Peradilan agama merupakan peradilan bagi orang-orang islam yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi rakyat muslim mengenai perkara tertentu. Yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara
ditingkat pertama antara orang-orang muslim dibidang:
1. Perkawinan
2. Waris
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqoh
9. Ekonomi syariah
Di Indonesia sendiri, penduduknya di dominasi oleh warga beragama islam, maka dari itu sangat dibutuhkannya
peradilan agama guna mentaati ajaran-ajaran islam. Oleh karena itu dibentuklah peradilan agama yang sekarang
masih memegang peranan penting dalam sisitem peradilan agama diindonesia. Perkembangan peradilan agama di
Indonesia sempat terhambat yang disebabkan oleh penjajahan belanda maupun jepang kepada Indonesia. Belanda
maupun jepang selalu melakukan usaha guna menghentikan perkembangan peradilan agama di Indonesia. Hingga
pada akhirnya Indonesia telah merdeka maka pada saat itulah peradilan agama mulai dapat berkembang.
Zaman kerajaan Islam Islam sesungguhnya mengandung dua dimensi ajaran pokok, yaitu ajaran yang
berdemensi keyakinan (i’tiqadiyah) dan ajaran yang berdimensi penerapan (‘amaliyah), kedua dimensi ini
harus berjalan seiringan karena satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu pelaksanaan ajaran Islam
kembali kepada diri manusia itu sendiri sebagai mukallaf yang dikenakan beban taklif berupakewajiban
malaksanakan ajaran Islam tersebut.Pelaksanaan hukum Islam pada dasarnya tidak mengharuskan adanya
perundang-undangan melalui penguasa (meskipun hal itu kini diarasakan sangat perludan banyak manfaatnya)
tetapi telah menjadi kewajiban individu setiap muslim. Itulahsebabnya pada awal perkembangannya, kendati
umat Islam pada waktu itu belum ada penguasa yang memberi sanksi terhadap pelanggaran agama, namun
mereka tetap patuh karena kesadaran dan keyakinan mereka, terutama keyakinan para pemimpin atauulama
mereka bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang benar yang harusdilaksanakan.
Dengan masuknya Islam ke Indonesia yang utuh pertama kali pada abad pertama Hijriyah atau
bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang dibawa langsungdari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekkah
dan Madinah yang sekaligus sebagaimuballig. Maka dalam praktek sehari-hari, masyarakat mulai
melaksanakan ajaran danaturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab fikih. Di dalalm kitab-
kitab fikih tersebut termuat aturan dan tata cara ibadah seperti thaharah, shalat, puasa,zakat, dan haji serta
sistem peradilan yang disebut qad
Masa ini dikenal adanya Pengadilan Surambi yang mempunyai duakewenangan, pertama perkara-
perkara yang akan diselesaikan menurut hukum Islamsemata, kedua perkara yang akan diselesaikan menurut
hukum adat dan tradisi Jawa.Terhadap perkara-perkara, seperti perkawinan, perceraian, dan warisan tidak
diajukandan diselesaikan dalam majelis Pengadilan Surambi, tetapi cukup diajukan kepada penghulu yang
memeriksa dan memutuskan perkara itu di tempat pengadilan. Dalam pemutusan perkara tersebut penghulu
dibantu oleh tiga orang anggota majelis Surambisebagai penasehat. Kewenangan ini sama dengan Pengadilan
Agama di Priangan yangmempunyai wewenang dan kekuasaan untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan kewarisan. Bahkan ketika kekuasaan kerajaan. Mataram telah
merosot, perkara-perkara yang diancam dengan hukuman badan danhukuman mati yang merupakan
kewenangan Peradilan Perdata, karena tidak dapatdikirim ke Mataram menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Jambi, Palembang, Bengkulu,Sumatera Barat, Lampung
kesemuanya memiliki Pengadilan Agama yang mempunyaiwewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara
perkawinan, perceraian serta harta peninggalan atau warisan. Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-
lembaganyadalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja, sehingga rajadominan
sebagai pemutus perkara, salah satu contohnya adalah kerajaan Bone dimanaraja adalah penghulu tertinggi
dalam kerajaan, yang berwenang memutus perkarakeagamaan yaitu pernikahan dan kewarisan di luar perkara-
perkara kerajaan lainnya.Sama halnya kewenangan Pengadilan Agama di Jawa, kewenangan Pengadilan
Agamadi luar pulau Jawa zaman kerajaan Islam, menurut penulis tidak terlepas dari putusan perkara
perkawinan dan kewarisan
B. Masa sebelum penjajahan belanda
Dalam sejarah sudah tidak asing lagi dengan cerita sunan kalijaga yang menjatuhi hukuman mati
terhadap syeh siti jenar. Peradilan pada waktu itu dilakukan dengan sangat sederhana dimana seorang
kepala masjid bisa melakukan tindakan mengadili di serambi-serambi masjid. Peradilan yang berlaku
dilakukan secara nonformal. Jika ada seseorang yang datang memperjuangkan haknya maka akan
dilakukan pemeriksaan dengan bukti-bukti tertentu hingga meyakinkan hakim, barulah hakim memberi
putusan tanpa di tulis secara formal. Pemerintah memegang kewenangan dalam urusan peradilan sehingga
kekuasaan antara keduanya tidak terpisahkan.
Beberapa macam peradilan menurut Supomo (1970:20) pada masa penjajahan Belanda terdapat lima buah
tatanan peradilan.
b. Peradilan Pribumi tersebar di luar Jawa dan Madura, yaitu di karesidenan Aceh,
Tapanuli, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan dan
Timur, Manado, dan Sulawesi, Maluku dan di Pulau Lombok dari karesidenan Bali dan Lombok.
di daerah-daerah dan menjadi bagian dari bagian Peradilan Pribumi, atau di daerahdaerah Swapraja dan
menjadi bagian dari Peradilan Swapraja.
Gubernemen. Disamping itu ada juga peradilan desa yang merupakan bagian dari Peradilan Pribumi Atau
Peradilan Swapraja.
Pemerintah Belanda dengan tegas membentuk peradilan agama berdasarkan Staatsblad tahun 1882
no. 152 tentang pembentukan Peradilan Agama di Jawa-Madura. Kekuasaan dan kewenangan peradilan
agama di Jawa-Madura meliputi:
. b. Perkara-perkara tentang: nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam.
c. Menyelenggarakan perceraian.
d. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (ta’liq al-thalaq) telah ada.
Pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut pada kenyataannya tidak memberikan jalan keluar bagi
peradilan agama di daerah lainnya. Karena itu pemerintah pada tahun yang sama mencabutnya kembali dan
menerbitkan peraturan yang lain yaitu peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang pendirian mahkamah
syari’ah di luar Jawa dan Madura. Dalam peraturan ini disebutkan tentang wewenang absolut Peradilan Agama.
Menurut peraturan itu, wewenang mahkamah syari’ah adalah:
a. Nikah
b. Talak
c. Rujuk
d. Fasakh
e. Nafaqah
f. Mahar
g. Tempat kediaman
h. Mut’ah i. Hadlanah
j. Perkara waris-mewaris
k. Wakaf
l. Hibah
m. Shadaqah
n. Baitul mal
Namun kesempatan yang sangat diharapkan itu tidak muncul Ini disebabkan karena penasehat
hukum untuk Jepang, Supomo, seorang ahli hukum Adat,menyampaikan laporannya tentang
peradilan Agama dan masalah warisan. Laporan itu memuat sejarah yang panjang-panjang tentang
peradilan agama di Indonesia, terutama di Jawa, yang dibuat sedemikian rupa sehingga merupakan
sebuah saran yang menentang kembali pemulihan kewenangan peradilan agama yang telah dikurung
semasa penjajahan Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada
akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan
Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan
kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara
mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka
kelak. Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada
tanggal 17 agustus 1945, maka dewan pertimbangan agung buatan Jepang itu mati sebelum lahir dan
peradilan agama tetap eksis di samping peradilanperadilan yang lain
F. Kesimpulan
Dengan berbagai ragam pengadilan itu menunjukkan posisinya yang sama sebagai salah satu
pelaksana kerajaan atau sultan. Di samping itu pada dasarnya batasan wewenang agama meliputi bidang
hukum keluarga, yaitu perkawinan kewarisan. dengan wewenang demikian, proses petumbuhan dan
perkembangan pengadilan pada berbagai kesultanan memiliki keunikan masing-masing. Pengintegrasian,
atau hidup berdampingan antara adat dan syara’, merupakan penyelesaian konflik yang terjadi secara laten
bahkan manifes sebagaimana terkaji di Aceh, Minangkabau, dan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan.
Kedudukan sultan sebagai penguasa tertinggi, dalam berbagai hal, berfungsi sebagai pendamai apabila
terjadi perselisihan hukum. Selanjutnya Peradilan Agama pada zaman Belanda membawa misi tertentu,
mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi. Awalnya mereka tahu bahwa di tengah-
tengah masyarakat Indonesia itu berlaku hukum adat yang sudah terpengaruh oleh agama Islam dan lebih
condong pada unsur keagamaannya dari pada hukum adat itu sendiri. Dari uraian singkat tentang sejarah
perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita
untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat.