Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERADILAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata kuliah Fikih Peradilan dan Hukum acara Islam

Dosen pengampu: Asep Saepullah, MHI

Disusun oleh:

Kelompok 4 (HKI B/Semester 2)

Hasyim (2383110045)

Fakhri Nabil Aban (2383110055)

Naila Fadhilah Maulida (2383110064)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SYEKH NURJATI CIREBON

1445 H/2024 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, karunia serta kasih
sayang-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Peradilan Islam Pada
Masa Rasulullah SAW” ini dengan sebaik mungkin. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada Nabi terakhir, penutup Para Nabi sekaligus satu-satunya Uswatun Hasanah
kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Asep
Saepullah, MHI selaku dosen pengampu mata kuliah Fikih Peradilan dan Hukum acara Islam.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekeliruan baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan.
Walaupun demikian inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.

Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki
kesalahan sebagaimana mestinya.

Cirebon, 16 Maret 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I .......................................................................................................................2
PENDAHULUAN ............................................................................................... 2
1.1. Latar Belakang ..........................................................................................2
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................................2
1.3. Tujuan Masalah .........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN ..................................................................................................3
2.1. Sistem Peradilan pada Masa Rasulullah SAW .............................................3
2.2. Sumber Hukum Peradilan Islam pada Masa Rasulullah SAW .....................4
2.3. Proses Peradilan Islam pada Masa Rasullulah SAW ....................................7
BAB III ....................................................................................................................9
PENUTUP............................................................................................................9
3.1. Kesimpulan ...................................................................................................9
3.2. Saran ...........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat atau negara yang dibangun oleh Rasulullah SAW telah memberikan
beberapa latar belakang dan model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang
menjadi pilar penting keberadaan sebuah masyarakat atau negara. Maka jika dalam
perspektif ilmu ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan negara atau
yang disebut sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk institusi
tersebut.

Dalam konteks bahasan ini, penulis akan berupaya mengeksplorasi salah satu
institusi trias politica tersebut yaitu institusi yudikatif (peradilan) di zaman Nabi SAW.
Kajian terhadap tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan
memahami sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi SAW akan memudahkan
siapa saja untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu
sendiri.

1.2. Rumusan Masalah


1) Bagaimana sistem peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW?
2) Apa sumber hukum peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW?
3) Bagaimana proses peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW?

1.3. Tujuan Masalah


1) Untuk mengetahui bagaimana sistem peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW.
2) Untuk mengetahui sumber hukum peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW.
3) Untuk mengetahui bagaimana proses peradilan Islam pada masa Rasulullah SAW.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sistem Peradilan pada Masa Rasulullah SAW


Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain
mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga
lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang
berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal
pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.

Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika


telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran
ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan sistem peradilan Islam yang terjadi kemudian
hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas
menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk
menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.

Dan ternyata, konsep lembaga ini jika diruntut memiliki akar historis pada zaman
Rasulullah SAW. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW senantiasa
memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-
jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh
seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.

Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar
sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat
kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk
menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya
atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barang siapa yang hartanya telah terambil olehku
maka inilah hartaku aku silahkan dirinya mengambilnya”.

Adapun lembaga sistem peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari
catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum
pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan
juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu
dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi SAW. Rasulullah juga melakukan pengawasan
serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalankan peradilan
3
sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai
menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, di mana Nabi kemudian
membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan
segera mengoreksinya.

2.2. Sumber Hukum Peradilan Islam pada Masa Rasulullah SAW


Datangnya Islam di jazirah Arab yang ditandai dengan lahirnya Rasulullah SAW.
merupakan cikal bakal tumbuhnya sistem peradilan Islam berdasarkan wahyu Allah SWT,
baik itu melalui Al-Qur’an maupun lisan Rasulullah SAW. Bersamaan dengan masuknya
Islam, maka aturan hukum yang wajib untuk ditaati adalah keputusan hukum dalam Al-
Qur’an sebagai undang-undang yang mampu menggantikan seluruh aturan hukum yang
ada saat itu dengan prinsip utamanya adalah tegaknya keadilan serta kebenaran secara
komprehensif dan bersifat universal. Hal tersebut berlaku bagi penguasa dan rakyat, kaya
maupun miskin, berkulit hitam maupun putih atau lainnya, maka dalam pandangan hukum
undang-undang Al-Qur’an semua sama tanpa diskriminasi, sehingga berdirilah negara
Islam dengan ibu kotanya Yaṡrib di atas pondasi dan landasan aturan yang tetap sepanjang
masa dengan asas raḥmah lī al-`Ālamīn.

Keberadaan Nabi SAW di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari
konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu
kekuasaan legislatif (sultah tashri`iyyah), kekuasaan eksekutif (sultah tanfīdziyyah) dan
kekuasaan yudikatif (sultah qaḍā’iyyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus
penyampai wahyu dari Allah SWT, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber
segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan
sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif
Rasulullah SAW dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-
hukum Allah SWT/ syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan
sosial, ekonomi maupun politik. Dengan demikian, terlihat jelas peran Nabi SAW. Sebagai
figur yang multifungsi di tengah masyarakat Arab saat itu.

Adapun jenis perkara yang diselesaikan Rasulullah SAW meliputi segala jenis
perkara, mulai perkara keluarga, perdata, pidana, hukum acara hingga masalah hukum
internasional. Dalam kapasitas sebagai hakim, tidak jarang Rasulullah SAW.
melimpahkan wewenang kepada sahabat yang dipercayainya, seperti, `Alī bin Abī Ṭālib,
Ḥużaifah bin al-Yaman, `Uqbah bin `Amr, Ma`qil bin Yasār, `Amr bin al-Āṣ, `Alqamah

4
dan sebagainya, baik ketika Rasulullah SAW sedang berada di tempat tersebut maupun
tidak, beberapa di antara mereka diutus ke daerah-daerah kekuasaan Islam.

Di antara bukti keimanan seseorang pada saat itu adalah menyerahkan segala jenis
perkara yang diperselisihkan kepada Rasulullah SAW dengan menjadikan beliau sebagai
hakim di antara mereka, kemudian mereka dengan sepenuh hati menerima keputusan
Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman:

ِّ ‫ش َج َربَ ْينَ ُه ْم ث ُ َّم الَيَ ِّجدُواْفِّي أَ ْنفُ ِّس ِّه ْم َح َر َج‬


َ َ‫ام َّما ق‬
َ‫ضيْت‬ َ ‫فَلَ َو َربِّكَ الَيُؤْ ِّمنُونَ َحتَّى يُ َح ِّك ُموكَ فِّي َما‬
‫س ِّل ُمواْ تَ ْس ِّا ْي َما‬
َ ُ‫َوي‬

Terjemahnya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman


hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikann dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

Ibnu Kaṡīr mengatakan tatkala mengomentari ayat di atas, “Allah SWT.


bersumpah atas diri-Nya bahwa seseorang tidak dikatakan beriman sampai dia menjadikan
Nabi SAW. Sebagai hakim pada segala jenis perkara, sebab apa yang beliau putuskan
maka itu merupakan kebenaran yang wajib diterima secara lahir dan batin”. Demikianlah
peran Rasulullah SAW sebagai pemimpin kaum muslimin saat itu, segala bentuk perkara
dan perselisihan yang beliau putuskan wajib diterima dengan lapang dada. Dengan
demikian, kehidupan yang damai dan harmoni di tengah masyarakat saat itu dirasakan oleh
semua pihak. Di zaman Nabi SAW setelah perkara diputuskan oleh Rasulullah, para pihak
melaksanakan dengan sukarela. Dalam hal gugatan hak, pihak yang kalah dengan sukarela
memenuhi tuntutan dan memenuhi hak pihak yang menang. Tidak pernah terdengar
adanya pihak yang bersengketa untuk menentang putusan Rasulullah SAW. Hal ini
dimungkinkan karena yang memutus perkara adalah pribadi al-Amīn (terpercaya), dan
merupakan pemegang mandat dari Allah SWT untuk menyelesaikan sengketa di tengah
masyarakat dengan putusan yang adil. Hal itu disebabkan karena apa yang beliau ucapkan
dan putuskan bersumber dari wahyu, Allah SWT. berfirman dalam surah al-Najm:

ْ ‫ع ِّن ْال َه َوى‬


‫إن ه َُو ِّإالَّ َوحْي يُو َحى‬ َ ‫َو َما َي ْن ِّط ُق‬

Terjemahnya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.

5
Dalam tafsir al-Jalālain disebutkan bahwa maksud ayat di atas adalah Nabi SAW
tidak mengucapkan sesuatu tentang apa yang beliau bawa untuk kalian berdasarkan
keinginannya sendiri, akan tetapi yang beliau sampaikan adalah wahyu dari Allah SWT
yang diwahyukan kepadanya. Oleh sebab itu, keputusan Rasulullah SAW dalam
menangani perselisihan di tengah kaum muslimin dapat diterima semua pihak.

Dalam menangani perkara, Nabi SAW selalu mendengar keterangan kedua belah
pihak. Nabi SAW tidak akan menetapkan sebuah putusan sebelum mendengar kedua belah
pihak. Hal ini dilakukan agar perkara tersebut menjadi jelas baginya dan ia dapat
memutuskan secara adil. Sebagai contoh dalam hal ini, beliau pernah berpesan kepada ‘Alī
bin Abī Ṭālib secara khusus dan kepada para hakim secara umum agar tidak tergesa-gesa
memutuskan perkara sebelum mendengar pembicaraan kedua belah pihak. Berdasarkan
keterangan para pihak, Nabi SAW memutuskan berdasarkan pertimbangan dengan hukum
Allah SWT meskipun demikian, perlu untuk ditegaskan bahwa apa yang diputuskan oleh
Nabi SAW. semata-mata berdasarkan zahirnya perkara, sumpah, atau berdasar bukti-bukti
yang dikemukakan dalam persidangan. Oleh karena itu, keputusan yang ditempuh oleh
Nabi SAW dalam hal seperti ini adalah berdasarkan ijtihadnya. Ijtihad beliau sebagai
manusia biasa tentu berdasarkan wahyu Allah SWT baik itu secara langsung maupun tidak
langsung.

Alat bukti pada lembaga peradilan di zaman Rasulullah SAW terdiri dari al-
Bayyinah, sumpah, bukti tertulis, firasat, qur`ah (undian). Nabi SAW telah
mengisyaratkan dalam sebuah hadis tentang pengambilan keputusan berdasarkan bukti
dan sumpah, beliau bersabda:

َ َ‫ َو ْاليَ ِّميْن‬،‫ع َل ْال ُمدَّ ِّعى‬


‫علَى َم ْن أَ ْن َك َر رواه البيهقي‬ َ َ‫ْالبَيِّنَة‬

Artinya: “Bukti wajib bagi penggugat dan sumpah wajib bagi orang yang
mengingkarinya”.

Hadis di atas menjadi dasar hukum dalam menetapkan al-Bayyinah dan sumpah
sebagai alat bukti dalam menetapkan putusan pada sebuah peradilan. Kedua alat bukti
tersebut masih relevan dan digunakan sampai hari ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sistem peradilan yang dikembangkan dari masa ke masa berasal dari sistem peradilan yang
cikal bakalnya sudah ada di zaman Nabi SAW.

6
2.3. Proses Peradilan Islam pada Masa Rasullulah SAW
Pada masa Rasulullah SAW, proses peradilan yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW berlangsung dengan sangat sederhana. Dimana jika ada seseorang yang menemui
satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Rasullullah untuk meminta
putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula.
Meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, dalam konteks ini terutama
proses peradilan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW menyaratkan bahwa ketika terjadi
persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak
boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keputusan mendengarkan pelaporan dari
kedua belah pihak. Setelah sang pengambil keputusan mendengarkan pelaporan dari kedua
belah pihak juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi
yang dilaporkan.

Dan kedua belah pihak dihadapan Nabi SAW. Masing-masing bebas


(mengemukakan isi hatinya) sehingga masing-masing dapat mendengarkan pembicaraan
pihak lawannya. Sedangkan alat bukti baginya adalah pengakuan, saksi, sumpah, firasat,
dan lain-lainnya.

Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari
putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung.
Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan
persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi
memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya.
Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut.
Dan proses peradilan pada masa Rasulullah SAW biasanya dilaksanakan di masjid, pernah
juga dilaksanakan di lapangan, pernah juga dilakukan pada saat perjalanan, dan juga
pernah dilakukan di teras rumah. Demikian juga dari segi acara peradilan, juga masih
sangat sederhana.

Rasulullah SAW dalam memutuskan dan menetapkan perkara hukum


berdasarkan petunjuk wahyu yang diturunkan Allah SWT. Demi tegaknya keadilan dan
kejujuran, di samping berpegang kepada al-Quran, Rasulullah SAW juga membuat
berbagai ketetapan sebagai pegangan para hakim dalam menjalankan tugasnya dalam
mengadili perkara. Ada empat perangkat hukum yang di jadikan panduan bagi qadhi dalam
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya:

7
a. Ikrar (Pengakuan). yaitu pengakuan seorang terdakwa terhadap semua dakwaan
terhadapnya dengan jujur.
b. Bukti. yaitu kesaksian para saksi sebagaimana di sebutkan dalam sebuah kaidah
majalah alhakam aldhiyah yang bersumber dari sebuah hadis Nabi Muhammad
SAW. Paling sedikit jumlah saksi adalah dua orang maka jika tidak ada dua orang
saksi cukup dengan satu saksi dengan sumpah dalam al-Quran Allah SWT telah
menjelaskan berkaitan dengan saksi yaitu dua orang laki-laki atau satu laki-laki
dan dua orang perempuan.
c. Sumpah yakni suatu pernyataan yang di ucapkan waktu memberi keterangan
atau janji atas nama Allah SWT dengan menggunakan salah satu huruf qasam
d. Penolakan yaitu terdakwa menolak untuk bersumpah sehingga ia tidak
mengucapkan sumpahnya. Imam malik berpendapat tentang penolakan tertuduh
untuk bersumpah, maka sumpah harus di kembalikan kepada orang yang
menuduh, apabila ia bersedia bersumpah. Maka hakim memutuskan perkaranya.
Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah mengembalikan sumpah tertuduh kepada
yang menuduh.

Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman Rasulullah SAW terkesan tidak


formal tetapi rukun-rukun al-Qada telah terpenuhi, yaitu hakim, hukum, al-mahkum bih
(tergugat), al-mahkum ‘alaih dan al-mahkum lah (penggugat). Meskipun pelaksanaan
peradilan pada masa Rasulullah SAW terkesan tidak formal tetapi putusan-putusan
Rasulullah SAW mengandung nilai kebenaran sehingga putusan itu sangat dihormati oleh
semua pihak yang berperkara. Kesederhanaan peradilan pada masa Rasulullah SAW.
terlihat karena belum adanya gedung peradilan tersendiri, belum adanya administrasi yang
memadai dan belum banyak kasus yang muncul untuk diselesaikan.

8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Dari paparan mengenai peradilan di zaman Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup
dengan beberapa poin penting yang mepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:

1. Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain
mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau
lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Sebagaimana diriwayatkan,
bahwa Rasulullah SAW senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup
umatnya. Adapun lembaga sistem peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara,
dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut
belum pernah ada di zaman Nabi.
2. Datangnya Islam di jazirah Arab yang ditandai dengan lahirnya Rasulullah SAW.
merupakan cikal bakal tumbuhnya sistem peradilan Islam berdasarkan wahyu Allah
SWT, baik itu melalui Al-Qur’an maupun lisan Rasulullah SAW. Bersamaan dengan
masuknya Islam, maka aturan hukum yang wajib untuk ditaati adalah keputusan hukum
dalam Al- Qur’an sebagai undang-undang yang mampu menggantikan seluruh aturan
hukum yang ada saat itu dengan prinsip utamanya adalah tegaknya keadilan serta
kebenaran secara komprehensif dan bersifat universal.
3. Pada masa Rasulullah SAW, proses peradilan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
berlangsung dengan sangat sederhana. Dimana jika ada seseorang yang menemui satu
permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Rasullullah untuk meminta
putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula.
Meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, dalam konteks ini
terutama proses peradilan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW menyaratkan bahwa
ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah
keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keputusan
mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.

9
3.2. Saran
Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan terkait dengan “Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW” serta tujuan-
tujuan yang mempengaruhinya. Khususnya yang kurang mengetahui lebih jauh tentang
“Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah SAW” maka perlu mempelajari tentang Peradilan
Islam Pada Masa Rasulullah SAW.

Peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengkaji lebih banyak sumber maupun


referensi yang terkait dengan sarana prasarana pendidikan, maupun efektivitas proses
pembelajaran agar hasil penelitianya dapat lebih baik lagi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman Adi Saputera, (2022). Sejarah Peradilan Pada Masa Rasulullah SAW.
JIFLAW: Journal Of Islamic Family Law, Vol 1 No. 1

Abdurrahman Ahmad Agil, (2017). Implementasi Peradilan Perspektif Hukum Islam, Al-
rasikh 6, No. 2:8

Dr. H. Kosim Rusdi, M.Ag (2012) Fiqih Peradilan. Yogyakarta: :Diandra Press Yogyakarta
Anggota IKAPI

Hadi Daeng Mapuna (2015) Hukum dan Peradilan dalam Masyarakat Muslim Periode Awal.
Jurnal Al-Qadau 2, No. 1 Hal. 1-12

Muhammad Hasbi al-Sidqi, Peradilan Hukum dan Hukum Acara Peradilan (Cet. I; Jakarta:
PT. Al-Maarif, t. Th.),h. 11.

Muhammad Salam Madzkur, Al-Qada fi al-islam, h. 39

11

Anda mungkin juga menyukai