Anda di halaman 1dari 16

PERADILAN DI KESULTANAN ISLAM DI

NUSANTARA

DI SUSUN

OLEH :

KELOMPOK: 8

NAMA : ADE IRMAZA IZMA


ISMATURRAHMI
SEM/UNIT :5/1
PRODI : HES
MATA KULIAH : PERADILAN ISLAM
PEMBIMBING : Dr. NUVIAR, M. Ag

PERGURUAN TINGGI ISLAM


AL – HILAL SIGLI
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul: “Peradilan di Kesultanan Islam di
Nusantara.” Shalawat dan salam kita panjatkan kehadirat Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh ilmu
pengetahuan.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan


dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada Dosen Pembimbing, atas bimbingan kepada penulis
sehingga tersusunnya makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat bagai
semua pihak.

Penulis menyadari, dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat


kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritikan dan saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan di masa akan
datang.

Sigli, 14 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... i


Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
A. Periodisasi Peradilan Islam di Nusantara Masa Awal ............................ 2
B. Peradilan Pada Masa Kesultanan Islam ................................................... 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 12
A. Kesimpulan ................................................................................................ 12
B. Saran ........................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan merupakan bagian integral syari‟ah Islam dan memiliki peran
signifikan,kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam, tidak banyak dipahami
secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum
itu sendiri. Sebagian besar kalangan beranggapan, tidak kurang di antaranya
kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off to date dalam
konsep hukum Islam. Ketakutan ini semakin jelas apabila mereka
membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam,
salab dan qishas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusian.
Hubungan antara praktek hukum Islam dengan agama Islam dapat
diibaratkan dengan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Hukum Islam
bersumber dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam adalah ajaran yang
dipraktekkan pemeluknya. Oleh sebab itu, untuk membicarakan perkembangan
hukum Islam di Indonesia erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di
Indonesia. Oleh karena itu, amat wajar jika kajian kedudukan hukum Islam pra-
kolonial dilakukan dengan asumsi bahwa tata hukum Islam Indonesia berkembang
seiring dengan sampainya dakwah Islam di Indonesia. Dalam makalah ini penulis
mengkaji tentang Peradilan di Kesultanan Islam di Nusantara.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah periodisasi peradilan islam di nusantara masa awal?
2. Bagaimanakah sejarah peradilan pada masa kesultanan Islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui periodisasi peradilan islam di nusantara masa awal.
2. Untuk mengetahui sejarah peradilan pada masa kesultanan Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Periodisasi Peradilan Islam di Nusantara Masa Awal


Sejarah pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia pada masa
penjajahan (Portugis, Belanda dan Jepang) harus dikaji berdasarkan sejarah
masuknya Islam ke Indonesia pada abad XIII. Penyebaran agama Islam ke
Indonesia melalui saudagar Arab dan Gujarat yang pada saat itu membuat
kelompok masyarakat yang akhirnya berkembang menjadi Kerajaan Islam.
Meskipun sudah ada hukum Islam, akan tetapi secara kelembagaan belum dikenal
dengan istilah Pengadilan Agama.

Lambat laun proses konkordasi hukum Islam mempengaruhi adat kebiasaan


setempat yang pada akhirnya meresipir hukum Islam sebagai Hukum Adat yang
sulit dan kompleks untuk dikaji. Untuk menemukan istilah atau nama Pengadilan
Agama di Indonesia pada masa Pra-Penjajahan. Pada abad ke-7, penerapan hukum
Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu saja melainkan juga
diterapkan pada masalah-masalah mu’amalah, munakahat, dan „uqubat. Dalam
hal penyelesaian masalah muamalah, munakahat, dan uqubat diselesaikan melalui
Peradilan Agama.

Walaupun secara Yuridis lembaga Peradilan Agama belum ada, tetapi dalam
praktiknya telah ada penerapan Peradilan Agama dalam proses penyelesaian
perkara-perkara tersebut.

Periodisasi peradilan Islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintahan


kolonial adalah sebagai berikut:1

1) Periode Tahkim

Pada masa awal Islam datang ke Nusantara, komunitas Islam sangat sedikit
dan pemeluk Islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan

1
Faisal, “Histori Pemberlakuan Peradilan Agama Era Kerajaan Islam dan Penjajahan di
Indonesia,” Jurnal Al-Qadha, vol. 6, no.1, 2019, hal. 20.

2
dengan Islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang di
pandang ahli untuk menyelesaikannya. Apa pun keputusan yang akan dijatuhkan
oleh orang yang ditunjuk itu keduannya harus taat untuk mematuhinya. Cara
seperti inilah yang disebut “tahkim”. Bertahkim seperti ini dapat juga
dilaksanakan dalam hal lain sengketa, seperti penyerahan pelaksanaan akad nikah
dari wanita yang tidak mempunyai wali.

2) Periode Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi

Setelah kelompok-kelompok masyarakat Islam terbentuk dan mampu


mengatur tata kehidupan sendiri, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilaksanakan
dengan cara mengangkat Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Yaitu orang-orang yang
terpercaya dan luas pengetahuannya untuk menjadi sesepuh masyarakat,
selanjutnya Ahl al-Hali wa al-‘Aqd mengangkat para hakim untuk menyelesaikan
segala sengketa yang ada di masyarakat. Penunjukkan ini dilakukan atas dasar
musyawarah dan kesepakatan.

3) Periode Tauliyah

Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pengangkatan


hakim dilaksanakan dengan cara Tauliyah dari Imam, atau pelimpahan wewenang
dari Sultan selaku kepala Negara, kepala Negara selaku Waliy al-Amri
mempunyai wewenang mengangkat orang-orang yang telah memenuhi syarat
tertentu untuk menjadi hakim di wilayah kerajaan yang ditentukan oleh kepala
Negara atau sultan.

Bersamaan dan perkembangan masyarakat Islam, ketika kedatangan orang-


orang Belanda pada 1605 M, Nusantara sudah terdiri dari sejumlah kerajaan
Islam. Pada periode ini kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sudah mempunyai
pembantu jabatan agama dalam sistem pemerintahannya. Misalnya di tingkat desa
ada jabatan agama yang disebut kaum, kayim, modin, dan amil. Di tingkat
kecamatan di sebut Penghulu Naib. Di tingkat Kabupaten ada Penghulu Seda dan
di tingkat kerajaan disebut Penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau
(qadhi) yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian disebut dengan
pengadilan Serambi.
3
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan
Islam bercorak majemuk. Kemajemukan itu sangat bergantung kepada proses
Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan
pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang
hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada
otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan
masing-masing. Selain itu, terlihat dalam susunan pengadilan dan hierarkinya,
kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara
umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan penyelesaian
perkara yang diajukan kepadanya.2

Sebenarnya sebelum Islam datang ke Nusantara, di negeri ini telah dijumpai


dua macam peradilan, yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu Peradilan
Pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja sedangkan
Peradilan Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja. Pengadilan
pradata apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu
yang terdapat dalam pepakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis,
sementara Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Nusantara asli yang tidak
tertulis.3

Dengan masuknya agama Islam di Nusantara, maka tata hukum di


Nusantara mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum
Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum
asli masih menunjukan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah merembes di
kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal itu mempengaruhi

2
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 113.
3
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), hal. 34.

4
terhadap proses pembentukan dan pengembangan Pengadilan Agama di
Indonesia.4

Hukum Islam di Nusantara sebenarnya telah lama hidup di antara


masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat
Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian
lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang
dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan/kesultanan
Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam.

Akar sejarah hukum Islam di kawasan Nusantara menurut sebagian ahli


sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ke-7 dan ke-8
Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan Nusantara, di kawasan utara
pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para
pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan
berdirinya kerajaan Islam pertama sekitar abad ke-13 yang dikenal dengan
Samudera Pasai, terletak di wilayah Aceh Utara.

Dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai itu, maka pengaruh Islam


semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka
yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di Jawa antara lain
kesulatanan Demak, Mataram, dan Cirebon. Kemudian di daerah Sulawesi dan
Maluku yang ada kerajaan Gowa dan kesultanan Ternate serta Tidore.

Hukum Islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah
hukum Islam di Nusantara. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan
kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di
Nusantara sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dan adanya
literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad ke-16

4
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia......., hal. 113.

5
dan 17-an. Dimana para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagi
hukum Negara.

Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya


memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada
periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam
dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi
terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu,
mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.5

B. Peradilan Pada Masa Kesultanan Islam


Bersamaan dengan perkembangan masyarakat Islam, ketika Nusantara
terdiri dari sejumlah kerajaan/ kesultanan Islam maka, dengan penerimaan Islam
dalam kerajaan, otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh
sultan atau imam. Berikut akan dijelaskan sejarah peradilan pada masing-masing
kerajaan/ kesultanan di Indonesia.6

1. Pada Masa Kerajaan Aceh

Sewaktu Marcopolo singgah di peureulak pada tahun 1292, ia mendapatkan


Peureulak merupakan sebuah kota Islam. Namun, tidak disebut-sebut adanya raja
atau sultan, pelaksanaan hukum Islam di dasarkan pada tauliyah oleh ahlu halli
wa al aqdi. Sementara di Kota Samudera Pasai ada seorang raja atau sultan yang
pertama, yaitu Sultan Malik As Salih (wafat 696 H/1297 M) yang telah
memberikan bentuk tauliyah kepada hakim atau qadli dalam pelaksanaan hukum
Islam.

Peureulak merupakan daerah pertama yang memeluk Islam, namun


Samudera Pasai paling akhir di banding dengan Peureulak yang menerima Islam
sebelum 1282 M, kendati pada 1292 M, hal ini belum diamati oleh Marcopolo.
Dari data ini setidaknya dapat di katakan bahwa awal pengalaman tauliyah dari

5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 37.
6
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam......., hal. 38.

6
ahlu halli wa al aqdi paling cepat pada tahun 1282 sebelum Marcopolo singgah
1292 M di Peureulak.7

Setelah kerajaan Samudera Pasai ditaklukan Portugis sekitar tahun 1521 M,


kerajaan itu berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Banda
Aceh Darussalam. Kekentalan pengaruh ajaran Islam pada masyarakat Aceh ini
tidak hanya terjadi pada masa-masa kerajaan saja, tetapi juga terasa
hinggasekarang. Mazhab hukum Islam yang berkembang di kerajaan Aceh adalah
Mazhab Syafi‟i yang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memiliki
seseorang mufti yang terkemuka bernama Syekh Abdur Rauf Singkil.

Sultan Iskandar Muda adalah raja yang paling kokoh menjalankan aturan
syariat tanpa pandang bulu terhadap siapa pun, Sultan Iskandar Muda pernah
memberlakukan hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah
Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda berkata;
“mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak di cari.”8

Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan


peradilan negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan; tingkat pertama di
laksanakan di tingkat kampung yang di pimpin Geuchik. Pengadilan ini hanya
menangani perkara-perkara yang tergolong ringan, sedangkan perkara-perkara
berat di selesaikan oleh Balai Hukum Mukim. Apabila yang berperkara tidak puas
dengan putusan tingkat pertama, dapat mengajukan banding ke tingkat kedua
yakni Oeloebalang. Bila pada pengadilan tingkat Oeloebalang juga di anggap
tidak dapat memenuhi keinginan pencari keadilan, dapat mengajukan banding ke
pengadilan tingkat ketiga yang di sebut Panglima Sagoe. Seandainya keputusan
Panglima Sagoe tidak memuaskan, masih dapat mengajukan banding kepada
Sultan yang pelaksanaannya oleh Mahkamah Agung.

Sistem peradilan di Aceh sangat jelas menunjukan hirarki dan kekuasaan


absolutnya, hanya saja sumber tersebut tidak menggambarkan kekuasaan

7
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam......., hal. 39-41.
8
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 203-205.

7
relatifnya (wilayah), sehingga mengalami kesulitan untuk di bandingkan dengan
susunan Peradilan Agama yang ada sekarang ini. Tetapi setidaknya dapat di
gambarkan bahwa kompetensi relatif pengadilan di Aceh tersebut mengikuti pada
luas dan batas kampung di tingkat pertama, di tingkat kedua yakni Oeloebalang
yang mewilayahi himpunan beberapa kampung, sekarang bisa di banding dengan
kecamatan atau mungkin lebih tepat seperti Nagari di Minangkabau, tingkat
Panglima Sagoewilayah kekuasaannya beberapa Kecamatan atau Nagari, sedang
Mahkamah Agungnya adalah Malikul Adil, Sri Paduka Tuan Bendhara Fakih,
mempunyai relatif kompetensi mewilayah seluruh wilayah yang tunduk dibawah
pemerintahan nya.9

2. Pada Masa Kerajaan Mataram

Kerajaan Islam yang paling berpengaruh di pulau jawa adalah Demak (yang
kemudian di ganti oleh Mataram), Cirebon dan Banten. Di Indonesia Timur
terdapat kerajaan Goa di Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya meluas
hingga kepulauan Filipina. Di Sumatera yang ada kerajaan Aceh yang wilayahnya
meliputi kawasan Melayu termasuk Malaysia dan sekitarnya. Perkembangan
peradilan agama kerajaan mataram yang paling menonjol adalah pada masa Sultan
Agung (1613-1645). Pada saat itu sebelum pengaruh Islam masuk dalam sistem
peradilan, maka yang berkembang adalah ajaran Hindu yang memengaruhi sistem
peradilan. Ketika itu perkara di bagi menjadi dua bagian, yaitu perkara yang
menjadi urusan raja (perkaranya di sebut perkara perdata) dan perkara yang bukan
urusan pengadilan raja (perkaranya di sebut Padu).10

Dengan munculnya mataram menjadi kerajaan Islam, di bawah


pemerintahan Sultan Agung mulai diadakan perubahan dalam sistem peradilan.
Beliau memasukkan unsur-unsur hukum dan ajaran agama Islam dalam Peradilan
Pradata dengan mengorbitkan orang-orang yang berkompeten dalam bidang
hukum Islam di lembaga peradilan. Sultan Agung mengambil kebijakan politik
9
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam......., hal. 42.
10
Miftakhur Ridlo, “ Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan
Penjajahan Sampai Kemerdekaan,” Jurnal Hukum Islam, vol. 7, no. 2, 2021, hal. 155

8
hukumnya dengan mengisi lembaga yang telah berkembang di tengah-tengah
masyarakat dengan prinsip keIslamannya. Namun, setelah kondisi masyarakat di
pandang siap dan paham dengan kebijakan yang di ambil Sultan Agung.

Banten sudah menjadi kota penting dan bersejarah sejak sebelum Islam
datang ke Indonesia, yaitu pada saat banten berada dalam kekuasaan raja-raja
sunda, bahkan mungkin sebelumnya. Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang
paling ketat melaksanakan hukum Islam dan tidak lagi di pengaruhi oleh hukum
adat, Budha atau Hindu.

Di banten, pengadilan di susun menurut syariat Islam. Pada masa Sultan


Hasanuddin memegang kekuasaan di banten hanya ada satu pengadilan yang
dipimpin Qadhi sebagai hakim tunggal. Sedang di Cirebon, pengadilan di
laksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga Sultan, yaitu Sultan
Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Semua aturan dan proses
beracara dalampersidangan serta pengambilan sebuah keputusan merujuk kepada
perundang-undangan dan hukum Jawa. Kitab hukum yang menjadi rujukan adalah
Papakem Cirebon. Kitab ini merupakan sebuah kompilasi dari hukum dan
perundang-undangan Jawa kuno, memuat kitab hukum raja niscaya, Undang-
undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adidullah. Namun, satu
hal yang tidak bisa di pungkiri bahwa Papakem Cirebon dipengaruhi Hukum
Islam.

Pada saat Sultan Ageng Ttirtayasa berkuasa (1651-1680), hukum


Islamsudah di berlakukan secara sempurna. Hukum potong tangan bagi pencuri
dengan memotong tangan kanan, kaki kiri seterusnya sudah di berlakukan bagi
pencurian dengan nilai 1 gram emas. Sejarah Banten menyebutkan bahwa Syaikh
tertinggi bergelar Kyai Ali atau Ki Ali yang kemudian di kenal dengan
istilahQadhi. Posisi Qadhi ini pada awal nya dijabat oleh seorang ulama dari
Makkah, tetapi mulai tahun 1650 dan awal 1651 para qadhi sudah mulai di jabat
oleh para bangsawan Banten.

9
3. Pada Masa Kerajaan Islam di Sulawesi

Di Sulawesi integrasi ajaran Islamdan lembaga-lembaganya dalam


pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancar karena peranan raja. Di sulawesi,
kerajaan yang mula-mula menerima Islam dengan resmi adalah Kerajaan Tallo di
Sulawesi Selatan. Kemudian menyusul Kerajaan Gowa yang muncul sebagai
kerajaan terkuat dan mempunyai pengaruh di kalangan masyarakatnya. Melalui
kekuasaan politik dalam struktur kerajaan di tempatkan parewa syara‟ (pejabat
syariat) yang berkedudukan sama dengan parewa adek (pejabat adek) yang
sebelum datangnya Islam telah ada. Parewa Syara’ dipimpin oleh kali (Kadli),
yaitu pejabat tertinggi dalam syariat Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan.
Di masing-masing Paleli diangkat pejabat bahwan yang di sebut imam serta di
bantu oleh seorang khatib dan seorang bilal. Para kadi dan pejabat urusan ini di
berikan gaji yang di ambilkan dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah idul fitri dan
idul adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan
pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintahan raja Gowa XV (1637-1653)
ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja goa sendiri yang menjadi hakim
agama Islam.

Sementara itu di beberapa wilayah lain, seperti Kalimantan Selatan dan


Timur, dan tempat-tempat lain, para hakim agama diangkat penguasa setempat. Di
daerah-daerah lain, seperti Sumatera Utara, tidak ada kedudukan tersendiri bagi
penyelenggaraan Peradilan Islam. Para pejabat agama langsung melaksanakan
tugas-tugas peradilan, sebagaimana ditemukan di Palembang. Pengadilan agama
yang di pimpin pangeran penghulu merupakan bagian dari struktur pemerintahan,
di samping Pengadilan Syahbandar dan Pengadilan Patih. Di Pengadilan
Syahbandar perkara di putus dengan berpedoman kepada hukum Islam dan ajaran
Qur‟an, sedangkan di Pengadilan Patih perkara di putus dengan berpedoman
hukum adat.11

11
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam......., hal. 45.

10
4. Peradilan agama Islam di Periangan

Di Cirebon atau Periangan terdapat tiga bentuk peradilan; Peradilan Agama,


Peradilan Drigama, dan Peradilan Cilaga. Kompetensi Peradilan Agama adalah
perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukum mati, yaitu yang
menjadi absolut kompetensi peradilan pradata di Mataram. Perkara-perkara tidak
lagi dikirim ke Mataram, karena belakangan kekuasaan pemerintah Mataram telah
merosot. Kewenangan absolut Peradilan Drigama adalah perkara-perkara
perkawinan dan waris. Sedangkan Peradilan Cilaga khusus menangani sengketa
perniagaan. Pengadilan ini dikenal dengan pengadilan wasit.12

5. Peradilan Agama Islam di Banten

Sementara itu di Banten pengadilan disusun menurut pengertian Islam. Pada


masa sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu sudah
tidak berbekas lagi. Karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin
oleh Qodli sebagai hakim tunggal. lain halnya dengan Cirebon yang
pengadilannya dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan
yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon. Kitab hukum yang
digunakan adalah pepakem Cirebon yang merupakan kumpulan macam-macam
Hukum Jawa Kuno memuat Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-Undang
Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adidullah. Namun satu hal yang
tidak dipungkiri bahwa pepakem Cirebon tanpa adanya pengaruh hukum Islam.13

12
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam......., hal. 33
13
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia......., hal. 115.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebelum Islam masuk ke nusantara, peradilan agama telah ada dan
berkembang hingga datang nya Islam. Sifat Islam yang meniadakan tingkat atau
kasta, maka semakin mudah Islam masuk ke dalam kerajaan-kerajaan. Sehingga
segala aspek yang beraturan ajaran hindu, saat itu beralih menjadi ajaran Islam.
Kemudian masyarakat mulai melaksanakan ajaran Islam. Oleh karena di
kerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja (yang berkuasa
mutlak), maka kekuasaan mengadili pun ada pada tangan raja. Akan tetapi tidak
dapat di sangkal pula bahwa di Indonesiatidak semua perkara diadili oleh raja dan
bahwa di tiap-tiap kesatuan hukum tiap-tiap kepala adat atau daerah menjadi
hukum perdamaian.
Periodisasi peradilan Islam di Indonesia sebelum datangnya pemerintahan
kolonial adalah sebagai berikut:
1) Periode Tahkim
2) Periode Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi
3) Periode Tauliyah.

B. Saran
Kami menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
untuk itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik pembaca agar
penyusunan makalah ke depannya lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi pembaca maupun penulis.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, 2000. Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.

Ahmad Rofiq, 1998. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Alaidin Koto, 2012. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Press.

Cik Hasan Bisri, 2003. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Faisal, 2019. “Histori Pemberlakuan Peradilan Agama Era Kerajaan Islam dan
Penjajahan di Indonesia,” Jurnal Al-Qadha, vol. 6, no.1.

Miftakhur Ridlo, 2021. “ Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa


Kesultanan dan Penjajahan Sampai Kemerdekaan,” Jurnal Hukum Islam,
vol. 7, no. 2.

13

Anda mungkin juga menyukai