Anda di halaman 1dari 16

Pengertian Fiqh Siyasah, Hubungannya dengan Ilmu Fiqh, dan

Terminologi dalam Sejarah Pemerintahan Islam


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Siyasah dan Jinayah

Dosen Pengampu:

Dr. Aminuddin Ya’kub, M.Ag.

Disusun Oleh:

Qurrotul Aini 11180110000011


Azzah Mahmudah 11180110000028
Dja’far Azzam 11180110000027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M /1441 H
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat kesehatan dan umur
yang panjang sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqh Siyasah dan Jinayah
dengan materi pembahasan mengenai “Pengertian Fiqh Siyasah, Hubungannya dengan Ilmu
Fiqh, dan Terminologi dalam Sejarah Pemerintahan Islam”. Tak lupa, shalawat serta salam kami
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kami nantikan syafaatnya di hari akhir nanti.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Aminuddin Ya’kub, M.Ag. selaku dosen
Fiqh Siyasah dan Jinayah yang telah membimbing kami dalam proses belajar Fiqh Siyasah dan
Jinayah. Kami juga berterima kasih kepada penulis buku-buku referensi yang kami jadikan acuan
pada penulisan makalah ini. Terakhir, kami berterima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Dalam penulisan makalah ini, kami sadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami memohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan. Kami juga membutuhkan
kritik dan saran yang membangun untuk membuat makalah ini menjadi lebih baik.

Jakarta, 09 Maret 2020.


Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................................................................................2
Daftar Isi......................................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
1. Latar Belakang.................................................................................................................................4
2. Rumusan Masalah............................................................................................................................4
3. Tujuan..............................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................5
1. Pengertian Siyasah Syar’iyyah........................................................................................................5
2. Hubungan Fiqh Syar’iyyah dengan Ilmu Fiqih................................................................................6
3. Khalifah dan Khilafah......................................................................................................................8
4. Imam dan Imamah...........................................................................................................................9
5. Amir dan Ulil Amri…………………………………………………………………………………………………………………….11
6. Ahlul Halli Wal’-aqdi....................................................................................................................11
7. Bai’at.............................................................................................................................................13
BAB III PENUTUP...................................................................................................................................14
Simpulan...............................................................................................................................................14
Daftar Pustaka...........................................................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Suatu wilayah atau Negara yang berdiri di dalam nya tidak akan lepas dari sebuah
sistem aturan. Sistem itu dibuat untuk mengatur, mengendalikan serta menjadikan
wilayah atau Negara menjadi rapi dan terendali. Hal ini dapat di sebut dengan politik
atau siyasah dalam Islam. Sistem ini akan mengatur berjalan pemerintahan dengan baik.
Saat ini sistem politik yang ada sangatlah banyak, mulai dari system politik yang
demokratis, liberal, sekuler dan sebagainya. Islam adalah agama rahmat bagi seluruh
alam, Islam bukanhanya mengatur para pengikut nya dalam beribadah dan bermuamalah,
melaikankan juga mengatur dalam urusan siyasah. Semua aturan itu terdapat di dalam al-
Quran dan Sunnah.
Setelah Rasulullah SAW wafat terjadilah suatu masalah di dalam kalangan
muslim yang ingin segera mencari pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin wilayah
Islam. Dalam hal ini proses pemilihan seorang pemimpin tidak diketahui dengan jelas,
karena pada saat itu Rasulullah adalah seorang Nabi dan Rasul pilihan Allah yang secara
langsung menjadi pemimpin di dalam Islam, karena beliau adalah penutup para nabi
maka umat muslim mencari yang akan menjadi pemimpin untuk memimpin Islam yang
melanjutkan dakwah dari rasulullah SAW.
Dalam siyasah islam telah terjadi banyak cara dalam mengangkat seorang
pemimpin, yaitu dengan sistim pengangkatan yang ditunjuk langsung atau melalui
perwakilan. Selanjutnya sistem monarki yaitu keturunan dari seorang pemimpin yang
akan menggantikan jabatannya. Dalam materi fikih siyasah, akan di bahas bagaimana
sistim politik Islam dalam pengangkatan pemimpin serta aturan – aturan apa saja yang
akan di gunakan dalam menjalankan sebuah Negara.
2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Fiqh Siyasah (Siyasah Syar’iyyah)?
2. Bagaimana hubungan Fiqh Siyasah dengan Ilmu Fiqh?
3. Apa terminologi dari khilafah dan khilafah, Imamah-imam, Amir dan Ulil Amri, ahl
hall wal ‘aqd, dan bai’ah?

3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Fiqh Siyasah (Siyasah Sya’iyyah)
2. Untuk mengetahui hubungan Fiqh Siyasah dengan Ilmu Fiqh
3. Untuk memahami terminologi khilafah dan khalifah, Imamah-imam, Amir dan Ulil
Amri, ahl hall wal ‘aqd, dan bai’ah.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Siyasah Syar’iyyah


Siyasah menurut bahasa berasal dari kata sasa, berarti mengatur, mengurus, dan
memerintah, atau pemerintahan, politik dan pembuatan kebijaksanaan. Pengertian
kebahasaan ini mengisayaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus, dan
membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersikap politis untuk mencakup sesuatu.
Secara terminologis, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan bahwa siyasah adalah
pengaturan perundangan yang di ciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan
serta mengatur keadaan. Sementara Lois Ma’luf memberikan batasan siyasah adalah
membuat kemaslahatan mausia dengan membimbing mereka ke jalan keselamatan.
Adapun menurut Ibn manzhur mendefinisikan siyasah adalah mengatur atau memimpin
sesuatu yang mengantarkan manusia kepada kemaslahatan.1

Definisi yang dikemukakan para ahli di atas masih bersifat umum dan tidak melihat
atau mempertimbangkan nilai-nilai syariat. Menurut Ibnu Qayim al-Jawziah siyasah
adalah suatu perbuatan yang membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan terhindar
dari kebinasaan, meskipun perbuatan tersebut tidak di tetapkan oleh Rasulullah SAW atau
di wahyukan oleh Allah SWT. Definisi senada juga dirumuskan oleh Ahmad Fathi
Bahansi yang mengatakan bahwa siyasah adalah pengaturan kepentingan kemaslahatan
umat manusia sesuai dengan ketentuan syara.2

Adapun Siyasah Syar’iyah adalah ketentuan kebijakan pengurusan masalah


kenegaraan yang berdasarkan syariat. Menurut Abdurrahman Taj, siyasah syariyah
adalah hukum-hukum yang mengatur kepentingan Negara, mengorganisasi permasalahan
umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasar yang universal demi
tercapainya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun hukum tersebut tidak ditegaskan
baik oleh al-quran maupun as-sunnah. Tidak hanya Abdurrahman Taj, Bahansi
1
Muhammad Iqbal, FIKIH SIYASAH Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: PRENADAMEDIA
GROUP, 2016) cet 2. hlm 3-4.
2
Ibid. hlm 4.
merumuskan bahwa siyasah syar’iyah adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia
sesuai dengan ketentuan syara. Sementara para fuqaha, sebagaimana yang dikutip oleh
Khallaf, mendefinisikan siyasah syar’iyah sebagai kewenangan penguasa/pemerintah
untuk melakukan kebijakan-kebijakan politik yang mengacu pada kemaslahatan melalui
peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat
dalil-dalil yang khusus untuk itu.3

2. Hubungan Fiqh Syar’iyyah dengan Ilmu Fiqih.


Dari pengertian di atas dapat di tarik benang merah bahwa siyasah mempunyai
hubungan dengan ilmu fiqih. Siyasah merupakan salah satu aspek hukum islam yang
membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi
mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Dalam ketatanegaraan fikih siyasah
antara lain membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan, siapa pelaksana kekuasaan, apa
dasar kekuasaan dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan memberikan kekuasaan
yang diberikan kepadanya, dan kepada siapa pelaksana kekuasaan mempertanggung
jawabkan kekuasaan.4

Sumber-sumber pokok siyasah syaríyah adalah wahyu Al-Qurán dan al-Sunnah.


Kedua sumber inilah yang menjadi sumber acuan bagi pemegang pemerintah untuk
menciptakan peraturan-peraturan perundang-undangan dan mengatur kehidupan
bernegara. Namun karena kedua sumber tersebut sangat terbatas, sedangkan
perkembangan kemasyarakatan terlalu dinamis, maka sumber atau acuan untuk
menciptakan perundang-undangan juga terdapat pada manusia dan lingkungannya
sendiri. Sumber-sumber ini bisa berupa pendapat para ahli, yurisprudensi, adat istiadat
masyarakat yang bersangkutan, pengalaman dan warisan budaya.5

Dari segi prosedur, pembuatan perundang-undangan tersebut harus segera di


lakukan secara musyawarah, sebagaimana di perintahkan Allah dalam surah Ali Imran
ayat 159 dan asy-syura ayat 38.

QS. Ali-Imran ayat 159


3
Ibid. hlm 5-6
4
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1991) hlm 2-3.
5
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, (Jakarta, UI Press, 1995) hlm 11.
‫ٱسَت ْغ ِف ْر هَلُ ْم‬ ِ َ ‫نت فَظًّا َغلِي‬ ِِ
ْ ‫ف َعْن ُه ْم َو‬
ُ ‫ٱع‬ َ ‫ب لَٱن َفضُّو ۟ا ِم ْن َح ْول‬
ْ َ‫ك ۖ ف‬ ِ ‫ظ ٱلْ َق ْل‬ َ ‫نت هَلُ ْم ۖ َولَ ْو ُك‬
ٍ
َ ‫فَبِ َما َرمْح َة ِّم َن ٱللَّه ل‬
ِ ُّ ِ‫ت َفَت َو َّك ْل َعلَى ٱللَّ ِه ۚ إِ َّن ٱللَّهَ حُي‬
َ ‫ب ٱلْ ُمَت َو ِّكل‬
‫ني‬ َ ‫َو َشا ِو ْر ُه ْم ىِف ٱأْل َْم ِر ۖ فَِإ َذا َعَز ْم‬

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.

Qs Asy-Syuro ayat 38.

َ ‫يُ ِنف ُقو‬


.‫ن‬ ‫ور ٰى َبْيَن ُه ْم َومِم َّا َر َز ْق ٰنَ ُه ْم‬ َّ ‫ٱستَ َجابُو ۟ا لَِرهِّبِ ْم َوأَقَ ُامو ۟ا‬
َ ‫ٱلصلَ ٰوةَ َوأ َْمُر ُه ْم ُش‬ ْ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫َوٱلذ‬

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan


mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka.

Adapun dari subtansinya harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Sesuai dan tidak bertentangan dari syariat islam


b. Meletakkan kesamaan kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan
c. Tidak memberatkan masyarakat yang akan melaksanakannya
d. Menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat
e. Menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan6

6
Ibid.
3. Khalifah dan Khilafah
Istilah khalifah pertama kali digunakan oleh Abu Bakar As-Shiddiq
Radhiallahu'anhu tatkala beliau menggantikan Rasulullah Saw yang wafat bukan sebagai
nabi utusan Allah melainkan dalam posisi sebagai kepala negara dan pemimpin
pemerintahan lengkapnya beliau disebut dengan Khalifatu Rasulillah yang artinya
sebagai pengganti Rasulullah Saw.
Jadi sesungguhnya makna khalifah itu bukan pemimpin, melainkan pengganti
tetapi karena menggantikan kepemimpinan sebelumnya, akhirnya kata khalifah menjadi
identik dengan pemimpin, bahkan identik dengan jabatan sebagai kepala negara atau
kepala pemerintahan.7
Makna khilafah secara bahasa berasal dari kata Khalafa-Yakhlifu-Khilaafah, yang
bermakna menggantikan. Adapun makna khilafah secara istilah menurut Ibnu Khaldun:

‫الشرعي يف مصاحلهم األخروية الراجعة إليها‬


ّ ‫محل الكافذة على مقتضى النّظر‬
Segala hal yang terkait dengan menanggung keseluruhan hukum syar’i dalam
maslahat ukhrawi dan juga kepentingan duniawi yang kembali kepadanya.8
Kata Khilafah memiliki arti kekuasaan atau pemerintahan. Jadi, khilafah adalah
susunan dalam sebuah pemerintahan yang segala sesuatunya diatur menurut ajaran Islam,
dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan juga seluruhnya berlandaskan
kepada ajaran Islam.
Kemudian, sedangkan istilah Khilafah lebih populer oleh kalangan masyarakat
sunni. Penegakkan intuisi imamah atau khilafah menurut Fuqaha’ mempunyai dua fungsi,
yaitu memelihara agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan
politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam. ‘Audah mendifinisikan
bahwa khilafah adalah kepemimpinan umum umat Islam dalam masalah-masalah
keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw, dalam rangka
menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat
Islam.

7
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan (18) Negara, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2017), hlm.51.
8
Ibid, hlm.188-189.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam mempunyai dua fungsi sekaligus dalam menjalankan dakwahnya, yaitu
menyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan peraturan duniawi
berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah beliau wafat, fungsi pertama otomatis
berakhir dan tidak dapat dilanjutkan lagi oleh siapapun, sebab beliau adalah penutup para
rasul. maka tinggallah fungsi kedua yang dilanjutkan oleh pengganti beliau. Karena orang
yang menggantikannya (Abu Bakar) hanya melaksanakan peran yang kedua maka ia
dinamakan dengan Khalifah. (Khalifah Rasul Allah= pengganti Rasulullah).9

4. Imam dan Imamah


Kata-kata Imam di dalam Al-Quran, baik dalam bentuk mufrad atau tunggal
maupun dalam bentuk jamak yang di idhofahkan tidak kurang dari 12 kali disebutkan.
Pada umumnya kata-kata Imam menunjukkan kepada bimbingan kepada kebaikan,
meskipun kadang-kadang dipakai untuk seseorang pemimpin suatu kaum dalam arti yang
tidak baik. Seperti dalam penggalan surah at-Taubah ayat 12:

‫َف َٰقتِلُ ٓو ۟اأَئِ َّمةَٱلْ ُك ْف ِر‬


Artinya: Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu.
Di dalam hadis pun Imam itu ada yang baik dan ada yang buruk. Imam yang baik
adalah Imam yang mencintai dan mendoakan rakyatnya serta dicintai dan didoakan oleh
rakyatnya, sedangkan imam yang buruk adalah Imam yang membenci rakyatnya dan
dibenci serta dilaknat oleh rakyatnya.
Dalam wacana fiqih siyasah kata Imamah biasanya diidentikkan dengan Khilafah.
keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam istilah
Imamah banyak digunakan oleh kalangan Syi'ah sedangkan istilah khilafah lebih populer
penggunaannya dalam masyarakat sunni hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara
kedua aliran ini dalam memahami Imamah kelompok syi'ah memandang bahwa Imamah
merupakan bagian dari prinsip ajaran agama sedangkan suami tidak memandang
demikian Meskipun begitu beberapa pemikir seni juga menggunakan terminologi
imamah untuk pembahasan tentang Khilafah. Menurut Al Mawardi, Imamah dibutuhkan

9
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2014), CetKe-1,
hlm.149-150.
untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan
dunia.
Imamah itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: pertama dengan
pemilihan ahl-hall wal ‘aqd dan kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang
sebelumnya.
Cara yang kedua itulah yang dimaksud dengan waliyul ahdi. Cara ini
diperkenankan atas dasar:
1. Abu Bakar menunjuk Umar yang kemudian kaum muslimin menetapkan
keimaman (imamah) Umar dengan penunjukkan Abu Bakar tadi.
2. Umar menunjuk menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu syura’
(imam orang sahabat) yang kemudian disetujui atau dibenarkan oleh sahabat
yang lain. Jadi, di dalam kasus ini bukan menunjuk seseorang tetapi
menyerahkan pengangkatan khalifah kepada sekelompok orang (ahlu syara’
yang berwenang).

Qadli Abu Ya’la menjelaskan bahwa Waliyul al-ahd itu dapat pula dilaksanakan
kepada orang yang mempunyai hubungan nasab, baik garis lurus ke atas maupun garis
lurus ke bawah dengan syarat: orang yang ditunjuk itu memenuhi persyaratan imam,
karena imamah tidaklah terjadi karena semata-mata penunjukkan, akan tetapi imamah itu
terjadi karena perstujuan kaum muslimin.10

Syarat-syarat Imam menurut Al-Mawardi:11

a. Adil
b. Memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk ijtihad di dalam hukum dan kasus-
kasus hukum yang harus dipecahkan.
c. Sehat pancaindranya, baik pendengaran, penglihatan, lisannya agar dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
d. Sehat anggota badannya dari kekurangan-kekurangan yang dapat mengganggu
gerakannya.
e. Kecerdasan dan kemampuan di dalam mengatur rakyat dan kemaslahatan.
10
A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2003), CetKe-4, hlm.68-69.
11
Ibid, hlm.70-71.
f. Kebenaran dan punya tanggung jawab serta tabah dalam mempertahankan
negara dan memerangi musuh.
g. Nasab, imam itu harus keturunan Quraisy atas dasar nash dan ijma’.

5. Amir dan Ulil Amri

Kata-kata amir tidak ditemukan dalam al-Qur’an meskipun kata amaro banyak
disebutkan dalam al-Qur’an, yang mengarah kepada pemimpin adalah kata ulil amri meskipun
para ulama berbeda pendapat tentang arti ulil amri ini, ada yang menafsirkan kepala negara,
pemerintah, ulama, bahkan orang-orang syi’ah mengartikan ulil amri dengan imam-imam
mereka yang maksum.12 Yang lebih mendekati kepada makna ulil amri dari sisi fiqh adala ahl
halli wal’aqdi. Akan tetapi, kata-kata amir digunakan dalam hadits dan rupanya juga dikenal
di kalangan para sahabat.

‫ول َوأُويِل اأْل َْم ِر ِمْن ُك ْم‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬


ِ ِ َّ
َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َطيعُوا‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
َ َ ُ ‫ين َآمنُوا أ‬

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul Nya dan ulil amri diantara
kalian… (QS. An Nisa 59)13

Istilah amirul mukminin pertama kali di sandang oleh Umar bin Khattab r.a ketika
menggantikan Abu Bakar setelah 2 tahun memimpin. Awalnya beliau digelari sebagai
khaliifatu-khalifati Rasulillaah, maksudnya beliau adalah pengganti dari penggantinya
Rasulullah Saw yaitu pengganti sahabat Abu Bakar As-shiddiq r.a.14

6. Ahlul Halli Wal’-aqdi


Secara bahasa lafaz ahlul hallli wal’aqdi terdiri dari tiga kata:

a. Ahlu : yang berarti orang yang berhak (orang yang memiliki).


b. Halli : yang berarti melepaskan atau menyesuaikan atau memecahkan.
c. ‘Aqdi : yang berarti simpul, ikatan, atau simpul suatu masalah.

Secara bahasa bisa bermakna orang-orang yang mempunyai wewenang untuk


memecahkan suatu simpul pada masalah.
12
Ibid, hlm.59.
13
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan (18) Negara, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2017), hlm.50.
14
Ibid, hlm.51-52.
Sedangakan secara istilah dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah disebutkan bahwa ahlul halli wal’aqdi adalah

‫على أهل الشوكة من العلماء والرئساء ووجوه الناس الذين حيصل هبم مقصود الوالية‬
Lafazh ahlul halli wal ‘aqdi sebagai para ulama, pemimpin dan tokoh yang memiliki
kewenangan menetapkan kepemimpinan negara.

Pada masa khalifah empat khususnya pada masa Umar bin Al-Khattab ra. Istilah ahlul
halli wal ‘Aqdi ini mengacu kepada beberapa sahabat senior yang melakukan musyawarah
untuk menentukan kebijaksanaan negara dan memilih pengganti kepala negara. Mereka
adalah enam orang shahabat senior yang ditunjuk Umar ra untuk melakukan musyawarah
menentukan siapa yang akan menggantikannya setelah dirinya wafat nanti.

Mereka berjumlah enam orang yaitu : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi
Waqqash ridhwanullahi alaihim ajma’in. Rasulullah Saw menjamin semuanya adalah
penghuni surga.15 Lalu beberapa syarat menjadi ahlul halli wal ‘Aqdi adalah Muslim dan
berakal. Kemudian, Beberapa wewenang dan fungsi Ahlul halli Wal’aqdi:16
a. Ahlul halli Wal aqdi adalah Pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang
untuk memilih dan membaiat Imam serta untuk memecat dan memberhentikan
Khalifah.
b. Ahlul halli Wal aqdi mempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat
kepada yang maslahat.
c. Ahlul halli Wal aqdi mengawasi jalannya pemerintahan.

15
Ibid, hlm. 75-76.
16
Ibid, hlm.85.
7. Bai’at
Kata bai’at atau bai’ah dalam bahasa arab berasal dari lafaz (Baa’a-Yabii’u) yang
artinya menjual. Yaitu menukar barang dengan uang.

Selain itu kata tersebut juga berarti al-mu’aqadah yaitu kesepakatan antara kedua
belah pihak, dan juga bermakna al-mu’ahadah yaitu perjanjian antara kedua belah pihak.
Sedangkan secara istilah bai’at menurut Ibnu Khaldun dalam muqoddimahnya

bai’at adalah ‫ العهد على الطاعة‬yang artinya janji untuk menta’ati.

Selanjutnya Ibnu Khaldun menyebutkan seolah-olah orang yang berbaiat telah


berjanji kepada orang yang dibai’at yaitu pemimpinnya untuk setia dan tidak melawannya,
baik dalam urusan pribadinya ataupun urusan umat islam. Sedangkan orang yang berbaiat
menyatakan kesetiaan untuk menjalankan apa yang dibebankan di atas pundaknya, baik
dalam keadaan yang disukai ataupun sebaliknya.17

17
Ibid, hlm.87-88.
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Dalam siyasah syariyah untuk menjadikan seseorang menjadi pemimpin Islam dapat di
lakukan melalui banyak cara. Cara yang telah ada sebelumnya yaitu khalifah, imamah, amir atau
ulil amri yang ditunjuk langsung oleh pemimpin sebelumnya dan pemilihan dengan cara
perwakilan atau biasa di sebut ahl halli wa aqdi. Setelah itu di baiat yaitu perjanjian pemimpin
tersebut agar mentaati peraturan yang telah Allah tetapkan dalam menjalankan sebuah
pemerintahan Islam.
Daftar Pustaka

Djazuli, A. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.
Iqbal, Muhammad. FIKIH SIYASAH Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2016.
Sarwat, Ahmad. Seri Fiqh Kehidupan (18) Negara. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2017.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press,
1991.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945. Jakarta, UI Press, 1995.

Anda mungkin juga menyukai