Anda di halaman 1dari 14

Dinamika Peradilan Pada Masa Kesultanan Di Indonesia

Fikri Haikal
Dirasah Islamiyyah Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Email: Hekal775@gmail.com
Email: supardin.pati@uin-alauddin.ac.id
Zulhasari.mustafa@uin-alauddin.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang dinamika
peradilan pada masa kesultanan di Indonesia dan sistem peradilan
masa kesultanan di Indonesia. Metode penelitian menggunakan
metode penelitian kepustakaan (library research) yakni mengkaji
jurnal-jurnal , buku, pandangan para ahli hukum atau ulama hukum,
yang berkaitan dengan penelitian ini, pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan historis . Hasil dari penelitian ini adalah sebelum
Indonesia merdeka peradilan telah menjadi sarana penyelesaian
perkara dalam masyarakat Indonesia. Namun peradilan tidak
seformal dengan sekarang. Penyelesaian perkara pada zaman
kesultanan menggunakan sarana orang yang dianggap memenuhi
syarat dalam penyelesaian perkara.
Kata kunci: Peradilan, Kesultanan Indonesia
Abstrac: This research aims to describe the dynamics of Islamic justice
during the sultanate in Indonesia. The research method uses library research
methods, namely reviewing journals, books of views of experts and legal
scholars related to this research. The approach used is a historical. The
results of this research are that before Indonesia became independent, the
judiciary had become a means of resolving cases in Indonesian society.
However, the judiciary was not as formal as it is now. Settlement of cases
during the Sultanate era used the means of people who were deemed to meet
the requirements for resolving cases.
Keywords:Justice, Indonesian Sultanate

1
2

A. Pendahuluan

Sejarah perjalanan peradilan Agama di Indonesia erat hubungannya


dengan hukum Islam dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama
didasarkan pada hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya hukum
Islam merupakan hukum yang berdiri sendiri dan telah lama dianut oleh
pemeluk agama Islam di Indonesia. Pada kerajaan-kerajaan Islam masa
lampau, hukum Islam telah berlaku. Pada abad ke–16 sudah muncul
kerajaan-kerajaan Islam seperti Mataram, Banten, dan Cirebon, yang
berangsur-angsur mengislamkan penduduknya. Sedangkan untuk
kelengkapan pelaksanaan hukum Islam, didirikan Peradilan Serambi dan
Majelis Syara’.
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan peradilan
agama telah ada di berbagai nusantara jauh sejak zaman masa penjajahan
Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, peradilan agama sudah
ada sejak Islam masuk ke Indonesia, yaitu melalui tahkim, dan akhirnya
pasang surut perkembanganya hingga sekarang.
Peradilan agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang. Secara filosofis peradilan dibentuk dan
dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan, secara yuridis
hukum Islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
sodaqoh) berlaku dalam pengadilan dalam lingkungan peradilan agama,
secara historis peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan
agama yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah dan secara sosiologis
peradilan agama didukung dan dikembangkan oleh masyarakat Islam. 1

1
Miftakhul Ridho, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan, Jurnal Hukum Islam, vol. 7, no. 2 (2021), h. 153.
3

B. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan
(library research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka. Adapun tahap-tahap yang harus ditempuh peneliti
dalam penelitian kepustakaan adalah Pertama, mengumpulkan bahan penelitian.
Bahan yang dikumpulkan adalah berupa informasi data empirik yang bersumber
dari buku, jurnal, dan literatur lain yang mendukung tema penelitian ini. Kedua,
membaca bahan kepustakaan. Dalam membaca bahan penelitian, pembaca harus
menggali secara mendalam bahan bacaan yang memungkinkan akan menemukan
ide-ide baru yang terkait dengan judul penelitian. Ketiga, Membuat catatan
penelitian. Keempat, Mengolah catatan penelitian. Semua bahan yang telah dibaca
kemudian diolah atau dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang
disusun dalam bentuk laporan penelitian.2

C. Pembahasan
1. Sejarah Peradilan Masa Kesultanan Indonesia
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya
wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan
kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan
wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-
undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial
Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam
sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di
masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-
kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam
wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam yang berdiri di Aceh Utara

2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), h. 3.
4

pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara,
Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten dan di bagian Timur Indonesia berdiri pula
kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makassar.
Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram
memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan
kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada
permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar
wilayah Indonesia.
Agama Islam masuk Indonesia disertai dengan cara damai dengan jiwa
toleransi dan saling menghargai antar penyebar dan pemeluk agama. 3 Agama Islam
masuk melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui
gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh
masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam
oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan
akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin
diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang
berdasarkan hukum Islam tersebut yakni dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak
ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat
bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat.
Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas
menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak
terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak
boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah
positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya
melihat kemaslahatan masyarakat).

3
Latifa Annum Dalimunte, Kajian Proses Islamisasi di Indonesia, Jurnal Studi Agama
dan Masyarakat, vol. 12, no. 1 (2016), h. 116.
5

Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan


peradilan dapat dilakukan oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai
otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dengan berbagai kesepakatan.
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para
penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang
pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga
pengadilan agama sering pula disebut "Pengadilan Serambi". Keadaan ini dapat
dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan
menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang
tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.
Secara sosio historis peradilan agama telah lama memainkan peran yang
penting dalam penegakan hukum di dalam masyarakat muslim. 4Kelembagaan
Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok
pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan.
Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang
surut.
Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk
bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton
yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa
pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan
membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda,
namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam.
Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan
hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi
Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan
agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan
peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya
lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan

4
Hendri K. Pergumulan Politik dan Hukum Pasang Surut Perjalanan Peradilan Agama
di Indonesia, Jurnal Hukum Islam, vol. XV, no. 1 (2015), h. 21.
6

pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan).


Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang. Tidak adanya
kewenangan yang seperti ini berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Peradilan Agama Masa kesultanan
1. Kerajaan Mataram
Kerajaan Islam yang paling penting di tanah Jawa adalah Demak yang
kemudian diganti oleh Mataram. 5Mataram merupkan satu dari beberapa kerajaan
yang ada di pulau Jawa. Raja pertamanya adalah sutowijoyo yang telah berhasil
meruntuhkan Pajang, dan bergelar Panembahan Senopati Sayidin Panotogomo.
Perkembangan peradilan agama pada masa kerajaan Mataram dicapai pada masa
Sultan Agung. Pada awalnya Sultan Agung masih mempertahankan sistem
peradilan yang dilaksanakaan pada masa kerajaan Hindu. Sultan Agung
mengambil kebijakan dengan mengisi lembaga yang telah ada dan berkembang di
masyarakat dengan prinsip-prinsip keislaman. Setelah kondisi masyarakat dirasa
siap maka Peradilan Pradata dirubah menjadi pengadilan Surambi yang dipimpin
oleh ulama.
Wewenang Pengadilan Surambi masih tetap seperti Pengadilan Pradata. Hanya
saja ketua pengadilan pelaksanaanya di tangan penghulu dan didampingi beberapa
ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis, meskipun pada
prinsipnya masih di tangan Sultan. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi
sebagai nasehat bagi Sultan dalam mengambil keputusan.
Setelah Sultan Agung wafat, dan digantikan Amangkurat I, tahun 1645,
Pengadilan Pradata dihidupkan kembali, untuk mengurangi pengaruh ulama dalam
pengadilan, dengan raja sebagai pimpinannya. Akan tetapi kebijakan ini tidak
menjadikan Pengadilan Surambi tersingkir, bahkan pengadilan ini masih bertahan
meski kekuasaannya dibatasi.
2. Kerajaan Aceh Di aceh, sitem peradilan yang berdasarkan hukum Islam

5
Ismanto, Suparman, Sejarah Peradilan Islam di Nusantara Masa Kesultanan-
Kesultanan Islam Pra-Kolonial, h. 73.
7

menyatu dengan peradilan negeri. Peradilan itu mempunyai tingkatan-tingkatan,


tingkat pertma dilaksanakan di tingkat Kampung yang di pimpin oleh Keucik.
Peradilan ini hanya menangani perkara-perkara ringan, sedangkan perkara-perkara
berat diselesaikan oleh Balai Hukum Mukim. Peradilan tingkat kedua yang
merupakan peradilan banding adalah Oeloebalang. Jika keputusan Oeloebalang
memuaskan dapat dimintakan banding di peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi.
Keputusan Panglima Sagi bisa dimintakan banding kepada Sultan sebagai
pengadilan tertinggi.
Dari sistem peradilan tersebut terlihat bahwa pada zaman kerajaan Aceh sudah
terbentuk sebuah sistem peradilan yang memiliki dua kompetensi yaitu absolut
dan relatif. Kompetensi absolut berupa masalah yang berdasarkan hukum Islam,
sedang kompetensi relatif meliputi Kampung di tingkat pertama, Oeloebalang
yang membawahi beberapa Kampung, di tingkat kedua, Panglima Sagi di wilayah
kecamatan dan terakhir Mahkamah Agung yang membawahi seluruh wilayah
yang tunduk dibawah pemerintahan.
3. Kesultanan Priangan
Menurut laporan Joan Frederik yang menjadi Residen di Cirebon tahun 1714-
1717, Pengadilan Priangan diatur menurut pengadilan Mataram. Pada tiap-tiap
kabupaten terdapat seorang jaksa yang menjalankan peradilan terhadap perkara
Padu, sedangkan perkara Pradata dikirim ke Mataram. Pada masa itu terdapat 3
bentuk peradilan yang berjalan, yaitu :peradilan agama, peradilan drigama dan
peradilan cilaga. Masing-masing peradilan itu memiliki wewenang yang
berbedabeda. Peradilan Agama mempunyai wewenang terhadap perkara-perkara
yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati. Pada awalnya perkara ini
merupakan perkara yang harus dikirim ke Mataram. Tetapi karena kekuasaan
Mataram sudah merosot maka perkara-perkara tersebut tidak lagi dikirim ke
Mataram.
Peradilan drigama mengadili perkara selain perkara yang dapat dijatuhi
hukuman badan atau hukuman mati serta perkawinan dan waris, yang merupakan
kewenangan peradilan Agama. Peradilan drigama bekerja dengan pedoman
8

hukum Jawa kuno dan diselesaikan menurut hukum adat setempat. Sementara
peradilan cilega adalah peradilan khusus masalah niaga. Peradilan cilega terkenal
juga dengan istilah peradilan wasit.
4. Kesultanan Banten
Peradilan Banten disusun menurut pengertian hukum Islam. Pada masa Sultan
Hasanuddin tidak ada bekas untuk pengadilan yang berdasarkan pada hukum
Hindu. Pada abad XVII M, di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin
oleh Kadhi. Satu-satunya peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh
Hindu adalah, hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi memerlukan pengesahan
dari raja.
5. Kerajaan Sulawesi
Kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan merupakan merupakan kerajaan di
Sulawesi yang pertama kali menerima ajaran Islam. Kemudian disusul kerajaan
Gowa yang akhirnya menjadi kerajaan terkuat. Setelah menjadi kerajaan Islam,
raja Gowa menempatkan Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) yang berkedudukan
sama dengan Parewa Adek (Pejabat Adek) yang sudah ada sebelum datangnya
Islam. Parewa Syara’ dipimpin oleh kali (Kadli), yaitu pejabat tinggi dalam
Syari’at Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan. Pada masing-masing Paleli
diangkat pejabat bawahan yang disebut Imam serta dibantu oleh seorang Khatib
dan seorang Bilal. Para Kadi dan pejabat urusan ini diberikan gaji yang
diambilkan dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah idul Fitri dan idul Adha, kenduri
kerajaan, penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi
pada saat pemerintah raja Gowa XV (1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa.
Sebelumnya raja Gowa sendiri yang menjdi hakim agama Islam.
6. Kerajaan Samudra Pasai
Sejarah mencatat kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan yang menerapkan hukum
Islam. Dari Pasailah dikembangkan paham Syafi’i kemudian dikembangkan
kepada kerajaan-kerajaan Islam lainnya.
Pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan pengadilan dan diselenggarakan
9

secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan oleh pengadilan tingkat kampung


yang dipimpin oleh Keuchik. Pengadilan tersebut mengadili perkara-perkara
ringan. Pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada pengadilan
ulee balang atau pengadilan tingkat kedua. Selanjutnya dapat dilakukan banding
kepada sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang
keanggotaanya terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang
Kaya Raja Bandhara, dan Faqih atau ulama.
D. Penutup
Perjalanan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang
dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang
ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi
dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali
mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan
masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Ada beberapa sejarah pengadilan zaman kesultanan yaitu:
1. Kerajaan Mataram
2. Kerajaan Aceh
3. Kesultanan Priangan
4. Kesultanan Banten
5. Kerajaan Sulawesi
6. Kerajaan Kalimantan

DAFTAR PUSTAKA
Ridho Miftakhul, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama Pada Masa
Kesultanan dan Penjajahan Sampai Kemerdekaan, Jurnal Hukum Islam, vol. 7,
no. 2 (2021).
Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008).
Annum Dalimunte Latifa, Kajian Proses Islamisasi di Indonesia, Jurnal Studi
Agama dan Masyarakat, vol. 12, no. 1 (2016).
K Hendri. Pergumulan Politik dan Hukum Pasang Surut Perjalanan Peradilan
Agama di Indonesia, Jurnal Hukum Islam, vol. XV, no. 1 (2015).
10

R Ahmad, Peradilan Agama di Indonesia, Jurnal Pemikiran Hukum dan


Hukum Islam, vol. 6 , no. 2 (2016).
11
12
13
14

Anda mungkin juga menyukai