Anda di halaman 1dari 24

Prinsip-Prinsip Siyasah Islamiyyah dalam Kehidupan Masyarakat dan

Bangsa dan Praktik-Praktik Pemerintahan Islam; Masa Nabi dan


Masa Khulafaur Rasyidin

Makalah Ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Siyasah dan Jinayah

Dosen pengampu :

Marhamah Saleh, M.A.

Disusun oleh:

Ryzka Amelya Mahmudah 11180110000133

Syahdah Haq 11180110000137

Sahri Syu’ban 11180110000143

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2020 M
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kehadir Allah Swt. yang telah memberikan nikmat
sehat, nikmat iman, dan nikmat Islam. Salawat teriring salam tak lupa kita
junjungkan kepada Nabi besar Muhammad Saw. yang telah membawa umatnya
dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang seperti sekarang ini.
Kemudian dari makalah ini kami akan menyajikan sebuah materi yang sangat
penting untuk kita sekalian yang akan kita kaji bersama pada hari ini.

Makalah ini telah kami buat dengan semaksimal mungkin dan


mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga makalah mata kuliah “Fiqih
Siyasah dan Jinayah” dapat terselesaikan. Terimakasih kepada berbagai pihak
yang telah berkontribusi dan turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Namun dalam makalah ini tidak luput dari banyaknya kesalahan dan kekurangan.
Oleh karena itu, sebagai kesempurnaan makalah ini diharapkan kritik dan saran
dari dosen pengampu agar makalah ini dapat menyajikan tugas yang lebih baik
lagi kedepannya. Semoga hasil pemikiran dan diskusi kami yang tersaji di
makalah ini dapat bermanfaat dan memperluas wawasan pembaca.

Jakarta, 8 Maret 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTA .................................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

A. Latar Belakang ...............................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..........................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................3

A. Prinsip-Prinsip Siyasah Islamiyyah ................................................................3


1. Prinsip Politik dalam Al-Qur’an ..............................................................4
B. Praktik-Praktik Pemerintahan Islam Masa Nabi Muhammad Saw ................10
C. Praktik-Praktik Pemerintahan Islam Masa Khulafa’ al-Rasyidun .................13
1. Masa Abu Bakar as-Shiddiq ....................................................................13
2. Masa Umar bin Khattab ...........................................................................14
3. Masa Utsman bin Affan ...........................................................................16
4. Masa Ali bin Abi Thalib .........................................................................17

BAB III PENUTUP ..................................................................................................19

A. Kesimpulan ...................................................................................................19
B. Saran ..............................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembahasan mengenai fiqih siyasah menjadi terus berkembang seiring
perkembangan dunia politik. Perkembangan tersebut tentunya menghadirkan
banyak pemahaman-pemahaman baru yang dikembangkan para tokoh fiqih
siyasah. Politik Islam tentunya memiliki corak warna tersendiri dalam dunia
politik. Menjadikannya dapat diterima semua kalangan.
Corak tersebut dapat dilihat dari adanya prinsip-prinsip yang mengatur
adanya politik islam (Siyasah Islamiyyah). Politik Islam bukan hal baru dalam
dunia Islam, melainkan telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. hingga
saat ini.
Sayyid Qutub berpendapat dalam karya Sjadzali bahwa Islam Islam
adalah agama yang sempurna dan amatlah lengkap sebagai suatu sistem
kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan moral dan peribadatan, tetapi
juga meliputi sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem
masyarakat, sistem ekonomi dan sebagainya1.
Sejarah mencatat bahwa permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh
generasi pertama umat Islam sesudah nabi Muhammad wafat adalah masalah
kekusaan politik atau pengganti beliau yang akan memimpin umat, atau juga
lazim disebut persoalan imamah. Al-Qur’an sebagai acuan pertama disamping
sunnah Nabi tidak sedikitpun menyiratkan petunjuk tentang pengganti Nabi
atau tentang sistem dan bentuk pemerintahan serta proses pembentukannya.
Tidak mengherankan jika hingga saat ini umat Islam menampilkan
berbagai sistem dan bentuk pemerintahan, mulai dari kekhalifahan yang
demokratis hingga monarkis absolut. Untuk memperluas pengetahuan
mengenai prinsip-prinsip fiqih siyasah dan juga praktek sistem politik dari

1
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 1-2.

1
masa kenabian, makalah ini akan mengangkat kajian mengenai permasalahan
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja prinsip-prinsip Siyasah Islamiyyah?
2. Bagaimana praktik pemerintahan Islam pada masa Nabi Muhammad
Saw?
3. Bagaimana praktik pemerintahan Islam pada masa Khulafaur ar-
Rasyidun?

C. Tujuan Pembahasan
1. Dapat mengetahui apa saja yang menjadi prinsip-prinsip Siyasah
Islamiyyah.
2. Dapat mengetahui bagaimana praktik pemerintahan Islam pada masa
Nabi Muhammad Saw.
3. Dapat mengetahui bagaimana praktik pemerintahan Islam pada masa
Khulafaur ar-Rasyidun.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip-Prinsip Siyasah Islamiyyah


Pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya
dengan politik dan pemerintahan terbagi menjadi dua golongan, pertama
menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan pemerintahan, karena
Islam adalah agama yang lengkap, golongan kedua mengatakan didalam
Islam tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tapi mengandung ajaran-
ajaran dasar tentang kehidupan bermasyarakat2.
Menurut Muhammad Salim ‘Awwa dalam bukunya Fi an Nidham al
Siyasi li Ad Daulah al Islamiyah ada lima hal Prinsip Dasar Konstitusi Islam3:
1. Syura (QS. 42 : 38, QS. 3 : 159)
2. Keadilan (QS. 4:135, QS. 5:8, QS. 16:90, QS. 6:160)
3. Kebebasan (an nahl 125, Yunus: 99, An Naml: 64)
4. Persamaan (QS. 9 :13)
5. Pertanggungjawaban Pemimpin dan Ketaatan Umat (QS. 4 : 58, 14-
13, QS. 4 : 59)
H. A. Djazuli dalam bukunya Fiqh Siyasah membagi nilai-nilai dasar
fiqh siyasah syar’iyyah kepada 13 nilai dari Alquran dan 5 nilai dari Hadis.
Sementara Suyuthi Pulungan membagi prinsip-prinsip siyasah dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara kepada 16 prinsip dari Alquran dan 11 prinsip
dari Hadis4. Kesemua nilai dan prinsip yang mereka utarakan pada dasarnya
sama dengan prinsip-prinsip yang telah sebutkan oleh pakar sebelumnya
dengan sedikit penambahan sesuai dengan dalil yang dikemukakan.

2
Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 6.
3
Muhammad Salim ‘Awwa, Fi an Nidham al Siyasi li Ad Daulah al Islamiyah, (Kairo: Dar as
Syuruq, Cetekan ketiga 2008), hlm. 181, 207, 212, 226, dan 230.
4
Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah sejarah dan pemikiranya, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1995), hlm.5.

3
Meskipun para pakar politik dan hukum Islam yang menguraikan prinsip-
prinsip negara dalam syari’at Islam sangat bervariasi. Namun dalam makalah
ini, prinsip-prinsip siyasah dan penyelenggaraan negara dalam Alquran dapat
diformulasikan bahwa prinsip-prinsip dasar hukum politik Islam adalah:

1. Prinsip Politik dalam al-Quran


a. Kedudukan manusia di muka bumi
َ ُ َ َۡ َ ُْٓ َ َ َ َۡ ٞ ِ َ َ َ ۡ َ ُّ َ َ َ ۡ
َ ِ ‫لئِكةِ إ ِ ِّن َجاعِل ِِف ٱۡل‬
‫ۡرض خل ِيفة ۖٗ قالوا أَتعل فِيها من‬ َٰٓ ‫ِإَوذ قال ربك ل ِلم‬

َ ۡ َ ِٓ َ َ َ َ ُ ِ َُ َ َ َۡ ُ ِ َُ ُ َۡ َ َٓ َ ِ ُ َۡ َ َ ُ ُۡ
‫ّن أعل ُم َما‬ ِ ِ ‫يفسِد فِيها ويسفِك ٱلِماء وَنن نسبِح ِِبمدِك ونقدِس لك ۖٗ قال إ‬
َ َ َ َ
)٠٣( ‫َل ت ۡعل ُمون‬

Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman diantara malaikat: “Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Q.S Al-
Baqarah/2:30).

b. Prinsip al-Musawah dan al-ikhwah (Persamaan dan Persaudaraan)


ُ َّ َ َ َّ ْ ُ َّ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ْ ُ ۡ َ َ ٞ َ ۡ َ ۡ ۡ َّ
‫ٱَّلل ل َعلك ۡم‬ ‫إِن َما ٱل ُمؤم ُِنون إِخوة فأصل ِحوا بۡي أخويك ۚۡم وٱتقوا‬

َ َُ ُۡ
)٠٣(‫َحون‬ ‫تر‬

Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat /49:10).
َ ٓ َ ُ ُ ۡ ُ َ ُ َٰ َ ۡ َ َ َّ ُ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
َٰ َ ‫كم ِمِن َذكر َوأ‬
‫نَث َو َج َعل َنَٰك ۡم ش ُعوبا َوق َبائِل‬ ٖ ‫يأيها ٱنلاس إِنا خلقن‬

ٞ َ ٌ َ َ َّ َّ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ َّ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ َّ ْ ٓ ُ َ َ َ
)٠٠( ‫ِلِ عارف ۚۡوا إِن أكرمكم عِند ٱَّلل ِ أتقىك ۚۡم إِن ٱَّلل عل ِيم خبِي‬

4
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seseorang laki-
laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling takwa diantara
kamu.” (Q.S Al-Hujarat/49:13).
Dalam sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Madinah,
prinsip persamaan dan persaudaraan ini oleh nabi SAW dipraktekkan
ketika ia menyusun piagam Madinah. Islam menganut prinsip persamaan
dihadapan hukum dan penciptanya, yang menjadi pembedanya adalah
kualitas ketaqwaan individu. Keberpihakan islam pada prinsip
persaudaraan dan persamaan didasarkan pada tujuan yang hendak diraih
yakni adanya pengakuan terhadap persaudaraan semesta dan saling
menghargai diantara sesama umat manusia sehingga dapat tercipta
kehidupan yang toleran dan damai.

c. Prinsip al-amanah (akuntabilitas)


َ َّ َ َۡ ُۡ َ َ َ َ ۡ َ َٰٓ َ َٰ َ َٰ َ َ ۡ ْ ُّ َ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ َ َّ َّ
ِ
‫ت إَِل أهل ِها ِإَوذا حكمتم بۡي ٱنلاس أن‬ ِ ‫۞إِن ٱَّلل يأمركم أن تؤدوا ٱۡلمن‬

َ ‫ٱَّلل ََك َن َسم‬ ُ ُ َ َّ َ َّ َّ ۡ َ ۡ ْ ُ ُ ۡ َ


َ َّ ‫كم بهِۦٓ إ َّن‬
)٨٥( ‫يعَۢا بَ ِصيا‬ ِ ِ ٓۗ ِ ‫َتكموا بِٱلعد ِل ِۚ إِن ٱَّلل ن ِ ِعما ي ِعظ‬

Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (Q.S Al-Nisa’/4:58).
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, amanah merupakan amanah
rakyat yang diberikan kepada seorang pemimpin untuk menjalankan roda
pemerintah yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kontrak sosial. Bagi
pengemban amanah harus mampu manjalankan titah rakyat sekaligus

5
harus mampu menjadi pelayan rakyat dan wajib hukumnya untuk bersikap
adil5.

d. Prinsip as-salam (perdamaian)


ُ ‫يع ۡٱل َعل‬ َّ َ َ ۡ َّ َ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َّ ْ ُ َ َ
َّ ‫ٱَّللِ إنَّ ُهۥ ُه َو‬
ُ ‫ٱلس ِم‬
‫ِيم‬ ِ ۡۚ ‫۞ِإَون جنحوا ل ِلسل ِم فٱجنح لها وتوَّك لَع‬

)١٠(
Artinya:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (Q.S Al-Anfal /8:61).
Islam sebagai agama rahmatan lilalamin mengedepankan prinsip
perdamaian dalam segala aspek kehidupan sesuai dengan tujuan risalah
yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. termasuk dalam urusan politik
atau kenegaraan.

e. Prinsip at-tasamuh (toleransi)


َ َ َ ْ ُ ۡ َ َ َ ِ َّ َ َ ۡ ْ ُ َّ َ َ َ َ َ ۡ ُ َ َٰ َ ۡ َ َٰٓ َ َٰ َ َ ۡ ْ ُ َ َ
َٰٓ ِ ‫كلُ ٓوا أ ۡم َوَٰل ُه ۡم إ‬
‫َل‬ ‫ب وَل تأ‬ ‫ي‬
ِۖ ِ ِ ِ‫ٱلط‬ ‫ب‬ ‫يث‬ِ ‫وءاتوا ٱۡلتَم أمولهمۖٗ وَل تتبدلوا ٱۡلب‬
َ ُ َ َ ُ َّ ۡ ُ َٰ َ ۡ َ
)٢( ‫أمول ِك ۚۡم إِنهۥ َكن حوبا كبِيا‬

Artinya:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak karib kerabat
anak-anak yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh.” (Q.S Al-Nisa’/4:2).
Sikap toleran merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap individu
didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam suatu negara
akan terdiri dari berbagai macam agama, suku, dan bangsa. Prinsip
Toleransi berlaku universal, sikap saling menghargai dan menghormati

5
Dr. J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, (PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 9.

6
antar sesama warga negara bukan saja terhadap sesama orang islam, tetapi
juga harus berlaku lintas agama dan suku.

f. Prinsip al-huriyah (kebebasan)


َّ ۡ ُ َّ ُ ۡ َ ِ َ ۡ َ ُ ۡ ُّ َ َّ َ َّ َ ِ
ِ ‫غۚۡ ف َمن يَكف ۡر بِٱلطَٰغ‬
ِ‫وت َو ُيؤ ِم َۢن بِٱَّلل‬ ‫ٱل‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫د‬ ‫ش‬‫ٱلر‬ ‫ۡي‬ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫د‬‫ق‬ ‫ِين‬ ‫ٱل‬ ‫ِف‬ َ ‫ََلٓ إ ۡك َر‬
‫اه‬
ِ ِِۖ ِ ِ

ٌ ‫يع َعل‬
)٢٨١( ‫ِيم‬ ٌ ‫ٱَّلل َس ِم‬ َ ‫َق ََل ٱنف َص‬
ُ َّ ‫ام ل َ َهاۗٓ َو‬ ۡ ۡ َ َ َۡ ۡ ََ
َٰ َ ‫ك بِٱل ُع ۡر َوة ِ ٱل ُو ۡث‬ ‫فق ِد ٱستمس‬
ِ

Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.
Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka
sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang
tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah/2:256).
Manusia telah dibekali Allah kemampuan untuk berfikir dan
menentukan jalan hidupnya sendiri dengan akal yang ia miliki. Maka
setiap orang berhak untuk bebas mengatur kehidupannya sendiri.
Kebebasan di sini terkait dengan kebebasan memilih agama, menyatakan
pendapat, menuntut ilmu, bekerja, dsb.

g. Prinsip asy-syura (musyawarah)


َ ۡ َ ۡ ْ ُّ َ َ ۡ َ ۡ َ َ ًّ َ َ ُ ۡ َ َ ۡ ُ َ َ َّ َ ِ َ ۡ َ َ َ
ٗۖ ‫ب َلنفضوا مِن حول ِك‬
ِ ‫ل‬ ‫ق‬‫ٱل‬ ‫يظ‬ِ ‫ل‬ ‫غ‬ ‫ا‬‫ظ‬‫ف‬ ‫نت‬ ‫ك‬ ‫و‬ ‫ل‬‫و‬ ٗۖ‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ِ‫نل‬ ِ ‫ٱَّلل‬ ‫فبِما رَحةٖ مِن‬

َّ َّ َ َ ۡ َّ َ َ ۡ َ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ ۡ ۡ َ ۡ َُۡ ُ ۡ َ
‫ت ف َت َوَّك لَع ٱَّللِۚۡ إِن‬ ‫ٱس َتغ ِف ۡر ل ُه ۡم َوشاوِ ۡره ۡم ِِف ٱۡلم ِرِۖ فإِذا عزم‬‫فٱعف عنهم و‬

َ ‫ِب ٱل ۡ ُم َت َو ِ ِّك‬
)٠٨١( ‫ِۡي‬ ُّ ‫ٱَّلل ُُي‬
َ َّ

Artinya:
“Maka disebabkan dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka

7
menjauhkan dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang
bertawakal kepada-Nya.” (Q.S Al-Imran/ 3: 159).
Syura tidak terbatas pada satu kelompok masyarakat tertentu
sebagaimana pandangan Rasyid Ridha6. Prinsip musyawarah menghendaki
agar hukum perundang-undangan dan kebijakan politik diterapkan melalui
musyawarah di antara mereka yang berhak. Masalah yang diperselisihkan
para peserta musyawarah harus diselesaikan dengan menggunakan ajaran-
ajaran dan cara-cara yang terkandung alam al-Qur’an dan sunnah Rasul
Allah Saw. Prinsip musyawarah ini diperlukan agar para penyelenggara
negara dapat melaksanakn tugasnya dengan baik dan bertukar pikiran
dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk
semua.

h. Prinsip al-adilah (keadilan)


َ َّ َ َۡ ُۡ َ َ َ َ ۡ َ َٰٓ َ َٰ َ َٰ َ َ ۡ ْ ُّ َ ُ َ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ َ َّ َّ
ِ
‫ت إَِل أهل ِها ِإَوذا حكمتم بۡي ٱنلاس أن‬ ِ ‫۞إِن ٱَّلل يأمركم أن تؤدوا ٱۡلمن‬

َ ‫ٱَّلل ََك َن َسم‬ ُ ُ َ َّ َ َّ َّ ۡ َ ۡ ْ ُ ُ ۡ َ


َ َّ ‫كم بهِۦٓ إ َّن‬
)٨٥( ‫يعَۢا بَ ِصيا‬ ِ ِ ٓۗ ِ ‫َتكموا بِٱلعد ِل ِۚ إِن ٱَّلل ن ِ ِعما ي ِعظ‬

Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
An-Nisa/4:58).
Prinsip keadilan adalah kunci utama penyelenggaraan negara. Keadilan
dalam hukum menghendaki setiap warga negara sama kedudukannya
6
Rasyid Ridha, Tafsir Al manar, Juz IV,(1960), hlm. 126.

8
didepan hukum. Ketika Rasulullah memulai membangun negara Madinah,
ia memulainya dengan membangun komitmen bersama dengan semua
elemen masyarakat yang hidup di Madinah dari berbagai suku dan agama.
Prinsip keadilan dan persamaan dapat ditemukan dalam pasal 13, 15, 16,
22, 23, 24, 37, dan 40 dari Piagam Madinah7.

i. Prinsip at-Thahah (ketaatan)


َ ۡ ُ ۡ َۡ ْ ُ َ َ ُ ْ ُ َ َ َ َّ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
َّ ‫يأيها ٱَّلِين َءامن ٓوا أطِيعوا ٱَّلل وأطِيعوا‬
‫ٱلرسول وأو ِِل ٱۡلم ِر مِنكمۖٗ فإِن‬ َٰٓ

ۡ َّ َ ُۡ ُ ُ َّ َ ُ ُّ ُ َ ۡ َ ۡ َ
‫نت ۡم تؤم ُِنون بِٱَّلل ِ َوٱۡلَ ۡو ِم ٱٓأۡلخ ِِِۚر‬ ‫ول إِن ك‬
ِ
ُ ‫ٱلر‬
‫س‬ َّ ‫ٱَّلل ِ َو‬ ‫ت َنَٰ َزع ُت ۡم ِِف َشءٖ فردوه إَِل‬
‫ َ َ ۡ َ ُ َ ۡ ا‬ٞ ۡ َ َ َٰ َ
)٨١( ‫ذل ِك خي وأحسن تأوِيًل‬

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa/4:59).
Prinsip ketaatan mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang
terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah ditaati. Demikian pula hukum
perundang-undangan dan kewajiban pemerintahan wajib ditaati.
Kewajiban ini tidak haya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga
dibebankan kepada pemerintahan. Oleh karena itu, hukum perundang-
undangan dan kebijakan politik yang diambil pemerintahan harus sejalan
dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian,

7
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar
Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 78.

9
maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebijakan dinyatakan telah
gugur, karena agama melarang ketaatan pada kemaksiaatan8.

B. Praktik-Praktik Pemerintahan Islam Masa Nabi Muhammad Saw

Pengikut Nabi Muhammad SAW yang masih minoritas belum dapat


tampil sebagai komunitas yang membongkar tatanan masyarakat Quraisy
Mekkah yang timpang tersebut. Bahkan penindasan dan permusuhan yang
dilancarka oleh kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW dan
pengikutnya semakin hebat. Klimaksnya adalah hijrahnya Nabi Muhammad
SAW bersama pengikutnya ke Madinah pada 662 M.
Berbeda dengan respons masyarakat di Mekkah, di kalangan masyarakat
Madinah keberadaan Nabi SAW dan ajaran agama baru yang dibawanya
sudah mendapat tempat dan simpati. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa
Bay’ah al-‘Aqabah pertama setahun sebelum beliau hijrah. Dalam peristiwa
tersebeut 12 orang penduduk Yastrib (nama kota Madinah sebelum diganti),
pada musim haji, menyatakan keislamannya. Mereka menyatakan bahwa
mereka akan hanya mnyembah Allah, meninggalkan perbuatan jahat dan
patuh kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun berikutnya, sebanyak 75 orang Yastrib yang sudah memeluk
Islam kembali ke Mekkah mempertegas pengakuan keislamannya dan
pembelaanna kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana membela istri dan
anak-anak mereka sendiri. Dalam kesempatan inilah mereka mengajak Nabi
Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bay’ah
al-‘Aqabah kedua9.
Dua peristiwa inilah yang mengubah arah perjalanan politik Nabi
Muhammad SAW dan pengikutnya dari kelompok tertindas menjadi sebuah

8
Prof. dr. Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 306.
9
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 36.

10
kekuatan politik yang kukuh, solid, dan disegani. Kedua peristiwa ini juga
menjadi titik awal bagi Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan Negara
Madinah. Di kota inilah Nabi Muhammad SAW bias secara efektif
menerapkan dimensi sosial ajaran Islam untuk menciptakan masyarakat yang
berbudaya. Hal ini ditopang sepenuhnya oleh dukungan penduduk Madinah
sendiri yabg terdiri dari suku Aws dan Khazraj.
Dari masyarakat ini kemudian Nabi Muhammad SAW menciptakan suatu
kekuatan sosial-politik di dalam sebuah Negara Madinah. Hal yang pertama
dilakukan Nabi ialah membuat piagam Madinah pada tahun pertama hijrah.
Piagam yang berisi 47 pasal ini membuat peraturan dan hubungan berbagai
komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk. Di Negara baru ini juga
Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai kepala Negara dengan Piagam
Maadinah sebagai konstitusinya10.
Dalam konteks Bay’ah al-Aqabah , penduduk Madinah dating kepada
Nabi SAW dan ‘menyerahkan’ sebagian hak mereka kepada beliau, baik
sebagai nabi maupun pemimpin mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka
akan mematuhi apa saja yang diperintahkan Nabi SAW untuk mereka.
Sebaliknya, Nabi SAW selaku penemrima kekuasaan, akan melindungi
mereka, memenuhi kebutuhan mereka dan membawa mereka ke dalam
kesejahteraan . dalam perjanjian ini ada hak dan kewajiban secara terimbang
antara kedua belah pihak. Berdasarkan perjanjian inilah Nabi SAW
menjalankan perannya sebagai kepala Negara Madinah.
Dalam praktiknya, Nabi Muhammad SAW menjalankan pemerintahannya
yang tidak terpusat di tangan beliau. Untuk mengambil satu keputusan politik,
misalnya, dalam beberapa kasus Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-
pemuka masyarakat.
Ada empat cara ditempuh Nabi dalam mengambil keputusan. Pertama,
mengadakan musyawarah dengan sahabat senior, kedua, meminta
pertimbangan kalangan professional, ketiga, melemparkan masalah-masalah

10
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 37.

11
tertentu yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang
lebih luas, keempat, mengambil keputusan sendiri11.
Untuk politik dalam negeri, dapat dilihat kebijakan beliau seperti
menciptakan persatuan dan kesatuan di antara komponen masyarakat negeri
Madinah beliau berhasil meredam konflik-konflik antara anggota masyarakat
dan menjadikannya sebagai sebuah dinamika. Nabi Muhammd SAW
menciptakan mu’akhah (persaudaraan) antara Muhajirin dan Anshar. Setiap
Muhajirin memiliki seorang saudara dari golongan Anshar. Dalam system ini,
antara Muhajirin dan Anshar yang dipersaudarakan tersebut hidup saling
membantu dan saling menasihati. Bahkan pada awalnya juga terdapat
hubungan kewarisan berdasarkan mu’akhah ini, sebelum akhirnya peraturan
tersebut dibatalkan. Beliau juga bertindak sebagai hakim terhadap perkara
yang terjadi di antara anggota masyarakat12.
Untuk pemerintah di daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai
gubernur atau hakim. Di antara sahabat yang diangkat adalah Mu’adz ibn
Jabal sebagai hakim di Yaman. Beliau juga mengelola zakat, pajak, dan
ghanimah untuk kesejahteraan penduduk. Sementara sebagai panglima
tertinggi angkatan perang, beliau mengorganisasi militer, mengumumkan
perang dan langsung memimpin perang. Terhadap peperangan yang tidak
beliau pimpin langsung, beliau mengangkat seorang sebagai panglima
(komamdan). Sementara untuk memperlancar tugas-tugas kenegaraan, Nabi
Muhammad SAW dibantu oleh beberapa orang sekretaris. Di antara mereka
yang terkenal ialah Zaid ibn Tsabit dan Ali ibn Abi Thalib. Metreka juga
bertindak sebagai penulis wahyu Al-Qur’an13.
Dalam hubungan internasional, kebijakan politik yang ditempuh adalah
menjalin hubungan diplomatik dengan Negara-negara sahabat. Beliau
mengirim surat dakwah kepada kepala Negara lain. Diperkirakan surat-surat

11
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 43.
12
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 46.
13
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 47.

12
tersebut berisi ajakan untuk masuk Islam, secara hokum internasional ini
merupakan langkah awal untuk membangun hubungan diplomatik dengan
Negara-nrgara tersebut secara damai14.

C. Praktik-Praktik Pemerintahan Islam Masa Khulafa’ al-Rasyidun

1. Masa Abu Bakar al-Shiddiq


Persoalan yang muncul setelah Nabi SAW wafat pada 632 M/10 H adalah
suksesi. Selama hidupnya Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah
menunjuk siapa yang akan menggantikann kepemimpinan kelak. Beliau juga
memberi petunujuk tentang tata cara pengangkatan penggantinya (khalifah).
Ketiadaan petunujuk ini menimbulkan permasalahan di kalangan umat Islam
setelah Muhammad SAW wafat, sehingga hampir membawa perpecahan
antara kaum Muhajirin dan Anshor. Bahkan jenazah beliau sendiri “terlantar”
oleh pembicaraan seputar khalifah ini15.

Setelah terpilih menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakar


menyampaikan “pidato kenegaraannya” di Masjid Nabawi. Pidato pelantikan
memperlihatkan garis kebijakan yang akan ditempuh oleh Abu Bakar sebagai
nahkoda baru Negara Madinah. Garis kebijakan ini begitu modern dan “terlalu
maju” untuk kondisi dunia pada masanya. Hal-hal penting yang dapat dicatat
dari pidato Abu Bakar ialah ; Pertama, pelantikan Abu Bakar dapat dikatakan
sebagai kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya. Karenanya, Abu Bakar
hanya menuntut kepatuhan dan kesetiaan umat Islam kepadanya, selama ia
berjalan di jalan yang benar. Kedua, karena itu, Abu Bakar meminta kepada
segenap rakyatnya untuk berpartisipasi aktif untu melakukan control terhadap
dirinya16. Dalam hal ini Abu Bakar memberikan dan menjamin kebebasan

14
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 30.
15
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 50.
16
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 53.

13
berpendapat kepada rakyatnya. Ketiga, tekat Abu Bakar untuk menegakkan
keadilan dan HAM dengan melindumgi orang-orang yang lemah dari
kesewenang-wenangan orang yang kuat. Keempat, seruan untuk membela
Negara (jihad) pada saat yang dibutuhkan. Kelima, perintah untuk tetap
menjalankan shalat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh keberkahan
dalam masyarakat.

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat umat Islam mengalami goncangan.


Hampir saja Negara Madinah yang baru seumur jagung mengalami
disintegrasi karena masalah suksesi kepemimpinan pasca Rasulullah.
Peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah mengisyaratkan kepada Abu Bakar betapa
masalah ini sangat krusial dan sensitive bagi persatuan dan kesatuan umat
Islam. Namun yang lebih dikhawatirkan oleh Abu Bakar dan lebih
mengancam persatuan dan kesatuan Negara Madinah adalah trauma
pembrontakan suku-suku Arab atas kepemimpinannya. Boleh jadi, setelah
mengalami kekalahan, mereka akan menyusun kekuatan kembali manakala
melihat umat Islam sedang sibuk mengurusi masalah suksesi dan
menghabiskan banyak waktu serta tenaga untuk memperebutkan jabatan
tertinggi di Negara Madinah. Bertolak dari pengalaman ini, Abu Bakar
menempuh kebijakan melakukan wasiat untuk meneruskan kepemimpinannya
kelak setelah ia meninggal. Ini dimaksudkan untuk memantapkan stabilitas
keamanan dalam negeri pada saat terjadinya pergantian kepemimpinan17.

2. Masa ‘Umar ibn al-Khathab

Umar tidak diangkat berdasarkan musyawarah, melainkan penunjukan


Abu Bakar yang didahului konsultasi dengan sahabat lain. Abu Bakar
mengambil inisiatif ini karena khawatir akan terulang peristiwa Tsaqifah Bani

17
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 61.

14
Sa’idah. Oleh karena itu sikap Abu Bakar ini dianggap sebagai ijtihad Abu
Bakar pribadi18.

Setelah dilantik menjadi kepala negara, Umar segera melaksanakan tugas-


tugas kenegaraan. Secara prinsip, Umar melanjutkan garis kebijaksaan yang
telah ditempuh Abu Bakar. Namun karena permasalahan yang dihadapi Umar
semakin berkembang seiring dengan perluasan daerah Islam, Umar melakukan
berbagai kebijaksanaan yang antisipasif terhadap perkembangan dan tantangan
yang dihadapinya, kebijaksanaan yang dilakukan Umar sebagai kepala Negara
meliputi pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan birokrasi
pemerintahan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pembentukan tentara regular
yang digaji oleh Negara19.

Umar juga mendirikan kantor pembendaharaan dan keuangan Negara


(Bayt al-Mall) yang permanen, menempa mata uang dan menetapkan tahun
hijrah sebagai penanggalan Islam, untuk pemerintahan di daerah, Umar
mengangkat gubernur yang mempunyai otonomi yang luas. Mereka
menjalankan tugas dan fungsi sebagai pembantu khalifah. Sebagaimna halnya
peradilan di pusat yang terpisah dari kekuasaan eksekutif, di beberapa daerah
juga diangkat beberapa hakim yang bebas dari pengaruh-pengaruh gubernur
dan khalifah. Mereka melaksanakan peradilan yang bebas dan mandiri.

Umar terkenal sangat tegas terhadap pejabat-pejabatnya, namun lembut


dan kasih sayang terhadap rakyatnya. Kepada rakyat yang dijumpainya di
Madinah atau ketika musim haji, Umar selalu mengatakan bahwa ia
mengirimkan pejabat kepada mereka bukan untuk belaku dzalim atau
memukul mereka. Karenanya tidak dapat menerima perlakuan pejabatnya
yang mendzalimi rakyatnya20.

18
Sirajuddin, Politik Ketatanegaraan Islam Studi Pemikiran A. Hasjmy, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 42.
19
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 63.
20
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 67.

15
3. Masa ‘Usman ibn ‘Affan
Pada dasarnya garis kebijakan yang akan dilaksanakan Usman adalah
mencoba mengacu kepada kebijakan khalifah Abu Bakar dan Umar. Seperti
halnya Umar, Usman juga melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam.

Selain penaklukan, Usman juga membuat kebijaksaan perluasan al-Masjid


al-Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Usman juga menempuh
kebijaksanaan memperbanyak mushaf Al-Quran dan mengirimkan untuk
beberapa daerah. Di samping ini, Usman juga melakukan pembangunan fisik
lainnya seperti perumahan penduduk, gedung peradilan, jalan-jalan, jembatan,
dan fasilitas umum lainnya. Usman juga menggaji muadzin dengan uang
Negara. Hal-hal lainnya dalam sistem pemerintahan, Usman tidak mengubah
kebijaksaan yang telah ditempuh oleh Umar.

Beberapa kebijaksaan politik Usman dalam mengelola Negara Islam. Pada


awal pemerintahannya memang kebijaksaan politik Usman tersebut tidak
mengalami tantangan dan protes dari umat Islam. Usman dapat mengelola
berbagai kepentingan dengan baik. Namun ini hanya berjalan selama enam
tahun pertama pemerintahannya. Pada enam tahun kedua, Usman mulai
diterpa badai protes dan ketidakpuasan rakyat dari berbagai daerah. Banyak
kebijaksaannya yang tidak sejalan dengan aspirasi arus bawah. Setidaknya,
terdapat tiga sumber ketidakpuasan umat Islam terhadap Usman, sehingga
menimbulkan kekacauan dalam pemerintahannya. Tiga hal tersebut adalah
sosial politik, pendayagunaan kekayaan Negara, dan kebijaksaan
keimigrasian.

Dalam bidang politik banyak sejarawan yang menilai Usman melakukan


praktik sistem nepotisme. Ia mengangkat pejabat-pejabat dari kalangan
keluarganya, meskipun tidak layak memegang jabatan tersebut21.

21
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 80.

16
4. Masa ‘Ali ibn Abi Thalib
Hal pertama yang dilakukan Ali setelah menjabat sebagai khalifah adalah
memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat Usman sebelumnya dan
menarik kembali tanah yang dibagi-bagi oleh Usman kepada kerabatnya22.

Disisi lain penduduk Madinah tidak sepenuhnya mendukung posisi Ali.


Posisi Ali benar-benar sulit. Ia terjepit diantara keinginan untuk memperbaiki
Negara yang sudah chaos dengan ambisi lawan-lawan politiknya yang selalu
berusaha menjegatnya.

Meskipun masa pemerintahan Ali yang selama enam tahun tidak sunyi dari
pergolakan politik, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih,
berwibawa, dan egaliter. Ali mengambil harta yang dibagi-bagikan Usman
kepada pejabat-pejabatnya. Ali juga mengirimkan surat kepada para gubernur
dan pejabart daerah lainnya untuk bijaksana dan menjalankan tugasnya dan
tidak mengecewakan rakyat. Ali pun menyusun undang-undang perpajakan,
dalam sebuah suratnya, Ali menegaskan bahwa pajak tidak noleh diambil
tanpa memperhatikan pembangunan rakyat. Kepada pejabat di daerah, Ali
juga memerintahkan agar aib orang ditutupi dari pengetahuan orang lain.
Untuk keamanan daerah, Ali juga menyebar mata-mata (intel).

Dalam sikap egalitarian, Ali bahkan mencontohkan sosok seorang kepala


Negara yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya. Dalam sebuah kasus,
Ali berperkara di pengadilan dengan orang Yahudi mengenai baju besi.
Yahudi tersebut, dengan berbagai argumen dan saksinya, mengklaim bahwa
baju tersebut miliknya. Karena Ali tidak dapat menujukkan bukti-bukti dalam
pembelaannya, maka hakim memutuskan memenangkan dan mengabulkan
tuntutan orang Yahudi tersebut.

22
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 86.

17
Ali ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada
masa pemerintahan Umar dan Abu bakar sebelumnya, namun kondisi
masyarakat yang kacau balau dan tidak terkendali lagi menjadikan Ali tidak
banyak berhasil. Umat lebih memperhatikan kelompokya daripada kesatuan
dan persatuan. Akhirnya praktis selama pemerintahannya, Ali lebih banyak
mengurusi persoalan pemberontakan di berbagai daerah.23

Menurut Nurcholish Madjid dalam karya Iqbal, pemerintahan Ali


merupakan contoh komitmen yang kuat kepada keadilan sosial dan kerakyatan
(populisme), di samping kesungguhan di bidang keilmuan24.

23
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 88.
24
Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah konsektualisasi doktrin poitik Islam, (Jakarta:Kencana,
2014), hlm. 89.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prinsip-prinsip siyasah dan penyelenggaraan negara dalam Alquran dapat
diformulasikan bahwa prinsip-prinsip dasar hukum politik Islam adalah:
a. Kedudukan manusia di muka bumi (Q.S Al-Baqarah/2:30)
b. Prinsip al-Musawah dan al-ikhwah (Persamaan dan Persaudaraan) (Al-
Hujurat /49:10)
c. Prinsip al-amanah (akuntabilitas) (Q.S Al-Nisa’/4:58)
d. Prinsip as-salam (perdamaian) (Q.S Al-Anfal /8:61)
e. Prinsip at-tasamuh (toleransi) (Q.S Al-Nisa’/4:2)
f. Prinsip al-huriyah (kebebasan) (QS. Al-Baqarah/2:256)
g. Prinsip asy-syura (musyawarah) (Q.S Al-Imran/ 3: 159)
h. Prinsip al-adilah (keadilan) (QS. An-Nisa/4:58)
i. Prinsip at-Thahah (ketaatan) (QS. An-Nisa/4:59)

Praktik pemerintahan pada masa Nabi Muhammad Saw. dalam


praktiknya, Nabi Muhammad SAW menjalankan pemerintahannya yang tidak
terpusat di tangan beliau. Untuk mengambil satu keputusan politik, misalnya,
dalam beberapa kasus Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka
masyarakat.
Ada empat cara ditempuh Nabi dalam mengambil keputusan. Pertama,
mengadakan musyawarah dengan sahabat senior, kedua, meminta
pertimbangan kalangan professional, ketiga, melemparkan masalah-masalah
tertentu yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang
lebih luas, keempat, mengambil keputusan sendiri.
Pada masa Abu Bakar, beliau memberikan dan menjamin kebebasan
berpendapat kepada rakyatnya. Seperti, tekat Abu Bakar untuk menegakkan
keadilan dan HAM dengan melindumgi orang-orang yang lemah dari
kesewenang-wenangan orang yang kuat. Seruan untuk membela Negara

19
(jihad) pada saat yang dibutuhkan. Dan perintah untuk tetap menjalankan
shalat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh keberkahan dalam
masyarakat.
Pada masa pemerintahan Umar sebagai kepala Negara meliputi
pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan birokrasi pemerintahan,
peningkatan kesejahteraan rakyat, pembentukan tentara regular yang digaji
oleh Negara.
Dalam pemerintahan Usman juga melakukan pembangunan fisik, seperti
perumahan penduduk, gedung peradilan, jalan-jalan, jembatan, dan fasilitas
umum lainnya. Usman juga menggaji muadzin dengan uang Negara. Hal-hal
lainnya dalam sistem pemerintahan, Usman tidak mengubah kebijaksaan yang
telah ditempuh oleh Umar.
Dan pada masa pemerintahan Ali yang selama enam tahun tidak sunyi
dari pergolakan politik, Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih,
berwibawa, dan egaliter.

B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penulis.
Dalam pembuatan makalah ini, kami meyakini adanya kekurangan yang
terdapat di dalamnya, sehingga masukan seperti saran dan kritik sangat kami
harapkan guna membantu makalah kami untuk dapat lebih baik lagi.
Diharapkan pula para pembaca sekaligus penulis dapat mengambil ibrah
dari materi yang telah dijelaskan dalam makalah ini. Semoga kita semua
selalu senantiasa mengevaluasi diri guna menjadi pribadi yang lebih baik dari
sebelumnya. Aamiin.

20
DAFTAR PUSTAKA

‘Awwa, Muhammad Salim. Fi an Nidham al Siyasi li Ad Daulah al Islamiyah,


Cet-ketiga. Kairo: Dar as Syuruq. 2008
Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara. Jakarta: Paramadina. 2000.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press. 1990.
Pulungan, Suyuthi. Fiqih Siyasah sejarah dan pemikiranya. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 1995.
__________. Fiqih Siyasah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1994.
Ridha, Rasyid. Tafsir Al manar, Juz IV. 1960
Salim, Abdul Muin. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 2002.
Sirajuddin. Politik Ketatanegaraan Islam Studi Pemikiran A. Hasjmy.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan
Tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Yang Majemuk. Jakarta:
UI Press. 1995.

21

Anda mungkin juga menyukai