Anda di halaman 1dari 7

Tuga kelompok III

Mata Kuliah: Sejarah peradilan islam di Indonesia

Nama Anggota: Athi’ Maulaya (2021508053)

Sulpita Sari (2021508034)

Lokal: HK1 Semester IV

PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DARI MASA KEMASA

Peradilan agama merupakan peradilan bagi orang-orang islam yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi rakyat muslim mengenai perkara tertentu. Yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara
ditingkat pertama antara orang-orang muslim dibidang:

1. Perkawinan
2. Waris
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqoh
9. Ekonomi syariah

Di Indonesia sendiri, penduduknya di dominasi oleh warga beragama islam, maka dari itu sangat dibutuhkannya
peradilan agama guna mentaati ajaran-ajaran islam. Oleh karena itu dibentuklah peradilan agama yang sekarang
masih memegang peranan penting dalam sisitem peradilan agama diindonesia. Perkembangan peradilan agama di
Indonesia sempat terhambat yang disebabkan oleh penjajahan belanda maupun jepang kepada Indonesia. Belanda
maupun jepang selalu melakukan usaha guna menghentikan perkembangan peradilan agama di Indonesia. Hingga
pada akhirnya Indonesia telah merdeka maka pada saat itulah peradilan agama mulai dapat berkembang.

A. Peradilan agama di era kerajaan islam

Zaman kerajaan Islam Islam sesungguhnya mengandung dua dimensi ajaran pokok, yaitu ajaran yang
berdemensi keyakinan (i’tiqadiyah) dan ajaran yang berdimensi penerapan (‘amaliyah), kedua dimensi ini
harus berjalan seiringan karena satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu pelaksanaan ajaran Islam
kembali kepada diri manusia itu sendiri sebagai mukallaf yang dikenakan beban taklif berupakewajiban
malaksanakan ajaran Islam tersebut.Pelaksanaan hukum Islam pada dasarnya tidak mengharuskan adanya
perundang-undangan melalui penguasa (meskipun hal itu kini diarasakan sangat perludan banyak manfaatnya)
tetapi telah menjadi kewajiban individu setiap muslim. Itulahsebabnya pada awal perkembangannya, kendati
umat Islam pada waktu itu belum ada penguasa yang memberi sanksi terhadap pelanggaran agama, namun
mereka tetap patuh karena kesadaran dan keyakinan mereka, terutama keyakinan para pemimpin atauulama
mereka bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang benar yang harusdilaksanakan.

Dengan masuknya Islam ke Indonesia yang utuh pertama kali pada abad pertama Hijriyah atau
bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang dibawa langsungdari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekkah
dan Madinah yang sekaligus sebagaimuballig. Maka dalam praktek sehari-hari, masyarakat mulai
melaksanakan ajaran danaturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab fikih. Di dalalm kitab-
kitab fikih tersebut termuat aturan dan tata cara ibadah seperti thaharah, shalat, puasa,zakat, dan haji serta
sistem peradilan yang disebut qad

a. Kewenangan Peradilan Agama di wilayah Jawa

Masa ini dikenal adanya Pengadilan Surambi yang mempunyai duakewenangan, pertama perkara-
perkara yang akan diselesaikan menurut hukum Islamsemata, kedua perkara yang akan diselesaikan menurut
hukum adat dan tradisi Jawa.Terhadap perkara-perkara, seperti perkawinan, perceraian, dan warisan tidak
diajukandan diselesaikan dalam majelis Pengadilan Surambi, tetapi cukup diajukan kepada penghulu yang
memeriksa dan memutuskan perkara itu di tempat pengadilan. Dalam pemutusan perkara tersebut penghulu
dibantu oleh tiga orang anggota majelis Surambisebagai penasehat. Kewenangan ini sama dengan Pengadilan
Agama di Priangan yangmempunyai wewenang dan kekuasaan untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan kewarisan. Bahkan ketika kekuasaan kerajaan. Mataram telah
merosot, perkara-perkara yang diancam dengan hukuman badan danhukuman mati yang merupakan
kewenangan Peradilan Perdata, karena tidak dapatdikirim ke Mataram menjadi wewenang Pengadilan Agama.

b. Kewenangan Pengadilan Agama di luar pulau Jawa

Beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Jambi, Palembang, Bengkulu,Sumatera Barat, Lampung
kesemuanya memiliki Pengadilan Agama yang mempunyaiwewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara
perkawinan, perceraian serta harta peninggalan atau warisan. Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-
lembaganyadalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja, sehingga rajadominan
sebagai pemutus perkara, salah satu contohnya adalah kerajaan Bone dimanaraja adalah penghulu tertinggi
dalam kerajaan, yang berwenang memutus perkarakeagamaan yaitu pernikahan dan kewarisan di luar perkara-
perkara kerajaan lainnya.Sama halnya kewenangan Pengadilan Agama di Jawa, kewenangan Pengadilan
Agamadi luar pulau Jawa zaman kerajaan Islam, menurut penulis tidak terlepas dari putusan perkara
perkawinan dan kewarisan
B. Masa sebelum penjajahan belanda
Dalam sejarah sudah tidak asing lagi dengan cerita sunan kalijaga yang menjatuhi hukuman mati
terhadap syeh siti jenar. Peradilan pada waktu itu dilakukan dengan sangat sederhana dimana seorang
kepala masjid bisa melakukan tindakan mengadili di serambi-serambi masjid. Peradilan yang berlaku
dilakukan secara nonformal. Jika ada seseorang yang datang memperjuangkan haknya maka akan
dilakukan pemeriksaan dengan bukti-bukti tertentu hingga meyakinkan hakim, barulah hakim memberi
putusan tanpa di tulis secara formal. Pemerintah memegang kewenangan dalam urusan peradilan sehingga
kekuasaan antara keduanya tidak terpisahkan.

C. Pada masa penjajahan Belanda


Pada masa ini, banyak system peradilan hukum islam yang jatuh di tangan kolonialis-imperalis
Belanda, yang berusaha mendesak peradilan yang sudah mapan berkat kerajaan-kerajaan Islam dengan
sisitem peradilan yang dibawa oleh Belanda. Namun Belanda tidak menghapuskan hukum islam dan
peradilannya, hukum Islam teteap bberlaku untuk penduduk beragama Islam dan mereka mendapatkan
perlindungan dengan baik semua itu dilakukan guna mencegah terjadinya pemberontakan dari orang Islam.

Beberapa macam peradilan menurut Supomo (1970:20) pada masa penjajahan Belanda terdapat lima buah
tatanan peradilan.

a. Peradilan Gubernemen, tersebar diseluruh daerah Hindia Belanda.

b. Peradilan Pribumi tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di karesidenan Aceh,

Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan dan
Timur, Manado, dan Sulawesi, Maluku dan di Pulau Lombok dari karesidenan Bali dan Lombok.

c. Peradilan Swapraja, tersebar hampir diseluruh daerah Swapraja kecuali di

Pakualaman dan Pontianak.

d. Peradilan Agama tersebar di daerah-daerah tempat kedudukan peradilan Gubernemen,

di daerah-daerah dan menjadi bagian dari bagian Peradilan Pribumi, atau di daerahdaerah Swapraja dan
menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.

e. Peradilan Desa tersebar di daerah-daerah tempat berkedudukan peradilan

Gubernemen. Disamping itu ada juga peradilan desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi Atau
Peradilan Swapraja.
Pemerintah Belanda dengan tegas membentuk peradilan agama berdasarkan Staatsblad tahun 1882
no. 152 tentang pembentukan Peradilan Agama di Jawa-Madura. Kekuasaan dan kewenangan peradilan
agama di Jawa-Madura meliputi:

a. Perselisihan antara suami istri yang bergama Islam

. b. Perkara-perkara tentang: nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam.

c. Menyelenggarakan perceraian.

d. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al-thalaq) telah ada.

e. Perkara mahar atau maskawin.

f. Perkara nafkah wajib suami kepada istri.

Pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut pada kenyataannya tidak memberikan jalan keluar bagi
peradilan agama di daerah lainnya. Karena itu pemerintah pada tahun yang sama mencabutnya kembali dan
menerbitkan peraturan yang lain yaitu peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang pendirian mahkamah
syari’ah di luar Jawa dan Madura. Dalam peraturan ini disebutkan tentang wewenang absolut Peradilan Agama.
Menurut peraturan itu, wewenang mahkamah syari’ah adalah:
a. Nikah
b. Talak
c. Rujuk
d. Fasakh
e. Nafaqah
f. Mahar
g. Tempat kediaman
h. Mut’ah i. Hadlanah
j. Perkara waris-mewaris
k. Wakaf
l. Hibah
m. Shadaqah
n. Baitul mal

D. Pada masa penjajahan Jepang


Pada masa ini tidak banyak kemajuan mengenai peradilan Islam. Jepang juga tidak benyak
menimbulkan perubahan terhadap lembaga-lembaga Islam. Para pemimpin Islam saat itu melihat
kesempatan untuk memulihkan hak-hak Islam seperti peradilan agama yang di batasi perkembangannya
selama penjajahan Belanda.

Namun kesempatan yang sangat diharapkan itu tidak muncul Ini disebabkan karena penasehat
hukum untuk Jepang, Supomo, seorang ahli hukum Adat,menyampaikan laporannya tentang
peradilan Agama dan masalah warisan. Laporan itu memuat sejarah yang panjang-panjang tentang
peradilan agama di Indonesia, terutama di Jawa, yang dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan
sebuah saran yang menentang kembali pemulihan kewenangan peradilan agama yang telah dikurung
semasa penjajahan Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada
akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan
Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan
kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara
mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka
kelak. Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada
tanggal 17 agustus 1945, maka dewan pertimbangan agung buatan Jepang itu mati sebelum lahir dan
peradilan agama tetap eksis di samping peradilanperadilan yang lain

E. Peradilan Agama pada Masa Kemerdekaan


1. Pada Masa Awal Kemerdekaan
Peranan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dihapuskan.
Peradilan agama menjadi bagian dari Peradilan Umum. Untuk menangani perkara yang menjadi
kewenangan dan kekuasaan peradilan agama ditangani oleh peradilan umum secara istimewa
dengan seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan didampingi dua orang hakim ahli
agama Islam
Pada masa berikutnya, berdasarakan ketentuan pasal 98 UUD sementara dan pasal 1 ayat (4)
UU darurat no. 1 tahun 1951, pemerintah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa-Madura. Adapun
kekuasaan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah itu, menurut ketetapan pasal 4 PP
tersebut, adalah sebagai berikut:
1) Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memeriksa atau memutuskan perselisihan antara
suami dan istri yang beragama Islam dan semua perkara yang menurut hukum yang diputus
menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, thalaq, ruju’, fasakh, nafaqah,
maskawin (mahr), tempat kediaman, muth’ah dan sebagainya
2) Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa perkaraperkara tersebut
dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam.
2. Masa Orde Baru
berlakunya UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999 memberi tempat kepada PADI
sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman dalam negara kesatuan republik Indonesia. Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974,
maka kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI bertambah. Oleh karena itu, maka tugas-tugas
badan peradilan agama menjadi meningkat,. “dari rata-rata 35.000 perkara sebelum berlakunya UU
perkawinan menjadi hampir 300.000-an perkara” dalam satu tahun di seluruh Indonesia. Dengan
sendirinya hal itu mendorong usaha meningkatkan jumlah dan tugas aparatur pengadilan,
khususnya hakim, untuk menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam
sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”; Kedua,
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara
organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang
bersangkutan. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing
diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang
kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sama dengan peradilan-
peradilan lainnya di Indonesia.

F. Kesimpulan
Dengan berbagai ragam pengadilan itu menunjukkan posisinya yang sama sebagai salah satu
pelaksana kerajaan atau sultan. Di samping itu pada dasarnya batasan wewenang agama meliputi bidang
hukum keluarga, yaitu perkawinan kewarisan. dengan wewenang demikian, proses petumbuhan dan
perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-masing. Pengintegrasian,
atau hidup berdampingan antara adat dan syara’, merupakan penyelesaian konflik yang terjadi secara laten
bahkan manifes sebagaimana terkaji di Aceh, Minangkabau, dan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan.
Kedudukan sultan sebagai penguasa tertinggi, dalam berbagai hal, berfungsi sebagai pendamai apabila
terjadi perselisihan hukum. Selanjutnya Peradilan Agama pada zaman Belanda membawa misi tertentu,
mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi. Awalnya mereka tahu bahwa di tengah-
tengah masyarakat Indonesia itu berlaku hukum adat yang sudah terpengaruh oleh agama Islam dan lebih
condong pada unsur keagamaannya dari pada hukum adat itu sendiri. Dari uraian singkat tentang sejarah
perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita
untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai