Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

SEJARAH PERADILAN ISLAM


MASA KEKHALIFAHAN DINASTI ABBASIYAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Malik Ibrahim, M. Ag.

Disusun Oleh :
Nelta Elva Fadhila (20103050037)
Linda Arista Meylina (20103050042)

HUKUM KELUARGA ISLAM (C)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya. Sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Tugas makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradilan Islam. Terima kasih kami
ucapkan kepada pihak-piha yang telah bersedia membantu melancarkan penulisan
makalah ini. Dalam hal ini, pihak-pihak yang dimaksud yaitu :

1. Kedua orang tua kami yang selalu mendukung dalam penulisan makalah
ini
2. Dr. Malik Ibrahim, S. Ag, M. Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah
Sejarah Peradilan Islam.
3. Dan teman-teman kelas HKI (C) yang telah membantu selama penulisan
makalah ini.

Harapan penulis setelah pembaca membaca makalah ini, para pembaca


bisa memahami dengan baik mengenai apa yang penulis sampaikan dalam
makalah ini dan dapat menambah wawasan yang insyaallah akan bermanfaat
kedepannya. Penulis memohon maaf atas kekurangan dalam penyusunan makalah
ini, serta kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan.

Yogyakarta, 03 Oktober 2022

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Perkembangan Peradilan Islam Sebelum Masa Dinasti Abbasiyah..........3
2.2 Kondisi Politik Era Dinasti Abbasiyah.....................................................4
2.3 Karakteristik Peradilan Masa Abbasiyah..................................................8
2.4 Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah.................................................12
2.5 Manajemen Hakim Pada Masa Dinasti Abbasiyah.................................16
2.6 Perbedaan Peradilan Masa Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah............17
BAB III..................................................................................................................21
PENUTUP..............................................................................................................21
3.1 Kesimpulan..............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
CV PENULIS.........................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan
dalam berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual,
seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu
berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah
ketiga, al-Mahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih
khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-
833 M), anaknya terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti
Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat
dalam sejarah Islam dan diidentikkan dengan istilah “the golden age of Islam”
Tanpa meniadakan tatanan yang telah ditinggalkan oleh Dinasti Umayyah,
baik dalam ilmu pengetahuan dan pemerintahan, Abbasiyah mampu
mengembangkan dan memanfaatkan lembaga yang sudah pernah ada pada
masa umayyah.

Kemajuan lain yang tak kalah penting adalah dalam bidang peradilan
dimana pada masa Abbasiyah sistem administrasi peradilan pada masa ini
sudah tersusun dengan rapi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga
lembaga peradilan yang terbentuk pada masa ini. Makalah ini akan mencoba
memaparkan lebih jauh sejarah peradilan di masa Dinasti Abbasiyah

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perkembangan peradilan islam sebelum masa Dinasti
Abbasiyah?
2. Bagaimana kondisi politik masa Dinasti Abbasiyah?
3. Apa karakteristik peradilan masa Dinasti Abbasiyah?
2

4. Apa keunggulan peradilan islam masa Dinasti Abbasiyah?


5. Bagaimana manajemen hakim pada masa Dinasti Abbasiyah?
6. Apa kelebihan dan kekurangan peradilan Masa Dinasti Abasiyah

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui perkembangan peradilan islam sebelum masa Dinasti
Abbasiyah
2. Memahami kondisi politik masa Dinasti Abbasiyah
3. Mengetahui karakteristik peradilan Islam masa dinasti Abbasiyah
4. Mengetahui keunggulan peradilan Islam masa dinasti Abbasiyah
5. Memahami manajemen hakim masa dinasti Abbasiyah
6. Mampu mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan peradilan masa
dinasti Abbasiyah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Peradilan Islam Sebelum Masa Dinasti Abbasiyah


Bersama dengan datangnya islam, maka undang undang yang berlaku saat
itu mulai digantikan dengan Al-Qur’an yang prinsip utamanya ialah tegaknya
keadilan serta kebenaran. Selain itu pada masa ini Keberadaan Nabi
Muhammad SAW juga menduduki kekuasaan yudikatif sekaligus sebagai
penerima dan penyampai wahyu dari Allah. Pada mulanya peradilan islam
dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam kapasitas sebagai hakim,
tidak jarang Rasulullah saw. Melimpahkan wewenang kepada sahabat yang
dipercayainya, seperti, `Alī bin Abī Ṭālib, Ḥużaifah bin al-Yaman, `Uqbah
bin `Amr, Ma`qil bin Yasār, `Amr bin al-Āṣ, `Alqamah dan sebagainya, baik
ketika Rasulullah saw. sedang berada di tempat tersebut maupun tidak,
beberapa di antara mereka diutus ke daerah-daerah kekuasaan Islam.1

Di zaman Nabi saw., setelah perkara diputuskan oleh Rasulullah, para


pihak melaksanakan dengan sukarela. Tidak pernah terdengar adanya pihak
yang bersengketa untuk menentang putusan Rasulullah saw. Dalam
menangani perkara, Nabi saw. selalu mendengar keterangan kedua belah
pihak. Nabi saw. tidak akan menetapkan sebuah putusan sebelum mendengar
kedua belah pihak. Hal ini dilakukan agar perkara tersebut menjadi jelas
baginya dan ia dapat memutuskan secara adil.

Setelah Rasulullah saw. wafat, maka estafet perjuangan Islam dilanjutkan


oleh Khulafaur Rasyidin. Sistem peradilan pada zaman Nabi saw. dan
khulafaurasyidin tidak jauh berbeda dari segi sebagai pemimpin sekaligus
sebagai hakim peradilan yang turun tangan langsung dalam menyelesaikan

1
Awal Rifai Wahab, Asni, Muh. Saleh Ridwan. “Peradilan Islam pada Masa Rasulullah
dan Khulafaurasyidin: Studi Komparatif Peradilan Islam Era Klasik”, BUSTANUL FUQAHA:
Jurnal Bidang Hukum Islam Vol. 3, No. 1 (2022), hlm. 32-46.
4

perkara-perkara yang terjadi di tengah masyarakat. Hanya saja, terjadi sedikit


perbedaan dari segi kapasitas diri pribadi Rasulullah saw. Yang menerima
langsung wahyu dari Allah swt. dibandingkan dengan para khulafaurasyidin
yang tidak menerima langsung wahyu dari Allah swt . dalam pemutusan
perkara pada periode khulafaur rasyidin masih sama seperti masa rasulullah
yaitu berpedoman pada AL-Qur’an dan Sunnah namun karena semakin
luasnya wilayah kekuasaan islam maka terdapat permasalahan baru yang
kemudian diselesaikan dengan ijtihad karena baik al qur’an maupun sunnah
tidak menjelaskan secara spesifik.2

Pada zaman Bani Umayah, al-qadha dikenal dengan al-Nizham al-


Qadhaaiy (institusi kehakiman), dimana kekuasaan pengadilan telah
dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada dua ciri khas peradilan pada masa
Bani Umayah, yaitu Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya
sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma‟. Ketika itu mazhab
belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para
hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
Kemudian lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh
penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang
sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa..3

2.2 Kondisi Politik Era Dinasti Abbasiyah


Pembai‘atan Abu al-Abbas sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah yang
pertama pada tahun 122 H./749 M. di Masjid Kuffah, menandai berdirinya
Dinasti Abbasiyah secara resmi. Akan tetapi kekuasaan dan pengaruh Dinasti
Umayyah yang berpusat di Damaskus masih tetap eksis dibawah
pemerintahan khalifah-nya, Marwan II. Pada masa awal berdirinya Dinasti
Abbasiyah ini, terjadi dualisme kekuasaan yaitu kekuasaan Dinasti Umayyah.
Untuk menghadapi kekuatan Dinasti Umayyah tersebut. Akhirnya terjadilah

2
Ibid, hlm. 32-46
3
As’ari, Transformasi Peradilan pada Masa Umar Bin Abdul Aziz, Jurnal Islamika,
Volume 17, Nomor 1, 2017, hlm. 31.
5

pertempuran yang dahsyat antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan


Umayyah di lembah sungai Az-Zab. Dalam pertempuran ini, pasukan
Umayyah mengalami kekalahan dan khalifah Marwan II berhasil melarikan
diri. Dengan demikian, berarti Dinasti Abbasiyah telah berhasil menguasai
daerahdaerah Syam termasuk pusat pemerintahan Dinasti Umayyah. Upaya
pembersihan keturunan Dinasti Umayyah serta pengejaran terhadap khalifah
Marwan II terus dilakukan. Akhirnya, pada tahun 123 H./750 M. pasukan
Abbasiyah dibawah pimpinan Shaleh bin Ali berhasil membunuh khalifah
Marwan II. 4

Kejayaan Daulah Bani Abbas terjadi pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid
(170-193 H/78-809 M) dan anaknya Al-Makmun (198-218 H/ 813-833 M).
ketika Ar-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan
melimpah, keamanan terjamin. Pada masanya hidup para filosof, pujangga,
ahli baca Alquran dan para ulama dibidang agama. Dari semua khalifah
Abbasiyah, al-Makmun (m. 813-833) tampil sebagai khalifah yang paling
gigih berusaha mewujudkan kerajaan yang ideal. Ia berkeinginan agar
kekhalifahan mandiri dari pengaruh tentara dan dari para pemimpin agama
popular dengan cara memikat hati dan pikiran rakyatnya secara langsung. Ia
mengadopsi sebuah kebijakan kultural yang dirancang untuk meningkatkan
tatanan budaya tinggi dan standar intelektualitas yang luhur.

Disisi lain, kemajuan politik yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ini
adalah masuknya orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah
memberikan peluang yang cukup besar kepada orang-orang Mawali
keturunan Persia untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis
seperti jabatan Wazir. Dengan demikian, pengaruh Persia semakin signifikan
dalam tatanan kehidupan politik pada masa itu. Kehidupan ala Persia menjadi
trendsetter, baik pemikiran maupun gaya hidup. Hal ini berlaku tidak hanya

4
Abdullah Manshur, Perkembangan Politik Dan Ilmu Pengetahuan Pada Dinasti
Abbasiyah.
6

pada kalangan masyarakat awam, akan tetapi juga terjadi di kalangan elit
pemerintahan.

Sistem pemerintahan yang dikembangkan Bani Abbas merupakan


pengembangan dari bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya, Bani Abbas
mengembangkan system pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek,
yaitu5:

1. Aspek Khilafah
Berbeda dengan pemerintahan Bani Umaiyah, Bani Abbas
menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap
agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk
memperkuat posisi dan melegitimasikan kekuasaan mereka terhadap
rakyat. Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini terlihat
dalam pernyataan al-Manshur bahwa dirinya adalah wakil Allah di
bumi-Nya (Zhill Allahfi al-Ardh),
2. Aspek Wizarah
Wizarah adalah salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu
tugas-tugas kepala negara. Orang yang membantu dalam pelaksanaan
tugas-tugas kenegaraan tersebut dinamakan wazir. Sebelum masa Bani
Abbas, wizarah memang sudah ada, namun belum terlembaga. Pada
masa Bani Abbas, di bawah pengaruh kebudayaan Persia, wazir ini
mulai dilembagakan. Dalam pemerintahan al-Saffah, wazir yang
diangkatnya adalah Abu Salamah al-Khallal ibn Sulaiman al-
Hamadzani. Wazir bertugas sebagai tangan kanan khalifah.
3. Asperk Kitabah
Pada masa Bani Abbas berkuasa, juga diangkat katib-katib oleh wazir
untuk membantu wazir dalam pemerintahan, ini disebabkan karena
besarnya pengaruh wazir pada masa itu, sehingga wazir membutuhkan
tenaga-tenaga untuk membantu tugastugasnya dalam mengkoordinasi
masing-masing departemen. Di antara jabatan katib ini yaitu: katib al-

5
Nurfazillah, Praktik Politik Dalam Sejarah Islam Era Dinasti-Dinasti Islam, Al-Jjtima’i,
Vol. 6, No. 1, Oktober 2020
7

rasa’il (asisten pribadi), katib al-kharaj (pajak), katib al-jund


(militer), katib alsyurthah, dan katib al-qadhi (hakim).
4. Aspek Hijabah

Hijabah berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem


pemerintahan Bani Abbas, hajib (petugas hijab) berarti pengawal
khalifah, karena tugas dan wewenang mereka adalah menghalangi dan
membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan Khalifah
Bani Abbas. Mereka bertugas menjaga keselamatan dan keamanan
Khalifah. Selain itu, untuk urusan daerah (provinsi), khalifah Bani
Abbas mengangkat kepala daerah (amir) sebagai pembantu mereka
dalam pemerintahan. Ketika mereka masih kuat, sistem pemerintahan
bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada
khalifah yang diwakili oleh wazir.

Politik yang dijalankan oleh daulah Abbasiyah:6

1. Kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh khalifah yang mempertahankan


keturunan Arab murni dibantu oleh Wazir, menteri, gubernur dan para
panglima beserta pegawai-pegawai yang berasal dan berbagai bangsa
dan pada masa ini yang sedang banyak diangkat dari golongan
Mawali turunan Persia.
2. Kebijakan terpenting yang dilakukan al-Manshur adalah
memindahkan ibu kota kerajaan ke Baghdad pada tahun 145 H/762 M.
Pada mulanya, pusat pemerintahan Abbasiyah adalah di Kufah.
Namun karena kota ini kurang aman, karena Kufah adalah basis
pendukung Syi’ah yang sangat pro Ali, kamudian al-Saffah
memindahkannya ke Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun disini juga
masih dirasa kurang aman, sehingga pada al-Manshur, ibu kota
dipindahkan ke Baghdad.
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting dan
mulia. Sebagai bentuk apresiasi kepada ilmu pengetahuan,
6
Ibid
8

khalifah berani membayar mahal kepada ilmuwan-ilmuwan yang


berhasil menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing kedalam bahasa
Arab, seperti dari bahasa Yunani dan lain-lain.
4. Kebebasan berpikir diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan
pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taqlid, hal mana
menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam
segala bidang termasuk bidang aqidah, filsafat, ibadah, dan
sebagainya.
5. Para menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan
pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam
membina tamaddun Islam.7

2.3 Karakteristik Peradilan Masa Abbasiyah


Masa dinasti Abbasiyah, Khalifah dalam menjalankan pemerintahannya
dibantu oleh beberapa lembaga negara yang memiliki tugas khusus. Khalifah
menduduki puncak tertinggi kepemimpinan yang menjalankan tata usaha
negara, dibantu dengan Diwan al-Kitabah yang dipimpin oleh Ra’is al-Kutub
atau sekretaris negara yang mana dalam menjalankan tugasnya sekretaris
negara ini masih dibantu dengan beberapa sekretaris. Diantaranya disebut
dengan Katibu al-Qada’ (sekretaris dalam bidang kehakiman), dan dalam
urusan pelaksanaan tugas pemerintahan negara khalifah mengangkat wizarat
yang sekarang setara dengan perdana Menteri. Dalam melaksanakan tugasnya
seorang perdana Menteri dibantu oleh Ra’is ad- Diwan, yaitu Menteri
berbagai macam departemen, diantaranya Diwan al-diyah (departemen
hukum) dan Diwan al-Nazar fi Mazalim (departemen pembelaan rakyat
tertindas.
Pembagian wilayah negara (‘Imarat) ke dalam beberapa provinsi terjadi
pada masa dinasti Abbasiyah. Pembagian ini berdampak pada tugas dan
wewenang al-Qada’ yang terbagi atas dua bentuk: Pertama, gubernur di tiap
provinsi diberi hak kekuasaan yang cukup besar di segala bidang urusan
negara dan kehakiman. Kedua, gubernur hanya diberikan wewenang terbatas.
7
Ibid, hlm. 51.
9

Ketiga, merupakan provinsi bersifat de facto yang didirikan oleh seorang


panglima dengan hasil kekerasan, kemudian terpaksa diakui dan panglima
tersebut secara otomatis menjabat sebagai gubernurnya.
Peradilan masa dinasti Abbasiyah telah memiliki gedung khusus dan telah
memperhatikan administrasi peradilan. Terdapat penetapan hari sidang, serta
sudah memiliki anggota khusus seperti panitera pengganti sebagaimana
layaknya pengadilan pada masa sekarang. Menurut Ibnu Khaldun, pada masa
ini kodifikasi putusan telah tertata secara sempurna serta terdapat pula
pencatatan wasiat-wasiat dan hutang-hutang. 8

Lahirnya Mazhab dan Pengaruhnya terhadap perkembangan Peradilan


masa dinasti Abbasiyah

1. Mazhab Hanafi
Pendiri atau pembangun mazhab Hanafi ialah : Nu‟man bin Tsabit bin
Zauhti yang dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699
M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan hari lahirnya Imam
Syafi‟i R. A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An
Nu‟main. Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak). Abu Hanifah
dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra‟yi. Dalam menetapkan hukum Islam,
baik yang diistinbathkan, dari al-Qur‟an ataupun hadits, beliau banyak
menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra’yi dari khabar ahad.
Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum
dengan jalan qiyas dan istihsan.
Mahzab Hanafi berkembang saat Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat
menjadi qodli dalam tiga pemerintahan Abbasiyah, yaitu Khalifah al-
Mahdi, al-Hadi, dan Harun alRasyid (dengan kitab al-kharaj disusun atas
permintaannya).9 Kealimannya di bidang hukum Islam menjadikan Abu
Yusuf diangkat menjadi hakim di Baghdad dan kemudian menjadi hakim

8
Muhammad Habibi, “Legalitas Hukum Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia”, Media
Syari’ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Vol 2, No 22, 2020, hlm. 132-133
9
Nafiul Lubab dan Novita Pancaningrum, Mazhab: Keterkungkungan Intelektual Atau
Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam), YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015
10

tinggi pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Melalui kedudukan tersebut, ia


berwewenang untuk mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim di
seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyyah. Dengan kedudukan ini pula, ia
mempunyai kesempatan untuk menyebarluaskan mazhab Hanafi dalam
praktek hukum. Mazhab Hanafi sempat berkembang di Mesir selama dua
periode Dinasti Abbasiyyah, namun setelah itu yang menjadi hakim tidak
hanya dibatasi dari mazhab Hanafi saja, tetapi dapat dipimpin oleh ulama
yang bermazhab Maliki ataupun Syafi‟i.10
2. Mazhab Maliki
Pendiri atau pengembang mazhab ini ialah Malik bin Anas al-Ashbahiy.
Beliau lahir di Madinah pada tahun 93 H. Pemikiran Imam Malik dalam
bidang hukum Islam sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, yaitu
Madinah sebagai pusat timbulnya sunnah Rasulullah dan sunnah sahabat.
Sehingga pemikiran hukumnya banyak berpegang kepada sunnah- sunnah
tersebut, kalau terjadi perbedaan satu sunnah dengan yang lainnya, maka
ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. 11
Mazhab ini timbul dan berkembang di Madinah lalu ke Hijaz sampai ke
Mesir, Magribi (Maroko) dan Andalus di Spanyol. Sehingga negara-
negara yan meminati mazhab ini banyak menghadiri kajian-kajian Mazhab
Malik. Buku-buku yang dikaji selain al-Muwaththa’ juga al-Mudawwanah
yang merupakan kitab dasar fiqhi Mazhab Malik
3. Mazhab Syafi’i
Pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup pada
zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada
teks hadis) dan Ahlur Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran
atau ijtihad). Imam Syafi'i mulanya belajar kepada Imam Malik sebagai
tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani

10
M. Iqbal Juliansyahzen, “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian Sosio-
Historis Seputar Hukum Keluarga”, Jurnal Al-Mazahib, Vol 3, Nomor 1, (Juni 2015) Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 77-78 http://journal.uin-suka.ac.id
11
Darmawati. H, Hukum Islam Pada Masa Imam-Imam Mujtahid (101 H – 350 H / 750 M
– 961 M), Sulesana, Volume 7 Nomor 2 Tahun 2012
11

sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Beliau
juga belajar dari banyak ulama-ulama Hijaz.
Imam Syafi‟i adalah pakar yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh yang
tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan
lingkungan tempat beliau menentukan hukum, sehingga tidak segan-segan
untuk mengubah penetapan yang semula telah ia lakukan untuk
menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubah keadaan
lingkungan yang dihadapi.
4. Mazhab Hambali
Mazhab ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad ibn
Hanbal al Syaibany dilahirkan di Baghdadtepatnya di kota Maru/Mery,
kota kelahiran sang ibu, pada bulan Rabiulawal tahun 164 H atau bulan
Nopember 780 M. Imam Ahmad ibn Hanbal menganggap Imam Syafi’i
sebagai guru besarnya, oleh karena itu di dalam pemikiran ia banyak
dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani mengatakan
bahwa cara ijtihad Imam Ahmad ibn Hanbal sangat dekat dengan cara
ijtihad Imam as-Syafi’i. Ibn Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa
pendapatpendapat Imam Ahmad ibn Hanbal dibangun atas 5 dasar yaitu,
Nushus yaitu al-Quran dan hadits, Fatwa sahabat, Pendapat sahabat yang
dekat dengan al-Quran dan sunnah, Hadits mursal dan hadits dhaif, dan
Qiyas.

Dalam memutuskan perkara, hakim masih berstatus mujtahid, artinya


sumber hukumnya dari al-Qur‟an, hadis, dan fiqh, walaupun secara
administratif para hakim diperintahkan oleh khalifah untuk menyelesaikan
perkara dengan berpegang pada mazhab yang ada. Abu Yusuf misalnya,
walaupun bermazhab Hanafi tapi dia masih berijtihad dan dalam hal
tertentu ia berbeda pendapat dengan gurunya. Dan ini berarti ada campur
tangan para khalifah. Di Irak, Qadhi memutuskan perkara menurut
mazhab Abu Hanifah, di Syiria dan Maroko menurut Mazhab Malik dan
Mesir menurut Mazhab Syafi‟i. Bila pihak yang berperkara tidak
12

semazhab dengan qadhi, maka qadhi tersebut diganti dengan qadhi yang
semazhab dengannya12

2.4 Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Peradilan pada masa dinasti Abbasiyah dapat dibagi ke dalam dua fase,
masa Abbasinyah I dan masa Abbasiyah II.

I. Masa Abbasiyah I
Masa Abbasiyah I dapat dikatakan pula sebagai masa kejayaan Islam,
akan tetapi pada awalnya masa tersebut dikenal dengan taasub
madzhab karena begitu kentalnya kebiasaan tersebut masih
dipertahankan sedemikian rupa dan pada akhirnya karena masa
pemerintahan daulah tersebut telah berjalan kurang lebih lima abad
lebih lamanya dan juga telah terjadi pergantian raja yang silih
berganti, akhirnya daulah Abbasiyah semakin mengalami kemunduran
dan berakhir runtuh.
Pada zaman Abbasiyah hukum berdasarkan agama dan untuk
kepentingan agama pada zaman itu kejayaan maju. Akibatnya terjadi
pembaharuan-pembaharuan karena perkembangan ilmu pengetahuan
ekonomu dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat, maka
terjadilah pertentangan di kalangan fuqaha dengan madzhab.
Khalifah Abu Ja’far ibn Manshur yang pada masa pemerintahannya
membentuk Lembaga-lembaga pemerintahan seperti al-hajib
(protokoler kenegaraan), wizarah (kementrian), al-katib (sekretaris
atau juru tulis), dan juga mendirikan al-qadi (peradilan). Pada saat itu
terbentuklah Qadh al-Qudhat oleh Khalifah di ibukota daulah yang
bertindak selaku jaksa agung, yang diangkat pada masa itu adalah Abu
Yusuf. Beliau adalah seorang faqih yang bermadzhab Hanafi. Oleh
karena itu para qadhi pada masa daulah Abbasiyah menjalankan
tugasnya berdasarkan arahan Qadhi al-Qudhat karena pada zaman itu
12
Muhammad Mutawali, Epistemologi Hukum Islam Dan Sistem Peradilan Dalam Islam,
Schemata, Volume 6, Nomor 2, Desember 2017
13

tiap wilayah (provinsi) mempunyai qadhi. Di Andalusia terkenal


dengan nama Qadhi al-jama’at, yaitu pada tiap-tiap provinsi ada
Qadhi sebagai mahkamah agung yang merupakan pimpinan semua
qadhi yang ada di seluruh wilayahnya.13
Pada masa Abbasiyah terdapat beberapa organisasi kehakiman yang
berdiri pada zaman itu, diantaranya yaitu:
a. Dar Qadhi al-Quha (fungsi dan tugasnya mirip dengan
Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh Qadhi al-Qudha’
(Ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan peradilan atau
badan-badan lain yang ada hubungannya dengan kehakiman
berada dibawah diwan al-Qudha’.
b. Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai Pengadilan
Tinggi)
c. Qudhah al-Amsaar (Hakim kota yang mengepalai pengadilan
negeri; al-Qadau atau al-Hisab).
d. Al-Sultah al-Qadhaiyah yaitu jabatan kejaksaan. Dipimpin oleh
al-Mudda’it Umumy (jaksa agung) yang berkedudukan di ibukota
negara dan di tiap-tiap kota dipimpin oleh Naib Umumy (jaksa).14

Adapun badan-badan peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga


macam, yaitu sebagai berikut:

a. Al-Qadha, hakimnya bergelar al-Qadhi. Bertugas


mengurus perkara yang berhubungan dengan agama pada
umumnya. Al-Qadha adalah Lembaga yang berfungsi
memberi penerangan dan pembinaan hukum,
menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah
wakaf. Pada masa Abbasiyah setiap perkara diselesaikan

13
Frangky Suleman, “Peradilan Masa Bani Abbasiyah,” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol 14
No.1 (2016), hlm. 3- 4
14
A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5, hlm.
234-235
14

dengan berpedoman pada madzhab masing-masing yang


dianut oleh masyarakat.15
b. Al-Hisbah,hakim yang bergelar Muhtasib, bertugas
menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan
masalah-masalah umum dan tindak pidana yang
memerlukan pengurusan segera. Tugas pejabat al-hisbah
adalah amar ma’ruf nahi munkar, baik yang berkaitan
dengan hak Allah, hak hamba, atau hak keduanya. Yang
berkaitan dengan hak Allah misalnya, melarang
mengkonsumsi minuman keras,melarang melakukan hal-
hal keji seperti berbuat zina dan yang lainnya. Sedangkan
yang berkaitan dengan hak hamba seperti melarang
mengganggu kelancaran lalu lintas. Yang berkaitan hak
keduanya (hak Allah dan hamba) misalnya melarang
berbuat curang dan muamalat seperti penipuan dalam
takaran dan timbangan. Jadi seorang muhtasib harus
mampu mengajak masyarakat menjaga ketertiban umum.16
c. Wilayat al-Mazhalim, hakim yang bergelar Shahibul atau
Qadhi al Mazhalim, yaitu kekuasaan pengadilan yang lebih
tinggi dari kekuasaan hakim dan muhtasin, yang bertugas
memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam
wewenang hakim biasa, tetapi pada kasus-kasus yang
menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa
terhadap rakyat biasa. Seperti kedzaliman dan
ketidakadilan yang dilakukan oleh para hakim-hakim.
Contohnya ada seorang wanita yang mengadukan anak
khalifah al-Abbas yang telah menzaliminya dengan
merampas tanah haknya.17
II. Masa Abbasiyah II
15
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, hlm. 130
16
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 128
17
Ibid, hlm. 136
15

Zaman kemunduran daulah Abbasiyah di mulai pada masa ini.


Tanda-tanda awal kerentuhuannya sudah mulai tampak. Khilafah
Islam pasa waktu ini sudah sangat lemah, hal ini berpengaruh pada
melemahnya kewenangan Qadhi sehingga daerah operasionalnya
menjadi sempit, yang hanya terbatas pada masalah hukum syariah
yang berkembang di masyarakat. Tanda-tanda awal sebelum daulah
Abbasiyah mengalami kemunduran sudah dirasakan di dalam sendi-
sendi kehidupan kenegaraan dan sosial kemasyarakatan umat Islam,
yaitu menjangkitnya berbagai macam kritis, sosial, politik,
budaya,agama, dan sebagainya. Semangat untuk berjihad telah sirna
karena mereka terlalu cinta kepada dunia. Kebudayaan dan peradaban
Islam yang diagung-agungkan sudah tidak ada harganya. Salah satu
contoh dari fenomena ini ialah pada masa pemerintahan Khalifah al-
Manshur, beliau menawarkan jabatan Qadhi kepada tiga imam besar
yang terkenal zuhud dan wara’ nya (Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Ibn Abi Dzi’b). Ketiga imam besar ini menolak tawaran jabatan
tersebut secara halus dan argumentative, namun karena penolakan ini
mereka akhirnya dijebloskan ke dalam penjara. Alasan mereka
menolak jabatan qadhi yang setinggi itu dikarenakan hendak
memelihara kepentingan agama mereka. Karena sekalipun mereka
menjadi seorang Qadhi (hakim) negara, tetapi kalau hukum-hukum
Allah tidak dilaksanakan maka akan sia-sia belaka.18
Pada masa ini, organisasi peradilan khususnya qadhi-al-qudhah,
sudah mengalami perubahan. Qadhi al-qudhah tidak hanya berada di
pusat pemerintahan (Baghdad), tetapi juga di daerah-daerah. Hal ini
terjadi dikarenakan banyaknya daerah yang memisahkan diri dari
pusat pemerintahan, Baghdad. Istilah qadhi al-qudhah tidak sama di
tiap negeri, seperti di Andalusia disebut dengan Qadhi al- Jama’ah.19

18
Frangky Suleman, “Peradilan Masa Bani Abbasiyah,” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol 14
No.1 (2016), hlm. 7-8
19
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 161
16

Periode ke dua masa Abbasiyah para hakim memutuskan perkara


mengacu pada imam-imam mazhab secara taklid (hakim muqallid),
pada masa ini yang diangkat menjadi hakim dipilih oleh seorang
ulama yang secara taklid dari mazhab yang dianut oleh raja yang
bersangkutan. Karenanya terdapat perbedaan hukum dengan mazhab
hakim. Dalam pengangkatan hakim, tiap tahunnya para hakim
diharuskan membayar sejumlah uang kepada pemerintah. Campur
tangan pihak eksekutif sangat tinggi pada masa ini sehingga
wewenang peradilan dirasakan semakin menyempit dan terbatas pada
masalah kekeluargaan saja.20

2.5 Manajemen Hakim Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, telah terbentuk satu
jabatan peradilan baru yaitu Qadhi Qudhat (sekarang setara dengan
Mahkamah Agung), hakim agung diangkat oleh kepala negara, dan diberi hak
mengangkat pejabat-pejabat peradilan bagi yang dipandang mampu, baik dari
pusat maupun daerah. Ada satu pendapat yang mengatakan bahwa Qadhi
Qudhat tidak boleh mengangkat ayahnya sendiri atau anaknya, ada juga yang
berpendapat bahwa boleh apabila ayah atau anak yang diangkat tersebut
memenuhi syarat dan ketentuan karena wewenang mengangkat tidak ada
pengecualian (berlaku umum), dan qadhi qudhat juga diberikan wewenang
memecat pejabat bawahannya. Dengan demikian, setiap hakim diberikan hak
mengundurkan diri dari jabatan yang dipangkunya apabila hal itu dipandang
membawa maslahat.21

Namun bagaimanapun keadaannya seorang qadhi harus diangkat oleh


penguasa pemerintah presiden atau wakilnya. Seorang qadhi tidak boleh
mengangkat dirinya sendiri dan tidak boleh mengangkat hakim hanya untuk
penguasa (presiden atau wakil presiden). Seandainya seluruh penduduk negeri
berkumpul lalu memilih seseorang untuk diangkat sebagai hakim tidaklah

20
Hasbi Ash-shidddiqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997), hlm. 27
21
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm.29
17

orang tersebut dapat menjadi seorang hakim.22 Dalam memilih hakim,


khalifah mempertimbangkan untuk mengangkat hakim dari kalangan orang
kaya dengan maksud supawa terbebas dari keinginan menguasai harta.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, kondisi ekonomi umat islam semakin baik
sehingga hakim yang pada masa Dinasti Umayyah dibayar 10 dinar kini
memperoleh 30 dinar. Puncaknya pada masa keemasan Abasiyyah saat Al-
Makmun menjadi Khalifah. Gaji Isa bin Munkadir sebagai hakim di Mesir
mencapai 1000 dinar per-bulan. Suatu penghargaan bagi hakim dengan
jumlah gaji yang cukup besar. Karena kedudukan peradilan pada masa itu
bukan hanya menyelesaikan perkara-perkara sengkete, namun juga
memelihara hak-hak umum, memperhatikan anak-anak dibawah umur, orang
yang tidak cakap bertindak secara hukum seperti anak-anak yatim, orang gila,
orang pailit, dan sebagainya. Mengurus harta-harta wasiat, wakaf, dan masi
banyak lainnya.23

2.6 Perbedaan Peradilan Masa Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah


Perbedaan system peradilan pada masa DInasti Umayyah dan Abbasiyah
dapat dilihat dari beberapa aspek seperti :
a. Pengangkatan Hakim
Pada masa Dinasti Umayyah, qadhi yang bertugas di ibu kota
pemerintahan diangkat oleh khalifah. Sedangkan qadhi yang bertugas di
daerah pengangkatannya diserahkan kepada kepala daerah. Sementara
pada masa Dinasty Abbasiyah pengangkatan qadhi dilakukan oleh
khalifah, misalnya Abi Laila adalah qadhi yang diangkat oleh Khalifah
al-Mansur. Namun, pada masa Harun al-Rasyid, khalifah hanya
mengangkat seorang yang dianggap cakap dan mampu sebagai qadhi
sekaligus qadhi al-qudhah, yang selanjutnya berwenang mengangkat
qadhi pada peradilan provinsi dan kota. Orang yang pertama
mendapatkan kesempatan sebagai qadhi qudhah adalah Abu Yusuf
22
Ibid, hlm. 28
23
Siti Nuraviva, Skripsi, Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah, (Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah, 2015)
18

b. Gaji Hakim
Pada Masa Bani Umayyah. Hakim tidak lagi dibayar dengan
dirham namun dengan dinar. Pada masa itu pertumbuhan ekonomi pada
masa Bani Umayya mengalami peningkatan sehingga Negara mampu
menaikan gaji hakim menjadi 10 dinar perbulan. 24 Pada masa Abbasiyah,
perkembang ekonomi umat Islam semakin baik sehingga hakim yang
pada masa Umayah menerima 10 dinar kini memperoleh 30 dinar.
Puncaknya ada masa keemasan Abbasiyah saat Al-Makmun menjadi
Khalifah. Gaji Isa bin Munkadir sebagai hakim di Mesir mencapai 1000
Dinar perbulan. Jika benar apa yang dikatakan oleh Muhaimin Iqbal
dalam Dinar The Real Money hlm 29, bahwa 1 dinar = 4,25 gr emas 22
Karat = Rp. 425.000; (sesuai harga emas 22 karatper-satu gramnya) maka
4,25 gr emas 22 karat = Rp. 1. 806.250; jadi 1000 dinar jika di
konversikan ke bentuk rupiah sebesar Rp. 1.806.250.000; (satu milyar
delapan ratus enam juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).25
c. Ijtihad Hakim
Pada masa Dinasti Umayyah hakim memutuskan perkara menurut
hasil ijtihadnya sendiri, dalam halhal yang tidak ada nash atau ijma‟.
Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-
putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur‟an
dan As-Sunnah.26 Sedangkan pada masa Abbasiyah mazhab-mazhab
sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi
memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi‟i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan
perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau
oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan
perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim
24
https://iainlangsa.ac.id/detailpost/hakim-antara-profesionalisme-dan-kesejahteraan,
diakses pada 15 Desember 2022
25
Siti Nuraviva, 2015, Skripsi, Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah, (Jakarta :
UIN Syarif Hidayatullah),, hlm. 63
26
Az’ari, 2017, “Transformasi Peradilan Pada Masa Umar bin Abdul Aziz”, Jurnal
Islamika, Vol. 17 No. 1, hlm. 31
19

memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim


memutus perkara dengan Mazhab Syafi‟i.27

Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang
berada di bawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kewenangan. Oleh karena itu,
Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini
dikepalai oleh seorang ketua hakim (Qadhil Qudhah). Seorang hakum
memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum
berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum
terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan
penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau
pengaruh suatu golongan politik tertentu.28

Peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami puncak


perkembangannya karena lahirnya empat madzhab dan konstruk peradilan
dilaksanakan secara sempurna, sebagai bagian dari institusi pemerintah, dan
lebih rapi secara administratif dengan dibentuknya badan-badan penunjang
lainnya, Di antara perubahan-perubahan yang lahir dalam dunia peradilan di
masa ini, adalah :
a.    Lahirnya bebrapa lembaga, seperti wilayah hisbah, wilayah al-mazhalim,
alnizam Qadhil Qudhah yang pada masa sekarang ini dapat kita katakan
sebagai Menteri kehakiman dan lain lain.
b.    Membagi daerah-daerah kekuasaan seorang hakim
c.    Menggunakan tempat yang memenuhi syarat untuk Mahkamah
d.   Adanya Bidang-bidang wewenang hakim

27
Siti Nuraviva, 2015, Skripsi, Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah, (Jakarta :
UIN Syarif Hidayatullah), hlm. 54
28
Rina Mardiana, Resume Ilmu Pemerintahan, 2014, hlm. 15
20

Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan


di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di
tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan
untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan
memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang
sama diadakan beberapa perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan
secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian
husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa
khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan
rakyat umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang
pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu
pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.29

29
Ibid, hlm. 17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peradilan islam dari masa Rasulullah hingga masa Abbasiyah mengalami
perkembangan yang berbeda-beda. Pada masa Rasulullah setiap
permasalahan yang ditemui sahabat dalam masalah hukum mereka langsung
menemui Rasul. Kemudian pada masa khalifah, qadhi diangkat langsung oleh
khalifah. kemudian pada masa Umayah belum ada tingkatan lembaga
peradilan atau qadhil qudhat maka masing-masing hakim berdiri sendiri.
Sedangkan dalam masa Abasiyah sudah ada qadhil qudhat yang berwenang
mengangkat qadhi pada peradilan provinsi dan kota.

Pada saat itu terbentuklah Qadh al-Qudhat oleh Khalifah di ibukota. Pada
masa Abbasiyah juga terdapat beberapa organisasi kehakiman yang berdiri
pada zaman itu, diantaranya yaitu Dar Qadhi al-Quha, Qudhah al-Aqaali,
Qudhah al-Amsaar, dan Al-Sultah al-Qadhaiyah. Adapun badan-badan
peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga macam, yaitu Al-Qadha, hakimnya
bergelar al-Qadhi: Al-Hisbah,hakim yang bergelar Muhtasib: Wilayat al-
Mazhalim, hakim yang bergelar Shahibul atau Qadhi al Mazhalim.

Praktik peradilan pada masa ini meliputi wilayah kekuasaan peradilan


yang sangat luas. Meliputi kekuasaan kepolisian, wilayat al-mazhalim,
wilayat al-hisbah, pengawasan mata uang, dan bait al-mal. Manajemen hakim
pada masa ini juga sudah jauh lebih modern.

3.2
DAFTAR PUSTAKA

As’ari. 2017. “Transformasi Peradilan pada Masa Umar Bin Abdul Aziz,” dalam
Jurnal Islamika. Volume 17, Nomor 1.

Awal Rifai Wahab, Asni, Muh. Saleh Ridwan. 2022. “Peradilan Islam pada Masa
Rasulullah dan Khulafaurasyidin: Studi Komparatif Peradilan Islam Era
Klasik”, BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam, Volume 3,
Nomor 1.

Djalil,Basiq. 2012. Peradilan Islam. Jakarta : Amzah.

Hasymi, A. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,cet. Ke-5.

Habibi, Muhammad. 2020. “Legalitas Hukum Islam dalam Sistem Peradilan


Indonesia,” dalam Media Syari’ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan
Pranata Sosial, Volume 2, Nomor 22.

H, Darmawati. 2012. “Hukum Islam Pada Masa Imam-Imam Mujtahid (101 H –


350 H / 750 M – 961 M),” dalam Sulesana, Volume 7 Nomor 2.

Juliansyahzen, M.Iqbal. 2015. “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah


Kajian Sosio-Historis Seputar Hukum Keluarga”, dalam Jurnal Al-
Mazahib, Volume 3, Nomor 1, Juni.

Koto,Alaidin. 2016. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta : Rajawali Press, cet. ke-3.

Lubab,Nafiul,Novita Pancaningrum. 2015. “Mazhab: Keterkungkungan


Intelektual Atau Kerangka Metodologis (Dinamika Hukum Islam),” dalam
YUDISIA, Volume 6, Nomor 2, Desember.

Manshur,Abdullah. Perkembangan Politik dan Ilmu Pengetahuan Pada Masa


Dinasti Abbasiyah.

Mardiana, Rina. 2014. Resume Ilmu Pemerintahan.


Mutawali, Muhammad. 2017. “Epistemologi Hukum Islam Dan Sistem Peradilan
Dalam Islam,” dalam Schemata, Volume 6, Nomor 2, Desember.

Nuraviva, Siti. 2015. Skripsi, Manajemen Peradilan Islam di Era Abbasiyah,


(Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah)

Nurfazillah. 2020. “Praktik Politik Dalam Sejarah Islam Era Dinasti-Dinasti


Islam,” dalam Al-Ijtima’i : International Journal Of Government and Social
Science, Volume 6 Nomor 1, Oktober.

Shiddiqi, Hasbi Ash. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.

Suleman, Frangky. 2016. “Peradilan Masa Bani Abbasiyah,” dalam Jurnal Ilmiah
Al-Syir’ah. Volume 14, Nomor 1.
CV PENULIS

DATA PRIBADI
 Nama : Nelta Elva Fadhila
 Nim : 20103050037
 Prodi : HKI
 TTL : Bengkulu,31 Mei 2002
 Alamat : Sawah Lebar,Ratu Agung
Kota Bengkulu
 Nomor HP : 082289837570

PENDIDIKAN FORMAL
 SD : SDIT IQRA’1 Kota Bengkulu
 SMP : MTs Raudlatul Ulum Pati
 SMA : MA Raudlatul Ulum Pati


DATA PRIBADI
 Nama : Linda Arista Meylina
 Nim : 20103050042
 Prodi : HKI
 TTL : Ngawi,30 Mei 2004
 Alamat : Kwadungan, Ngawi,
Jawa Timur
 Nomor HP : 085755306598

PENDIDIKAN FORMAL
 SD : MIN 13 Ngawi
 SMP : MTsN 2 Ngawi
 SMA : MAN 1 Ngwi

Anda mungkin juga menyukai