Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PHI

DASAR-DASAR HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu: Putri Dwi Yulisiisa, S.H., M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 3

1. Ali Amar Bilah (12220212002)


2. Khusnul Hotimah (12220220738)
3. Marwah Annisa (12220225029)
4. Nurzal Aidy (12220212985)
5. Rizki Ardiansyah (12220213757)
6. Tika Wahyuni Sari (12220222069)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES C)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.

Puji syukur kepada Allah ‫ ﷻ‬atas segala limpahan rahmat dan karunianya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul:
“Dasar-Dasar Hukum Pidana”

Shalawat dan salam, kita sampaikan kepada Baginda Rasullullah ‫ ﷺ‬dengan


melafadzkan “‫”اللهم صل على محمد وعلى ال محمد‬.

Selain itu pada kesempatan ini kami juga ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kami kepada:

1. Teman-teman anggota kelompok 1 yang ikut bekerja sama dalam


pembuatan makalah ini, beserta
2. Rekan-rekan kami yang telah memberi dukungan kepada kami.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Oleh karena itu dengan
rendah hati dan tangan terbuka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
baik ibu maupun teman-teman semua.

Bila ada kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Akhirul kalam ‫وباهلل التو فيق والهداية‬

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktu.

Pekanbaru, 28 November 2023

penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I .................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II ................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Dasar Keberlakuan Hukum Islam .............................................................. 3

B. Hal Yang Diatur Dalam Hukum Islam ..................................................... 10

BAB III ............................................................................................................. 14

PENUTUP ........................................................................................................ 14

A. Kesimpulan ............................................................................................. 14

B. Saran ....................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menggali dasar-dasar hukum Islam, kita menapak pada landasan


filosofis yang kaya dan mendalam. Al-Quran, sebagai sumber utama hukum
Islam, tidak hanya mengandung norma-norma hukum tetapi juga menyajikan
pandangan tentang keadilan, keseimbangan, dan hak asasi manusia dalam
kerangka ketuhanan.

Selain itu, Hadis memberikan dimensi praktis dengan menggambar kan


bagaimana Nabi Muhammad SAW menerapkan ajaran Allah dalam kehidupan
sehari-hari. Penggabungan keduanya menciptakan kerangka kerja hukum Islam
yang komprehensif, mengatur tidak hanya ritual keagamaan tetapi juga interaksi
sosial, ekonomi, dan politik. Dalam perjalanan sejarah, hukum Islam telah
berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman, menunjukkan
elastisitasnya dalam menjawab tuntutan masyarakat. Pemahaman mendalam
terhadap nilai-nilai moral dan etika Islam menjadi penting, karena hukum Islam
tidak hanya tentang kepatuhan formal tetapi juga membangun karakter dan
moralitas.

Melalui pemahaman yang mendalam terhadap dasar-dasar ini, kita dapat


mengeksplorasi bagaimana hukum Islam bukan hanya sebagai seperangkat
aturan tetapi juga sebagai panduan yang memberikan landasan kokoh bagi
kehidupan bermasyarakat yang adil dan harmonis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Dasar Keberlakuan Hukum Islam?
2. Apa saja Hal yang diatur dalam Hukum Islam?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa dasar keberlakuan hukum Islam.
2. Untuk mengetahui hal apa saja yang diatur dalam hukum Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Keberlakuan Hukum Islam

Pada awalnya sebelum Islām masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia


menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Tetapi setelah agama Islam
masuk pada abad VII Masehi, ternyata mampu mengubah pola pikir masyarakat
pada waktu itu. Hal ini karena cara penyebaran agama Islam dilakukan secara
damai (penetration passifique) melalui perdagangan, perkawinan, pengobatan
dan pendidikan.1

Perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibuktikan dengan


berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Banten, Samudera Pasai,
Demak, dan lain sebagainya. Pada saat itu hukum Islam sudah diterapkan pada
hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memeluk agama Islam.
Hakim atau yang dikenal dengan istilah qadli pada umumnya adalah para ulama
yang diberi kekuasaan oleh raja atau Sultan yang sedang berkuasa untuk
menangani perkara-perkara perdata dan pidana pada masyarakat pada waktu itu.

Pada saat Belanda datang ke Indonesia, yang tujuan utamanya berdagang,


dan membawa hukumnya sendiri yaitu hukum Eropa.sesungguhnya hukum
adat, hukum Islam dan hukum Eropa berlaku secara berdampingan dalam
masyarakat tanpa campur tangan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada 1855,
pemerintah Hindia Belanda memberikan perhatiannya kepada hukum Islam,
yaitu dengan dikeluarkannya Regeringsreglement (Staatblad 1855-2). Dalam
Staatblad tersebut, hal yang berkait dengan hukum Islam adalah pasal 75 ayat
3, 4, dan 5, yaitu:

a. Selain dari apa yang telah dinyatakan berlaku bagi penduduk asil seperti
yang termaksud di atas atau dimana penduduk asli itu sendiri yang telah

1
Afdol,Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan
Implementasi Hukum ( Surabaya;Airlangga University Press,2003)hal.1

3
menyatakan tunduk kepada hukum perdata dan hukum dagang golongan
Eropa, maka hakim Bumi Putera harus memperlakukan kebiasaan (adat),
undang-undang (peraturan) agama, Instelling penduduk asli sejauh tidak
bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum
(ayat 3)
b. Dengan peraturan (undang-undang) agama, instelling dan kebiasaan (adat)
itu pulalah hendaknya hakim Eropa (Raad van Justitie) memutus perkara
(gevonisd) kepala kepala penduduk asli yang tunduk kepada pengadilan
tingkat ini dan juga perkara yang diajukan bandingnya atas putusan hakim
Bumi Putera mengenai perkara perdata dan dagang (ayat 4)
c. Hakim Eropa sejauh mungkin memperlakukan undang-undang (peraturan)
agama ini, instelling dan kebiasaan (adat) itu apabila tergugat yang
dihadapkan kepadanya adalah seorang penduduk asli karena sesuatu hal
dalam perkara perdata dan dagang.... (ayat 5).

Dari isi pasal tersebut menunjukan bahwa pemerintah Hindia Belanda


dengan peraturan tertulisnya, mengakui keberadaan hukum Islam bagi
masyarakat Indonesia yang beragama Islam.

Peraturan tentang berlakunya hukum Islam bagi penduduk asli Indonesia


yang beragama Islam adalah akibat dari adanya teori Receptio in complexu,
yang menyatakan bahwa hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi orang Islam di
Indonesia walaupun terdapat penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh C.F.
Winter, Salomon Keyzer dan L. WC. Van den Berg.2 Asli bunyi dari teori ini
menyatakan bahwa hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk suatu
agama tertentu maka harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan
setia.3 L.W.C Van den Berg menunjuk kepada alasan bahwa kenyataan dalam
pelaksanaan badan-badan peradilan, terutama dalam masalah-masalah

2
Ibid.Hal.22
3
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung,
1982), hal.28

4
perkawinan dan pewarisan, hakim-hakim Belanda harus didampingi oleh qådil
Islam. 4

Pada saat teori ini berlaku, hukum Islam bagi orang Islâm dikenal dengan
istilah godsdienstige wetten. Pada saat itu dibentuk pengadilan agama
(priesterrad) di samping pengadilan negeri (landraad), yang sebelumnya
didahului dengan penyusunan kitab yang berisi hukum Islam. 5 Kewenangan
priesterraad atau raad agama tersebut hanya ada di Jawa dan Madura, yang
kewenangannya tidak disebutkan dengan tegas sehingga kemudian menetapkan
sendiri perkara-perkara yang akan ditanganinya, yakni perkara yang
berhubungan dengan hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf.

Ketika pemerintahan VOC digantikan oleh pemerintahan jajahan han yang


sebenarnya, maka pemerintah Hindia Belanda menginginkan Indonesia dijajah
secara keseluruhan. Penyebaran agama Islam pada saat itu dianggap sebagai
penghambat ke arah tujuan tersebut. Pemerintah Hindia Belanda menilai bahwa
semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka adalah akibat dari
keyakinan beragama. Penilalan tersebut yang menyebabkan pemerintah Hindia
Belanda berupaya untuk melemahkan ajaran Islam dan mengupayakan
penghapusan dasar berlakunya hukum Islam. Salah satu upaya untuk
melemahkan hukum Islam adalah dengan mempertentangkan antara hukum
Islam dan hukum adat.

Politik hukum pun disesuaikan dengan kebutuhan kolonialisme, yaitu


adanya keinginan agar hukum dlunifikasi Artinya hukum yang berlaku di negeri
Belanda, diberlakukan juga di Indonesia. Dengan unifikasi diharapkan nantinya
bangsa Indonesia akan jauh dari hukumnya sendiri dan ketika hanya ada satu
hukum maka pemerintah Hindia Belanda akan lebih mudah menguasal
Indonesia.

4
Imam Muchlas, Hukum Mewaris Dalam Islam (Suatu Studi Kasus) (Pasuruan: Garoeda
Buana Indah, 1996), hal. 98.
5
Muchsin, Hukum Islam, dalam Perspektif dan Prospektif, (Surabaya: Al Ikhlas, Surabaya,
2003), hal.38

5
Realisasi dari upaya penguasaan tersebut, melahirkan teori baru yaitu teori
receptie. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje, yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku dan hidup di Indonesia adalah hukum
adat. Hukum Islam hanya mempunyai kekuatan jika hukum adat
menghendakinya. Tujuan teori tersebut adalah menyingkirkan eksistensi hukum
Islam dan kehidupan hukum umat Islam yang ada di Indonesia.

Sejalan dengan pendapat Christian Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven


menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli.
Hukum Islam sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum adat, sehingga
hukum adat dipengaruhi hukum Islam dan pengaruh tersebut akan mempunyai
kekuatan hukum jika telah diterima oleh hukum adat.

Dengan adanya teori tersebut, hukum Islam yang telah menjadi jiwa
masyarakat hukum Islam di Indonesia berangsur mulai berubah. Hal ini
dikuatkan dengan pasal 134 ayat 2 IS pada tahun 1929, yang berkeinginan
melenyapkan hukum Islam dari lingkungan tata hukum kenegaraan. Pasal
tersebut bersifat radikal, karena perubahannya bersifat mencabut berlakunya
hukum Islam. Sejak saat itu maka apabila terjadi perkara perdata sesama orang
yang beragama Islam maka akan diselesaikan oleh hakim agama Islam
sepanjang hukum adat mereka menghendaki dan tidak bertentangan dengan
ordonantie. Dengan demikian berarti hukum Islam tidak berlaku lagi di
Indonesia, kecuali telah diterima oleh hukum adat. Atau hukum Islam yang
berlaku hanyalah jika telah diresepsi oleh hukum adat. Dengan teori receptie,
yang semula pengadilan agama di Indonesia dapat memeriksa dan memutus
perkara waris bagi yang beragama Islam, Pengadilan Agama tidak lagi
berwenang memutus perkara waris tersebut.

Sebagai tindak lanjut dari pasal 134 1.S tersebut, sejak tahun 1922
dirumuskan reorganisasi badan-badan peradilan yang ada pada waktu itu, yakni
dengan jalan mengubah pasal-pasal IS. Untuk kepentingan tersebut dibentuk
suatu komisi peremajaan kekuasaan peradilan agama yang diketuai oleh Ter

6
Haar, yang menghasilkan Staatblad Nomor 116, 610, 638 dan 639 Tahun 1922.
Dengan Staatblad tersebut peradilan agama tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara waris dan secara formal sejak tahun 1937 kewenangannya
dialihkan menjadi kewenangan Landraad.

Sejak saat itu maka dapat dikatakan bahwa hukum Islám secara formal telah
hilang dari tata hukum kenegaraan Hindia Belanda. Namun demikian, secara
materill/senyatanya masyarakat Indonesia yang beragama Islam masih
menerapkannya dalam mengatur hubungan dalam masyarakat.

Setelah masa kemerdekaan, alam pikiran masyarakat yang menganut teori


receptie masih banyak. Golongan ini mempertahankan teori tersebut dengan
menggunakan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyatakan bahwa ketentuan yang ada tetap berlaku sepanjang belum diganti
atau diubah. Dengan demikian asal II Aturan Peralihan tersebut berfungsi untuk
mencegah kekosongan hukum, karena pada saat kita merdeka, belum dibuat
aturan-aturan yang baru untuk mengatur penyelenggaraan negara maupun
kehidupan masyarakat.

Selain golongan yang mempertahankan teori receptie tersebut, masih


terdapat golongan lain yang menyatakan hal yang sebaliknya. Argumentasi
yang dipergunakan oleh golongan ini adalah Pembukaan dan pasal 29 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945. Golongan Ini menyatakan bahwa apabila Isi pasal
134 ayat 2 IS dihubungkan dengan Pembukaan jo. Pasal 29 ayat 2 Undang-
Undang Dasar 1945, maka isi pasal 134 ayat 2 IS bertentangan dengan peraturan
yang tertinggi.

Kenyataan inilah yang menyebabkan Hazairin berpendapat bahwa tidak


berlakunya pasal 134 ayat 2 IS telah dihapus secara menyakinkan oleh
pembukaan dan pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Teori Hazairin
tersebut dikenal dengan teori receptie exit atau receptio a contrario.
Berdasarkan teori Ini, pasal 29 ayat 1 UUD 1945 mewajibkan negara Republik

7
Indonesia untuk membentuk hukum nasional yang bahannya adalah hukum
agama.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dasar berlakunya hukum Islam


di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada
alinea keempat, yang didalamnya terdapat rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa Pembukaan tersebut diperkuat lagi dengan pasal 29 ayat 2, yang
memberikan kebebasan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan
menjalankan ibadahnya. Pasal 29 ayat 2 tersebut yang kemudian dijadikan
landasan bagi umat Islam di Indonesia untuk menggunakan segala ajaran atau
syariat agamanya, termasuk untuk menggunakan hukum waris Islam dalam
menyelesaikan perkara waris

Atas dasar itulah Sayuti Thalib menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku
hukum Islam. Hal tersebut juga didukung oleh fakta di beberapa daerah yang
mempunyai adat yang kuat, berlaku hal yang sebaliknya. Apabila adat
bertentangan dengan hukum Islam maka adat tidak boleh dijalankan. Adat
tersebut harus diubah dan diperbaiki sehingga tidak menyalahi ketentuan
hukum agama. Dengan demikian hukum Islamlah yang menentukan
keberlakuan hukun adat.

Pada masa berikutnya lahirlah teori eksistensi, yang menyatakan bahwa


keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional di Indonesia merupakan
suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan hukum Islam merupakan
bahan utama hukum nasional. Teori Ini merupakan kelanjutan dari teori
receptio a contrario, karena hukum Islam memberikan penyesuaian
penyesuaian kepada keadaan yang nyata dalam hukum adat, sebab bangsa
Indonesia sebagian besar (89,09%) adalah beragama Islam. Dan bagi mereka
yang tidak beragama Islam diberikan pengecualian.6

6
Imam Muchlas, Hukum Mawaris, hal. 3

8
Keberadan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak masuknya agama Islam
ke Indonesia. Pengakuan terhadap hukum Islam di Indonesia tidak lepas dari
pandangan L.W.C. van den Berg penasihat bahasa-bahasa Timur dan hukum
Islam pada Pemerintah kolonial Belanda, dengan teorinya, yakni teori Receptio
in Complexu. Inti dari teori ini adalah, selama bukan sebaliknya dapat
dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika
memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia. Jadi
tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama
tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama
yang dipeluknya.

Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang bersangkutan,
maka hal-hal ini dianggap sebagai "perkecualian atau penyimpangan dari
hukum agama yang telah diterima dalam keseluruhan itu (in complexu
gerecipieerd). Walaupun teori ini. banyak mendapat kritikan dari sarjana-
sarjana sebangsanya (antara lain: Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven, W.B.
Bergsma), teori ini tetap dijadikan dasar penggunaan hukum Islam bagi
penduduk di Indonesia yang beragama Islam.

Pada mulanya hukum Islam ini dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal
penyebaran agama Islam. Kemudian hukum Islam ini berkembang di Asia,
Afrika, Eropa, dan Amerika seiring dengan perkembangan agama Islam.
Adanya sifat khusus dari hukum Islam membedakan sistem hukum Islam
dengan sistem hukum lainnya. 7 Sifat khusus itu ada pada religiusitas hukum
Islam yang bersumber kepada:

a. Al Qur'an
b. Sunnah Rasul, adalah semua yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW baik
perkataan, perbuatan, atau pengakuan terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan para sahabat.

7
Surojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta,
1985, hal 29

9
c. ljma, merupakan produk dari kebulatan pendapat ulama Mujtahid pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, baik dalam forum
pertemuan atau terpisah.
d. Qiyas, yaitu pemberlakuan kesimpulan ketentuan yang telah ada
hukumnya melalui persamaan secara analogi.

Berkenaan dengan sumber hukum ijma dan qiyas, ada yang berpendapat
tidak termasuk sumber hukum Islam, sebagaimana dipelopori Imam Hanafi.
Sedangkan yang berpandangan bahwa ijma dan qiyas adalah termasuk sumber
hukum Islam, seperti pandangan Imam Syafi'i.

B. Hal Yang Diatur Dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam dikenal hukum yang mengatur antara manusia dengan
sesama makhluk, dan hukum yang mengatur manusia dengan Allah. Dalam
bukum yang mengatur hubungan antar manusia, pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan antara hukum privat dan publik sebagaimana dikenal dalam hukum
barat. Karena menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-
segi publik dan pada hukum publik terdapat segi segi privat Apabila
menggunakan sistematika pembagian hukum privat dan publik, ruang lingkup
hukum Islam adalah dengan sistematika sebagai berikut:8

1. Hukum privat Islam, meliputi:


a. Hukum Munakahat, yaitu hukum yang mengatur sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat akibatnya,
munakahat dalam bahasa Arab berasal dari akar kata nakaha yankihu
atau yankahu yang berarti tazawwaja sama dengan berarti ta'ahhala
(menjadi keluarga). Dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan.
Bila kata fikih dihubungkan dengan kata munakahat, maka artinya

8
Prof. Dr. M. Bakri, SH., MS., dkk, Pengantar Hukum Indonesia jilid II, Malang UB Press
2015, Hal109

10
adalah seperangkat peraturan, hukum atau tata laksana yang mengatur
tata cara perkawinan serta hal-hal lainya.
Dalam lapangan hukum perkawinan, asasnya adalah sebagai berikut: 9
1) Asas kesukarelaan, merupakan asas yang terpenting dalam
perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon
suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
2) Asas persetujuan kedua belah pihak. Artinya tidak boleh ada
paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
3) Asas kebebasan memilih.
4) Asas kemitraan suami isteri. Kemitraan ini menyebabkan
kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain
berbeda.
5) Asas perkawinan untuk selama-lamanya. Perkawinan itu
dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa
cinta serta kasih sayang selama hidup.
6) Asas monogami terbuka. Dalam Surat an-Nisa ayat 129
dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri
lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
b. Hukum Wirasah, yaitu hukum yang mengatur segala masalah yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta warisan, dan
pembagiannya (yang disebut juga dengan istilah hukum Fara'id).
hukum kewarisan, asas-asasnya adalah10
1) Asas ijbari. Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris
atau ahli waris.
2) Asas bilateral Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.

9
Ibid, hal 114
10
Ibid, hal 115

11
3) Asas individual. Harta warisan mesti dibagi kepada masing-
masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
4) Asas keadilan berimbang Harus senantiasa terdapat keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang
dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya.
5) Asas kewarisan akibat kematian. Peralihan harta seseorang kepada
orang lain yang disebut dengan nama kewarisan. terjadisetelah
orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
c. Hukum Muamalah, yaitu hukum yang mengatur masalah kebendaan,
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan lain-lain sebagainya.
2. Hukum publik Islam, meliputi:
a. Hukum Jinayat, yaitu: hukum atau aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukum jarimah hudud maupun jarimah
taʼzir. Jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah
perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya telah ditentukan
dalam Al-Qur'an dan Sunnah nabi Muhammad saw. Sedangkan jarimah
taʼzir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancamannya ditentukan
oleh petugas sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta'zir: ajaran atau
pengajaran).
Asas dalam lapangan hukum pidana, asasnya antara lain: 11
1) Asas legalitas. Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada
hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya
2) Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain. Orang
tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan
atau kesalahan yang dilakukan orang lain.
3) Asas praduga tak bersalah. Seseorang yang dituduh melakukan
suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim

11
Ibid, hal 112

12
dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas
kesalahannya itu.
b. Hukum al-ahkam as-sulthaniyah, yaitu hukum yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintahan daerah
maupun pemerintahan pusat, tentara, pijak, dan sebagainya atau Hukum
yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya;
c. Hukum Siyar, yaitu hukum yang mengatur urusan perang. damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain atau seperangkat
aturan yang mengatur hubungan antara muslim dan non muslim,
termasuk antara Negara dan individu.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dasar berlakunya hukum Islam


di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pada
alinea keempat, yang didalamnya terdapat rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa Pembukaan tersebut diperkuat lagi dengan pasal 29 ayat 2, yang
memberikan kebebasan bagi tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan
menjalankan ibadahnya. Pasal 29 ayat 2 tersebut yang kemudian dijadikan
landasan bagi umat Islam di Indonesia untuk menggunakan segala ajaran atau
syariat agamanya, termasuk untuk menggunakan hukum waris Islam dalam
menyelesaikan perkara waris.

Hal yang Diatur dalam Hukum Islam:

1. Hukum privat Islam, meliputi:


a. Hukum Munakahat, yaitu hukum yang mengatur sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat akibatnya.
b. Hukum Wirasah, yaitu hukum yang mengatur segala masalah yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta warisan, dan
pembagiannya (yang disebut juga dengan istilah hukum Fara'id).
c. Hukum Muamalah, yaitu hukum yang mengatur masalah kebendaan,
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan lain-lain sebagainya.
2. Hukum publik Islam, meliputi:
a. Hukum Jinayat, yaitu: hukum atau aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukum jarimah hudud maupun jarimah
taʼzir. Jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah
perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya telah ditentukan
dalam Al-Qur'an dan Sunnah nabi Muhammad saw.

14
b. Hukum al-ahkam as-sulthaniyah, yaitu hukum yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintahan daerah
maupun pemerintahan pusat, tentara, pijak, dan sebagainya.
c. Hukum Siyar, yaitu hukum yang mengatur urusan perang. damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.

B. Saran

Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi
kita semua. Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,
maka dari itu kami mengharapkan saman dan kritik guna perbaikan makalah
selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Afdol. 2003. Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan


Permasalahan Implementasi Hukum. Surabaya;Airlangga University Press.
Wignjodipuro Surojo. 2015. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat. Jakarta:
Gunung Agung.
Muchlas Imam. 1996. Hukum Mewaris Dalam Islam (Suatu Studi Kasus).
Pasuruan: GaroedaBuana Indah.
Muchsin. 2003. Hukum Islam, dalam Perspektif dan Prospektif, Surabaya: Al
Ikhlas.
Surojo Wignjodipoero. 1985. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung
Agung. Jakarta. 1985.
Prof. Dr. M. Bakri, SH., MS., dkk. 2015. Pengantar Hukum Indonesia jilid II.
Malang: UB Press.

16

Anda mungkin juga menyukai