Anda di halaman 1dari 19

1

BAB II
SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Pengantar

Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang


berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subyek
hukum di sini adalah:

(1) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu
mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan

(2) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu dan
berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan
internasional.

Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, maka subyek hukum yang dapat tergolong ke
dalam lingkup hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi internasional,
individu, dan bank. Uraian berikut akan menganalisa lebih lanjut tiga subyek hukum ini.

B. Negara

1. Peran Negara

Negara merupakan subyek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional.


Sudah dikenal umum bahwa negara adalah subyek hukum yang paling sempurna. Pertama,
ia satu-satunya subyek hukum yang memiliki kedaulatan.

Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur
segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya.1 Booysen menggambarkan kedaulatan
negara ini sebagai berikut:

1
Hercules Boosen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999, hlm.
2.
“... a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state
would also have the power to determine the conditions on which the goods may be
imported into the state or exported to another country Every
state would have the power to regulate arbitrarily the conditions of trade.”2

Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat hukum
(regulator) yang mengikat segala subyek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan),
mengikat benda dan
peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk
3
perdagangan, di wilayahnya.

Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun


tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional di
dunia, misalnya WTO, UNCTAD,
4
UNCITRAL, dll. Organisasi-organisasi internasional di bidang
perdagangan internasional inilah yang kemudian berperan dalam membentuk aturan-aturan
hukum perdagangan internasional.

Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga bersama-sama dengan negara
lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan di antara mereka.
Contoh perjanjian seperti ini adalah perjanjian
Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal
5
bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.

Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai
pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan
internasional. Dalam awal tulisan ini, negara dengan perusahaan negaranya mengadakan transaksi
dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan,
dll. Bahan-bahan alam ini disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga

2
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.
3
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.
4
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, hlm. 31.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 31.
diperdagangkan (dijual) ke subyek hukum lainnya yang memerlukannya.

Dalam melaksanakan fungsinya ini, tidak jarang negara membuat badan-badan hukum
milik negara. Di tanah air misalnya, untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan memasarkan
hasil pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola sumber daya air
untuk kepentingan rakyat negara mendirikan perusahaan air minum, dst.

Sebagai suatu institusi yang besar, negara membutuhkan teknologi, infrastruktur,


kendaraan, pesawat kenegaraan, sumber- sumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya
(pengadaan barang dan jasa atau procurement). Untuk memenuhi semua ini, negara membelinya
dari para pihak yang menyediakannya (penjual atau supplier). Dengan demikian, negara dapat
bertindak sebagai pelaku dalam transaksi perdagangan.6

Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturan- aturan hukum yang bentuk
dan muatan pengaturannya bergantung pada jenis transaksi. Manakala negara bertransaksi dagang
dengan negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional.
Manakala negara bertransaksi dengan subyek hukum
lainnya, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari
7
salah satu pihak).

6
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 4-5.
7
Hercules Booysen, Op.cit., hlm. 4.
2. Imunitas Negara

Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan negara adalah atribut
kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah bahwa dengan atribut kedaulatan,
negara memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain.

Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk mengklaim
kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat menggambarkan
imunitas negara ini sebagai berikut:

“Sovereign immunity is a long-established precept of public international law which


requires that a foreign government or head of state cannot be sued without its consent.
In its traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including
those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign
sovereign.”8

Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan. Minimal ada 4


pembatasan terhadap muatan imunitas suatu negara ini.

Pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi dagang, hukum


internasional meskipun mengakui imunitas negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya.
Hukum internasional regional di Eropa misalnya memiliki the European Convention on State
Immunity (16 Mei 1972). Konvensi beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman,
Inggris, Luxemburg, dan Swis.9

Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk bekerjasama dengan negara


lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara
lain menyatakan bahwa:

8
Andrew W. Sheldrick, “Capacity, sovereign immunity and acts of state,” dalam: Lew and Stanbrook,
Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983, hlm. 164.
9
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 33.
“... states have the duty to co-operate with one another, irrespective of the difference in
their political, economic and social system,...”10

Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa negara memiliki UU
mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas negara-negara (asing) yang melakukan
transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Negara-negara yang
memiliki UU seperti ini misalnya: Canada (State Immunity Act 1982); Australia (Foreign States
Immunity Act 1985), Amerika Serikat (Foreign Sovereign Immunities Act 1976), dan Inggris
(State Immunity Act 1978).

UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim
imunitasnya dalam persidangan yang terkait dengan:

(a) sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dagang) yang dilakukan oleh suatu
negara;

(b) sengketa-sengketa yang lahir dari adanya kontrak yang dilaksanakan sebagian atau
seluruhnya di Inggris;

(c) kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris atau yang berkaitan dengan
jasa-jasa yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;

(d) tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita semacam perbuatan
melawan hukum) untuk menuntut ganti rugi karena meninggal, luka-luka, atau
kerugian terhadap harta benda, di mana tindakan tersebut terjadi di Inggris;

(e) sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan dalam suatu perusahaan baik
yang terdaftar atau yang memiliki kegiatan usaha utamanya di Inggris;

10
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 33 dan 33n.
(f) sengketa-sengketa yang terkait dengan klaim-klaim pengangkutan di laut terhadap
kapal atau muatan atau yang digunakan untuk tujuan-tujuan komersial; dan

(g) sengketa-sengeta yang terkait dengan perpajakan atau cukai.11

Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap terjadi
manakala suatu negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan
peradilan yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil negara tersebut untuk
mengadiri persidangan dan negara tersebut mematuhinya, maka negara tersebut dianggap telah
dengan sukarela menanggalkan imunitasnya.12

Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn imunitas ini adalah
apabila negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian
dapat dianggap bahwa negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke
badan arbitrase yang dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa dagangnya.13

Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu negara untuk hadir di


hadapan badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun
masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di hadapan badan peradilan
adalah pelaksanaan putusan pengadilannya. Hal inilah yang menjadi nasalah utama yang justru
sangat krusial. Percumalah doktrin dan aturan-aturan mengenai imunitas ini

11
Scheldrick, op.cit., hlm. 163 dan 164.
12
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33.
13
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. Dengan adanya pembatasan- pembatasan terhadap imunitas ini
kemudian lahir teori yang disebut dengan teori pembatasan imunitas negara (“restrictive theory
doctrine”). (Scheldrick, op.cit., hlm. 163). Teori ini juga menyatakan bahwa negara dengan melakukan
tindakan-tindakan yang bersifat non- pemerintah (publik) atau ‘non-governmental activities’, negara
tersebut secara implisit telah menanggalkan hak-haknya untuk mengklaim imunitas. (Scheldrick, op.cit.,
hlm. 163).
apabila di kemudian hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan.

Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta
milik negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan
atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).14 Hukum internasional melarang
suatu negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di pelabuhan suatu
negara asing atau menyita bangunan kedutaan negara asing.15

Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap aset-


aset yang negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
pelayanan publik.16

14
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
15
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
16
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. (Pendapat ini juga mengutip berbgai sarjana antara lain C.
Schreur).
C. Organisasi Perdagangan Internasional
17
1. Organisasi Internsional Antar Pemerintah (Publik)

Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional memainkan


peran yang signifikan. Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih ngara guna mencapai
tujuan bersama.

Untuk mendirikan suatu organisasi internasional perlu dibentuk suatu dasar hukum yang
biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian inilah termuat tujuan, fungsi, dan
struktur organisasi perdagangan internasional yang bersangkutan.

Biasanya peran organisasi internasional dalam perdagangan internasional kurang begitu


signifikan. Memang organisasi internasional membeli kebutuhan-kebutuhannya dari penjual
(procurement). Misalnya komputer, peralatan kantor/administrasi, telekomunikasi, transportasi,
dll.

Namun procurement organisasi internasional tidak terlalu besar kuantitasnya. Dari segi
hukum perdagangan internasional pun organisasi seperti ini lebih banyak bergerak sebagai
regulator. Dalam kapasitasnya ini organisasi internasional lebih banyak mengeluarkan peraturan-
peraturan yang bersifat rekomendasi dan guidelines.18 Biasanya pun aturan-aturan seperti
rekomendasi atau guidelines tersebut lebih banyak ditujukan kepada negara. Jarang dimaksudkan
untuk mengatur individu.19

17
Kajian ekstensif tentang organisasi internasional publik, lihat antara lain: M.A.G.
Meerhaeghe, International Economic Institutions, The Netherlands: Kluwer, 1998, 7th.ed., 1998.
18
Michael P. Ryan, W.C. Lenhardt and K. Tamai, “International Governmental Organization: Knowledge
Management for Multilateral Trade Law Making,” 15 Am. U.J.Int’l.L. Rev 1360 (2000) (Ryan et.al.,
menyebut pembuatan peraturan ini sebagai fungsi ke-lima dari organisasi internasional publik. Fungsi
lainnya adalah: fungsi administratif, fungsi penyebarluasan informasi, fungsi penelitian, fungsi
dukungan hukum [legal support]).
19
Michael P. Ryan et.al., ibid.; Booysen, op.cit., hlm. 26.
Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan
internasional di bawah PBB,20 seperti UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah organisasi
internasional yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan
internasional.

Badan ini didirikan pada tahun 1966 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
2205 (XXI), 12 Desember 1966. Tujuan atau mandat utama badan ini adalah mendorong
harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif.

Dalam upayanya tersebut UNCITRAL disyaratkan juga untuk mempertimbangkan


kepentingan semua negara khususnya negara sedang berkembang dalam mengembangkan
perdagangan internasional secara ekstensif. Dalam teks aslinya, mandat dalam Resolusi tahun
1966 tersebut berbunyi:

“With a mandate to further the progressive development of the law of internatonal


trade and in that respect to bear in mind the interests of all people, in particular those
of developing countries, in the extensive development of international trade.”

UNCITRAL misalnya, telah melahirkan Vienna Convention on the International


Sale of Goods (1980); Convention on the international Multi-moda Transport (1980);
UNCITRAL Arbitration Rules (1976); UNCITRAL Model Law on Arbitration (1985), dll.

UNCTAD telah melahirkan berbagai kesepakatan internasional di bidang perdagangan


yang juga cukup penting, antara lain misalnya: UN Convention on a Code of Conduct for Liner
Conference (1974); GSP (1968); UN Convention on Carriage of Goods by Sea (1978).

Di luar keluarga PBB, organisasi perdagangan internasional yang dewasa ini


berpengaruh luas adalah GATT (1947). GATT dengan

20
Selama ini PBB lebih dikenal sebagai organisasi internasional yang bersifat politis. Bab IX Piagam PBB
sebenarnya memuat aturan-aturan khusus untuk pengembangan dan majuan ekonomi dan sosial yang
bertujuan,
ke-38 pasalnya semula hanya mengatur tarif dan perdagangan. Perannya pada tahun 1994
digantikan oleh WTO.

Lahirnya WTO, bidang pengaturannya menjadi sangat luas. Hampir semua sektor
perdagangan, jasa, penanaman modal, hingga hak atas kekayaan intelektual, menjadi bidang
cakupan pengaturan (perjanjian) WTO.

antara lain, meningkatkan standar hidup dan pembangunan ekonomi dan sosial. (Lihat, Houtte, op.cit.,
hlm. 39-40).
2. Organisasi Internasional Non-Pemerintah

Di samping organisasi internasional antar pemerintah di atas, terdapat subyek


hukum lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization) swasta
(non-pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM internasional).

NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau asosiasi dagang.
Peran penting NGO dalam mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional
tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Misalnya, ICC (International Chamber of
Commerce atau Kamar Dagang Internasional), telah berhasil merancang dan melahirkan berbagai
bidang hukum perdagangan dan keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS, Arbitration
Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for Documentary Credits
(UCP).

Khusus untuk UCP, misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah menjadi acuan hukum
sangat penting bagi pengusaha dalam melaksanakan transaksi perdagangan internasional. Aturan-
aturan UCP yang terkait dengan sistem pembayaran melalui perbankan telah ditaati dan dihormati
oleh sebagian besar pengusaha-pengusaha besar di dunia.

Gambaran lainnya adalah ICC Arbitration Rules. Banyak pengusaha besar di dunia telah
memanfaatkan aturan arbitrase ICC untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dagang mereka.
Dalam klausul-klausul kontrak dagang internasional, para pengusaha telah cukup banyak
mencantumkan klausul arbitrase dengan mengacu kepada ICC Arbitration Rules untuk hukum
acara badan arbitrasenya.21

21
Lihat lebih lanjut: George Curmi, “The Role of the Internatonal Chamber of Commerce,” dalam J.
Reuvid (ed.), op.cit., hlm. 79 et.seq.,; Houtte, op.cit., hlm. 48-49 (memberi contoh NGO lainnya yang
cukup penting. Misalnya saja, FIDIC (Fèdèration Internationale des ingènieurs des conseils), kumpulan
para insinyur dari berbagai negara yang telah merumuskan berbagai kontrak standar untuk pembangunan
konstruksi atau proyek pembangunan.; atau IATA (International Association of Transport
D. Individu

Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional.


Adalah individu yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan
internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh negara memiliki tujuan
untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu.22

Dibanding dengan negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum
perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subyek
hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature).23

Individu itu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuan- ketentuan hukum nasional yang
negaranya buat. Karena itu individu tunduk pada hukum nasionalnya (tidak pada aturan hukum
perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan hak dan kewajibannya
yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan peradilan nasional.24

Negara jarang sekali membuat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat individu.


Umumnya kesepakatan negara-negara hanya mengikat mereka. AFTA antara lain adalah
organisasi yang hanya mengatur komitmen negara-negara anggotanya saja. Dalam hukum
perdagangan internasional, ia adalah subyek hukum dalam arti yang terbatas.

Apabila individu merasa bahwa hak-hak dalam bidang perdagangannya terganggu atau
dirugikan, maka yang dapat ia lakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk memajukan
klaim terhadap negara yang merugikannya ke hadapan badan-badan

Association), kumpulan para perusahaan penerbangan, yang merumuskan misalnya saja aturan-aturan
pengangkutan udara dan pengaturan mengenai tarif penerbangan.
22
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 7.
23
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 13.
24
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 7.
peradilan internasional. Mekanisme seperti ini misalnya tampak pada GATT/ WTO dan
Mahkamah Internasional.

Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja suatu individu dapat mempertahankan hak-
haknya berdasarkan suatu perjanjian internasional. Individu misalnya diperkenankan untuk
mengajukan tuntutan kepada negara berdasarkan Konvensi ICSID.

Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di hadapan badan
arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat terbatas. Pertama, sengketanya hanya dibatasi
untuk sengketa-sengketa di bidang penanaman modal yang sebelumnya tertuang dalam kontrak.

Kedua, negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk telah
menjadi anggota Konvensi ICSID (Konvensi Washington 1965). Persyaratan ini sifatnya mutlak.
RI telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap Konvensi ICSID melalui UU Nomor 5 tahun
1968.

Status individu sebagai subyek hukum perdagangan internasional tetaplah tidak boleh
dipandang kecil. Aturan-aturan di bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-kadang
memiliki kekuatan mengikat seperti halnya hukum nasional.

Contoh nyata adalah aturan-aturan yang tergolong ke dalam Lex Mercatoria atau
hukum para pedagang. Salah satu wujudnya, seperti telah diutarakan di atas, adalah the Uniform
Customs and Practice for Documentay Credit (UCP). Meskipun UCP tidak diundangkan
sebagaimana layaknya hukum nasional, namun para pengusaha sangat menghormati dan menaati
ketentuan-ketentuan dalam UCP.

Disebutkan di atas bahwa individu adalah subyek hukum dengan sifat hukum perdata
(legal persons of a private law nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori
ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.
1 Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui


sebagai subyek hukum yang berperan penting dalam perdagangan internasional. Peran ini
sangat mungkin karena kekuatan finansial yang dimilikinya. Dengan kemampuan finansialnya,
hukum (perdagangan) internasional berupaya mengaturnya.

Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara- negara antara lain
menyebutkan bahwa MNCs tidak boleh campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri
dari suatu negara. Pasal 2 (2) (b) Piagam antara lain berbunyi sebagai berikut: “... Transnational
corporation shall not intervene in the internal affairs of a host State.”25

Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs seperti Freport
McMoran Company (yang beroperasi di Papua), Mitsubishi, atau MNCs di bidang
telekomunikasi, ABC, CNN, Singapore Telecommunication (Singtel yang memiliki saham
mayoritas PT Indosat), sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan
ekonomi di Indonesia.

Kekuatan dan kekayaan yang sangat besar ini memang dapat berdampak yang cukup
besar. The Economist menggambarkan dengan tepat peran dan keberadaan MNCs:

“Many people ... now think of multinationals as more powerful than nation states, and
see them as bent on destroying livelihoods, the environment, left-wing political
opposition and anything else that stands in the way of their profits.” 26

Perlunya aturan-aturan yang mengontrol aktivitas MNCs memang perlu untuk


menjembatani perbedaan kepentingan. kepentingan negara tuan rumah, apalagi negara sedang
berkembang,

25
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14.
26
The Economist, “The World’s View of Multinationals,” 29 January 2000, hlm. 19.
biasanya adalah mengharapkan masuknya MNCs ke dalam wilayah negaranya dapat memberi
kontribusi bagi pembangunannya.

Sedangkan perspektif MNCs berbeda. Sebagaimana halnya dengan perusahaan


umumnya, MNCs bertujuan mencapai target utama perusahaan, yaitu mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya.27 Karena itu agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu dapat bertemu, maka
perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.28

2. Bank

Memang agak mengherankan bahwa para sarjana memasukkan bank sebagai subyek
hukum dengan kategori private law nature. Sama seperti individu atau MNCs, bank dapat
digolongkan sebagai subyek hukum perdagangan internasional dalam arti yang terbatas.
Bank pun tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan.

Yang membuat subyek hukum ini penting adalah:

(a) peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa
bank, perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan.29

(b) Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak
mengenal karena mereka berada di negara yang berbeda. Perannya di sini adalah peran
bank dalam memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli.

(c) Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum dalam perdagangan
internasional khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan internasional. Salah
satu instrumen hukum yang bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam
transaksi perdagangan internasional. Misalnya adalah terbentuknya ‘kredit berdokumen’
yang disebut ‘documentary credit’. Mekanisme dan praktek ini kemudian dikodifikasi dan
dirumuskan secara sistematis oleh ICC menjadi UCP (di atas).

27
The Economist, Ibid.
28
Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 273.
29
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14.
E. Penutup

Uraian di atas menggambarkan stake-holders, aktor, atau subyek hukum dalam hukum
perdagangan internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan individu (yang terdiri dari
perusahaan multinasional dan bank).

Subyek-subyek hukum tersebut di atas menunjukkan terbatasnya subyek hukum dalam


hukum perdagangan internasional. Hal ini tidak terlepas dari realita pragmatis dari perdagangan
internasional.

Imunitas negara dengan statusnya sebagai subyek hukum penuh atau lengkap dalam
hukum perdagangan internasional tampak semakin terbatas. Hukum nasional, hukum
internasional, dan penundukan diri kepada suatu lembaga peradilan (arbitrase) menghendaki
dan mensyaratkan tidak mungkinnya bagi suatu negara untuk membawa atribut imunitasnya
dalam perdagangan internasional.
Dari ketiga stake-holders hukum perdagangan internasional, yang paling unik adalah
bank. Bank hanyalah suatu lembaga keuangan. Ia bukan pelaku utama perdagangan internasional.
Fungsinya menjembatani dan memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli. Namun
demikian bank telah menciptakan suatu praktek kebiasaan di bidang perdagangan yang mengikat
stake- holders lainnya yang berhubungan dengannya.
1

Anda mungkin juga menyukai