c
c
c
u
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari¶ah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya
untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang
diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di bidang
Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara. Namun
mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka
titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum, sosiologi hukum dan filsafat hukum
kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis
saya selama ini. Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam seminar
ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para pemakalah yang lain dan para peserta
seminar ini. Saya bukan pura-pura ?
, karena saya yakin sayapun dapat berguru
menimba ilmu dengan mereka.
cc
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa
sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-
tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari
banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab
oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang
menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum
Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-
buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin
mempunyai , dan kaum Muhammadiyin mempunyai
?
. Buku Ustadz Hassan dari Persis, , dibaca orang sampai ke negara-negara
tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek
hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-
Qur¶an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota
keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-
aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu
saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya
komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan
masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa
lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak
mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa
politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan
kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh,
Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta
Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa.
Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum
Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah
menjadikan hukum Islam² setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata ²
sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di
ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat
sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal
yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke
17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini
berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah
para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum
adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas ³orang-orang Moors´ yakni
orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di
kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa
kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka,
mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu
daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-
orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai
peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti
di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya
yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam
suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat
di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa
hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum
Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam "
yang terkenal itu.
Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda
dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan
hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil
dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari
hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian
dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan
para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan
di tanah Jawa.
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui
pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di
tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan,
seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah
keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan,
menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa
dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga
dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam
dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang
hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik.
Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama
kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan
antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan
Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju
harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa
hukum Islam yang berasal dari ³langit´ lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum
adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula
terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum
rakyat pribumi. Mereka ³menemukan´ hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang
tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang
tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya
serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika
Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan,
atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak
terlepas pula dari politik
? kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku
terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat
dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah
ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163
??!
!, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa
bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang
Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -± terutama Cina dan India ² sesuai adat
mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping
itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh
hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah ?
yang disebut Professor Hazairin sebagai ³teori iblis´ itu. Belakangan teori ini menjadi
bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia
sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada
penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena
merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak
heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia
merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas "?
!
# ?
!
#, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,
walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan
penggantinya ialah ³Ketuhanan Yang Maha Esa´ sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan
UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang
Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai
aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah
padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945
itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah ³penerus´ dari Hindia Belanda. Jadi
bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan
Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa ³segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-
undang dasar ini´. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung
berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan
Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan
pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara
Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk
membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara
yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara
kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah.
Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita
harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum
ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses
pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk mendukung
pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945
telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden
dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma
hukum baru yang dilahirkan. u! $? atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah
begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, apalagi
ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai
hukum ekonomi. Namun $?
%? ? atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi
berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan,
sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk
memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan Tindak
Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang
RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita.
Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus
mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa
materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam
undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku,
baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya
undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-
kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar
semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma
hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu
sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat
aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk
jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping undang-undang dasar
terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara
di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di
bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang
tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum
positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa
kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah
hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam
merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika
kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka
kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur
filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita,
dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita
dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu
di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
!"
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang
saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban atas
pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan ³hukum
Islam´ itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam,kita
harus membedakannya antara # ?% dan
. Mengenai syariat Islam itu
sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat
bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur¶an dan al-Hadith itu adalah
syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti
diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur¶an dan hadith-
hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus
membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-
kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan
merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah
itu ² baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu¶amalah ² tidaklah banyak jumlahnya.
Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur¶an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-
kaidah hukum di bidang mu¶amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-
Qur¶an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat
umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap
sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang hukum yang diatur
secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum
perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja.
Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang
dikategorikan sebagai
dan ?& . Kalau kita menelaah hadith-hadith Rasulullah, secara
umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu
banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur¶an dan hadith-hadith syar¶ah telah
mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan
fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para ulama di
kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih
Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syar¶ah telah diangkat menjadi kaidah hukum
positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi
hukum Islam, yang dikenal dengan istilah '
tu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat
luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan
tersirat al-Qur¶an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan
dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab
hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman,
dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang
berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi.
Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa
dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau,
tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan
kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat
kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di
zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas
fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis
pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika
mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun
tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya
menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah
negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut
Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara
yang lain, seperti di Kesultanan Bima.
#$#c
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia,
sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh
umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat
kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu
mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu,
berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu
%
(
menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat
mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi
misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi
oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan
kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah
aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah
hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan
kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum¶at misalnya. Begitu juga di bidang
haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini,
berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya.
Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas
³pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan´ yang dikonstatir ole Professor
Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan
undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan,
negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang
hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab
itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara
ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas
menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-
masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang
Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada "
, maka pada masa
Orde Baru juga telah dirumuskan " , walau dasar keberlakuannya hanya
didasarkan atas Instruksi Presiden.
Suatu hal yang agak ³krusial´ sehubungan dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum
positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-
kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam
dan ?& . Hudud
adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus
sanksinya. Sementara ta¶zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan
sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali
kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada
perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam
kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan
bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan
deliknya, maka delik
pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum
yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi
memang ada perbedaannya.
Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-
prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin
transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan
misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain
pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan
sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan
bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat
dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana
hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara
disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau
akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat
belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi
bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus
diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan
penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat
Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar¶iat yang tegas.
Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman
maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-
masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan
dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas
untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus
nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum
dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak
mengherankan jika ada delik pidana adat ² seperti orang yang secara terbuka menyatakan
dirinya memiliki kemampuan melakukan
?? untuk membunuh orang lain ² yang
sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP
Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum
Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan
sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik
Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi
dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang
lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara
dua orang yang tidak terikat perkawinan² misalnya pasangan kumpul kebo ² bukanlahlah
perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan
kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum
Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana
penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari¶at Islam, hukum
Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat
Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan
kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku.
Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di
bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula
mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai
bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu
sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia
menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam ± dalam pengertian syariat ± yang dijadikan sebagai
sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas
keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi
internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum
poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut
lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan
sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan
kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada
mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai
sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini
akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu
dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum
pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam
merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-
tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum
Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh
Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga
melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu
besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum
Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat
merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum
rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara
kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada
Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.
$#c#c!%
10 Jan 2010
V Ragam
V Republika
Ali Rido
Ada pandangan yang berbeda dalam memahami sunah dan hadis sebagai sumber hukum Islam.
Para ulama sepakat bahwa sunah menempati posisi kedua setelah Alquran dalam sistem hukum
Islam. Sunah berfungsi sebagai penjelas bagi Alquran; memerinci hal-hal yang disebutkan oleh
Alquran secara global; menentukan arti khusus ayat-ayat yang bersifat. umum; menjelaskan ayat
yang mengandung makna yang pelik; serta menguraikan ayat-ayat yang sekilas tampak ringkas.
Dalam kitab Fi Rihab as-Sunnah al-Kutub as-Shahhah as-Sittah, Muhammad Abu Syuhbah
memberikan contoh sunah yang menjelaskan makna ayat Alquran. Suatu ketika para sahabat
kebingungan dengan surat Al-Anam [6]82, "Orang-orang yang beriman dan tidak membaur-kan
iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang memperoleh keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk."Mereka saling bertanya Siapa di antara kita
yang tidak berbuat zalim? Maka, Rasul SAW menjelaskan, yang dimaksud dengan zalim di sini
adalah syirik. Itu sesuai dengan firman Allah, "Sesungguhnya syirik (mempersekutukan Allah)
adalah benar-benar suatu kezaliman yang besar." (QSLuqman[31] 13).
Kedudukan sunah tersebut mendapatkan pengakuan langsung dari Alquran. Dalam surat Al-
Hasyr [59] 7 Allah berfirman, "Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah."Dalam ayat lain dijelaskan, "Barang siapa
menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah. " (QS An-Nisa [4] 7). Firman Allah yang
lain, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu)
bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat." (QS Al-Ahzab
[33] 21).
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ilmu dan kondisi sosial umat Islam, muncullah
sebuah permasalahan di kalangan ulama. Apakah sunah yang sah dijadikan sumber hukum Islam
meliputi perkataan, perbuatan, penetapan, sifat-sifat, dan perilaku Nabi Muhammad SAW?
Ataukah hanya terbatas pada perkataan, perbuatan, dan penetapan Beliau?Perdebatan tersebut
terutama sekali terjadi di kalangan ahli hadis dan ahli hukum Islam. Ali Mustafa Yaqub dalam
bukunya, Kritik Hadis, mengutarakan, kelompok ahli hadis berpendapat bahwa perkataan,
perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW patut dijadikan teladan bagi umat Islam. Oleh
karenanya, menurut para ahli hadis, semua yang berasal dari Nabi menjadi sumber aturan hukum
dalam agama Islam. Sementara menurut ulama fikih, hal-hal yang dapat dijadikan sumber hukum
Islam terbatas pada perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi saja. Sedangkan, sifat-sifat beliau
tidak dapat dijadikan sumber hukum.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, perdebatan itu terjadi karena adanya perbedaan pandangan
terhadap definisi hadis dan sunah. Ulama hadis tidak membedakan antara hadis dan sunah. Bagi
mereka semua yang datang dari Nabi SAW, baik itu dinamakan hadis atau sunah, dapat dijadikan
sumber hukum.Beda halnya dengan ulama fikih yang berpandangan bahwa sunah berbeda
dengan hadis. Sunah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW. Dan, hanya ketiga
hal itulah, menurut mereka, yang dapat dijadikan sumber hukum Islam.
Sedangkan, hadis memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan,
dan sifat-sifat Nabi SAW. Menurut para ulama fikih itu, sifat-sifat Nabi tidak termasuk dalam
kategori sunah, sehingga sifat-sifat tersebut tidak dapat dijadikan sumber hukum Islam, hanya
dapat dijadikan sebagai sumber moral.Oleh karena itu, istilah sunah banyak digunakan oleh
ulama fikih, karena memang tugas mereka adalah menggali hukum Islam dari Alquran dan
tradisi Nabi Muhammad SAW. Adapun istilah hadis lebih banyak beredar di kalangan ahli hadis,
karena tugas mereka melacak apa saja yang datang dari Nabi tanpa harus mengambil kesimpulan
hukum dari hadis yang dikajinya.
Namun, ada pula yang menyatakan sebaliknya, sunah lebih umum dibandingkan hadis. Dalam
Ensiklopedi Islam disebutkan, perbedaan pengertian itu disebabkan adanya perbedaan sudut
pandang para ulama dalam melihat sosok Nabi Muhammad SAW dan perikehidupannya. Ulama
hadis melihatnya sebagai pribadi dan panutan, sedangkan ulama usul fikih memandangnya
sebagai pengatur undang-undang dan pencipta dasar-dasar untuk berijtihad. Wa Allahu Alam.
Bed sya
$#&$#c
# '(# )* $# )++,
Sumber-sumber hukum islam (
# ?) adalah dalil ±dalil syari¶at yang darinya
hukum syari¶at digali. Sumber-sumber hukum islam dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada
dua sisi pandang. Pertama, didasarkan pada sisi pandang kesepakatan ulama atas ditetapkannya
beberapa hal ini menjadi sumber hukum syari¶at. Pembagian ini menjadi tiga bagian :
1. Sesuatu yang telah disepakati semua ulama islam sebagai sumber hukum syari¶at, yaitu al-
Qur¶an dan al-Sunah.
2. Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) ulama sebagai sumber syari¶at,yaitu ijma¶ dan
qiyas.
3. Sesuatu yang menjadi perdebatan para ulama, bahkan oleh mayoritasnya yaitu Urf (tradisi),
istishhab(pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau) maslahah mursalah
(pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan secara bebas), syar¶u man qablana
(syari¶at sebelum kita), dan madzhab shahabat.
Tentang pembagian ketiga ini, al-Nabhani menyatakan bahwa hal-hal yang disangka sebagai
sumber hukum adalah hal-hal yg ditemukan sisi argumentasinya bahwa hal-hal tersebut adalah
hujjah,tetapi status dalil tersebut adalah dzanni atau tidak sesuai dengan apa yg ditunjukkannya.
Diantaranya yang terpenting adalah syari¶at kaum sebelum kita, madzhab sahabat, istihsan dan
maslahah mursalah.
Selanjutnya mengenai istishhab, an-Nabhani mengomentari bahwa ia bukan dalil syara¶. Karena
penetapan sesuatu sebagai dalil syara¶ haruslah dengan hujjah yg qath¶i. Sedangkan dalam
istishhab tidak ada hujjah qath¶I yg menetapkannya menjadi dalil syara¶. Istishhab tak lebih
hanyalah hukum syara¶ sehingga dalam penetapan hukumnya cukup menggunakan dalil dzanni.
Ia adalah metode pemahaman dan istidlal (metode pencarian dalil) bukan sebuah dalil. Senada
dengan pernyatan ini, al-µAmudi tidak menganggap istishhab sebagai sumber hukum.
Sedangkan
& (langkah antisipasi) al-µAmudi tidak menganggapnya sebagai bagian
dari dalil yang mu¶tabarah (diperhitungkan legalistasnya) ataupun mauhumah (yang
dipersangkakan legalistasnya). Ia bukanlah sumber hukum melainkan hanya sekedar kaidah yg
menjadi subordinat dari kaidah dasar ma¶alat al-af¶al (orientasi kemudian). kaidah ini beserta
kaidah-kaidah subordinatnya semisal sadd al-dzara¶I , kaidah al-hiyal (rekayasa hukum) dan
kaidah mura¶at al-khilaf (menghindarkan ketidaksesuaian dengan apa yg disyari¶atkan) dan yg
lain,sumbernya adalah bahwa syari¶at datang dengan tujuan mengedepankan maslahah dan
menghindarkan mafsadah.
Pembagian kedua, didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya,sumber hukum islam
dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber-sumber hukum yg dirujuk secara naql
(dogmatic) yakni al-Qur¶an dan al-Sunah. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah ijma¶,
madzhab sahabat,dan syar¶u man qablana. Bagian kedua adalah sumber-sumber hukum islam yg
diruju¶ secara µaql (penalaran logis) yakni qiyas. Hal lain yg disamakan dengan bagian ini adalah
istihsan,maslahah mursalah,dan istishhab.
Wahbah al-Zuhaili memaparkan analisisnya mengenai sumber-sumber islam secara ringkas.
Menurutnya batasan ringkas mengenai dalil ini bahwasanya dalil-dalil adakalanya merupakan
wahyu dan bukan wahyu. Dalil yg merupakan wahyu adakalanya dibacakan dan tidak dibacakan.
Wahyu yg dibacakan adalah al-Qur¶an dan wahyu yg tidak dibacakan adalah al-sunah.
Sedangkan dalil yg bukan merupakan wahyu bila merupakan kesepakatan pendapat atau analisis
mujtahid disebut ijma¶, bila meruapakan analogi suatu hal terhadap hal lain mengenai status
hukumnya Karena adanya persamaan dalam µillatnya maka disebut qiyas. Sedangkan bila tidak
memiliki criteria-kriteria di atas maka dinamakan istidlal,dan klasifikasi ini memiliki bermacam-
macam jenis.
Selanjutnya ia mengulas sisi independensi dalil-dalil ini menjadi dua klasifikasi. Dalil ±dalil ini
adakalanya merupakan sumber hukum mandiri dalam pensyari¶atan yaitu al-Qur¶an, al-
sunah,ijma¶ dan sumber-sumber yg berkaiatn dengannya sebagaimana istihsan,¶urf dan madzhab
sahabat. Adakalanya dalil-dalil ini merupakan sumber hukum islam yg memiliki ketergantungan,
tidak mandiri yaitu qiyas. Yang dimaksud dalil mandiri adalah bahwa sumber hukum ini dalam
penetapan hukumnya tidak membutuhkan pada yang lain. Sedangkan qiyas diklasifikasikan tidak
mandiri karena dalam penetapan hukum ia masih membutuhkan pada ashl (kasus lama) atau
maqis µalaih (sumber analogi) yg terdapat dalam al-Qur¶an,al-sunah,dan ijma¶. Selain itu dalam
penggunaannya qiyas membutuhkan pengetahuan dan analisis yg mendalam tentang µillat dari
hukum ashl. Sedangkan ijma¶ walaupun dalam penggunaannya masih membutuhkan sandaran
namun hal ini tidak mencegah keberadaanya sebagai dalil mandiri karena hal tersebut dibutuhkan
sebagai legalitas dan keabsahan ijma¶ sebagai sumber hukum,bukan dari sisi istidlal (penggalian
hukumnya) nya, berbeda dengan qiyas.
Bila ditelusuri lebih jauh,sumber-sumber hukum islam baik yg telah disepakati para ulama dalam
penetapannya maupun yang masih manjadi perdebatan pada dasarnya terkonsentrasi pada
sumber uhukum naqliyah(dogmatic) yakni al-Qur¶an dan al-sunah. Karena sumber ±sumber
hukum tidaklah ditetapkan keabsahannya melalui potensi akal namun bergantung kepada adanya
legitimasi dari la-Qur¶an dan al-sunah. Karena itulah al-Qur¶an dan al-sunah adalah dalil primer
dalam perujukan hukum-hukum syari¶at. Hal ini didasarkan pada dua sisi :
1. Muatan al-Qur¶an dan al-sunah mencakup keterangan hukum-hukum parsial dan cabangan
secara detail sebagaimana hukum-hukum zakat,perdagangan,dan sanksi-sanksi pelanggaran.
2. Muatan al-Qur¶an dan al-sunah yg mencakup kaidah universal yg menjadi sandaran hukum-
hukum parsial dan cabangan sebagaimana ijma¶ adalah hujjah dan merupakan sumber
hukum,begitu pula qiyas dan lain sebagainya.
Legalitas al-Sunah sebagai sumber hukum juga tertera dalam al-Qur¶an. Hal ini juga didasarkan
pada dua sisi pandang:
Berdasarkan alasan-alasan di atas maka al-Qur¶an adalah sumber dari segala sumber hukum
islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum syari¶at al-Qur¶an haruslah dikedepankan.
Bila di al-Qur¶an tidak ditemui maka beralih kepada al-Sunah karena al-sunah adalah penjelas
bagi kandungan al-Qur¶an. Apabila di al-sunah tidak ditemukan maka beralih kepada ijma¶
karena sandaran ijma¶ adalah nash-nash al-Qur¶qn dan al-Sunah. Bila dalam ijma¶ tidak
ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas.
Dengan demikian maka tertib urutan hukum islam adalah al-Qur¶an, al-Sunah, ijma¶ dan qiyas.
Hal ini berdasarkan hadits yg diriwayatkan dari Mu¶adz bin Jabal ketika ia diutus oleh
Rasulullah SAW menjadi qadli di Yaman. Rasulullah bertanya : ³Ketika dihadapkan suatu
permasalahan, dengan cara bagaimana engkau member putusan? Mu¶adz menjawab ³ Saya akan
memutusinya berdasarkan kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi ³ Bila engkau tidak menemuinya
di dalam kitab Allah?´ Mu¶adz menjawab´ Saya akan memutusinya dengan sunah Rasulullah´.
Rasul kembali bertanya´ Bila tidak engkau temukan di dalam sunah Rasulullah?´ Mu¶adz
menegaskan ³ Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam
menerapkannya.´kemudian Rasulullah menepuk dada Mu¶adz dan berkata´ Segala puji bagi
Allah yg memberi petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yg diridlai oleh Allah dan rasul-
Nya´.
Diriwayatkan dari Abu Bakar ra,ketika beliau menjumpai suatu permasalahan, maka beliau
merujuk kepada kitabullah. Bila tidak dijumpai di dalam kitabullah maka beliau memutusinya
dengan sunah Rasulullah SAW. Bila beliau kesulitan menemukannya,maka beliau
mengumpulkan beberapa tokoh pilihan dari sahabat kemudian mengajaknya musyawarah. Bila
forum bersepakat maka Abu Bakar memutusinya dengan kesepakatan itu. Demikian pula
langkah Umar bin Khathab serta sahabat yg lain dan diikuti oleh kaum muslimin setelahnya.
#/&".&!0&c&#$$#!
##//#$#&/#$#1///2
Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :
12&".!/#78!#!.
2/$&".$#$1#!&!3!!&!
!$ maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila
masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits........
$#&$#c
2"9
:2#7"9"9
Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa
yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu
mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata 1. Diantara beberapa nama
itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur¶an.
Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu
dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan
menggambarkan ucapan (%
&) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur¶an
memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat
nama al Qur¶an sendiri berasal dari kata qira¶ah (bacaan) dan didalam qira¶ah
terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab
yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta
untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak
menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitabkitab
suci lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya
dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang
mutawatir (sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang
mutawatir itu mencatatnya dengan jujur dan cermat.2
#1#, Al Qur¶an berasal dari kata ~*, #, ?
atau
yang berarti mengumpulkan () dan menghimpun (
)
huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur 3. Dikatakan
Al Qur¶an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu
pengetahuan. Allah berfirman :
~
!!
#??
!!
!
"
!
#
?
/1#;#:
Penafsiran Al-Qur¶an kelompok Rasional Liberal :
Kini muncul kelompok orang yang menafsirkan Al-Qur¶an dengan dominasi rasio yang biasa
dikenal dengan sebutan kelompok rasional liberal. Mereka menggunakan tiga pendekatan yakni
tafsir Metaforis, tafsir Hermenetika dan pendekatan sosial kesejarahan.
Tafsir Metaforis :
Tafsir metaforis ialah mengambil makna kiasan misalnya ada pernyataan ³Tikus-tikus
dipenjara.´ Pernyataan ini tidak rasional, maka kata tikus dimaknai koruptor. Demikian pula
pernyataan bahwa tongkat (asha) nabi Musa menjadi ular dianggap tidak rasional, karena kalau
tongkat bisa menjadi ular berarti telah mengubah sunnatullah padahal sunnatullah tidak akan
pernah berubah.
Supaya rasional, maka diambillah makna kedua dari kata µasha yakni pegangan. Dengan
demikian maka pernyataan menjadi :´ Musa melemparkan pegangan (baca: agama Islam) ke
tengah-tengah masyarakat . Agama Musa tersebut ternyata sanggup mengalahkan isme/ agama
(ular-ular) ahli sihir, sehingga agama Musa menang lantas menyebar cepat sekali, menjalar-jalar
bagaikan ular.
Demikian pula pernyataan Al-Qur¶an yang menyatakan bahwa nabi Ibrahim a.s tidak mempan
dibakar api, adalah pernyataan tidak rasional, sebab tidak mungkin api yang panas menjadi
dingin. Karena kalau demikian berarti sunnatullah api berubah. Supaya rasional, maka
pernyataan tersebut harus diitafsirkan sbb : ³ Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang
sangat panas bagaikan api´.
Selintas upaya rasionalisasi Al-ur¶an ini bagus sekali tetapi ketika ditanya, ³Bagaimana tafsir
bahwa nabi Isa lahir dari rahim Maryam yang perawan. Apakah rasional ?´. Pati kelompok ini
tidak sangat sulit menjawab secara tepat dan rasional.
Tafsir Hermenetika :
Ialah menafsirkan ayat al-Qur¶an dari sisi batini. Contoh : Tidak ada satu ayat pun bahkan satu
hadits pun yang melarang perbudakan. Akan tetapi banyak sekali ayat Al-Qur¶an dan hadits yang
menjelaskan bahwa apabila seorang muslim melakukan pelanggaran atas aturan tertentu, ia
terkena finalti, yakni harus memerdekakan seorang hamba sahaya (budak belian). Kalau begitu
pada hakikatnya, pada sisi batininya Al-Qur¶an melarang perbudakan. Sampai di sini dapat
difahami. Akan tetapi kemudian bergeser kepada persoslan poligami.
Menurut kelompok Rasional Liberal, Allah memang memerintahkan seorang pria muslim untuk
menikah dengan perempuan yang baik akhlaqnya sampai batas maksimal empat orang isteri.
Akan tetapi Al-Qur¶an sendiri langsung menjelaskan bahwa apabila kamu khawatir berbuat tidak
adil, lebih baik satu isteri saja. Bahkan hadits nabi menjelaskan bahwa pria yang tidak bersikap
adil dalam berpoligami, di akhirat kelak akan berjalan merangkak dengan lidah yang menjulur.
Kalau begitu ± demikian kelompok rasional Liberal ± pada prinsipnya pernikahan dalam Islam
adalah monogamy dan mengharamkan poligami.
Padahal poligami dilaksanakan oleh nabi dan banyak para sahabat nabi. Bagaimana mungkin
para sahabat tidak memahami pesan batini Al-Qur¶an.
Muncullah pertanyaan bagi kelompok Rasional Liberal :´ Apakah adil itu adalah sama rata atau
proporsional ?´. Apakah warisan bagi perempuan sebesar setengah dari bagian laki-laki yang
Allah tetapkan dinilai tidak adil sehingga perlu direvisi ? Bukankah aturan Islam itu telah
sempurna ?´. Kalau aturan Allah masih perlu revisi, mengapa Allah tidak menurunkan nabi yang
baru ?´.
Pendapat-pendapat kelompok rasional liberal yang lebih didominasi oleh akal/ ratio telah
mendapatkan penentangan hebat dari para pemikir Islam lain yang tafaqquh fiddin.
/1#;#:
Kritik Terhadap Upaya Rasionalisasi dalam Menafsirkan Al-Qur¶an :
Sebenarnya upaya rasionalisasi tafsir Al-Qur¶an bukanlah hal baru, misalnya penafsiran
Muhammad Abduh tentang surat al-Fil yang berbeda dengan tafsiran terdahulu. Menurut tafsir
Ibn Abbas dan lain-lain, burung Abábil itu melempar pasukan gajah dengan batu dari neraka
(sijjil), Setiap burung membawa tiga butir batu, dua butir di kedua kakinya dan satu butir di
paruhnya. Batu tersebut adalah batu kecil dari tanah yang membara. Tetapi Muhammad Abduh
dengan tafsir metaforis rasionalnya berpendapat lain, menurutnya sijjil bukanlah batu dari neraka
tetapi berupa virus. Dengan serangan virus itulah tentara Abrahah menjadi sakit parah dan
akhirnya mati.
Rasionalisasi Al-Qur¶an dilakukan dengan pendekatan tafsir Metaforis, misalnya tentang
mukjizat nabi Musa. Nabi Musa memukulkan tongkat ke laut sehingga terbelah menjadi jalan.
Menurut kelompok rasional itu tidaklah mungkin sebab menyalahi sunnah Allah. Sunnah Allah
yang bergerak di dalam hukum kausalitas merupakan ketetapan yang pasti, tidak berubah.
Demikian juga ketika nabi Ibrahim dibakar tetapi tidak mati gara-gara apinya menjadi dingin,
padahal sifat api sebagai sunnah Allah adalah panas. Dengan demikian tidak mungkin api yang
panas menjadi dingin karena kalau begitu sunnah Allah tentang api telah berubah. Kalau sunnah
Allah berubah maka hukum alam pun berubah, kalau hukum Alam berubah-ubah maka tidak
dapat dibuat rumus-rumus ilmu Alam, kalau begitu ilmu Alam tidak lagi menjadi ilmu pasti.
Untuk mengomentari ini, ada baiknya dikedepankan dulu pandangan Din Syamsudin. Menurut
Din, dalam mengkonseptualisasikan Islam, umat Islam menghadapi dua problema intelektual.
Pertama, ketika Islam diyakini sebagai agama yang berlandaskan wahyu, umat Islam dihadapkan
kepada problema yang menyangkut hubungan akal dengan wahyu. Kedua, ketika Islam diyakini
sebagai kehidupan, umat Islam dihadapkan kepada persoalan hubungan antara agama dan
persoalan kehidupan (sekuler).
Upaya rasionalisasi ayat Al-Qur¶an dalam batas-batas tertentu sah-sah saja karena Islam memang
rasional sehingga Islam itu diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal (Ad-Din al-Aql).
Namun batasan rasional atau tidaknya, logis atau tidaknya sesuatu kejadian sangat tergantung
kepada kemajuan berfikir dan kebudayaan termasuk perkembangan sains teknologi yang
berkembang saat itu.
Dalam hal ini Richard Thamas (1993) dalam bukunya berjudul ³:The Passion of Western Mind´
menulis sebuah judul ³The Crisiss of Modern Science´ menyatakan bahwa ilmu Barat yang
spektakuler itu ternyata menghadapi krisis antara lain setelah sekian ratus tahun meyakini
³certainty principle´, salah satu basic sains tentang kepastian hubungan sebab ± akibat atau ³if X,
then Y´ tetapi pada perkembangan berikutnya ternyata ada juga ³Uncertainty principle´.
Kausality ternyata terlalu simplistik. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling
mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana hubungan kausality di antara mereka. Bahkan menurut
Thomas Kuhn, dalam sains terdapat akumulasi data yang bertentangan yang akhirnya
menimbulkan krisis paradigma dan setelah itu timbullah suatu sintesis yang imajinatif, yang
akhirnya memperoleh rekognisi ilmiah, sedangkan yang terjadi ke arah itu bersifat non-rasional.
Karena itu ilmu pengetahuan yang sekarang dianggap sebagai sesuatu yang relatif. S
Sebenarnya alam sebagai fakta dengan segala hukumnya adalah absolut, tetapi ilmu pengetahuan
alam yang ditemukan manusia bersifat relatif. Sebagai contoh, bahwa Al-Qur;an menjelaskan
bahwa planet itu ada sebelas (ihda µasyrata kaukaban), tetapi para ahli astronomi menyebutkan
hanya sembilan. Demikian puluhan tahun pendapat itu mendominasi. Kemudian ditemukan lagi
satu planet sehingga berjumlah 10, kini terakhir ditemukan satu planet lagi sehingga menjadi
sebelas. Jadi jumlah planet sebagai fakta adalah absolut namun pengetahuan manusia tentang
planet bersifat relatif.
Di samping itu perlu difahami bahwa ada perbedaan antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu
(science). Dalam kesimpulan penulis, pengetahuan itu bisa benar bisa salah. Pengetahuan yang
benar disebut al-µilmu atau haq, sedangkan pengetahuan yang salah disebut persepsi atau opini.
Pendek kata, pada hakikatnya, kebenaran (al-haq, al-µilmu) adalah mutlak, absolut, sedangkan
yang berbeda-beda adalah persepsi orang tentang kebenaran.
Manusia dengan rasionya berusaha mencari kebenaran (ilmu). Caranya, setiap data yang masuk
ke otak akan diolah dengan paradigma berfikirnya sehingga menjadi sebuah pengetahuan
(kesimpulan), tetapi apakah kesimpulan itu sebagai ilmu atau hanya persepsi belumlah pasti.
Karena itu wajar kalau kesimpulan seseorang tentang sesuatu suka berubah-ubah. Teori yang
hari ini dianggap benar tetapi beberapa tahun kemudian direvisi bahkan dibuang. Dalam proses
menemukan kebenaran itu, manusia sering harus menempuh kesalahan-kesalahan yang banyak
tiada terhingga, atau bersifat trial and error.
Untunglah turun wahyu. Fungsi wahyu adalah untuk membantu manusia agar jangan terlalu lama
atau jangan terlalu sulit menemukan kebenaran, terutama dalam persoalan-persolan metafisika
atau tentang hakikat sesuatu. Dan sangat mungkin kalau hanya mengandalkan kekuatan nalar
semata, terlalu banyak hal yang tak dapat ditemukannya padahal ilmu sangat penting dimiliki
untuk bekal di dunia ini, misalnya apa arti hidup, apa itu mati, bagaimana setelah mati, apa itu
syetan dan bagaimana sikap manusia terhadap syetan. Wahyu memberikan informasi seputar
masalah-masalah di atas yang tidak mungkin dapat ditemukan melalui penelitian empirik.
Dalam pandangan penulis, manusia dengan rasio yang berfikir berlandaskan kausality, tidak
dinilai serba mampu untuk mencapai segenap ilmu, karena rasio memiliki daya deteksi yang
terbatas. Oleh karena itu, apabila rasio dijadikan sebagai ukuran segenap kebenaran agaknya
terlalu riskan.
Dengan hubungan kausality sebagaimana dijelaskan di atas, di Barat hanya dikenal dua katagori
ilmu, yakni Empirical Science (ilmu Empirik) dan Rational Science (ilmu rasional) Empirical
science adalah manakala kebenarannya yang bersumber kepada indera terutama mata, dengan
kata lain dapat dilihat, diobservasi atau dibuktikan melalui eksperimen, misalnya ilmu
kedokteran, Fisika, Kimia, Biologi, dll. Jika dalam uji coba tersebut tidak terbukti berarti teori itu
salah.
Sedangkan Rational science ialah kebenaran yang bersumber kepada rasio (akal). Benar
tidaknya sesuatu diukur oleh signifikansi hubungan antara sebab dan akibat. Apabila terjadi
hubungan sebab dan akibat yang jelas, maka itu dikatakan logis, rasional dan dianggap benar.
Tetapi jika hubungan antara sebab dan akibat itu tidak nampak jelas maka dinilai tidak rasional
dan salah.
Di luar Empirical science dan Rational science adalah belief (kepercayaan) semata-mata dan
bukan ilmu. Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin, malaikat, termasuk cerita tentang
mukjizat, karena persoalan tersebut tak dapat dibuktikan dengan indera maupun dengan rasio,
maka dinyatakan bukan ilmu melainkan sekadar kepercayaan.
Apakah paradigma demikian bisa digunakan dalam memahami Islam?. Ini nampaknya agak sulit.
Kalau kita menganalisis dengan teliti ilmu-ilmu atau aturan yang terdapat dalam Al-Qur¶an, akan
banyak ditemukan ilmu-ilmu yang mungkin dinilai tidak rasional karena antara sebab dan akibat
hukum, sering tidak terdeteksi. Di dalam Al-Qur¶an banyak sekali ayat-ayat yang agak sulit
difahami, agak sulit mencari hubungan sebab ± akibat. Sebagai contoh Allah mengharamkan
babi. Pertanyaannya adalah mengapa babi itu diharamkan, apa sebabnya. Ini sangat sulit dijawab.
Paling-paling jawabannya adalah karena memang Allah telah menetapkan demikian, titik.
Keharaman babi berbeda dengan keharaman arak (khamr). Haramnya arak mudah difahami oleh
akal karena arak dapat mengakibatkan mabuk dan merusak otak. Penetapan hukum haram atas
arak sangat logis ± rasional. Demikian juga sebab-sebab haramnya zina, berjudi, membunuh ±
walaupun Al-Qur¶an tidak menjelaskan sebab akibatnya ± tetapi akal/ rasio sudah bisa
memahaminya. Lain lagi perihal air liur anjing. Hadits ini menyatakan :
ϪϨϋ Ϳ ϲοέ Γήϳήϫ ϰΑ Ϧϋ ϝΎϗ: Ϳ ϝϮγέ ϝΎϗ Ϣ˷Ϡγ ϭ ϪϴϠϋ Ϳ ϰ˷Ϡλ :ϡ ϙΩ Ρ ˯ ϥ· έϭϩ ρ ύϝϭ Ϋ · ϩ ϱϑΏ
ϝϙϝ ϥ·
Ώ έ ΕϝΏ ϥϩ ϝϭ Ε έϡ ωΏα ϩ ϝ αύϱ
Dari Abâ Hurairah r.a ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, bersih-kanlah bejana salah
seorang di antaramu, apabila dijilat anjing dengan membersihkan sebanyak tujuh kali, salah
satunya dengan tanah (HR. Muslim).
Hadits serupa berasal dari µAli ibn Hujr al-Saµdy, dari µAli ibn Mushâr, dari Aµmasy, dari Abâ
Razain dan Abâ Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari Mu\ammad ibn Rafi¶, dari Abd Razaq, dari
Maµmar, dari Hamam ibn Munabbah, dari Abâ Hurairah.
Menurut hadits di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh kali, satu kali
menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus dengan tanah bukan dengan sabun.
Apakah hal itu karena di zaman nabi belum mengenal sabun? Tentu tidak sesederhana itu
jawabannya. Namun untuk dapat memahami mengapa harus dicuci dengan tanah memang sangat
sulit.
Hal ini besar kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon yang sangat beragam dalam
tanah. Multi karbon sangat efektif dalam menghilangkan racun termasuk virus rabies, sedangkan
sabun hanya mengandung beberapa karbon saja yang mustahil dapat membunuh virus rabies.
Muncul lagi pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana, bejana itu harus dibasuh tujuh
kali di antaranya satu kali dengan memakai tanah. Tetapi ketika berburu kelinci menggunakan
anjing terlatih (muµallam), terus anjing ini menggigit kelinci, tidak ada satu hadits pun yang
mengharuskan mencuci leher kelinci bekas gigitan anjing itu dengan tanah. Mengapa demikian?´
Selintas pertanyaan ini menyudutkan dan sulit dijawab. Akan tetapi apabila ditanyakan kepada
ahlinya, rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita bandingkan dengan bisa ular. Apabila manusia digigit oleh ular kobra, maka dalam
beberapa menit saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit saja bisa ular yang masuk melalui
pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang sengaja diperas dari mulut kobra itu. Apabila bisa ular
itu diperas dari mulutnya kemudian ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak
berbahaya bahkan justeru menjadi obat. Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur anjing tadi.
Air liur yang keluar ketika anjing menjilat dan ketika tetap dalam mulutnya, terdapat perbedaan
besar.
Contoh lain ialah tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena penyakit maag,
tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau perut sangat lapar dapat
mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi tidak demikian kalau lapar karena puasa. Kalau
perut sedang lapar akan sulit tidur, tetapi kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur.
Mengapa demikian?
Contoh lainnya masih tentang puasa adalah bahwa ketika Nabi berbuka puasa, Nabi taµjil
(mempercepat buka puasa) hanya memakan tiga biji kurma bukan dengan makan yang banyak.
Mengapa demikian? Menurut ilmu kedokteran, ketika berpuasa, lambung (maag) itu kosong.
Dengan berbuka menggunakan kurma (manis) akan mempercepat pembakaran dan segera dapat
mengganti glukosa (gula darah) yang berkurang selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma?
Dengan kurma yang sedikit yang masuk ke dalam lambung, maka darah akan mengalir ke
lambung sebagai energi sehingga lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah lambung memiliki
energi yang cukup kuat barulah diisi dengan makanan yang banyak, sehingga lambung bisa
menjalankan fungsinya dengan baik. Berbeda jika lambung itu langsung diisi dengan makanan
yang banyak tanpa ³pemanasan´, maka lambung memerlukan banyak darah sehingga darah dari
otak akan turun ke lambung, akibatnya otak kekurangan darah, ini berarti otak kekurangan
oksigen sehingga jadi mengantuk.
Dengan mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta perhatian bahwa
apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah walaupun untuk sementara waktu dinilai
kurang rasional namun jangan tergesa-gesa menolaknya. Sebab ukuran rasional dan tidaknya
sesuatu sangat tergantung kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan
demikian, tidak boleh hanya karena akal manusia belum bisa menemukan hubungan sebab
akibatnya, lantas dengan serta merta ajaran Islam (ayat Al-Qur¶an) yang dianggap tidak rasional
(untuk sementara waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera penafsir.
Kejadian yang lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya mukjizat. Misalnya
Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas, Tongkat Nabi Musa a.s menjadi ular, serta Nabi
Muhammad SAW ber-Isra Mi¶raj. Apabila kejadian ini diukur dengan ilmu dalam batasan
rasional, maka pasti akan dianggap irrasional dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok
pemikir Rasional menyatakan mukjizat seperti itu hanyalah mitos doktrinal, tidak ubah dongeng
Lampu Aladin (fiktif). Dan karena anggapannya itu, mereka lebih suka melakukan
reinterpretasi dengan pendekatan rasional metaforis.
Seandainya semua hal harus rasional, lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang lahir dari rahim
Maryam yang masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina. Apakah ada tafsiran yang
lain?
Kejadian yang aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami seperti mukjizat bukanlah ilmu
Empirik karena tidak dapat diulang-ulang melalui kegiatan eksperimen, Bukan pula Ilmu
Rasional karena interrelasi sebab ± akibatnya sulit ditemukan, tetapi termasuk dalam katagori
ilmu Suprarasional atau kejadian Supranatural. Kebenarannya hanya dicapai dengan hati (qalbu)
yang percaya, atau bisa disebut haqq al-yaqân.
Apalagi kalau menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka yang sama
sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat dibayangkan. Kebenaran ilmu tersebut hanya
dibuktikan dengan ruh yakni setelah manusia mati. Ilmu yang demikian disebut dengan
Metarasional. Dalam paradigma Al-Qur¶an disebut Ilmu Gaib.
Berdasarkan kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa sebenarnya ilmu
itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam pemikiran di Barat. Keempat macam ilmu
itu adalah ilmu Empirik (µAin al-yaqin), Ilmu Rasional (µIlmu al-yaqin), Suprarasional (Haqq al-
yaqin) dan Metarasional (µilmu al-Ghaib). Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik dan ilmu
Rasional dikatagorikan Ilmu Bayány. Ilmu Suprarasional merupakan ilmu Burhány, sedangkan
Metarasional disebut ilmu µIrfány.
Di luar yang empat itu ada yang disebut irrasional, yakni manakala kejadian tersebut sangat
mustahil menurut akal, misalnya dikatakan bahwa benda itu diam dan pada saat yang sama
benda itu bergerak. Ini irrasional. Termasuk ke dalam irrasional adalah tahayyul. Irrasional
bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan) atau kepercayaan tak berdasar.
/1#;#:
Di dalam ajaran Islam, banyak sekali perintah dan larangan nabi yang seakan tidak masuk akal
sehingga beberapa ulama melakukan rasionalisasi melalui penafsiran metaforis.
Lantas apakah sesuatu yang tidak dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya manusia banyak
melakukan perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Sebagai contoh, seorang
professor doktor di bidang agama akan tetap menggunakan resep dari dokter walaupun tulisan
pada resep itu tidak dapat dibaca dengan matanya dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia
menaati resep dokter bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur¶an
yang berfungsi sebagai resep, obat (syifá), maka kalau sementara ini akal belum mampu
menerima apa yang dikandung oleh Al-Qur¶an, sebaiknya diterima saja dahulu, nanti di saat
kemudian, apa-apa yang dianggap tidak rasional sangat mungkin menjadi rasional juga. Jadi
pada dasarnya baik suprarasional maupun metarasional seluruhnya masih dalam koridor rasional.
Apakah tafsir Al-Qur¶an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi ar-Ra¶yi
yang diancam neraka?.
Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih dahulu memahami kriteria tafsir bi ar-Ra¶yi yang
diperbolehkan.
Menurut Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : ³At-Tafsâr fâ Qawáµid µilmi at-
Tafsâr´, dijelaskan bahwa para sahabat biasa menafsirkan Al-Qur¶an dengan ra¶yu, hal ini
dilakukan apabila mereka tidak menemukan tafsirnya dalam hadis mutawátir, juga tidak terdapat
dalam Ijmaµ ulama´. Adapun tafsâr bi ar-Ra¶yi yang dilarang adalah min gair µilm (tanpa imu)
tetapi sekadar mengikuti selera. Tafsir ra¶yu tidak boleh kalau meninggalkan pemahaman yang
sudah biasa difahami dari lafaÑ-lafaÑ Al-Qur¶an .
Apabila mencermati tafsir Al-Qur¶an yang dilakukan oleh NII KW IX, maka segera dapat
diketahui bahwa penafsiran mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku penafsiran yang telah
disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf. Berdasarkan kriteria tafsir bi ar-ra¶yi di atas,
maka tafsâr bi ar-ra¶yi NII KW IX secara akademis tidak dapat diterima.
c <c
$!
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab:36)
&c
Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya
adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-
Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran
adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat
rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah
semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak
ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini,
muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan
Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan
kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti
Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari
keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya
perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang
sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan
Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena,
memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu
atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti.
Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka
berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi
Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena, Sunnah
dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada
pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai
dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir
zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina
Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi
yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif
pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi
berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi
tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi
kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim
dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke
waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman
seseorang.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena
sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar
keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama
Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu,
muslimin, mau tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari
pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga
seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.
6!
Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah.
Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras
tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga
untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i. (al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa
al-Ihthiyath, hal.9). Ijtihad juga diartikan menguras tenaga dan jerih-payah untuk memperoleh
hukum syar'i yang bersifat dugaan dari Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Ihtihsan dan sebagainya.
Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara
umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di antara
kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan qiyas dalam
ijtihad dan sebagian lagi menolak.
#/6!
Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun demikian, dari
keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak ditemukannya
ketentuan hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh. Atau,
dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang ada.
Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan
pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu
hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang
tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk
opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang
menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela
dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah
menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim
harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus
dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-
ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya
untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan
perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum.
Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan
kebenarannya.
6!#$#
Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar perjalanan manusia kepada
Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan manusia untuk tidak memilih jalan lain atau
berjalan di jalan yang salah. Sehingga manusia dengan sendirinya wajib memastikan dirinya
untuk berada di dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad muslimin. Dasarnya adalah
dengan adanya Maksum maka i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya.
Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal merupakan i'tiqad tanpa kepastian untuk
didapatkan dalam praktik kehidupan muslim. Maka muslimin mengejar idealisme kesempurnaan
Islam dengan berusaha mendapatkan nilai ideal. Namun, karena agama samawi ini tidak
memberikan jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara takwin, maka Nilai Islam yang
ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya pada kebenaran Ilahi.
Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat dari usaha maksimal sebagai manusia untuk
melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan Allah.
Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang di-i'tiqadi dengan nilai
kebenaran yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian, usaha yang dilakukan oleh muslimin
untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran, Hadits/Sunnah,
Ijma' dan Akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena:
Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan
nilai absolut, hanya ada pada Allah dan Maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih
merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi
dinyatakan benar oleh pandangan muslimin.
Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam
yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang
lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang
dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup.
Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.
Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan muslim, maka
muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni ia harus selalu berada dan
berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan
kewajiban muslimin.
Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban tersebut telah terlepas dari
persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam ijtihad, seperti:
a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?
Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua pecahan, yaitu kelompok Ahl al-Ra'yu
dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini pula kelompok kalam terbagi menjadi
Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan qubuh
(buruk); dan kelompok Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits nabawi.
Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada persoalan: adakah kini masih
terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan untuk berijtihad?
Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang sangat penting, yaitu fiqih itu
sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria
Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman
seseorang terlihat dengan bentukan (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan
ijtihad dan mujtahid memegang peran yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam
kehidupan manusia.
Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan: "Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap
golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya."
Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta pengertian
sempurna tentang realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-Quran menyatakan
bahwa tafaqquh ialah spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu
fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk memperdalam
pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini.
'#$#c#
Islam bukan merupakan satu sisi penilai terhadap persoalan, tapi Islam merupakan penilai dan
penilaian dari semua sisi. Semua permasalahan, baik yang berhubungan dengan dunia, politik,
masyarakat, ekonomi, dan juga semua permasalahan yang berhubungan dengan sisi-sisi yang
tidak diketahui oleh ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar manusia mengetahui kedua sisi
tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat hukum di dalamnya.
Karena itu, muslim yang ber-tauhid tentu saja tidak hanya memandang dari satu sisi saja dan
melupakan sisi lain. Islam, yang kesempurnaannya melebihi agama lain, semua hukumnya
bergabung dengan politik. Semuanya terikat dalam politik. Shalat bersenyawa dengan politik.
Haji, zakat, pelaksanaan negara, semuanya berhubungan dengan politik. Kaum isti'mar
(penindas)-lah yang berusaha hendak memisahkan dan mengesampingkannya.
Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari faqih) merupakan fokus perjalanan Islam di tengah
kehidupan Islam. Dinyatakan dalam ungkapan: "Fuqaha adalah benteng Islam seperti benteng
kota untuk membentengi kota." Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris Nabi."
Jadi, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah faqih (yang menguasai fiqih)
yang dapat menjaga Islam. Maka ulama akan masuk dalam standar keulamaan dengan predikat
faqih-nya, untuk menjaga Islam. "Demikianlah sesungguhnya perjalanan semua hal dan ahkam
ada pada tangan ulama Ilahi, penanggung-jawab halal dan haram-Nya."
Nama-Nama Al-Qur¶an
Adapun nama ±nama al Qur¶an yaitu :
1. Al kitab (kitabullah),yang merupakan sinonim dari kata Al Qur¶an artinya,kitab suci sebagai
petunjuk bagi oranh yang bertakwa.nama ini diterangkan dalam Al-Qur¶an surat al-Baqarah ayat
2.
2. Az-zikr,artinya peringatan,nam ini di terangkan dalam Al-Qur¶an surat al-hijr ayat 9.
3. Al- furqan, artinya pembeda,nama ini diterangkan dalam surat al Furqan ayat 1.
4 As-suhuf berate lembaran-lembaran,seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur¶an surat Al- bayinah
ayat 2.
1. Assabi¶uthiwaal, yaitu tujuh surat yang panjang,ketujuh surat itu yaitu al-baqarah (286), al-
A¶raf (206), Ali Imran (200), an-nisa (176), al an¶am (165),al-maidah (120), dan Yunus ( 109)
2. Al-Miuun, yaitu surat yang berisi seratus ayat lebih.Maksudnya surat-surat tersebut memiliki
ayat sekitar seratus ayat atau lebih. Misalnya,surat Hud (123 ayat),Yusuf (111 ayat), dan At-
Taubah (129 ayat).
3. Al-Matsaani, yaitu surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Maksudnya surat-surat
tersebut kurang dari seratus ayat.Misalnya,surat Al-anfal (75 ayat),ar-rum (60 ayat),dan al-
hijr(99 ayat).
4. Al- Mufashshal, yaitu surat-surat pendek seperti al-ikhlas,ad-duha,dan an-nasr.suat-surat
seperti ini kebannyakan di temukan dalam juz ke 30.
Fungsi Al-Qur¶an
1.Petunjuk bagi Manusia.
Allah swt menurunkan Al-Qur¶ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam
surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)
2. Sumber pokok ajaran islam.
Fungsi AL-Qur¶an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh
segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti
hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.
3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam AL-Qur¶an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat
yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari
ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah
dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur¶an.
4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.
Turunnya Al-Qur¶an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.
#7 6!
#1$!6!$#/#1!##/#/#/
#. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum
tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw
pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan
al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber
tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ".
Kepada uAli bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan
ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka
engkau hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai
the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa
disebut arro'yu mencakup dua pengertian :
2
#/###!##1
#/#!&".&!2
$2
#7##7#$#/
#!2
/#!$#6!!#//&".
& =,2
#6!
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi
berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak
absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk
pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak
berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa /
tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan u ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah
mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
"$#&6!
#6!/#!#$#!#&#!#
#$$#-
1c!!!7
'2&c!!!
Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria
berikut ini:
1. Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi
perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang
dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang
bertentangan dengan dasar syara¶
2. Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada
lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa
yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.
3. Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran
atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari
yang memberi hadits.
4. Hadits itu tidak ber¶illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan
suatu hadits)
5. Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin
daripadanya.
"27c!!!
1. Hadits Shahih li-dzatih yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syarat diatas.
Contoh:
Rasulullah SAW bersabda, ³Islam itu dibangun di atas lima perkara. Syahadat bahwa
tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan dan berhajji.´
2. Hadits Shahih li-ghairih yaitu hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan dlabith
tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur hingga karenya berderajat hasan, lalu
didapati padanya jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi
kekurangan yang menimpanya itu.
Contoh:
Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk
menggosok gigi tiap akan shalat (HR Bukhari Muslim)
Hadits ini bila kita riwayatkan dari Bukhari dan Muslim, menjadi hadits yang shahih
dengan sendirinya. Karena keduanya meriwayatkan dari jalan Al-A¶raj bin Hurmuz (117
H) dari Abi Hurairah ra. Isnad ini dengan jelas menetapkan keshahihan hadits.
Namun bila kita lihat lewat jalur periwayatan At-Tirmizy, maka hadits ini statusnya
menjadi shahih li ghairihi (menjadi shahih karena ada hadits lainnya yang shahih).
Berbeda dengan Bukhari dan Muslim, At-Tirmizy meriwayatkan hadits ini lewat jalur
Muhammad bin Amir yang kurang kuat ingatannya. Lalu lewat jalur Abu Salamah dari
Abu Hurairah ra. Maka segala riwayatnya dianggap hasan saja. Namun karena ada
riwayat yang shahih dari jalur lain, maka jadilah hadits ini shahih li ghairihi.
2#c!!!
Sebenarnya di dalam sebuah hadits yang berstatus shahih, masih ada level atau martabat lagi.
Ada yang tinggi nilai keshahihannya, ada yang menengah dan ada yang agak rendah.
Semuanya disebabkan oleh nilai kedhabitan (kekuatan ingatan) dan keadilan perawinya. Ada
sebagian perawi yang punya kekuatan ingatan yang melebihi perawi lainnya. Demikian juga dari
sisi µadalah-nya, masing-masing punya nilai sendiri-sendiri.
Kalau kita susun berdasarkan kriteria itu, maka kita bisa membuat daftar berdasarkan dari yang
nilai keshahihannya paling tinggi ke yang paling rendah.
1. Ashahhu¶l-asanid
Hadits yang bersanad ashahhu¶l-asanid, predikat ini seringkali juga dikatakan dengan
istilah silsilatuz-zahab. Diantara yang mencapai level tertinggi adalah:
Az-Zuhri (Ibnu Syihab Al-Quraisi Al-Madani, seorang tabi¶i yang jalil) dari
Salim bin Abdullah dari ayahnya (Abdullah bin Umar ra).
Muhammad bin Sirin dari Abidah bin Amr dari Ali bin Abi Thalib ra.
Ibrahim an-Nakha¶i dari µAlqamah dari Ibnu Mas¶ud ra.
Al-Bukhari mengatakan bahwa ashahhul asanid adalah sanad dari Nafi¶ dari Ibnu Umar
ra. Sedangkan Abu Bakar bin Abi Syaibah mengatakan bahwa Ashahhul asanid adalah
sanad Az-Zuhri dari Ali bin Al-Nusain dari ayahnya (Al-Husain bin Ali).
2. Muttafaq-µalaihi
Yaitu hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya oleh kedua imam hadits,
Bukhary dan Muslim. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan juga oleh Muslim dengan
riwayat yang satu dan mereka berdua sepakat menshahihkannya. Diantara kitab-kitab
yang mengumpulkan hadits yang berstatus muttafaq alaihi ini adalah µUmdatul Ahkam
karya Al-Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi (541-600H).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary sendiri, sedang Imam Muslim tidak
meriwayatkan.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri, sedang Imam Bukhary tidak
meriwayatkan.
Hadits Shahih yang tidak secara langsung dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim,
melainkan hadits itu telah memenuhi kriteria atau syarat-syarat Bukhari-Muslim. Hadits
dengan status seperti ini disebut dengan istilah Shahihun µala syartha¶i¶l-Bukhary wa
Muslim. Meski keduanya tidak meriwayatkan. Syarat-syaratnya yaitu rawi-rawi hadits
yang dikemukakan terdapat dalam kedua kitab shahih Bukhary atau Shahih Muslim.
Dikatakan demikian karena ada hadits tertentu yang tidak terdapat di dalam kitab shahih
Bukhari atau kitab Shahih Muslim, namun memiliki perawi yang terdapat di dalam kedua
kitab itu. Karena perawinya diterima oleh Bukhari dan Muslim, maka meski hadits itu
tidak tercantum di dalam kedua kitab shahih, derajatnya dikatakan sebagai shahih juga,
namun dengan tambahan kata µala syarti albukari wa muslim.
Hadits Shahih yang menurut syarat Bukhary sedang beliau tidak meriwayatkannya.
Hadits Shahih yang menurut syarat Muslim sedang beliau tidak meriwayatkannya.
Yaitu yang tidak menurut salah satu syarat dari Imam Bukhari dan Muslim
SYARAT-SYARAT HADITS SHAHIH
Kriteria keshahihan sanad, baik dilihat dari kebersambungan sanad maupun dari segi kapasitas
dan kualitas perawi, dan sanad hadits tersebut memiliki musyahid dan muttabi¶.
F. KRITERIA KESHAHIHAN HADITS
Ulama dari berbagai bidang keislaman sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah
hanya hadits yang berkualitas shahih. Maka para Muhaddits menetapkan criteria kesahihan
hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.
a. Kriteria kesahihan sanad hadits
Menurut Muhammad Al- Ghazali, keshahihan sanad hadits hanya terdiri dari dua syarat yaitu
:
- Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah dikenal sebagai penghapal yang cerdas,
teliti dan benar- benar memahami apa yang didengarnya, kemudian setelah ia
meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Pada konteks ini perawi disebut dhabit.
- Disamping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya,
bertakwa kepada Allah serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.
Pada konteks ini perawi disebut µadil.
Pendapat Muhammad Al- ghazali berbeda dengan pendapat Muhadditsin. Menurut mereka,
ketersambungan sanad mutlak adanya, karena bagaimana mungkin suatu berita dapat
dipercaya jika tidak jelas asal- usulnya.terlebih lagi berita itu disandaran pada Rasulullah.
Oleh karena itu, sanad hadits yang terputus , baik mursal (termasuk mursal sahabi), mungati,
maupun Mu¶dal menurut Muhaddisin hal tersebut menyebabkan suatu hadits menjadi dhoif.
b. Kriteria kesahihan matan hadits
Muhammad Al- ghozali menetapkan tujuh criteria keshahihan matan hadits :
a) Matan hadits sesuai dengan Al- qur¶an.
b) Matan hadits sejalan dengan matan hadits shahih lainnya.
c) Matan hadits sejalan dengan fakta sejarah.
d) Redaksi matan hadits menggunakan bahasa arab yang baik.
e) Kandungan matan hadits sesuai dengan prinsip- prinsip umum ajaran agama islam.
f) Hadits itu tidak bersifat syaz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam
periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan dapat dipercaya)
g) Hadits tersebut harus bersih µillah audihah ( yakni cacat yang diketahui oleh para ahli
hadits, sedemikian sehingga mereka menolaknya).
BAB III
KESIMPULAN
Imam syafi¶II mengatakan hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi 2
syarat yaitu pertama : hadits tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqaf (adil dan Dhabth)
kedua : rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad atau dapat juga
tak sampai kepada Nabi.
HaditsI shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan dhabit sampai akhir sanadnya, tak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (µillat).
Matan hadits yang shahih belum tentuI sanadnya shahih. Sebab boleh jadi dalam sanad
hadits tersebut terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung/salah stu
periwayatnya tidak siqat (adil dan dhabit)
Ulama dari berbagai bidang keislamanI sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah
hanya hadits yang berkualitas shahih. Maka para Muhaddits menetapkan criteria kesahihan
hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.
Kalimat yangI baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum
dapat dikatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada
Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sanad hadits yang baik, kalau matannya tidak dapat
dipertanggung jawabkan keabsahannya.