Disusun Oleh:
Kelompok 3
Puji syukur kepada Allah ﷻatas segala limpahan rahmat dan karunianya
kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul:
“Dasar-Dasar Hukum Pidana”
Selain itu pada kesempatan ini kami juga ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kami kepada:
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Oleh karena itu dengan
rendah hati dan tangan terbuka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
baik ibu maupun teman-teman semua.
Bila ada kata-kata yang kurang berkenan bagi pembaca kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Akhirul kalam وباهلل التو فيق والهداية
penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I .................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
BAB II ................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................. 3
PENUTUP ........................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ............................................................................................. 14
B. Saran ....................................................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Dasar Keberlakuan Hukum Islam?
2. Apa saja Hal yang diatur dalam Hukum Islam?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa dasar keberlakuan hukum Islam.
2. Untuk mengetahui hal apa saja yang diatur dalam hukum Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Selain dari apa yang telah dinyatakan berlaku bagi penduduk asil seperti
yang termaksud di atas atau dimana penduduk asli itu sendiri yang telah
1
Afdol,Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan
Implementasi Hukum ( Surabaya;Airlangga University Press,2003)hal.1
3
menyatakan tunduk kepada hukum perdata dan hukum dagang golongan
Eropa, maka hakim Bumi Putera harus memperlakukan kebiasaan (adat),
undang-undang (peraturan) agama, Instelling penduduk asli sejauh tidak
bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum
(ayat 3)
b. Dengan peraturan (undang-undang) agama, instelling dan kebiasaan (adat)
itu pulalah hendaknya hakim Eropa (Raad van Justitie) memutus perkara
(gevonisd) kepala kepala penduduk asli yang tunduk kepada pengadilan
tingkat ini dan juga perkara yang diajukan bandingnya atas putusan hakim
Bumi Putera mengenai perkara perdata dan dagang (ayat 4)
c. Hakim Eropa sejauh mungkin memperlakukan undang-undang (peraturan)
agama ini, instelling dan kebiasaan (adat) itu apabila tergugat yang
dihadapkan kepadanya adalah seorang penduduk asli karena sesuatu hal
dalam perkara perdata dan dagang.... (ayat 5).
2
Ibid.Hal.22
3
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung,
1982), hal.28
4
perkawinan dan pewarisan, hakim-hakim Belanda harus didampingi oleh qådil
Islam. 4
Pada saat teori ini berlaku, hukum Islam bagi orang Islâm dikenal dengan
istilah godsdienstige wetten. Pada saat itu dibentuk pengadilan agama
(priesterrad) di samping pengadilan negeri (landraad), yang sebelumnya
didahului dengan penyusunan kitab yang berisi hukum Islam. 5 Kewenangan
priesterraad atau raad agama tersebut hanya ada di Jawa dan Madura, yang
kewenangannya tidak disebutkan dengan tegas sehingga kemudian menetapkan
sendiri perkara-perkara yang akan ditanganinya, yakni perkara yang
berhubungan dengan hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf.
4
Imam Muchlas, Hukum Mewaris Dalam Islam (Suatu Studi Kasus) (Pasuruan: Garoeda
Buana Indah, 1996), hal. 98.
5
Muchsin, Hukum Islam, dalam Perspektif dan Prospektif, (Surabaya: Al Ikhlas, Surabaya,
2003), hal.38
5
Realisasi dari upaya penguasaan tersebut, melahirkan teori baru yaitu teori
receptie. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje, yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku dan hidup di Indonesia adalah hukum
adat. Hukum Islam hanya mempunyai kekuatan jika hukum adat
menghendakinya. Tujuan teori tersebut adalah menyingkirkan eksistensi hukum
Islam dan kehidupan hukum umat Islam yang ada di Indonesia.
Dengan adanya teori tersebut, hukum Islam yang telah menjadi jiwa
masyarakat hukum Islam di Indonesia berangsur mulai berubah. Hal ini
dikuatkan dengan pasal 134 ayat 2 IS pada tahun 1929, yang berkeinginan
melenyapkan hukum Islam dari lingkungan tata hukum kenegaraan. Pasal
tersebut bersifat radikal, karena perubahannya bersifat mencabut berlakunya
hukum Islam. Sejak saat itu maka apabila terjadi perkara perdata sesama orang
yang beragama Islam maka akan diselesaikan oleh hakim agama Islam
sepanjang hukum adat mereka menghendaki dan tidak bertentangan dengan
ordonantie. Dengan demikian berarti hukum Islam tidak berlaku lagi di
Indonesia, kecuali telah diterima oleh hukum adat. Atau hukum Islam yang
berlaku hanyalah jika telah diresepsi oleh hukum adat. Dengan teori receptie,
yang semula pengadilan agama di Indonesia dapat memeriksa dan memutus
perkara waris bagi yang beragama Islam, Pengadilan Agama tidak lagi
berwenang memutus perkara waris tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari pasal 134 1.S tersebut, sejak tahun 1922
dirumuskan reorganisasi badan-badan peradilan yang ada pada waktu itu, yakni
dengan jalan mengubah pasal-pasal IS. Untuk kepentingan tersebut dibentuk
suatu komisi peremajaan kekuasaan peradilan agama yang diketuai oleh Ter
6
Haar, yang menghasilkan Staatblad Nomor 116, 610, 638 dan 639 Tahun 1922.
Dengan Staatblad tersebut peradilan agama tidak berwenang memeriksa dan
memutus perkara waris dan secara formal sejak tahun 1937 kewenangannya
dialihkan menjadi kewenangan Landraad.
Sejak saat itu maka dapat dikatakan bahwa hukum Islám secara formal telah
hilang dari tata hukum kenegaraan Hindia Belanda. Namun demikian, secara
materill/senyatanya masyarakat Indonesia yang beragama Islam masih
menerapkannya dalam mengatur hubungan dalam masyarakat.
7
Indonesia untuk membentuk hukum nasional yang bahannya adalah hukum
agama.
Atas dasar itulah Sayuti Thalib menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku
hukum Islam. Hal tersebut juga didukung oleh fakta di beberapa daerah yang
mempunyai adat yang kuat, berlaku hal yang sebaliknya. Apabila adat
bertentangan dengan hukum Islam maka adat tidak boleh dijalankan. Adat
tersebut harus diubah dan diperbaiki sehingga tidak menyalahi ketentuan
hukum agama. Dengan demikian hukum Islamlah yang menentukan
keberlakuan hukun adat.
6
Imam Muchlas, Hukum Mawaris, hal. 3
8
Keberadan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak masuknya agama Islam
ke Indonesia. Pengakuan terhadap hukum Islam di Indonesia tidak lepas dari
pandangan L.W.C. van den Berg penasihat bahasa-bahasa Timur dan hukum
Islam pada Pemerintah kolonial Belanda, dengan teorinya, yakni teori Receptio
in Complexu. Inti dari teori ini adalah, selama bukan sebaliknya dapat
dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika
memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia. Jadi
tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama
tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama
yang dipeluknya.
Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang bersangkutan,
maka hal-hal ini dianggap sebagai "perkecualian atau penyimpangan dari
hukum agama yang telah diterima dalam keseluruhan itu (in complexu
gerecipieerd). Walaupun teori ini. banyak mendapat kritikan dari sarjana-
sarjana sebangsanya (antara lain: Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven, W.B.
Bergsma), teori ini tetap dijadikan dasar penggunaan hukum Islam bagi
penduduk di Indonesia yang beragama Islam.
Pada mulanya hukum Islam ini dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal
penyebaran agama Islam. Kemudian hukum Islam ini berkembang di Asia,
Afrika, Eropa, dan Amerika seiring dengan perkembangan agama Islam.
Adanya sifat khusus dari hukum Islam membedakan sistem hukum Islam
dengan sistem hukum lainnya. 7 Sifat khusus itu ada pada religiusitas hukum
Islam yang bersumber kepada:
a. Al Qur'an
b. Sunnah Rasul, adalah semua yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW baik
perkataan, perbuatan, atau pengakuan terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan para sahabat.
7
Surojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta,
1985, hal 29
9
c. ljma, merupakan produk dari kebulatan pendapat ulama Mujtahid pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, baik dalam forum
pertemuan atau terpisah.
d. Qiyas, yaitu pemberlakuan kesimpulan ketentuan yang telah ada
hukumnya melalui persamaan secara analogi.
Berkenaan dengan sumber hukum ijma dan qiyas, ada yang berpendapat
tidak termasuk sumber hukum Islam, sebagaimana dipelopori Imam Hanafi.
Sedangkan yang berpandangan bahwa ijma dan qiyas adalah termasuk sumber
hukum Islam, seperti pandangan Imam Syafi'i.
Dalam hukum Islam dikenal hukum yang mengatur antara manusia dengan
sesama makhluk, dan hukum yang mengatur manusia dengan Allah. Dalam
bukum yang mengatur hubungan antar manusia, pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan antara hukum privat dan publik sebagaimana dikenal dalam hukum
barat. Karena menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-
segi publik dan pada hukum publik terdapat segi segi privat Apabila
menggunakan sistematika pembagian hukum privat dan publik, ruang lingkup
hukum Islam adalah dengan sistematika sebagai berikut:8
8
Prof. Dr. M. Bakri, SH., MS., dkk, Pengantar Hukum Indonesia jilid II, Malang UB Press
2015, Hal109
10
adalah seperangkat peraturan, hukum atau tata laksana yang mengatur
tata cara perkawinan serta hal-hal lainya.
Dalam lapangan hukum perkawinan, asasnya adalah sebagai berikut: 9
1) Asas kesukarelaan, merupakan asas yang terpenting dalam
perkawinan Islam, dimana tidak hanya kesukarelaan antara calon
suami isteri saja tetapi kesukarelan dari semua pihak yang terkait.
2) Asas persetujuan kedua belah pihak. Artinya tidak boleh ada
paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
3) Asas kebebasan memilih.
4) Asas kemitraan suami isteri. Kemitraan ini menyebabkan
kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain
berbeda.
5) Asas perkawinan untuk selama-lamanya. Perkawinan itu
dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina rasa
cinta serta kasih sayang selama hidup.
6) Asas monogami terbuka. Dalam Surat an-Nisa ayat 129
dinyatakan bahwa seorang pria muslim diperbolehkan beristeri
lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
b. Hukum Wirasah, yaitu hukum yang mengatur segala masalah yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta warisan, dan
pembagiannya (yang disebut juga dengan istilah hukum Fara'id).
hukum kewarisan, asas-asasnya adalah10
1) Asas ijbari. Peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris
atau ahli waris.
2) Asas bilateral Artinya seseorang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak yaitu dari keturunan laki-laki dan perempuan.
9
Ibid, hal 114
10
Ibid, hal 115
11
3) Asas individual. Harta warisan mesti dibagi kepada masing-
masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
4) Asas keadilan berimbang Harus senantiasa terdapat keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang
dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya.
5) Asas kewarisan akibat kematian. Peralihan harta seseorang kepada
orang lain yang disebut dengan nama kewarisan. terjadisetelah
orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
c. Hukum Muamalah, yaitu hukum yang mengatur masalah kebendaan,
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-
menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan lain-lain sebagainya.
2. Hukum publik Islam, meliputi:
a. Hukum Jinayat, yaitu: hukum atau aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukum jarimah hudud maupun jarimah
taʼzir. Jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah
perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya telah ditentukan
dalam Al-Qur'an dan Sunnah nabi Muhammad saw. Sedangkan jarimah
taʼzir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancamannya ditentukan
oleh petugas sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta'zir: ajaran atau
pengajaran).
Asas dalam lapangan hukum pidana, asasnya antara lain: 11
1) Asas legalitas. Artinya tidak ada pelanggaran dan tidak ada
hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya
2) Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain. Orang
tidak dapat dimintai memikul tanggung jawab terhadap kejahatan
atau kesalahan yang dilakukan orang lain.
3) Asas praduga tak bersalah. Seseorang yang dituduh melakukan
suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim
11
Ibid, hal 112
12
dengan bukti-bukti yang menyakinkan menyatakan dengan tegas
kesalahannya itu.
b. Hukum al-ahkam as-sulthaniyah, yaitu hukum yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintahan daerah
maupun pemerintahan pusat, tentara, pijak, dan sebagainya atau Hukum
yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya;
c. Hukum Siyar, yaitu hukum yang mengatur urusan perang. damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain atau seperangkat
aturan yang mengatur hubungan antara muslim dan non muslim,
termasuk antara Negara dan individu.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14
b. Hukum al-ahkam as-sulthaniyah, yaitu hukum yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintahan daerah
maupun pemerintahan pusat, tentara, pijak, dan sebagainya.
c. Hukum Siyar, yaitu hukum yang mengatur urusan perang. damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
B. Saran
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi
kita semua. Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,
maka dari itu kami mengharapkan saman dan kritik guna perbaikan makalah
selanjutnya.
15
DAFTAR PUSTAKA
16