Anda di halaman 1dari 15

Filsafat Hukum Internasional | 33

(a) Terbang melintasi wilayah negara asing tanpa mendarat; (b) Mendarat untuk tujuan-tujuan
komersial;

(c) Menurunkan penumpang di wilayah negara asing yang

berasal dari negara asal pesawat udara; (d) Mengangkut penumpang pada lalu-lintas negara asing
yang bertujuan ke negara asal pesawat udara; dan (e) Mengangkut angkutan antara dua negara
asing.

2. Prinsip kebebasan berdagang

Negara-negara bebas berdagang. Pengertian negara harus ditafsirkan secara luas, yaitu pemerintah
dalam negara dan setiap kaula penduduk yang ada di dalam wilayah negara itu. Karena merupakan
suatu prinsip, pelaksanaan prinsip kebebasan berdagang ini biasanya dijabarkan ke dalam peraturan
negara. Peraturan itu termasuk di dalamnya apa atau barang apa yang boleh dan tidak boleh
diperdagangkan.

Kebebasan berdagang tidaklah boleh dihalangi oleh adanya perbedaan system hukum, politik,
ekonomi Negara negara di dunia. Dalam uraian di atas, tampak bahwa perkembangan perdagangan
di Eropa terjadi karena kalifah kalifah membeli atau mengambil barang-barang dagangannya seperti
sutera, batu permata, permadani dan rempah-rempah dari Tiongkok, Asia Timur, Lautan Hindia
(sekarang Indonesia). Barang-barang dagangan kemudian diangkut melalui India, Persia dan Timur
Tengah ke tepian laut tengah dan dari sana ke dikirim Venetia, Genoa, dan kota-kota lain di Italia dan
kemudian disebar ke kota-kota di Eropa.78

Bahkan sejarah telah pula memperlihatkan bahwa kebebasan berdagang ini tidaklah boleh
dipengaruhi oleh adanya peperangan. Pada abad pertengahan, ketika tengah terjadi Perang Salib,
kebebasan berdagang ini tetap terjaga dan dilindungi. Mochtar Kusumaatmadja menungkapkan:79

"Perang Salib yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Kristen melawan Sultan-sultan Turki untuk
memperebutkan tempat suci Jerusalem tidak banyak

78 79 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Op.cit., hlm. 8. Mochtar Kusumaatmadja,


Hukum Laut Internasional, Op.cit., hlm. 9.
34 Bab I: Grotius dan Sumbangan Hukum Alam

mengganggu perdagangan ini karena dianggap suatu peperangan keagamaan yang tidak secara
langsung merupakan urusan daripada masyarakat-masyarakat niaga disekitar Laut Tengah baik ia
berkebangsaan Italia, Yunani atau Arab."

Praktik seperti ini seyogyanya harus terus menerus dipupuk dalam praktik. Perdagangan adalah
bebas nilai. Karena itu, situasi kondisi yang terjadi di antara para pihak, apapun situasi atau kondisi
itu, tidak seharusnya mengganggu perdagangan ini. Contoh dalam abad ke-20 pembentukan
organisasi perdagangan dunia (ITO atau adalah International Trade Organization). Pada tahun 1944,
ketika perang dunia II masih berkecamuk di berbagai tempat di dunia, Negara-negara (sekutu dan
Negara-negara netral, seperti Siam atau Thailand sekarang), sepakat membentuk ITO untuk
mengembalikan situasi perdagangan yang rusak karena perang. Negara-negara ini sepakat dan
berhasil menandatangani

Piagam Havana (Havana Charter) yang membentuk ITO. berdiri, Meskipun di dalam
perkembangannya, ITO batal terutama karena Kongres AS tidak memberi persetujuannya, dan
Negara-negara lain enggan melanjutkan ITO karena mereka merasa ITO tidak akan berhasil akan
berjalan baik apabila AS-lah satu-satunya Negara yang mapan secara ekonomi di dunia pada saat
itu.80

Pada mulanya perjanjian yang banyak ditandatangani adalah perjanjian bilateral di bidang
Persahabatan, Dagang dan Navigasi (Friendship, Commerce and Navigation atau FCN). Perjanjian
bilateral ini tumbuh subur terutama pada abad pertengahan di Eropa.81

Perjanjian seperti ini dibentuk sebagai kerangka yang menjadi landasan hubungan ekonomi yang
menguntungkan kedua negara. Perjanjian ini merupakan 'salah satu instrumen yang dikenal umum
dalam praktek-praktek diplomatik.'82

80 Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Bandung: Keni

Media, cet. 5, 2011. Hazel Fox., op.cit., hlm. 9. 81

82 Hazel Fox., ibid.


Filsafat Hukum Internasional

| 35

Perjanjian FCN merupakan suatu kesepakatan komprehensif antara para pihak. Perjanjian ini
umumnya memuat 'kesepakatan mengenai pengaturan mengenai warga negara dan harta
kekayaannya yang melakukan bisnis di negara lainnya. '83 Perjanjian ini biasanya memuat
ketentuan-ketentuan

berikut: 1) Hak untuk melakukan bisnis dan untuk bertempat

tinggal di negara lain;

2) Perlindungan terhadap individu dan perusahaannya; 3) Hak dan perlakuan khusus terhadap
individu dan perusahaannya berkaitan dengan: a) praktek bisnis; b) pemilikan harta milik atau
kekayaan; c) HKI (paten); d) pajak; e) pendapatan penghasilan dan modal; f) kompetisi dari
perusahaan milik negara; g) ekspropriasi atau nasionalisasi; h) akses ke pengadilan; 4) Perdagangan
(pajak dan hambatan kuantitatif);

5) Perkapalan; dan

6) Penyerahan sengketa berdasarkan perjanjian kepada Mahkamah Internasional.84

Contoh praktek AS dalam bidang ini, misalnya saja pada 1778 negara ini mengadakan perjanjian FCN
dengan Perancis, khususnya perjanjian mengenai perlindungan barang barang dan kapal-kapal
dalam waktu perang.

Namun seusai Perang Dunia II, perjanjian FCN mengalami perubahan-perubahan. Kecenderungan
FCN beralih kepada the right of establishment (pendirian perusahaan di luar negeri) dan hak
memajukan penanaman modal swasta. Perubahan penekanan ini karena dua alasan:

(1) Sebagai akibat langsung dan meningkatnya peranan penanaman modal asing setelah PD II;85 dan

83 Eric V. Youngquist, 'United States Commercial Treaties, Their Role in Foreign Economic Policy,'
(1967), dalam John H. Jackson, The Legal Problems of International Economic Relations, St. Paul
Minn.: West Publishing Co., 1995, hlm. 272.

84 Eric V. Youngquist, op.cit., hlm. 272. Eric V. Youngquist, 'US Commercial Treaties: Their Role in
Foreign Economic Policy,' Studies in Law and Economic Development, Vol. II, Study No 1, hlm, 72,
36 Bab I: Grotius dan Sumbangan Hukum Alam

25

(2) Karena lahirnya kerangka pengaturan perdagangan

multilateral GATT.86 Contoh klausul yang menetapkan persyaratan persyaratan perdagangan bagi
kedua belah pihak dalam perjanjian FCN, misalnya perjanjian antara AS - Jepang pada 1953. Pasal VII
perjanjian ini menyatakan sebagai:

"1. Nationals and companies of either party shall be .. permitted ...: (a) to establish and maintain
branches, agencies, offices, factories and other establishments appropriate to the conduct of their
business; (b) to organize companies under the general company laws of such other Party, and to
acquire majority interests in companies of such other Party; and (c) to control and manage
enterprises which they have established or acquired."

D. Penutup

Ajaran Grotius mencakup bidang yang cukup luas. Kedalaman pikirannya kadang kala sulit kita
pahami. Bila akhirnya dapat kita pahami, belumlah tentu apa yang beliau pikirkan sama dengan yang
kita pahami itu. Karena itu, masih perlu dipelajari secara lebih

mendalam kajian terhadap kontribusi Grotius ini termasuk

relevansinya dengan masa yang akan datang. Meskipun demikian, barangkali ada beberapa hal yang
tampaknya dapat kita pegang. Kontribusi Grotius terhadap perkembangan hukum internasional
adalah sesuatu yang luar biasa. Semua pendapat atau pandangan Grotius ini barangkali ditujukan
lebih banyak untuk perdagangan. Seperti kita pahami, semua pandangan ini kemudian memberi
pengaruh yang besar terhadap sejarah perkembangan Indonesia selanjutnya.* ***

73-76, George Washington Univ. Int'l.L. Society (May 1967), dikutip John H.

Jackson, op.cit., hlm. 273. 96 John H. Jackson, op.cit., hlm. 273. Terutama GATT, memang dalam
perkembangannya sejak 1947, GATT dipandang telah berhasil mengurangi tingkat tarif dan menekan
kebijakan dagang negara-negara yang merugikan.
BAB II

TALIRAN POSITIVISME HUKUM TENTANG HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengantar¹

Aliran atau mazhab filsafat hukum yang lahir dan berkembang pesat pada akhir abad ke-18 sampai
sekarang adalah aliran positivisme. Aliran ini banyak mendapat perhatian dan pengaruh terhadap
filsafat hukum. Filsuf terkemuka aliran ini seperti HLA Hart, Hans Kelsen, Jospeh Raz, Brian
Tamanaha, William Twining. Tokoh awal aliran ini Jeremy Bentham dan John Austin mengundang
berbagai pendapat dan komentar dari banyak sarjana.

Aliran Positivisme lahir sebagai ketidak-puasan terhadap aliran hukum alam. Aliran hukum ini pada
prinsipnya memisahkan antara hal-hal yang bernilai ketuhanan atau moral seperti yang sarjana atau
filsuf-filsuf beraliran hukum alam pegang teguh. Aliran ini menegaskan posisinya sebagai berikut:

(1) Apa yang aliran ini pandang sebagai hukum di dalam setiap masyarakat pada dasarnya adalah
sesuatu fakta sosial ("law... is fundamentally a matter of social fact or convention"). ("posisi sosial
atau "the social thesis").

1 Bagian tulisan ini diambil dari tulisan kami: Huala Adolf dan An-An Chandrawulan, Pengantar
Filsafat Hukum, Bandung: Keni Media, 2019 (Bab 3). Sub bagian 4 mengenai pandangan William
Twining dihapus dalam bagian ini. Teks asli mendapat penambahan pada bagian hukum
internasional.

2 Sean Coyle, Modern Jurisprudence: A Philosophical Guide, Oxford: Hart Publishing, 2014, hlm. 11;
Anthony J. Sebok, Legal Positivism in American Jurisprudence, Cambridge: Cambridge U.P., 1998,
hlm. 17; Raymond Wacks, Philosophy of Law: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford U.P., 2006,
hlm. 17; Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, Oxford: Oxford U.P., 2004, hlm. 12 124; R. Nobles
and D. Schiff, A Sociology of Jurisprudence, Oxford: Hart Publishing, 2006, hlm. 20; Elizabeth A.
Martin, (ed.), A Dictionary of Law, Oxford: Oxford U.P., 2003, hlm. 326.
BAB II

TALIRAN POSITIVISME HUKUM TENTANG HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengantar¹

Aliran atau mazhab filsafat hukum yang lahir dan berkembang pesat pada akhir abad ke-18 sampai
sekarang adalah aliran positivisme. Aliran ini banyak mendapat perhatian dan pengaruh terhadap
filsafat hukum. Filsuf terkemuka aliran ini seperti HLA Hart, Hans Kelsen, Jospeh Raz, Brian
Tamanaha, William Twining. Tokoh awal aliran ini Jeremy Bentham dan John Austin mengundang
berbagai pendapat dan komentar dari banyak sarjana.

Aliran Positivisme lahir sebagai ketidak-puasan terhadap aliran hukum alam. Aliran hukum ini pada
prinsipnya memisahkan antara hal-hal yang bernilai ketuhanan atau moral seperti yang sarjana atau
filsuf-filsuf beraliran hukum alam pegang teguh. Aliran ini menegaskan posisinya sebagai berikut:

(1) Apa yang aliran ini pandang sebagai hukum di dalam setiap masyarakat pada dasarnya adalah
sesuatu fakta sosial ("law... is fundamentally a matter of social fact or convention"). ("posisi sosial
atau "the social thesis").

1 Bagian tulisan ini diambil dari tulisan kami: Huala Adolf dan An-An Chandrawulan, Pengantar
Filsafat Hukum, Bandung: Keni Media, 2019 (Bab 3). Sub bagian 4 mengenai pandangan William
Twining dihapus dalam bagian ini. Teks asli mendapat penambahan pada bagian hukum
internasional.

2 Sean Coyle, Modern Jurisprudence: A Philosophical Guide, Oxford: Hart Publishing, 2014, hlm. 11;
Anthony J. Sebok, Legal Positivism in American Jurisprudence, Cambridge: Cambridge U.P., 1998,
hlm. 17; Raymond Wacks, Philosophy of Law: A Very Short Introduction, Oxford: Oxford U.P., 2006,
hlm. 17; Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, Oxford: Oxford U.P., 2004, hlm. 12 124; R. Nobles
and D. Schiff, A Sociology of Jurisprudence, Oxford: Hart Publishing, 2006, hlm. 20; Elizabeth A.
Martin, (ed.), A Dictionary of Law, Oxford: Oxford U.P., 2003, hlm. 326.
Filsafat Hukum Internasional | 39.

hadapan pengadilan, badan legislatif, dan kehidupan sehari hari.

Analisis demikian harus dapat menjelaskan dua bentuk dari konsep hukum, yaitu bahwa dari
berbagai norma dalam masyarakat, yaitu norma moral, estetika, norma sosial, hanya beberapa saja
dari norma tersebut adalah norma "hukum." Kedua, norma "hukum" memberikan dasar kepada
agents (pejabat-pejabat penegak hukum [pen!]) untuk bertindak yaitu alasan yang tidak akan ia
miliki apabila norma itu bukan norma hukum.8

Oleh karena itu analisis terhadap konsep hukum hanya akan memuaskan apabila ia dapat
menjelaskan dua bentuk tersebut, yaitu apa yang beliau sebut sebagai "kriteria legalitas" ("the
criteria of legality") dan kriteria normatif ("the criteria of normativity") atau yang beliau sebut juga
sebagai "otoritas hukum" ("authority of law").

Analisis konsepstual bukan sekedar mengartikan istilah. Analisis dalam upaya memperjelas atau
mengartikan sesuatu kata adalah keliru. Menurut Hart, analisis konsepstual haruslah mempertajam
kesadaran terhadap kata pandangan kita terhadap fenomena ("a sharpened of words sharpen(s)
mempertajam menjelaskan penelitiannya sebagai "descriptive sociology" our perception of
fenomena)." Karena itu Hart (sosiologi deskriptif), yaitu suatu pengelompokan secara analisis
(analystic taxonomy) penggunaan konsep tersebut ke dalam praktik (sosial nyata) misalnya
bagaimana kegiatan yang terkait hukum berbeda dengan aktivitas lainnya misalnya yang terkait
dengan moral.10

yaitu Joseph Raz memperkenalkan pula metode penelitian Filsuf penganut aliran positivis hukum
selanjutnya sosiologikal ("sociological inquiry"). Raz mengungkapkan "we do not want to be slaves of
words. Our aim is to understand society and its institutions. We must face the uestion... is the
ordinary sense of "law" such that it helps ident y facts of importance to our understading of society."
11

9 10 Jules L. Coleman and Brian Leiter, Op. Jules L. Coleman and Brian Leiter, Op.

11 Jules L. Coleman and Brian Leiter, Op. Jules L. Coleman and Brian Leiter, Op

hlm. 228.

ilm. 228-229

lm. 229.

Im. 229.
40 Bab II: Aliran Positivisme Hukum

Menurut aliran positivisme hukum, hukum adalah suatu fakta. Untuk memahami hukum, aliran ini
berpendapat, hukum harus dianalisis secara empiris. Analisisnya menggunakan fenomena sosial
yang obyektif. Analisis demikian hanya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi secara faktual apa
yang secara hukum relevan untuk dipertimbangkan. Hukum adalah suatu fenomena khusus yang
dapat berasal, berada dan dapat dipertanggung-jawabkan (explicable) hanya apabila fenomena
tersebut berada di dalam ketentuannya. Meskipun ketentuan hukumnya itu sendiri memiliki
kesamaan dan hubungan dengan fenomena sosial lainnya misalnya moral, agama, etika dan lain-
lain.12

Konsep hukum sebagai suatu aturan yang berasal dari pejabat atau lembaga berdaulat dalam suatu
masyarakat yang terorganisir secara politis dirumuskan oleh Pound sebagai berikut:13

'... Law has been conceived as a body of commands of the sovereign authority in a politically
organized society as to how men should conduct themselves therein, resulting ultimately on
whatever basis was held to be behind the authority of that sovereign." (Cetak miring oleh kami).

Untuk mempelajari hukum, aliran ini membedakan antara apa itu hukum dan apa hukum yang baik
itu. Yang pertama, aliran ini menamakannya dengan "what law is". Untuk yang kedua, dimaksudkan
sebagai "what law ought" yaitu hukum yang ideal, yang baik, atau yang seharusnya. Aliran ini tidak
menyangsikan keterkaitan atau hubungan antara hukum dengan moral (seperti yang aliran hukum
alam pegang). Aliran ini menyadari adanya kaitan antara hukum dan moral tetapi kedua fenomena
ini haruslah dipisahkan. Misalnya, di dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan,
pembuat hukum harus pula 'memperhitungkan atau memperhatikan nilai-nilai moral di dalam
pengaturannya.

12 Cavendish,Op.cit, hlm. 33-34. 13 Roscoe Pound, Op.cit., hlm. 64.


Filsafat Hukum Internasional | 41

Ajaran atau mazhab hukum positif terbagi dua, yaitu aliran hukum positif analisis (Analytical Legal
Positivism) dengan pemukanya John Austin dan teori hukum murni (Pure Theory of Law) dengan
pemukanya Hans Kelsen. Kedua aliran ini diuraikan secara singkat di bawah ini. Uraian akan pula
memaparkan pandangan HLA Hart, seorang tokoh penting di dalam pengembangan dan salah
seorang filsuf peletak dasar aliran positivisme hukum.

B. Filsuf Mazhab Positivisme Hukum

1. John Austin (1790-1859) ("Teori Perintah Hukum")

John Austin (dan gurunya Jeremy Bentham) dipandang sebagai pemuka awal mazhab atau aliran ini.
Beliau adalah guru besar filsafat hukum di University of London, Inggris. Karyanya yang terkenal
adalah The Province of Jurisprudence Determined (1832) dan Lectures on Jurisprudence (1863).
Ajarannya sangat berpengaruh di Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan hingga kini, ajarannya banyak
dikutip dan dijadikan rujukan untuk kajian filsafat hukum.

Beliau adalah salah satu tokoh penting dalam meletakkan dasar pemikiran mengenai positivisme
hukum. Beliau menentang adanya keterkaitan hukum dan moral. Beliau beranggapan, studi hukum
hanya dapat dilakukan secara empiris. Studi hukum harus dilepaskan diri dari faktor atau fenomena
lainnya.

a. Hukum adalah Perintah

14

menyatakan bahwa setiap hukum adalah perintah ('every law is a John Austin dengan
pernyataannya yang terkenal command'). Setiap hukum yang di dalamnya tidak ada perintah,
bukanlah hukum. Teori ini mendapat beberapa pengakuan dari sesama filsuf. Sebagian menyebut
teori beliau sebagai Teori Perintah Hukum (the command theory of law),14 Ada pula filsuf

Raymond Wacks, Op.cit., hlm. 23. Dengan pandangannya ini Austin yang terkenal dengan
pandangannya yang melihat hukum internasional bukan sebagai hukum, karena tidak adanya
lembaga yang berdaulat yang membuat
42 Bab II: Aliran Positivisme Hukum

lainnya seperti Hart menyebut teori Austin sebagai "teori imperatif" ("imperative theory").15 Ajaran
beliau yang juga terkenal adalah bahwa semua hukum atau aturan itu adalah perintah. Pernyataan
Austin:

"the matter of jurisprudence is positive law; law, simply and strictly so called: or law set by political
superiors to political inferiors... a law, in the most general and comprehensive acception in which the
term in its literal meanings, is employed, may be said to be a rule laid down for the guidance of an
intelligent being an inteligent being having poser over him..."

09%) and monit Austin lebih lanjut menyatakan bahwa perintah itu haruslah berasal dari pihak yang
memang memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan perintah. Kekuasaan ini disebut juga dengan
kedaulatan:

"Every positive law, or every law simply and strictly so called, is set by a sovereign person, or a
sovereign body or persons, to a member of members. Of the independent political society wherein
that person or body is sovereign or supreme, or it is set by a monarch, or sovereign member, to a
person or persons in a state of subjection to its author."

Menurut Hart, norma adalah hukum hanya apabila ia adalah perintah atau sesuatu yang berdaulat.
Kriteria untuk menentukan legalitas hukum ditentukan oleh faktanya (" matter of fact"), bukan
ditentukan oleh nilainya.16

b. Analytical Jurisprudence dan Normative Jurisprudence Austin membedakan penelitian hukum ke


dalam dua bidang, yaitu (1) analytical jurisprudence; dan (2) normative jurisprudence. Yang pertama,
analytical jurisprudence adalah kajian filsafat hukum yang mempelajari fakta-fakta dasar dari hukum,
seperti asal mula hukum, keberadaan hukum, konsep

hukum internasional. Pandangan ini juga menolak keberadaan hukum kebiasaan sebagai hukum
(Raymond Wacks, Op.cit., hlm. 25).

15 H.L.A. Hart, The Concept of Law, Op.cit., p. vii. 16 Jules Coleman and Brian Leiter, Op.cit., hlm.
231.
Filsafat Hukum Internasional | 43

konsep yang mendasari hukum. Normative jurisprudence, adalah kajian filsafat hukum yang
mempelajari masalah-masalah baik buruknya suatu hukum yang berlaku. Austin memandang, kajian
pertama, analytical jurisprudence, adalah kajian filsafat hukum yang penting.17

Secara umum, Austin membagi hukum ke dalam dua bagian besar, yaitu:

(1) Hukum Ilahi.

Hukum Ilahi adalah hukum yang dibuat oleh Ilahi untuk ciptaannya (manusia). Oleh Austin hukum ini
disebutnya sebagai 'hukum yang selayaknya disebut demikian' ('laws properly so-called').

(2) Hukum Manusia.

Hukum yang dibuat manusia terbagi ke dalam dua bagian: (a) hukum positif, yaitu hukum yang
dibuat oleh penguasa (political superior) atau oleh orang yang diberi wewenang untuk itu; (b)
aturan-aturan moral positif (positive morality), yaitu hukum yang dibuat manusia namun bukan oleh
penguasa. Contoh hukum seperti ini adalah aturan-aturan hukum mengenai keanggotaan dalam
suatu kelompok. 18

studi atau kajian (ilmu) hukum adalah studi terhadap hukum Dari pembagian hukum di atas, Austin
berpendapat, positif. Pernyataan terkenal beliau, "Hukum Adalah Perintah Command of a Sovereign
Backed by Sanctions). Berdaulat dari yang Berdaulat (Kedaulatan), Perintah dan Sanksi menjadi tiga
unsur dalam yang Ditopang oleh Sanksi" (Law is the hukum dari ajaran Austin 19

2. H.L.A. Hart (1907-1992)

berkebangsaaan Inggris. Beliau adalah guru besar filsafat H.L.A hukum di Universitas Oxford.
Karyanya yang penting dan telah Hart adalah filsuf hukum terkemuka banyak diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa di dunia

Cavendish, Op.cit., hlm. 39. 18 Cavendish, Op.cit., hlm. 39.


44 Bab II: Aliran Positivisme Hukum

(termasuk Indonesia), yaitu "The Concept of Law" (1961, cet 3 2012). Buku ini akan menjadi ulasan
singkat di dalam bagian ini. Karya "The Concept of Law" mungkin adalah karya yang terpenting untuk
suatu karya di bidang filsafat hukum. Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Leslie Green menulis
bahwa buku ini telah menjadi buku yang paling berpengaruh dalam filsafat hukum. Buku ini menjadi
acuan bagi mahasiswa yang ingin mempelajari hukum dan filsafat hukum di dunia.20

Buku ini terdiri atas sebuah pengantar dan 10 bab serta sebuah Postcript. Postcript memuat dua isu
utama, yaitu pertama semacam intisari dari bab-bab yang dibahas dalam buku. Kedua, postcript
memuat pembelaan Hart terhadap kritik Ronald Dworkin yang menyerang pendapat atau
pandangan beliau mengenai hukum. Dalam bagian ini Hart menyempatkan pula membahas (dan
mengkritik) teori Kelsen mengenai hukum (meskipun kedua filsuf ini mengambil kiblat yang sama
yaitu Positivisme Hukum).

Pengantar memuat kerangka pemikiran Hart mengenai terminologi dan apa yang dibahas di bagian
bab-bab buku. Bab 1 memuat masalah-masalah di dalam filsafat hukum ("Persistent Questions"),
yaitu rumitnya teori hukum, batasan atau definisi mengenai hukum yang sulit dibuat. Bab 2
membahas pemikiran beliau yang mencerminkan aliran positivisme. Bab 3 memuat bentuk-bentuk
hukum. Bab 4 membahas kedaulatan dan orang orang yang diaturnya. Bab 5 memuat pembagian
hukum yaitu hukum primer dan hukum sekunder. Bab 6 membahas fondasi dari suatu sistem
hukum. Bab 7 membahas apa yang istilahkan sebagai "formalism and rule-scepticism." Bab 8
membahas dilema antara keadilan dan moralitas. Bab menguraikan moral dan hukum. Bab 10
membahas hukum internasional. beliau 9

Beliau mengangkat hukum internasional secara khusus karena di mata beliau, hukum internasional
bukanlah hukum I dalam arti sebenarnya. Hukum internasional adalah hukum yang memiliki
kekuatan moral semata. Hart mengangkat hukum internasional sebagai salah satu contoh
pembanding

20

Leslie Green, "Preface to the Third Edition," dalam HLA Hart, Op.cit., hlm. xi; N.E. Algra dan K. Van
Duyvendijk, Op.cit., hlm. 144.

I
Filsafat Hukum Internasional | 45

penting untuk menunjukkan letak teori perintah ini dan keberadaannya dalam hukum internasional.

Uraian berikut menguraikan beberapa buah pikiran Hart yang penting. Pemikiran penting ini yaitu
pembagian Hart mengenai hukum ke dalam Primary Rules dan Secondary Rules serta pengertian
Secondary Rules.

a. Primary Rules dan Secondary Rules

Di samping ajaran beliau bahwa setiap aturan Miklo adalah perintah, Hart menjelaskan apa yang
dinamakan hukum itu. Hart menjelaskan pengertian hukum dalam Bab 5 dan Bab 6). Beliau
berpendapat, aturan hukum itu adalah suatu kesatuan dari aturan-aturan sosial ("union of social
rules") yang terdiri dari dua bagian, yaitu Primary Rules (hukum utama) dan Secondary Rules (hukum
tambahan). Primary Rules mengatur lingkup kebebasan (liberty) seseorang: apakah membatasi atau
memperluasnya.

Secondary Rules mengatur hal-hal tentang Primary Rules 21 Di dalam bagian Secondary Rules
terdapat sub-bagian lagi yaitu:

(a) "Power to legislate" atau hukum yang menetapkan (membentuk) suatu kekuasaan untuk
mengundangkan hukum; (b) "Power to adjudicate" atau hukum yang menciptakan

(membentuk) kekuasaan untuk mengadili; dan (c) "Hukum Pengakuan" (Rules of Recognition"). Rules
of Recognition bukan kekuasaan ('power') (sebagaimana dua kekuasaan lainnya yaitu power to
legislate dan power to adjudicate) (diuraikan di bawah).

untuk perbuatan atau tingkah laku manusia dengan melakukan Hukum utama (Primary Rules)
memberi arah ("guide') kewajiban atau memberikan kekuasaan kepada manusia. Untuk memahami
ajaran Hart ini agak sulit untuk dapat kita pahami. Mungkin pengertian yang dapat kita tangkap
adalah apa yang telah kita pelajari di fakultas hukum: hukum utama (primary

21 N.E. Algra dan K. Van Duyvendijk, Op.cit., hlm. 147.

1
46 Bab II: Aliran Positivisme Hukum

rules) ini adalah aturan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban (kepada manusia).

Sedangkan hukum tambahan (secondary rules) adalah aturan-aturan hukum yang memberikan
identifikasi (pencirian), perubahan, dan penegakan aturan-aturan hukum (enforcement). Pengertian
yang dapat kita pahami mengenai pemikiran beliau ini mungkin terkait dengan aparat atau lembaga
hukum yang melaksanakan hukum itu. Misalnya apabila manusia melanggar hukum (Primary Rules),
maka penegakan atas pelanggaran hukum ini (Secondary Rules) dilakukan oleh aparat penegak
hukum.

b. Rules of Recognition

Di antara aturan hukum tambahan (Secondary Rules) sub-bagian hukum lain yang penting yaitu apa
yang Hart sebut sebagai Hukum Pengakuan (Rules of Recognition). Hukum Pengakuan ini
memainkan peran khusus dan penting. Bagi lembaga-lembaga yang mempraktikkan kebiasaan yang
perannya adalah menegakkan hukum utama (primary rules).

Hukum Pengakuan ini memberikan kriteria keabsahan hukum dengan menentukan kondisi-kondisi
apa yang harus ada agar suatu norma adalah norma hukum. Hart berpendapat, suatu sistem hukum
tidak bergantung pada pembenaran moral (seperti yang dianut oleh aliran hukum alam). Peraturan
hukum kebiasaan sosial (customary social rules) yang dibentuk oleh pengadilan, pejabat atau orang
perorangan.

Hart memberi contoh pelaksanaan Hukum Pengakuan ini di Inggris. Tindakan-tindakan Ratu di
Parlemen yang mengundangkan undang-undang adalah hukum. Perbuatan ini bukan karena mereka
memiliki jabatan moral ("moral credential") atau karena adanya asumsi akal ("logical
presumption"),22 namun karena adanya hukum kebiasaan yang dipraktikkan sedemikian

22 Catatan penulis, secara tidak langsung pengutipan "moral credentials" dan "logical presumption"
ini digunakan Hart untuk mengacu kepada pandangan aliran hukum alam yang melihat moral atau
akal sehat sebagai sumber hukum yang lebih tinggi dari hukum.
Filsafat Hukum Internasional | 47

itu ('an actually practised customary rules') yang mengakuinya demikian (sebagai hukum)!23

Cetakan ke-3 buku dilengkapi pula oleh penjelasan singkat Prof Green. Beliau berupaya menjelaskan
dan meluruskan terdapatnya salah pengertian pembaca mengenai buah pikiran Hart mengenai
hukum, terutama mengenai hubungan hukum dan moral. Sebagai murid beliau, Green meluruskan
pendirian beliau bahwa meskipun hukum dipisahkan dari moral, namun Hart masih memandang
moral memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap hukum. Pertama, Hart mengakui adanya
keterkaitan antara hukum dan moral, yaitu keterkaitan yang tampak dari tujuan hukum ("the
purpose of law").

Kedua, keterkaitan melalui hubungan yang Hart istilahkan sebagai "putative connection" ("hubungan
yang diprasangka") yang tampak dalam hubungan antara hukum dan keadilan.24

Hart terkenal karena beliau memperkenalkan teori (filsafat) hukum modern dengan menerapkan
filsafat analitis dan linguistik terhadap studi tentang hukum. Pandangan beliau yang banyak dikutip
adalah bahwa kita tidak akan memahami hukum dengan baik apabila kita tidak memahami konsep
hukum, terutama mengenai kapan hukum itu lahir dan berkembang.25

Untuk memahami fenomena sosial, seseorang harus terlebih Hart memandang hukum sebagai
fenomena sosial. dahulu memahami kehidupan sosial nyata dalam masyarakat.26 Pandangan Hart
ini tampaknya ingin menunjukkan bahwa untuk memahami fenomena sosial, seseorang harus
memahami

23

Cf., Leslie Green, "Introduction," dalam H.L.A. Hart, Op.cit., hlm. xx, xxi. (Cf., Algra dan K Van
Duyvendijk, Op.cit., hlm. 144 (mengungkapkan sebagai berikut: "Aturan-aturan ini ("Rules of
Recognition") bukan merupakan dasar bagi suatu sistem hukum karena ia 'berlaku', melainkan
karena orang-orang menyesuaikan diri padanya"). (Cetak miring sesuai aslinya). Algra dan Van
Duyvedijk mengemukakan bahwa "Rules of Recognition" ini 'ada' artinya ia diterima dalam hidup
masyarakat ini. (Algra dan K Van Duyvedijk, Op.cit., hlm. 145).

24 Leslie Green, "Introduction," dalam H.L.A. Hart, Op.cit., hlm. xxxiv. 25 Raymond Wacks, Op.cit.,
hlm. 26. 26 Raymond Wacks, Op.cit., hlm. 26.

Anda mungkin juga menyukai