Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU


Dosen : A. Azis Muhammad, SH., MH.

Disusun Oleh :
NAMA :CLAUDIA MAHARANI DAMSA
N I M : 20210210100056
KELAS: HUKUM (F)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “teori receptio in
complexu dan juga sejarahnya”.
Penulis sangat berharap semoga dengan diberikannya tugas ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih
jauh lagi agar bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan tugas ini Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan penyusunan tugas ini.

Cirendeu, 18 Juni 2022

Penulis Claudia Maharani Damsa

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................ii

A. BAB I PENDAHULUAN....................................................................1

a. Latar Belakang ..............................................................................1

B. BAB II PEMBAHASAN.....................................................................2

b. Sejarah Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia .......................2-3

c. Sejarah Teori Receptio In Complexu.............................................4-7

C. BAB III PENUTUP..............................................................................8

d. Kesimpulan.......................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Beberapa teori tentang berlakunya hukum islam di Indonesia


Agama Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama hijriah telah membawa
sistem nilai- nilai baru berupa akidah dan syariat. Ketika itu kondisi masyarakat
Indonesia telah tertata lengkap dengan system yang berlaku berupa peraturan-peraturan
adat masyarakat setempat. Sesuai dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai Islam itu
diresapi dengan penuh kedamaian atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah dan
syariat Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu (adat dan Islam) berlaku dengan wajar,
tanpa adanya konflik antara kedua sistem nilai tersebut. Sekurang-kurangnya, ada lima
teori berlakunya hukum Islam di Indonesia. Kelima teori itu ialah:
1. Teori Kredo atau Syahadat.
2. Teori Receptio In Complexu.
3. Teori Receptie.
4. Teori Receptie Exit.
5. Teori Receptie a Contrario.

Namun saya akan membahas lebih jauh mengenai Teori Receptio in Complexu,
Teori ini yang menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia
telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan. Teori ini berlaku di Indonesia Teori receptio in complexu ini telah
diberlakukan pula dizaman VOC sebagaimana terbukti telah dibuatnya berbagai
kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyelesaikan urusan-urusan hukum
rakyat pribumi yang tinggal didalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal
sebagai Nederlandsch Indie.

1
BAB II
PEMBAHASAN
B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Pembicaraan mengenai pemberlakuan hukum Islam di Indonesia, Ismail Suny
membagi menjadi dua tahap, yaitu masa Hindia Belanda dan Masa Republik Indonesia.
Pada masa Hindia Belanda menempatkan hukum Islam pada dua keadaan dalam dua
periode, yakni periode penerimaan hukum Islam secara penuh (Receptie In Complexu),
dan periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat (Receptie). Sedangkan pada masa
Republik Indonesia juga menempatkan hukum Islam pada dua keadaan dalam dua
periode, yakni periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive (Persuasive-
Source) dan period penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritif (Authoritative-
Source). Untuk lebih jelasnya sejarah pemberlakuan teori receptio in complexu hukum
Islam di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
Periode penerimaan hukum Islam secara penuh (Teori Receptio in Complexu)
Periode pernerimaan hukum Islam secara penuh (Receptio in complexu) adalah
periode dimana hukum Islam diberlakukan sepenuhnya oleh orang-orang Islam sebagai
pegangan dalam kehidupan beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, kehidupan
beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, hukum Islam telah banyak juga
didirikan lembagalembaga peradilan agama dengan berbagai nama yang ada. Lembaga-
lembaga peradilan agama ini didirikan ditengah-tengah kerajaan atau kesultanan dalam
rangka membantu dalam penyelesaian maalah-masalah yang ada hubungannya dengan
hukum Islam, dimana waktu itu hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam telah
menjadi hukum yang hidup dan berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau
Badan Peradilan Agama telah secara tetap dan mantap dapat menyelesaikan perkara-
perkara perkawinan dan kewarisan orang-orang Islam.
Walaupun bangsa Belanda mulai menguasai sebagian wilayah nusantara di
Indonesia, akan tetapi hukum Islam (Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan) tetap
berjalan dan diakui oleh Bangsa Belanda, bahkan oleh Belanda dibuatlah berbagai
kumpulan hukum sebagai pedoman bagi para pejabat dalam menyelesaikan masalah-
masalah hukum rakyat pribumi. Sehingga tidaklah heran kalau mereka tetap mengakui

2
dan melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam melalui peraturan
"Resulitie Der Indersche Regeering", tanggal 25 Mei 1970, yang merupakan kumpulan
aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan Belanda, yang
terkenal sebagai Compedium Freijher. Dengan demikian nyatalah bahwa posisi hukum
Islam pada saat itu sangat kuat dan berlangsung kira-kira mulai tahun 1602 sampai 1800.
Adapun setelah pemerintah Hindia Belanda benar-benar menguasai wilayah nusantara,
hukum Islam mulai mengalami pergeseran. Secara berangsur-angsur posisi hukum Islam
mulai lemah.
Pada abad ke-19 terjadi gerakan dikalangan banyak orang Belanda yang
berusaha menghilangkan pengaruh hukum Islam, dengan jalan antara lain adanya
krestenisasi. Karena kalau berhasil menarik banyak penduduk pribumi untuk masuk
agama Kristen, akan sangat menguntungkan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.
Dengan asumsi bahwa yang telah menganut agama Kristen akan menjadi warganegara
yang loyal dan patuh kepada pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian pada tahun 1882
dibentuklah pengadilan agama ditempattempat yang terdapat pengadilan negeri, yakni
Pengadilan Agama berkompeten menyelesaikan perkara-perkata dikalangan umat Islam
yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Sehingga dengan
demikian hukum Islam mendapat pengakuan resmi dan pengukuhan dari pemerintah
Belanda sejak didirikannya pengadilan agama tahun 1882 itu. Sedangkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Lodewijk Willen Christiaan Van Den Breg (1845-1927)
yang tinggal di Indonesia menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia pada hakekatnya telah
menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka sadari, bagi orang Islam
nerlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agama Islam walaupun dalam
prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan. Oleh karena itu muncullah teori yang
dikenal dengan "Theorie Receptie In Complexu".

3
C. Sejarah Teori Receptio In Complexu
Ada beberapa teori berlakunya hukum Islam di Indonesia. Yang pertama
marilah kita mulai dengan teori yang dikemukakan oleh van den Berg yang
dinamakannya receptio in complexu. Teori ini dikemukakan oleh Prof. Mr. Lodewijk
Wilem Christian van den Berg (1845-1927). Teori ini berpendapat bahwa bagi orang
Islam berlaku penuh hukum Islam karena dia telah memeluk agama Islam. Hukum yang
berlaku bagi masyarakat Muslim adalah hukum Islam, meskipun bentuk hukum tersebut
mengalami perbedaan di masing-masing daerah. Pada zaman VOC, keberadaan hukum
perdata Islam telah diakui pemerintah kolonial. Dengan diterbitkannya
RegeringsReglement tahun 1885, keberadaan hukum yang telah ada diperkuat dan
dikokohkan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan
Pada saat itu banyak kerajaan Islam telah menerapkan hukum Islam serta
mempunyai peradilan Islam sendiri-sendiri. Beberapa kerajaan Islam seperti Samudra
Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Cirebon, Banten Kutai, Sumatra dll.
Dengan mengakui bahwa hukum yang berlaku bagi warga pribumi adalah hukum
agamanya, ini menyebabkan VOC berkewajiban menyusun pelbagai pedoman hukum
bagi pejabat pemerintah saat bertugas menyelesaikan urusan-urusan hukum rakyat
pribumi. Di antara pedoman hukum yang terkenal adalah sbb:
1. Compendium Freijer yang merupakan kitab hukum kumpulan hukum perkawinan
dan kewarisan Islam oleh pengadilan VOC.
2. Cirbonsch Rechtboek yang dibuat atas usul residen Cirebon.
3. Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeurig getrokken uit het
Mohammedaansche Wetboek Mogharraer, dibuat untuk Landraad Semarang. (Sosro
Atmojo, 1928).

Dalam kaitannya dengan hukum Islam, Reglement of het Beleid der Regering ven
Nederlandsch Indie (RR) S. 1885 No. 2 menegaskan dalam pasal 75 dan 78 yang
substansi isinya adalah sbb:

4
a) Hakim Indonesia harus memberlakukan undangundang agama (godsdientige wetten)
dan kebiasaan penduduk Indonesia itu;
b) Undang-undang dan kebiasaan itu pulalah yang harus digunakan hakim Eropa saat
memutus perkara di Pengadilan yang lebih tinggi andaikata terjadi pemeriksaan
banding. Serta pasal 105 menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 75 dan 78 juga
berlaku bagi orang yang dipersamakan dengan “Inlander”, yaitu orang Arab, Moro,
Cina dan semua mereka yang beragama Islam serta orang-orang yang tidak beragama
(Suryaman, 1994).

Van den Berg berjasa atas penerbitan Stbl 1882 No. 152 yang isinya
menyatakan bahwa yang berlaku bagi warga pribumi Islam adalah hukum agamanya.
Sebagai akibatnya, di beberapa daerah berdirilah pengadilan Islam dengan berbagai
nama seperti Mahkamah Syari’ah di Sumatra, Kerapatan Kadhi di Kalimantan, Majlis
Syara’ di Sulawesi, Maluku dan Irian. Dengan demikian, teorinya van den Berg telah
berjasa memberikan pemahaman yang menguntungkan bagi hukum Islam di mata
pejabat dan para hakim Belanda. Dia juga berjasa mengenalkan karya hukum Islam
kepada kesusasteraan Barat, yakni dia telah menerjemahkan kitab Fathul Qorib dan
Minhajut Thalibin dari bahasa Arab menjadi bahasa Perancis.

Teori receptio a contrario ini dapat kita temukan dalam hubungan antara
hukum agama dan hukum adat, yang intinya, hukum agama (Islam) diterima secara
keseluruhan oleh masyarakat sekitar yang memeluk agama tersebut. Singkatnya, hukum
adat mengikuti hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat adat itu.

Namun, teori ini dibantah oleh Snouck Hugronje dan Van Vollenhoven melalui
teori ‘receptie’-nya. Menurut Hugronje, hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang
tidak bertentangan atau telah diterima keberlakuannya oleh hukum adat. Artinya,
hukum Islam mengikuti hukum adat masyarakat sekitar.

5
Teori Hugronje tersebut dibantah habis-habisan oleh Pakar Hukum Adat asal
Indonesia Prof. Hazairin dan Prof. Sayuti Thalib. Prof. Hazairin bahkan menyebut teori
‘receptie’ milik Snouck Hugronje itu sebagai teori iblis. Menurut Prof. Hazairin, dalam
teori ‘receptie exit’-nya, teori receptie itu harus keluar (exit) dari sistem hukum
Indonesia (Buku Tujuh Serangkai tentang Hukum) karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar tentang Undang-Undang Dasar 1945, Al Quran dan Sunnah
Rasul.

Teori Hugronje tersebut dibantah habis-habisan oleh Pakar Hukum Adat asal
Indonesia Prof. Hazairin dan Prof. Sayuti Thalib. Prof. Hazairin bahkan menyebut teori
‘receptie’ milik Snouck Hugronje itu sebagai teori iblis. Menurut Prof. Hazairin, dalam
teori ‘receptie exit’-nya, teori receptie itu harus keluar (exit) dari sistem hukum
Indonesia (Buku Tujuh Serangkai tentang Hukum) karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar tentang Undang-Undang Dasar 1945, Al Quran dan Sunnah
Rasul.

Pandangan Prof. Hazairin ini diperkuat oleh Prof. Sayuti Thalib. Menurut Prof.
Sayuti, hukum yang berlaku bagi masyarakat adalah hukum agama yang dipeluknya,
hukum adat hanya berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk
oleh masyarakat. Pandangan ini dikenal dengan sebutan teori ‘receptie a contrario’.

Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan Janda, Duda dan Anak
Angkat Dalam Hukum Adat (hal. 62) teori atau ajaran penetrasi persentuhan Hukum
Islam dan adat secara receptio contorario, banyak sekali penganutnya di kalangan
penulis-penulis hukum.

Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Hamka yang dikutip oleh Yahya Harahap (hal. 62)
inti pokok yang terkandung dalam ajaran teori receptio a contrario antara lain:

1. Telah berkembang suatu garis hukum hampir di seluruh kepulauan nusantara;


2. Garis hukum itu: “hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam kehidupan
pergaulan masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

6
Lebih lanjut Yahya Harahap (hal. 63) menjelaskan jika teori resepsio
mengatakan bahwa Hukum Islam baru dapat dilaksanakan sebagai norma hukum
apabila Hukum Adat telah menerimanya sebagai hukum, maka teori receptio a contrario
adalah kebalikannya. Menurut ajaran ini (receptio a contrario – red), hukum Adat yang
menyesuaikan diri ke dalam Hukum Islam. Atau Hukum Adat yang diterapkan dalam
kehidupan masyarakat adalah norma Hukum Adat yang sesuai dengan jiwa Hukum
Islam. Jika norma Hukum Adat tersebut tidak sejalan dengan jiwa dan semangat Hukum
Islam, maka Hukum Adat tersebut harus dijauhkan dari kehidupan pergaulan lalu lintas
masyarakat.

Contoh Ungkapan Hubungan Hukum Agama dan Hukum Adat

Yahya Harahap memberikan contoh ungkapan yang telah tercipta sebagai landasan
pedoman penerapan hokum di beberapa daerah, misalnya:

1. “hukum ngon adat hantom cre, lagu zat ngon sepent”


Ungkapan ini terdapat di daerah Aceh yang berarti: Hukum Islam dan Hukum Adat tak
dapat dipisahceraikan seperti hubungan zat dengan sifatnya.

2. “adat besandi syarak, syarak bersendi Ketabullah”


Ungkapan ini terdapat di daerah Minangkabau. Hubungan yang demikian telah menjadi
pepatah yang mencerminkan betapa eratnya hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam
dalam ungkapan: adat dan syaia sanda menyanda, syara mengato adat mamakai.

3. “Adatna di uhomkon manise tu na disyariatkon”


Ungkapan ini berasal dari Tapanuli Selatan yang berarti: Hukum Adat yang hendak
diterapkan sebagai hukum, harus lebih dulu dipertanyakan dan diujikan kepada Syariat
Islam, apakah ketentuan Hukum Adat yang hendak diterapkan dan diberlakukan itu
tidak bertentangan dengan syariat. Jika ternyata bertentangan, Hukum Adat tersebut
harus disingkirkan. Dan untuk menguji bertentangan atau tidaknya Hukum Adat yang

7
hendak diterapkan dengan Hukum Islam, para fungsionaris adat mempertanyakan dulu
kepada ulama atau guru agama setempat.

PENUTUP

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa sebelum kedatangan
penjajahan Belanda, hukum Islam telah merupakan hukum positif di kerajaan-kerajaan
Islam, yang berdiri dipersada Indonesia. Keberadaan hukum Islam tersebut pada mulanya
mendapat pengakuan dari penguasa Belanda sesuai teori RECEPTIO IN COMPLEXU,
tetapi kemudian hanya diakui bila sudah diterima dalam hukum adat melalui teori
RECEPTIE. Sedangkan dalam alam Indonesia merdeka, hukum Islam adalah bagian dari
Hukum Nasional Indonesia, sebagai pelaksanaan sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat
(I) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 melalui jalur ini ketentuan Hukum Islam yang
memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya mendapat jaminan
KONSTITUSIONAL.

8
9

Anda mungkin juga menyukai