupakan tempat bernaung bagi para Advokat.

Selain itu, didalam UU Advokat sendiri tidak ditemukan pula ketentuan

yang memuat bentuk pengawasan terhadap Organisasi Advokat di luar

PERADI itu seperti apa. Dengan demikian Organisasi Advokat di luar

PERADI tidak mempunyai lembaga pengawas. Padahal seperti yang

diketahui, pengawasan merupakan sarana yang sangat penting untuk

dilaksanakan guna membentuk Organisasi Advokat sebagai (officium

nobile) serta dapat menjadi daya kontrol terhadap banyaknya Organisasi

Advokat yang ada di Indonesia. Selain itu, tidak adanya pengawasan

terhadap Organisasi Advokat di luar PERADI merupakan salah satu faktor

yang mengakibatkan pembentukan wadah tunggal Organisasi Advokat

mengalami perdebatan yang cukup panjang sampai dengan saat ini, dan

Organisasi Advokat yang baru pun mulai bermunculan dengan eksisnya.

Adanya potensi Organisasi Advokat di luar PERADI melakukan

perbuatan yang sewenang-wenang dalam menjalankan kewenangannya

karena merasa tidak ada lembaga yang mengawasi setiap aktivitas yang
92

dilakukannya, tentunya akan mengakibatkan Organisasi Advokat di luar

PERADI tersebut kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Dan tidak

sedikit pula terkadang ketika masyarakat sudah tidak percaya terhadap

Organisasi Advokat X (misalnya), ketidakpercayaan masyarakat tersebut

juga berimbas terhadap Organisasi Advokat di luar PERADI yang lainnya.

Padahal Organisasi Advokat di luar PERADI yang lainnya tersebut telah

menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan yang

telah diberikan oleh undang-undang kepadanya. Menyikapi hal demikian,

maka menurut penulis negara mempunyai kewajiban untuk melindungi

hak warga negara dalam menjalankan kebebasan berserikat dan

berkumpul. Sehingga pada titik inilah seharusnya negara memiliki peran,

peran untuk memastikan bahwa Organisasi Advokat sebagai (officium

nobile) telah menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuannya, serta

memastikan bahwa hak-hak warga negara dalam hal ini yaitu klien tidak

dirugikan.

Mengacu kepada UU advokat, memang benar pada dasarnya

Organisasi Advokat merupakan sebuah organisasi yang bebas, mandiri dan

bertanggung jawab. Namun disamping itu, untuk menciptakan keteraturan

serta menjunjung tinggi profesi advokat sebagai “Officium Nobile” maka

tentunya perlu dilakukan suatu pengawasan terhadap kinerja dari

Organisasi Advokat. Karena seperti yang diketahui, seiring dengan

kemajuan zaman yang semakin modern, maka tentunya pola kehidupan

masyarakat pun akan terus berubah. Perkembangan hukum pun cenderung


93

lamban dalam merespon perubahan-perubahan yang ada didalam

masyarakat. Perubahan yang paling kentara adalah perubahan terhadap

ekonomi dan perdagangan yang semakin mengglobal, sehingga diperlukan

seorang Advokat yang profesional yang siap merespon perkembangan dan

siap memberikan perlindungan kepada masyarakat. Untuk mendapatkan

kualitas Advokat yang baik dan menjunjung tinggi kode etik profesi

Advokat, maka diperlukan sebuah wadah untuk saling bertukar pikiran

mencurahkan ide untuk melakukan sebuah inovasi baru dalam rangka

mendorong perkembangan Advokat dan juga sekaligus tempat untuk

mengawasi para Advokat, agar tetap sesuai dengan koridornya. Hal ini

menunjukkan bahwa bibit-bibit Advokat lahir dari organisasi-organisasi

yang menaunginya.

Maka dari itu peran serta secara aktif Mahkamah Agung (MA)

dalam hal pengawasan terhadap Organisasi Advokat dapat dilakukan

dengan cara “memverifikasi Organisasi Advokat” yang tujuan akhirnya

adalah dapat meningkatkan kualitas profesi Advokat. Dengan demikian

Mahkamah Agung (MA) harus turut andil dalam mewujudkan Advokat

sebagai profesi yang terhormat “Officium Nobile” yang mengedepankan

hukum dan keadilan, dengan tidak melepaskan fungsi Advokat yang

bebas, mandiri dan bertanggung jawab.

Melihat kembali Surat Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor

73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015, yang dalam hal ini

Ketua Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan aturan bahwa Ketua


94

Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan

terhadap Advokat yang memenuhi syarat, baik yang diajukan oleh

Organisasi Advokat yang mengatasnamakan PERADI maupun pengurus

Organisasi Advokat lainnya, hingga tebentuknya Undang-Undang

Advokat yang baru. Mengacu kepada kewenangan yang diberikan kepada

Ketua Pengadilan Tinggi tersebut, maka sudah seharusnya Pengadilan

Tinggi juga diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap

banyaknya Organisasi Advokat di luar PERADI. Karena seperti yang

diketahui Organisasi Advokat mengusulkan nama-nama Advokat kepada

Pengadilan Tinggi untuk diambil sumpah atau janji. Ketika Organisasi

Advokat mengusulkan permohonan untuk melakukan penyumpahan

terhadap Advokat yang bernaung pada organisasinya, maka tentunya

memerlukan sebuah verifikasi serta syarat-syarat yang harus dipenuhi

terlebih dahulu. Dengan demikian Pengadilan Tinggi dapat melihat apakah

Organisasi Advokat tersebut telah menjalankan kewajibannya dengan baik,

serta apakah Advokat yang diusulkan oleh Organisasi Advokat telah

memenuhi ketentuan yang terdapat didalam Undang-Undang Advokat.

Sehingga dalam hal ini, menurut penulis Pengadilan Tinggi seharusnya

diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Organisasi

Advokat.
95

Dapat penulis simpulkan bahwa :

1. Organisasi PERADI sebagai Organisasi Advokat yang diakui secara

sah dan berhak menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan

Pengawasan yang terdapat didalam UU Advokat. Dalam hal

melaksanakan pemberian program dana bantuan hukum kepada

masyarakat miskin, Organisasi PERADI telah bekerja sama dengan

Kepala BPHN. Sehingga untuk urusan penyaluruan program dana

bantuan hukum, Organisasi PERADI diawasi oleh Kantor Wilayah

Kemenkumham.

2. Baik itu Organisasi PERADI ataupun Organisasi Advokat di luar

PERADI, pada kenyataannya tidak memiliki lembaga pengawas.

Sehingga tidak ditemukan bentuk pengawasan terhadap Organisasi

PERADI dan Organisasi Advokat di luar PERADI. Baik itu didalam

ketentuan UU Advokat, maupun didalam ketentuan UU Mahkamah

Agung.
BAB III

URGENSI AKREDITASI TERHADAP SUATU ORGANISASI ADVOKAT

A. Urgensi Akreditasi Terhadap Organisasi Advokat

Akreditasi merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari

evaluasi diri, refleksi, dan perbaikan (Accreditation is a continuous

process of self-evaluation, reflection, and improvement). Akreditasi dapat

juga diartikan sebagai proses evaluasi dan penilaian mutu institusi yang

dilakukan oleh suatu tim pakar sejawat (tim asesor) berdasarkan standar

mutu yang telah ditetapkan, atas pengarahan suatu badan atau lembaga

akreditasi mandiri di luar institusi yang bersangkutan. Hasil akreditasi

merupakan pengakuan bahwa suatu institusi telah memenuhi standar mutu

yang telah ditetapkan, sehingga layak untuk beroperasi dan

menyelenggarakan program-program yang dimilikinya.

Berkaitan dengan organisasi, pada pembahasan sebelumnya

penulis telah menguraikan apa yang dimaksud dengan organisasi, sehingga

dalam hal ini organisasi dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang

merupakan wadah atau sarana untuk mencapai berbagai tujuan atau

sasaran dari program yang telah direncanakan oleh organisasi itu sendiri.

Organisasi selain dipandang sebagai wadah untuk melaksanakan kegiatan

juga dipandang sebagai proses, proses dalam artian menyoroti interaksi

diantara orang-orang yang menjadi anggota organisasi tersebut. Dalam hal


96
ini

97
98

keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh kualitas sumber daya

manusia yang saling berinteraksi dalam mengembangkan organisasi yang

bersangkutan.

Dalam literatur Richard L. Daft, Jonathan Murphy and Hugh

Willmott, mengklasifikasikan organisasi ke dalam empat kelompok besar,

yakni Social entities, Goal-directed, Designed as deliberately structured

and coordinated activity systems, dan Linked to the external environment.

Adapun penjelasan terkait klasifikasi organisasi tersebut adalah sebagai

berikut :

1. Organisasi sebagai entitas sosial (social entities).

Organisasi sebagai entitas sosial adalah inti dari organisasi

sebab organisasi adalah fenomena budaya, politik serta fenomena

ekonomi. Organisasi bukan sekedar mesin, oleh karena itu,

menganggap organisasi sebagai setara dengan mesin atau sebagai

teknologi adalah sangat berbahaya. Organisasi terdiri dari

sekumpulan orang yang saling berinteraksi, berbeda dengan entitas

material. Sekumpulan orang itu menafsirkan situasi mereka sendiri

dan mampu mengabaikan atau menolak dan memperbaiki, baik

secara kolektif dan individual, terhadap tuntutan dan tujuan

organisasi yang telah dibuat oleh mereka.

2. Organisai dengan tujuan yang diarahkan (goal-directed).

Definisi menekankan bagaimana aktivitas organisasi sangat

instrumental (misalnya orang menjadi anggota organisasi kerena


99

ingin memperoleh bayaran, keterampilan, keuntungan atau status).

Artinya, kegiatan tersebut sangat dipengaruhi oleh perhitungan

mengenai bagaimana cara yang paling efektif untuk mencapai

tujuan bersama atau tujuan individu itu dengan cara yang

memungknikan. Dalam konsep ini mengabaikan konflik yang

terjadi di dalam organisasi dan tidak ada kompetensi, persaingan

ide dalam merumuskan tujuan organisasi.

3. Organisasi yang sengaja dirancang terstruktur dan sistem

kegiatannya terkoordinasi (designed as deliberately structured and

coordinated activity systems).

Berbeda dengan sistem aktivitas manusia lainnya, seperti

keluarga yang pembagian dan koordinasi kerja tidak ditemukan.

Dalam organisasi, pembagian dan koordinasi kerja “sengaja

distrukturkan”. Sebagai contoh, dalam organisasi terdapat secara

resmi uraian tugas dan prosedur pelaporan dan lainnya.

4. Organisasi terkait dengan lingkungan eksternal (linked to the

external environment).

Terkait dengan lingkungan eksternal menjadi bagian

penting bagi organisasi untuk menempatkan bahwa organisasi ada

dalam konteks yang lebih luas atau organisasi dapat mengatur

kondisi di luar organisasi.97

97
Machmoed Effendhie. Pengantar Organisasi.
https://www.pustaka.ut.ac.id/m
lib/wp-content/uploads/pdfmk/ASIP420902-M1.pdf., hlm. 10-11. Diakses pada tanggal 29
Januari 2021. Pukul 17.24.
100

Berbicara mengenai akreditasi terhadap organisasi, melihat kepada

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi

Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya

disingkat dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 Tahun 2013),

Pasal 1 angka 2 menegaskan bahwa “Akreditasi adalah penilaian dan

pengakuan terhadap lembaga bantuan hukum atau organisasi

kemasyarakatan yang akan memberikan bantuan hukum yang berupa

klasifikasi/ penjenjangan dalam pemberian bantuan hukum”. Sehingga

dalam hal ini dapat penulis simpulkan, bahwa akreditasi itu sendiri

merupakan sebuah apresiasi yang diberikan kepada suatu organisasi yang

berkembang di lingkungan masyarakat atas keaktifan serta

keberhasilannya dalam melaksanakan program kerja yang telah

direncanakannya. Kemudian berdasarkan Pasal 27 UU Bantuan Hukum

menegaskan bahwa akreditasi dilakukan dengan mengklasifikasikan

Organisasi Bantuan Hukum (selanjutnya disingkat dengan OBH)

berdasarkan :

1. Jumlah kasus litigasi yang ditangani terkait dengan orang miskin;

2. Jumlah kegiatan nonlitigasi;

3. Jumlah advokat dan paralegal yang dimiliki;

4. Pendidikan formal dan nonformal yang dimiliki advokat dan

paralegal;

5. Pengalaman dalam menangani atau memberikan bantuan hukum;


101

6. Jangkauan penanganan kasus;

7. Status kepemilikan dan sarana prasarana kantor;

8. Usia atau lama berdirinya OBH;

9. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;

10. Laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi;

11. Nomor Pokok Wajib Pajak OBH; dan

12. Jaringan yang dimiliki OBH.

Mengacu kepada Organisasi Advokat, seperti yang diketahui

Organisasi Advokat merupakan wadah atau tempat bagi para Advokat

untuk saling meningkatkan kualitas baik itu terhadap advokat itu sendiri

maupun terhadap organisasi yang menaunginya. Dalam hal ini para

advokat yang bergabung ke dalam sebuah Organisasi Advokat tetap berada

pada koridor profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab. Artinya

setiap advokat berhak menyampaikan aspirasi yang dimilikinya terkait

permasalahan hukum yang terjadi. Selain itu, secara gramatikal Organisasi

Advokat dapat diartikan sebagai usaha kerjasama atau bentuk setiap

perserikatan para Advokat dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Mengenai pembentukan sebuah organisasi di Indonesia, seperti

yang diketahui UUD 1945 telah memberikan perlindungan yang

mendasar, hal tersebut terlihat didalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD

1945 yang menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan

berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Mengacu kepada

ketentuan pasal tersebut, maka secara konstitusional para Advokat berhak


102

untuk mendirikan Organisasi Advokat, yang artinya tidak hanya satu

organisasi saja. Namun, dalam pendirian organisasi tersebut haruslah

memenuhi syarat sebagaimana ketentuan pembentukan sebuah Organisasi

Advokat, dan hal yang paling utama ialah pendiri organisasi tersebut

adalah para Advokat. Adanya kebebasan berserikat dan berkumpul ini lah

yang dijadikan dasar para advokat untuk terus membangun eksistensi

berbagai Organisasi Advokat. Sehingga dalam perkembangannya di

Indonesia sendiri terdapat begitu banyak Organisasi Advokat, baik itu

PERADI maupun Organisasi Advokat di luar PERADI. Hal ini

menunjukkan bahwa eksistensi dari suatu Organisai Advokat dalam setiap

tahunnya mengalami peningkatan. Meskipun disamping itu UU Advokat

sendiri harus melakukan uji materiil berulang kali mengenai Organisasi

Advokat. Namun hal yang perlu diingat pula bahwa Organisasi Advokat di

luar PERADI tidak dapat menjalankan 8 (delapan) wewenang yang

terdapat didalam UU Advokat, karena 8 (delapan) wewenang itu hanya

dapat dijalankan oleh PERADI.

Melihat kepada banyaknya jumlah Organisasi Advokat yang

beroperasi sebagai organisasi yang memberikan perlindungan terhadap

masyarakat dalam hal layanan jasa hukum, maka perlu kiranya dibentuk

sebuah lembaga akreditasi yang bertujuan untuk memberikan penilaian

terhadap kinerja Organisasi Advokat yang ada di Indonesia. Sehingga

dengan adanya pemberian akreditasi tersebut, diharapkan masyarakat

memperoleh jaminan tentang kualitas dari organisasi yang dipilihnya,


103

adanya jaminan kualitas dari sebuah Organisasi Advokat di luar PERADI

diharapkan mampu menghindari masyarakat dari perbuatan praktik yang

tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan masyarakat tersebut. Selain

itu, masyarakat juga akan mengetahui bahwa Organisasi Advokat tidak

hanya PERADI saja. Karena berdasarkan pengamatan penulis, kebanyakan

dari masyarakat hanya mengenal PERADI saja sebagai Organisasi

Advokat. Melalui pemberlakuan akreditasi terhadap Organisasi Advokat,

maka tentunya lembaga akreditasi itu sendiri dapat menilai, serta

mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki

oleh suatu organisasi. Dengan melihat kelebihan dan kekurangan yang

dimiliki Organisasi Advokat yang ada di Indonesia, maka hal itu dapat

menjadi koreksi bagi Organisasi Advokat agar kedepannya dapat

menyusun perencanaan pengembangan secara berkesinambungan yang

dapat memperbaiki kualitas dari organisasi itu sendiri dan dapat

memberikan kualitas yang terbaik pula terhadap masyarakat.

Pembentukan lembaga akreditasi ini sejalan dengan teori Hukum

Progresif. Yang dalam hal ini Hukum Progresif merupakan bagian dari

proses searching for the truth (pencarian kebenaran) dan searching for

justice (pencarian keadilan) yang tidak pernah berhenti, artinya Hukum

Progresif akan terus mengalir mengikuti perkembangan zaman dan mampu

menjawab perubahan zaman tersebut dengan segala dasar-dasar yang ada

di dalamnya. Sehingga, untuk menguji (memverifikasi) kualitas dari suatu

Organisasi Advokat yang ada di Indonesia, maka tolok ukur yang dapat
104

dijadikan pedoman antara lain ialah keadilan, dan keberpihakan kepada

masyarakat selaku orang yang menggunakan jasa hukum dari Organisasi

Advokat. Seperti yang diketahui, pada pembahasan sebelumnya penulis

telah menguraikan terkait polemik Organisasi Advokat yang harus dibawa

ke Mahkamah Konstitusi (MK) berulang kali, hingga pada akhirnya

melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru diakui

keberadaan seluruh Organisasi Advokat, baik itu PERADI maupun

Organisasi Advokat di luar PERADI sepanjang organisasi tersebut tidak

menjalankan 8 (delapan) wewenang yang terdapat didalam UU Advokat.

Dengan banyaknya Organisasi Advokat yang ada di Indonesia, Hukum

Progresif mencoba memberikan solusi bagaimana mewujudkan Organisasi

Advokat yang dapat menciptakan ketertiban, keteraturan dan keadilan,

serta kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Mengacu kepada teori

Hukum Progresif tersebut, dalam rangka mewujudkan ketertiban terhadap

banyaknya Organisasi Advokat yang ada di Indonesia, maka pembentukan

lembaga akreditasi merupakan solusi yang baik untuk diterapkan.

Pembentukan lembaga akreditasi ini juga sejalan dengan teori Hukum

Responsif ide atau responsive law dari Nonet dan Selznick yang

menghendaki agar hukum senantiasa diposisikan sebagai fasilitator yang

merespons kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat, dengan karakternya

yang menonjol yaitu menawarkan lebih dari sekedar prosedural justice,

berorientasi pada keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih

dari pada itu mengedepankan pada substancial justice.


105

Berdasarkan uraian diatas, pada dasarnya akreditasi mempunyai

peran yang sangat penting bagi semua pemangku kepentingan

(stakeholders). Hal itu karena hasil akreditasi merupakan salah satu

indikator mutu (quality indicator) dan referensi dalam mengambil

keputusan (decision making reference) untuk berbagai kebutuhan

termasuk peningkatan mutu (quality improvement) pada masa yang akan

datang. Pemangku kepentingan (stakeholder) dalam hal ini ialah sebagai

berikut :

1. Bagi Lembaga. Akreditasi membantu untuk mengetahui sejauh

mana Organisasi Advokat di luar PERADI telah memenuhi kriteria

mutu yang sudah ditetapkan pemerintah atau standar nasional yang

meliputi :

a. Sebagai standar minimal kualitas (minimum standards of

quality);

b. Sebagai referensi bagi semua pihak pada lembaga untuk

melakukan evaluasi terhadap kinerja lembaga (institution's

performance) dan perencanaan jangka pendek dan jangka

panjang (short and long terms planning);

c. Sebagai dasar untuk melakukan perbaikan dan peningkatan

mutu pendidikan pada masa yang akan datang sebagai

bagian dari peningkatan mutu berkelanjutan (sustainable

quality improvement); dan

d. Sebagai bentuk kepatuhan (compliance) terhadap regulasi


106

yang ditetapkan pemerintah serta sebagai bagian dari

akuntabilitas publik (public accountability).

2. Bagi Masyarakat. Akreditasi tidak kalah penting karena mereka

adalah pelanggan utama dari suatu Organisasi Advokat. Diantara

alasan mengapa akreditasi lembaga penting bagi masyarakat karena

hasil akreditasi menggambarkan mutu atau kualitas suatu

Organisasi Advokat. Dengan demikian, masyarakat dapat

mengetahui dan memilih lembaga atau Organisasi Advokat yang

mana yang akan dituju untuk membantu menyelesaikan masalah

hukum yang dihadapinya.

Melalui akreditasi, masyarakat juga dapat mengetahui dan yakin

serta merasa nyaman dengan legalitas sebuah lembaga atau Organisasi

Advokat yang telah terakreditasi. Sehingga dalam perkembangannya

dimasa mendatang, Organisasi Advokat yang dikenal oleh kalangan

masyarakat tidak hanya PERADI, melainkan juga Organisasi Advokat di

luar PERADI yang telah terakreditasi. Apabila suatu Organisasi Advokat

yang ada di Indonesia belum diakreditasi, maka mutu dan legalitas sebuah

lembaga atau Organisasi Advokat tersebut masih mengundang pertanyaan

dari masyarakat. Karena salah satu indikator kualitas atau mutu dari

Organisasi Advokat dapat diketahui melalui status akreditasinya.

Maka dapat disimpulkan bahwa, akreditasi sangat diperlukan untuk

standar ukuran tentang mutu dan kinerja pada suatu lembaga atau

Organisasi Advokat, dimana setiap Organisasi Advokat harus bisa


107

meningkatkan mutu dan kualitas dari anggotanya agar mendapatkan

akreditasi guna membangun semangat untuk terus memperbaiki

kekurangan yang terdapat didalam organisasinya.

B. Kriteria Akreditasi Organisasi Advokat

Dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan adanya kriteria

sebelum memutuskan suatu alternatif pilihan. Kriteria digunakan sebagai

alat ukur untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan, karena kriteria

menunjukkan definisi dari suatu masalah dalam bentuk yang konkrit.

Kriteria adalah standar penentuan atau aturan-aturan dasar yang mana

alternatif keputusan-keputusan diurutkan menurut keinginan kriteria itu

sendiri, atau dengan kata lain adalah suatu istilah umum yang meliputi

konsep-konsep dari atribut dan sasaran.98

Berbicara mengenai kriteria akreditasi Organisasi Advokat, seperti

yang diketahui akreditasi adalah pengakuan formal yang diberikan oleh

badan akreditasi terhadap kompetensi suatu lembaga atau organisasi dalam

melakukan kegiatan penilaian kesesuaian tertentu. Pada pembahasan

sebelumnya telah penulis uraikan bahwa akreditasi terhadap Organisasi

Advokat sangat penting, karena dengan adanya suatu akreditasi tentunya

98
Dody Dharma Nuri. Pengertian Kriterian dan Analisis Multikriteria.
https://www.academia.edu/34827020/BAB_2_LANDASAN_TEORI_2_1_Pengertian_Krit
eria_dan_Analisis_Multikriteria. Diakses pada tanggal 4 Mei 2021. Pukul 13.00, hlm. 11.
108

kinerja dari Organisasi Advokat dapat terawasi sehingga memimalisir

pelanggaran Kode Etik Advokat.

Adapun kriteria akreditasi Organisasi Advokat meliputi sebagai

berikut :

1. Melakukan Verifikasi Organisasi Advokat kepada Lembaga

Akreditasi

Organisasi Advokat dapat melakukan permohonan

verifikasi terlebih dahulu kepada Lembaga Akreditasi terkait

kebenaran laporan, pernyataan dan dokumen yang akan diserahkan.

Melalui tahapan verifikasi dapat terlihat bahwa terdapat

beranekaragam Organisasi Advokat yang ada di Indonesia.

2. Memahami Standar Akreditasi Organisasi Advokat

Tentunya setiap Organisasi Advokat harus memahami

standar akreditasi yang telah ditentukan. Dengan adanya standar

akreditasi yang harus dipenuhi, maka tentunya setiap Organisasi

Advokat dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu terkait apa saja

yang harus disiapkan agar dapat memenuhi standar akreditasi yang

telah ditetapkan.

3. Keaktifan dalam Beracara di Pengadilan

Seorang Advokat dapat beracara dimanapun diseluruh

Nusantara, disemua Lingkungan Peradilan, misalnya dilingkungan

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan


109

Peradilan Tata Usaha Negara. Kedudukan Advokat pada salah satu

Pengadilan Tinggi sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan

Menteri Kehakiman Republik Indonesia hanya untuk kepentingan

pengawasan dan bukan sebagai pembatasan Wilayah kerjanya

sebagai Advokat atau Pengacara. Keaktifan Advokat dalam

mengikuti persidangan merupakan suatu poin penting untuk

Organisasi Advokat yang menaunginya dalam rangka memenuhi

kriteria akreditasi.

4. Keberhasilan dalam Memecahkan Suatu Kasus

Hendaknya setiap Organisasi Advokat mempunyai sebuah

target yang harus dicapai dalam memecahkan berbagai kasus yang

dihadapi. Selain untuk memenuhi kriteria akreditasi, tetapi juga

untuk melatih kepedulian terhadap masyarakat. Adapun kategori

pemecahan kasus yang diharus dipenuhi setidak-tidaknya dalam 1

(satu) tahun berjumlah 70 (tujuh puluh) kasus.

5. Minimnya Pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat

Seperti yang diketahui, ketika seorang Advokat melakukan

pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat maka yang tercoreng tidak

hanya nama Advokat itu saja, tetapi juga Organisasi Advokat yang

menaunginya. Sehingga dalam hal ini untuk memenuhi kriteria

akreditasi Organisasi Advokat, baik itu Advokat ,maupun


110

Organisasi Advokat tidak melakukan pelanggaran terhadap Kode

Etik Profesi Advokat.

6. Sekurang-kurangnya Memiliki 5 (lima) Advokat Senior

Dalam hal ini setidaknya setiap Organisasi Advokat yang

terakreditasi haruslah mempunyai sekurang-kurangnya 5 (lima)

Advokat senior. Setidaknya dengan adanya Advokat senior dapat

memberikan pengajaran dan pengalaman terkait apa yang pernah

didapatkannya.

7. Melakukan Penelitian Hukum dan Menerbitkan Jurnal

Setiap Organisasi Advokat wajib melakukan penelitian

hukum, kemudian setelah melakukan penelitian hukum tersebut

dapat menerbitkan jurnal setidak-tidaknya 2 (dua) jurnal dalam 1

(satu) tahun.

8. Melakukan Pengabdian Kepada Masyarakat

Bersedia membantu dan menolong orang-orang yang

berada dalam kesulitan karena mempunyai suatu permasalahan,

memberikan bantuan jasa-jasa hukum kepada siapapun juga yang

memerlukannya, guna terhindar dari permasalahan yang dihadapi

oleh pencari keadilan. Pengabdian kepada masyarakat juga

merupakan poin penting yang harus dipenuhi, karena melalui


111

program tersebut dapat terlihat Organisasi Advokat apa saja yang

pernah melakukan pengabdian ke masyarakat.

9. Tersedianya Sarana dan Prasarana Organisasi Advokat

Sarana adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat

untuk mencapai makna dan tujuan. Prasarana adalah segala sesuatu

yang merupakan penunjang utama terselenggarakan suatu proses.

Sarana dan prasarana dalam hal ini ialah, terdapat kantor yang

memandai dan adanya ruangan khusus untuk berkonsultasi.

Tujuan diadakannya akreditasi terhadap suatu Organisasi Advokat

adalah untuk memperoleh gambaran umum dan detail tentang kinerja dari

Organisasi Advokat, baik itu berkaitan dengan aspek kelebihan maupun

aspek kekurangan yang terdapat didalam Organisasi Advokat. Selain itu,

akreditasi Organisasi Advokat juga bertujuan untuk menentukan tingkat

kelayakan suatu organisasi dalam menyelenggarakan program-program

yang dimilikinya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap

masyarakat. Selain itu mengingat hukum adalah alat bagi manusia, maka

menurut penulis adanya lembaga akreditasi terhadap suatu Organisasi

Advokat merupakan sebuah daya kontrol yang dapat digunakan dalam

rangka menciptakan keteraturan terhadap banyaknya jumlah Organisasi

Advokat.
112

Melihat kepada perkembangan zaman yang semakin modern,

terdapat beberapa manfaat akreditasi bagi Organisasi Advokat yang

meliputi sebagai berikut :

1) Akreditasi menjadi forum komunikasi dan konsultasi antara

Organisasi Advokat dengan lembaga akreditasi yang akan

memberikan saran perbaikan untuk peningkatan kualitas dari

Organisasi Advokat;

2) Masyarakat dapat melihat dan memilih Organisasi Advokat yang

sudah terakreditasi;

3) Masyarakat akan mengetahui bahwa Organisasi Advokat itu tidak

hanya PERADI, tetapi di luar PERADI juga terdapat Organisasi

Advokat yang diakui keberadaannya;

4) Melalui self evaluation, Organisasi Advokat dapat mengetahui

bahwa program layanan jasa hukum yang dikelolanya berada di

bawah standar atau perlu dilakukan peningkatan terhadap program

layanan jasa hukum tersebut;

Dapat penulis simpulkan bahwa :

Akreditasi sangat diperlukan untuk standar ukuran tentang mutu

dan kinerja pada suatu lembaga atau Organisasi Advokat, dimana setiap

Organisasi Advokat harus bisa meningkatkan mutu dan kualitas dari

anggotanya agar mendapatkan akreditasi guna membangun semangat


113

untuk terus memperbaiki kekurangan yang terdapat didalam organisasinya.

Selain itu kriteria akreditasi merupakan sebuah ukuran atau aturan-aturan

yang bersifat wajib harus dipenuhi oleh setiap Organisasi Advokat.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang sudah penulis uraikan dalam

penelitian, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pola pengawasan terhadap Organisasi Advokat di luar PERADI,

seperti yang diketahui bahwa Organisasi Advokat tidak hanya

PERADI, melainkan juga terdapat Organisasi Advokat di luar

PERADI. Sebagai Organisasi Advokat yang diakui secara sah dan

berhak menjalankan 8 (delapan) wewenang yang terdapat didalam

UU Advokat, dalam hal melakukan pemberian dana bantuan

hukum kepada masyarakat miskin sesuai dengan kerja sama yang

telah disepakati bersama, PERADI diawasi oleh Kantor Wilayah

Kemenkumham. Selain itu, baik Organisasi PERADI ataupun

Organisasi Advokat di luar PERADI, pada kenyataannya tidak

memiliki lembaga pengawas. Sehingga tidak ditemukan bentuk

pengawasan terhadap Organisasi PERADI dan Organisasi Advokat

di luar PERADI. Baik itu didalam ketentuan UU Advokat, maupun

didalam ketentuan UU Mahkamah Agung.

2. Akreditasi sangat diperlukan untuk standar ukuran tentang mutu

dan kinerja pada suatu lembaga atau Organisasi Advokat, dimana

114
115

3. setiap Organisasi Advokat harus bisa meningkatkan mutu dan

kualitas dari anggotanya agar mendapatkan akreditasi guna

membangun semangat untuk terus memperbaiki kekurangan yang

terdapat didalam organisasinya. Selain itu kriteria akreditasi

merupakan sebuah ukuran atau aturan-aturan yang bersifat wajib

harus dipenuhi oleh setiap Organisasi Advokat guna mencapai

ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga akreditasi.

B. Sarann

Berdasarkan pembahasan yang sudah penulis uraikan dalam

penelitian ini, adapun saran dari penulis ialah, hendaknya segera dibentuk

lembaga pengawas yang bertugas melakukan pengawasan terhadap

Organisasi Advokat di luar PERADI. Berkaitan dengan pengawasan

tersebut, hendaknya diberikan kewenangan kepada Pengadilan Tinggi

untuk melakukan pengawasan terhadap Organisasi Advokat di luar

PERADI. Selain itu, pemberian akreditasi terhadap Organisasi Advokat di

luar PERADI diharapkan mampu menciptakan keteraturan dan dapat

diketahui kualitas dari masing-masing organisasi agar kedepannya ketika

hendak mendirikan suatu Organisasi Advokat yang baru haruslah

memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan. Tidak hanya

itu, perihal yang paling mendasar terkait pengaturan Organisasi Advokat

itu sendiri, ialah harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang

Advokat.

Anda mungkin juga menyukai