Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH STUDI SYARIAT ISLAM DI ACEH

PELAKSANAAN SYARIAT DARI MASA AWAL HINGGA KINI

Disusun oleh Kelompok 3 :

AINUN MASYRIFAH HUTAGALUNG (170208032)

ARZITA YANA (170208016)

IRHAMATUN NAZIRA (170208040)

PUTRI NOVITA (170208045)

DOSEN PEMBIMBING : Wardatul Fajriah M. Ag

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM, BANDA ACEH

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kesempatan
menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa kehendak-NYA
mungkin kami tidak dapat menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar kita dapat memahami materi mata kuliah Studi
Syariat Islam di Aceh mengenai pelaksanaan syariat dari masa awal hingga kini
yang akan kami tulis berdasarkan sumber buku dan internet. Makalah ini kami
susun tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan banyak tantangan yang
kami temukan. Namun dengan usaha, kemauan, kerja keras dan atas kehendak-
NYA kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini memuat tentang sejarah pelaksanaan syariat islam dari masa
awal hingga sekarang dan kendala-kendala penerapan syariat islam di Aceh.

kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen dan semua pihak yang
terkait yang telah banyak membantu kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan banyak informasi,


pengetahuan dan wawasan tentang materi mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh
mengenai pelaksanaan syariat dari masa awal hingga kini, kami mengetahui
bahwa makalah ini mempunyai kelebihan dan kekurangan maka dari itu kami
mohon kritik dan saran yang membangun. Terima kasih.

Banda Aceh, 25 Oktober 2018

Kelompok 3

I
DAFTAR ISI

Kata pengantar ...............................................................................................i

Daftar isi ........................................................................................................ii

Bab I pendahuluan .........................................................................................1

A. Latar belakang ...........................................................................................1

B. Rumusan masalah ......................................................................................2

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................2

Bab II Pembahasan..........................................................................................3

A. Sejarah pelaksanaan syariat islam dari masa awal hingga saat ini.............3
B. Kendala-kendala yang didapatkan selama penerapan syariat islam ........19

Bab III Penutup..............................................................................................26

A. Kesimpulan.................................................................................................26
B. Saran...........................................................................................................26
C. Daftar pustaka.............................................................................................27

II
Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syariat islam adalah hukum Allah yang membuat seseorang menjadi muslim,
sebab sistem hukum tersebut mencakup segala aspek kehidupan sehari-hari.
Meliputi, hukum perdata islam, hukum dagang islam dalam aspek transaksi bisnis
dan perdagangan, hukum pidana islam, dalam memilih pemimpin atau kepala
daerah menerapkan hukum fiqh siyasi dalam islam, hukum yang mencakup tata
krama dalam keluarga, peradilan dan sebagainya. Hukum dimaksud ideal bagi
kehidupan pribadi dan masyrakat karena hukum itu dapat menyatukan semua
muslim ke dalam suatu komunitas yang tunggal. Jika dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan rasa ikhlas, akan memperoleh jaminan hidup yakni harmonis
dalam kehidupan di dunia dan mencapai tingkat kesejahteraan hidup di akhirat.
Syariat islam dipandang sebagai universal karena mencakup berbagai sistem,
hukum, dan perundang-undangan yang berkaitan dengan berbagai hal
pembentukan, pembinaan dan reformasi bahkan menata seluruh aspek kehidupan
masyrakat baik akidah, ibadah, akhlak maupun yang berkenaan dengan hukum dan
perundang-undangan. Syariat islam memiliki karakteristik fleksibilitas dengan
prinsip globalnya mampu melaksanakan tuntunan dinamika perkembangan zaman
dan transformasi kultural.
Syariat islam memiliki keorisinalan dan keabadian nash serta sumbernya,
sebab syariat islam tidak pernah tersentuh oleh usaha-usaha pemahaman,
penyelewangan, dan perubahan. Sebagai sumber utama dari syariat islam tersebut
ialah Al-Qur’an. Al-Qur’an mendapat jaminan pemeliharaan dari Allah SWT
sehingga tetap bersih, asli,dan abadi hingga hari kiamat. Tujuan utama syariat
islam untuk menegakkan keadilan di antara seluruh manusia dan mewujudkan
persaudaraan di antara mereka serta melindungi darah, kehormatan, harta benda,
dan akal pikiran mereka.
Sejarah pelaksanaan syariat islam dimulai dari masa nabi muhammad SAW
baik di mekkah dan madinah, khulafaur rasyidin, kerajaan aceh, masa penjajahan,
pasca kemerdekaan, dan masa UUPA. Pada pelaksaan syariat islam banyak
kendala-kendala yang ditemukan baik dari faktor masyarakat, pemerintah atau
aparat hukum, dan lingkungan itu sendiri.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah pelaksanaan syariat islam dari masa awal hingga saat ini ?
2. Apa kendala-kendala yang didapatkan selama penerapan syariat islam ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk menjelaskan tentang sejarah pelaksanaan syariat islam dari masa awal
hingga saat.
2. Untuk menjelaskan kendala-kendala yang didapatkan selama penerapan syariat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Pelaksanaan Syariat Islam Dari Masa Awal Hingga Saat Ini
a. Masa Tasyri’ Zaman Nabi

Masa tasyri’ pertama syariat Islam berada pada masa Nabi Muhammad Saw,
masa tasyrik ini sejalan dengan dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw. Periode Nabi Saw adalah suatu masa di mana Nabi Muhammad Saw beserta
dengan para sahabat hidup yang dimulai dari turunnya wahyu pertama dan berakhir
dengan wafatnya Nabi Saw pada tahun 11 H. Masa Nabi Saw merupakan masa
tasyrik’ atau pembentukan hukum Islam berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw yang berisi syariat atau perintah. Setelah wahyu
diterima Nabi Muhammad Saw, selanjutnya disampaikan kepada para sahabat atau
umat untuk di amalkan. Masa inilah masa tasyari’ pada zaman Nabi Saw.

Masa awal tasyri’ Islam, segala persoalan sosial yang timbul akhlak, aqidah, dan
amaliah dari kalangan sahabat, pengikut atau umat Islam langsung merujuk atau
menanyakan secara langsung kepada Nabi Muhamad Saw guna menemukan solusi
yang tepat. Nabi Saw menjadi satu-satunya sumber hukum. Memang secara
lahiriahnya pembuat hukum adalah Nabi Muhammad Saw, tetapi secara hakikat
hukum-hukum tersebut dibuat oleh Allah Swt. Nabi Muhammad Saw bertugas
menyampaikan dan mengajarkannya kepada umat melalui sunnah. Terkait dengan
sumber hukum pada masa tasyri’ zaman Nabi Saw terdapat dua sumber hukum
utama, yaitu Al-qur’an dan sunnah.1

Prinsip-prinsip Penerapan Hukum pada masa Rasulullah saw :

Rasulullah Saw memberikan contoh dalam penerapan hukum. Jika kita mengacu
pada penerapan hukum di masa Rasulullah Saw, maka terdapat lima prinsip yang
melandasinya, yaitu kebebasan, musyawarah, persamaan, keadilan dan kontrol.2

1
Sulaiman, Studi Syariat Islam di Aceh, Madani Publishier, Banda Aceh, 2018, hlm. 25.
2
https://harakatuna.wordpress.com/2008/09/27/penerapan-syariat-islam-pada-masa-rasulullah-saw/

3
a. Kebebasan.

Di antara landasan hukum yang dicontohkan Rasulullah Saw adalah kebebasan


bagi individu maupun kolektif, dalam keagamaan maupun sosial politik. Al-Qur`an
memberikan kebebasan di bidang agama. La ikraha fiddin yang artinya “ Tidak ada
paksaan dalam memeluk agama ”.

Prinsip ini diterapkan oleh Rasulullah saw. ketika menyambut kedatangan


rombongan Kristen Najran di Madinah Munawarah. Pada saat bersamaan tibalah
waktu shalat Ashar lalu mereka shalat, maka Rasul Saw bersabda “Biarkan mereka
sholat”. Mereka shalat menghadap ke Timur. Perdamaian Hudaibiyah contoh jelas
kebebasan dibidang politik.

b. Musyawarah.

Musyawarah merupakan prinsip dan sistem Islam yang sangat ditekankan dalam
Islam dan dipraktikkan oleh Rasul Saw

Allah berfirman wa sya wirhum fil amri ( dan bermusyawarahlah dengan


mereka dalam urusan ) (Ali Imran: 159) dan wa amruhum syuraa bainahum (sedang
urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka) (asy-Syuraa: 38).

Ketika Rasulullah Saw mendengar bahwa pasukan Quraisy sampai di Uhud,


beliau bermusyawarah dengan sahabat, apakah bertahan di dalam kota untuk
bertahan atau harus menghadapinya di luar kota. Demikian, Rasul Saw
bermusyawarah sebagai pelajaran bagi umat. Padahal tanpa musyawarah pun Rasul
Saw telah dibimbing langsung oleh Allah.

c. Persamaan.

Islam datang dalam kondisi manusia berkasta-kasta, berbeda suku dan status
sosial. Kaum wanita tidak memiliki derajat dalam pandangan masyarakat saat itu.
Islam datang menghapus kebanggaan keturunan dan kepangkatan. Islam
menempatkan posisi yang mulia bagi kaum wanita. Dan semua manusia disisi Allah
SWT memiliki kedudukan yang sama, yang membedakannya hanyalah amal saleh
dan ketakwaannya.

4
Allah berfirman yang artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.

Rasulullah Saw menegaskan prinsip kesamaan ini dengan sabda beliau: “Kamu
semua anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari tanah.”

“Manusia sama rata bagaikan gigi sisir. Tiada keutamaan bagi orang Arab
melebihi non Arab kecuali dengan taqwa”.

d. Keadilan.

Tugas yang diemban Rasul Saw antara lain berbuat adil kepada seluruh lapisan
manusia. “Dan katakanlah aku beriman terhadap apa yang Allah turunkan dari kitab
dan aku diperintahkan untuk berbuat adil diantara kalian”.

Contoh kongkret yang dilakukan Rasul Saw ketika Nu’man bin Basyir mengadu
padanya “Bapakku memberiku hadiah, ibu tidak rela hingga disaksikan Rasul Saw
Datanglah kepada Rasul Saw agar disaksikannya Rasul Saw bersabda “Apakah
semua anakmu kamu beri yang sama” Ia menjawab, “Tidak” Rasul Saw bersabda
“Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah di antara anakmu, saya tidak mau
menjadi saksi atas kezaliman, maka ayah mengambil lagi pemberian tersebut”.

e. Kontrol.

Islam sangat menghargai kebebasan individu, kolektif, politik sosial, ekonomi


dan keagamaan. Namun demikian kebebasan yang diberikan Islam bukanlah
kebebasan yang tanpa batas melainkan kebebasan yang sesuai dengan prinsip-
prinsip keadilan dan kebenaran. Sehingga dalam mengekspresikan kebebasan
diperlukan kontrol. Dalam sistem Islam bentuk kontrol tersebut adalah amar ma’ruf
dan nahi munkar. Hal itu merupakan puncak agama, serta merupakan tugas yang
diemban oleh para Nabi dan Rasul as.

5
b. Pelaksanaan Syariat Islam di Mekkah

Sejarah bahwa dakwah atau penyebaran Islam yang dilakukan Nabi Muhammad
Saw dibagi dalam dua periode Mekkah dan Madinah. Periode Mekkah berlangsung
selama 13 tahun, dimulai ketika Muhammad di angkat menjadi Nabi dengan
diterimanya wahyu pertama hingga hijrah ke Madinah pada tanggal 16 Rabiu’ul
Awwal/20 September 622 M, dalam usia beliau 53 tahun. Pewahyuan Al-quran tidak
sekaligus tetapi secara periodik atau bertahap. Pewahyuannya sangat tergantung
pada lingkup persoalan yang ada ketika itu.3

Pada periode Mekkah, Nabi Muhammad Saw pertama melakukan dakwah


secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun melalui orang perorang dan
keluarganya. Setelah tiga tahun baru Nabi Muhammad Saw melakukan dakwahnya
secara terbuka dan terang-terangan, kemudian mendapat tantangan dari kaum kafir
Quraisy di Mekkah. Fokus dakwah pada periode ini adalah tauhid.

Beberapa hukum syariat pada periode Mekkah, yaitu:

1. Aqidah, beberapa hukum yang disyariatkan pada periode Mekkah juga


dimaksudkan untuk mewujudkan revolusi aqidah, seperti firman Allah QS. Al-
An’am: 145: Katakanlah, Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena
Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Kelihatannya hukum-hukum yang
dinyatakan dalam secara eksplisit dalam ayat ini sebenarnya juga berkaitan dengan
nilai-nilai akhlak dan aqidah untuk mengubah tradisi Arab Jahiliyah yang
menyembelih binatang atas nama Tuhan mereka yang sesat.

2. Pensyariatan shalat yang merupakan dasar kepatuhan seseorang kepada Allah juga
berlangsung pada periode Mekkah.

3
Sulaiman, Studi Syariat Islam di Aceh, Madani Publishier, Banda Aceh, 2018, hlm. 27.

6
3. Zakat, yang merupakan landasan untuk membentuk masyarakat yang gotong
royong, pensyariatannya di ditetapkan pada periode Mekkah.

Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw pada periode Mekkah telah
merubah tradisi Arab Jahiliyah. Azman Ismail. Dkk, menjelaskan bahwa mencermati
syariat Islam pada periode awal Mekkah dan bagaimana merubah tradisi Jahiliyah
menjadi ajaran dalam Islam, perihal pergaulan hidup misalnya, masyarakat Arab
Jahiliyah juga mempunyai hukum perkawinan, hukum waris, hukum perdagangan
dan lainnya.

c. Pelaksanaan Syariat Islam di Madinah

Wahyu turun yang berisikan perintah, lalu Nabi kepada Nabi Muhammad Saw
bersama sahabat hijrah ke Madinah. Azman Ismail. Dkk, menjelaskan periode
Madinah, periode di mana Rasulullah dan para sahabat sejak berpindah dari Mekkah
ke Yatsrib (Madinah), pada tanggal 16 Rabiul Awwal atau 20 September 622 M
hingga Nabi Muhammad Saw wafat pada tanggal 13 Rabiul Awwal tahun 11
H/8Juni 632 M. Hijrah Nabi dan kaum muslimin ke Madinah bukan inisiatif beliau
semata, tetapi keinginan penduduk Madinah sendiri yang begitu besar, karena
diketahui bahwa Muhammad merupakan Nabi yang disebut-sebut dalam kitab suci
mereka, seperti dalam Taurat dan Injil yang terbukti kebenarannya.

Setelah hijrah ke Madinah, di sana Nabi Muhammad Saw berhasil


mempersatukan kaum muhajirin yang datang bersama Nabi, kaum ‘Anshar, dan
Yahudi Madinah dengan membuat piagam Madinah yang menjadi sebagai peraturan
yang dipatuhi oleh semua kaum yang hidup di kota Madinah. Periode Madinah
selama 10 tahun, Nabi Muhammad membuahkan hasil yang luar biasa dan kemajuan
dalam menyebarkan Islam dan juga penyatuan penduduk Madinah. Di samping itu
pada periode ini banyak diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan hukum
syara’ yang mencakupi segala aspek; aqidah, ibadah, mu’amalah, mewaris, jihad,
jinayat, munakahad, dan lain-lain. Jadi, periode Madinah dapat disebut sebagai
kelanjutan dari periode Mekkah dan periode Madinah sebagai penyempurna
terhadap periode Mekkah.

7
d. Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa Khulafaur-Rasyidin
Kepemimpinan Islam setelah Nabi Muhammad Saw wafat (11H/632M) berada
di bawah kepemimpinan khulafaur-rasyidin. Khalifah yang pertama adalah Abu
Bakar Siddiq, pada awal kepemimpinannya di warnai dengan berbagai kekacauan,
pemberontakan, munculnya orang-orang murtad, dan orang-orang yang mengaku
diri nabi, serta banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat. Umar bin
Khatab adalah khalifah kedua (634-644 M), beberapa kebijakan yang mendapat
perhatian serius di antaranya pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan
birokrasi pemerintahan dan pembenbentukan lembaga kepolisian. Inilah, bagian dari
pada penegakan syiar Islam dan perluasan kawasan Islam.
Kesulitan yang memuncak pada zaman abu bakar terlihat kebesaran jiwa dan
ketabahan hati Abu Bakar, dengan tegas dinyatakannya seraya bersumpah
ketikaberhadapan dengan Fatimah binti Rasul Allah Saw, Abu Bakar r.a.berkata
"Demi Allah saya tidak akan membiarkan masalah, dimana saya melihat Rasulullah
saw melakukannya, niscaya aku melakukannya juga". Berkenaan dengan
keengganan sebagian orang untuk membayar zakat, Abu Bakar ra berkata "Demi
Allah jika mereka menolak pada satu ikatan yang mereka tunaikan pada masa
Rasulullah saw, maka aku akan perangi orang yang menolaknya. Sesungguhnya
zakat adalah kewajiban atas harta, demi Allah akan aku perangi orang yang
memisahkan antara shalat dan zakat", bahwa beliau akan memerangi semua
golongan yang telah menyeleweng dari kebenaran, kecuali mereka yang kembali
kepada kebenaran, meskipun beliau harus gugur dalam memperjuangkan kemuliaan
agama Allah. Inilah gagasan besar Abu Bakar Siddiq sebagai upaya untuk
menegakkan syariat Islam di bawah kepemimpinannya.

Masa Usman Bin Affan (644-655 M), kaum muslimin telah memiliki angkan
laut, sehingga perluasan wilayah juga dilakukan melalui jalur laut Armenia, Tunsia,
Ciprus, Rhodes dan bagian yang tersisa dari persia, Transoxania dan Tabaristan
berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama terhenti sampai di sini. Sementara masa Ali
Bin Abi Thalib banyak terjadi gejolak politik, sehingga tidak terjadi perluasan
wilayah. Pelaksanaan syariat Islam pada masa sahabat (Khulafaur-rasyidin)
merupakan kelanjutan setelah wafat Nabi Muhammad Saw dilakukan oleh para
sahabat sejalan dengan perluasan wilayah Islam. Adapun contoh syariat islam pada
masa Khulafaur Rasyidin sebagai berikut:

8
a. Umar bin Khattab ra berpendapat bahwa iddah orang hamil yang kematian suami
adalah melahirkan, sedangkan Ali bin Abi Talib mengatakan iddahnyaadalah
masa yang terpanjang antara melahirkan dan 4 bulan 10 hari.
b. Abu Bakar ra berpendapat bahwa para saudara tidak berhak mendapatkan warisan
apabila mereka bersama-sama dengan kakek, tetapi Umar ra dan Zaidbin Tsabit
ra memberi mereka bagian bersama-sama dengan kakek.
Untuk kasus-kasus yang melibatkan campur tangan penguasa, Khulafaur Rasyidin
selalu bertindak dengan tegas, mengeluarkan perintah, menetapkan keputusan
hukum, ataupun menggariskan peraturan-peratutan, yang mereka pandang sebagai
hal yang paling benar dan paling baik, misalnya :4
a. Abu Bakar ra memerintahkan penulisan Al-Qur`an di dalam mushaf dan pada
gilirannya Usman bin Affan ra memerintahkan penggandaannya dengan
penulisan yang seragam.
b. Umar bin Khattab ra mengatur pelaksanaan shalat tarawih berjamaah dengan
menunjuk Ubay bin Ka'ab ra sebagai imam. Usman bin Affan ra memerintahkan
agar adzan dikumandangkan dua kali menjelang shalat Jum'at.
c. Umar bin Khattab ra memerintahkan penarikan zakat dari hasil-hasil panen buah
zaitun di Syam.
d. Umar bin Khattab ra menerima zakat madu yang dikutip dan dibawa oleh
Abdullah bin Rab ra.
e. Umar ibnul Khattab ra memimpin pelaksanaan ibadah haji setiap tahun, sepuluh
kali berturut-turut selama pemerintahannya.
f. Abu Bakar memutuskan tidak memberikan warisan yang dituntut oleh Fatimah ra
dan Abbas dari harta peninggalan Rasulullah Saw.
g. Abu Bakar memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid, sekalipun ada sebagian
sahabat yang menilai pemberangkatan tersebut kurang bijaksana.
h. Abu Bakar memerintahkan pasukannya memerangi kelompok-kelompok yang
membangkang dalam hal pembayaran zakat, sekalipun pada mulanya banyak
sahabat yang keberatan, sebelum mereka melihat alasan yang mendasari
peperangan tersebut.

4
https://iimazizah.wordpress.com/2011/04/21/hukum-islam-pada-masa-rasulullah-dan-sahabat/

9
i. Ali bin Abi Thalib dengan tegar memerangi para pembangkang yang menentang
pemerintahannya yang sah, seperti pada Perang al-Jamal, Siffindan penumpasan
Kaum Khawarij.
j. Abu Bakar ra membagi harta secara merata dengan mengabaikan berbagai faktor
kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, tetapi kemudian Umar bin
Khattab ra.membuat ketentuan lain dengan mempertimbangan keutamaan tiap-
tiap orang.
k. Abu Bakar dan Umar menghukum ra pencuri pada pencurian yang ketiga dengan
memotong tangan kirinya, sedangkan Ali bin Abi Thalib ra tidak memotong
tangan kiri pencuri seperti itu.
l. Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra masing-masing menjatuhkan hukuman atas
pelaku zina dengan menderanya dan kemudian mengasingkannya.
m. Abu Bakar ra meminta pendapat para sahabat tentang temuan Khalid ibnul Walid
ra, seorang laki-laki yang 'dinikahi' dan diperlakukan orang seperti perempuan,
Ali ra. mengusulkan agar orang tersebut dibakar dan Abu Bakar ra pun
mengeluarkan perintah untuk membakarnya. Hukuman yang sama juga
diterapkan oleh Ali bin Abi Thalib ra dan Abdullah ibnul Zubair ra ketika
keduanya berkuasa.
n. Abu Bakar menghukum peminum khamar dengan 40 kali dera, tetapi Umar bin
Khattab ra menjatuhkan hukuman cambuk 80 kali.

e. Syariat Islam pada Masa Kerajaan Aceh

Sejak abad VII H, agama Islam telah masuk ke daerah ini dan telah tumbuh
menjadi kerajaan Islam dan berkembang sampai abad ke XIV M. Hal itu sejalan
dengan pandangan bahwa dai peneliti sejarah, hukum Islam (syariat Islam) telah ada
di Indonesia sejak bermukimnya orang Islam di Indonesia. Syariat Islam di Aceh
telah ada dan digunakan sebagai norma hukum oleh masyarakat Aceh sejak masa
kerajaan Islam Aceh.

Upaya menelusuri jejak penerapan syariat Islam di Aceh dapat menelusurinya


melalui kerajaan-kerajaan berikut:

10
1) Kerajaan Islam di Pasai

Hasbi Amiruddin menjelaskan sejak berdirinya kerajaan Islam di Pasai (1270),


ulama Aceh mulai memegang peran penting dalam kerajaan tersebut. Mereka
mengabdi sebagai penasihat raja yang mengurusi bidang keagamaan. Karena itu,
keterlibatan ulama sebagai penasehat keagamaan sultan Pasai, menjadi posisi sentral
di antara kerajaan Islam. setiap masalah yang tidak jelas atau dalam masalah tersebut
ada perbedaan pandangan tentang ajaran dan praktik Islam diserahkan untuk
diputuskan di Pasai. Malik al-Zahir (wafat 1326), raja Pasai dan anak dari Malik al-
Shahih, yang mendirikan Kerajaan Pasai, pernah meminta untuk menghadirkan
beberapa ulama dari Mekkah dan tempat-tempat lain yang untuk mengajarkan ajaran
Islam untuk rakyat. Di istana sering berdiskusi dengan ulama dari Mekkah, Persia,
dan India, serta memilih salah satu dari mereka sebagai penasihat kerajaan.

2) Kerajaan Islam Aceh Darussalam

Hasbi Amiruddin merujuk pada Teuku Iskandar menjelaskan, Ketika Iskandar


muda memerintahkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih
Syekh Syams Al-Din al-Sumatrani sebagai penasihat dan sebagi mufti (disebut
syekh al-Islam), bertangung jawab dalam urusan agama. Meski demikian, al-
Sumatrani tidak hanya sebagai penasihat agama tetapi juga terlibat dalam urusan
politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada Sultan Ali Mugyhayat Syah
(1589-1602), merupakan raja Sebelum Sultan Iskandar Muda.

Dua kerajaan Islam Aceh tersebut merupakan bukti sejarah bahwa syariat Islam
menjadi sebagai sumber hukum bagi masyarakat Aceh, Syariat Islam di Aceh
mengalami perkembangan yang luar biasa pada masa kerajaan Islam di Pasai (1270),
dan kerajaan Islam Aceh Darussalam mulai dari masa Sultan Ali Mugyhayat Syah
(1589-1602), sultan Iskandar Muda (1607-1636) hingga sampai kepada kerajaan
Islam Aceh dipimpin selama empat periode oleh Sultanah (ratu). kerajaan Islam
Aceh selama periode empat ratu (1641-1699), sebagai berkut:

1) Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675), istri dan pengganti Iskandar Tsani
dan merupakan ratu pertama di Aceh.

11
2) Sultanah Nurul Alam Naqiyyatuddin, berdasarkan informasi yang diperoleh Ratu
Nurul Alam Naqiyyatuddin hanya memimpin kerajaan selama tiga tahun, dan
mangkat pada tanggal 23 januari 1678.

3) Sultanah Inayah Syah Zakiyyatuddin, merupakan anak dari Ratu Nurul Alam
Naqiyyatuddin. Ratu Inayah Syah Zakiyyatuddin memimpin kerajaan Aceh selama
10 tahun dan berakhir pada tahun 1688.

4) Sultanah Keumalat Syah, memimpin kerajaan Islam Aceh selama lebih kurang 10
tahun, kemudian di Keumalat diturunkan pada tahun 1699. Keumalat Syah
merupakan sultanah/ratu yang terakhir dari kerajaan Islam Aceh.

Kerajaan Islam Aceh Darussalam mengalami masa kejayaan pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636), yang menerapkan hukum Islam sebagai pedoman
dalam sistem hukum di kerajaan. Demikian juga pada masa kerajaan Islam Aceh
Darussalam selama di bawah kepemimpinan empat ratu (1641-1699). Yang dapat
dilihat dari pelibatan ulama, yaitu Syaekh Abdurrauf al-Singkili ditetapkan sebagai
Mufti dan Qadhi Malik al-Adil.

Misran merujuk pada penjelasan Luthfi Aunie bahwa, menurut para ahli sejarah,
kerajaan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1516-1530).
Beliau berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang sebelumnya telah
ada seperti kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, Pidie, Daya, dan Linge. Pada
perkembangan selanjutnya kerajaan Aceh Darussalam tercatat sebagai salah satu
kerajaan Islam terbesar di dunia. Masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam berada
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa ini, Aceh
mencapai kemajuan luar biasa dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan agama.
Sultan Iskandar Muda berhasil menjadikan ibu kota kerajaan Aceh Darussalam
sebagai kota kosmopolitan.

Sejak Zaman Kesultanan, abad ke-17, Nanggroe Aceh telah menjadikan syariat
Islam sebagai landasan bagi Undang-Undang yang diterapkan untuk masyarakatnya.
Undang-Undang itu disusun atas oleh ulama atas perintah atau kerja sama dengan
umara, nyakni penguasa atau sultan. Lahirnya karya-karya besar berupa kitab-kitab
yang menjadi rujukan para hakim dan semua aparat penegakan hukum di Nanggroe
Aceh pada waktu itu. Di antara ulama yang berkiprah pada waktu itu adalah Nurdin

12
Ar-Raniry (w. 1658 M), Syamsuddin Sumatrani (w. 1661 M) dan Abdurrauf al-
Singkili (1615-1691 M).

Misran merujuk T. Juned menjelaskan bahwa dalam masyarakat Aceh dikenal


empat istilah yang berkaitan dengan hukum yaitu: hukum, adat, uruf dan reusam.
Hukum adalah hukum Islam, adat diartikan sebagai hukum tidak tertulis dan
mempunyai sanksi, berlaku untuk siapa saja dengan tanpa pandang bulu, uruf adalah
pendapat ulama dalam menjalankan negara, namun tidak disandarkan kepada agama,
akan tetapi disandarkan kepada adat, sedangkan reusam diartikan sebagai bekas
hukum.

Lebih lanjut Misran dengan mengutip penjelasan Mustafa Ahmad bahwa


berjalannya adat pada masa kerajaan Aceh Darussalam dapat dilihat sewaktu Sultan
Iskandar muda (1607-1636) menghukum mati anaknya Meurah Peupok anak lelaki
satu-satunya yang telah diangkat sebagai putera mahkota, karena berbuat zina
dengan istri seorang pejabat (1621), maka para ulama ketika itu memprotesnya,
karena berlawanan dengan hukum Islam. Sultan dengan tegas menjawabnya: “matee
aneuk muphat jeurat, matee adat ho tamita”. Jadi istilah adat dalam ungkapan
tersebut tidak bisa diartikan lain, selain dari suatu hukum. Sultan Iskandar muda
(1607-1636) sangat tegas dalam penerapan syariat Islam pada masa itu. Hal ini dapat
dilihat dari sisi pemutusan hukum berupa hukuman mati diberikan kepada putra
mahkota oleh sang Raja dan tanpa memandang dia sebagai pewaris kerajaan. Syariat
Islam yang dijadikan sebagai dasar hukum pada zaman kesultanan/kerajaan Aceh
telah membawa nama kerajaan Aceh terkenal di dunia. Bahkan lebih dari itu,
masyarakat dunia mengenal Aceh dengan peradaban Islam yang cukup kuat.

f. Syariat Islam pada Masa Penjajahan dan Pasca Kemerdekaan

Syariat islam dalam arti hukum masuk ke Aceh bersamaan dengan masuknya
serambi mekkah. Islam beserta hukumnya masuk ke Aceh dengan cara penetrasi ,
dengan cara telaten, dan membaur dengan berbagai tradisi yang ada dan eksis dalam
masyrakat. Islam dengan misi damainya memasuki Aceh melalui samudra pasai
untuk selanjutnya mendapatkan kemenangan yang sangat mengagumkan.5 Islam

5
Thomas W, Arnold, Preaching Of Islam, jakarta, pustaka Jaya, 1981, hlm. 317.

13
masuk dan berkembang di Aceh tanpa adanya tetesan darah dan tidak ada bukti
sejarah bahwa telah terjadi kekerasan.

Dengan datangnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16, maka sejarah
syari’at islam di Aceh akan beralur lain. Syariat islam di hambat perkembangannya,
dan hal itu sangat logis karena tujuan belanda adalah untuk kepentingan missionaris.
Tujuan ini, mau atau tidak mau, jelas mengimplikasikan kepada dikesampingkannya
hukum dari perahatian mereka. Belanda sendiri justru terkesan menghambat,6 dan ini
akan terlihat dengan jelas pada akhir abad ke-19 ketika lahirnya teori receptie.

Namun, dengan syari’at islam yang telah mendarah daging dalam kehidupan
sebagian masyarakat pribumi telah mendorong terjadinya pemberontakan nerupakan
dorongan emosi keagamaan.7 Hal itu memaksa Belanda untuk berfikir bahwa tidak
ada jalan lain kecuali memberi pengakuan layak terhadap eksistensi syariat islam
dikalangan pribumi. Pada tahun 1855, Belanda untuk pertama kalinya memberi
pengakuan terhadap eksistensi syariat islam di Indonesia melalui Regeerings
Reglemen. Setelah Belanda menghayati psikologi sosial umat islam di indonesia,
dimana kemudian Snouck Hurgronje merekomendasikan agar umat islam dijauhkan
dari syariat islam supaya mereka tidak menolak hal-hal yang berbau barat, maka
lahirlah teori receptie yang pada intinya menegaskan bahwa hukum islam hanya bisa
dijalankan bila hukum itu diterima oleh adat.8 Berbekal dari penelitian Snouck
Belanda berusaha untuk menunjukkan kepada masyarakat pribumi bahwa hukum
dan tata kehidupan dilandasi oleh semangat syariat islam. penelitian belanda
menarik kesimpulan perlu adanya perbedaan yang tegas antara adat atau hukum adat
dengan syari’at islam agar mudah untuk menyingkirkan syari’at islam dari pemeluk-
pemeluknya.9

Periode pelaksanaan syariat Islam di Aceh setelah kemerdekaan Indonesia dapat


dilihat dalam empat periode. Sejalan dengan empat periode tersebut, Al Yasa Abu
bakar menjelaskan, sejarah pelaksanaan syari’at Islam di Aceh sejak awal

6
Belanda nampak sangat tidak memperhatikan eksistensi hukum islam dibandingkan dengan penjajah
inggris. MB Hooker, Islamic Law in South East Asia, Oxford University Press, 1984, hlm. 249.
7
Perang diponegoro, pemberontakan sultan agung, dan lain sebagainya adalah lebih karena faktor
agama.
8
Rusdian Arief, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, Rosda karya, bandung,
1991, hlm. 117.
9
Rusjdi Ali Muhammad, Kontekstualitas Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darusslam, Ar- Raniry
Press, Banda Aceh, 2003, hlm. 46-49.

14
kemerdekaan sampai saat sekarang. Sekiranya jika dibuat pentahapan atau
perioderisasi, dapat dibagi sebagai berikut :

1. Masa awal kemerdekaan sampai tahun 1950-an, yang dapat kita sebut sebagai
tahap perjuangan untuk mengupayakan pengakuan dari pemerintah pusat.

2. Setelah ini tahun 1959 sampai tahun 1999 yang dapat kita sebut sebagai tahap
adanya pengakuan politis, tetapi tidak dilanjutkan dengan kebijakan untuk
mengaplikasikannya.

3. Tahap berikutnya 1999 sampai tahun 2006 tahap pemberian izin pelaksanaan
secara terbatas atau upaya mencari bentuk.

4. Setelah itu tahap terakhir mulai 2006 sampai sekarang, tahap pelaksanaan secara
relatif luas, diberi pengakuan sebagai sub sistem dalam sistem hukum nasional.

Berikut historis kedatangan Soekarno ke Aceh, menurut Amran Zamzami


sebagaimana dikutip oleh Al Yasa Abubakar,bahwa:

1) Soekarno tiba di Lapangan terbang Loknga Banda Aceh pada tanggal 16 Juni
1948. Setelah kedatangan ini, dalam suatu pertemuan dengan beberapa tokoh Aceh,
atas permintaan Abu Beureueh, Soekarno menyatakan: “Biarlah rakyat Aceh
mengatur daerahnya sendiri berdasarkan syariat Islam”. Tetapi ketika Abu Beureueh
meminta beliau menuliskan pernyataan atau keizinan ini, Soekarno keberatan dan
menetekkan air mata, karena Abu Bereueh karena meragukan ketulusan beliau.

2) Dalam kunjungan ini pula Soekarno meminta agar Saudagar Aceh untuk membeli
pesawat terbang dan menghadiahkan kepada pemerintah, yang langsung dipenuhi
oleh saudagar Aceh dengan menghadiahkan emas seberat 50 kg. Untuk membeli dua
pesawat terbang Dakota. Pada waktu ini pula Soekarno menyebut Aceh sebagai
daerah modal, yang sering digunakan sampai sekarang.

3) Abu Beureueh dalam pernyataannya bertanggal 4 November 1961, yang berjudul


“DA’WAH” (pernyataan ini merupakan lampiran dari surat yang beliau tulis dalam
kedudukan sebagai wali Negara Republik Islam Aceh, dan dikirimkan kepada
Jenderal A. H Nasution, menteri keamanan Nasional/KASAD) secara jelas
menyatakan bahwa Soekarno sebagai presiden pernah menyampaikan janji tersebut.
Adapun isi janji Soekarno adalah “ janji Presiden/Panglima tertinggi di hadapan para

15
ulama Aceh di Kutaraja pada tahun 1947, yang akan memberikan kesempatan bagi
rakyat Aceh Untuk hidup dan mengatur kehidupan masyarakatnya sesuai dengan
syariat agama mereka”. Janji presiden Soekarno terhadap pelaksanaan syariat Islam
di Aceh menjadikan masyarakat Aceh lebih bersemangat dalam hal pelaksanaan
syariat Islam. Namun sayang, janji tersebut tidak terealisasi dan membuat
masyarakat Aceh menuntut terhadap janji itu.

Aceh sejak perang melawan Belanda telah kuat dengan syariat Islam, hal ini dapat
dilihat dari semangat juang melawan penjajahan Belanda di Aceh di hadapi
Masyarakat Aceh dengan semangat jihad. Kemudian, setelah Indonesia merdeka
keinginan masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh masih
mengakar dan kuat. Hal ini dapat di telusuri melalui :

1) Janji presiden Soekarno ketika datang ke Aceh pada tahun 1948 dan memberi izin
kepada masyarakat Aceh terhadap pelaksanaan syariat Islam, meskipun tidak
direalisasikan.

2) Pada tahun 1959, sebagai dari upaya menyelesaikan konflik Aceh yang telah
pecah sejak tahun 1953, Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi memberikan
keistimewaan kepada Aceh dalam tiga hal, yaitu pengamalan agama,
penyelenggaraan pendidikan dan pelaksanaan adat. Tetapi keistimewaan ini hanya
ada di atas kertas, tidak ada tindak lanjut dalam perundangan, dan karena itu tidak
ada realisasinya di lapangan.

3) Kemudian, lahir UU nomor 44 tahun 1999 tentang keistimewaan provinsi Aceh,.


barulah syariat Islam terealisasi di Aceh yang meliputi bidang agama, adat,
pendidikan, dan peranan ulama. Pada masa era reformasi yang dipimpin oleh
presiden BJ Habibie.10

4) Otonomi khusus untuk Aceh dengan kebijakan pemerintah Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Keistimewaan Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kebijakan ini
memberikan warna khas terhadap Aceh terutama dalam aspek pelaksanaan syariat

10
Rusjdi Ali Muhammad, Kontekstualitas Syari’at Islam Di Nanggroe Aceh Darusslam, Ar- Raniry
Press, Banda Aceh, 2003, hlm. 34.

16
Islam di Aceh untuk pembentukan mahkamah syar’iyah. Pada masa kepemimpinan
oleh presiden Megawati.

g. Syariat Islam pada Masa UUPA

Penerapan syariat Islam di Aceh terus mengalami perkembangan sejalan dengan


kebijakan pemerintah terkait Undang-Undang pemerintah Aceh (UUPA) dan
semangat masyarakat Aceh yang sangat besar terhadap syariat Islam. Kebijakan
pemerintah pusat dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh memberikan implikasi besar terhadap penerapan syariat
Islam di Aceh. Implikasi besar tersebut terdapat pada aspek produk qanununtuk
mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam, misalnya Qanun Jinayat dan lain-lain.

Penegasan terhadap penerapan syariat Islam di Aceh dapat dilihat dalam


ketetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab
XVII Syari’at Islam Dan Pelaksanaannya, pasal 125, 126, dan 127. Secara utuh
terhadap pasal-pasal tersebut:

Pasal 125

(1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak.

(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al
syakhshiyah (hukum keluarga),muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Pasal 126

(1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at
Islam.

(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati
pelaksanaan syari’at Islam.

17
Pasal 127

(1) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota bertanggung jawab atas


penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam.

(2) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menjamin kebebasan,


membina kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat
beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai
dengan agama yang dianutnya.

(3) Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota


mengalokasikan dana dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan syari’at Islam.

(4) Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari Pemerintah Aceh
dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diatur dengan qanun yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Aceh dengan berpedoman kepada UUPA memiliki kewenangan


penuh untuk mengatur sistem pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.
Kewenangan tersebut dapat dilihat dari ketetapan Pasal 125 ayat (3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Qanun Aceh.

UUPA memberi legalitas kepada pemerintah Aceh untuk mengatur mekanisme


pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sebagaimana ketetapan Pasal 127 ayat (1).
Selanjutnya, sebagai upaya untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam secara
kaffahdi Aceh, pemerintah provinsi Aceh dan kabupaten kota diberikan legalitas
untuk menyediakan atau mengalokasikan dana.

Mekanisme lebih lanjut terkait pelaksanaan syariat di provinsi Aceh diatur


dalam Qanun. Adapun yang dimaksud dengan Qanun, berdasarkan UU No. 18
Tahun 2001, Bab I ketentuan umum, Pasal 1 Angka 8 ditetapkan bahwa Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
penyelenggaraan otonomi khusus.

18
Mengacu pada ketetapan tersebut qanun dapat diartikan sebagai peraturan
daerah provinsi Aceh yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan
masyarakat Aceh dan ketentuan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Misalnya qanun
nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam, dan lain-lain.

B. Kendala- Kendala yang didapat selama penetapan syariat islam


a. Pembuatan qanun

Qanun pada umumnya dipahami dengan peraturan. Namun untuk mencari


kejelasan pengertian tentang qanun berikut di paparkan pengertian qanun secara
termonilogi. Istilah qanun dalam bahasa Arab ditulis ‫ قانون‬merupakan bentuk kata
kerja dari ‫( قان‬dibaca qanna). Hal ini sebagaimana penjelasan Ridwan, dalam bahasa
Arab kata kerja qanun adalah qanna yang artinya membuat hukum yang artinya
membuat hukum (tomakelaw,tolegislate). Dalam perkembangannya, kata qanun
berarti hukum (law), peraturan (rule, regulation) Undang (statute, code).11 Salah
satu keistimewaan Aceh adalah diberikan wewenang untuk mengadili pidana-pidana
tertentu dalam ruang lingkup hukum syariat. Qanun adalah hukum materil yang
menghimpun ketentuan-ketentuan pidana.12

b. Qanun syariat islam di aceh

1. Qanun pada masa Kerajaan Aceh Darussalam

Qanun memiliki artinya undang-undang.Istilah qanun ternyata telah digunakan


sejak lama. Hal ini sebagaimana penjelasan Al-Yasa’ Abu bakar, istilah qanun sudah
digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab “Undang-
Undang Melaka” yang disusun pada abad kelima belas atau enam belas Masehi telah
menggunakan Istilah ini. Menurut Liaw Yock Fang dalam Al-Yasa’ Abu bakar,
Istilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat dan biasnya

11Ridwan. Positivisasi Hukum Pidana Islam (Analisis Atas Qanun No: 14/2003 Tentang
Khalwat/Mesum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=402867&val=3907&t itle=POSITIVISASI HUKUM
PIDANA ISLAM (Analisis atas Qanun No: 14/2003 Tentang Khalwat/Mesum Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam). (Online).Tanggal 24 oktober 2018.
12
Abdul Majid, Syariat Islam dalam Realitas Sosial, Ar- Raniry Press, Banda Aceh, 2007, hlm. 43.

19
dipakai ketika ingin membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan
hukum yang tertera dalam kitab fiqih.13

Penggunaan istilah qanun di Aceh telah pakai sejak masa Sultan Alauddin
Mansur Syah, pada masa ini terdapat sebuah naskah berjudul “Qanun Syara’
Kerajaan Aceh” di tulis oleh Teungku diMulek pada tahun 1257 H atas perintah
Sultan Alauddin Mansur Syah yang wafat tahun 1870 M. Isi naskah ini memuat
cakupan pembahasan bidang hukum tata negara, pembagian kekuasaan, badan
peradilan dan kewenangan mengadili, fungsi kepolisian dan kejaksaan, serta aturan
protokoler dalam berbagai upacara kenegaraan.

Suatu sumber menyebutkan bahwa sebelum kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan
Iskandar Muda, lembaga pemerintah untuk membuat qanun belum ada/ belum dibuat
di kerajaanAceh Darussalam. Qanun dibuat berdasarkan saran dan prakarsai oleh
Putroe Phang (Putri Pahang), nama aslinya Putri Kamaliyah, beliau adalah
istri/permaisuri Sultan Iskandar Muda,berasal dari Negeri Pahang Malaysia. Suatu
hari Putri memberi/menyampaikan kepada Sultan, bahwa ada baiknya di Kerajaan
Aceh Darussalam dibentuk Mahkamah Rakyat. Guna mahkamah rakyat sebagai
salah satu Lembaga Tinggi Kerajaan (Negara). Tempat perwakilan rakyat
bermusyawarah/bersidang mencari solusi agar mendapat kesepakatan membuat
undang-undang dalam pemerintahan Aceh, maka dibuatlah qanun.14

2. Qanun syariat Islam di provinsi Aceh

Qanun syariat Islam yang ada di provinsi Aceh saat ini merupakan kebijakan
dan manifestasi atau lahir setelah kebijakan pemerintah pusat berupa Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi
khusus bagi provinsi daerah keistimewaan Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006
tentang pemerintahan.

13
Al-Yasa’Abubakar.Dkk. Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Cet. II.
(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2007), hlm 6.

14
Muhammad Umar, Peradaban Aceh (Tamadun), Boebon Jaya, 2008, hlm 73.

20
Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh mulai sejak kebijakan UU tersebut
diberikan oleh pemerintah pusat.Mulai sejak itu, penerapansyariat Islamdiprovinsi
Acehtelahmelahirkan sejumlah qanun. Adapun qanun tersebut sebagai berikut:

1. Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan syariat Islam di


provinsi Daerah Istimewa Aceh.

2. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam

3. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah,
Ibadah, dan Syiar Islam.

4. Qanun Nomor12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya.

5. QanunNomor13 Tahun 2003 tentang Mesir (Perjudian).

6. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).

7. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang PengelolaanZakat.

8. Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah


Nanggroe Aceh Darussalam.

9. Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.

10. Qanun nomor 10 Tahun 2007 tentang BaitulMal.

Hukum jinayat tidak hanya berlaku bagi kalangan muslim di Aceh. Namun juga
berlaku bagi non muslim yang melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang
dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang disebut dengan jarimah. Dalam
ketetapan Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 tetantang Hukum Jinayat, Bab II
Pasal1 Ayat16 menetapkan bahwa Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh
Syariat Islam yang dalam Qanunini diancam dengan ‘Uqubat Hudud dan/atau Ta’zir.

Qanun jinayat berlaku terhadap pelaku pidana (jarimah) di Aceh termasuk non
muslim. Dalam ketetapan Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 tetantang Hukum
Jinayat, Bab II Bagian kedua Pasal 5 menetapkan bahwa Qanun ini berlaku untuk:

a. Setiap Orang beragama Islam yang melakukan Jarimahdi Aceh.

21
b. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan Jarimah di Aceh bersama-
sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri secara sukarela
pada Hukum Jinayat.

c. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan Jarimah di Aceh
yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau
ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun ini.

d. Badan Usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.

Berdasarkan ketetapan tersebut, bagi non muslim pelaku jarimah di Aceh


bersama-sama dengan orang muslim. Dalam hal ini, non muslim tersebut dapat
memilih dan menyatakan tunduk secara sukarela pada hukum jinayat. Contoh kasus
yang dikutip dari salah satu sumber berita online, L Liu alias YM. Warga kota Sigli
beragama Budha ini dituduh menyimpang dan memperdagangkan khamar. Liu
akhirnya diadili di Mahkamah Syar’iyah Sigli. Dalam putusan perkara ini terungkap
demikian Penundukan diri secara sukarela dan memilih dibolehkan, namun tidak
boleh memaksa15.

3. Kedudukan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 terhadap Pelaksanaan SyariatIslam

Pembentukan dan pemberlakuan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum


Jinayat, merupakan penyempurnaan terhadap (1) Qanun Nomor 12 Tahun 2003
tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, (2) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Mesir (Perjudian), dan (3) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).

Penerapan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat sempat tertunda,
namun akhirnya disahkan oleh pemerintah Aceh pada tahun 2015. Pemberlakuan
qanun ini diharapkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat berjalan secara kaffah.

Pelaku jarimah akan dijatuhi konsekuensi hukum yang sangat tegas, tujuannya
untuk memberikan efek jera,penyadaran, dan pembelajaran terhadap pelaku,
misalnya pelaku khamar akan dicambuk 40 kali, sebagaimana ketetapan qanun
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Bab IV, Pasal 15menetapkan:

15
Yusdani, Formalisasi Syariat Islam Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia Al-Mawarid Edisi XVI ,
2006, hlm 206.

22
1. Setiap Orang yang dengan sengaja minum Khamar diancam dengan ‘Uqubat
Hudud cambuk 40 (empat puluh) kali.

2. Setiap Orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 40 (empat puluh) kali ditambah ‘Uqubat
Ta’zir cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali atau denda paling banyak 400
(empat ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan.

Konsekuensi ‘uqubat hudud cambuk akan dijatuhi terhadap pelaku jarimah di


wilayah hukum provinsi Aceh yang memberlakukan syariat Islam.konsekuensi
tersebut sangat tergantung jenis pelanggaran (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku
dan akan dijatuhi ‘uqubat hudud cambuk berdasarkan ketetapan qanun Nomor 6
Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Untuk lebih rinci tentang ‘uqubat tersebut
disarankan pembaca untuk melihat qanun jinayat.16

Qanun syariat Islam provinsi Aceh berdasarkan tata urutan ketetapan tersebut
berada pada urutan ketujuh, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Hal ini menunjukkan
bahwa qanun memiliki kedudukan sebagai sub-sistem tata peraturan Perundang-
Undangan nasional, bahkan sistem hukum nasional pada umumnya. Karena itu
qanun sebagai peraturan daerah “plus” tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.17

Eksistensi dan kedudukan qanunsangatkuatkedudukannya terhadap pelaksanaan


syariat Islam di Aceh, sehingga penerapan syariat Islam di Aceh sepenuhnya diatur
dalam ketetapan qanun Aceh. Qanun pelaksanaan syariat Islam di

Aceh memiliki kedudukan yang setara dengan Perda dan merupakan bagian
dari sub-sistem peraturan perundang-undangan nasional.

A. Sisi pelaksanaan qanun-qanun

Peran strategis gubernur dalam pelaksanaan pemerintahan daerah Aceh sebagai


pilar yang memiliki kewenangan terhadap pelaksana pemerintahan Aceh yang

16
Al-Yasa’ Abubakar. Dkk, Hukum Pidana Islam..., hlm 8
17
Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila (ImplementasiNilai-Nilai Karakter Bangsa) Di
Perguruan Tinggi Cet. IV., Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, hlm 110.

23
berbasis pada syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh merupakan
tanggung jawab gubernur sebagai pemerintah daerah Aceh.

Peran strategis gubernur Aceh (eksekutif) dalam penetapan atau pengesahan


qanun tentang syariat Islam Aceh. Qanun syariat Islam sebagai landasan hukum
pelaksanaan syariat di Aceh tidak bisa diberlakukan tanpa pengesahan gubernur,
karena penatapan qanun merupakan kewenangan gubernur sebagai pilar atau elemen
eksekutif di Aceh.

Contohnya, penetapan qanun jinayat yang sempat tertunda pada era gubernur
Aceh Irwandi Yusuf dan wakilnya Muhammad Nazar periode 2007-2012, dianggap
waktu itu masih ada yang harus disempurnakan. Selanjutnya qanun jinayat baru
disahkan atau ditetapkan oleh gubernur berikutnya yaitu Zaini Abdullah pada
tanggal 22 Oktober 2014. Aspek Ini merupakan bagian dari peran gubernur sebagai
pilareksekutif,tentu masih banyak peran- peran strategis lain yang terkait dengan
pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.

Selanjutnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai pilar legislatif,


memiliki wewenang untuk mendesak (eksekutif) pemerintah Aceh untuk
melaksanakan syariat Islam kaffah berdasarkan ketetapan qanun. Di samping itu,
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memiliki wewenang pengawasan terhadap
pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh. Demikian pula wewenang DPRK di
provinsi Aceh.

Wewenang DPRA terhadap pembentukan qanun syariat Islam Wewenang


pembentukan qanun syariat Islam ada pada DPRA sebagai pilar legislative
diprovinsi Aceh. Secara rincian tugas DPRA terdapat dalam ketetapan Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Bab VII Bagian Kedua

DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

1. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat


persetujuan bersama.

2. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan


perundang-undangan lain.

24
3. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam
melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama
internasional.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Sejarah pelaksanaan syariat islam dimulai dari masa nabi muhammad SAW baik

di mekkah dan madinah, khulafaur rasyidin, kerajaan aceh, masa penjajahan,

pasca kemerdekaan, dan masa UUPA.

2. Beberapa hukum syariat pada periode Mekkah, yaitu Aqidah, Pensyariatan


shalat dan Zakat.
3. Syariat Islam di Aceh mengalami perkembangan yang luar biasa pada masa
kerajaan Islam di Pasai (1270), dan kerajaan Islam Aceh Darussalam mulai dari
masa Sultan Ali Mugyhayat Syah (1589-1602), sultan Iskandar Muda (1607-
1636) hingga sampai kepada kerajaan Islam Aceh dipimpin selama empat
periode oleh Sultanah (ratu).
4. Qanun adalah hukum materil yang menghimpun ketentuan-ketentuan pidana.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai pilar legislatif, memiliki
wewenang untuk mendesak (eksekutif) pemerintah Aceh untuk melaksanakan
syariat Islam kaffah berdasarkan ketetapan qanun.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan kepada setiap mahasiswa agar
mampu memahami tentang sejarah pelaksanaan syariat islam dari masa awal
hingga sekarang dan kendala-kendala penerapan syariat islam di Aceh.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Al-Yasa’, Dkk. 2007. Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam Cet. II. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi

NAD.

Arief, Rusdian. 1991. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di

Indonesia. Bandung: Rosda karya.

Majid, Abdul. 2007. Syariat Islam dalam Realitas Sosial. Banda Aceh: Ar-

Raniry Press.

Muhammad, Rusjdi Ali. 2003. Kontekstualitas Syari’at Islam Di Nanggroe

Aceh Darusslam. Banda Aceh: Ar- Raniry Press.

Sulaiman. 2018. Studi Syariat Islam di Aceh. Banda Aceh: Madani Publishier.

Umar, Muhammad. 2008. Peradaban Aceh (Tamadun). Boebon Jaya.

Syarbaini, Syahrial. 2011. Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai

Karakter Bangsa) Di Perguruan Tinggi Cet. IV. Bogor: Ghalia

Indonesia.

Yusdani. 2006. Formalisasi Syariat Islam Dan Hak Asasi Manusia Di

Indonesia Al-Mawarid Edisi XVI. Bandung: Rosda karya.

27
28

Anda mungkin juga menyukai