Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan secara mendasar dipahami sebagai upaya
memanusiakan manusia, sehingga untuk menjadi manusia maka manusia
perlu melalui pendidikan yang dilakukan oleh pendidik yang juga
manusia. Namun, beberapa literatur mengemukakan pemahaman yang
lebih spesifik lagi yakni pendidikan adalah upaya yang dilakukan oleh
orang dewasa kepada seorang anak yang dianggap belum dewasa. Dewasa
dalam pengertian sederhana adalah ketika seorang anak dapat mengambil
keputusan dan mempertanggungjawabkan keputusannya.
Pemahaman ini muncul dari Yunani, yang pada waktu itu, orang
tua yang bekerja menitipkan anak-anaknya pada pedagogik, yakni orang
yang dipercaya untuk mengantarkan anak-anak ke sekolah dan juga
memberikan bimbingan. Dalam hal ini pedagogik menggantikan peran
orang tua untuk memberikan pemahaman mengenai berbagai hal pada
anak-anak. Sehingga harapannya anak-anak tetap mendapatkan
pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya dan kehidupan.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa judul ini mencakup
pembicaraan tentang pendidikan seorang anak untuk menuju jalan
kedewasaan. Hal ini berkaitan dengan pendidik sebagai pemimpin dan
peran negara dalam menyelenggarakan pendidikan.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana hubungan pergaulan dan pendidikan?
b. Apa pengaruh pendidikan dengan kedewasaan anak?
c. Apakah makna kedewasaan?

1
d. Bagaimana peran negara dalam pendidikan?

C. Tujuan
a. Mengetahui hubungan pergaulan dan pendidikan
b. Mengetahui pengaruh pendidikan dengan kedewasaan anak
c. Mengetahui makna kedewasaan
d. Mengetahui peran negara dalam pendidikan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Pergaulan dan Pendidikan

Pendidikan yang sebenarnya berlaku dalam pergaulan antara orang


dewasa dan anak. Pergaulan antara orang dewasa dan orang dewasa tidak
disebut pergaulan pendidikan (pergaulan pedagogis) sebab di dalam
pergaulan itu orang dewasa menerima dan bertanggung jawab sendiri
terhadap pengaruh yang terdapat dalam pergaulan itu. Demikian pula,
pergaulan antara anak-anak dan anak-anak tidak dapat pula dinamakan
pergaulan pedagogis, walaupun kita sering melihat dalam pergaulan antar
anak, seorang anak yang menguasai dituruti oleh anak-anak yang lain.
Kekuasaan yang ada pada anak-anak terhadap teman-temannya tidak
bersifat kekuasaan pendidikan karena kekuasaan itu itdak tertuju pada
suatu tujuan pedagogis secara didasarinya dan tidak dilakukan dengan
sengaja.

Jadi, pergaulan pedagogis hanya terdapat antara orang dewasa dan


anak (orang yang belum dewasa). Tetapi, harus diingat bahwa tidak tiap-
tiap pergaulan antara orang dewasa dan anak bersifat pendidikan. Banyak
pergaulan dan hubungan yang bersifat netral saja, tidak bersifat pedagogis,
misalnya orang tua menyuruh mengambil kaca mata bukan karena
bermaksud mendidik, melainkan karena ia sendiri enggan mengambil.
Bahkan ada pula pengaruh jahat dalam perrgaulan anatar orang dewasa
dan anak-anak, misalnya seorang penjahat mengajar anaknya supaya
menjadi perampok yang ulung atau seseorang yang mengajar anak untuk
mencopet.

Satu–satunya pengaruh yang dapat dinamakan pendidikan ialah


pengaruh yang menuju kedewasaan anak untuk menolong anak untuk

3
mejadi orang yang kelak dapat dan sanggup memenuhi tugas hidupnya
atas tanggung jawab sendiri. Lalu, apakah perbedaan pergaulan pedagogis
dan pergaulan biasa itu? Pergaulan pedagogis itu bersifat;

Pertama, di dalam pergaulan ini ada pengaruh yang sedang dilaksanakan,

Kedua, ada maksud bahwa pengaruh itu dilaksanakan oleh orang dewasa
(dalam berbagai bentuk , misalnya berupa sekolah , pengajian, buku-buku
pelajaran, dan sebagainya ) kepada orang yang belum dewasa.

Ketiga, pengaruh itu diberikan atau dilaksanakan dengan sadar dan


diarahkan pada tujuan yang berupa nilai-nilai atau norma-norma yang
baik yang akan ditanamkan dalam diri anak didik atau orang yang belum
dewasa.

Pergaulan itu disebut pergaulan pedagogis jika orang dewasa atau


si pendidik sadar akan kemampuanya sendiri dalam tindakannya terhadap
anak yang ” tidak mampu apa-apa” itu, tetapi disamping itu, ia masih ada
percaya bahwa anak memiliki kemampuan untuk membantu dirinya
sendiri. Lebih jelas lagi : dalam pergaulannya dengan anak-anak, orang
dewasa menyadari bahwa tindakannya yang dilakukan terhadap anak itu
mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang masih perlu
ditolong untuk membentuk dirinya sendiri.

Dari keterangan di atas berarti pula bahwa pergaulan biasa


sekonyong-konyong dapat berubah menjadi pergaulan pedagogis, seperti
sekonyong-konyong pendidik terpaksa memperlihatkan suatu sikap
sengaja (misalnya, memarahi, memperingatkan, dan lain-lain) karena anak
berbuat sesuatu yanng terlarang atau tidak pantas. Tetapi pada umumnya,
perubahan dari pergaulan biasa ke pergaulan pedagogis tidak disadari oleh
anak-anak dan diterima dengan sewajarnya oleh anak. Ini suatu bukti
bahwa pada dasarnaya anak itu memerlukan dan suka akan pimpinan dari
orang dewasa.

4
B. Pendidikan dan Kedewasan Anak

Dalam rumusan di muka dinyatakan dengan tegas bahwa hal


mendidik itu terdapat dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Jadi,
dalam hal ini ada dua ketentuan pertama, si pendidik harus orang yang
sudah dewasa sendiri, kedua, si terdidik harus orang yang belum dewasa,
jadi terbatas pada anak-anak saja.

Dalam hal ini kita harus ingat kepada tujuan pendidikan. Dimuka
telah dikatakan bahwa mendidik ialah memimpin anak kearah
kedewasaan. Jadi, yang kita tuju dengan pendidikan ialah kedewasaan si
anak. Tidaklah mungkin pendidik membawa anak-anak kepada
kedewasaannya jika pendidik sendiri tidak dewasa. Membawa anak
kepada kedewasaannya bukan hanya dengan nasiha-nasihat, perintah-
perintah, anjuran-anjuran, dan larangan-larangan saja, melainkan yang
pertama-tama ialah dengan gambaran kedewasaan yang senantiasa dapat
dibayangkan oleh anak dalam diri pendidiknya, didalam pergaulan
mereka (antara pendidik dan anak didik).

Tetapi dalam hal ini kita dapat melihatnya bahwa ada cukup banyak
keluarga (orang tua) yang sedikit banyak kurang dapat memenuhi
syaratnya apa lagi jika kita mengigat perkembangan kebudayaan yang
sangat pesat majunya seperti sekarang ini. Banyk diantara orang tua,
terutama di kota-kota besar yang tidak mempunyai cukup waktu untuk
bergaul dengan mendidik anaknya disebabkan sibuknya urusan pekerjaan
atau ekonomi. Demikian pula disebabkan oleh makin majunya masyarakat
dan kebudayaan manusia, tidak mungkin lagi pendidikan anak-anak itu
diserahkan kepada orang tua saja. Maka dari itu, pendidikan yang
sebenarnya tugas dan kewajiban orang tua, menjadi tugas masyarakat dan
negara pula, masyarakat dan negara turut mengambil bagian dalam hal ini.

5
Sesuai dengan asas pendidikan yang di anut oleh pemerintah dan
bangsa indonesia, yakni pendidikan seumur hidup (life long education),
maka pendidikan ,merupakan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah.

C. Makna Kedewasan

Sebenarnya, sulit bagi kita untuk merumuskan apakah dewasa itu,


apalagi kalau kita mengaharapkan jawaban yang pendek, singkat, dan
tepat. Sungguhpun demikian, untuk memberi gambaran agak jelas
pengertian itu, berikut ini akan diterangkan secara singkat.

Arti kedewasaan kadang-kadang dibeedakan menjadi kedewasan


jasmani dan kedewasaan rohani. Ada orang yang mengatakan “ Si Anu,
kalau dilihat dari jasmaninya, sebenarnya sudah dewasa, tetapi kalau
dilihat dari sifat-sifat dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak padahal
kalau kita ingat umurnya dia sudah 20 tahun.“ Penulis kurang menyetujui
pandangan demikian itu. Juga kalau di pandang dari sudut psikoloogi
Gestalt, manusia itu sebenarnya merupakan suatu individu, suatu kesatuan
yang tak dapat di pisah-pisahkan antara jasmani dan rohaninya. Jadi, kita
mencoba menguraikan arti kedewasaan itu, tidak akan menguraikan
kedewasaan jasmani dan rohani, tetapi kedewasaan manusia sebagai
individu.

Jika segala kedewasaan itu kita tinjau, maka tampaklah ciri-cirinya,


yaitu sifat tetap dan sifat teratur dan statis jika dibandingkan dengan
dinamika pada anak-anak yang selalu menghendaki dan mengalami
perubahan. Sebenarnya, pada orang dewasa ada pula gejala-gejala yang
dinamis, tetapi dalam arti yang tidak plastis. Orang dewasa sudah tidak
suka lagi bermain-main seperti anak-anak. Anak belum mempunyai
kedudukan yang tetap dalam masyarakat dan masih memerlukan
perlindungan.

Pada orang, dewasa telah ada penetapan sendiri atas tanggung


jawab. Jadi, kedewasaan itu mempunyai bentuk dan wujud. Oleh karena

6
itu, kita dapat berkata bahwa seseorang itu telah dewasa atau belum
dewasa.

Orang dewasa itu benar-benar mengetahui siapa dirinya dan apa


yang diperbuat, baikkah atau burukkah itu. Jadi, menjadi dewasa dan
kedewasaan itu mempunyai arti kesusilaan juga. Ia mau mempertanggung
jawabkan keadaannya dan segala perbuatannya. Ia secara moral telah
menyesuaikan diri atau mengidentifikasikan diri dengan norma-norma
kesusilaan.

Dengan perkembangan anak menjadi dewasa, melalui suatu masa


peralihan yang disebut pubertas. Setelah masa pubertas dan
adolesensidilalui, ia telah menjadi dewasa. Padanya telah terdapat
keselarasa (harmoni) antara jasmani dan rohani.Kepribadiannya, baik
psikis maupun moral, telah menjadi stabil (tetap). Kestabilan inilah yang
memungkinkan orang dapat mengadakan hubungan-hubungan
kemasyarakatan, seperti memilih jabatan, hidup berkuarga dan berumah
tangga, hidup dalam perkumpulan-perkumpulan, dan organisasi masyrakat.

Orang dewasa sadar akan stabilitas dan kstabilanitu. Ia benar-benar


tahu siapa dirinya, apa yang dapat dan tidak dapat dikerjakan. Pendek kata,
ia tidak bergantung kepada orang lain tentang harga dirinya dan
kesangggupannya, tidak seprti anak kecil yang selalu minta penghargaan
dan keputusan dari orang lain jika ia mengerjakan sesuatu. Untuk
mengakhiri uraian tentang kedewasaan ini, baiklah disini kami berikan
perbandingan antara gejala-gejala keanakan dan gejala kedewasaan
sebagai berikut.

Anak-anak
 Mencari bentuk
 Tak mempunyai ketetapan
 Tak ada kemerdekaan
 Kelihatan mudah berubah
 Lemah
 Memerlukan bantuan

7
 Sanagat mudah terpengaruh (belum mmpunyai keyakinan yang tetap)

Dewasa

 Menampakkan diri sebagai bentuk


 Beranggapan mempunyai ketetapan
 Merdeka
 Tetap,stabil
 Kuat
 Membantu
 Tahu mengambil dan menentukan jalan (tidak bergantung kepada
orang lain)

D. Mendidik adalah Memimpin

Mengapa mendidik itu dikatakan memimpin perkembangan anak,


dan bukan membentuk anak? Memang, kata “memimpin” di sini tepat.
Anak bukanlah seumpaman segumpal tanah liat yang dapat diremas-
remas dan dibentuk dijadikan sesuatu menurut kehendak si pendidik. Jika
sekiranya betul demikian, sudah tentu kita dapat mengharapkan bahwa
nanti manusia itu akan menjadi “baik” semua. Sebab menurut kenyataan
hampir semua manusia diusahakan didik, baik oleh orang tuanya maupun
oleh masyarakarat dan negara. Sehingga akhirnya mungkin pemerintah
atai negara tidak perlu lagi mengadakan polisi dan penjara.

Pendidikan disebut pimpinan karena dengan perkataan ini


tersimpul arti bahwa si anak aktif sendiri, memperkembangkan diri,
tumbuh sendiri, tetapi di dalam keaktifannya itu ia harus dibantu,
dipimpin.Dalam hal ini ada dua pendirian yang bertentamgan:

a. Teori Tabularasa
Teori tabularasa dikemukanan oleh John Locke dan Francis Banco.
Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat
diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulis. Jadi, sejak

8
lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak
dapat dibentuk sekehendak pndidiknya. Di sini kekuatan ada pada
pendidik. Pendidikan atau lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.

Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme,


yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan
dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang
masuk melalui alat indera.

Kaum beravioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa


itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan,
atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua pendidikan, menurut
behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-
kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.

b. Teori Nativisme (Schopenhauer)


Lawan dari empirisme ialah nativisme. Nativus (latin) bearti karena
kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak
dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan
berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-
anak itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan
tidak berkuasa apa-apa.
Aliran pendidikan yang mengaruh paham nativisme ini disebut
aliran pesimisme. Sedangkan yang menganut empirisme dan teori
tabularasa disebut aliran optimism.
Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua-duanya ada
benarnya dan pula tidak benarnya. Maka dari itu, untuk mengabil
kebenaran dari keduanya, W, Stern, ahli ilmu jiwa bangsa jerman, telah
memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori
konvergensi.
Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak-anak itu
ditentukan atau dipengaruhi oleh dua faktor: pembawaan dan
lingkungan.

9
E. Peran Negara dalam Pendidikan

Hak negara terhadap pengajaran dan pendidikan juga diterimanya


dari Tuhan (bukan negara polisi atau totaliter), seperti hak orang tua
terhadap anaknya. Tetapi, hak itu bukan karena kedudukannya sebagai
orang tua, melaikan karena kekuasaan yang menjadi milik negara untuk
memajukan kesejahteraan umum, yang sudah menjadi tujuan negara itu
sendiri.

Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan


pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya, sesuai dengan dasar-
dasar dan tujuan negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum
menurut ukuran-ukuran yang sehat sehingga menjadi bantuan bagi
pendidikan keluarga dan dapat mencegah apa-apa yang merugikan
perkembangan aak untuk mencapai kedewasaannya.

Apabila keluarga tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan


seluruhnya (misalnya pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian
dari pendidikan sosial: perkumpulan anak-anak), disitulah negara, sesuai
dengan tujuannya, harus membatu orang tua juga dengan jalan
mendirikan sekolah-sekolah dan badan-badan sosial lainnya. Demikian
juga, negara berhak dan berkewajiban melindungi anak-anak, bila
kekuatan orang tua - baik material maupun moril - tidak dapat
mencukupi, misalnya, karena kurang mampu, tidak sanggup, atau lalai.

Jadi, jelas di sini bahwa hak orang-orang itu tidak mutlak: hak itu
terikat oleh hokum alam dan hokum Tuhan, dan pendidikan itu harus
pula sesuai dengan kesejahteraan umum. Tetapi, hak negara yang
demikian (turut campur tangan) tidak untuk menduduki tempat orang tua,
tetapi hanya untuk menambah yang kurang saja. Apabila perlu-misalnya,
hak orang tua itu dicabut (gila dan sebagainya) - negara harus berusaha
memberikan pendidikan kepada si anak, yang sedapat - dapatnya
mendekati pndidikan keluraga si anak atau menyerahkan anak itu kepada

10
kelurga lain, dengan tidak perlu menyebabkan anak itu menjadi milik
negara.

Lebih lanjut, ngara harus berusaha dan member kesempatan supaya


semua warga negaranya mempunyai pengetahuan cukup tentang
kewajiban-kewajiban sebagai warga negara dan sebagai anggota bangsa
yang mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup,
yang diperluan untuk kesejahtaraan umum (pendidikan
kewarganegaraan), dan tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan dan
yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan


dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin dan mendirikan
sekolah-sekolah yang diperlukan untuk mendidik pengawai-pengawai
dan tentaranya, misal pimpinan ini tidak mengurangi hak-hak orang tua.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan yang sebenarnya berlaku dalam pergaulan antara orang dewasa
dan anak yang mempengaruhi kedewasaan anak. Dimana seorang anak
tersebut sudah sanggup memenuhi tugas hidupnya atas tanggung jawab
sendiri. Selain pendidik, negara juga mempunyai hak dan kewajiban untuk
menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan dasar dan tujuan negara.

B. Saran

11
Demikan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, apabila
terdapat kesalahan mohon dimaafkan. Dan kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca demi kesempurnaan dalam makalah ini.

12

Anda mungkin juga menyukai